Anda di halaman 1dari 6

Jepang

“Maaf, bu. Ini sudah panggilan ketiga kali dari pihak sekolah karena sikap anak ibu
yang dianggap tidak sopan.”
Ya, aku rasa bukan yang ketiga kalinya. Aku rasa ini panggilan yang sudah kesekian
kalinya. Mataku menerawang langit-langit ruang kepala sekolah dengan nanar ketika kepala
sekolah mulai menjelaskan perihal panggilan kepada orang tuaku. Kali ini aku tidak terlalu
gugup karena ruang kepala sekolah hampir setiap bulan menjadi tempat singgahku. Ya, untuk
apalagi? Ada saja panggilan pihak sekolah sebagai teguran perihal kenakalanku di sekolah.
“Kali ini, apa yang dilakukan anak saya?” Tanya mama.
“Ada keluhan dari salah satu guru ketika event ulang tahun sekolah bulan lalu.”
Awalnya aku tidak menyadari bahwa sikapku saat event itu sangat menyinggung bu
Yuni, salah satu guru bahasa Indonesia di kelasku. Ya, bulan lalu, SD kami melaksanakan
acara dalam rangka ulang tahun sekolah. Acara itu dilaksanakan di salah satu tempat wisata
pantai terkenal di kotaku. Saat itu, aku bersama teman-teman sedang bermain bola voli.
Selang satu jam berlalu, kami memutuskan untuk beristirahat dan membeli jajanan diwarung
dekat lapangan voli. Sambil bernyanyi kami saling melemparkan lelucon, “Zun, sebutkan
nama buah dalam satu detik?” Tanya Lili antusias.
“Ah, mana bisa? Cuma satu detik?” aku berhenti sambil berpikir.
“Kamu teraktir aku kalau jawabannya salah.” Goda Lili.
“Ah, kamu. Pepaya, nenas…” belum selesai aku menjawab, “Tet, waktu habis.” Lili
tertawa, tahu ia akan mendapat makan gratis hari ini. Dasar.
“Nak”, tiba-tiba salah satu guru yang sedang duduk didekat pohon memanggil. “Bu
Yuni memanggil kita.” Bisik Lili. Aku pikir awalnya bu Yuni sedang memanggil salah satu
anak dibelakang kami.
“Li, aku lapar” aku mencoba kabur. Tapi Lili menarikku mendatangi bu Yuni. Ya,
sahutanku ketika itu memang sangat tidak sopan. Aku baru menyadarinya, karena ketika itu
aku sangat kesal dan terucap kalimat kasar itu.
“Nak, tolong buangkan sampah plastik ini.” Bu Yuni tersebut menyodorkan sampah
gelas plastik dan Lili menyambutnya. Aku lihat tempat sampah tidak jauh dari tempat bu
Yuni duduk, “kamu ini mau-maunya” bisikku. “Sebentar saja, sehabis ini kita langsung
makan”, balas Lili. Aku yakin aku memelankan suaraku saat itu, tapi mungkin bu Yuni
mendengarnya dan tersinggung. Jadi beliau melaporkan kejadian ini sebagai teguran atas
sikapku yang tidak sopan. Ya, meskipun tidak bermaksud menyakiti hati beliau, aku juga
mengakui kesalahanku.
“Zun, sudah mama bilang beberapa kali. Kamu harus sopan dengan siapapun itu
terlebih guru kamu. Kamu juga sekarang kelas 6 SD, sebentar lagi masuk SMP. Mulai
dewasalah bersikap.” Nasihat mama sehabis keluar ruang kepala sekolah. Ya, aku memang
terkenal sebagai anak yang sangat nakal dan tidak sopan. Selain faktor teman-temanku yang
kasar dan ceplas ceplos, itu juga karena aku selalu ingin tahu sesuatu hal yang kurasa harus
dicoba, ya membolos sekolah, menyembunyikan sepatu teman dan banyak kenakalanku yang
lain. Tapi aku pikir itu masih dalam batas wajar sebagai anak SD yang beranjak remaja.
Ah, iya, aku juga dikenal tidak berprestasi di bidang akademik. “Kamu memang besar
mau jadi apa? Kamu harusnya rajin belajar supaya bisa seperti teman-teman yang lain, yang
beprestasi” kata Pak Taufik, wali kelasku. Ketika SD aku tidak begitu mementingkan belajar
dan lebih banyak bermain.
Ketika hari kelulusan ujian nasional, Alhamdulillah aku lulus dengan hasil yang cukup
memuaskan dan langsung mengikuti ujian seleksi salah satu SMP berstandar internasional.
Yang aku tahu, sekolah itu berbasis Bahasa Inggris. “Jujur saja aku tidak yakin kamu akan
lulus seleksi sekolah internasional itu”, celetuk Safira, salah satu teman kelasku yang terkenal
berprestasi dan juga mengikuti seleksi sekolah itu. Aku diam saja. Ya, aku hanya ingin
mencoba saja. Sebenarnya aku tahu aku sangat buruk semua hal yang berkaitan dengan
bahasa Inggris, aku pastikan selalu remedial ketika ujian bahasa Inggris saat duduk di bangku
SD.
Hari ini, mama mengantarku ujian seleksi dan sesekali menungguku diluar, ujiannya
berlangsung selama kurang lebih 5 hari. Ya, aku kurang yakin hasil dari beberapa ujian yang
berbahasa Inggris, tapi aku yakin hasil dari ujian komputerku cukup menutupi kekurangan
nilainya.
“Mama tidak yakin kamu akan lulus seleksi di sekolah ini..” aku terkejut ketika mama
tiba-tiba berkata seperti itu. Aku diam dan mencoba berpikir positif, mungkin mama hanya
takut jika aku tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan yang mengharuskanku untuk selalu
menggunakan bahasa Inggris.
“Disini full Bahasa Inggris, memangnya kamu bisa?” sindir mama. Bahkan mamaku
saja mengatakan hal itu. Aku menarik napas dalam. Aku yakin aku bisa bersekolah disini dan
aku memang ingin bersekolah disini, lirihku. Ya, dari sini aku belajar, tidak ada yang bisa
menyemangati sekalipun itu keluargamu yang bahkan sudah bersamamu sejak kamu lahir.
Semuanya tergantung padamu, jika kamu berani berkeinginan, aku yakin kamu pasti bisa.
Hari pengumuman seleksi pun tiba, hari yang paling kutunggu. Mama menyuruhku
menunggu saja dirumah. “Nanti kamu sakit hati kalau tau gagal,” celetuk mama. Kurang lebih
dua jam aku menunggu, mama bahkan tidak memberi kabar apapun melewati telepon. Aku
khawatir kalau apa yang dikatakan orang-orang memang benar. Aku memang ditakdirkan
gagal untuk sesuatu yang luar biasa. Ketika itu, aku hanya pasrah kepada keputusan Tuhan.
“Jikapun aku gagal dalam seleksi ini, mohon lapangkan dadaku untuk menerima
keputusanmu dan gantikanlah dengan sesuatu yang lebih baik.” Pintaku dalam hati.
“Zun” tiba-tiba mama masuk kamar, “Zun lulus kan?” godaku. Mamaku tertawa.
“Kayaknya Tuhan selalu mendengarkan doa kamu. Ya, lulus, peringkat terakhir”, aku tertawa.
Tidak lama dari pengumuman kelulusan seleksi itu, esoknya aku kembali ke SD untuk
mengambil ijazah. Pulangnya, aku bertemu Safira dan yang lainnya. “Safira, bagaimana hasil
seleksi kemarin?” Tanya Dena, salah satu sahabat Safira. “Gagal”, Safira langsung
menatapku, “Aku dengar kamu lulus. Orang tuamu bayar berapa sampai kamu bisa lulus?”
Safira terkekeh. “Ayahku sudah menjemput, aku pulang duluan ya” aku berbalik arah dan
lekas meninggalkan Safira. Ah, ya, seperti itu lah manusia. Dari sini aku belajar agar tidak
boleh meremehkan orang lain. Aku lulus seleksi itu murni karena doa dan usaha. Ada-ada
saja.
Tidak terasa sudah tiga tahun aku bersekolah di SMP yang membanggakan ini. Setiap
tahunnya aku menerima gelar sebagai siswa berprestasi dan peringkatku stabil tiga besar. Aku
berhasil mempertahankannya hingga lulus. Bahkan pada awalnya, kedua orang tuaku tidak
yakin nilai yang tertera di rapotku. Ya, siapa sangka seorang perempuan yang tidak pernah
dipercayai akademiknya bisa sehebat ini. Ini tentu karena berkah Tuhan, doa orang tua dan
yang pastinya semangatku untuk dapat membuktikan bahwa aku benar, aku bisa melampaui
batas yang ditetapkan orang lain padaku. Aku lulus dengan hasil yang sangat memuaskan dan
berhasil membawaku lanjut ke salah satu SMA terkenal dan terfavorit di kotaku. Disana aku
juga dapat mempertahankan prestasiku. Banyak kegiatan bidang akademik yang aku ikuti.
Tapi ada satu hal yang menarik perhatianku, beasiswa ke Jepang.
Oh ya, aku masuk kelas IPA ketika mengikuti ujian seleksi jurusan di SMA tersebut.
Dan salah satu kelas tambahannya memberikan kelas Bahasa Jepang. Jujur saja, aku belum
pernah mengenal bahasa Jepang sebelumnya, ya aku tidak pernah tertarik untuk mempelajari
bahasa Jepang. Aku pikir bahasa Jepang sangat susah, awalnya. Tapi ternyata memang benar
ada salah satu pernyataan, semua mata pelajaran itu tergantung siapa yang mengajar. Guru
bahasa Jepang dikelasku bernama Yulia sensei. Dalam bahasa Jepang, sensei digunakan
sebagai kata ganti guru. Kalau biasanya di Indonesia kita memanggil guru dengan sebutan
ibu, bapak dan sebagainya. Kalau bahasa Jepang, panggilan itu disamakan menjadi sensei.
Aku dan Yulia sensei sangat dekat. Tidak jarang kami saling berbagi pengalaman
masing-masing. Aku berbagi pengalamanku dalam mengikuti ajang olimpiade. Yulia sensei
membagi pengalamannya sebagai guru bahasa Jepang dan sering sekali berpergian ke Jepang,
karena beliau juga menjabat sebagai guru di Negara sakura itu. Ya, aku sangat mengagumi
beliau. Sangat.
Ketika kelas bahasa Jepang berakhir dan satu per satu siswa pulang. Hanya tersisa aku
dan Yulia sensei. Biasanya aku selalu menggodanya, “Sensei hari ini cantik sekali”, aku
tersenyum. Nyatanya bukan maksud menggoda, tapi itu adanya. Beliau sangat cantik sekali,
meskipun umur beliau kepala tiga. Beliau tersenyum, “Zun, sensei ada tawaran beasiswa ke
Jepang. Sensei rasa level bahasa Jepangmu sudah lumayan untuk dapat berkomunikasi dengan
orang Jepang disana. Untuk pelajaran bahasa, lebih baik langsung di praktekan saja.”, sambil
merapikan meja kelas, aku tersenyum. Ya, apa alasan aku untuk menolak kesempatan ini?
“Sensei, Zun belum pernah mengikuti beasiswa sebelumnya.”
“Tenang saja, Sensei bawa formulir untuk pendaftarannya. Zun bisa kumpulkan
formulir esok pagi ke meja sensei.” Ia tersenyum. Jujur saja, Yulia sensei sangat cantik sekali
ketika tersenyum.
Malamnya, seperti biasa. Aku mengerjakan beberapa tugas sekolah. Aku sempat lupa
formulir beasiswa itu jika saja formulir itu tidak terjatuh saat aku mengambil salah satu buku
pelajaran di dalam tas.
“Ah, formulir ini” aku menatap formulir itu sejenak. Ada keraguan, aku belum siap jauh
dari orang tuaku jika saja aku benar-benar lulus seleksi beasiswa ini.
“Tapi ini kesempatan yang luar biasa. Jepang? Negara yang sejuk, damai. Ya setidaknya
itu yang kutau tentang Jepang” lirihku, berbicara sendiri. Aku tersenyum.
Klek. Aku mencoba menuliskan biodata diri dan menjawab beberapa pertanyaan pada
lembar formulir itu. Selesai kuisi penuh, “Ah kuharap ini bukan hanya mimpi disiang bolong.
Aku benar-benar ingin ke Jepang”, gumamku.
Esok paginya, aku memasuk ruang Yulia sensei. Sesuai dengan permintaan beliau kalau
formulirnya langsung saja diletakkan diatas meja. Yulia sensei belum datang saat itu, karena
memang aku terlalu pagi datang ke sekolah. Seminggu berlalu, ketika masuk kelas bahasa
Jepang. Yulia sensei menghampiriku, “Hasil seleksi berkas akan diterbitkan esok hari. Sensei
yakin Zun masuk. Setelah itu kita akan belajar untuk seleksi wawancara dan presentasi”,
Yulia sensei menyakinkanku. Aku hanya tersenyum. Semoga saja terkabul.
Akhirnya hari pengumuman seleksi berkas tiba. Cukup menegangkan karena aku belum
sama sekali menerima email hingga jam dua siang ini. Ting!
Aku lulus! Kubaca seleksi wawancara akan dilaksanakan dua hari yang akan datang,
tepatnya hari minggu. “Sensei harus tahu”, aku mengetik pesan untuk sensei.
“Sensei pasti senang”, harapku.
Tepat hari jum’at, sensei memintaku untuk persiapan wawancara bahasa Jepang, mulai
dari perkenalan berbahasa Jepang hingga penutup untuk presentasiku nanti.
“Jangan terlalu tegang, sensei yakin Zun bisa. Sensei mendukung Zun, cahyo!” kami
saling berpelukan. Aku senang bisa mengenal seorang sensei seperti beliau. Hanya satu
langkah lagi mimpiku terwujud. Aku akan ke Jepang.
Hari minggu tiba, semua peserta seleksi menunggu di ruang khusus menunggu.
Setelahnya, kami akan dipanggil satu per satu untuk memasuki ruangan yang berbeda-beda.
Aku tidak sabar memasuki ruangan presentasi. Dengan satu buah flashdisk berisikan materi
ditangan kananku, “Ayo Zun, satu langkah lagi”, aku menghela napas.
Wawancara di ruang pertama dan kedua tidak begitu menegangkan, tapi melihat pintu
ruang presentasi begitu menenggangkan. Semua peserta dikumpulkan dan setelahnya
dipersilahkan memasukki ruangan presentasi, semacam ruangan teater.
“Zun, ingat, pesan sensei, kamu pasti berhasil hari ini”, tiba-tiba seseorang mengelus
pundakku ketika aku menatap panggung dengan dingin. Satu per satu peserta dengan wajah
yang lega ketika menuruni panggung. Aku mencoba tersenyum menerima semangat sensei.
“Minna-san, konichiwa. Hajimemashite! …” dengan tenang aku mempresentasikan
materi yang kubawakan hari ini. Seluruh tatapan peserta lainnya dan tentunya juri membuatku
yakin aku benar-benar akan ke Jepang. Aku menutup presentasi dengan senyuman. Ku lihat
sensei berdiri sambil bertepuk tangan, senyumnya mengembang begitu bangganya ia
menatapku seperti itu.
Hasil seleksi wawancara dan presentasi akan langsung diumumkan sehabis sesi
presentasi. “Berakhirlah acara kita hari ini. Hasil seleksi hari ini sudah dapat di unduh di
website kami, untuk nama yang tertera bisa langsung konfirmasi ke panitia di depan ruangan.
Untuk yang belum beruntung, kami harap ini akan menjadi pengalaman yang luar biasa untuk
kalian. Kami yakin kalian luar biasa dan tentunya terbaik, hasil seleksi tidak menentukan
masa depan kalian”, MC mencoba menyemangati. Aku langsung membuka website , sensei
yang duduk disampingku terlihat antusias menunggu. “Ah, mana ya?” aku mencari nama
peserta yang lolos dengan sabar. Dan, Aku akan ke Jepang! Aku lulus ! Aku dan sensei
berpelukan, “Sensei yakin Zun. Dari awal!”, Sensei tersenyum lebar.
Dengan koper merah muda ditangan kanan dan telepon genggam di tangan kiri, aku
menghela napas panjang, “Jepang, aku datang!”
Biodata Penulis

Nama Lengkap : Nur Azizah


Alamat : Jl.HKSN Komplek Herlina Blok A Jalur 2 No.46,
Banjarmasin
Email : nurazizah.skmmph@gmail.com
No.telp aktif : 082250553678
No. Whatsapp : 082250553678
Instagram : msznxx

Anda mungkin juga menyukai