Anda di halaman 1dari 14

Sang Pemimpi

Fadel Nur Muhammad

Masih sangat ku ingat saat aku baru saja lulus dari


sebuah Sekolah Menengah Pertama di Nusa Tenggara
Timur. Tak pernah terbesit di pikiran ku untuk bersekolah
di kota lain,atau bahkan provinsi lain. Sejauh mata
melirik, hanya satu sekolah yang saat itu jadi dambaan
ku untuk melanjutkan studi ku ke jenjang Sekolah
Menengah Atas. Aku berencana bersekolah di salah satu
sekolah negeri terbaik di daerah ku. Tapi mungkin,sudah
bukan takdir ku untuk terus-menerus menuntut ilmu dan
bergelut untuk hidup di tempat yang ku istilahkan dengan
“Negeri Orang” ini. Sudah waktunya bagiku untuk
berkenalan kembali dengan kampung halaman ku sendiri.
Namaku Fadel Nur Muhammad. Panggil saja Fadel.
Seorang anak laki-laki yang kerjanya cuma belajar dan
berlatih Taekwondo. Jika orang-orang pertama kali
melihat ku,tidaklah mungkin bagi mereka untuk percaya
bahwa aku adalah anak yang sangat mahir dalam seni
beladiri. Aku bahkan pernah mengalahkan puluhan anak
SMA ketika ujian kenaikan sabuk Taekwondo saat aku
masih SMP,alhasil aku berhasil meraih dua sabuk

1
sekaligus dalam satu kali ujian kenaikan tingkat. Sungguh
keren,bukan?
Saat itu,aku sedang mempersiapkan diri untuk
mendaftar di salah satu SMA favorit di wilayah ku.
Yup,aku baru saja lulus dari SMP waktu itu. Masih jelas
kuingat bahwa pendaftaran masuk SMA akan dibuka
sebentar lagi. Menurut brosur PPDB yang tersebar,ada
beberapa syarat yang harus aku penuhi untuk masuk
sekolah favorit ku. Salah satunya ialah kelengkapan
berkas pendaftaran ku.
Pada suatu pagi,aku bersama teman-teman dekat
ku berencana untuk pergi ke SMP kami untuk mengambil
Surat Keterangan Telah Mengikuti Ujian yang saat itu
menjadi salah satu syarat masuk SMA favorit kami.
Yah,Ulfa dan Yuyun juga berencana untuk mendaftar di
SMA yang sama.
Sepulang dari sekolah,kami kemudian
melanjutkan langkah kami ke kediaman keluarga Ulfa.
Untuk sekedar kumpul-kumpul sekaligus merayakan
kelulusan kami yang tidak sempat kami rayakan. Maklum
saja,kami lulus di era dimana Covid-19 masih menjadi
pandemi global. Semua kegiatan dihentikan,termasuk
acara kelulusan kami. Acara kumpul kali ini benar benar
menyenangkan, kami bersenda gurau,makan makan,main
game,hingga nonton film. Tak terasa sudah pukul
11.45,sudah hampir memasuki waktu Shalat Zuhur.
2
“Eh,ayo pulang,sudah mau Zuhur.” Kata Yuyun sambil
mengemasi barang-barangnya.
“Iya nih,Ibu aku juga sudah menelpon beberapa kali.”
Kata Okta yang nampak sibuk mengirim pesan pada
Ibunya.
Kami kemudian segera berkemas dan berpamitan pada
Ulfa. “Terima kasih”? Apa itu Terima Kasih,kami ini
sudah berteman hampir sepuluh tahun,kata “Terima
Kasih” tak ada dalam Kamus Kecil Bahasa Pertemanan
(KKBP) kami. Kalimat itu kami ungkapkan secara tersirat
dengan saling menemani sama lain.
Kini ku sudah sampai di rumah,cepat memang
lantaran jarak rumah ku dengan rumah Ulfa hanya 30
meter. Aku sekarang sedang duduk di depan meja
belajar,membuka kembali materi pelajaran yang sudah
lalu. Apalagi,aku sedang bersiap untuk ujian masuk
SMA.Sementara sedang serius, handphone ku tiba-tiba
bergetar.
Drrttttt drtttt drrrrttt
“Siapa,sih? Benar benar mengganggu konsentrasi.” Omel
ku
Ternyata pesan dari adikku, “Kak,kata mamah nanti
kakak lanjut SMA nya di Sinjai saja.”
“Hah? Tiba-tiba sekali,ada apa?” Balasku,heran. Kini
perhatian teralihkan ke handphone ku.
3
“ Ya ndak tau,kok tanya saya. Tanya mama lah!”
Benar benar jawaban yang tidak memuaskan audience.
Aku spontan mematikan handphone ku dan mulai
memberikan perhatian pada buku yang sedang aku baca.
Pukul 19.00,Ibu dan Adikku baru saja pulang dari
pasar. Kalau kalian bertanya kenapa sangat larut,tentu
jawabannya karena Ibu adalah seorang pedagang
makanan di pasar. Suatu hal yang wajar jika pulang larut
malam.
Kalimat pertama yang aku tanyakan ketika Ibu
memasuki pintu rumah adalah “Mah,kenapa tiba-tiba
sekali? Mamah yakin?”
“Mamah yakin,bagus kalau kamu sekolah disana. Sudah
sekalian kenalan lagi sama kampung sendiri.” Jawab Ibu.
Aku memang sangat ingin pulang ke kampung
halaman ku,tapi hanya untuk bersenang-senang dan
menikmati hari libur,bukan untuk menempuh pendidikan.
Aku benar-benar sudah mempersiapkan diriku
untuk menjadi siswa paling berprestasi di sekolah yang ku
dambakan ini. Setelah beribu negoisasi yang alot nan
panjang, Alhamdulillah, luar biasa,aku harus tetap
pindah. Benar benar menyebalkan. Mungkin inilah yang
dinamakan hasil yang mengkhianati usaha,”Penonton
kecewa.”

4
Dari pada berlarut-larut dalam kekesalan,aku segera
kembali ke depan meja belajarku dan kembali
melanjutkan pembelajaran yang tadi sempat mangkrak
seperti program pembangunan pemerintah.
Kini tibalah saat bagiku harus meninggalkan
kampung ke-dua ku demi melanjutkan pendidikan sesuai
keinginan Ibu. Aku berangkat hanya dengan ditemani
oleh tante dan dua sepupu ku,sedangkan adik dan ibu ku
masih menetap di sana.
Kendati demikian,tekad dan semangat ku masih
sama,kali ini aku harus bisa menjadi salah satu siswa
berprestasi,ini masih tetap berkobar dalam dada ku. Aku
seringkali iri dengan siswa yang sering diikutkan
lomba,rasanya ingin sekali diriku merasakan hal yang
sama. Mengikuti lomba, memberikan penampilan yang
memukau,dan pulang dengan menenteng piala.
Sehari setelah sampainya aku di Sinjai,aku lalu
berangkat ke salah satu sekolah yang orang-orang disini
katakan sebagai salah satu sekolah favorit. Aku datang
untuk mendaftarkan diri sebagai siswa di Sekolah yang
satu ini,”Mansa”,aku mengetahui nama singkat sekolah
ini setelah berhasil menguping pembicaraan para calon
siswa sesama pendaftar. Memang bakat yang sudah
sepantasnya dipendam saja.
Hal paling mengejutkan di hari pendaftaran ku
ini,selain sekolah nya yang ternyata luas padahal kalau
5
dilihat dari luar sih, sepertinya kecil dan biasa saja ialah
panitia PPDB ternyata menyiapkan tes untuk para calon
siswa.
“Hah,tes? Serius,pak?” Tanya ku dengan panik ke salah
satu guru yang menjadi panitia PPDB.
“Iya,tes. Kan ada di brosur PPDB,kamu tidak
membacanya?” Balas guru tersebut dengan ekspresi yang
sepertinya juga ikut kaget, mungkin karena nada
bertanya ku yang tinggi tadi,sehingga mengejutkan calon
guru ku ini. Bagaimana tidak,materi yang ku kuasai masih
jauh sekali dari kata cukup,wajar saja jika “Hah?” adalah
kata pertama yang aku keluarkan ketika mendengar
kalimat “Ada tes”,hari ku benar benar kacau.
Sepulang dari pendaftaran tadi,aku langsung
merebahkan diriku di kasur,sembari berdoa dengan harap
harap cemas. Takut sekali diriku tak lolos tes masuk
sekolah. “Bagaimana mau jadi siswa berprestasi,lolos tes
masuk sekolah saja tidak bisa”,kalimat inilah yang
sekarang berseliweran menguasai pikiran dan menampar
hati kecilku.
Kini sudah lewat beberapa hari pasca
pendaftaran,aku melihat pengumuman siswa yang
dinyatakan lulus dan segala syukur,karena namaku ada di
sana. Mungkin karena saking senangnya,aku langsung
mengabari Ibu dan teman teman ku.

6
Selama belajar di sekolah ini,aku selalu berusaha
dengan susah payah untuk mempertahankan nilai ku
sebaik mungkin,belajar setiap waktu,dan selalu berusaha
menonjolkan diriku. Tibalah pada suatu hari,secara tiba-
tiba seorang guru datang ke kelas ku.
“Siswa atas nama Fadel Nur Muhammad,nanti pulang
sekolah langsung menghadap ke workshop,yah!” Begitu
katanya.
Aku sontak panik,sebenarnya kesalahan apa yang telah ku
perbuat hingga diriku dipanggil untuk menghadap.
Setelah semua pelajaran usai,aku benar-benar
datang dan menuruti perkataan guru tadi,”Menghadap di
workshop.” Disana aku melihat dua orang siswi dan satu
orang siswa yang nampak tak asing bagiku. Masing masing
dari mereka menggunakan lambang berwarna merah,yang
artinya mereka anak kelas duabelas. Ketua Osim,
Sekertaris Osim,dan juga bendahara Osim. Mereka adalah
salah satu dari siswa siswi andalan di sekolah ini.
Tapi,apa maksudnya aku dikumpulkan bersama mereka?
“Begini,nak. Saya mau ikutkan nanda dalam lomba duta
GenRe. Nak Fadel mau,kan?” Kata salah seorang guru
yang mengenakan. Aku benar-benar kaget mendengar
pertanyaan ini,lantaran ini hal yang telah lama aku
tunggu-tunggu. Upaya ku menonjolkan diri selama ini
akhirnya membuahkan hasil,lihat saja,kini aku

7
disandingkan dengan kakak kelas yang hebat. Kami akan
berlomba bersama.
“Insyaallah. Kapan lombanya,bu?” Tanyaku,berusaha
tidak terlihat baper.
“Sebentar sore seleksi tertulis dan wawancaranya,nak.”
Meski nyali ku sedikit menciut,atau mungkin sangat
menciut,aku tetap tetap melaksanakan tugas ini dengan
sebaik mungkin bersama tiga kakak kelasku ini. Disana
kami dites,nampak banyak siswa dari banyak sekolah
yang kelihatannya juga gugup. “Aku tak sendiri.”
Batinku.
Tibalah waktu malam,katanya pengumuman hasil tes
akan dipublikasikan di waktu ini. Menunggu dan terus
menunggu, akhirnya pesan dari panitia lomba
mendominasi notifikasi pesan di handphone ku.
“Hasil tes akan diumumkan setelah Shalat Isya. Semuanya
bersiap,ya!” Seperti itu pesan panitia di grub peserta
lomba. Aku segerakan diriku untuk Shalat Isya sekaligus
berdoa dan memohon agar hasil tesnya tidak
mengecewakan.
Dengan ragu aku membuka hasil tes,mencari cari
nama ku disana. Dan suatu hal yang
mengejutkan,ternyata aku lolos bersama dengan kak
Ulfa, sekertaris Osim waktu itu. Tapi yang membuatku
penasaran adalah kenapa tidak ketua osim ku yang lolos?
8
Kenapa aku? Aku tahu jelas bahwa beliau adalah siswa
yang sangat mahir dalam retorika. Suatu kebanggan
tersendiri bagiku karena bisa mengalahkannya. Juga
bendahara osim ku,beliau pernah didaulat menjadi duta
anti narkoba se-provinsi Sulawesi Selatan,lomba sekelas
kabupaten seharusnya bukan hal yang sulit untuknya.
Tapi malah aku yang lolos. Hal-hal seperti inilah yang
membuat air mataku sering kali bercucuran dengan
sendirinya. Sungguh betapa sayangnya Tuhan kepada
hambanya.
Hari ini adalah hari kunanti. Lomba duta GenRe
dimulai pagi ini. Meski masih mengantuk lantaran menulis
orasi semalaman,tapi tetap saja semangat ku tak pernah
buyar. Aku mendapatkan nomor tampil 6 untuk
melakukan orasi. Sambil menunggu giliran ku,aku
menonton para peserta dari sekolah lain. Mereka nampak
sama gugupnya,ada yang gemetar,lupa teks,hingga ada
yang diam seribu bahasa. Ini sontak membuatku ikut
gugup.
Tiba giliran tampil ku,aku maju dengan membawa
teks yang sudah ku tulis tangan. Aku memulai awal orasi
ku dengan baik. Tapi apa ini? Tiba tiba aku
gemetar,semua konsentrasi ku hilang entah kemana.
Cara bicara ku terbatah batah,bahkan sempat terjeda di
tengah tengah penampilan. Benar benar memalukan.

9
Alhasil,aku hanya lolos sampai tahap enam besar,
traumatis sekali.
Aku tidak pernah melupakan lomba yang tadi
itu,bahkan gingga aku memasuki kelas sebelas. Tibalah
saat porseni,tahun 2022. Aku sedang menikmati
pertandingan volly, sampai salah seorang temanku
datang dan memanggilku.
“Fadel,kau dipanggil oleh bu guru.”
“Untuk apa?” Jawabku,penasaran.
“Ya,caritahu lah.”
Aku kemudian langsung menghadap guru tersebut.
“Ada apa,bu?”
“Ini,nak,saya mau ikutkan lagi nanda untuk lomba duta
HIV/AIDS.” Jawab guru tersebut
Setelah ku telusuri,ternyata grand final lomba itu
langsung juga hari ini,yang berarti tak ada waktu bagiku
untuk belajar.
Aku langsung mensegerakan diriku untuk pergi ke
lokasi lomba,di sebuah aula hotel bersama dengan salah
seorang kaka kelas ku,kak Angel. Sesampainya disana
ternyata langsung dimulai dengan tes tertulis.
“Ahhh aku belum belajar.” Kalimat andalan yang selalu
keluar dari mulutku ketika mendapati ada tes dadakan.

10
Setelah tes tulis, langsung dilanjutkan dengan tes
wawancara dan latihan koreografi. Semua ini selesai
tepat saat menjelang Shalat Maghrib. Kami diminta
pulang dan datang kembali setelah Isya dengan
menggunakan baju batik. Aku tak punya baju batik,jadi
setelah Shalat Maghrib,aku segera pergi ke rumah sepupu
ku dan meminjam baju batik. Sesampai ku kembali di
rumah,ternyata sudah Isya. Waktu benar benar tak
terasa. Aku segera Shalat dan langsung berangkat
kembali ke lokasi lomba. Tentunya tanpa belajar. Sangat
iri rasanya melihat anak anak dari sekolah lain yang
datang membawa modul pembelajaran yang dibuatkan
oleh guru mereka untuk memfasilitasi siswanya yang ikut
lomba. Sedangkan aku? Aku bahkan tak tau kalau hari ini
ada lomba.
Sekitar lima menit aku sampai di lokasi lomba,kini
saatnya pengumuman hasil seleksi 6 besar. Sungguh
mengejutkan,ternyata aku lolos seleksi 6 besar dengan
nilai tertinggi. Hal ini tak serta merta membuatku
puas,aku kembali menyiapkan mental ku untuk lanjut ke
tahap tiga besar,meski sekali lagi “Tanpa belajar.”
Di tahap tiga besar ini kami diminta untuk maju ke
panggung dan mencabut kertas berisi pertanyaan. Benar
benar tak terduga,aku menjawab pertanyaan tersebut
dengan lancar,tanpa tergesaa gesa. Kini nilai ku berada
di urutan pertama lagi sehingga menempatkan mendapat

11
gelar duta HIV/AIDS sekaligus pulang dengan menenteng
piala,momen yang sedari dulu sudah sangat aku impikan.
Aku juga mendapat bonus uang Rp500.000,00. Aku tak
menyangka,rejeki datang pada ku yang sedang
termenung menikmati pertandingan volly waktu itu.
Sebenarnya aku bahkan tak sungguh sungguh ingin
bersekolah hari itu,aku hanya ingin datang mengisi absen
lalu pulang menikmati hari. Ini pertama kali ku diutus
lomba,seperti diutus membeli jalangkote. Benar benar
spontan. Lomba ini membuat wajahku terpampang di
spanduk siswa berprestasi yang ada di pagar sekolah.
Sungguh membanggakan. Saat penerimaan rapot,Ibuku
sampai salah fokus saat melihat fotoku terpajang di sana.
Di kelas sebelas kali ini bukan hanya lomba duta
yang aku ikuti. Faktanya aku kembali diutus untuk
mengikuti lomba debat. Bahkan hingga dua kali. Dalam
lomba debat pertama ku,aku belum berhasil membawa
pulang apapun,begitu kata orang-orang. Tapi sebenarnya
aku pulang dengan hal paling berharga,yaitu pengalaman.
Pada lomba debat ku yang kedua,belajar dari kesalahan
sebelumnya,aku dan tim ku berhasil menyabet juara
pertama. Padahal mosi perdebatan kami yang terakhir
benar benar sangat tidak menguntungkan posisi kami.
Aku ingat jelas,mosi debat kali itu adalah tentang
pergantian kurikulum di Indonesia. Berbeda denga mosi
lain,mosi ini adalah mosi dadakan,yang baru diumumkan

12
10 menit sebelum penampilan final antara aku dan
sekolah yang menjadi lawanku. Aku dan tim ku sepakat
untuk menyusun argumentasi untuk posisi pro pada mosi
ini. Harap kami ketika pencabutan lot,kami mendapat
posisi pro. Tapi kau taulah,hidup seringkali penuh dengan
drama. Ternyata kami mendapat posisi kontra. Alhasil
kami maju dengan catatan yang masih kosong. Sempat
gugup sekali. Kami tetap berusaha tampil dengan
maksimal. Aku adalah anggota tim yang tak pernah
berhentk membidas argumentasi lawan, hingga membuat
pendukung mereka kesal sendiri. Aku juga merupakan
pembicara simpulan, kesimpulan ku dinilai sangat bagus
hingga mendapat pujiam dari juri. Tak henti sampai
lomba debat ini saja,aku terus diikutkan lomba selama
aku berada di SMA, berbagai macam atmosfer lomba
sudah ku rasakan.
Benar benar bersyukur rasanya,apa yang aku
impikan sedari dulu bisa aku capai sekarang. Bahkan
membuatku hampir bosan. Kini bukan daya tarik utama
bagiku untuk mengikuti lomba semacam ini lagi,sekarang
standarisasi ku berubah. Tujuan utama dari inginnya aku
berprestasi adalah agar aku bisa meraih cita-cita ku
untuk berkuliah di jurusan Kedokteran. Itu adalah impian
paling besar ku sekarang. Aku berharap,Tuhan akan
berbesar hati mengabulkan impian yang satu ini,sama
halnya seperti dia mewujudkan impian ku selama aku
SMA ini.
13
Satu hal yang pasti,tulisan ini takkan berakhir
hingga disini, perjalanan pendidikan yang memukau akan
aku lanjutkan hingga ke jenjang yang lebih tinggi.
Maka,nantikanlah kelanjutan dari cerita ini,dengan
tantangan baru,dan segala hal yang lebih memukau.
Ketika anda berani mengambil rencana dan
mencita-citakan sesuatu,ingin jadi sesuatu,maka
bertanggungjawab lah untuk menggapainya.

Akhir kata,terimakasih sudah menikmati seporsi


cerita dariku ini,meski sejatinya aku tak pandai
memasak.

14

Anda mungkin juga menyukai