Anda di halaman 1dari 2

Nama Terakhir

Aku tidak menyangka sekadar perasaan sementara dapat mengubah cara seorang anak
kecil menjalani hidup. “Ibu bacakan dari nilai terendah hingga tertinggi, ya?” Guruku
tersenyum membuka daftar nilai. Nama ganti nama disebutkan tetapi namaku tidak kunjung
terdengar. Akhirnya giliran namaku disebut besertakan nilai tepat setelahnya. Aku hanya
tersenyum dan mengangguk. “Bingung” adalah kata yang tepat ketika aku melihat teman-
temanku berlari ke arahku dan memelukku hingga kami berjatuhan ke lantai. Ternyata tidak
ada lagi nama yang disebutkan setelahku. Berbagai pujian dilontarkan dari teman-temanku
saat kami bertumpuk-tumpuk menjadi bukit yang akulah dasarnya. Saat itu aku berada di
paling bawah, tetapi entah mengapa aku merasa seperti di puncak dunia. Tanpa ragu aku
memutuskan bahwa aku suka berada di sana. Aku tidak akan mau turun. Pujian teman-
temanku kala itu terus menggema dan membuatku terus semangat belajar. Aku belum pernah
turun sejak itu. Setidaknya hingga aku menemukan puncak yang baru, SMA.
Dari hasil pencapaianku, tanpa keraguan, aku berhasil masuk ke salah satu SMAN
terbaik di Jakarta. “Ibu bacakan nilai penilaian harian pertama sesuai absen, ya?” Guruku
dengan ekspresi datar membuka laptop. Untuk kesekian kalinya nama dan nilaiku disebutkan
yang terakhir. Namun kali ini berbeda. Abjad nama depanku, “Y”, yang menyebabkannya.
Rasanya seperti tenggelam dalam palung kekecewaan ketika aku mendengar nilai ulanganku.
Apa yang akan dilakukan seorang pendaki yang sudah lama berada di puncak ketika terjatuh
jauh ke bawah? Aku juga tidak tahu. Oleh karena itu, aku tidak berbuat apa-apa. Hari
berganti hari, pembacaan nilai berganti pembacaan nilai. Namun, aku terus tenggelam tanpa
ada usaha untuk mencapai permukaan.
Untuk menyeimbangkan keseharianku dalam belajar akademis, aku tumbuh dengan
paksaan untuk belajar memainkan piano oleh orang tuaku. Aku membencinya karena
mengganggu waktuku untuk belajar pelajaran yang sesungguhnya. Namun suatu hari, aku
sangat mencintainya. Hari itu, pelajaran seni budaya dilaksanakan di ruang musik. Piano
yang terletak di ujung ruangan tidak seperti alat musik lain yang langsung berisik dimainkan
teman sekelasku. Aku menunggu beberapa saat dan piano itu tetap sendiri. Akhirnya aku
memutuskan untuk menghampirinya dan duduk di hadapannya. Aku angkat kedua tanganku
dan memainkan beberapa karya. Tidak kusangka aku kembali ke saat itu. Saat ketika teman-
teman sekelasku memujiku. Aku kembali merasakan perasaan sementara itu untuk kedua
kali. Aku kembali ke puncak. Bahkan lebih baik lagi, aku menemukan puncak yang baru.
Mulai saat itu, aku mendalami musikku dan setiap aku tampil, aku menuai pujian yang lebih
banyak daripada ketika aku mendapatkan nilai tertinggi. Aku menuai sorakan. Puncak ini
jauh lebih tinggi dan aku harus mempertahankannya. Dari kejadian ini, aku menyimpulkan
diriku. Aku akan meninggi saat orang lain di sekitarku rendah, sedangkan aku akan merendah
saat orang lain di sekitarku tinggi. Aku akan melakukan yang terbaik ketika seseorang
memuji atau mengakuiku. Di sisi lain, aku akan meninggalkan hal yang diungguli oleh orang
lain.
Aku tidak terlalu memedulikan puncak yang lama. Karena itu, hari pembacaan nilai
ulangan adalah hari-hari yang ingin segera kulewati. Hari itu pembacaan nilai Bahasa
Indonesia. Seperti biasa, aku tidak peduli. Seperti biasa, namaku disebutkan yang terakhir.
Namun ada yang tak biasa, aku mendapatkan nilai tertinggi. Aku menuai pujian walau tidak
sebanyak hasil dari atas panggung. Namun ternyata, pujian kecil itu cukup untuk diriku. Aku
berhasil membuat jembatan antara dua puncak. Nilai Bahasa Indonesiaku selalu yang
tertinggi. “Siapapun pujilah aku dalam setiap pelajaran,” pikirku. Mungkin aku akan
mendapatkan nilai tertinggi dalam setiap mata pelajaran. Anggapan itu segera dipatahkan.
Aku salah satu orang yang mendapatkan nilai tinggi dalam ulangan fisika. Tidak ada yang
memujiku. Aku pikir nilaiku akan menurun di ulangan selanjutnya karena banyaknya teman-
temanku yang lebih unggul. Aku berupaya dan belajar agar aku mendapatkan nilai tertinggi
yang akan mendatangkan pujian dan puncak baru. Hasilnya, nilai fisikaku cukup tinggi di
ulangan selanjutnya, tetapi tidak yang tertinggi. Pujian bukan jatuh kepadaku. Namun di balik
perasaan itu, aku bangga akan hasil yang kudapatkan. Sehingga, aku memuji diriku sendiri
saat itu. Sejak saat itu, aku semangat belajar dan memuji diriku sendiri dari setiap hasil yang
kudapatkan.
Dari masa hidupku yang belum lama ini aku belajar bahwa kekuatan yang
sesungguhnya bukan berasal dari luar, melainkan dari dalam. Aku tidak perlu pujian orang
lain. Aku bisa memuji diriku sendiri. Sekarang, jika aku dapat memperlihatkan, ada banyak
jembatan antara puncak-puncak yang telah kudaki. Aku tidak sabar untuk menemukan
puncak yang baru.

Yobel Dean Christopher Sihombing

Anda mungkin juga menyukai