Anda di halaman 1dari 12

GURUKU INSPIRASIKU

Kembali ku tajamkan pendengaran di telingaku. Mendengarkan materi apa yang bisa tertangkap
dengan jelas oleh kedua telingaku. Aku saat ini berada di ruangan yang tersusun rapi beberapa
baris meja dan bangku. Di ruangan ini aku bersama dengan beberapa orang yang melakukan
kegiatan yang aku lakukan saat ini. Yang aku lakukan saat ini memfokuskan telingaku dan
berusaha menangkap apa maksud dari suara yang berhasil tertangkap oleh kedua telingaku.
Seorang wanita yang sudah tidak muda lagi berdiri di hadapanku dan di hadapan teman-temanku.
Seseorang yang mempunyai segudang ilmu dan membagi ilmu tersebut tanpa ketakutan akan
kehilangan ilmu tersebut. Guruku.. itu sosok guruku yang telah aku deskripsikan di atas. Guru
yang mengajarkanku banyak pelajaran tanpa harus mengambilnya dari panduan buku.
Guruku yang satu ini mempunyai sifat yang ditakuti olehku dan teman-temanku. Sikap yang
kami tunjukkan bukan arti dari takut yang sebenarnya. Melainkan rasa hormat dan patuh yang
kami perlihatkan. Perkataannya yang bagaikan sepedas cabai Bhut Jolokia, tatapan matanya yang
bisa diibaratkan sepekat dan setajam tatapan mata elang. Mungkin memang seperti itu kesan
yang bisa aku sampaikan saat beliau menyampaikan sebuah nasihat. Perkataannya yang aku
ibaratkan di atas memang seperti kenyataan yang terjadi. Beliau memberikan nasihat dengan
kata-kata yang seperti telah dibumbui oleh garam lalu ditaburkan di atas luka.
Nasihat yang diberikannya tidak seperti kebanyakan guru-guru lain yang hanya akan
memberinya nasihat berupa kata-kata yang awalnya dapat diserap namun beberapa saat
kemudian akan terlupakan. Beliau tidak melakukan cara seperti guruku yang lain. Beliau
mempunyai cara tersendiri untuk menasihati kami. Nasihat yang beliau berikan biasanya
mempunyai perumpamaan. Menasihati tanpa memberi kami pelajaran sepertinya itu hal yang
beliau hindarkan. Pantun, Peribahasa, sampai Puisi ia sampaikan kepada kami dengan maksud
dan tujuan yang awalnya kami hanya anggap sebagai angin berlalu.
Di sekolahku atau di seluruh sekolah pasti mempunyai murid-murid yang memiliki kemauan
belajar yang sedikit. Saat tidak mengerjakan tugas, guru-guru yang lain akan memberinya
hukuman yang hanya dirasakan pada saat itu saja. Itu tidak akan berefek untuk meningkatkan
kemauannya belajar lebih giat lagi. Malahan itu hanya akan membuatnya tertekan. Tapi itu tidak
berlaku pada guruku yang satu ini. Seperti yang aku katakan di atas, beliau lebih sering memberi
nasihat perkataan-perkataan yang membuat murid itu akan memikirkannya terus-menerus. Kamu
pasti bertanya-tanya kata-kata apa yang beliau sampaikan. Baiklah aku akan menceritakan
pengalamanku saat beliau sedang menasihatiku dan teman-temanku.
Cahaya mentari pagi yang bersinar menyinari bumi seakan membawa aura positif kepada
penduduk bumi. Apa yang diungkapkan di atas sepertinya tidak seperti apa yang dirasakan
sekelompok anak yang menuntut ilmu di sebuah ruangan. Sekelompok itu merasakan aura
kegelapan sedang bersarang di dalam ruangan itu. Aura kegelapan yang dirasakan sekelompok
anak itu meliputi rasa cemas, takut dan tidak percaya diri.
“Agariadne Xayanavino, sini ibu nilai tugas kamu,” Ucap guruku.
Dengan perasaan yang masih sama seperti diatas dia mengumpulkan tugasnya. Perasaan cemas
tidak bisa lepas dari dirinya. Namun setelah menunggu hasil yang ia dapatkan ia bisa bernapas
lega karena tugas yang ia kerjakan diterima oleh guru itu.
“Randy Lexander Pramandykeanu,” panggil guruku. Itu namaku! segera aku ke depan
menghampiri meja guru. Perasaanku masih sama seperti diawal. Rasa cemas yang aku rasakan,
malahan rasa cemas itu bertambah sekarang.
Ku perhatikan ekspresi beliau saat sedang memeriksa hasil tugasku. Harapanku saat ini beliau
dapat menerima tugasku. Dan sepertinya harapan itu dapat tercapai. Tugasku berhasil diterima
oleh beliau. Dan selanjutnya beliau memanggil yang selanjutnya.
“Rihan Ananda Toza,” ucap guruku kembali.
Rihan berjalan ke meja guru dengan ekspresi cemas. Bagaimana aku bisa mengetahui itu?
Ekspresi itu terlihat jelas dari raut wajahnya. Sepertinya ia mempunyai masalah lagi dengan
tugasnya. Ia memang sangat susah untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh para
guru.
“Saya belum selesai bu,” ucap Rihan setelah sampai di depan meja guru.
“Lalu, apa yang kamu kerjakan saat teman-teman kamu sibuk mengerjakan?” Tanya guruku.
“Sa.. sayaa nggak mengerti bu,” elak Rihan.

1
Rihan tidak bisa berkata apa-apa, itu kesalahannya sendiri. Ia tidak mengerjakan tugas tersebut
karena ia terlalu malu untuk bertanya. “Kamu pernah mendengar peribahasa yang mengatakan
Malu bertanya sesat di jalan kan, kenapa kamu tidak menerapkan itu?” ucap guruku.
“Saya bingung bu mau bertanya ke siapa,” bela Rihan. “Kamu bingung bertanya sama siapa?
Tanyakan pada rumput yang bergoyang,” ucap guruku kembali.
Kata-kata itu memang terdengar aneh saat memberi nasihat kepada muridnya. Mendengar kata
seperti itu pasti akan membuat kita berpikir apa maksud dari kata-katanya. Dan arti yang
disampaikan melalui peribahasa “Malu bertanya sesat di jalan,” seperti diumpakan saat kita tidak
mengetahui jalan dan kita tidak bertanya pasti kita akan tersesat. Melalui kalimat-kalimat seperti
itu beliau biasanya memberikan kami nasihat. Awalnya peribahasa-peribahasa seperti itu kami
anggap sebagai bahan lucu-lucuan. Namun setelah apa yang kita perbuat peribahasa-peribahasa
itu mempunyai arti yang mendalam untuk kami. “Malu bertanya sesat di jalan,”
“Tanyakan pada rumput yang bergoyang,” “Mulutmu harimaumu,” “Dimana ada kemauan di
situ ada jalan,” kata-kata seperti itu yang kami rasa awalnya hanya bualan biasa.
Tetapi di balik kata-kata tersebut ternyata memiliki makna yang penting. Semua kata yang
dirangkai menjadi sebuah kalimat memang memiliki arti tanpa harus menunjukkan arti dari
kalimat itu secara langsung. Setelah aku memberitahu ceritaku di atas, apa kamu sudah bisa
membayangkan bagaimana karakter guruku? Di balik sikapnya seperti itu beliau hanya ingin
melatih kita untuk lebih bisa disiplin. Ya, disiplin dibutuhkan di kehidupan kita.
Di segala bidang memang yang awal dibutuhkan yaitu sikap disiplin. Semua guru juga
mengajarkan sikap disiplin namun dengan caranya masing-masing. Apa yang ditunjukkan
guruku mungkin hanya sebagian kecil metode guru menyampaikan pelajaran. Di balik sikapnya
yang seperti itu, aku yakin di jauh sana tersimpan kebaikan hatinya yang tulus. Membuatku
merasa bahwa pelajaran yang ia sampaikan berkesan dalam hidupku. Guruku
menginspirasikanku bahwa apa yang kita lakukan saat ini memang terkadang terasa itu tidak
penting. Namun hal sekecil apapun itu, hal yang kita lakukan saat ini akan berpengaruh di masa
depan kita.
Lalukan hal yang positif saat ini mungkin akan membawa pengaruh baik juga di masa depan
kita. Sebaliknya, jika melakukan hal negatif itu akan terus terbawa di masa depan kita. Semua
yang kita pelajaran saat ini akan menjadi pengalaman di masa depan kita. Itulah yang dapat aku
ceritakan mengenai saat-saat aku mendapatkan sedikit pelajaran dari guruku. Mungkin cerita ini
sederhana, tetapi apa yang aku ceritakan di atas semoga dapat membuat orang yang membaca
ini dapat mengambil sedikit pelajaran. Pelajaran yang mungkin dapat diterapkan di kehidupan
kita

2
MENGEJAR MIMPI

Namaku Parlindungan Purba. Aku dipanggil Parlin. Aku lahir di Samosir. Sejak kecil aku ingin
menjadi karateka terbaik dan ingin membawa nama Indonesia ke ajang INTERNASIONAL.
Sejak umur 6 tahun aku mulai mengenal bagaimana dan apa karate itu dari Ayahku sebagai
gurunya. Dia senantiasa mambimbingku. Aku terus berlatih dan berlatih. Pada umurku yang ke-
9, usahaku membuahkan hasil. Aku berhasil mendapat juara kelima pada pertandingan antar
desa. Meskipun begitu aku tidak putus asa. Aku terus berusaha sampai sekuat tenaga. Ayahku
pun terus melatihku.
Hingga pada suatu hari aku mendengar suatu pengumuman bahwa tertera, “Perlombaan Karate
Tingkat Provinsi.” aku menyampaikan pengumuman itu dan lalu Ayah memberikan tanggapan
yang baik, begitupun dengan teman-temanku. Aku meminta formulir pendaftaran di sekolahku.
Lalu aku mengisi data itu dengan lengkap. Pada saat pulang ke rumah aku berjumpa dengan
Senior karateku bernama Yudha.
Tanpa ku sangka dia juga ikut dalam pertandingan itu. Setelah dia tahu bahwa aku mengikuti
pertandingan itu juga. Dia meremehkan aku dengan mengolok-olokku. Dengan mengatakan
kamu tidak pantas mengikuti perlombaan itu karena seperti aku saja yang selalu mendapatkan
juara satu. Di setiap perlombaan karate. Aku tidak pernah putus asa dengan perkataannya itu.
Melainkan aku semakin bersemangat untuk berlatih bersama Ayahku.
Hari demi hari telah berlalu tanpa ku sadari hari ini adalah hari perlombaan tersebut. Pada
pertandingan pertamaku aku merasa gugup tetapi aku berhasil melakukan langkah awal yang
baik. Dengan modal kemenangan ini, aku selalu bersemangat. Sehingga pada laga-laga
selanjutnya aku bisa memenangkannya. Akhirnya aku sampai juga di final. Setelah aku
mendengarkan pengumuman ternyata lawanku adalah Sang senior yang dulu meremehkanku
yaitu Yudha. Beberapa hari sebelum hari pertandingan itu aku berlatih dua kali lipat dari
sebelumnya.
Pertandingan final pun digelar aku akan melawan seniorku yang menatapku dengan ambisius
untuk mengalahkanku. Akhirnya aku memenangkan pertandingan tersebut dengan sekor 6-5.
Setelah seniorku itu melihat pertandingan itu sang senior pun meminta maaf kepadaku karena
telah meremehkanku. Aku menerima permintaan maaf itu dengan perasaan bangga. Dengan
memenangkan pertandingan itu, aku ditunjuk untuk mewakili Indonesia dikanca Internasional
yaitu Olimpiade karate sedunia.
Sebelum olimpiade itu aku menginap di Rio De Janeiro, Brazil. Di sana aku bertemu dengan
karateka terbaik dari berbagai negara. Aku dilatih oleh pelatih terbaik dari Indonesia. Aku
melewati laga tersebut dengan langkah yang mulus. Lalu aku menempuh kesulitan pada laga
seni final. Aku masuk ke final. Aku harus melanjutkan karateka terbaik tahun lalu yang berasal
dari negara Vatikan. Aku berhasil mengharumkan nama Indonesia di tingkat internasional.
Dengan jerih payah yang menghabiskan tenaga. Semua orang menonton bersuka cita karena
selama lima tahun terakhir karateka dari Vatikan tersebutlah yang selalu menjadi juara. Mereka
ingin karateka terbaik yang baru. Aku mencapai impianku dengan perjuangan yang hebat.

3
I’M TELATAN NOT TELADAN

Senin pagi seperti biasa Indah berangkat sekolah dengan tergesa-gesa. Karena, lagi-lagi dia harus
mengalami suatu kejadian yang membuatnya gelisah, Terpepet Waktu! “Pukul 06.45,” desis
Indah sambil mempercepat langkah setengah berlari. Di perjalanan Indah melihat Angga, teman
sekelasnya. Angga membawa motor dan Indah pun berteriak “ANGGA!” teriaknya sambil
melambai-lambaikan tangan memberi isyarat untuk berhenti. Dengan refleksnya Angga pun
mendekat ke arah Indah dan dan berhenti.
“Kamu lagi ngapain di sini, Ndah?” tanya Angga polos. DUAR!! (Ini Angga belum sarapan apa
belum mandi apa belum bayar cicilan motor ya? dia nanya, “Kamu lagi ngapain di sini?” ih jelas-
jelas aku mau on the way sekolah! Haduh dasar Angga!)
“Ng… ng… Lagi-lari pagi Ga, biar sehat gitu hehe,” jawab Indah asal menahan tawa karena
melihat ekspresi muka Angga yang polos. “Oh ya udah lanjutin aja Ndah, semangat ya,” Jawab
Angga yang kemudian menancapkan gas meninggalkan Indah sendirian. Lagi-lagi Indah
mendengus kesal. Bagaimana tidak? Pertama, dia telat! Kedua, Angga nanya yang gak jelas!
Ketiga, Gak dapat tumpangan gratis! “Argghh! Maraton ajalah, 10 menit lagi bel sekolah bunyi,”
Ucap Indah kemudian berlari bagaikan seekor kancil tertangkap petani karena mencuri
mentimun.
Tett… Tett… Tett… Bel masuk sekolah pun terdengar jelas di telinga Indah. Namun sialnya
Indah belum masuk kelas! Jangankan masuk kelas, masuk gerbang sekolah juga lagi proses.
Karena ya.. Dia dan gerombolan teman-temannya harus melakukan aksi mainstream, LONCAT
PAGAR!! Setinggi 2 meter! Sedangkan Indah tingginya hanya 160 cm, kebayang kan gimana
perjuangannya?
“Sssstttt,” Indah setengah berteriak memberi kode rahasia yang biasa dipake kalau lagi LONPAG
(Loncat Pagar) ke arah Gembul, teman seperjuangannya loncat pagar. Namanya sih Rio, tapi
karena dia gendut dan tukang makan, jadi dia pun mempunyai panggilan kesayangan, Gembul.
“Ayo lempar tasmu, Ndah,” ucap Gembul sambil menggerakkan tangannya memberi isyarat
kepada Indah untuk melemparkan tasnya. Satu per satu anak-anak itu pun mulai meloncat dan
berhasil sangat mulus. Sama halnya dengan Indah, dia mendapat giliran terakhir meloncat.
Namun, karena kelihaiannya dalam hal loncat meloncat, Indah pun berhasil.
“Selamat pagi Pak Husni,” Sapa Indah yang kini sedang berdiri di depan pintu kelasnya. Kelas
XI-II Bahasa. “Melakukan ritual seperti biasa, Indah?” tanya Pak Husni ketus dan membuat
suasana kelas hening yang awalnya ramai. “Ng.. Ng… Anu Pak, tadi saya. Saya .. Ng,” Indah
bingung harus menjawab apa, karena tidak mungkin kalau dia menceritakan kejadian yang
sebenarnya.
“Sudah, kamu duduk! Bapak juga tahu setiap pagi kamu itu loncat pagar, bersama teman-teman
yang sama sepertimu kan? Indah! Padahal kamu itu bisa menjadi murid teladan, kamu sudah
hampir memenuhi syarat murid teladan, nilai-nilai di rapotmu bagus semua, kamu sopan kepada
guru! Hanya saja kamu selalu terlambat. Kenapa kamu melakukan hal itu? Loncat pagar atau
apalah semacamnya!” ketus Pak Husni setengah berteriak yang membuat Indah harus mati-
matian menahan air mata yang sebentar lagi akan meluncur di pipinya. Hening. Suasana kelas
kini seperti ada ulangan matematika. “Bapak sangat mengharapkan kamu, Indah,” sambung Pak
Husni yang 180 derajat berubah menjadi lirih, yang kini benar-benar membuat Indah
mengeluarkan air mata. “Pak, maaf sebelumnya saya juga gak mau setiap harus loncat pagar,
berangkat sekolah dengan tergesa-gesa, tapi asal Pak Husni tahu! Sebelum saya berangkat
sekolah, saya harus membuat kue untuk dijajakkan di warung-warung. Kemudian merawat Ibu
saya dulu, Ibu saya sedang sakit parah Pak, saya gak punya uang untuk membawa beliau ke
rumah sakit. Apa Bapak pernah merasakan bagaimana rasanya berada di posisi saya?”
“Pak, lebih baik saya menjadi murid Telatan tetapi saya menjalankan kewajiban saya terlebih
dahulu, merawat Ibu yang sedang sakit, daripada saya menjadi murid Teladan tapi meninggalkan
Ibu, mencampakkan Ibu yang sedang sakit terbaring lemah di kasur. Lebih baik saya kehilangan
barang berharga, jabatan tinggi, daripada saya harus kehilangan Ibu yang saya cintai. Karena
saya yakin rezeki itu sudah ada yang mengatur dari Allah SWT,” ucap Indah terbata-bata
menahan tangisan yang berkelanjutan. Lantas membuat Pak Husni diam tidak bisa berbicara apa-
apa.

4
SARJANA

Setiap harinya aku hidup seperti ini, ada kalanya senang dan ada kalanya susah. Seorang anak
kecil sepertiku yang tidak punya biaya untuk bersekolah hanya bisa menarik ilmu dengan Pak
San sebagai guru relawan yang mau mengajar di tempatku. Dia hanya mengajar aku dan enam
orang lainnya yang tidak mampu untuk bersekolah di sekolah yang layak. Pak San hanya
mengajar di pinggir jalan raya yang memang cukup untuk kami bertujuh. Kadang di saat belajar
aku terganggu dengan suara-suara kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya. Suatu pagi, aku
sangat senang akan belajar bersama Pak San. Tetapi, tetanggaku yang kaya raya menghinaku
dan merendahkanku.
“Heh.. bocah gembel, mau ke mana kamu? Ke sekolah? Sekolah yang mana?” kata Bu Ni
tetanggaku yang kaya raya. Aku membiarkannya lalu meninggalkannya. Aku tetap berjalan
menuju tempatku belajar dengan hanya membawa satu buku dan satu pensil yang sudah seukuran
jari telunjuk orang dewasa.
Hari ini Pak San memberitahu kami tentang orang yang sukses. Dia berkata pada kami bahwa
seorang sarjana yang sudah lulus S3 pun belum tentu menjadi orang yang sukses di kemudian
hari. “Pak, jika lulus S3 saja tidak menjadi orang yang sukses, apalagi kami yang hanya belajar
di pinggir jalan raya?” tanyaku. “Jika orang-orang mengira bahwa kalian tidak akan menjadi
apa-apa, maka mereka salah justru kalianlah yang akan menjadi orang yang sukses, bahkan bisa
melebihi orang yang lulus S3 ataupun orang sukses lainnya.” jawab Pak San.
Oleh karena perkataan Pak San itu aku pun bersemangat untuk belajar walaupun harus berbeda
tahun dengan yang bersekolah biasa, karena aku hanya mengikuti kejar paket. Setelah aku selesai
belajar dengan Pak San pada jenjang SD sampai SMP. Sekarang, aku mengikuti kejar paket
setara SMA. Setelah lulus aku pun ingin melanjutkan kuliah, tapi keinginanku itu harus
bertentangan dengan ayahku.
“Nak, kamu mau apa? Mau kuliah?” tanya ayah. “Iya yah. Saya minta izin,” jawabku. Dengan
memukul meja yang ada di depan ayah. Ayah menentang permintaanku. “Nak! buat apa kamu
kuliah tinggi, jangan harap Nak! Kamu itu anaknya siapa? Kamu anaknya orang melarat Nak,
berbeda dengan orang lain yang punya duit untuk kuliah. Dengar Nak, kau lihat anaknya Bu Ni!
Dia sudah punya anak dan anaknya sudah lulus S3 Ekonomi, dan sadar kau? Dia sampai sekarang
belum punya pekerjaan Nak. Ayah tahu keinginanmu, tapi kau juga harus sadar Nak! Kita ini
orang tak punya…” kata-kata ayah terdiam sebentar lalu merenung dan melanjutkannya. “Jadi,
Ayah serahkan padamu!” jelas ayah.
Aku termenung mendengar perkataan ayah. Dan aku mulai berpikir untuk mencari jalan keluar
agar aku bisa kuliah. Akhirnya, belum ada satu bulan aku ditawari masuk universitas, aku sangat
senang. Mungkin ini karena hasil nilaiku bagus. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku
langsung menemui ayah, dan yang mengejutkanku adalah ayahku sangat senang dan menaruh
harapan padaku ia berkata padaku, “Jadilah orang yang sukses karena diri sendiri, jangan jadi
orang yang sukses karena hal lain.”
Setelah aku mengambil S1 Jurusan Manajemen. Aku tidak melanjutkan studiku. Bukan karena
aku malas, tetapi banyak investor dan pimpinan saham yang menginginkanku untuk
mengembangkan investasi. Mereka bilang aku dapat dipercaya oleh karena itulah aku dicari-cari
banyak investor baik dalam negeri atau luar negeri. Akhirnya, aku telah menerima salah satu
perusahaan yang terkenal hingga seluruh dunia. Aku sadar dan yakin bahwa seseorang yang
ingin meraih kesuksesan dan ingin meraih hasil sempurna yang dibutuhkan adalah kejujuran dan
kerja keras. Dan aku paham bahwa seorang sarjana tidak akan sukses jika ia hanya mengandalkan
kesarjanaannya.

5
NADA SI KUCING TEGAR

Namaku Rani, pagi itu saat aku sedang di jalan untuk mencari pekerjaan, tanpa sengaja aku
melihat seekor kucing malang yang tergopoh-gopoh karena salah satu kaki kanannya pincang.
Hati ini rasanya tak kuasa melihatnya. Tanpa berpikir panjang, aku langsung turun dari motor
dan membawanya ke pinggir jalan agar terhindar dari kendaraan yang lalu lalang.
Aku memang selalu membawa persediaan makanan kucing kemanapun aku pergi, karena di
setiap jalan pasti ada mahkluk mungil yang kelaparan. Aku segera memberikan makanan kucing
itu padanya, dan dia sangat lahap memakannya, seperti semalaman tidak menemukan makanan.
Aku menunggunya makan dan membelai tubuhnya yang mungil itu, dia meresponnya dengan
bermanja-manja di kakiku. Tak kuasa air mata ini melihatnya, ada seekor kucing yang begitu
tegar dan ikhlas disaat dia hanya berjalan dengan tiga kaki saja. Dalam otakku selalu ada rasa
bersalah sebagai manusia, karena tidak bisa melestarikan semua mahkluk mungil sepertinya.
Dalam benakku, rasanya ingin mencari siapa yang tega membuat kakinya pincang dan tidak
bertanggung jawab, hanya karena dia seekor binatang.
Nada adalah nama yang kupilih untuknya. Nada memiliki arti berwarna seperti nada dalam
sebuah lagu. Ingin rasanya aku memelihara nada dan mengobatinya, tapi apa dayaku yang masih
mencari pekerjaan, tapi kedua orangtuaku pun tidak akan mengizinkannya untuk dipelihara.
Sampai pada akhirnya aku selalu rutin memberinya makan dan menemaninya dengan bermanja-
manja bersamanya. Hati ini rasanya bahagia melihat nada yang ceria, seperti tidak merasakan
sakit sama sekali. Padahal, akibat kakinya yang pincang, dia harus menyeret kakinya itu saat
berjalan hingga terluka dan kering.
Dialah penyemangatku saat ini untuk terus memberikan makanan kepada kucing lainnya. Aku
ikhlaskan rezekiku hanya untuk mahkluk Tuhan yang mungil ini. Nada membuatku menjadi
manusia yang harus selalu bersyukur dalam keadaan apapun. Setiap aku menemui nada, dia
seperti nge-batin bahwa aku datang. Karena, saat aku turun dari motor dengan membawa
makanan, dia selalu lari kegirangan untuk menghampiriku. Dengan wajah yang lugu dan manis,
dia menyambutku dengan bermanja-manja di kakiku. Sampai sore hari tadi, aku tak kuasa
melihat nada menyeberang dengan letihnya dan menyeret kakinya itu, tetapi tak ada yang peduli
padanya, mereka hanya berhenti karena memberi jalan nada dan sekedar menengok saja. Lalu,
dengan cepat aku gendong nada dan segera kubawa ke pinggir dan memberinya makan. Orang-
orang di sekitarku hanya melihatku saja tanpa ada satupun yang terketuk untuk memelihara atau
sekedar memberi makan.
Nada.., kamu memang salah satu kucing yang tegar dalam menghadapi cobaan di hidupmu yang
tidak sempurna ini. Aku sebagai manusia sangat malu karena selalu mengeluh dalam menjalani
hidup.
Nada.., terima kasih sayang, kamu telah mengajariku banyak hal walaupun kamu hanya seekor
kucing. Aku selalu berusaha tegar sepertimu nada, dengan cara berdiri sendiri tanpa harus
berpangku tangan dengan orang lain. Nada, aku selalu menyayangimu walaupun aku tak bisa
memiliku, tapi keikhlasan hatimu sudah aku miliki, dan sebisaku aku akan selalu menengokmu
nada. Baik-baik ya sayang, sehat terus dan jangan jauh-jauh jika ingin bermain. Aku sayang
kamu nada dan selalu merindukanmu.

6
JERITAN YANG TERSAMPAIKAN

Tes…Bulir airmata jatuh begitu saja mengenai pipi gadis cantik itu. Perkataan orang yang
dihadapannya sungguh membuatnya terperanjat kaget. Dia melangkah mundur seraya
membekap mulutnya tak percya. Hingga kemudian, gadis itu sudah terduduk di lantai. Seakan-
akan tidak mempunyai tenaga lagi untuk berdiri.
“Green, ini bukan akhir dari semuanya,” Rena ikut-ikutan duduk di samping Green. Ia merangkul
sahabatnya itu dengan erat. “Mana pernah aku mendapatkan nilai serendah itu, Rena. Nilaiku
biasanya tertinggi di antara semuanya,” ucap Green frustasi. “Iya, aku tau Green. Semua orang
pun tau kalau kamu murid terpintar di sekolah ini,” “Tapi kenapa nilai tryoutku terendah kali
ini?” Green masih menuntut penjelasan dari Rena. Padahal sahabatnya itu sama sekali tidak tau,
kenapa nilainya bisa menurun sebegitu drastisnya. Akan tetapi, Rena tidak protes dengan
perkataan Green yang terlihat lebih memojokkannya itu. Kalau seandainya, dia yang di posisi
Green saat ini. Pastilah dia akan berbuat demikian pula
“Apa kamu sedang ada masalah dengan Mamamu?” pertanyaan itu terlontar begitu saja dari
mulut Rena. Dan pertanyaan itu sukses membuat tangis Green terhenti. Yang kemudian
tergantikan tatapan tak percayaa dari gadis itu. Apa mungkin gara-gara itu? tanya Green kepada
dirinya sendiri. Pertengkarannya dengan Mamanya beberapa minggu yang lalu kembali berputar
di dalam ingatannya. Pertengkaran yang membuat Papanya marah besar karena ketidak-
sopanannya itu. Tanpa pernah mau tau apa penyebab dari pertengkaran mereka. Itulah Papanya,
selalu saja mempercayai perkataan Mamanya. Yang terkadang terdengar lebih memojokkannya.
Seolah-olah memang dia yang memicu pertengkaran itu.
“Untuk apa kamu menyesali nilaimu yang kecil itu Green. Toh, tanpa nilai yang tinggi pun kamu
bisa kuliah di universitas manapun yang kamu mau. Zaman sekarang apa yang tidak bisa dibeli
dengan uang,” ucap Tante Mera seperti biasa, tidak pernah ambil pusing akan suatu masalah.
Green yang ada di hadapan Mamanya, memalingkan wajahnya lantaran kesal. Cengkraman
tangannya di sofa semakin kuat, takut kalau nantinya emosinya akan meledak.
“Kamu tidak terima dengan perkataan Mama?” Tante Mera kembali bersuara. Namun kali ini
terdengar ketus. Amarah Green yang memang sudah sampai ke ubun-ubun, tidak bisa lagi
ditahannya sewaktu mendengar ucapan Mamanya. “Aku selama ini selalu diam, Ma. Setiap kali
Mama merendahkanku seperti itu,” suara Green masih terdengar wajar, “Tapi kalau aku boleh
jujur, aku memng tidak terima dengan perkataan Mama barusan. Mama selalu saja
mengandalkan segala sesuatu dengan uang. Iya sekarang, kelurga kita masih diberi uang yang
banyak. Nantinya? kita tidak pernah tau apa yang terjadi,” “Kamu masih bocah ingusan. Tidak
sepantasnya kamu menasehati Mama seperti itu,” “Aku memang bocah ingusan. Akan tetapi,
pikiranku tidak pernah sekolot Mama,” suara Green mulai meninggi. Tante Mera yang
mendengar itu spontan terdiam. Ternyata anak semata wayangnya itu sudah berani
membentaknya. Belum sempat Tante Mera berkata, Green sudah lebih dahulu mengambil alih
pembicaraan.
“Cukup, Ma. Jangan katakan apa-apa lagi. Mulai sekarang aku akan memulai semuanya sendiri.
Tentunya tanpa dukungan Papa dan Mama,” Apa yang dikatakan Green kepada Mamanya,
bukanlah omongan belaka. Dia membuktikan semuanya di tryout selanjutnya. Meskipun nilainya
tidak sebagus dulu, tapi setidaknya dia tidak berada di peringkat terakhir lagi. Namanya naik
sepuluh tingkat. Semenjak kejadian itu semangat belajarnya semakin kuat. Tak lupa juga di
dalam shalatnya, Green menyelipkan sepotong doa untuk keberhasilan ujian nasionalnya nanti.
Hari yang ditunggu-tunggu Green tiba. Saatnya penerimaan kelulusan. Ia berharap kali ini, ia
yang menjadi juara pertama seperti tahun-tahun sebelumnya. Untuk usaha dan doa, dia merasa
sudah sempurna. Jadi sekarang, hanya menunggu hasilnya saja. “Green, kamu berhasil. Kamu
menjadi juara pertama,” teriak Rena dari kejauhan. Perkataan sahabatnya itu, membuat Green
menghentikan langkahnya. Ia memang terlambat dataag, dikarenakan terjebak macet di jalan.
Makanya, dia tidak sempat mendengar peraih juara ujian nasional kali ini. Saat sadar dengan apa
yang diucapkan oleh Rena, gadis itu langsung memeluk sahabatnya itu. Mereka berteriak penuh
kegirangan. Dari kejauhan, Tante Mera memperhatikan kebahagiaan anak gadisnya itu. Diam-
diam beliau tersenyum. Apa yang dikatakan Green memang benar adanya, segala sesuatu itu
tidak harus dibeli dengan uang. Dimulai sejak hari itu, Tante Mera tidak lagi berpikiran kolot
seperti yang dikatakan Green.

7
BE A HERO

ahlawan super, siapa yang gak mau menjadi seorang pahlawan super. Memiliki kekuatan, dapat
membantu orang yang kesusahan, dan disenangi banyak orang. Itulah impian gua saat kecil,
dapat membantu orang dengan segala usaha yang dapat gua kerahkan.
Hai nama gua Raditya anandika, gua sering dipanggil Radit dan kadang juga sering dipanggil
Dika. Sewaktu kecil gua sangat ingin menjadi pahlawan super seperti yang ada di komik-komik.
Sewaktu gua kecil, gua sering dibully sama teman-temanku karena aku selalu berkhayal menjadi
pahlawan super. Terkadang gua juga sering dipukuli anak-anak yang umurnya di atas gua, karena
gua selalu mencoba melawan mereka disaat mereka mencoba memBully seseorang.
Teman gua pernah berkata kepada gua “berhenti menghayal deh dit buat jadi pahlawan super,
pahlawan super itu hanya ada di komik doang” tetapi gua nggak pernah menghiraukan kata-kata
teman gua itu. Gua tetap berpegang teguh pada keinginan gua untuk menjadi pahlawan super.
Suatu hari ayah gua pernah berkata “nak berhentilah untuk berkhayal, pahlawan super itu tidak
pernah ada. Jangan pernah bermimpi menjadi sesuatu yang tidak pernah ada di dunia” dari kata-
kat itu gua tersadar bahwa benar juga, nggak akan ada yang namanya seseorang terlahir dengan
kekuatan super.
Sifat gua pun berubah menjadi pemurung setelah gua membuang jauh-jauh impian dan khayalan
gua. Hidup gua yang awalnya berwarna, sekarang berubah menjadi abu-abu.
Suatu hari disaat gua sedang berjalan pulang sekolah, gua bertemu dengan seorang kakek tua.
Dia menyebut dengan pelan nama gua disaat gua berjalan tepat di depan dia. Tersentak gua pun
kaget, kenapa kakek itu bisa tau nama gua, dan gua mulai penasaran siapa kakek itu. Gua pun
langsung pergi menghampirinya kembali dan bertanya “kakek tau nama saya dari mana?” kakek
itu pun menjawab “kakek tau siapa kamu, dan apa yang kamu inginkan sedari kecil”. Gua pun
terdiam dan merasa kesal karena kakek itu mulai bercerita panjang tentang apa yang dia ketahui
tentang gua. Dan kakek itu sempat berkata “apa kamu masih ingin menjadi pahlawan super?”
Dan gua pun membalas “itu hanya masa lalu, jangan pernah mengungkit-ungkit masa lalu.
Pahlawan super itu nggak pernah ada, itu hanya ada di dalam komik saja dan nggak ada yang
namanya orang yang memiliki kekuatan super”. Kakek itu pun tertawa, gua pun bingung apa
yang sebenarnya yang kakek itu tertawakan. Gua bertanya “apa yang kakek tertawakan?” kakek
itu pun menjawab “hehehe menjadi seorang pahlawan bukan berarti kamu harus memiliki
kekuatan super, jiwa seorang pahlawan datang dari hati, muncul karena ingin menolong
seseorang yang dia sayangi. Kamu pikir, apa seorang guru bukan seorang pahlawan? apa seorang
polisi juga bukan seorang pahlawan? mereka adalah pahlawan sesungguhnya di dunia nyata.
Mereka membantu untuk merubah dunia juga. Seorang pahlawan bukan diukur seberapa kuat
mereka, tetapi seberapa peduli mereka dengan sekitar mereka.” Hati gua pun tersentuh
mendengar kata-kata kakek tersebut dan hanya dapat merenung. Disaat gua tersadar dari
renungan gua kakek tersebut telah hilang entah ke mana.
Keesokan harinya gua mulai menerapkan dan selalu mengingat apa yang kakek itu katakan.
Disaat gua pulang dari sekolah gua melihat ada seorang wanita yang sedang diganggu oleh tiga
orang pria. Tanpa gua sadari, kaki gua bergerak menghampiri wanita tersebut. Dengan cepat
disaat si pria itu ingin menampar si wanita tersebut dengan sigap gua menepis tamparan orang
tersebut. Salah satu orang itu berkata “lu siapa? Gak usah ikut campur urasan kita dah” gua pun
menjawab “kalo berani jangan sama cewek lawan gua” gua pun akhirnya berkelahi dengan tiga
pria tersebut. Walaupun gua babak belur yang penting wanita itu selamat.
Wanita itu pun bertanya pada gua “kamu siapa?” gua pun menjawab “gua Radit, lu?” “aku Mira,
ngomong-ngomong makasih ya udah nolongin aku tadi” “lu kenal sama orang-orang tadi”
“nggak kenal, tadi aku baru pulang sekolah eh tau-tau orang orang itu langsung godain aku” “oh
begitu, setidaknya lu sekarang sudah nggak apa-apa kan?” “nggak apa-apa kok” “ya udah gua
pergi dulu ya, bye” “bye, and thanks ya”. Gua pun langsung berjalan pulang.
Sejak hari itu, hidup gua mulai berwarna lagi. Gua jadi sering nolong orang apapun masalahnya.
Nggak peduli seberapa kuat gua, nggak peduli seberapa hebatnya gua, gua bakalan mencoba
menjadi pahlawan dengan gaya gua sendiri.

8
DANAU TINTA

Duduk di atas rumput tebal berwarna hijau. Memandang danau yang terlihat sangat luas. Suara
burung berkicau seakan sebuah melodi dalam lagu yang membuatku banyak terinspirasi. Meja
kecil berada di depanku dengan laptop yang seakan terduduk di atas meja kecil itu. Teknologi
semakin berkembang begitu pesat. Tak perlu pena atau kertas untuk menuliskan huruf demi
huruf yang sudah menumpuk di otak. Kini dengan benda canggih yang disebut laptop, kita bisa
mengeluarkan apa yang ada di otak maupun di hati kita merangkainya menjadi kata-kata Indah.
Beberapa paragraf sudah tersusun rapi, kata demi kata pun sudah terangkai indah di layar laptop
di depanku. Walau tak menggunakan pena lalu menggoreskannya pada kertas, dengan cara
menekan keyboard pada laptop itulah caraku menulis. Menulis banyak cerita pendek yang setiap
hari bahan ceritanya selalu memenuhi otak dan memaksaku untuk mengeluarkannya pada laptop
itu. Awal aku menyukai menulis dimulai sejak aku duduk di bangku kelas 10. Dimulai dari
pertama kali seorang sierra jatuh hati pada seorang pria yang yang bernama yusuf. Namun
cintaku tak berbalas. banyak orang yang menganggap kalau itu sangat menyakitkan. Ya itu
benar, karena sakit itulah aku mulai menulis apa yang menyakitkan itu, membuat karangan
cerpen dari kisah nyata itu, yang pada waktu itu berjudul “Bagai Tersenyum pada Angin”.
Dari SMA hingga sekarang duduk di bangku kuliah dengan jurusan Bahasa dan Sastra, tempat
yang selalu aku datangi adalah tempat dimana aku mulai menulis cerita-cerita pendek. Walau
aku berbeda dengan gadis-gadis seumuranku yang lebih banyak memegang atau membawa
handphone dari pada laptop, namun aku lebih menyukai laptop daripada handphone atau
smartphone walau massanya jauh lebih berat daripada handphone tapi aku rasa ringan jika
memang menyukainya. Gadis-gadis seumuranku lebih suka membuka instagram, line, bbm, wa
atau membuat banyak status galau pada facebook, apa artinya semua itu? Sedangkan Aku? Aku
lebih suka membuka microsoft word, menekan tombol-tombol keybord lalu merangkainya
menjadi kata-kata Indah penuh majas dan rima.
Sebelumnya aku merasa jenuh ketika sekolah, dimana aku tak seperti kakaku satu-satunya yang
bernama meri yang sangat pintar yang selalu mendapat prestasi ketika SMA. Tak satupun
prestasi bisa kuraih, setiap ulangan selalu remidial kecuali satu pelajaran yang rasanya tak pernah
kurang dari KKM yaitu pelajaran B. Indonesia. namun dengan menulis kejenuhanku hilang tanpa
syarat, walau kelebihan hanya setitik tinta pada kertas tapi setidaknya ada warna tinta pada kertas
itu tak membuatnya kosong seperti sebelumnya. Dulu ketika sd maupaun smp, cita-citaku ingin
menjadi seorang dokter, namun ketika aku mulai mendatangi danau itu cita-cita itu terganti
dengan cita-cita baruku yaitu menjadi seorang penulis. Impianku adalah membuat banyak novel
yang menginspirasi banyak orang, membangunkan yang tidur, menerangi yang gelap, mengisi
kekosongan ataupun membuat pelangi dalam awan hitam. Walau hanya satu novel yang berhasil
aku buat ketika duduk di bangku SMA, dengan judul yang mungkin banyak orang berkata
“membosankan” juga novel yang tak terlalu laku karena ya memang novel yang sama sekali tak
ada apa-apanya dibanding novel pengarang karya Asma Nadia, namun aku cukup bangga telah
menyelesaikan satu novel itu. Tak hanya terus menulis, doa pun selalu aku panjatkan di 1/3
malam terakhir, berdoa agar cita-citaku tercapai juga impian besarku bisa tercapai mulus tanpa
halangan dan rintangan yang menghalangi. Tak malu berkata kepada ayah dan ibu untuk
mendoakan aku agar menjadi seorang penulis. Tak banyak orang melakuan itu, tapi bukankah
meminta doa kepada orang tua terutama ibu itu baik bukan. Ibu dan ayahku kadang bercanda
dalam gurauan mereka, kadang berbicara “kemari penulis!” Atau kadang-kadang ayah bertanya
yang banyak orang menganggap pertanyaan yang sangat konyol namun bagiku bermakna banyak
arti, seperti “apa novelmu yang ke 17 sudah selesai dicetak?”.
Pertanyaan yang banyak orang menganggapnya sebagai pertanyaan konyol, kini menjadi
pertanyaan yang pantas diucapkan oleh banyak orang, bertanya tentang novelku yang ke-17.
Menyelesaikan 17 novel setelah lulus kuliah merupakan suatu kebanggan bagiku. Walau tak
sebagus dan sebaik karya Asma Nadia. Ke 17 novel itu hampir semua bagian kata per kata,
kaliamat per kalimat dan paragraf per paragraf kutulis di danau tinta. Aku sering menyebutnya
dengan danau tinta, karena Danau itu seakan tinta yang banyak tergores pada kertas duniaku, di
sanalah aku mulai menulis juga selanjutnya menulis 17 novel yang insyaallah menginspirasi
banyak orang. dan novelku yang 17 berjudul “danau tinta” terinspirasi dari tempat yang selalu
ku jadikan sebagai markasku untuk menulis.

9
KARENA RANGINANG UNYIL

Hening dan juga sepi.. tak ada suara musik ataupun suara dari televisi. Hanya ada suara Minyak
panas dan kompor yang menyala. Hari itu aku sedang menggoreng ranginang buatanku.
Ranginang yang berbeda dari ranginan biasanya, ukurannya lebih kecil. Berbicara soal
ranginang, makanan yang satu itulah yang membuat aku bisa bertahan hidup di kota kembang
Bandung tanpa bantuan dari orangtua di majalengka.
Setiap hari, aku menjual ranginang di kampus atau menitipkannya di kantin kampus dan juga
menitipkannya di warung-warung dekat tempat kostku. Aku memberi nama ranginang itu
dengan nama “Ranginang unyil” karena bulat kecil-kecil. Tidak seperti ranginang biasanya yang
lebih besar. Ranginang unyil ini mempunyai beberapa varian rasa diantaranya, original, pedas
balado, pedas, balado, jagung bakar dan juga rasa keju. Namun yang banyak digemari anak-anak
kampus, adalah rasa pedas. Awal usahaku tak mudah, mulai dari gagal membuat dan juga
jarangnya pembeli yang awalnya tak tahu kalau “ranginang unyil” itu enak, gurih dan renyah.
Karena waktu dan pengalaman, berkat kerja kerasku dalam mengembangkan ranginang unyil,
usaha kecilku itu bisa berkembang di kalangan mahasiswa di universitas tempat aku kuliah. Dan
alhamdulillah, berkat sukses mengembangkan usaha ranginang, aku bisa lulus kuliah di salah
satu universitas di kota kembang Bandung. Aku masuk jurusan fisika pendidikan.
Aku ingat sekali, Hari-hari kulalui dengan sulit, kadang telat masuk kuliah karena harus
menggoreng ranginang. Namun, usahaku tidak sia-sia. 3,5 tahun kuliah, akhirnya aku lulus.
Bahkan aku ingat masa-masa sulit tiga setengah tahun, saat aku tak punya uang, hanya sedikit
uang untuk beberapa hari dan modal pun menipis. jadi karena itu aku menjual handphoneku yang
jadul. Kujual ke konter dekat tempat kostku, dengan laku seharga 170 ribu. aku mengatur
sedemikian rupa agar uang 170 ribu itu bisa menambah modalku dalam usaha kecilku. Namun
alhamdulillah, dengan menjual handphone, bisa menambah modal dengan menambah bahan
yang berkualitas.
Karena aku menjual handphone, aku jadi tak bisa menghubungi ibu di majalengka. Sebelumnya,
aku mencatat no ibu di buku kecil milikku. Namun dengan kebetulan buku itu hilang. masa-masa
tersulit karena tak bisa menghubungi ibu, mau pulang ke majalengka pun uang tak ada. Hanya
doa yang mengiringi hidupku di kota kembang yang penuh tantangan dan rintangan hidup
seorang diri. Juga rangkaian doa selalu menggema di tempat aku shalat untuk ibu. jujur saja rasa
khawatir setiap hati menyelimuti diriku, khawatir ibu sakit, atau khawatir hal-hal buruk terjadi
pada ibu yang hanya tinggal berdua di Majalengka dengan adikku. Andaikan saja bapak masih
ada, mungkin aku tak akan ada di posisi sesulit ini, kuliah di kota kembang bandung, dengan
mencari uang sendiri untuk keperluan sehari-hari. Adapun beasiswa hanya untuk biaya kuliah,
memang selama kuliah tak pernah sedikitpun aku mengeluarkan biaya kuliah karena beasiswa
selalu kudapatkan setiap saat karena prestasiku.
Tiga tahun setengah masa sulitku, terbayar dengan satu hari terbaik dalam hidupku. Hari dimana
aku diwisuda. Waktu itu keadaanku sudah lebih baik, mendapatkan kembali buku kecil miliku
yang di dalamnya terdapat nomor ibuku tercinta juga dapat membeli handphone dari hasil usaha
ranginang unyil. Ibu dan juga keluarga dari majalengka datang ke bandung, untuk melihat aku
diwisuda. Walupun hanya ibu yang bisa masuk ke gedung melihat aku diwisuda secara resmi.
Wisuda berjalan lancar, bahkan sangat lancar. Tak kusangka ketika aku “Renita Melviany” yang
menjadi lulusan terbaik dengan nilai cumlaude. Seorang gadis dari kota Majalengka yang
berjualan ranginang setiap harinya menjadi lulusan terbaik dan nilai cumlaude. Senyuman
tergores di wajah ibu, ketika anak cikalnya dipanggil ke depan menerima bunga penghargaan.
Bukan hanya senyuman tangisan senang pun mengalir mulus di wajah tuanya.
Tak ada yang tidak mungkin, lulus kuliah tanpa membayar biaya juga memenuhi kebutuhan
hidup tanpa membebankan ibu di majalengka. Dengan menjual ranginang yang aku beri nama
“rangiang unyil” aku dapat menyelesaikan kuliah. Walau masa-masa sulit menghiasi hari-hari
selama tiga tahun setengah namun terbayar sudah ketika bunga penghargaan berada di tangaku

10
BU RAHMA

“Anak-anak, apa cita-cita kalian setelah dewasa nanti?” “Aku mau jadi dokter Bu.” “Aku polisi.”
“Aku ingin jadi pilot.” “Bagus anak-anak. Sekarang Ibu ingin tanya, siapa di antara kalian yang
ingin menjadi guru?” Dan kelas pun hening.
Kenangan itu masih jelas kuingat hingga sekarang. Setidaknya, hanya itu kenangan yang aku
ingat saat aku TK dulu. Kenangan sekolah masa kecilku bersama Bu Rahma, guru kelas di TK
tempat aku bersekolah, 14 tahun yang lalu. Ya, 14 tahun yang lalu…
Kini, aku adalah seorang karyawati di salah satu perusahaan pengembang perumahan di Jakarta.
Dan di sela-sela kesibukanku, aku menyempatkan diri menjadi seorang relawan pendidikan.
Aku menjadi relawan pendidikan tanpa paksaan dari siapapun. Semua bermula dari seorang anak
jalanan yang masih menyempatkan diri untuk belajar di sela-sela kegiatannya menjadi pengemis
lampu merah. Kulihat dari kaca mobilku, dia sangat serius dalam belajar, hingga suatu hari aku
mencoba menyepi dan sedikit bercengkrama dengannya.
“Kamu baca buku apa?” Tanyaku. “Aku baca buku matematika, Kak.” Jawabnya “Kamu
sekolah? Sekolah di mana?” Tanyaku bingung. Anak jalanan sepertinya biasanya tidak sekolah.
Bagaimana ia bisa sekolah sedangkan ia dari pagi hingga malam ada di jalanan?
“Aku sekolah tiap Sabtu dan Minggu Kak.” Jawabnya “Di Rumah Singgah.” “Rumah Singgah?
Dimana?” Tanyaku. “Boleh gak Kakak ikut kamu ke sekolah Sabtu-Minggu nanti?” Aku sangat
ingin tahu. Apa yang dilakukan mereka di rumah singgah dan bagaimana mereka belajar disana.
Kami pun setuju untuk bertemu di persimpangan jalan ini lagi Sabtu pagi nanti.
Hari yang aku nantikan itu tiba. Aku pun datang ke persimpangan itu. Anak itu sudah
menungguku dengan membawa buku dan alat tulis seadanya. Kami pergi ke rumah singgah
dengan mobilku. Setelah sampai disana, kulihat pemandangan yang menakjubkan. Banyak anak-
anak berpakaian lusuh membawa alat tulis dan buku di tangannya. Kulihat raut wajah mereka
yang sangat bersemangat untuk bersekolah. Aku berjalan-jalan di rumah singgah itu, namun…
Kulihat seseorang yang sangat familiar. Seorang guru yang sedang mengajar matematika di suatu
kelas di rumah singgah itu. Tidak salah lagi, beliau adalah Ibu Rahma. Aku menunggu beliau
menyelesaikan kelasnya. Saat kelas selesai dan anak-anak jalanan itu beranjak pulang, aku pun
menghampiri Ibu Rahma. “Maaf, apa Ibu ini Ibu Rahma? Yang 14 tahun lalu mengajar di TK
Mulia Asri?” Tanyaku. “Iya, benar. Maaf, Non ini siapa ya?” Tanyanya. Aku pun
memperkenalkan diriku padanya. Kemudian Ibu Rahma mengajakku ke ruangannya.
“Tidak terasas sudah 14 tahun berlalu. Saya bahkan tidak mengenalimu.” Ibu Rahma membuka
pembicaraan. “Saya tidak menyangka kamu masih mengenali saya, Anita.” Lanjutnya. “Saya
selalu mengingat Ibu. Bahkan tentang apa yang Ibu tanyakan saat aku masih kecil dulu.”
Jawabku “Tentang siapa yang ingin menjadi guru di kelasku, namun tidak ada satu pun yang
menjawabnya.”
Bu Rahma tertawa kecil. “Setiap cita-cita bagus, Anita. Cita-cita haruslah menjadi motivasi dan
tujuan bagi anak-anak dan berguna bagi kehidupan manusia.” Jawabnya “Namun, anak-anak ini,
mereka bahkan tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Saya
sangat sedih dengan nasib mereka.” “Saya juga sedih dengan kehidupan anak-anak di jaman
sekarang ini.” Lanjutnya “Mereka yang mendapat kesempatan untuk bersekolah, justru
menggunakannya dengan cara yang salah; mereka tawuran, memakai narkotika, bolos sekolah,
bahkan tak jarang orangtua mereka tak peduli dengan perkembangan pendidikan anak-anaknya.
Ini sangat menyedihkan. Inilah tugas kita bersama -orang tua dan guru- untuk menyadarkan
mereka dan mengembalikan mereka ke jalan yang benar” “Saya sudah mengabdikan diri untuk
pendidikan Indonesia hampir selama 30 tahun. Sungguh, menjadi guru tidaklah gampang.
Tanggung jawab seorang guru adalah mendidik anak muridnya agar menjadi anak yang berguna
untuk orang banyak dan berbakti pada Bangsa dan Negaranya. Agar sang anak mengetahui yang
benar dan salah, dan dapat bertoleransi dengan perbedaan di sekitarnya. Inilah tugas pokok
seorang guru, bukan hanya mengajarkan, tapi juga mendidik.” Aku tertegun mendengar curahan
hatinya. Saat inilah yang membuatku menyadari misi kehidupanku sebenarnya; untuk menjadi
guru yang mendidik anak muridku agar berguna untuk Bangsa dan Negaranya.

11
12

Anda mungkin juga menyukai