Anda di halaman 1dari 6

AMBISIOUS

Pagi hari yang cerah, matahari bersinar begitu indah yang seakan telah menyuruhku
untuk segera bangun dari tempat tidur ini. “Hoaammm”. Itulah kata pertama yang selalu ku
ucapkan setiap kali ku bangun dari tempat tidur ini yang bagaikan surga bagiku. Kurapihkan
tempat tidur ini dan segera mandi untuk membersihkan badanku ini.
Aku bergegas untuk persiapan pergi ke sekolah untuk menuntut ilmu demi masa depan
ku yang secerah matahari di pagi ini. Telah aku bulatkan tekadku untuk menuntut ilmu pagi ini
dan akan kutunjukan pada dunia siapa aku sebenarnya. “Kriiinggg”. Suara Handphone ku tiba-
tiba bergetar. Ternyata temanku menelepon. “Sit, kamu dimana?” Tanya sahabatku. “Aku
sudah di jalan ko tunggu saja kita bertemu di depan gang yang biasa kita lalui ya”. Soni adalah
salah satu sahabatku yang selalu berangkat bersama ke sekolah. Sudah sejak kecil aku
mengenal Soni dan dia merupakan anak yang penyayang dan memiliki cita-cita yang tinggi.
Namun sayang di balik sisi positifnya itu dia merupakan anak yang berasal dari keluarga yang
kurang mampu sehingga setiap dia kekurangan sesuatu aku selalu membantunya sebisa ku
karena Soni sudah ku anggap sebagai saudaraku. Setelah sekian lama aku berjalan akhirnya
sampai juga di tempat aku dan Soni bertemu. Terlihat Soni terdiam seperti tengah memikirkan
sesuatu di bawah tiang listrik itu. “Son, apa kamu baik-baik saja?” Tanyaku yang
mengkhawatirkan Soni. “Tidak ada apa-apa kok Sit, aku tadi hanya melihat anak kucing yang
terluka namun aku sedih tidak dapat menolongnya”. Melihart wajah Soni yang terlihat sedih,
aku pun mencoba menghiburnya semampuku sembari menyusuri pesawahan yang
membentang luas di sepanjang jalan.
Akhirnya setelah sekian lama berjalan, sampai juga di sekolah.”Tungguuuu”. Suara
teriakan itu membuatku terkejut hingga sekujur badanku bergetar. Kulihat sumber suara itu
ternyata itu adalah Sifa teman sebangku di kelas. “Sit, apa kamu tidak dengar teriakanku tadi
hahhh?” Ucap Sifa dengan nada seperti yang sedang memarahi ku. “Tenang dulu sif,
sebenarnya kamu kenapa si ko seperti bukan kamu yang biasanya.”Ucap ku keheranan. “Kamu
kok tidak mengajakku pergi bersama kalian ke sekolah si? Apa jangan-jangan kaliaan....” Ucap
Sifa menggoda ku. Namun aku tidak menghiraukan ucapannya dan melanjutkan untuk pergi ke
ruangan kelas. Suasana sekolah pagi itu begitu tentram dan damai, tidak terlihat sediktpun
murid yang melanggar aturan dan mereka begitu ramah. Mungkin itu karena didikan para guru
yang mengajari mereka bagaimana sopan santun dan pentingnya menaati semua peraturan
yang ada dimanapun dan kapanpun, peribahasa mengatakan dimana bumi dipijak, di situ langit
di junjung. Sesampainya di kelas, aku disambut teman sekelasku. Di kelas ini aku mempunya
beberapa sahabat dekat yaitu Sandra, Sifa, Sandi, dan Soni. Setiap hari kita melalui berbagai
macam suasana di kelas ini bersama-sama baik sedih, senang kita rasakan bersama. Sandra
merupakan anak yang pintar namun dia berasal dari keluarga yang kurang mapu seperti Soni,
dia juga mudah dendam kepada orang. Sifa merupakan teman sebangku yang pintar dalam
berbagai bidang sehingga aku kagum pada Sifa, selain itu Sifa merupakan anak yang memiliki
pendirian yang teguh sehingga tidak mudah goyah, walaupun Sifa berasal dari keluarga yang
mampu namun Sifa tetap berpenampilan sederhana, Sifa juga senang membantu siapapun yang
sedang membutuhkan bantuan. Sandi merupakan seorang yang pemberani, tidak ada
seorangpun yang dia takutkan namun terdapat sisi yang kurang baik yaitu Sandi yang berasal
dari keluarga yang kaya sehingga dia memiliki sifat yang angkuh dengan kekayaan yang
dimilikinya. Terakhir Soni merupakan anak yang penyayang, selain itu Soni memiliki cita-cita
yang tinggi, yaitu menjadi seseorang yang sukses sehingga dapat mengangkat derajat
keluarganya yang kurang mampu dalam hal materi.
Hari ini, di sekolah ini semua siswa tengah menuntut ilmu demi menggapai masa depan
mereka masing-masing. Semuanya memiliki tujuan dan harapan yang berbeda. Memang sudah
menjadi sifat manusia yang menginginkan kesuksesan dan mendapatkan harta yang melimpah,
Namun semua itu tidak berarti jika saat ini tidak bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu
karena nantinya hanya penyesalan yang tersisa. “Ting Tong Ding Dong”. Suara bel berbunyi
membelah kesunyian kelas yang menandakan waktu istirahat telah tiba. Semua orang seperti
sudah terhipnotis dan mereka segera mengunjungi setiap kantin sekolah satu persatu. “Sit, ayo
kita pergi ke kantin”. Ajak Sifa dengan wajah pucat seperti seorang yang tengah kelaparan. “Kita
ajak juga yang lainnya”. Aku mengajak temanku yang masih tersisa dan segera pergi ke kantin.
Aroma makanan kantin yang begitu wangi membuat perutku semakin memberontak ingin
segera memakan itu semua.
Sekian lama menunggu, akhirnya makanan incaranku telah ku dapatkan. “Wahh,
kelihatannya enak ya.” Ucap Sandra sembari terlihat sedikit iri, maklum saja dia hanya diberi
uang jajan yang terbatas karena keluarganya kurang berkecukupan. “Ini San, apa kamu
mau?”.”Apa boleh aku minta sedikit?””Boleh saja San, kita kan sahabat” Jawabku sembari
tersenyum kepadanya. Memang, di dunia ini kita hidup tidak semuanya terlahir menjadi kaya,
namun berkat itu semua orang dapat berusaha menjadi orang kaya dengan cara mereka
masing-masing. “Ternyata kalian disini.” Ucap Sandi sembari menghela nafas. “Sini-sini kita
makan bersama” Ajakku kepada Soni. Selang beberapa lama kita habiskan waktu untuk
berbincang-bincang dan bercanda ria bersama dikantin. Namun aku merasakan ada sesuatu
yang kurang, aku pun melihat sekeliling. Ternyata ada satu orang yang ku kenal tidak pergi ke
kantin yaitu Soni. “Hey apa kalian melihat Soni di kantin?””Tanya ku “Soni ada di kelas” Jawab
Sandi dengan nada cuek. “Kenapa kamu tidak ajak Soni untuk makan bersama kita di kantin?”
Tanyaku pada Sandi. “Aku ga sudi untuk pergi bersama anak orang gak mampu ke kantin.”
Jawab Sandi dengan angkuhnya. “Kenapa kamu besikap begitu pada Soni? Apa kamu juga
mengaggap kita semua miskin?” Tanyaku dengan nada keras hingga semua orang memandangi.
“Sabar Sit, jangan sampai emosi seperti itu.” Aku terbawa suasana karena tidak suka melihat
seseorang merendahkan derajat seseorang hanya karena kekayaan yang dia miliki. “Baiklah
maafkan aku, kalau begitu sebagai permintaan maafku aku belikan makanan untuk Soni.” Jawab
Sandi. Semua masalah yang selalu muncul dalam persahabatan kami ini sudah sering terjadi.
Memang, sebuah persahabatan jika tidak mengalami sebuah masalah itu tidak akan membuat
persahabatan itu teruji, namun dengan adanya masalah semua itu dapat dijadikan sebagai
cerminan bagi kita semua untuk lebih baik kedepannya. “Ting Tong Ding Dong”. Bel masuktelah
berbunyi. Semua orang kembali ke kelasnya masing-masing untuk menerima ilmu selanjutnya.
“Son, ini makanan untukmu, barangkali kamu lapar.” Soni memberikan makanan yang dibelinya
untuk Soni. “Apa ini untukku? Aku ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya, maaf bila aku
sudah merepotkan mu.” Soni menerima makanan itu dengan wajah bahagia.
Pelajaran selanjutnya adalah salah satu pelajaran yang paling sulit bagiku yaitu
matematika. Untuk mengerti satu hal saja dari pelajaran ini butuh setidaknya satu minggu
bagiku untuk memahami suatu materi didalampelajaran matematika ini. Namun berbeda
dengan diriku yang lemah terhadap pelajaran matematika, sebaliknya Sandra merupakan
seseorang yang terlihat paling aktif di dalam pelajaran matematika ini. Setiap kali ujian
matematika, Sandra selalu mendapat nilai terbaik di kelas ini. Aku kagum pada Sandra, sesulit
apapun dia mengerjakan soal matematika, dia tidak akan mudah menyerah dan selalu mencari
solusi dengan bertanya dan mencari informasi di setiap buku yang menjelaskan sola tersebut.
Meskipun ada hal yang ku kagumi dari dia, adasatu hal yang aku kurang suka dengan sifatnya
yang mudah dendam jika ada sesuatu hal yang menyinggung dia. Penah pada suatu hari ada
seseorang yang telah menghilangkan buku catatan pribadi miliknya, hingga saat ini seseorang
yang menghilangkan buku catatannya itu tidak pernah mendapat kata maaf dari Sandra, dan
dia selalu mengingat akan hal itu. Di keheningan pembelajaran ini, aku bertanya pada diriku
sendiri. “Apa jadinya jika semua orang pintar dalam berbagai macam hal terutama dalam
pelajaran matematika ya?” Pertanyaan bodoh itu muncul di benakku ketika guru sedang
menjelaskan materi yang aku tidak mengerti sedikitpun.
Tidak terasa semua pembelajaran hari ini sudah selesai, semua siswa di kelas
mengucapkan terimakasih kepada guru yang telah mengajar kami pada hari ini. “Ayo Sit, kita
pulang bersama”. Setiap hari memang aku bersama Sifa selalu pulang bersama. Selama
diperjalanan aku dan Sifa membahas mengenai apa saja yang sudah terjadi pada hari ini. “Aku
masih kepikiran mengenai si Sandi yang menganggap seseorang miskin apa itu tidak
berlebihan?”. Tanyaku pada Sifa “Memang sudah menjadi sifatnya seperti itu, aku sudah kenal
lama dengan Sandi, dia orangnya memang seperti itu dari dulu.” Memang, jika seseorang di
didik dengan kemewahan dan tidak diajari dengan tata krama, semua itu terlihat sia-sia. Tiba-
tiba aku teringat sesuatu bahwa sebentar lagi kita akan segera melaksanankan ujian nasional
dimana itu menentukan masa depan kita. “Sif, apa kamu sudah menyiapkan diri untuk
menghadapi ujian nasional?””Ohhh iyaa, aku baru ingat, aku akhir-akhir ini terlalu santai
sehingga lupa pada hal itu.” Jawab Sifa dengan wajah kaget. Aku berpikir sebaiknya kita harus
segera mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian nasional. “Aku punya ide, bagaimana kalau
kita membuat kelompok belajar?” Ide cemerlang tiba-tiba muncul dari benakku. “Ide yang
bagus kalau begitu kita pikirkan besok dan kita ajak teman kita yang lainnya”. Setelah beberapa
lama berjalan toba saatnya aku dan Sifa untuk berpisah karena jalan menuju ke rumah kita
masing-masing berbeda. Namun, belum lama aku berpisah dengan Sifa, ada seseorang yang
tiba-tiba menghadangku. “Halooo, kamu mau kemana, bagi duitmu cepat”. Perasaanku campur
aduk saat itu aku tidak tahu harus berbuat apa. “Ngapain kamu melamun? cepet bagi
duuiiiiiii…..”. “Woyy, kalau berani jangan sama perempuan sini berantem.” Suara itu seperti
tidak asing bagiku. Saat itu aku masih belum mengenali wajahnya namun yang ku dengar
hanyalah suara motornya yang bergemuruh membelah kesunyian senja. Mendengar teriakan
itu, seseorang yang tadinya ingin memalakku kabur dan lari terbirit-birit ketakutan. Setelah
pemalak itu kabur ku coba untuk melihat seseorang yang telah menolongku. Ternyata benar
orang yang telah menolongku adalah Sandi. “Apa kamu baik-baik saja?” Tanya Sandi
mengkhawatirkanku.”Aku tidak apa-apa, terimakasih telah menolongku”. ”Ayo sini naik aku
antar pulang, bisa-bisanya perempuan sepertimu jalan sendirian padahal kamu anak orang kaya
sama sepertiku.” Ucap Sandi dengan nada angkuhnya. Namun walaupun dia berkata seperti itu
aku sudah terbiasa dengan sifatnya yang seperti itu sehingga aku tidak mudah tersinggung
seperti sebelum-sebelumnya.
Sampailah aku di depan pintu gerbang rumahku ini. Ku bayangkan bagaimana rencana
mengenai hari esok yang belum pasti. Apakah semuanya akan lancar ataukah akan ada halang
rintang. Entahlah hanya waktu yang dapat menjawab itu semua. Badanku serasa sudah tidak
karuan, hingga tidak sadar aku pun terlelap setelah sesampainya aku di atas tempat tidurku.
Entah apa yang ku lihat ini namun rasanya ini seperti nyata, di alam mimpi ini ku melihat
sahabatku yang seperti saling bertengkar mempermasalahkan sesuatu. Apakah ini sebuah
firasat yang kudapat ketika ku tertidur. “Kriiiingggg”. Jam berdering begitu keras hingga
membuat badanku terbangun seketika dari tidur lelapku. Seperti hari-hari biasa, aku
membereskan tempat tidur, membersihkan badan, lalu membuat sarapan. Entahlah apa
memang hiduoku ini hanya sebuah rekaman ulang atau apa, namun kegiatan setiap hari yang
ku lakukan ini selalu sama saja setiap hari. Walaupun aku terlahir sebagai anak dari orang tua
yang cukup mempunyai harta kekayaan, namun sedari kecil aku di didik untuk tidak serakah
dan angkuh terhadap harta kekayaan yang dimiliki oleh kedua orang tuaku ini. Oleh karena itu
aku pun terbiasa hidup sederhana dan tidak masalah bagiku untuk pergi ke sekolah setiap hari
walaupun hanya berjalan kaki, karena dengan itu aku dapat mempererat persahabatanku
bersama Soni, dan Sifa yang selalu pergi ke sekolah bersama-sama.
Sesampainya di sekolah aku berdiskusi dengan sahabat-sahabatku Sifa, Soni, Sandra,
Sandi mengenai kelompok belajar yang akan aku bentuk untuk persiapan menghadapi ujian
nasional. “Ayo kita belajar bersama untuk persiapan ujian nasional”. Ajakku. Namun entah
kenapa dua orang diantara sahabatku yaitu Sandra dan Sandi terlihat tidak tertarik mengenai
apa yang aku usulkan ini. “Hey Sit, untuk apa kita belajar susah payah kan aku dan kamu ini
sudah terlahir sebagai anak orang kaya”. Ucap Sandi dengan angkuhnya. “San apa kamu yakin
dengan pendapatmu itu, apa kamu yakin kekayaan dari orang tuamu itu akan selalu ada
untukmu?” Tanyaku pada Sandi.”Yakinlah mana mungkin uang orang tuaku habis, orang tuaku
kan pemilik perusahaan besar tidak seperti kalian rakyat jelata.” Ekspresi Sandi tiba-tiba
berubah menjadi seolah-olah dia adalah orang terkaya di sekolah ini. Mendengar apa yang
dikatakan oleh Sandi, sahabatku yang lain merasa terendahkan dan mereka meyakini bahwa
roda kehidupan akan berputar sehingga apapun yang berada di atas pasti akan berada di bawah
pada suatu saat. Namun salah satu sahabatku yang lain yaitu Sandra terlihat tidak tertarik sama
halnya seperti Sandi. “Aku juga tidak mau ukut dengan apa yang kamu rencanakan Sit”. Dengan
wajah sombongnya dia berkata “Aku tidak sudi belajar bersama kalian yang otaknya hanya
sejengkal, menerima pelajaran saja tidak bisa apalagi mau belajar, haa mimpi aja kalian”. Entah
mengapa situasi di kelas ini mendadak menjadi menegangkan. Perbedaan pendapat diantara
kami sangatlah berdampak pada pikiran kami yang berniat berjuang untuk mempersiapkan
menghadapi ujian nasional. “Jangan dengarkan mereka Sit, kita belajar bersama tanpa mereka
berdua pun tidak masalah”. Ucap Sifa yang menyemangatiku dari lubuk hatinya yang paling
dalam. “Benar apa yang dikatakan Sifa, kita buktikan bahwa perjuangan kita hari ini pasti akan
membuahkan hasil yang baik bagi kita di masa depan nati”. Soni ikut menyemangatiku yang
hampir saja putus semangat.
Akhirnya persahabatan kita terpecah belah menjadi dua kubu yang bersberangan
pendirian dan tujuan yang berbeda. Namun demi kesuksesan yang tengah menati kita di masa
depan harus ada yang dikorbankan baik itu berupa waktu, harta, maupun persahabatan, karena
persahabatan yang sejati itu akan bersamamu disaat kamu jatuh maupun sukses. Sepulang
sekolah kita bertiga tidak langsung pulang ke rumah masing-masing. Kita berkumul di
perpustakaan sekolah untuk memulai belajar bersama dimulai dari materi satu ke materi
lainnya. Waktu demi waktu telah berlalu, tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul lima
sore, sehingga belajar bersama ini dilanjutkan keesokan harinya. Aku dan kedua sahabatku
pulang bersama menyusuri gelapnya jalan di sore hari. Selama di perjalanan kita masih tetap
membahas mengenai apa saja materi yang telah kita pelajari tadi, hingga suatu ketika mataku
melihat dua orang yang ku kenal tengah bersenang-senang seakan mereka tidak
memperdulikan masa depannya. Aku melihat Sandi dan Sandra tengah berboncengan dengan
mesranya. Aku tidak habis pikir mengenai kehidupan mereka yang begitu bebasnya bagaikan
layangan yang terputus dari benangnya. Namun aku tidak memperdulikan mereka dan
melanjutkan perjalanan pulang bersama kedua sahabatku. “Hahhh, akhirnya sampai juga di
rumah.” Badanku yang lemas seperti tidak bisa di gerakkan sama sekali, namun ku tetap
paksakan untuk bergerak dan melanjutkan belajar walaupun aku mengerti badan ini
memintaku untuk beristirahat. Hari demi hari kulewati dengan penuh perjuangan, hingga pada
suatu hari aku mendengar sebuah cerita dari Soni yang berkata bahwa dia direndahkan kembali
oleh Sandi. Namun Soni tidak mudah menyerah, karena ku tahu dia merupakan orang yang
mempunyai cita-cita yang tinggi sehingga ucapan Sandi tidak mempan kepada Soni. Sifa pun
berkata padaku mendapat ucapan yang merendahkan dia yang dikatakan oleh Sandra, namun
Sifa tidak terpengaruh ucapan yang dikatakan oleh Sandra. Hingga akhirnya aku sendiri
merasakan apa yang dirasakan oleh kedua sahabatku. “Lihat si kutu buku ini San, begitu keras
kepalanya dia hingga mau belajar seperti itu setiap harinya HAHA”.”Dasar bodoh,
bagaimanapun kamu berusaha manamungkin kamu bisa mengungguli ku dalam hal pelajaran
HAHA.” Ucap Sandi dan Sandra yang begitu senagnya merendahkan ku dihadapan semua orang.
Namun ku tetap sabar dan membalas ucapan mereka dengan senyuman.
Waktu yang ditungu-tunggu akhirnya telah tiba. Ujian nasional sebentar lagi akan
dimulai beberapa menit lagi. Pada hari ini adalah hari penentuan hasil yang telah aku dan kedua
sahabatku lakukan untuk mempersiapkan ini semua, dan akan ku buktikan pada mereka berdua
siapa yang menang dalam ini semua. Waktu pengerjaan ujian nasional telah dimulai. Soal demi
soal aku kerjakan dengan teliti. Semua yang telah ku persiapkan selama ini membantuku
sehingga aku mudah mengerjakan soal-soal ini karena telah ku pelajari sebelumnya. “Huuuuft”
Sela nafasku menandai selesainya semua soal yang ku kerjakan. Rasa gugup yang kurasakan
semakin lama semakin menghilang. “Selamat ya kalian para kutu buku telah menyelesaikan
ujian nasional ini Haha”.”Ku pikir kalian akan kebingungan, tapi hasilnya sudah jelas kalian pasti
akan mendapat nilai yang jauh lebih kecil dariku ya kan Sandi Haha.” Hingga saat ini mereka
masih tetap saja merendahkan kami betiga, namun ku percaya hasil tidak akan menghianati
perjuangan. Aku yakin nilai kami bertiga pasti akan lebih tinggi dibandingkan mereka berdua.
Hari yang ditunggu-tunggu pun telah tiba. Semua nilai ujian nasional telah diumumkan.
Aku setengah mati gugup dan berharap semoga nilai kita bertiga akan lebih tinggi. Ku cari
namaku, akhinya ku temukan namaku. Aku setengah tidak percaya dengan apa yang ku lihat
dengan mata kepalaku ini. Aku berada di urutan pertama, Sifa berada diurutan kedua, dan Soni
berada di urutan ke tiga pararel sekolah. Seketika sekujur badanku membatu dan tidak bisa ku
gerakan. Aku bersyukur atas apa yang telah ku dapatkan ini bersaha kedua sahabatku. Dengan
ini aku dapat memilih universitas yang aku inginkan begitu pula dengan kedua sahabatku.
Waktu demi waktu tidak terasa aku telah lulus kuliah dan telah mendapat pekerjaan di
luar negeri begitu pula dengan kedua sahabatku. Sifa mendapat pekerjaan sebagai manager di
suatu perusahaan. Sedangkan Soni sudah bekerja sebagai pilot yang dia cita-citakan selama ini.
Aku berpikir betapa beruntungnya aku pada saat itu bersama kedua sahabatku itu belajar
setengah mati demi mengejar kebahagiaan di masa depan ini. Namun sebaliknya aku
mendengar kabar buruk dari kedua sahabatku yaitu Sandi dan Sandra. Aku mendengar kabar
bahwa Sandi jatuh miskin karena perusahaan milik orangtuanya bangkrut sehingga semua
kekayaan yang dimiliki Sandi selama ini hilang seketika. Sedangkan kabar terakhir yang ku
dengar dari Sandra yaitu dia menjadi mudah sakit semenjak kedua orang tuanya meninggal
dunia, ditambah lagi kebiasaan dia yang selalu pulang malam membuat badannya semakin
lemah yang membuat dia harus selalu beristirahat dirumah.
Memang benar adanya jika roda kehidupan membuat kehidupan seseorang yang
tadinya berada diatas seketika dapat berubah menjadi dibawah. Oleh karena itu , aku berjuang
keras demi mencapai kesuksesan yang telah kedua orang tuaku raih sehingga dapat
membanggakan kedua orang tuaku. Aku percaya bahwa hasil yang aku dapat ini tidak
mengkhianati proses yang telah aku lakukan sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai