Anda di halaman 1dari 3

Jejak Hidup si kelomang

Cahaya beralih dari ufuk timur, tengah ke ufuk barat berdalih malam yang gelap gulita,
begitu pun setelahnya. Tanpa bisa dikekang untuk berhenti atau hanya sementara diputar kembali.
“ Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin “ batinnya. Akan tetapi, Sekarang berbanding terbalik
dengan silsilah kehidupannya.

Hari itu dimulai ketika tahun ajaran baru tiba. Langit tlah memaparkan heruk pilunya. Adzan
berkumandang seketika, orang tuaku bergegas segera melihat pengumuman kelulusanku. Sesaat
seketika, derai tangis mengalir dipipi ibuku, dekapan terselubung didalamnya, cengenges sedikit
terukir di bibirnya. “Alhamdulillah anak kita ada dalam list ini” ujarnya seraya melerai air yang
dipaksakannya berhenti. Tawa bahagia tersungging di pipiku. “ Alhamdulillah aku lolos, akhirnya apa
yang ku tanam akan ku tuai” ungkapku.

Hari berlalu, sekarang aku melanjutkan pendidikanku di sekolah impianku dan merupakan
sekolah favorit di daerahku. “Hai, namamu siapa” pertanyaan yang kerapkali dilontarkan secara
bersahutan kepadaku. “ Namaku putri” ujarku. “Kamu? “sahutku. “ aku Ulfa,aku elsya, dia,Adel,
devla, Vita” jawab mereka bergiliran.” Semoga kita bisa jadi teman akrab” sambung salah satunya. “
Iya, semoga nanti kita bisaenjadi sahabat karib”.

Ulangan harian adalah momen yang paling ku tunggu untuk menetupi kelemahan ku di
dalam kelas, aku lebih memilih tidak menunjukkan apapun dari pada aku harus aktif dalam kelas, aku
sangat suka mempelajari ilmu yang baru. Setiap ulangan harian aku belajar dengan keras, terkadang
aku tidak dapat atau sekedar menutup mataku. Oleh karenanya, pas ulangan harian berlangsung aku
dapat menjawab semua pertanyaan.

Di sela kegiatan di sekolah, temanku selalu mengajakku untuk hang out bareng, oleh
karenanya, terkadang aku tidak menggubris tiap ulangan yang akan dilaksanakan, hingga nilaiku
menjadi down, hal ini berlangsung hingga aku sampai pad tingkat diatasku, tapi nilaiku semakin
tinggi, mengingat sebelumnya ada yang pernah berkata padaku bahwa nilai harus semakin
meningkat tiap tingkatannya. Hingga pada akhir pendidikanku, aku belajar dengan usaha yang lebih
dari usahaku sebelumnya.

Aku salah satu diantara dua kasayangan guru dalam kelas. Aku mendapatkan nilai yang
sangat memuaskan, guru-guru memujiku dan terkadang bertanya padaku, baik guru matematika,
biologi, kimia, sejarah, bahasa Jepang serta guru mata pelajaranku yang lain bertanya padaku,”
Kamu nanti mau jadi apa ,Nak?” tanyanya. “ Saya pengen jadi seseorang dimana saya nantinya akan
mewujudkan impian, meninggikan derajat dan mempertebal keimanan orang tua saya” ucapku.
Seketika mereka berdecak kagum kepadaku. Hingga pada pengumuman kelulusanku. Warna merah
kerap kali menjadi serentetan warna dalam satu jalur masukku ini. “ Gagal” gumamku. Aku
mengingat andai aku tidak mengindahkan perkataan orang lain dan aku belajar keras sama halnya
pada tingkatan terakhirku. Derai tangis, sedu, pilu, kecewa beradu dalam suatu luapan perasaan.”
Aku gagal, mewujudkan segalanya, harapan guru dan teman-temanku” keluhku.

Oleh karenanya, pada ujian selanjutnya, aku belajar keras lagi tanpa arahan guru, aku belajar
mandiri. Akan tetapi, berhubung aku di rumah orang tuaku. Untuk sekedar membaca atau
memegang buku aku tidak bisa. Sebelumnya ayahku berkata, “ Nak, kalau di sekolah merupakan
waktumu belajar,sedangkan di rumah merupakan waktumu untuk membantu orang tuamu bekerja”.
Imbuhnya ketika aku masih duduk di bangku dasar tingkatanku. Untuk sekedar belajar aku harus
beradu argument dengan beliau. Aku menyisakan waktu pada tengah malam, ku gunakan untuk
belajar. Akan tetapi, pada malam tiba aku memilih untuk membaringkan atau sekedar mengisi
tenagaku untuk bekerja keesokan harinya.

Hingga di H-5, Aku memohon pada orang tuaku untuk memberikanku ruang belajar tes
masukku. Benar kata orang,' usaha tidak akan mengkhianati hasil' usahaku masih kalah jauh dari
mereka yang mati-matian untuk mendapatkan sesuatu yang mereka impikan. Untuk kesekian
kalinya, kata gagal ku temui pada tes kelulusan ku kembali. Sekali lagi renungan nasib yang sama,
selalu mengingat di pikiran. “ Aku telah mengecewakan orang tuaku” batinku. Banyak tenaga, waktu,
uang yang telah terurai sia-sia. Mungkin mereka tidak secara langsung berucap padaku, tapi aku tau
apa yang mereka rasakan.

“Apa yang harus ku lakukan!” Seruku. Hingga ayahku memanggilku dan memberikan sedikit
motivasi dan saran kepadaku. Aku pun memilih untuk melakukan kehendaknya, meskipun dengan
berat hati.

Kembali lagi ke realitaku. Sekarang aku menjalani kehidupan dimana Tuhanku lah yang
memegang kendali diatasnya, dengan mewujudkan semua kehendak dari orang tuaku. Aku
menjalani pendidikanku saat ini,tanpa hasrat yang lebih untuk sama seperti dalam aku menjalani
pendidikanku sebelumnya, berhubung aku berada di tempat yang sama dan aku lebih memilih untuk
menunaikan kewajibanku dalam keluarga daripada pendidikanku. Keap kali guru maupun teman-
temanku mengoceh hal yang sama padaku. Akan tetapi, aku tidak mengindahkannya. Hingga tiap
tingkatan terasa datar. Namun, untuk tingkatan kali ini, aku pikir aku gagal kembali, karena aku tidak
melengkapi presensiku. Benar saja, hal yang sama terulang kembali. Aku tidak berharap lebih dari
pendidikan maupun jalan hidupku pada akhirnya, cukup Tuhanlah sebagai sutradara terencana
dalam metamorfosa hidupku.

Nb. Kelomang : hewan pemalu, terkurung dalam cangkang,dst.

Everythin’ it’s gonna be perfect in the end

Anda mungkin juga menyukai