Anda di halaman 1dari 92

Topi bertali kuning

Udara yang lembab dipenuhi dengan uap air menyelimuti


sekujur tubuhku. Sesekali hembusan angin laut memberikan kesejukan
menghempaskan keringat, membasuh mukaku. Tak terasa sudah satu
jam aku berdiri bersandarkan tiang bangunan menyerupai raksasa yang
sedang mengangkat tangannya, menahan beratnya beban bangunan
besar ini. Tak letih aku memandang ke dalam ruangan yang luas
dipenuhi dengan kursi-kursi merah yang serasi dengan karpet merah.
Terlihat diatas ruangan itu tergantung lampu-lampu berwarna emas
menambah kemewahan ruangan. Sesekali aku tersenyum memandang
sekumpulan orang didalamnya dengan pakaian serba hitam dan topi
yang khas dihiasi dengan tali kuning di ujungnya. Kuperhatikan sekilas
seperti dalam film “ harry potter “ tahun pertamanya, saat dimana dia
memakai baju sihirnya, dan dipakaikan topi usang yang dapat berbicara
dan memilih pantaskah di asrama mana. Namun kali ini berbeda, hanya
ada senyuman bahagia yang menghiasi wajah mereka bukan kepanikan
dan ketakutan seperti harry saat dipakaikan topinya.
empat tahun sudah aku lalui hidup bersama teman-temanku itu,
namun hari ini,selasa 2 oktober aku tak dapat bersama mereka. Terjadi
gejolak ditubuhku sepertinya elektron-elektron dalam tubuhku mulai
bertabrakan dan hasilnya labil. Aku berfikir seandainya aku juga bisa
berada di dalam sana sungguh bahagianya dan betapa senangya orang-
orang terdekatku. Namun aku telah mengecewakan semuanya, orang
yang terdekat denganku, orang tuaku dengan tak adanya aku bersama
mereka. Aku hanya bisa merasakan kebahagian mereka lewat
pandangan mataku melihat teman-temanku tertawa dan sesekali
bercanda. Terdengar panggilan sebuah nama dalam speaker yang
menggema,, suara seorang wanita dengan nada tegas namun lembut
mengucapkan, “ Dana Abri Agni, jurusan kimia, fakultas matematika
dan ilmu pengetahuan alam…… “ ku beranjakan tubuhku yang kecil
167 cm dengan berat 55 kg, namun berat langkahku dari pelukan sang
raksasa ini. Empat langkah saja aku sudah melihat orang yang memiliki
nama itu. iya aku tau dia, dia salah satu temanku yang ikut di wisuda
hari ini bersama beberapa temanku yang lain. Aku tersenyum
melihatnya menaiki tangga beralaskan karpet merah, dengan langkah
yang tegas dan percaya diri layaknya artis Hollywood menaiki altar
penghargaan film, tak seperti biasanya dia di kampus saat-saat
bersamaku dulu, kalau ada seseorang tanpa ada gempa ada hujan
ataupun badai tiba-tiba nabrak tiang bangunan kelas, ya itu adalah
Dana. langkahnya semakin pelan kemudian dia menundukan kepalanya
untuk dipindahkan tali topinya dari posisi kiri ke kanan oleh pak
rektorku yang asalnya dari pacitan sama seperti presidenku, presiden
Republik Indonesia. Setelah itu kulihat dia duduk kembali bersama
teman-temanku, sempat kulihat mereka berbincang-bincang namun aku
tak tau apa yang dibicarakannya. Yang pasti aku yakin mereka teman-
temanku yang punya rencana besar setelah ini. Aku tau itu, aku percaya
mereka karena yang aku kenal, mereka adalah sekumpulan orang-orang
yang punya semangat tinggi dan sampai akhirnya semangat merekapun
meracuni diriku dan menjadikanku seperti sekarang ini. Sangatlah aku
berterima kasih bisa mengenal mereka semua.
Beberapa menit aku pandangi teman-temanku sambil kutebak
beberapa bahasa bibir mereka dan menebak-nebak apa yang dibicarakan
mereka. Lalu kubalikkan badanku kulihat ke sekeliling kucari tempat
duduk untuk sekedar memberikan istirahat tubuhku yang mulai tak
sanggup menahan panas udara dan kaki yang semakin mengeras.
Kubuka file-file di handphoneku dan kuambil earphone di tas hitamku
yang kemanpun selalu menemaniku. Kupilih salah satu lagu di playlist
yang ada. Mungkin beberapa lagu lagi, temanku keluar dari acara
wisudanya.
Sambil menunggu hanya untuk sekedar memberikan ucapan
selamat kepada teman-temanku, Kulihat beberapa orang tua, kakak,
adik, saudara, istri, suami,bahkan pacar berkumpul dengan keluarganya
menunggu anaknya, kakak, adik, saudara, istri, suami,bahkan pacar dari
acara yang sakral ini, aku merenung Kuingat diriku sendiri beberapa
tahun lalu, tepatnya awal aku mendapat sebuah panggilan khusus yaitu
mahasiswa yang dianggap sebagian orang sebagai seseorang yang
mempunyai dedikasi tinggi, kritis yang baik, pintar dalam segala hal
dan mau berjuang demi kepentingan masyarakat kecil. Ada juga
sebagian orang yang menilai mahasiswa adalah seorang yang suka
demo yang berujung dengan kekerasan , tawuran, selalu menentang
kebijakan pemerintah yang pastinya sudah di pikirkan oleh para
petinggi Negara dengan alasan untuk kepentingan rakyat. Aku bukanlah
termasuk golongan keduanya baik golongan kanan ataupun golongan
kiri. Akulah hanya seorang mahasiswa yang punya sedikit harta titipan
dari Tuhan dengan jasa penitipan orang tuaku. Hidup datar sama halnya
dengan kebanyakan orang.
Alunan musik dalam telingaku membuat ingatan masa lalu
tentangku terbuka kembali, kupandangi seorang lelaki tua seumuran
dengan ayahku, memakai baju kotak abu-abu dengan garis-garis merah
horizontal dan vertical sehingga membentuk kotak-kotak juga,
badannya yang tegap dan kelihatanya juga ototnya yang keras dengan
kerutan di dahinya menandakan seseorang pekerja keras yang rela
membanting tulang demi anaknya untuk mencapai cita-citanya, dan hari
ini beliau datang menunggu anaknya yang telah mewujudkan cita-
citanya. Terlintas dalam pikiranku sosok orang tuaku, aku selalu merasa
bersalah kepada mereka jika teringat masa laluku yaitu sejak masuk
universitas ini. Orang tuaku membanting tulang untuk membiayai
sekolahku sedangkan aku hanya menghabiskan hasil keringat orang
tuaku.
Semenjak aku lulus SMA, di SMA Negeri 3 Pekalongan tahun
2006, itu juga kota kelahiranku dan tempat dimana orang tuaku tinggal,
kemudian masuk perguruan tinggi di kota semarang yaitu universitas
negeri semarang atau biasanya orang-orang menyingkatnya UNNES
dan jurusan yang aku ambil kimia murni. Jurusan yang dianggap
sebagian orang susah, aku sendiri juga merasakan betapa susahnya
dengan kemampuan otakku yang tak sepadan dengan apa yang aku
jalani. Tahun pertama dalam kehidupan kampus kujalani hari demi hari
namun ternyata semakin berat juga, apalagi kalau sudah menghadapi
dengan teori atom, teori tumbukan bahkan yang lebih sukar lagi
persamaan Schrodinger yang rumit menjelaskan suatu tingkat suatu
atom, bayangkan saja, untuk menghitung energi bensin sebagai bahan
bakar kendaraan yang wujudnya benar-benar ada, aku tak berdaya,
apalagi menghitung energi untuk sesuatu yang abstrak tak terlihat dan
tak tahu bagaimana wujudnya yang disebut “atom”, kalu kacang atom
mungkin aku masih bisa berusaha menghitungnya. Berat sekali kepala
ini memikirkannya sampai akhirnya aku hanya bermalas-malasan di
kos, jarang masuk kuliah. pekerjaanku hanyalah genjrang-genjreng gitar
tua menyanyikan lagu dengan suara khasku “serak-serak becek”.
Semester pertama untungnya indeks prestasiku bisa mencapai 3
koma sekian, itu sampai semester dua meskipun mengalami penurunan
tapi setidaknya masih tiga koma, aku tetap bersyukur. Heran juga sih
kok bisa sampai segitu padahal aku juga tak pernah merasa bisa dalam
setiap mata kuliah. aku tahu semua itu berkat teman-temanku yang baik
padaku mau memberikan contekan saat ujian, dan tempat duduk yang
strategis dekat dengan teman yang pintar kemungkinan besar
berbanding lurus dengan prestasi yang didapatkan. Itu tips yang aku
dapatkan kalau mau dapat nilai baik. Dengan hasil yang seperti itu
membuatku semakin malas saja. Dan sampai akhirnya perlakuanku itu
terbalaskan juga dengan indek prestasi semester-semester selanjutnya.
Kalau dibuat kurva, mungkin kurva indeks prestasiku seperti kurva
cosinus. Dari atas turun anjlok kebawah sampai dasar mendekati garis
horizontal y=0. Semester pertama sampai semester empat berturut-turut
3.34, 3.25, 1.82, 1.74 dan semester ke-lima mengalami kenaikan 2.20.
penurunan IPku selalu berdasar padaku yang selalu malas dengan mata
kuliah yang aku hadapi yang semakin sulit, sedangkan teman-temanku
yang biasa membantu juga sudah terlalu sibuk dengan urusannya
masing-masing.

Oksigen dan hydrogen


Seperti pagi biasaya selama 4 semester yang lalu aku jalani
kehidupan sebagai anak kos,jam 11 pagi aku masih merasa berat untuk
membangunkan tubuhku ini dari tempat tidurku yang rusuh berantakan.
Andai saja ibuku melihat semuanya tentu beliau hanya menggelengkan
kepala dan berkata “kandang kebo kog pindah di kamarmu?mana
kebonya ya?”. Tak peduli dengan kondisi kamarku yang amburadul,
pandangan pertama jatuh pada gitarku. aku bawa gitarku menyusuri
ruang-ruang kosku mencari posisi paling enak untuk memainkan satu
lagu saja. Tertarik aku memasuki sebuah ruangan, kuhentikan
langkahku dan kuberjalan memasuki ruangan tersebut.
“hehhh yip, kamu ga berangkat kuliah lagi!!!! bolos terus ndes? Kapan
aku liat kamu dikampus?” kata sang empu ruangan dengan nada
bicaranya yang mulai capek mengingatkanku. Aku hanya terdiam
menganggukkan kepala saja, aku tau dia peduli denganku meski bukan
saudaraku atau keluargaku. Dia adalah sahabatku, sahabat terbaikku.
Ery kukenal sejak aku masih bau kencur dibangku SMP sampai SMA
dan sekarangpun sebagai temen satu kosku. Kukenal dia sebagai pribadi
yang rajin dengan prestasi yang membanggakan. Meskipun kadang
menyebalkan dengan tingkah lakunya, bisa juga dia membuatku
kangen.
“oh ya boy, entar tak ajak temuan ma cewek ya?? Kenal di handphone,
suaranya lembut?” kataku mencoba mengalihkan pembicaraanya..
“ga jaminan cantik diliat suara nya saja” jawab ery yang sibuk dengan
tugas kuliahnya, ngetik-ngetik depan komputer. Menurutku sih ngetik
yang tak penting.
“udah dicoba dulu, percaya deh sama pilihanku, kaya ga tau cewek
yang aku kenal saja” rayuku dengan suara yang meyakinkan.
Kuletakkan gitarku, kudekati dia mencoba aku meyakinkan lagi dengan
pertanyaan “okey boy, bisa kan?”. Dia mendorongku, terbanting
tubuhku ke kasur yang keras. “asem, malah didorong tu gimana??!!
Kataku dengan keras. “
“rupamu kuwi, emang aku homo. Peluk-peluk aku. Anjrit.. ga sudi...
Jellehhh!!!” katanya kasar dengan logat pekalonganya yang khas.
“ lah kowe dari tadi diajak ngomong sibuk dewe..serius ni?” kataku
kasar juga yang masih terbaring dikasur, dalam hati aku juga jeleh
meluk-meluk dia.bercandaku kadang seperti itu. Aku kenal pribadinya
dari keseluruhannya bahkan mungkin lebih dari orang tuanya
mengenalnya, aku sudah menganggap dia sebagai saudaraku, bahkan
lebih dekat dari pada hubunganku dengan adek kandungku sendiri.
“ jam brapa entar?”kata ery sambil mengambil buku di rak buku yang
tertempel ditembok dimasukan ke dalam tas coklatnya dengan tulisan
berwarna mengkilat yang terbuat dari besi dilapisi dengan krom sebagai
anti karat yang paling kuat “quicksilver”.
“bentar tak smsin dulu sama orangnya boy?” kubuka HPku kuketik
beberapa kata dan ku kirimkan ke nama icha. “heh kamu mau kemana?”
lanjut tanyaku ketika dia mulai mengangkat tasnya.
“bentar ke kampus dulu, ada kuliah! Aku masih mahasiswa nih!!” sindir
dia halus kepadaku dengan senyumannya yang manis namun bagiku itu
sebuah pelecehan lebih dari kebodohanku saat ditanya oleh dosen.
“saudara ayip, air itu tersusun dari unsur hidrogen dan oksigen yang
keduanya merupakan gas. Namun jika bergabung membentuk suatu
molekul air berbentuk cair?”. Terdiam sebentar sambil menengok kanan
kiri berharap ada yang mau membantu menjawab pertanyaanku, “iya,
bagaimana saudara ayip?” lanjut dosenku yang tak sabar menunggu
jawaban dari pertanyaannya. Diam sejenak ku pikirkan sesuatu di
otakku dan kulepaskan alasanku dari mulut dengan suara yang tegas
dan benar tanpa ada beban dosa yang aku pikul, ku jawab “begini Prof,
kalau air susunannya masih berbentuk gas sama halnya dengan oksigen
dan hydrogen. Tentunya tak bisa diminum Prof “.waa..waaaa hwaaaa…
Seraya seisi kelas tertawa dengan apa yang aku ucapkan. saat semua
menertawakanku Kulipat mukaku yang manis, semanis martabak
bandung yang masih dalam penggorengan mulai mencoklat seperti
halnya raut muka pada saat itu. Kemudian ku dengar kata dari salah satu
temanku “ kalau begitu Prof, kita tak membutuhkan gelas. “Buka mulut
saja sudah menghilangkan rasa haus !!!” tertawa seisi kelas semakin
menjadi-jadi. Dan yang kulakukan adalah mengantongi mukaku
semakin dalam ke saku, kalau saja muka ini bisa diganti pasti aku ganti
dengan Einstein dan yang terjadi bukanlah aku menjadi bahan tertawaan
tetapi kebalikan semuanya, mereka akan patuh terhadap setiap ucapan
yang aku keluarkan. Beberapa saat setelah keadaan mulai tenang,
dengan suara lembutnya laksana penyanyi dangdut, Puzzie menjawab “
Prof, alasannya karena setiap suatu senyawa baru yang terbentuk dari
beberapa unsur yang berbeda sifat baik fisik maupun kimianya akan
memiliki sifat yang baru berbeda dengan unsur pembentuknya. Sama
halnya dengan air yang unsur pembentuknya berupa gas, namun air
berbeda sifat baik fisik maupun kimianya dengan oksigen ataupun
hydrogen”. Profesorku hanya membalas senyuman kepada puzzie
sedangkan aku hanya mengangguk-angguk seakan aku mengerti apa
yang dijelaskan temanku yang selalu exsist dengan kantong ajaibnya
“tas kecil berisi perlengkapan make up”.

T-rex punah bangkit kembali


Saat mentari sudah mulai condong ke tempat peristirahatannya,
aku telah bersiap dengan perlengkapan perangku melawan makhluk
Tuhan yang paling seksi dan merupakan kelemahan dari seluruh laki-
laki di dunia ini sebut saja “WANITA” bukan “WARIA”. Tepat jam 4
sore ery juga telah bersiap, memakai baju rapi namun tetep dengan
gaya streetnya. Keren sih. Iya memang dia bukanlah pemilik wajah
dengan nilai 8,tapi sesosok orang yang pas dengan penampilannya,
kadang orang keren itu bisa juga mengalahkan orang cakep. Percaya ga
percaya itu ceritanya.
Tempat ketemuan sudah aku tentukan sebelumnya. Di sebuah
toko buku,menurutku itu tempat yang strategis,bisa ngintip-ngintip dulu
lewat sela-sela rak buku melihat sang mangsa seperti sang raja hutan
mengintai mengsanya dari semak-semak. selain itu juga bisa
melaksanakan plan B yang mungkin digunakan dalam keadaan darurat
“jurus langkah seribu” alias kabuuurrrr kalau sang mangsa kebalikan
mau mangsa kita.
“boy coba misscall dong nomor dia!”. suruh aku kepada ery sambil aku
kasih no HP icha ke dia. Posisi kita sudah di sela-sela rak buku yang
berisi ratusan buku, mungkin bahkan ribuan.
“ dia make baju apa?” . tanya dia dengan matanya yang mulai mencari-
cari mangsanya, seperti kucing melihat ikan. “baju merah boy, katanya
dia dengan temannya juga”. jawabku dengan berbisik-bisik.
“ ada ga yang ngangkat handphone?” tanyaku kembali sambil aku
membuka beberapa buku supaya penyamaranku tak terbongkar.
“gila…..!!!!! tante-tante baju merah ngangkat telpon tu…!” jawab dia
dengan langsung matiin telponnya.
“mana? mana?”. Tanyaku penasaran dan seakan aku tak percaya dengan
semua ini, hatiku hancur berkeping-keping berserakan di atas lantai.
Aku hanya membisu dalam hatiku berkata “ ya ALLAH ampuni aku,
aku tak bermaksud menjadi simpanan tante-tante”. Kuyakinkan diriku
dengan bertanya lagi kepada ery, “cobalah boy misscall lagi mungkin
kebetulan aja tante itu pas dapet telpon!!”.
“ANCUUUUR boy, plan B ni…” lanjut kataku setelah dia menutup
telponya, sambil kutunjukan icha yang mana.” Kabuurrr…. Secepat
mungkin yip” jawab ery tergesa-gesa langsung membalikan badan
melangkah menuju pintu keluar toko buku. Aku senang tak salah
memilih tempat, saat aku bayangkan menjadi pemangsa sebagai buaya
memangsa domba. Tapi kenyataannya apa yang aku mangsa adalah
sesosok T-rex. Oohhh tak terbayangkan tar jadinya bagaimana bisa saja
aku hanya menjadi makanan pembuka buatnya.
“kringg..kring..kringggg”. kudengar suara dari saku ery. Sebelum aku
ingatkan dia jangan diangkat handphonenya. Dia sudah ngomong
“halooouu… siapa?” tak ada nomor yang muncul dilayarnya, hanya
tulisan “privat number”.
“mampus boy, kita ketahuan… tadi kamu miss call dia ga pake private
number apa?”. Tanyaku kasar ke ery dengan langkah yang semakin
mengencang. Belum sempat bicara lagi. Terdiam harus melakukan apa.
“ayip……” ku dengar teriakan dari belakangku memanggil namaku,
lembut sih suaranya seperti yang aku dengar dalam telpon “ suara icha”,
namun kali ini terasa berbeda, seperti geraman seekor T-rex yang punah
bangkit kembali dari tidur yang panjang dengan perutnya yang kosong
menginginkan daging segar. Tak peduli dengan suara merdu tersebut
semakin cepat saja aku dan ery langkahkan kaki ini. Tapi terasa
semakin dekat saja suara merdu itu menghampiriku.
Tak hilang akal untuk lari kemana si erypun membelokkan langkahnya
menuju sebuah ruangan yang bertuliskan “GENT’S”. Jenius juga ni
anak berpikiran seperti ini, dalam pikiran “ah senangnya nyawaku
terselamatkan” ga mungkin sepasang T-rex masuk ke kandang buaya
ini. Setengah jam aku dan ery di dalam ruangan itu. Ehm palingan icha
sudah tak menungguku lagi dalam hati aku berpikir seperti itu.
“ Whuaaahhhh…. “. Kaget aku melihat mereka yang masih menunggu
kami.
“ ayip ya? Kamu ayip kan?”. Tanya icha kepadaku.
“ee..eh..i..iii… ya…icha ya?”. Jawabku gugup dengan muka yang
ambigu.. setengah takut setengah juga pengen berbohong, tapi kali ini
aku hanya membatu. Kulihat ery hanya senyum-senyum melihat
penderitaanku.
“iya ga salah mbak, ini ayip..!”. tambah eri dengan menunjukku sebagai
pemilik nama ayip.
“eh kenapa menghindar tadi? Malu ketemu aku? Banci banget sih!!”.
Lanjut tanyanya menyudutkanku. Mukaku menciut, dari muka yang
manis menjadi masam dan pahit, tak hilang akalpun aku jawab “oh
bukannya menghindar cha, tapi tadi udah ga nahan kog cha, keadaan
darurat gitu. Udah di ujung cha….sory..”. dengan wajah tanpa dosa ku
tersenyum mesti mataku masih menandakan kepanikan dan
kebohongan. Sementara itu ery hanya senyum-senyum, pasti dalam
hatinya berkata “sukurin yip.. makan tu icha,,hahahaha”.
Beberapa menit ngobrol-ngobrol dengan icha dan temanynya “
kiki”, aku hanya menjadi seorang yang pasif, aku menjawab beberapa
pertanyaan yang dilontarkan oleh icha, tak sedikitpun aku melontarkan
pertanyaan kembali kepada icha. Aku merasa canggung, aku tak suka
dengan orang ini. Aku memang seorang pemilih, apalagi untuk seorang
wanita yang seperti icha dari awal kulihat aku yak ingin memilikinya.
Namun icha dalam bayangkanku tak sesuai dengan yang dihadapanku
saat ini. Icha yang cantik,berkulit putih dengan rambutnya yang hitam
dan panjang, matanya yang coklat dan masuk kedalam dan jarak alis
dengan matanya dekat, takkan aku berpalingkan pandangan jika melihat
icha seperti temanku dulu waktu SMA.
Kembali ke aturan No.12 jangan pernah berani membayangkan
wanita hanya dari suaranya saja atau namanya saja itu akan berakibat
fatal dengan penglihatan anda. Mendingan mengenal wanita itu secara
langsung saja dan mencoba mendekati dari hati ke hati, itu lebih baik.
Ki Joko Bodo
Pagi itu kedengar suara handphoneku berdering beberapa kali.
Tak peduli dengan suara itu,ku masih terbaring memeluk bantal guling
ini sebagai teman tidurku. Sekali lagi ku dengar suara handphone.

“hemmm… iya” jawabku dengan setengah sadar.


“heh cah gemblung (anak sinting=gila)” kudengar suara cew dari
handphone
“iya.. ada pa la, nelpon pagi-pagi gini?” jawabku,aku tau sapa yang
telpon. Malla namanya, salah satu temanku.
“belum bangun tidur juga? dasar din.. din..” Tanya malla kepadaku.
Coba kulihat dia telpon pasti ngomong din… din sambil geleng-geleng
kepala. Din, panggilan sayang dia kepadaku. Berasal dari nama
keduaku Mahfudin (Udin).
“wat apa bangun pagi la?masih ngantuk ni capek semaleman di kejar T-
rex, untung aja slamet”. Kataku dengan nada malas.
“urusan cewek lagi?” Tanya Malla.

“kog tau?” tanyaku lagi.


“iya..lah secara aku sobatmu”. Jawab dia sok tau dengan nada yang
menjengkelkan.
“sejak kapan?”. Tanyaku menggoda dia.
“terserahlah… ni aku udah dikampus.. kamu ga ikut ujian?” Tanya
malla.
“heh ujian???? Tanyaku kaget. “Ujian apa la?” tanyaku penasaran.
“ KF 4 (kimia fisika 4 = mata kuliah semester lima)” jawab malla
singkat padat dan menyeramkan.

“ maaaampusssss!!!!” kataku sambil melayangkan tangan ke dahi.


“jam tujuh masuk, cepetan!! udah pada datang…. Ga bakalan dapat
kursi belakang” kata Malla keras…
“tut..tut..tut…..” suara dari handphone menandakan terputus.

Kulihat jam dinding, jarum yang panjang menunjuk ke arah


angka 10 dan jarum pendek menunjuk ke angka mendekati 7. Teriakku
Dalam hati “anjriiiit!!!” sudah jam 6.50. sedangkan waktu kekampus
saja butuh 10 menit, belum mandi belum juga belajar buat ujian.
Dengan prinsipku yang kadang benar saat suasana genting seperti ini,
“wangi itu bersih”. Langsung saja aku berlari ke kamar mandi untuk
membasuh beberapa kali saja. Masuk kamar lagi dengan tergesa-gesa,
kubuka lemari bajuku kupakai baju, celana dan perlengkapannya. Dan
yang terakhir ku semprotkan parfum di sekujur tubuhku. Dalam hati ku
berbisisik “ hahahahaha… wangi itu bersih… siapa yang tau kalau
sudah wangi kayak gini ternyata belum juga mandi”.
“jekleek….” Suara penyangga motorku saat aku parkir di kampus.
“sial sudah jam 7 lewat” kataku yang langsung menuju ke kelas.
“klik…” suara pintu ku buka.
“selamat pagi pak, maaf saya terlambat” sapaku ke Pak Subiyanto
dosen KF 4, yang terkenal kalau ujian jarak antar kursi ujian bisa saja 2
meter, kalau ruang kelas tak cukup juga bisa dugunakan teras kelas.
“jam berapa ini?” Tanya pak bi sangar. Sambil menunjuk ke arah jam di
dinding kelas menunjukan waktu 7.10.
“jam saya jam tujuh pak”. Jawabku sambil menunjukan jam di
tanganku yang sudah ku putar jarumnya telat 10 menit.

“ jam anda terlambat, nanti dibenerin”. Kata pak bi memaklumi


kesalahanku.
“cari tempat duduk yang kosong” lanjut kata pak bi.
“terima kasih pak.” Kataku dengan senyum.

Kulihat hanya satu tempat duduk yang kosong, itu juga di


depan meja pak bi. “wuahhhhhh, sial banget pagi ini !!!!!!!!!!” teriakku
dalam hati. Pernah ibuku berkata “ kalau dapat masalah seberat apapun
jangan sampai orang lain tahu tentang kesedihanmu, hadapi dengan
senyuman meski hatimu saat itu menangis”. Kulihat sekeliling teman-
temanku sibuk dengan pemikiranya sendiri. tak ada teman untuk aku
contek. Saat kulihat soal yang diberikan pak bi, aku hanya tersenyum-
senyum saja, manghadapi dengan senyuman saja bukan dengan
mencoba memikirkannya. Aku sudah tak tau apa yang harus aku
pikirkan lagi dengan soal-soal yang terdapat di lembar soal ini yang
semuanya pehitungan dan harus membutuhkan kalkulator. Kalkulator
saja aku ga bawa, “haruskah aku menghitung dengan manual?” tanyaku
dalam hati. Bisa sampai besok soal-soal ini belum bisa aku selesein
sampai lebaran jangkrikpun masih belum selesai.
1 jam berlalu, lembar jawabku kulihat masih belum ternoda
dengan tinta, sedikitpun tinta tak menggores kertas putih itu. Hanya doa
saja dari tadi aku pikirkan, semoga diberikan jalan dan aku bisa
menyelesaikan soal-soal ini.
“aha….!!!” Dalam kepalaku lampu kegelapanku bersinar kembalai
dengan ide jahatnya.
Kuambil handphone di saku celana jinsku, kubuka menu message.

La, tlg dunk tar tulisin jwbnya ya??


Msh ksg ni..please. ..
Kumasukan lagi handphoneku dalam saku jins hitamku,
sedangkan pak bi yang persis didepanku pandangannya menuju ke
mahasiswa yang berada di baris belakang. Aku tak menjadi sasaran
pengawasannya. Tak lama kemudian celanaku bergetar, kuambil
handphone dan kubuka 1 message dari Malla.
Iya, bntr stengah jam lgi.
Tik… tok… tik… tok... suara detakan jam di dinding kelas lama
sekali, ingin sekali berlari mengkahiri ini. Setengah jam berlalu dan
hanya tinggal setengah jam pula waktu untuk ujiannya. Harapan
terakhirkupun Malla temanku. Setia menunggunya memberikan
jawaban kepadaku.
“ waktu ujian 20 menit lagi, bagi yang sudah selelsai silakan kumpulkan
di meja depan dan boleh pulang“. Kata pak bi dengan keras.
Pikiranku semakin kalut nunggu jawaban dari Malla, jantungku
berdetak lebih kencang saja saat lihat jam dinding tepat di atas
pandanganku. Waktu ujian tinggal 10 menit lagi, sedangkan kertas
jawabanku hanya ternodai tinta bertuliskan nama dan NIM –nomor
induk mahasiswa- saja.
Kulihat sebagian teman-temanku sudah mengumpulkan
jawabanya. Tak kulihat Malla ngumpulin juga jawabannya.
“tak… tak..,.taak” suara sepatu mendekatiku. Untung sekali Malla
melangkah mendekatiku, dia membawa sebuah sobekan kertas
dijatuhkanya di dekat kursiku.
“sory lama…..” bisik Malla sambil meletakkan jawabanya di meja pak
bi yang tepat di depan kursiku.
“thaks la..” kataku sambil mengedipkan mata.
Dengan gerakan seribu tangan, langsung saja aku ambil kertas
itu. Ku buka dengan harapan yang besar seperti mendapat kupon
hadiah. Kubaca tulisan di kertas degan mata terbelalak.
HEHEHEHE.. SORY DIN……
MAKANYA KULIAH YANG BENER TU !!!!!!!!
TAR TAK SMSIN JAWABANYA…

“uaaaseemmmm.!!! nii anak masih bercanda juga” teriakku


dalam hati, dan aku hanya nyengir saja memandangi tulisan itu, dalam
pikiranku apa harus tulisan itu yang ku salin ke lembar jawaban. 100%
ga mungkin dong aku salin tulisan itu,entar aku bisa dibunuh pak Bi.
“tega yah dirimu La” kataku kecewa setelah aku keluar dari ruang kelas
dan bertemu dengan Malla di luar.
“Masih untung aku kasih Jawaban” jawab dia membela.
“yah 1 doang,itu juga ga tau selesai apa belum” jawabku jengkel.
“dari pada engga sama sekali? Mending mana?” Tanya Malla nyolot.

“iya..iya… tapi siap lagi ni aku dapet nilai A“ jawabku ngalah.


“iya A, Ambil tahun depan lagi kan?” ejek Malla.
“seneng liat temen sengsara?”. Kataku ke dia. Eh Malla semakin keras
saja tertawanya. Sementara dia masih tertawa sambil menunggu teman
yang lain aku meninggalkan dia menghindari pertanyaan yang
menyebalkan lagi.

Manusia tissue
Tak lama aku berbincang dengan Malla, kemudian
kulangkahkan kaki menuruni tangga gedung kuliah Kimia..di tengah
tangga kulihat seseorang yang tak asing bagiku.
“ki… ki…?” sapaku terkejut melihat dia digedung kimia ini. Sosoknya
yang manis dengan ukuran tubuh yang tinggi bagi ukuran cewek. Tak
terlihat seperti kiki tadi malam aku temuin bareng icha.kali ini terlihat
berbeda, ataukah pandanganku saja yang sudah pusing soal-soal dari
pak Bi. Kuyakinkan diriku dengan menginjak kaki kiriku dengan kaki
kanan. “oouuuughh” bisikku, sakit juga berarti aku masih sadar.
“kok bisa ketemu di sini?” Tanya kiki lembut, yang tadi malem hanya
diam tanpa kata.
“iya… aku ambil kuliah disini” jawabku tegas, biar terasa cowoknya.
“Kamu sendiri ngapain di sini?”. Tanyaku penasaran.
“ohhh, aku juga kuliah disini”. Jawab dia seakaan suaranya itu
mengandung panah cupid meluluhkan pendengaranku dan kemudian
memberikan rangsangan kepada adrenalinku. Suaranya khas, cara
berbicaranya sedikit ada kata-kata yang digigit, terdengarnya seperti
membutuhkan tenaga banyak untuk mengucapkan beberapa kata saja.
Tapi itu yang membuatku penasaran ingin lebih tau tentang dia.
“ada kuliah?” tanyaku basa-basi.
“entar masih lama, masih 1 jam lagi”. Jawab kiki sambil melihat jam di
tangannya.
“ehm… gimana kalau ke…..”kataku belum selesai sudah dipotong
ucapan kiki.

“ke kantin yuk, kebetulan aku juga laper ni” jawab kiki.
Aku tersenyum, aku belum selesai ngomong, eh dia sudah tau hendak
kemana aku mengajaknya. Mungkinkah dia bisa membaca pikiranku
seperti Edward Cullen dalam twilight. Ah tak mungkin dijaman orang
bisa ketawa ataupun menangis saat melihat layar handphone ada orang
seperti itu. Dalam kepalaku ada beribu pertanyaan. Ah sudahlah
mungkin kebetulan, yang paling penting aku bisa ngobrol dengan gadis
semanis dia. Lumayanlah bisa buat menghilangkan penat dari ujiannya
pak Bi yang berambut gondrong itu mirip Ki Joko Bodo.
Suasana kantin lumayan ramai, kulihat masih ada beberapa meja
kosong. Sengaja aku cari meja yang di pojokan, biar lebih enak saja aku
ngorol sama dia.
“kamu mau pesen apa ki?” tanyaku sambil aku meletakan tas dia tas
meja.
“adanya apa?” tanya kiki bingung.
“aduh… aku ga tau ya ki, aku juga ga ikut jualan disini….” Jawabku
tersenyum.
“yaudah aku pesen bakso kalo ada” jawab kiki sambil tengok2 menu
yang terpampang di atas kasir.
Bakso Rp. 8.000

Mie ayam Rp. 6.000


Nasi pecel Rp. 5.000
Nasi rames
Es teh/ es jeruk/soft drink
DLL

Beberapa menit aku dikasir, aku bawakan kiki bakso sama 1


botol teh dalam botol. Untung saja dia tak minta menu DLL, andaisaja
aku bilang sama ibu kantin “BU, minta menu DLL satu dong” aku bisa
memalukan dunia persilatan kimia. Aku hanya pesan semangkuk mi
dan apapun makanaanya pasti minumku “teh hangat”. Rocker minum
teh hangat, ya aku doang. Minuman favoritku karena terpaksa. Aku
paling tak bisa minum yang dingin apalagi ada esnya, bisa-bisa
tenggorokanku langsung radang esoknya pasti langsung pilek. Terus
kalau pesen jeruk hangat tak mungkin juga apalagi di damping dengan
makanan yang pedas seperti bakso ini. Kadar HCL (asam lambung)
dalam lambungku bisa-bisa meningkat dan akibatnya penyakit typusku
kumat lagi.
“silakan….. manis”. Kataku saat meletakan makanan yang aku bawa.
“emangggnya.. akyu kuucingg”. Jawab dia dengan cara bicaranya yang
khas.

“hmmm…"jawabku senyum.
“yipp, kammu kennall iccha dari manna?” Tanya kiki
“Daari mana ya…? Ya kenal aja”. Jawabku ngeles.
“icha… siapamu ki?” tanyaku.
“iccha temenkyu, sahabat akkyu wakttuu SMA.. kattanya kammu suka
iccha ya? Deket juga ma iccha kan?” tanyanya menggoda.
“ee…..enhhh… gugh guk guk…”bakso dimulutku keluar.
“ah ngakku deh… ga usah kessellek gittu.. biasa ajahh kalli”. Kata kiki
sambil ketawa.
“ah kata siapa, biasa aja kok, temen doang ki.. summpah deh….”
Kataku membela.
“ ah suka juga ga apa-apa kok. Lagian kalian juga lama kenal” kata dia.
Dalam hatiku kamu sih ga apa-apa, lah aku yang ngejalani tersiksa
dong, lihat sekali saja takutnya bukan main apalagi sampai akhirnya
harus tiap hari ketemu dia..ehmmm tak bisa aku bayangin deh.(Kalian
bisa bayangin sendiri menurut imajinasi kalian.hehehe).
“ki, handphonemu bisa buat telpon ga?” tanyaku mengalihkan
perhatian.
“emang kenapa yip” jawab kiki bingung
“pinjem dung bentar aja, wat miskol”. Kataku sambil menjulurkan
tangan
“ni….” Kata kiki ngasihin telpon.
“kring…… kring…….” Suara handphone di sakuku.
“thanks ya kii”. Kataku sambil balikin handphonenya.
“loh… buat misskol happemmu” Tanya kiki heran.
“iya.. itu nomorku..” kataku sambil mengangkat satu alisku dengan
senyum yang aku manis-manisin ke dia.
“ugh… dasar”. Kata dia gemes sambil mukulin sendok ke mangkuk.
“yah.. kalau aku minta langsung takutnya engga bakalan kamu kasih”.
Kataku membela.
“kkelliattan banggettt ssih.. bbuayanya…?” kata dia.
“hahahaha… engga dong ki…?” kataku sambil menghabiskan
minumku.
“kruyuukk kruyukkkk..kruyukk..” kedengaran suara dari perutku.
Kebiasaan yang aku takutkan apalagi pada momen-monen lagi bareng
dengan cewek.. hufft… “sial banget” kataku lirih.
“kenapa yyip” Tanya kiki.
“engga kenapa-kenapa kog” jawabku nyengir menahan perutku mulai
berkontraksi. Waduh kenapa harus sekarang. Nunggu sebentar kenapa
sih, kebiasaanku yang jelek setiap makan apalagi makan pagi terus
paginya belum “pup”, pasti langsung berkontraksi.. “malu-maluin saja”
katakuu dalam hati.
“ki…” kataku nyengir menahan sampah yang semakin di ujung.
“heem…”jawab kiki.

“aku ke belakang dulu ya.. sebentar deh..” kataku sambil pegangin


perut.
“iya.. iyya..” kata kiki santai.
“eitt… jangan kemana-kemana ya” lanjut kataku setelah beberapa meja
melangkah.
Kiki hanya mengangguk dan mngacungkann jempol menandakan “like
this”.
“eeghhhh…. Ehmm..” desahku dalam kamar mandi, akhirnya si
penggangu besarpun pergi. Lega rasanya mengeluarkanya. Tapi juga
ada kepuasan yang aku dapat yaitu waktu mulesnya sampai proses
pengeluaranyya, rasanya seperti menahan perasaan cinta dan
selanjutnya di ungkapin sama orangnya dan diterima cintanya, senang
sekali dan puas, sudah tak ada beban lagi dalam pikiran dan masalah
yang ada hilang sejenak.
“gawat….!!!”. teriaku dalam hati. Aku lupa kalau kiki
menungguku, aku terlena dengan nikmatnya perut yang berkontraksi
sampai 10 menit aku betah di toilet. “kiki masih nunggu ga ya” tanyaku
pada diri sendiri sambil membetulkan celana dan tergesa-gesa.
Saat melangkah ke meja tempat di mana kiki duduk, kulihat dia
sudah tak ada. Semakin dekat dengan meja kulihat sebagian mahasiswa
melihatku smbil bisik-bisik dengan teman sebelahnya. “iya aku
memang manis dan keren, ga heran aku diliatin gitu” pikirku dalam
kepala, dan langkahku semakin tegap seperti layaknya model di
catwalk. Pas di depan meja sekumpulan cewek, aku berhenti pura-pura
benerin tali sepatu sambil caper (cari perhatian), mungkin saja ada yang
kecantol denganku. “sssyeeeeettttt” berhenti langkahku, badanku ku
jongkokkan dan aku menali sepatuku, saat kumulai bangkit sambil
menoleh ke arah sekumpulan cewek tersebut, salah satu dari mereka
berkata.

“mas itu…..”katanya sambil tersenyum dan menunjuk ke arah


belakangku. “Wah akhirnya ada juga yang mau ngajak kenalan” kataku
dalam hati, ampuh juga jurus ini seperti sinetron-sinetron saja. Karena
dia menunjuk kebelakangku akupun menoleh ke belakang.
“astagfirullah…!!!!!!” kataku kaget. Kulihat tisu toilet nyangkut
di belakang celanaku,tisunya panjang seperti ekor kera sakti yang
belum dipotong oleh sang Budha. Otakku berfikir apa yang harus ku
lakukan. Malu setengah mati.
“huwaaa,, waaa haaa hha haaa..” ku dengar suara dari seisi
kantin menertawaiku. Aku hanya tersenyum nyengir seperti jeruk yang
sudah layu,asem banget mukaku. Aku mengendap-endap ke meja untuk
ambil tas sambil mengeluarkan tisu dari celanaku dan menggulungnya
kembali. Bukan caper (cari perhatian) yang aku dapat, malahan caper
(cari perkara) yang aku terima. Tak ingin lama aku menjadi bahan
tertawaan langsung saja aku sabet tasku, “wuizhhhh” lariku kencang
menuju tempat parkiran motor. meninggalkan kampus pulang ke kosan
menghindari kesialan selanjutnya.
“Tititt.tit.. tit….”. handphoneku berbunyi kulihat sms.
Sorry yip, aku tinggal.

Aku udah masuk kul ni.. kiki


“oh…untung ” kataku, untung saja dia sudah ga di kantin tadi.
Kalau saja dia masih di sana, mungkin dia ga mau kenal lagi sama aku.
Kesempatan aku buat kenal sama dia jadi berkurang dan mungkin sudah
tak bisa dapat kesempatan lagi.
Ku balas sms kiki

Heem ga apah2, sory tadi aku yang lma..


Dalam perjalanan pulang aku masih berfikir “kok bisa-bisanya
ya tisu nyangkut di celanaku, bodoh banget sih, ceroboh banget.. ah sial
banget..”. bagaimana besok aku kekampus lagi, mungkin kalu
kekampus aku sudah dapat julukan baru. Iya sih kalau julukannya keren
kalau seperti
“ayip sang manusia tisu” hemmm masih mending itu.
“ayip sang kera berekor tisu toilet”
“ayip pencuri tisu toilet”. Apapun julukan itu dalam pikiranku
semuanya menjadikan imageku di depan cewek-cewek terjun bebas dan
mengendap didasar bersama sampah-sampah.

Pacaran satu kali menikahpun satu kali, itulah cita-citanya


Sejak kejadian menjadi seorang manusia tisu, tubuhku semakin
berat saja menginjakkan kaki di kampus. Ada saja alasanku untuk tak
masuk kuliah, tugas kuliahpun tak pernah mengumpulkan sampai
akhirnya kuliahku semakin keteter. Tapi saat yang bersamaan aku juga
merasa bahagia, Karena saat ini aku sedang dekat dengan seorang adik
angkatanku yang saat ini aku sukai, seorang gadis manis bermuka bulat
tanpa dagu, namun proporsional dengan wajahnya, dan matanya yang
indah yang selalu memandang dengan ramah mudah beradaptasi
dengan siapapun. Bagiku semua yang ada di dirinya adalah sempurna,
sesempurna rasa kagumku padanya. Dan itu alasanku semakin rakin ke
kampus meskipun mendapat julukan baru.
Risky Dwi Agustin K. sesosok yang selalu aku cari di kampus
bila kehadirannya tak kutemui. Rasanya yang buat betah aku lama-lama
di kampus karena hanya ada dia saja. Saat kulihat dia melewati depan
kelas pandanganku selalu mengikuti langkahnya dari awal terlihat
sampai terbenam ke ruang kelas sebelah, seperti ombak yang menanti
sang fajar sampai terbenamnya mentari. Sungguh indah rasa ini sampai
aku sendiri tergila kepadanya untuk memilikinya.
Kulihat sekali lagi dia melintas di depan kelasku memakai
sepatu cat coklat dengan kaos coklat lengan panjang namun disisingkan
lengannya kira-kira 5 cm di bawah siku. Celana panjang hitam yang
ketat membuat dia semakin kelihatan tinggi dan sexy saja. Seperti
biasanya pandanganku seperti kucing melihat ikan, Gayanya santai
tanpa mengekplor dirinya yang manis, namun dia hanya yang buat aku
terpesona.
“heh yip disuruh maju tu ma pak biyanto”. Kata Kamal dari kursi
belakangku mengejutkanku dari lamunanku memandangi kiki di depan
ruang kelas.
“apa?” tanyaku kepada Kamal.

“maju…maju..!!! di panggil sama pak Bi tadi?”


“Kenapa mal?suruh ngerjain soal?” tanyaku bingung.
“cepetan tu sebelum marah” lanjut Kamal
Sambil memandang sekeliling memandang teman-temanku
dengan wajahku yang bingung sama halnya dengan mukaku kalau lagi
ngupil hidungku yang besar ini dengan jempol, dan akibat kebiasaanku
itu lubang hidungku sekarang besar. Muka yang menikmati tapi dengan
pandangan yang kosong.
Aku langsung saja menuruti kata Kamal menemui pak Bi yang
sedang membuka-buka buku ajarnya yang setebal bantalku yang baru
saja di ambil dari tas kresek (tas plastik hitam). Aku juga pernah
memikirkan pak Bi dengan kantong ajaibnya “tas kresek” berisikan
buku, alat-alat tulis sampai handphone yang berbagai merk masuk ke
tasnya,” kenapa dia milih tas kresek ya?” aku sendiri heran dengan
kebiasaanya, kalau mengajar di atas mejanya seperti penjual di pasar
tumpah saja. Tapi satu yang aku kagumi dari sosok beliau adalah
kesederhanaanya meskipun beliau seorang dosen senior tapi jiwa
mudanya masih kental salah satunya gaya rambutnya yang gondrong.
Kadang di sela-sela mengajar ada saja yang di ceritain tentang
pengalaman masa mudanya.
“maaf pak, ada apa ya bapak memanggil saya?” tanyaku sama Pak Bi.
“hehmm…”. Jawab Pak Bi yang sibuk membuka-buka halaman buku.
“iya pak kenapa?” tanyaku bingung.
“siapa yang memanggil kamu!!”jawab Pak Bi keras.
“sialan kamal!!!” bisikku dalam hati sambil memandangi kamal yang
sedang menikmati ulahnya. Langsung saja aku menundukan kepala dan
mengambil penghapus melangkah kepapan tulis yang hanya bertuliskan
“energi pembentukan” yang kemudian aku hapus tulisan itu.
“seneng ya??” kataku ke kamal nyolot.
“hehehehe enak to ya?” jawab dia cekikikan seperti Bahadur dalam
film-film india. Karena memang dia masih ada keturunan india. Pas
sekali kalau menjadi bahadur dengan hidungnya yang besar.
“ liatin kiki aja sampai ngiler gitu” lanjut katanya.

“siapa… siapa…?” kataku sebel.


“lah sapa lagi kalau bukan kucing garong” jawab dia.
Malas banget ngurusi “kamal khan”. Julukan teman-teman
kepadanya. Kalau ngobrol sama dia kapan selesainya, tak akan ada
selesainya. Sama dengan orang india lainnya postur tubuhnya tinggi
mungkin 178 cm, badannya tegap namun gemuali kalu sudah
bergoyang india, dan satu yang paling kuingat adalah hidungnya yang
mancung dan besar seperti Bahadur tokoh film india, ya munkin
kulitnya tak sehitam bahadur, kulit sawo matang mungkin lebih tepat
sawo busuk sih. Kamal orang yang gemar bercerita tentang apapun dan
selalu di dramatisir, sama dengan cerita film-film india dengan
durasinya yang panjang dibumbui dengan adegan menari dan bernyanyi
sambil berlari-lari di bawah rintik hujan.
Kalau ada orang yang selalu berbicara tentang mimpi yang tak
pernah di bayangkan orang lain dialah kamal khan yang mencoba
menaklukan dunia dengan kepolosannya dimana dunia telah berubah
menjadi liar untuknya. Kalau ada orang yang setia sekali dengan
pasangannya seperti burung penguin yang setia dengan pasangannya
pasti dia brurung penguin itu. “berpacaran satu kali, dan menikahpun
satu kali” itulah cita-citanya. Cita-cita yang mulia meskipun itu hanya
sebuah mimpi. Paling tak dia telah berani memimpikan itu semua dan
berniat baik untuk kehidupannya.

Raksa (Hg)
Pulang kuliah aku mengendap-endap menghindari sekumpulan
teman-teman mahasiswa, menghindari panggilan baruku “ ayip sang
manusia tisu”. Langkahku melewati koridor-koridor kampus seakan
aku ini maling jemuran di tengah-tengah bidadari yang menjemur
pakaiannya ketika mereka sedang asiknya berendam di kolam air hangat
dan aku mencuri selendang seperti halnya yang dilakukan oleh Jaka
Tarub.
Debar jantungku semakin mengencang, dadaku semakin sesak,
tapi mataku semakin segar memandang seseorang di depanku. Kubuka
kerudung jumper abu-abu bercorak coklat yang menutupi kepalaku.
“manis” satu kata yang aku ingat saat dia tersenyum padaku.
Senyumannya membuatku semakin ingin mengenalnya lebih jauh.
Andai saja bibir itu selalu didepanku, mungkin aku mati rasa tak bisa
bibirku ini berkata apapun. Hanya mataku yang berbicara kepadanya
mencoba mengatakan “kalau aku menyukai dirimu”.
“hai” kata yang kudengar dari bibir manis itu menggoyangkan
gendang telingaku, meskipun nada bicaranya sebenarnya terdengar
aneh, kata “hai” berubah jadi “ghaiii” karena memang cara bicaranya
yang khas seakan kata-kata itu digigit, tapi bagiku terdengar seperti
nyanyian burung menyambut mentari yang membangunkan bumi dari
tidurnya. Mungkinkah ini cinta yang kembali kurasakan, seakan aku ini
tak normal lagi, andai kata aku ini logam mulia yang dalam suatu tabel
periodik unsur terletak di golongan B yang biasanya berbentuk padatan
dan keras seperti emas, nikel, besi, namun aku ini adalah logam yang
berbentuk cair yakni Raksa (Hg).
“kiki… kiki… dan kiki…” seseorang yang selalu membayangi
fikiranku saat ini. Ingin segera aku memilikinya, tapi mungkinkah aku
bisa. Aku yang tak sebanding dengan dirinya secara fisik, membuat
malu dirinya saja kalau aku menjadi kekasihnya. Tapi bukan diriku
kalau aku begitu mudah menyerah, kalah sebelum berperang. Kata
teman-temanku aku seorang yang ambisius, apapun yang aku inginkan
itu harus aku lakuin dan aku dapatkan. Urusan efek samping aku tak
terlalu memperdulikannya. Yang penting di jalani dulu saja, kalah atau
menang, sedih atau senang, baik atau buruk pasti ada jalan untuk
menyelesaikannya.
Burung cendrawasih
Langkahnya mengayun lembut melambai laksana burung
cendrawasih memamerkan tubuhnya yang indah, sekali lagi tersenyum
padaku. Lagi-lagi “manis” kata yang melintas di otakku menyingkirkan
ingatan-ingatan tentang kata-kata ilmiah yang bagiku sangat sulit aku
ingat tapi harus kucoba tetap kuletakan dalam kepala. Kupandangi dia
sejenak sebelum memasuki ruang kelas, kulihat dia menoleh kepadaku
seakan menyalakan lampu hijau diatas kepalaku yang semula berwarna
kelabu. “malam minggu depan aku dijemput ya?” kalimat yang
mungkin diucapkannya lewat pandangannya. Kusambut pandangan itu
dengan kedipan mata menandakan “pasti aku jemput kamu malam
minggu depan”.
Senin, selasa, rabu, kamis, jumat kesempatanku untuk lebih
mengenalnya mencoba lebih mendekatkan aku dengannya, karena
hanya itu kesempatanku bertemu dengannya. Aku bela-belain bolos
tidur di kos-kosan, bangun pagi tiap hari, sampai akupun bolos kuliah
kalau melihat kiki masih duduk sendiri di sebuah sudut kampus,
kuperjuangkan waktuku hanya untuk menemui kiki di kampus.
Semakin hari aku semakin dekat semakin nyambung obrolanku
dengannya. Aku ingat kata-kata si penyanyi dangdut dengan kantung
ajaibnya yakni Puji Estuti, tapi dia lebih senang di panggil dengan
Puzie, biar keliatan bukan penyanyi dangdut katanya. Puzie mengatakan
bahwa belajar kimia sama hanya dengan belajar cinta, salah satunya
tentang ikatan antara inti atom (proton bermuatan positif) dengan
elektron yang bermuatan negatif yang berjumlah banyak dan berada di
sekeliling inti atom. Semakin dekat elektron terhadap inti atom maka
energi untuk terlepaskan akan semakin besar karena ikatannya semakin
kuat. Analognya aku adalah elektron dan kiki sebagai inti atomnya,
semakin aku mendekatkan diri kepadanya maka dia akan lebih tertarik
padaku dan akan semakin kuat ikatan antara aku dan dia dan akhirnya
elektron-elektron (laki-laki) yang ada disekelilingnya yang mencoba
mendekati dia akan terlepas, dan akulah yang menjadi nomor satu.

Kandang Buaya
Suatu malam akhirnya kesampaian juga aku bisa kencan
dengannya. Hari yang kunantikan, sama aku menantikan ibuku
memasakan makanan kesukaanku “telur mata sapi pakai kecap manis
dengan bumbu tomat, cabai, bawang merah dan putih yang semuanya
telah ditumis”. Kedekatanku dengan kiki seperti susunan atom dalam
gas mulia, elaktrondan intinya stabil, erat, ikatannya kuat dan sukar
bereaksi dengan atom lain, artinya hanya aku dan dia. pernah
kutanyakan arti namanya “Rizky dwi Agustin K”. Aku penasaran
dengan namanya, ingin aku lebih mengenal dia.
“Rizky dwi Agustin K” kataku.
“ieyya qenappa yiep?” tanyanya sambil meminum segelas float.
“namamu artinya apa si?”tanyaku memaksa jawaban.
“ohg..qirrain”jawabnya.
“apa dong?” tanyaku menekan.

“rizky itu artinya rejeki, dwi artinya dua, aku anak kedua dan agustin
artinya agustus, tepatnya 25 agustus” jawab dia semangat.
“owg kamu 2 hari lagi ulang tahun dong?” jawabku sok tau.
“heem..” jawab dia menganggukan kepala, lagi lagi dan lagi kata
“manis” menancapkan gas di otakku. Tapi kali ini berbeda, kata
“manis” di ikuti dengan kata “banget”. Ehm semakin membuatku
tergoda saja, untung di sebelahku tak ada kursi kosong jadi tak ada
setan yang menemaniku, kalau saja ada ingin sekali aku kecup bibirnya,
apakah semanis minuman coklat yang dari tadi aku minum.
“terus K itu artinya apa”. Lanjut tanyaku.
“K itu tempat aku lahir” jawab dia.
“kalimantan?” tanyaku.
“bukan!!” jawab dia.
“kuningan, kudus, kemarang (semarang), kekalongan(pekalongan)?
Tanyaku lagi.
“bukan itu.. Bukan kota kok”. Jawab dia mulai mangkel.
“lah terus apa kalau bukan kota?”. Tanyaku semakin penasaran.
“ya coba tebak deh”. Tantang dia.

“Kuburan?”. jawab aku halus.


“enak aja!!!! kamu tuh.. Kandang Buaya!!.” Jawab dia sebel.
“yah.. abis dimana lagi? ga aku sangka kamu lahir di kuburan”. Kataku
ejek dia. Kiki memasang wajah jeruk purut menandakan dia tambah
sebel.
“pantesan kamu manis dan cantik, liat ajah tuh masih ada paku
menancap di kepalamu kog.” Kataku lagi.
“aku juga ga mau ya, liat kamu dari belakang, pasti bolong tuh
punggung kamu… huwaaaa haaa haa haa”. ejek aku kepadanya yang
semakin asam saja mukanya.
“ K itu khodijah tau!!!” kata dia samar-samar terdengar.
“apaan tuh?” tanyaku.
“rumah sakit, aku lahir”. Jawab kiki.
“dimana?”. Tanyaku.

“jakarta”, jawab dia.


“ja…..di…. ka…. Muu……?”.tanyaku kaget dengan mulut menganga
dan mata melotot seperti patung Jin kembar biasanya terletak di
samping pintu masuk rumah.
“iya aku lahir di Jakarta tapi sekarang di pacitan, disini numpang di
rumah tanteku”. Jawab dia.

“ah ribet, jauh ya? Kok nyasar sampai sini, udah engga di terima jadi
kuntilanak disana”ejekku.
“sialan yip”. Jawab dia marah.
“kirain kamu asli sini”. Kataku masih kurang percaya.

“emang kenapa yip?” Tanya kiki.


“ ya engga kenapa-kenapa sih”. Jawabku sambil memikirkan sesuatu di
kepalaku.
Niatku untuk memilikinya semakin bulat, aku semakin mantap
dengan dia karena dia satu daerah dengan idolaku, rektorku yang dari
pacitan itu. Kuniatkan malam mini untuk mengungkapkan perasaanku
padanya. Karena cinta bukanlah cukup di rasa tapi harus dikatakan,
semakin lama memendam perasaan cinta semakin sakit di dada
meskipun kulit tak terluka ataupun tertusuk, tapi sakitnya seperti
tersayat dan perih, apalagi kalau sang pujaan hati keburu dengan orang
lain sebelum mengungkapkan perasaanku padanya.

Rasa yang sempurna


Selagi ada kesempatan malam ini, kuajak dia berjalan ke sebuah
sudut café melihat indahnya kota semarang pada waktu malam. Tempat
yang indah, gemerlapnya lampu kota semarang dari atas bukit, terlihat
dari jauh seperti ular merah dan kuning yang berjalan saling mengejar
yakni kendaraan yang lalu lalang di jalan tol. Hembusan angin lembah
yang dingin menambah dingin tubuhku dengan keringat dingin yang
dari tadi membasahi tangan dan mukaku.
Kiki tepat duduk di sampingku di sebuah kursi permanen terbuat
dari beton tak kurang dari 5 cm dia tepat di samping kananku.
Pemandangan lampu kota tepat di depanku yang beratapkan langit cerah
yang dihiasai dengan bintang-bintang serta lampu-lampu kuning
menyebar di sekitar sudut-sudut café. Kulihat ada dua bintang yang saat
ini terang, kuharap itu pertanda baik untukku, pertanda bahwa aku akan
bisa bersamanya.
Kuberanikan diri untuk mengungkapkan perasaanku padanya.
Kucoba mencairkan suasana yang sedikit tegang dengan mengajak dia
berbincang-bincang, bercanda sejenak. Kupandangi wajahnya dan
kulihat jauh kedalam matanya yang disinari dengan remangnya lampu
taman. Sungguh cantik, mempesona, belum pernah kulihat dia secantik
saat ini. Wajahnya berseri, matanya memancarkan cahaya seakan
bintang-bintang di langit pindah ke matanya. 10 detik, 20 detik 30 detik
sampai akhirnya dia berbalik memandangku, kupalingkan wajahku,
kupandangi dua bintang yang bersinar tadi memastikan masih bersinar
semua.
Kira-kira 30 menit aku duduk bersamanya, banyak yang aku
bicarakan denganya. Mulai dari keluarga, sahabat, mimpi, tugas kuliah,
sampai geografis semarang yang berbukit, dan akhirnya yang terakhir
adalah cinta. Sesuatu yang sangat indah untuk dibicarakan dengan sang
pujaan hati. Suasana yang tadi menegangkan,sekarang mulai mencair.
Kurasa ini saatnya yang tepat. Dadaku terasa sesak, degupan jantungku
semakin mengencang dan aliran darahku seperti mobil yang dipacu di
jalan tol itu. Aku memberanikan diri untuk memegang tangannya
meskipun keringat dingin ini membasahi tanganku. Serentak dia
terkejut dan memandangku bingung. Sekali lagi aku memandang dalam
ke matanya, meyakinkan bintang tak akan redup malam ini. Kukatakan
beberapa kata sebagai awalan untuk meyakinkan dia kalau aku ingin
mengungkapkan perasaanku kepadanya. Kucoba ingatkan kata-kata
yang pernah dia ucapkan padaku. Sambil kupegang kedua tanganya dan
pandanganku yang memandang dia dan sebaliknya, dia mendengarkan
semua ucapanku dengan serius, kulihat itu dari raur mukanya sedikit
tegang dan menanti setiap kata yang aku ucapkan.
Katamu cinta tak perlu dikata cukup dirasa
Aku tak tahu harus berkata apa
Jika kamu bertanya tentang cinta
Bagaimana aku bisa menjawabnya

Jika kamulah orangnya


Cintaku telah lama ada
Dan begitu dalam adanya
Aku tak memaksa dirimu untuk membalasnya
Jika kamu tak yakin aku mampu menerimanya
Jangan kau paksa aku untuk melupakanmu

Jika kamu sendiri tak mampu


Cinta bagiku harus dikata
Meskipun pahit akhirnya
Cinta adalah sebuah rasa
Rasa yang sempurna
Sesempurna rasaku kepadamu

Kiki hanya terdiam mendengar kata-kataku, kemudian dia


melepaskan genggaman tanganku, dipalingkan wajahnya dari
pandanganya kepadaku, kulihat ekspresi wajahnya yang kosong
memandang lampu kota sesekali menundukan wajahnya dan
memandangiku dengan penuh tanya. Suasana yang tadi cair berubah
jadi tegang kembali. Semakin sepi ketika aku juga terdiam menunggu
beberapa patah kata terucap dari bibir manisnya, semoga kata manis
yang melantun dari bibirnya.

Senyuman yang selalu kurindukan


Beberapa kali kulihat dua bintang diatasku, kulihat cahaya salah
satu bintang meredup. “Wahai bintang janganlah meredup malam ini,
tetaplah bersinar selamanya” kataku dalam hati. Hampir setengah jam
aku menunggu kata keluar dari bibir kiki, di kursi lain sekitar taman
kulihat pasangan kekasih yang sedang bercanda gurau menikmati
malam. Membuatku iri saja, tapi saat ini aku lebih memikirkan apa
yang akan diucapkan kiki kepadaku. Aku semakin tak sabar mennggu
kepastiannya. Dari balik lamunanku kudengar suara pelan dan halus tak
seperti suara kiki biasanya yang digigit.
“yip..”. katanya santai tapi serius.
“iya..”. kataku menjawab panggilannya.

“ma…af, aku belum bisa menjawab sekarang”. Katanya pelan sekali.


“iya, aku juga engga maksa kamu jawab sekarang kok”. Kataku
meyakinkannya.
“sekali lagi maaf ya yip.. beri aku waktu untuk memikirkannya”
pintanya dengan wajah serius.
“pasti… aku pasti tunggu sampai kamu mampu menjawabnya”. Kataku
memberikan pengertian.
Suasana kembali terdiam, sejenak aku terdiam memikirkan
ucapan-ucapan kiki tadi. Dalam hati aku sedikit kecewa karena harus
masih menunggu, padahal keinginanku untuk memiliknya sudah sampai
di ubun-ubun kepala. Tapi malam ini setaknya hatiku sudah lega,
selega buang air setelah beberepa hari aku tahan. Sudah tak ada beban
lagi dalam hatiku meskipun kepastiannya aku dengannya juga belum
pasti. Mau tak mau aku harus menberikan pengertian kepadanya karena
yang namanya perasaan juga tak bisa dipaksakan dan aku juga tak mau
tahu alasan dia kenapa tak jawab sekarang saja. Akhir yang pahit aku
juga tak mempermasalahkannya. Sedangkan kalau manis, sangatlah aku
bersyukur kerena bintangku akan bersinar kembali bersama bintangnya.
Aku cairkan suasana kembali dengan candaanku. Mencoba
mengalihkan pikirannya untuk tak memikirkan hal itu saat ini.
Wajahnya kembali tersenyum seperti biasanya, senyuman manispun
aku lihat kembali. Alangkah senangnya hatiku andai saja melihat
senyuman itu setiap hari, meskipun nanti bukan menjadi milikku tapi
sesekali ingin kulihat dia melemparkan senyum itu kepadaku,
senyuman gadis manis yang akan selalu kurindukan.

Cahaya di ujung barat


“Kepastian”, kata yang sebenarnya aku benci. iya sejak kejadian
malam itu aku selalu dibayangi dengan kata seperti iti dan kata-kata lain
sejenisnya. Kujalani hidupku sejengkal demi sejengkal menatikan dia
menjawab semuanya. Aku sendiri belum berani untuk menanyakan
semuanya kepadanya karena kubiarkan dia memilih
Aku tahu dia masih menyayangi kekasihnya yang dahulu sampai
sekarang ini, kekasih yang pernah menghianatinya, yang telah
memberikan air tuba setelah diberikan air susu, meminta ampela setelah
di berikan hati, namun semua itu tak menggoyahkan keyakinannya
untuk tetap mencintai, rasa cintanya kepada sang mantan tetap apa
adanya sama ketika dia masih memadu kasih dengan sang mantan.
Pacar terbaik yang pernah dia miliki, yang selalu diharapkan
kahadirannya untuk kembali kepelukan kiki. . Aku tahu itu dari salah
satu teman dekatnya yang kebetulan satu kampus denganku.
Penantianku belum seberapa dibandingkan dengan penantian
kiki menantikan sang mantan. Hampir satu tahun lebih dia menantikan
mantannya yang tak jelas kepastiannya itu. Dia tetap setia, tetap
mengharap dan tetap berusaha tetap tegar. Aku mencoba bersikap wajar
kalau bertemu dia di kampus dan tetap tak menanyakan kejadian malam
itu sampai akhirnya dia sendiri yang memulai membicarakannya.
Dalam setiap perbincanganku dengannya di sela-sela waktu kuliah tak
pernah sedikitpun aku menyinggung masalah itu. Aku tak boleh
mamaksakan perasanku ini kepadanya.
Mencuri-curi perhatianya beberapa hari terakhir ini aku lakukan
setiap bertemu dia di kampus. Kesan baik selalu aku layangkan kepada
dirinya. Mungkin aku harus bekerja lebih keras untuk bisa lebih dekat
lagi dengannya. Satu, dua, tiga hari sampai hari senin terulang kembali
kunantikan jawaban dia, tak kunjung juga dia memberikan kepastian
kepadaku. Aku harus sabar laksanana punuk merindukan bulan yang tak
kunjung-kunjung menampakan cahanya di ujung barat.

Tiga tips melupakan pacar


Suara hiruk pikuk teman-teman kampus terdengar lambat laun
semakin menghilang satu persatu. Gesekan daun-daun pohon mahoni
terdengar lirih merintih karena tertiup angin. Aku duduk disebuah kursi
keras terbuat dari beton, sendiri dan disampingku hanya sebuah pinus
kecil yang mulai rapuh tak terawat.
Kulihat beberapa temanku lewat depan gazebo kampus yang
sedang aku singgahi ini. Kudengar beberapa temanku menyapa, aku
hanya melambaikan tangan sebagai tandaku membalas sapaan mereka.
Namun aku terlalu sibuk dengan apa yang aku lakuin. Aku sibuk
membuka file-file tugas laporan praktikum di laptopku. Niatku
membuat laporan praktikum, tapi kudengar hembusan angin
membisikanku untuk browsing. Aku tergoda dengan bisikan itu.
Kusearch beberapa kata di google “tips menaklukan hati wanita”.
Beberapa detik setelah itu terlihat beberapa daftar alamat web, dan
kuklik salah satunya muncul sebuah halaman blog Indonesia.
Dari blog yang aku baca, kuingat satu hal yang penting, yakni
tips melupakan sang kekasih. Andai saja kiki mau melakukan hal yang
sama apa yang tertulis dalam blog itu, mungkin kesempatanku untuk
menjadi kekasih hatinya lebih besar terbuka. Andai saja dia mau
membuka hatinya, tapi satu hal yang harus sesuai dengan hukum
perasaan yaitu cinta bukanlah perasaan yang harus dipaksakan maka
aku tak akan menyuruh kiki untuk melakukan hal yang sama yang
tertulis di blog, biar dia saja sendiri yang menentukan pilihannya.
Ada tiga tips yang tertulis di blog tersebut. Tips melupakan
mantan pacar. Yang pertama tertulis mencoba mencari pengganti,
kemudian yang kedua tertulis mencari penggantinya dan yang terakhir
juga tertulis menerima penggantinya. jadi kusimpulkan bahwa tips yang
paling utama untuk melupakan sang mantan adalah mencari
penggantinya yang baru. Mencari pengganti yang baru juga tak
mungkin asal nyomot saja. Pengganti yang baru juga haruslah yang
mencintai dan di cintai. Membuat nyaman dalam menjalankan
hubungan sehingga pada akhirnya akan bahagia.
Kudongakan kepalaku ke atas memandangi langit dari sela-sela
daun pinus yang menutupi warna biru yang sedang ceria tak seceria
hatiku saat ini. Alampun menghiburku dengan suara kicau burung dan
suara angin menghempaskan guguran daun. Sejuk, nyaman, sejenak
terasa semua beban yang sedang aku pikul dengan pundakku ini
menghilang begitu saja.
Fikiranku berputar, ada keraguan dihatiku. Semua yang aku
miliki tak sebanding dengan seseorang yang pernah memiliki kiki. Aku
merasa tak akan mampu membahagiakan dirinya dengan segala
kekuranganku ini. Kiki adalah sesosok yang sempurna, aku merasa tak
pantas untuk menjadi seorang pengganti sang mantan yang masih
diharapkan itu. Tapi bukan aku kalau begitu mudah menyerah, aku
harus menunjukan kepada dia akulah yang pantas menjadi pengganti
mantannya itu, aku lebih mencintai kiki lebih dari mantannya yang
pernah mencintainya. Darahku digas penuh semakin kencang dan
kencang, suhu tubuhku naik seraya dengan semangatku yang membara
menandakan aku yakin dan aku pasti bisa.

Kuch kuch hota hai


Lantunan genderang dan kendang serta taburan bunga-bunga
menyambut kedatangan kamal khan, seperti dalam video klip lagu-lagu
india. Langkah kamal dari kejauhan kulihat seperti Sarukh khan.
Langkahnya membentuk suatu tarian, memutar tak jelas dan sesekali
menggoyang-goyangkan kepala. Kulihat dia persis di depanku tapi
kuperhatikan langkah menujuku harus berputar-putar dahulu, memutari
pohon-pohon mahoni yang berbaris rapi di sebelah gazebo tempat aku
duduk.
Tersenyum kamal kepadaku setelah menyanyikan lirik beberepa
lagu kuch-kuch hota hai dari earphone yang terpasang di kupingnya.
Kulihat dia melepaskan earphone dan duduk disampingku. Bagai
pinang dibelah kampak kalau dia duduk disebelahku. Yang satu hancur
dan yang satu lagi tetap utuh dan masih bisa dimanfaatkan. aku
tersenyum kecil dan sinis melihat kamal khan yang mulai
menggangguku sebagai tanda bahwa aku ini adalah belahan pinang
yang masih utuh dan bermanfaat.
Pandangan kamal kepadaku terlihat melecehkanku setelah dia
tahu aku menghadap laptopku membuat tugas praktikum. Dalam
pikirannya yang selalu dipenuhi dengan drama-drama india itupun
meragukan aku membuat tugas sendiri, dia tahu kalau aku hanya bisa
mencontek, mencontek dan mencontek. Kebiasan burukku, yang
muncul karena sifat malas yang sulit aku hilangkan meskipun aku telah
berusaha.

Suhu udara yang mulai menaik, kelembapannyapun memaksaku


untuk mengeluarkan keringat di telapak tanganku. Kubuka satu kancing
bajuku paling atas, mataku mulai lelah memandang layar 12 inci ini.
Lembab, sepi, berawan tapi panas, dan menyebalkan ditemani unta
(panggilan lain buat kamal). banyak dari teman-temanku yang dipanggil
dengan nama hewan. Sungguh kejam, tak berperi kehewanan teman-
temanku itu. Memakai nama hewan untuk panggilan orang, melanggar
hak cipta apalagi tanpa seijin sang pemilik nama itu (hewan).
Dibalik sebuah nama mengandung sebuah arti, sebuah makna
dan sebuah harapan serta cita-cita dari pemberi nama. Sebuah nama
akan membentuk suatu kebiasaan sang empu nama itu. kebiasaan kamal
khan yang selalu pesan minuman lebih dari dua gelas itu menyebabkan
nama abdullah kamal berubah dari ejaan Indonesia menjadi ejaan
inggris yakni: Abdullah camel yang artinya unta arab (Abdullah = nama
khas arab). Ditambahi kebiasaannya yang selalu teringat dengan
kampung halaman dia beberapa puluh tahun, mungkin ratusan tahun
yang lalu “India”, jadi teman-teman lebih sering menambahkan akhiran
“khan” pada namanya. Abdullah Kamal Khan, nama yang begitu indah
meskipun tak seindah artinya “ unta arab yang keindia-indianan”.
“Hei.. Penyu…sini”, kudengar suara itu lantang dan keras
memecahkan gendang telingaku yang keluar dari mulut unta yang
kehausan. penasaran dengan teriakan unta, kupalingkan tugasku. “Oh”
dalam saja aku ucapkan, kulambaikan tangan kepada temanku yang
sedang berjalan bersama temanku yang lain, mereka hanya membalas
dengan senyum, balasan yang tak kuinginkan. Aku tak asing dengan tas
body pack coklat milik penyu yang selalu menempel dipunggungnya
dimanapun aku melihatnya dan kemanapun dia pergi selalu setia kulihat
dipunggungnya. Tubuhnya kecil kira-kira 145 cm sekian, tapi kuat dan
tangguh. Meskipun kecil tapi cabai rawit, sudah banyak gunung yang
dia taklukan bersama club pecinta alam milik kimia (chevent). Siti-
Muji-Alfi-Nikmah, empat nama orang yang diborong satu orang, tapi
lebih gampang dipanggil dengan “Penyu”, nama yang cocok buatnya
dengan kebiasaannya yang selalu menggendong tas yang ukurannya
lebih besar dari tubuhnya, dan satu hal yang paling memiripkan dia
dengan penyu yakni saat dia tertawa dia cenderung memendekkan
lehernya dengan menaikan kedua pundaknya dan menyilangkan kedua
tangannya di depan dadanya sehingga terlihat seperti penyu memasukan
sebagian tubuh ke dalam cangkang.
Aku bergeser dari tempat dudukku yang sudah terasa panas itu,
tak terasa hampir satu jam aku duduk di gazebo menegerjakan tugas
yang aku sendiri masih bingung. Gazebo kampus yang terlihat asri
terasa seperti rumah pohon milik tarzan, serasa di hutan belantara
dengan kedatangan kawanan satwa, mulai dari unta, penyu, kuda nil dan
yang terakhir si raja singa (eh maksudnya si raja hutan=singa).
“sempit banget ya?!!” kataku menggeser tubuhku yang didorong kuda
nil
“halah… ngecee!!!” (ngece=ngejek) kata kudanil.
“ya ada kamu emang jadi sempit kan?” kataku sambil mengangkat alis
ke singa, maksud hati mendapat pembelaan dari singa. Pepatah
mengatakan “mulutmu harimaumu”, kalimat yang bisa menggambarkan
seoarang wanita yang rambutnya selalu dikucir dengan karet, karena
sekali kucirannya terlepas, rambutnya terlihat seperti ekor kucing yang
sedang berkelahi, berdiri kaku dan lurus. Dialah Mastuti widi lestari
“sang singa betina”, seorang wanita yang cenderung pendiam, tapi
sekali mulutnya terbuka, bisa lucu sekali bahkan menyakitkan,
mulutnya harimaunya.
“iya dung”kata kuda nil bangga. Diah kristyani pemilik Tubuh dengan
ukuran istimewa itu selalu saja semangat kalau membicarakan tentang
makanan. Apalagi kalau fikirannya sedang kalut dan banyak masalah
pasti nafsu makannya bertambah banyak. Jadi kita dapat melihat
fikirannya lewat ukuran tubuhnya, semakin bertambah besar pipinya
artinya dia masih banyak masalah.
Ruang Sepi part I
Hiruk pikuk suara teman-temanku seakan seratus orang
berdebat. “Awwg..” kataku menjerit, ketika kakiku di injak kudanil.
Sialan ini anak, kaki sebesar itu menginjakku, mungkin sama sakitnya
seperti yang pernah ery rasakan saat terlindas ban truk ketika dia
berhenti di lampu merah.

“yip…yip..yip..” kata kamal sambil mendorong-dorong bahuku.


“apa sih!!” aku yang sedang sibuk memarahi kuda nil.
“liat siapa tuh..” kata kamal menunjuk ke seseorang berjalan di
depanku.

Kulihat kiki berjalan didepanku dan teman-temanku, dia


menyapa dengan senyuman manisnya saja. Rasa sakitku kini hilang,
melihat dia tersenyum padaku. Kupandangi dia berjalan menyusuri
koridor-koridor kampus sampai tak terlihat memasuki sebuah ruangan
sepi yang selalu membuatku tak betah berlama-lama di sana yakni
perpustakaan.
Panas menjadi dingin, sempit menjadi longgar itu yang aku
rasakan ketika aku beranjakan tubuh dari kursi beton itu. meskipun
keinginanku berat meninggalkan temanku tapi kaki ini memaksaku
menyusul kiki keruangan sepi itu. langkahku senang penuh semangat,
kutengok kembali ke taman-temanku yang masih duduk di gazebo, aku
tersenyum kepada meraka dan mereka membalas dengan acungan
jempol ke atas sebagai doa “semoga berhasil”.
Kubuka pintu yang terbuat dari besi yang sudah berkarat itu.
dinginnya pendingin udara menyejukan kepalaku. Kutengok kanan kiri
mencari sesosok gadis manis yang aku ikuti tadi. Tak kulihat dia, yang
kulihat beberapa teman mahasiswa yang sibuk dengan tumpukan buku-
buku tebal yang bisa buat bantal tidur itu. kususuri tiap sela-sela rak
buku yang tingginya kira-kira 2 jengkal diatas kepalaku untuk mencari
kiki. Pandanganku terhenti dan kudekati dia yang sedang sibuk
memilih-milih buku di rak depanku persis.
“hai… sendiri?” tanyaku kaku memulai pembicaraan.
“ghai yip, ehm engga salah niii.. akyu liat kammu disinni?”Tanya dia
sambil melihatku dari ujung kaki sampai kepala.

“bukitnya sekarang aku didepanmu kan?”jawabku mengangkat kedua


bahuku.
Tak lama setelah dia menemukan buku yang dicarinya, kuikuti
dia kesebuah meja baca yang kosong tanpa penghuni berwarna coklat
namun penuh dengan tinta putih yang terukir seprti huruf grafity. Aku
duduk tepat didepannya, terang sekali matanya. Semoga nanti malam
bintangku bersinar kembali. Aku mencuri-curi pandang darinya sambil
berpura-pura membaca buku yang tak aku ketahui ini.
“aaa..ku..”kataku bersamaan dengan katanya.
“ladies first”. Kataku mempersilahkan dia.
“kamu aja yip”.katanya balik mempersilahkanku.
Suasana menjadi tegang sejenak, debaran jantungku
mengencang kembali, bibir ini terasa kaku untuk aku gerakan. Banyak
kata yang ingin aku katakan tapi terlalu berharga untuk aku ucapkan.
“ehm…ehm…” kataku grogi sambil menundukan kepala.
“kenapa yip” tanyanya menegaskan.

“soal itu sudah kamu….” Kataku belum selesai sudah dipotong kiki.
“oh..itu yip, tadi aku juga mau ngomong . Maaf sudah menunggu ya.. ”.
Kata kiki sabar.
“iya aku ngerti ki, jadi bagaimana?” tanyaku penasaran.

“aku sudah fikirkan semuanya dalam beberapa hari ini, tentang


permintaanmu aku juga sudah punya jawabannya.” Katanya pelan.
Kemudian dia menarik nafas dalam dan kutunggu ucapan yang segera
terucap dari bibir manisnya itu, aku tetap tenang dan menjadi pendengar
setianya.
“fuuh…” helaan nafas kedengar dari mulutnya.
“gini ya yip”. Kata kiki.
“ ehm.. makasih sudah sayang sama aku, sudah perhatian selama ini
denganku. aku tahu kamu selama ini belum pernah mengecewakanku..”.
kata kiki tegang. Aku hanya mengangguk-angguk mendengarkan
dengan hati-hati setiap kata yang di ucapkannya.
“aku juga sudah punya jawabannya kog yip.. nyantai dong.. jangan
tegang kayak gitulah”. kaya kiki mencoba menenangkanku saat melihat
raut mukaku yang pastinya sangat jelek seperti martabak gosong.
Hilir mudik teman mahasiswa melewati tempat dudukku tak aku
pedulikan meskipun mereka sesekali menyapaku. Ruangan yang dingin
sekarang berubah hangat karena adrenalinku yang meningkat menunggu
kepastian yang selama ini aku impikan. Kepastian yang baik bukanlah
kepastian yang tak aku inginkan. Aku lihat kiki juga berat untuk
mengucapkannya saat ini, malu untuk mengatakan iya atau berat karena
hanya akan mengecewakanku. Aku tahu sesekali dia menatapku untuk
meyakinkan hatinya.
“jadi….. iya tau tidak?” tanyaku menegaskan kembali.
Cukup lama aku menunggu dia mengucapkan kata iya atau tidak
saja. Sama halnya saat aku ditanya dosen hanya untuk mengucapkan
salah satu diantara dua kata itu. takut, bingung, dua perasaan yang akan
melandaku jika aku ditanya dosenku seperti itu. takuk mengucapkannya
apakah nanti yang di ucapkan benar atau salah dan bingung kalau
ditanya dengan pertanyaan berikutnya, harus menjawab apalagi.

Sepi sekali sampai suara detakan jam dinding bertuliskan


chemistry itupun terdengar jelas oleh telingaku yang kadang-kadang
tuli. Beberapa kali kuhelakan nafas panjang menenangkan perasaanku.
Halaman demi halaman buku yang aku ambil kubuka, terbaca oleh
mataku dalam tulisan itu hanya sebuah kata, kata yng sangat aku sukai
saat ini “iya”. Kiki menampakkan bahasa tubuhnya kalau dia akan
mengucapkan beberapa kata mungkin hanya satu kata lewat
pandangannya yang sangat dalam ke kedua mataku. “Deg-degan”,
seperti mau berlari saja jantung ini. Kudengar dia mengucapkan kata
dengan nada yang lembut, yakin, tanpa pengulangan. Kubuka lebar-
lebar telingaku ini saat bibirnya mulai bergerak.
Cobalah teman, kamu pada kondisiku saat ini. Pasti perasan
bercampur aduk, bisa meriah seperti susu soda gembira atau jangan-
jangan seperti jamu brotowali yang sangat pahit. Tahu tak teman
bagaimana perasaanku saat itu. memang kalian ingin tahu saja perasaan
orang. Nanti aku ceritain untuk kalian semua.

Dia Tetap 5 huruf


Beberapa kali kulihat kiki menatap mataku. Sambil
mengucapkan beberapa kalimat mungkin bisa beralenia-alenia. Kulihat
bibir manisnya komat-kamit. Sedangkan aku hanya memegang
tangannya mencoba menguatkan Kiki.
“Aku gag tau harus ngomong apa “ kata Kiki bingung.
”Semenjak aku putus dari ganes pasti kamu dah tau namanya kan?aku
deket sama seseorang. Dia orang yang selalu menghiburku. Aku tau dia
suka sama aku, berkali-kali nembak aku tapi tetep aku tolak terus”

”Hanya 1 alasanku aku masih suka sama mantanku”. Kata kiki


menjelaskan.
”Sulit rasanya membuka hati kembali. Orang itu nerima semua, dan
hanya bilang -aku akan menunggumu-. Pantang menyerah deketin aku.
Sampai saat ini pun dia masih setia menungguku yip. Sudah setahun
lamanya dia menungguku tapi aku tetap kiki yang rapuh, nggak berdaya
menghadapi perasaan sendiri. Kiki orang yang penakut, takut
menghadapi semua masalah, dan hanya berpura-pura tegar. Akupun
tetap hanya menganggapnya teman. Dia pun rela hanya bisa menjadi
teman buatku, katanya suatu saat dia yakin aku akan membuka hati
kembali”.
Kiki kembali menatapku dan meneruskan ucapannya yang terpotong
dengan helaan nafasnya yang mulai bergoyang.
”Aku bukan kiki yang sempurna. Haruskah aku menyakiti kamu dan
orang tersebut??”
”Aku Cuma pengen gag nyakitin orang lain lagi, seperti –dia- yang
udah terlalu baik padaku sama halnya kyak kamu, aku gag pengen
nyakitin kamu yang udah terlalu baik sama aku”.
”Aku benar-benar gag mau nyakitin orang-orang yang baik sama aku,
Cuma gara-gara perasaanku yang masih suka sama mantanku,
Bagaimana aku mencari penggantinya kalo aku sendiri belum sanggup
untuk menghilangkan rasa sama ganez”.
”Kalaupun aku beri jawaban –iya-, adakah yang berani menanggung
jika suatu saat aku kembali sama ganez dan mencampakkan orang yang
bersamaku??”.
”Akupun masih punya hati, Makanya aku mengambil keputusan untuk
nggak pacaran dulu, dan gag mau berurusan sama yang namanya cinta”.
”Bukannya aku gag suka sama kamu, akupun berterima kasih banget
yip. Tapi aku belum bisa”. Ucap kiki sambil mengusap tanganku.
Kutarik tanganku dari genggamannya. Aku coba menahan
perasaanku yang sudah berkeping-keping ini. Aku mencoba
mengucapkan sesuatu tapi terpotong dahulu dengan kata-kata kiki.
”Aku coba untuk berpikir dewasa aja, lebih baik aku sendiri dan
mencoba mencari sesuatu hal yang lebih bermakna dari pada cinta. Aku
sendiri juga gag tau itu apa”.
”Untuk saat ini keluarga menjadi prioritas utamaku. Terlalu banyak
masalah disini, kamu tau sendiri bagaimana keadaan keluargaku.
Mungkin kamu berpikir apa hubungannya keluarga...engga ada
hubungannya sih, tapi....” kata kiki meneteskan embun dari matanya.
”Sahabat dan pacar itu sebenernya di tempat yang sama, ”di hati” Cuma
secara kasat mata cara berpandangnya aja beda. Mungkin kamu gag
bisa milikin aku sebagai pacar, tapi kamu bisa milikin aku sebagai
sahabat.”

”Aku jg gag mau kamu jadi berubah sikap sama aku. Kamu pasti bisa
menyimpulkan semua omonganku ini. Setelah ini mungkin kamu gag
mau kenal kiki lagi, atau gag mau liat kiki lagi. Aku maklum banget
kog yip. Aku tau, aku yang salah yip..Tapi tolong jangan jauhin aku ya
yip? Aku pengen kita tetep temenan seperti dulu tanpa ada yang
berubah. Hanya waktu yang bisa menjawab perasaanku. Biarkan
semuanya mengalir seperti adanya..please...”. kata kiky sambil menarik
kembali tanganku.
Cinta memang tak perlu di kata cukup dirasa saja...
Tapi cinta pun butuh pengertian, butuh waktu, dan butuh
pengorbanan...
Cinta tak pernah menyakiti atau di sakiti...
Sebesar apapun sakit yang kita rasa, tapi cinta tak akan pernah
berubah...
Dia tetap 5 huruf yang membawa hati dalam kedamaian
Jangan salahkan siapa-siap.
Jangan salahkan hati

Dan juga jangan salahkan diri


Karena cinta hanya sebuah rasa yang abstrak.
”Yaah .. mungkin cukup ya yip dari tadi aku ngoceh” kata kiky
mengakhiri ucapannya. Aku terdiam kaku, perasaanku hancur
sepertinya diikuti jatuhnya buku-buku di rak, berantakan berserakan dan
tak diperdulikan.

Beberapa menit aku hanya terdiam. Memandangi sekeliling dan


sesekali memandang ke arah kiki yang bermuka kusam namun tetap
menguatkanku, meskipun saat senyum matanya pun tak tersenyum.
”Simpan rasa itu untukku, jika suatu saat aku memintanya berikan
untukku. Tapi jika aku tak memintanya berikanlah kepada orang yang
mempunyai rasa yang sama denganmu.” kata kiki sambil melangkah
meninggalkanku keluar ruangan.
Aku pandangi Kiki berjalan sampai akhirnya tak terlihat. Dan
aku tetap saja duduk di kursi kayu yang menjadi saksi penolakan
cintaku. Ya mungkin belum saatnya aku bersinar, kataku dalam hati.
begitulah teman perasaanku saat itu, sekarang kalian sudah tahu kan?
Jangan sampai kamu mengalami seperti itu, sakitnya minta ampun.
Kuberitahu aturan nomor 7, cinta lebih kuat jika dengan logika, tak
hanya dengan hati saja.

Empat Koma Nol- Nol


Lega sekali, bagaikan mendapat minuman dingin bersoda di
gurun pasir, mendapat durian dimusim mangga, tapi aku ini kali
mendapat banjir disaat kemarau. Dua minggu aku menunggu kepastian
dari kiki. Dan hari ini aku tahu, Meskipun itu tak semanis yang aku
harapkan. Kucoba tetap menjadi diriku sendiri, kuatkan diri, dan tetap
mengharapkannya walaupun aku tahu perasaan dia seperti itu kepadaku.
Aku yakin pada impianku, semuanya akan menjadi nyata.
Setelah tragedi penolakan itu, seperti biasa aku bersama teman-
temanku tercinta, duduk di gazebo kampus yang terbuat dari beton
dihiasi dengan sedikit bambu yang mulai lapuk, bercanda, membuat
tugas, ataupun saling mengejek. Sesekali kulihat kiki melintas di
depanku baik bersama temannya dan kadang sendirian, setiap kumelihat
dia selalu saja kata ”manis” yang muncul diatas kepalaku . Sesuai
permintaan dia, aku tetap menyapanya, bersikap wajar dengannya.
Kadang aku juga mengajak kiki gabung bersama teman-temanku di
gazebo sekedar ngobrolin ini dan itu. Meskipun aku masih ada rasa
dengan kiki, aku sama sekali tak pernah menekan perasaanya untuk bisa
melupakan mantan pacarnya. Rutinitas itu selalu terulang dari hari
kehari, sampai akhir semester 4 ini.
Hari yudisium, pengumuman nilai kuliah. Seperti biasanya aku
deg-degan kalau saja mendapat nilai yang baik. Aku tak terlalu kaget
dengan nilai yang jelek, sudah terbiasa. Saat ini seperti 2 minggu yang
lalu setelah tragedi penolakan, aku bersama Kamal duduk di gazebo
membuka situs akademik kampus, melihat nilai mata kuliah semester 5.
” liat boy IPku”. Kata kamal bangga sambil mengangkat laptop ke arah
mukaku.

”brapa?? Sok banget. Kayak bagus aja”. Kataku.


”lima boy,, lima!!!”
”hah...”. kataku kaget, mana ada IP 5.
”komanya...” kata kamal tetap bangga.

”dua setengah saja bangga. Penyanyi dangdut saja yang kumlot terus
tetap engga banyak gaya”. Kataku.
”belom tahu Ipku kan?”. tantang kataku.
”ah... percuma tetap saja nasakom”. Kata kamal tak peduli.

”sekarang nadukom, nasib dua koma..hahahaha. peningkatan kan bro”


”yip...yip...mal..mal...cepet.cepet..tolongin...!!!!” teriak Dana sambil
menunjuk ke atap gedung kampus.
Aku dan kamal langsung melihat keatas arah gedung, kulihat
seseorang dari sela-sela daun pinus tak jelas siapa yang ada diatas sana.
Terlihat hitam karena terkena sinar matahari dari depan arah
pandangku. perempuan itu berdiri ditepi gedung, Kulihat Kamal
langsung meloncati pagar gazebo, berlari menuju tangga melewati
lorong-lorong gedung kampus, kali ini dia bukan seperti unta yang
lambat, melainkan macan yang siap menerkam mangsanya. Sedangkan
aku masih melihat ada apa di atap gedung kampus. Dana yang masih di
belakangku mendorong badanku untuk menyusul kamal menaiki
tangga.
Terengah-engah nafasku menaiki anak-anak tangga gedung
empat lantai. sampai diatap gedung, kulihat kamal merangkak dilantai
beton yang kasar dan kotor itu. ”bercanda saja itu anak” kataku dalam
hati. kamal memberiku isyarat,menyuruhku mengambil tali terletak di
pojokan gedung dengan kayu-kayu dan kursi yang sudah tak terpakai,
dan aku tahu harus melakukan apa dengan tali itu. Kuikatkan tali kuat-
kuat di salah satu kaki kamal, sementara kamal masih merangkak
mengendap-endap seperti berjalan di bawah kawat sama halnya latihan
angkatan darat.
Aku berjalan perlahan-lahan mendekati puzie yang memakai
baju putih dengan jilbab putih dan celana ketat abu-abunya dari arah
belakang dia. Tubuh kecilnya 155 cm kulihat berdiri tepat di ujung
gedung dan angin menggoyangkan jilbabnya, ya dia berdiri ditepi
gedung yang pagarnya hanya setengah lutut orang dewasa. Salah
melangkah atau terkena angin bisa-bisa Puzie yang mempunyai pipi
tembem itu jatuh dari lantai 4 ini bisa-bisa mukanya jadi tirus. ”Ada
masalah apa? Sampai nekat seperti ini”, pikirku dalam hati. Kulihat
Kamal semakin mendekati Puzie yang merentangkan tangan sambil
menutup matanya. Beberapa detik saja kamal langsung meloncat
menerkam Puzie,bersamaan itu kulihat Puzie bergeser dari tempatnya.
”hoy....tolong..tarik yip...cepet...” teriak kamal yang bergelantungan
disamping gedung antara lantai empat. Hanya terikat tali sebesar
genggamanku di salah satu kakinya. Tangannya bergelantungan ke
bawah. Kalau Kamal benar-benar jatuh pasti kepalanya yang
berhantaman langsung dengan tanah. Kudengar orang-orang di bawah
teriak histeris melihat kamal.
”zie....bantuin narik... berat ni!!!!” teriakku sambil menarik tali yang
masih mengikat kamal.

”apa-apaan kalian? Heh kenapa itu kamal?”. Tanya Puzie bingung


sambil menarik tali yang aku pegang. Ekpresi wajahnya seperti orang
mempunyai IQ 80 saja, wajah bijaksana dan kacamata yang
membuatnya terlihat pintar hilang sejenak dari raut mukanya, bahkan
aura penyanyi dangdutnyapun tak terlihat, kali ini seperti penyanyi
seriosa.
”kamu tuh yang kenapa?”.
”aku? Aku? Ga apa-apa kok Yip”.

”lah terus tadi berdiri disana ?”


Puzie hanya tersenyum nyengir, sementara itu nyawa satu orang
terancam. Kamal terus teriak-teriak minta tolong. Aku dan Puzie terus
berusaha menarik tubuh kamal yang seberat unta hamil, sampai-sampai
keringat membasahi tubuhku. Puzie terlihat kelelahan dan tak sanggup
menarik kamal lagi. Bisa-bisa cerita kuch-kuch hota hai tamat kalau
seperti ini. Kusemangati puzie jangan sampai menyerah setidaknya
sampai ada orang lain ikut bantu menarik. Seluruh tenaga aku kerahkan
sampai wajahku memerah menandakan tenagaku mulai habis, tapi yang
aku lakukan percuma, tubuhku tertarik ke arah Kamal karena lantai
yang dipenuhi pasir membuat alas sepatuku tak merekat ke lantai.
” turunin dikit talinya....”. teriak Kamal.

Kuikuti saja kata-kata Kamal sambil mengulurkan tali pelan-


pelan. Ternyata di lantai empat sudah ada dana dan kawan-kawan lain
yang menarik kamal. Dana melemparkan tali kepada Kamal untuk
ditarik ke teras lantai empat. Kulepaskan tali yang membuat telapak
tanganku lecet ini, kemudian ku rebahkan sebentar badanku ini di atap
gedung lantai empat ini. Untung saja kataku, kuch kuch hota hai tak
sampai tamat.
Ketemui kamal di lantai empat yang sedang terkapar
mensyukuri nasibnya. Saat kamal melihat Puzie langsung dia beranjak
bangun menghampiri Puzie, tanpa titik dan koma dia langsung
menghampiri Puzie dan memarahi Puzie. Kulihat dana mencoba
menenangkan Kamal. Sementara Puzie membela dirinya dengan
berbagai alasan mengapa dia berdiri di atap gedung, dan orang-orang
berfikiran seakan dia mau bunuh diri. Dugaan semua orang salah, saat
aku tanya Puzie mengapa dia berdiri di atap gedung dan merentangkan
tangan, apa masih ada masalah yang berat, Puzie menjawab kalau dia
sedang mengambil gambar dirinya yang sedang difoto oleh Emak dari
gedung depan dia berdiri. Bahwa fotonya itu akan di upload di facebook
sebagai cerminan index prestasinya yang tinggi, setinggi dia berdiri
diatas gedung empat lantai ”empat koma nol-nol hebat bukan?”katanya
saat itu. ”Iya sehebat akibat yang ditimbulkan sikap narsis dan berlebih-
lebihanmu itu. Hebat lagi kalau ada tumbalnya” kataku saat itu jengkel.
Berisik sekali Kamal memarahi Puzie, apalagi setelah Kamal
mendengar alasan Puzie di atap gedung, kemarahan Kamal semakin
menjadi-jadi. Bagaimana tidak, dia hampir mempertaruhkan nyawanya
hanya untuk orang tetap eksist di situs pertemanan itu. Lebay melambai
kata yang cocok buat penyanyi dangdut dan yang selalu eksist pula
dengan kantong ajaibnya.
Tak tahan lagi dengan ucapan dari mereka berdua yang semakin
lama tak jelas seperti radio rusak saja, kuajak dana turun dan pergi
meninggalkan Kamal dan Puzie. Tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.
Aturan no. 10, jangan lebay karena lebay dapat meminta tumbal.

Dana Abri Agni


Seperti panas setahun dihapus hujan sehari, itulah yang aku
rasakan saat ku tegakan air ke kerongkonganku, meskipun bukan es
bersoda melainkan hanya sebotol air putih tak dingin di kantin Bu
Gendut namun rasanya menyegarkan setelah adegan tadi. Aku duduk di
sebuah kursi yang sama saat kali pertama aku bertemu dengan Kiki,
namun kali ini sedikit berbeda, aku ditemani dana yang tadi ikut tim
SAR dadakan menyelamatkan artis bollywood Kamal Khan dari
kesalahan aktingnya itu. Dana temanku mungkin tubuhnya yang tak
seperti kiki yang menurutku wanita paling sempurna, Dana sama halnya
dengan teman-teman wanitaku yang lain, bertubuh kuning bangsat
(sorry maksudnya kuning langsat), hidung tak mancung, tubuhnya
tinggi untuk ukuran cewek sih, mungkin 5-10 cm lebih tinggi dari Kiki,
tapi yang aku tak suka dari dia ya cara dia berdiri, berjalan, tak
menampakan kewanitaanya, jalannya sedikit bungkuk seperti preman di
pasar saja. Tapi hal yang paling aku sukai dari dia adalah sikap dia
kepada teman-temannya, dia selalu ada buat temannya kapanpun dan
dimanapun. Dana salah satu teman terbaikku yang setia dan tulus
kepadaku.
Kalau ada motor tiba-tiba berhenti di jalan, tak tahunya
kehabisan bensin, ada orang berjalan menabrak pilar gedung kampus
meskipun tak ada angin topan ataupun gempa, terus kalau ada orang
mentraktir temannya, dan ketika mau membayar, uangya ketinggalan,
hanya temanku yang satu ini Dana Abri Agni yang sering mengalami
kejadian itu. Kejadian yang selalu ceroboh dan selalu saja jatuh pada
lubang yang sama.
Mungkin semua itu berawal dari namanya, Dana Abri Agni.
Bagus sekali namanya, dan karena aku suka dengan nama itu aku
pernah tanyakan arti namanya. Saat itu Dana menjelaskan arti namanya
dengan semangat karena memang jarang orang peduli dengan namanya
itu. Pertama-tama dia menjelaskan arti namanya dari awal sampai akhir
dan sejarahnya sampai dia diberi nama seperti itu. Dana yang berasal
dari tokoh pewayangan yaitu Brahma Dana yang diharapkan nanatinya
sifatnya seperti Brahma Dana yang santun dan berwibawa, selanjutnya
kata Abri itu cita-cita orang tua Dana yang semula pengen jadi ABRI
(angkatan bersenjata republik indonesia) dan yang terakhir yang aku
tanyakan adalah Agni. saat itu dana hanya menggelengkan kepala, dan
kemudian aku berkata Api (dalam bahasa jawa Agni=Api). Jadi dana
Abri Agni dapat diartikan ”tokoh Pewayangan yang pengen jadi ABRI,
gagal karena tak sakti dan terbakar api”. Sungguh malang nasib Dana
Brahma kalau seperti itu. Mungkin saat itu Dana Brahma belum
berguru pada si Otot Kawat Tulang besi ”Gatot Kaca”. Wibawa Dana
Brahma lenyap bersama Api saat mengikuti ujian masuk ABRI.
Begitulah orang tua menamakan anaknya, sesuai dengan obsesi yang
diinginkan orang tuanya. Ada juga salah satu temanku bernama Uud
setiawan, kenapa dia dinamai seperti itu? Lagi lagi karena orang tuanya,
ayah uud seorang ahli hukum, jadinya dia dinamakan Uud alias
Undang-undang dasar, nama yang pas buat mukanya yang jadul seperti
waktu UUD dibuat.
Aku tersenyum mengingat arti nama temanku yang duduk di
depanku ini, semoga saja aku tak ikut kecerobohannya karena berteman
dengan Dia.
”Kenapa Yip? Senyum-senyum sendiri... gila!!!”. tanya Dana.
”engga kok”.

”inget namamu”. Kataku melanjutkan.


”ah... sudahlah”.
Dana kulihat menghabiskan minumannya sekaligus, orang asli
semarang ini sepertinya benar-benar haus. Tiba-tiba Dana beranjak dari
kursinya sambil memegangi perut. Kebiasaanya yang timbul kalau
habis makan di kantin, bukannya makanannya Bu Gendut yang tak enak
dan membuat sakit perut. Tapi memang perutnya yang kebanyakan
cacing kali ya, tiap makan atau minum dikit saja sudah minta
dikeluarin. Kebiasaannya yang menular padaku juga sampai akhirnya
aku mendapat julukan manusia tisu.
Sementara Dana masih di belakang melakukan semedi,
kudengar suara berantem seperti duet vokal dari kejauhan, semakin
lama terdengar semakin keras dan tak sinkron, yang satu menyanyi
dangdut dan yang satu lagi menyanyi india, Puzie sang penyanyi
dangdut dan Kamal Khan sang bintang Bollywood menghampiriku, ya
tetap saja meributkan kejadian yang tadi.
Sepuluh menit duduk bersampingan dengan artis lokal dan
Bollywood ini membuat gendang telingaku semakin rusak. Bagaimana
tidak, keduanya termasuk nominasi orang paling cerewet satu jurusan,
jurusan Kimia. Kupandangi Puzie dan kamal yang tak berhenti
mengoceh, mataku seperti melihat pertandingan bulu tangkis saja,
indonesia melawan india. Bola mataku mengikuti dari bibir siapa kata-
kata itu keluar, kata-kata yang keluar seperti bola yang saling dipukul.
Kata di keluarkan kamal ke arah mulut Puzie, mataku mengikuti arah
kata itu berpindah. Dan Puzie membalas dengan smash-an, ternyata
kamal bisa mengembalikan, mataku melotot melihat itu,aku terpaku
melihat Puzie jatuh bangun membalas dengan pukulan menipu sampai
akhirnya Kamal menyerah, aku teriak kegirangan. Dan Tentu saja
indonesia yang menang, dari dahulu indonesia terkenal juaranya bulu
tangkis, dan saat itu idolaku Susi Susanti. Tapi sekarang bagaimana
prestasi bulu tangkis kita? Sudah tak ada yang bisa aku idolakan.
”STOP!!!!” teriakku sambil menutup mulut Puzie dan Kamal.
”Dari tadi kek! Kan jadi enak, ga berisik. Ganggu nafsu makan orang
saja!!”. Lanjut kataku.
Setelah kulepaskan tangan dari kedua mulutnya sejenak suasana
menjadi sepi, keributan keduanya berlanjut setelah menenggak
minumannya masing-masing. Dalam benakku, Oh, ternyata haus juga
dari tadi ngomong.

”Pulang ah, pusing tau!!!”. Kataku sambil menarik tas di meja.


Namun kudengar teriakan Dana dari pintu kamar mandi
menahanku untuk pergi. Aku duduk kembali meskipun sudah malas
dengan kedua artis yang menjadi pemain bulu tangkis itu.
Saat dia duduk dia mulai membicarakan keinginanya untuk
mengajak berlibur. Memang liburan akhir semester lima ini tak ada
semester pendek ataupun kegiatan kampus lainnya. Dana berencana
mengajak liburan ke kepulauan Karimun Jawa, pulau yang terletak di
utara pulau jawa, dan juga memasuki kabupaten Jepara, kira-kira 4 jam
perjalan dengan kapal cepat dari Jepara. Kemudian dana memandangku
dan berlanjut ke arah Puzie dan Terakhir Kamal menandakan minta
persetujuan. Aku mengangguk dan sedikit menggeleng juga, yang
artinya masih bingung apa enaknya dipulau terpencil itu. Sedangkan
Puzie sudah tersenyum girang mendengar itu, jelas puzie langsung
girang, dia kan paling senang kalau diajak jalan-jalan, apalagi
bertualang. Kulihat kamal melakukan tarian india, menggelengkan
kepalanya, dan menggerakan maju mundur kedua tangannya di depan
perutnya yang artinya dia sangat setuju.
Ketiga temanku sudah bersemangat untuk pergi kesana,
sementara aku masih bingung mau ikut apa tidak, aku bingung apa
serunya dengan pulau terpencil itu. Setelah kutanyakan tentang pulau
Karimun Jawa itu, Kamal menjelaskan dengan detail yang membuatku
tertarik, Katanya pulau Karimun tak kalah dengan pulau Bali yang
terkenal sampai kepenjuru dunia itu. Singkat kata pulau Karimun terdiri
dari banyak pulau dan hanya beberapa pulau besar yang didiami. pulau
yang terbesar paling setengah hari bersepeda, kita sudah dapat
mengelilinginya. Pulau-pulau itu membentuk gugus pulau yang sangat
indah seperti potongan zamrud di atas embun, suara ombak yang
berkejaran terdengar menyapu halusnya pasir putih yang bersih dan
asri, angin laut berhembus sejuk menggoyangkan daun nyiur yang
terlihat di pulau seberang melambai untuk dihampiri. Segarnya air laut
yang jernih laksana kaca akuarium yang di dalamnya terdapat ratusan
bahkan ribuan karang yang berwarna-warni. Ikan yang bermacam-
macam menggoyangkan rumput laut yang menari di atas karang yang
seperti tumpukan batu permata. Langit menyala merah disore hari
dengan bundaran merah mentari menggelapkan pandangan pulau-pulau
kecil yang jauh. Singkatnya pulau Karimun Jawa mempunyai landscape
yang tak jauh berbeda dengan pantai Kuta Bali. Bedanya hanya banyak
dan tidaknya pengunjung yang datang.
Satu hal membuatku ingin kesana adalah kata-kata kamal
tentang keistimewaan kendaraan di pulau Karimun. Aku ingin
membuktikan ucapan kamal itu, katanya kendaraan seperti sepeda
motor, mobil dan lainnya di sana tak akan dicuri meskipun kuncinya
tergantung di tempatnya dan tanpa pengamanan yang tak terlalu baik.
Berbeda dengan sepeda motor di pulau jawa, sudah dikunci, digembok,
diberi alarm tetap saja bisa hilang, itu juga terletak di dalam rumah yang
terkunci, apalagi di letakan di luar rumah dengan keadaan yang sangat
memungkinkan dicuri seperti di pulau Karimun, bisa-bisa maling
berhura-hura, nyolong sini nyolong sana. ”Stolen party” kata yang tepat
jika keadaan sepeda motor di pulau jawa sama seperti pulau karimun.
Pulau karimun yang aman dari Curanmor memang bisa terjadi.
Tentu saja, pulau yang hanya mempunyai keliling setengah hari
perjalanan dengan sepeda gunung memungkinkan maling berfikir ulang
untuk mempergunakan senjatanya ”kunci T”. Misal terjadi curanmor di
pulau Karimun, orang sana pasti bilang ”biar saja, tunggu sampai
malingnya mengembalikan setelah bensinnya habis”, Atau mereka akan
meneriaki ” maling, maling” sambil kipas-kipas dan membakar ikan
dipinggir pantai, sementara si maling berfikir bagaimana dia akan
selamat, mati dikeroyok atau mati dimakan hiu saat menyebrangi laut
jawa dengan sepeda motor curiannya.
Andai saja seluruh daerah di Negara Republik Indonesia tercinta
ini keamanannya sama seperti pulau Karimun khususnya curanmor,
tentu saja pak polisi tak terlalu repot setiap hari mengurusi kasus
curanmor yang semakin hari semakin meningkat sama halnya dengan
pertumbuhan jumlah penduduk. Pak polisi yang yang tadinya
mengurusi kasus curanmor bisa dipindahkan mengurusi kasus curandin
(pencurian duit negara) alias korupsi.
Tak jauh berbeda curanmor dengan curandin, sama-sama
merugikan warga negara. Bedanya nasib pelakunya saja. Pada kasus
curanmor jika ketahuan, nasib pelakunya kalau tak mati digebukin
warga, paling ringan dipenjara dengan kondisi cacat karena jatuh dari
sepeda motor yang ditumpanginya terpaksa berhenti setelah dilempar
batu atau nyium warung di pinggir jalan, padahal hasil yang diperoleh
dari penjualan kendaraan curian tak sama dengan resiko yang
didapatkannya, hanya bisa membuat dapur berasap saja. Sedangkan
pada kasus curandin jika pelakunya ketahuan, sang pelaku paling berat
dipenjara dengan fasilitas seperti hotel bintang lima, kamar tidur empuk
plus kamar mandi bentuk jaguzi, pendingin ruangan, televisi layar lebar
dan tipis dengan berbagai chanel, lemari es, dan komputer beserta
jaringan internetnya. Dan paling ringan, sang pelaku curandin bebas
bersayarat namun masih bisa jalan-jalan keluar negeri menghabiskan
uang negara yang telah dicurinya. Adil sekali bukan hukum negara
tercinta kita??. Sebagai warga negara aku menangis melihat keadaan
hukum negara kita yang seperti itu, tak banyak yang bisa aku perbuat
untuk itu. Semoga suatu saat nanti negara kita bisa mempunyai suatu
hukum yang benar-benar menjunjung tinggi keadilan.(Okey, kita lanjut
lagi ceritanya. Maaf teman ngelantur sampai gini.hehehe).
Setelah mendengar penjelasan dan bayangan yang aku peroleh
tentang pulau Karimun Jawa Aku langsung beranjak dari tempat
dudukku kemudian berdiri dan mengangkat tanganku dan berkata ”ayo
kita taklukan” arti aku setuju untuk ikut berlibur ke pulau Karimun.
kemudian diikuti ketiga temanku itu dengan semangat berkobar-kobar.
Sementara semangat sedang diujung kepalan tangan yang mengarah ke
atas dengan pandangan mata yang penuh harapan, terdengar suara lirih
dengan nada yang bingung dari mulut Kamal.
”tapi kapan?”.
”yeh..!!!”. Teriak aku, Dana, dan Puzie jengkel.

Setelah beberapa menit kita bedikusi, dengan berbagai alasan


dan pertimbangan dengan cara yang seksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya maka diputuskan bahwa liburan ke pulau Karimun
dilaksanakan seminggu sebelum masuk kuliah. Ini berarti bahwa kau
bisa berlibur dengan keluarga dirumah kurang lebih satu bulan. Sudah
sangat merindukan ayah, Ibu dan adikku di rumah. Dan rencana besok
sore aku akan pulang ke rumah menghapus kerinduanku bertemu
keluargaku tercinta.

Hilang ingatan
Malam itu letih sekali badanku, ingin rasanya ganti onderdil
badan maklum habis perjalanan 2 jam lebih dari semarang ke
pekalongan dengan sepeda motor. Saat yang bersamaan, nyaman
rasanya sudah sampai di rumah sendiri “rumahku istanaku”. Rasa
lelahku terobati saat kulihat rumah berwarna pink. Rumah sederhana
dengan pagar besi berwarna coklat kulihat tanaman depan rumah
sebagai penghias taman sama sekali tak berubah, daun-daun terlihat
pucat dan kering, tanah dalam potpun terlihat retak karena sudah lama
tak disirami. Kuparkir motor merah hitamku yang seperti belalang
tempur di garasi rumah. Terlihat garasi kosong dan lapang saat itu,
“klik..” suara pintu coklat terbuka dan tak terkunci. Kuhirup dalam-
dalam udara dalam rumah, segar sekali, membuatku sangat nyaman dan
ingin segera rebahkan badanku ini dikamarku.

Saat masuk rumah kulihat ayahku tertidur di sofa krem ruang tamu,
hanya memakai kaos putih berkerah dan sarung kotak-kotak buatan
dalam kota, kota pekalongan tercinta. Dalam benakku mungkin ayahku
capek seharian bekerja, dia memang ayah terbaikku yang sekarang aku
punya dan selamanya.

“dari sana jam berapa?” Tanya ibuku yang sedang nonton sinetron di
televisi
“jam 5 sore bu, kok ayah sudah tidur?’ kataku sambil kuletakan tas di
samping sofa tempat televisi setelah kucium tangan ibuku.
“ga tau, dari tadi sore udah tidur, dibangunin ga mau”. Jawab ibuku
yang sibuk dengan remot televisi.
“mungkin kecapean bu,yaudah biarin dulu. aku mau mandi dulu bu.
Panas, gatel semua.” Jawabku saat melangkah ke kamar mandi.
“lah wawan kemana bu?” lanjut tanyaku.

“ adekmu biasa keluar belum pulang dari tadi pagi, biasa kalau liburan
kaya gini,di bilangin orang tua mana mau dia. Palingan sebentar lagi
pulang.” Jawab ibuku yang kesal dengan tingkah adekku satu-satunya.
“Kalau mau makan ambil sendiri di dapur” lanjut kata ibuku.
“HAAAA…hwuaaaa….. hahahahah” terdengar teriakan kencang dari
ruang tamu tempat ayahku berbaring. Aku langsung berlari menjemput
suara tersebut. Kulihat ibuku di samping ayahku memegang erat
tangannya. Wajah ibu bingung dan panik, beliau hanya memandang
ayahku. Aku juga bingung sebenarnya ada apa ini, kenapa ayah tertawa
tapi matanya tak menandakan kebahagiaan . wajahnya pucat, matanya
berair. Melihat ayahku seperti itu aku hanya terdiam mencoba menggali
dan bertanya-tanya kenapa seperti ini.
“bu, ayah kenapa?” tanyaku karena aku tak tau awalnya bagaimana.
“ tiba-tiba teriak sendiri, kenapa ini?” jawab ibuku panik, malah beliau
balik Tanya padaku.
Aku mendekati ayahku, tapi beliau tak mengenaliku. Kenapa ini
kenapa? Tanyaku dalam benak. Pikiranku menjadi-jadi, jangan-jangan
ayahku kerasukan. Aku membantu ibuku memegang ayahku yang mulai
berontak. Tubuh ayah yang besar tak sanggup kupegangi dan akhirnya
terlepas dari pelukanku yang erat. Ayahku bangkit sambil mengacung-
acungkan tangannya ke arahku, ayah tertawa-tawa mengacung
tangannya ke mukaku seperti anak kecil yang saling mengejek. Aku
terdiam menundukan kepala, tak tega melihat ke arah wajah ayah.
Air mata yang bening pun mengalir dari mata ibuku, suara
isakan tangis dari ibu kudengar dengan jelas. Sudah begitu lama aku tak
melihat ibuku menangis seperti ini, suasana semakin menegangkan dan
membuatku tak tahan melihat semuanya ini. Aku hanya menatap ibuku
yang sungguh sedih dan bingung dengan apa yang terjadi. Sementara
itu ayahku tetap berdiri didepanku dan ibuku yang duduk di sofa.
Kulihat mata ayah yang tua itu memerah dan mengeluarkan air mata
yang terlalu mahal untuk dikeluarkan, tapi kenapa beliau masih tertawa-
tawa dan berbicara tak jelas itu. ibuku menatapku agar aku melakukan
sesuatu pada ayahku. aku tertekan, aku sendiri juga tak kenal ayah yang
seperti itu.
“Panas”, kudengar ayah mengucapkan itu, ayah mondar-mandir
berjalan di ruang tamu dari sudut ke sudut. Aku memperhatikan beliau
dan mencoba mencari solusinya, terfikir olehku untuk minta tolong
kepada tetangga, tapi tak diizinkan oleh ibuku. aku semakin panik
melihat ayah yang tak mengenakan bajunya, air mataku mengalir deras
melihat ibuku memeluk ayah sambil menangis.
Gerakan badan ayah semakin berat untuk aku pegang. Ayah
memberontak dan berlari menuju pintu didepannya yang tak terkunci
itu. kususul ayahku lebih cepat, aku hadang-hadangi beliau didepan
pintu, aku mencoba menutup pintu namun ditolak ayahku dengan
tenaganya yang kuat. Aku tetap memaksa dengan sekuat tenagaku
menutup pintu jangan sampai ayah keluar dan berlari tanpa busana itu.
aku dorong ayah sekuat tenagaku, kulihat beliau terjatuh di lantai,
beliau mulai bangkit lagi dan tetap memaksakan untuk keluar, ayah saat
itu mengatakan ingin keluar, ingin jalan-jalan di luar. Kupegangi tangan
ayah dan kupaksa beliau masuk kamar. Tenagaku mulai habis melawan
kekuatan ayah yang belipat ganda ini.
Setelah memasuki kamar kupeluk tubuh ayah dari belakang,
kududukan ayah di kasur, aku tetap memegangi tubuh ayah kuat-kuat.
Ibuku mulai menenangkan ayahku, mencoba menanyakan siapa beliau
itu, siapa aku, kudengar beberapa kata dari mulut ayah. Kata-kata kasar
mengumpat ibuku. diucapkannya kata-kata itu sambil tertawa. Ayah
yang kukenal tak pernah mengmpat seperti itu, apalagi kepada ibuku.
Kulihat ibuku terus menanyakan beberapa pertanyaan kepada ayah
dengan ucapan yang terbata-bata karena tak bisa menahan air mata
beliau yang semakin membasahi kulit wajahnya yang putih itu. aku tahu
hati ibu hancur dan kecewa, tapi ibu tetap coba tenang dan tetap
mencoba menyadarkannya ayah. Ibu mulai membacakan beberapa ayat-
ayat suci alquran ditelinga kanan ayah, beliau terus mengingatkan ayah
untuk menyebut nama-Nya. Ayah tak berubah, beliau tetap berontak,
dan semakin menjadi-jadi dengan ucapannya yang malah meledek
ibuku.
Sambil kupeluk ayah erat-erat dari belakang, aku membisikan
adzan ke telinga kiri ayah. Kubisikan pelan-pelan dan terus menerus
dengan suaraku yang tak keluar kerena isakan tangisku yang semakin
tak bisa kukendalikan, sementara itu ibu keluar mengambil air. Ibu
datang dengan segelas air, ibu menyodorkan gelas itu ke mulut ayah,
ibu mencoba meminumkan air itu, semakin gelas didekatkan ke mulut
ayah, justru mulut ayah semakin ditutup kuat-kuat. Tak peduli dengan
itu decelupkan tangan ibu ke dalam gelas, air digelas tertumpah
sebagian, kemudian tangan ibu yang basah itu diusapkannya ke muka
ayah.
Otot yang tegang, badan ayah yang dari tadi berat kurasakan
mulai lemas. Aku bersyukur keadaan ayah mulai membaik. Kulepaskan
tanganku dari tubuh ayah pelan-pelan mengikuti tubuh ayah yang
melemas itu. Ibu menanyakan lagi pertanyaan yang tadi selalu
ditanyakan kepada ayah. Ayah mulai bisa menjawabnya, beliau juga
mengenalku. Mata ayah yang tadi merah sekarang mulai memudar,
wajahnya yang tadi pucat dan tegang sekarang mulai berseri kembali
meskipun kulihat wajah ayah letih.
Kubaringkan ayah ke kasur yang spreinya berantakan itu, ayah
pasrah saja saat kututupi tubuhnya dengan selimut, tubuhnya lemas tak
sanggup lagi untuk bangkit. Kubiarkan ayah berbaring mengembalikan
ingatannya. Ayah masih bingung melihat aku dan ibuku menangis. Aku
tahu ayah saat itu pasti tak sadar, tapi aku tak tahu persis itu disebabkan
apa. Aku tak berani menyimpulkan sesuatu dahulu tanpa tahu
penyebabnya.
Ayahku ayah tersayang paling baik sedunia, ayah yang selalu
mensuport apapun yang aku suka selama itu tak dianggap oleh ayah
merugikan aku dan membahayakanku, ayah yang selalu ada saat aku
sakit, ayah yang selalu memberikan apapun yang aku minta, apapun itu
selama beliau sanggup pasti beliau berikan padaku, ayah yang selalu
memberikan kejutan–kejutan yang tak terduka dan kejutan itu
membuatku menangis kalau aku mengingatnya. Ayah tercanggih di
dunia yang aku miliki.
Suara kenalpot motor yang berisik terdengar dari garasi, aku
tahu adekku pulang. Hampir satu jam kejadian itu berlangsung dari
awal ayah teriak sampai terbaring lemas di kasur. Habis tenagaku,
tenaga ayahku, air mataku dan air mata ibukupun mengering melihat
ayahku yang seperti itu. aku duduk didekat ayah yang sedang berbaring,
kulihat adikku memasuki kamar, aku tahu dia heran dan bingung
kenapa aku, Ayah, dan Ibu berkumpul dikamarnya sedangkan kondisi
ayah seperti ini.
Setelah mendengar beberapa penjelasan dari ibuku, adekku
kulihat juga tak sanggup menahan air matanya, namun dia lebih kuat
dariku. Kudengar ibuku menyuruh adekku memanggil tetanggaku yang
kebetulan juga dokter memastikan kondisi ayah saat ini.
Tak lama hanya selang beberapa menit wawan kembali
memasuki kamar bersama pak Hendra yang menenteng koper putih
ditangan kirinya. Pak hendra awalnya menanyakan asal muasal keadaan
ayah kepada ibuku. tentu saja ibuku menceritakan semuanya dari awal
sampai akhir. Pak Hendra mulai beraksi dengan membuka koper itu,
aku menyingkir dari samping ayah memberikan kesempatan kepada Pak
Hendra agar lebih leluasa bekerja dengan peralatn dokternya yang
tersusun rapi dikopernya. Pertama-tama diambilnya teleskop dari koper
dan digantungkann di leher pak hendra, kemudian dikeluarkan tensi
meter dan didekatkan lengan kanan ayah. Pak hendra mulai memasakan
salah satu bagian alat tensi meter itu dilengan ayah. Sambil tangan
kanannya meremas-remas bundaran karet hitam yang dipegang, tangan
kiri pak hendra menaikan telekopnya ke kedua kupingnya. Sungguh
terlihat cerdas saat kulihat raut muka pak Henda memeriksa tekanan
darah ayah. “sedikit tinggi” bisik pak hendra kepada ibuku.
Setelah selesai dengan semua pemeriksaan yang dilakukan Pak
Hendra, pak hendra merapikan peralatannya sambil memandang ibuku
sebagai tanda ingin menjelaskan asal muasal ayah bisa seperti itu. Pak
hendra berjalan keluar dari kamar langsung diikuti oleh ibuku. kudengar
dari sela-sela pintu kamar pak hendra menjelaskan beberapa hal kepada
ibuku. kata pak hendra ayah terkena stress yang kalau berlanjut bisa
membuat ayah hilang ingatan. Ada syaraf di otak ayah yang tegang, dan
sekarang juga masih dimungkinkan akan tegang kembali. “Tapi tenang
bu”, kata pak Hendra menenangkan ibuku, kata pak hendra, ayah hanya
butuh istirahat dan ketenangan, untuk sementara waktu jangan sampai
ayah memikirkan yang berat-berat, setaknya ayah tak boleh memikirkan
sesuatu dikepalanya yang membuatnya jadi stress.

Kursi bambu
Sinar kuning yang menembus sela-sela dedaunan menyinari
sebagian muka ayah. Kulihat ayah menarik nafas dalam-dalam
dilanjutkan memejamkan mata sejenak. Sore itu, tepatnya tiga hari
setelah ayah seperti orang kerasukan, aku bersama ayah duduk di
belakang rumah menikmati sinar mentari sore yang mulai meredup
bertemankan sepiring kue dan secangkir teh hangat yang tertata di meja
yang terbuat dari bambu. Keadaan ayah saat ini sangatlah baik, wajah
ayah sudah berseri dan mulai banyak bicara seperti kebiasaan dahulu.
Aku jadi teringat dengan cerita-cerita ayah dahulu sewaktu aku kecil
sebelum masuk sekolah. Aku selalu meminta ayah menceritakan
dongeng, biasanya aku diceritakan dongeng sehabis bangun tidur,
bukannya sebelum tidur. Aku ingat dongeng yang selalu aku minta, “si
kancil mencuri timunnya Pak Tani”, sampai-sampai aku hafal jalan
ceritanya. aku minta ayah menceritakannya hampir setiap pagi sehabis
bangun tidur, aku tetap tak bosan mendengar cerita ayah meskipun
kadang-kadang ayah berimprovisasi dengan jalan ceritanya itu, ada
sesuatu yang berbeda yang membuatku nyaman saat mendengar ayahku
bercerita. Aku tak tahu itu, rasa sayang ayah padaku yang begitu dalam
terasa mengalir bersama kata-kata yang kudengarkan. Ayahku
tercanggih sedunia.
Ayah menaruh cangkir yang dari tadi dipeganginya, kulihat kali
ini ayah serius mau membicarakan sesuatu. Beliau beberapa kali
memanggil ibuku. Tak lama ibuku datang menduduki kursi yang terbuat
dari bambu sama seperti yang aku dan ayah duduki. Kursi taman terbuat
dari bambu, hand made tetanggaku.
Sinar matahari sore mulai meredup, matahari telah kembali
keperaduanya, dan ayahpun mulai bercerita tentang masalah yang
dipendamnya yang membuat beliau stress. Ayah menyebut nama
seseorang, aku kenal orang itu “Hadi Santoso” tetanggaku yang baru
pulang dari merantau. Dan sekarang tak jelas keberadaanya, tak terlihat
lagi batang hidungnya di kampungku.
Ayah terus bercerita semua hal, semua kejadian dan semua
maksud yang ingin disampaikan oleh ayah. Cara ayah berbicara
mencoba tetap menegarkanku dan ibuku yang mulai panik. Ayah
bermaksud membeli mobil dari Hadi santoso, memang terakhir aku
lihat hadi santoso baru membeli sebuah mobil merah (city car). Ayah
bermaksud memberi kejutan kepadaku dan adikku membelikan mobil
itu, dan apa yang terjadi, ayah memang berhasil mengejutkanku, tapi
bukan kejutan yang aku harapkan, kejutan yang membuatku kecewa
dan sakit hati. Uang ayah sudah terlanjur masuk ke kantong Hadi
Santoso sebanyak harga mobil, bayangkan 160juta rupiah menguap
begitu saja dibawa kabur hadi Santoso yang sekarang tak diketahui
sarangnya. Mendengar angka yang banyak nolnya itu, aku terhentak
dari kursi bambu ini, berdiri dengan muka merah seakan kaki ini refleks
melangkah ke rumah Hadi Santoso yang sudah tak berpenghuni itu.
Seberapa banyakah uang itu, aku sendiri tak pernah melihat uang
sebanyak itu, apalagi untuk mencari uang yang mempunyai banyak
angka nol itu, mencari uang yang memiliki tiga angka nol saja aku tak
sanggup.
Musibah yang melanda ayahku dan keluargaku tak hanya itu
saja, ayah melanjutkan pembicaraanya kepadaku dan ibuku yang belum
bisa menerima kenyataan ini. Raut muka ibu sangat kecewa dengan
ayah. Awal mula Ibu memang tak menyukai tetanggaku yang tak jelas
adat-istiadatnya itu, aku tahu Ibu selalu mengingatkan ayah agar tak
berurusan dengan Hadi Santoso. Pagi, siang dan malam ibu selalu
mengingakkan ayah, tapi bukan ayahku kalu beliau punya keinginan
menyerah begitu saja, sifat ambisius ayah yang menurun padaku juga.
“Nah begini ni.. kalau orang ga mau dibilangin” kata ibuku yang tak
bisa menahan emosi.
“sekarang mau apa coba…hah!!” bentak Ibu kepada ayah.

Kudengar ibu yang tak bisa mengontrol emosi, sedangkan ayah


hanya terdiam terpaku. Aku tahu masih banyak yang ayah ingin
ceritakan. Hari meginjak petang, kulihat bintang mulai mengintip dari
sela-sela dedaunan ditaman belakang rumah. Helaan nafas panjang
ayah terdengar keras ditelingaku, ayah melanjutkan pembicaraannya.
Sebelum ayah memulai berbicara,kata-kata ayah dipotong pertanyaan
ibu menanyakan mobil abu-abu yang biasa terparkir di garasi. Namun
beberapa hari aku tak pernah melihat mobil itu digarasi. Setahu ibuku,
ayah pernah mengatakan mobil itu masih dibengkel.
Ibuku kembali memaki-maki ayahku setelah ayah menjawab
pertanyaan ibu, tak pernah kulihat ibu seperti itu. kurasakan setetes air
di salah satu lenganku, kusadari aku tak sanggup menahan air mata ini
melihat kedua orang tuaku bertengkar hebat, beradu argument. Saat
kondisi yang sama aku juga jengkel kepada ayahku setelah tahu mobil
itu juga dibawa oleh Hadi santoso. Dalam fikiranku aku menotal
seluruh uang yang dibawa Hadi Santoso itu, kalau ditambah harga
mobil 60juta berarti jumlahnya 220juta rupiah.aku semakin shock
membayangkan uang itu jika berupa pecahan seribuan, bukan jumlah
yang sedikit tentunya, tapi menguap begitu saja. kemarahan ibuku
semakin menjadi-jadi, mungkin bukan ayah yang salah karena terlalu
mudah percaya dengan orang. Siapapun dan bagaimanapun orang tetap
punya kesabaran, kurasa ibuku tak sanggup lagi menahan kesabaran itu
dan meluapkan emosi kepada ayahku.
Kulihat ibuku melangkah pergi memasuki rumah, langkahnya
berat sekali menginjak kerikil yang tersusun rapi sampai pintu belakang
rumah. Aku tetap duduk terdiam didepan ayah persis melihat muka
ayah yang kusut disinari lampu-lampu taman yang redup. Ayah kembali
menghelakan nafas yang panjang, lebih panjang dari yang tadi, ayah
memandangku teduh dengan matanya yang berkaca-kaca. Kutundukkan
kepalaku, memalingkan pandangnku ke wajah ayah karena Aku tak
sanggup melihat kedalam mata orang tua yang penuh kasih ini
berlinang dan kemudian meneteskan kasih sayangnya itu. Kerutan
didahinya menandakan ayah terlalu banyak fikiran. Aku ingin sekali
membantu ayah meringankan bebannya.
Ayah terus memandangi diriku yang tak berdaya dengan
tatapannya itu. mungkin ayah memikirkan bagaimana nasib-nasib
anaknya kemudian hari. Aku tahu tabungan ayah ludes untuk membeli
mobil itu yang ternyata mobil itu tak sampai ditanganku. tak ingin aku
meninggalkan ayah dalam keadaan seperti ini meskipun udara semakin
dingin. Aku bangkit dari kursiku, aku melangkah memutari meja
depanku ini kekursi ayah. Kupeluk ayah yang sedang duduk itu erat-
erat, erat sekali sampai hangatnya tubuh ayah kurasakan didadaku.
Isakan tangisku tak tertahankan lagi ketika kaos yang aku pakai ini
basah karena air mata ayah. Ayah mengusap rambut kepalaku yang
kursandarkan di pundak ayah. Semakin erat aku peluk ayah. Tapi ayah
mencoba melepaskanku, dari matanya dan raut mukanya yang
tersenyum meskipun terpaksa mengatakan “sudahlah, jangan menangis
nak. Ini cobaan, kamu pasti bisa melewatinya. Tuhan sayang kepada
kita semua”. Kulepaskan pelukanku dari tubuh ayah yang besar itu dan
mengusap air mataku yang membasahi seluruh wajahku. Sejenak
kupandangi ayah yang menyuruhku masuk rumah. namun aku tetap
berdiri di depan ayah melihat beliau yang tak bergeser dari tempat
duduknya. Sungguh dalam benakku ingin membantu ayah, tapi aku
takut yang akan kulakukan hanya membawa masalah baru saja.
Langkahku berat sekali meninggalkan ayah dari taman belakang
rumah yang beralaskan rumput, beratapkan langit dan berlampukan
kunang-kunang. Mata ayah yang tua yang selalu menuntun ayah
melangkah selama 40 tahun terlihat berkaca-kaca memantulkan
redupnya lampu taman. Kulihat ayah menikmati kesendiriannya diluar,
mungkin ayah memang butuh waktu sejenak untuk sendiri,
melampiaskan keluh kesahnya kepada sang pencipta atau hanya sekedar
menceritakan keperihan hatinya kepada suara angin yang
menggoyangkan ranting-ranting pohon.

Ayah sungguh terlalu


Pagi itu suara burung membangunkanku setelah satu malam
hanya mengurung diri di dalam kamar. Mataku sembam seperti ditinju,
jalanku yang tergopoh-gopoh tak bertenaga melangkah ke kamar mandi.
Hari ini aku dan adikku berniat mencari informasi keberadaan Hadi
santoso yang tak diketahui keberadaanya itu. hanya ini yang mungkin
aku bisa lakukan untuk membantu ayah, mencari jejak sang mafia.
Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk meringankan ayah. Meskipun
aku tahu itu akan sia-sia, setaknya aku mau berjuang untuk keluargaku.
Saatnya aku harus membalas perjuangan ayah membanting tulang
membangun keluarga yang berwal dari nol sampai sekarang ini.
Jam 9 pagi aku dan adiku siap dengan segalanya untuk mencari-
cari keberadaan hadi santoso itu. tanpa sepengetahuan kedua orang
tuaku aku dan saudaraku ini berniat mendatangi rumah hadi santoso,
mungkin dari sana aku dapat informasi dari keluarga hadi santoso
ataupun tetangganya. Tak jauh dari rumahku hanya beberapa menit, aku
sampai di rumah hadi santoso, rumah kecil bercat putih dengan pagar
besi setinggi aku berdiri terlihat sepi dan tak terurus. Rumah itu terlihat
lama tak berpenghuni. Rumput taman tinggi menandakan rumah yang
tak terurus. debu tebal kurasakan menempel ditangan saat membuka
pintu pagar besi yang sedikit berkarat itu. tak bisa ku mendorongnya
sendiri, kuminta adikku untuk memabantuku, kurasa pintu ini sudah
lama tak digunakan.
Sebelum sempat aku menginjakan bagian halaman rumah,
seorang laki-laki tua sekitar umuran kakeku datang menghampiriku.
Langkahnya sudah berat, nafasnya terengah-engah meskipun hanya
menyebrangi jalan saja. kakek tetangga hadi santoso itu menanyai
maksud kedatanganku dengan ucapan yang tak jelas yang keluar dari
mulut yang tak bergigi lengkap. Kujelaskan kepada kakek maksud
kedatanganku dengan ucapan pelan-pelan, mungkin saja pendengaran
kakek ini mulai sedikit terganggu. Kakekpun mengerti maksud
kedatanganku mencari Hadi santoso itu, kata kakek sudah sebulan Hadi
santoso tak terlihat pulang ke rumah. keluarganyapun sudah lama tak
tinggal di rumah itu. adik hadi santoso dan ibunya sudah pindah sejak
adik hadi santoso menikah. Mereka tinggal di rumah suami adik hadi
santoso. Bukan kali pertama ini aku menjadi orang yang mencari Hadi
santoso, kata kakek sebelumnya sudah banyak orang yang mencari hadi
santoso, dan terakhir yang didengar kakek dari orang-orang yang
mencari hadi santoso bahwa hadi santoso terlihat di rumah pacarnya.
Kutanyakan lagi pada kakek alamat keluarganya pindah, mungkin saja
kenal dengan pacar Hadi santoso. Kakekpun memberi tahu alamat
kepadaku, yah aku sedikit tahu dimana alamat itu. setelah berpamitan
dengan kakek dan berterima kasih dengan beliau, langsung kuseret
adikku cepat-cepat ke sepeda motor mencari alamat itu.
Panasnya terik matahari yang mulai beranjak ke atas kepalaku
terasa lebih panas dari biasanya. Satu jam sudah aku duduk di atas jok
sepeda motorku melaju menyusuri jalanan kota Pekalongan, masuk
gang keluar gang, tanya sini tanya sana, masuk rumah keluar rumah
menanyakan alamat rumah yang diberikan kakek tadi. Namun alamat
yang aku cari belum dapat kutemukan juga. untuk beberapa kali aku
berhentikan motor di depan sebuah rumah. kali ini sebuah rumah
berwarna krem dengan cat jendela berwarna coklat, jalan pilar 3 no 20
itu yang tertulis di pintu pagar dari besi hitam. Kulihat rumah ini rapi
dan terawat tak seperti rumah Hadi santoso. Kulihat ada kehidupan di
rumah ini. Kupencet bel di sebelah kanan pagar, beberapa kali sampai
akhirnya seorang wanita muda putih bersih dan cantik membukakan
pintu buatku. Wanita itu ramah sekali, mungkinkah itu adik hadi
santoso, ah mana mungkin adiknya secantik ini dan ramah padaku. Tak
peduli dengan itu, Aku dan adikku langsung saja menanyakan
kebenaran alamat itu. –iya memang benar alamatnya disini- kata wanita
itu yang memang adik Hadi santoso. Kemudian aku dan adikku
dipersilahkannya masuk ke dalam rumahnya. Di bagian samping rumah
terlihat berbagai macam tanaman mulai dari bunga sampai tanaman hias
dengan daunnya yang hijau dan segar tak seperti tanaman-tanaman di
rumahku yang memiliki daun yang istimewa –daun berwarna kuning-.
Pantulan biru langit yang cerah terlihat di dekat tanaman-tanaman itu,
kolam ikan buatan menambah yang segarnya suasana di sudut halaman
rumah itu. terpuaskan aku dengan bagian depan rumah yang rapi,
tentunya dalamnya akan semakin rapi pula.
Memasuki ruang tamu, aku terkagetkan dengan suasana ruangan
yang berbeda, warna ruangan sedikit berbeda dengan luar ruangan. Kali
ini warnanya lebih berani. Wallpaper dengan ukuran 2 x 2 meter berupa
lukisan abstrak hanya seperti coret-coretan anak kecil dengan berbagai
warna, di bagian tengan dominan warna merah sampai ujung berwarna
kuning menyala dengan paduan warna-warna lainnya yang sungguh
bernilai estetika yang tinggi menempel pada background tembok
berwarna hitam. Sungguh serasi indah dengan ruangan yang dominan
berwarna merah lembut. mulai dari sofa yang aku duduki ini, sampai
pernak-pernik yang membuatku tersihir dan lupa maksud tujuanku
datang ke sini.
Sejenak aku menikmati suasana ruangan ini, tapi aku tak
melupakan tujuan utamaku untuk menanyakan keberadaan Hadi
Santoso. Datang adik Hadi santoso namanya sinta, dia membawakan
minuman untukku dan adikku. Kemudian aku tanyakan kepadanya
tentang keberadaan kakaknya itu. kemudian dia menjelaskan kepadaku
lama sekali. Kata sinta, kakaknya itu sudah lama tak terlihat semenjak
dia menikah satu tahun yang lalu. Bahkan sinta dan keluarganya sudah
tak mengakui bahwa hadi santoso itu bagian dari keluarganya.
Kudengarkan sinta bercerita sampai detail-detailnya. Ulah Hadi Santoso
yang selalu membuat malu keluarganya menjadikan Hadi santoso tak
diakui lagi statusnya di keluarga.Sudah kuduga keluarganya tak
mempedulikannya lagi.
Bayangan benda yang tegak berdiri mulai terlihat panjang
menandakan matahari sudah mau beristirahat. Aku keluar dari rumah
sinta tepat jam 3 sore. Kembali aku lewati jalanan kota pekalongan,
masuk gang keluar gang dan sampai akhirnya tiba dirumahku. Setiba di
rumah kumasuki kamar dan kupikirkan bagaimana bisa lanjutkan kalau
kondisinya seperti ini, tak ada petunjuk apapun. Hari pertama pencarian
nihil, dan kemungkinan besar untuk aku lanjutkan sangatlah sedikit.
Kudengar suara benda berjatuhan dari ruang belakang rumah,
aku rasa itu dari ruang makan. Berkali-kali aku dengar suara benda
jatuh ke lantai –pyarrr- suara kaca membentur lantai. Aku berlari dari
kamarku ke ruang makan. Pecahan kaca terlihat berserakan di lantai,
aku berhati-hati melangkah melewati pecahan itu. kulihat ibuku marah
besar kepada Ayahku, tangan kanan ibu mengangkat sebuah gelas
seraya ingin melemparkanya ke arah ayahku yang berada didekat ibu.
“sudah-sudah, aku jelaskan semuanya” kata ayah.
“apa yang harus dijelaskan lagi, cukup!!”
“keterlaluan !!!!’ teriak Ibu sambil menjatuhkan gelas ditangannya itu.
Sesaat ibu memperhatikan aku yang tetap berdiri terpaku
memandangi Ibuku. “Keterlaluan ayahmu”, kata ibu kepadaku sambil
mengacungkan jari ke ayah.

“memang kenapa?? Sudahlah bu, sudah terlajur”.


“Lihat ini” dilemparkannya sebuah buku ke arahku.
Aku tahu itu tabungan ayah untuk beribadah Haji. Kulihat isi
dalam buku tabungan itu, saldo terakhir terlihat angka 0,00. Sudah tutup
rekening rupanya. Kali ini ayah sungguh terlalu, tabungan Haji yang
semestinya digunakan untuk berangkat musim haji tahun ini, tapi ayah
gunakan untuk apa aku tak tahu. Beberapa kali ibu tanyakan
dikemanakan uang ongkos naik haji itu kepada ayah, namun tetap saja
ayah menutup mulutnya, sepertinya mulut ayah terjahit. Akhirnya untuk
kesekian kali ibu mendesak ayah, kudengar ayah menjelaskannya
dikemanakan uang itu. ayah gunakan uang itu untuk bisnis, -ya
baguslah engga sia-sia- kataku. Belum lengkap ayah menjelaskannya.
Lagi-lagi ayah berbinis dengan yang namanya Hadi santoso.
“Kurang ajar… percuma ini, engga bakalan balik..!!” kataku.
Ayah tetap saja seperti ayahku, yang selalu memilih diam jika
merasa tersudut. aku tahu ayah tak banyak bicara karena tak ingin
memperkeruh keadaan. Kalau saja ayah berbicara membela diri
tentunya suasana menjadi lebih panas dengan keadaanku dan ibuku
yang sedang emosi berat ini. Ayahku, ayah yang selalu pasrah membuat
meskipun tak salah , beliau selalu mengalah dahulu untuk kemenangan
yang sejati nantinya.
Nasi telah menjadi bubur, begitu juga ONH ayah yang telah
masuk perut Hadi Santoso, tak bisa dimuntahkan lagi, dipaksapun juga
tak akan bisa. Lagi-lagi kulihat ibuku menangis, sekuat apapun ibuku
itu jika impian terbesarnya gagal begitu saja, wanita mana yang tak
akan menangis. Suatu saat nanti ingin aku mengabulkan mimpi-mimpi
ibuku dan ayahku tercinta.
Ibu terlihat pergi ke arah kamarnya, kuikuti beliau, mungkin kali
ini aku bisa menenangkannya. Kubuka pintu kamar ibu, terlihat beliau
duduk di tepi ranjang. Aku dekati ibu. Aku duduk di sampingnya. Tak
pernah aku duduk sedekat ini semenjak aku SMA, beberapa tahun yang
lalu. aku merasa jauh dengan ibuku, tak berani sedikit aku menyentuh
Ibuku, kenapa aku ini? Kenapa malu dengan ibu sendiri?, meskipun ibu
kandungku aku tetap merasa jauh dengan Beliau.
“Habis semuaa… hidup pakai apa kita!!!” kata ibu.
“kau tahu kita sudah tak punya apa-apa”.
“kamu mau kuliah pakai apa?”

“Bu… sudahlah bu jangan dipikirkan dulu”.


Kuangkat tanganku, aku beranikan untuk memeluk ibuku.
Sudah lama aku tak merasakan perasaan nyaman seperti ini, ternyata
perasaan ini membuat hatiku lebih damai dari sebelumnya. Perlahan-
lahan Ibuku menyudahi tangisanya. Kulihat wajah ibuku yang penuh
kasih kepadaku, wajah yang selalu menemaniku saat aku kecil,wajah
yang selalu terlihat sebelum aku tidur dan bangun tidur dulu, wajah
yang menenangkanku saat aku terbangun dimalam hari, dan wajah yang
akan selalu aku ingat seumur hidupku sampai kelak aku tak melihat
dunia ini.

Life must go on
Dua minggu kemudian.
. Pagi sekali ibu membangunkanku, Kulihat ibuku sudah rapi
dengan pakainnya yang serba merah itu. ibuku terlihat cantik dan
terkesan ceria dengan baju itu, meskipun aku tahu hati ibu sangatlah
kacau.
“mau kemana bu?”
“sudahlah, mandi dulu sana, habis itu pergi”
Aku turuti saja kemauan ibu, sepertinya ibu mengajakku untuk
sesuatu yang sangat penting. Hampir setengah jam ibu menungguku
untuk berdandan. Seperti dua minggu yang lalu, masuk gang keluar
gang lewati jalanan, lewati jembatan yang airnya berwarna warni
karena limbah batik. Sampailah aku ke tempat yang dimaksudkan ibu.
Kuparkirkan motor di depan sebuah gedung tiga lantai itu, gedung
berwarna putih dengan bagian depan dominan dengan kaca hitam lebar.
Aku langkahkan kaki mengikuti ibuku memasuki gedung itu.
“selamat pagi” sapa ramah seorang petugas kepada aku dan ibuku saat
membuka pintu kaca besar itu.
Ibuku menghampiri seseorang yang duduk di salah satu sudut
ruangan. Namanya endah haryani, aku tahu itu dari sebuah papan nama
yang terletak di atas meja. Ibu endah seorang customer service bank
BUMN yang seumuran dengan Ibuku menyapa ramah sekali, seperti
teman dekat ibu. aku duduk di kursi yang selalu tersedia didepan meja
Ibu endah, tepat di samping ibuku.
Aku perhatikan ibu endah yang mengangguk-angguk
mendengarkan maksud ibuku datang ke bank itu.
“ibu serius?” kata Bu endah.
“iya bu, saya tak tahu harus bagaimana lagi.”
“sayang lho bu, padahal tahun ini”.
“iya habis bagaimana lagi bu, saya sudah tak punya apa-apa, hanya itu
yang saya bisa gunakan untuk menyambung hidup”.
“sebentar ya bu, saya tanyakan dulu ke dalam”.
Beberapa menit aku dan ibuku menunggu Bu endah masuk
kesebuah ruangan, mungkin menemui atasannya. Ibu endah datang
bersama seseorang laki-laki memakai kemeja putih berdasi hitam garis-
garis.
“maaf ibu, sekali lagi Ibu serius mengambil tabungan Haji itu?”
“iya bu” jawab ibu lirih dengan berlinang air mata. Aku tahu ibuku
setengah hati mengambil uang itu. tapi life must go on dan we should
survive.
Terdengar olehku perbincangan antara ibu endah dengan
seorang pria itu, samar-samar pria itu menyayangkan ibu mengambil
tabungannya padahal Ibu berangkat haji pada tahun ini. Akhirnya yang
aku dengar, pria itu mengizinkan ibu untuk mengambil uangnya.
Sebelum Ibu mengambil uangnya, ibu endah menyarankan
kepada ibuku agar tak menutup rekening hajinya itu. kata Ibu endah
saldo ditabungan bisa disisakan seperempat atau sedikit saja karena
untuk membuka rekening Haji susahnya bukan main, “niatnya yang
susah, banyak godaan” kata bu endah. Ibu endah juga bercerita bahwa
tabungan haji milik ayah itu sudah dikosongkan beberapa bulan yang
lalu, dan ayah waktu itu datang bersama seseorang laki-laki, dan
diberikannya uang itu - kepada Hadi santoso pikirku- saat itu juga.
“pimpinan saya waktu itu sudah curiga bu”. Kata bu endah.

“memang kenapa bu?”.


“waktu itu, saya tanyakan alasan suami anda mengambil uang itu,
beliau hanya diam, seolah-olah bersalah dan bingung. Semampu kami
menahan beliau, tapi beliau tetap bersikeras”.
Kulihat ibuku mengambil sebuah bolpoin di atas meja.
Dicoretkannya bolpoin itu ke atas kertas. Beberapa menit ibu menunggu
ibu endah, kulihat ibu endah datng membawa kertas coklat yang terisi
penuh. Selesailah semua urusan ibu di bank itu, selanjutnya aku dan
ibuku langsung meninggalkan bank menuju ke rumah.
Sesampai di rumah aku duduk berdua dengan ibuku diruang
makan membuka kertas coklat tadi. Ibu mulai menghitung uang itu dan
membagi-baginya menjadi beberapa bagian dan ditatanya di atas meja
makan yang terbuat dari kaca. Kulihat ibu sibuk sekali menghitung dan
membagi-bagi uang itu. setelah selesai dengan semuanya, ibu
menyodorkan satu bagian uang yang ditata diatas meja kepadaku.
“aku engga bisa bu?”
“sudah ambil saja uang ini”.
“tapi…”.
“ini buat bayar semesteran kamu dan uang saku beberapa bulan
kedepan, mungkin engga akan cukup, tak seperti biasanya. diirit
pakainya”.

“tapi aku menjadi beban ibu saja”.


“yang penting kamu kuliah dulu, urusan nanti bagaimana, ibu akan
selalu berusaha”.
“tunggu sampai ayahmu kembali bekerja, kamu tahukan penghasilan
ibu tak akan bisa mencukupi keperluan semuanya”.
Aku masih saja tak mau menerima uang itu meskipun beberapa
kali ibu memaksaku, bukannya terlalu sedikit untuk aku terima, tapi sisa
uang yang dibagi-bagi itu tak akan cukup untuk kebutuhan hidup lebih
lama sampai semuanya normal kembali yang tak diketahui akhirnya.
Aku iba melihat pengorbanan ibuku sampai seperti ini, sedangkan apa
yang kau korbankan untuk keluarga belum ada sama sekali. Ingin sekali
aku putuskan kuliahku, bekerja serabutan membantu meringankan
keluargaku. Kalau ibu tahu keinginanku itu bukannya ibu bangga
padaku, justru beliau semakin kecewa karena aku menggugurkan cita-
cita ibu yang kedua “melihatku wisuda”.
Aku tak sanggup ibu memohon kepadaku untuk memakai uang
itu. ibu beberapa kali menyodorkan uang itu ketanganku.
Menggenggamkan ke tanganku. Kulihat wajah ibu haru melihatku, aku
tak sanggup melihat wajah ibuku yang seperti ini. akhirnya aku terima
uang pemeberian dari ibu. saat itu aku berjanji kepada diriku bahwa
hanya akan kugunakan uang itu untuk bayar semesteran sedangkan
untuk biaya hidupku selama kuliah akan aku coba cari sendiri.
Kulihat ibu tersenyum padaku melihat aku menerima uang itu,
ibu kembali mengantongi uang-uang itu, sementara itu
digenggamkannya salah satu bagian untuk diberikan kepada adikku.
Dalam keaadan seperti ini ibu masih mau memikirkan pendidikan anak-
anaknya, masih mau memikirkan anaknya yang tadinya perhatian ibu
kurasakan kurang dari pada perhatian ayah.
Kulihat ibu berjalan kekamar adikku,iya mungkin adikku juga
tak akan menirima uang itu. adikku juga merasakan hal yang sama
seperti yang aku rasakan saat ini. Aku masih terdiam memegang uang
itu, aku masih berfikir haruskah aku gunakan uang ini untuk
kebutuhankku, sedangkan keluarga lebih membutuhkan uang ini. Uang
hasil tabuangan haji ibuku, uang cita-cita ibuku yang terkorbankan. Aku
sungguh tak bisa menggunakannya kalau tahu darimana uang itu
didapatkan. Sementara itu ibu menginginkanku untuk tetap melanjutkan
kuliahku, dan hanya uang ini yang bisa menolongku untuk membayar
biaya kuliahku yang satu minggu lagi mulai masuk kuliah. Terjadi
gejolak dalam pikiranku, apa yang seharusnya aku lakukan untuk
menyelesaikan masalah ini.

Yip yip dolphino


Mimpi tak selamanya menjadi nyata. Mimpi selalu berlawanan
dengan kenyataan, kenyataan inilah yang menjadi musuh dari mimpi-
mimpi itu, sebagaimana besar usaha kita melawan kenyataan ini, itulah
hasil yang diperoleh dari mimpi-mimpi kita meskipun manusia hanya
bisa berusaha dan hasilnya tetap Tuhan yang menentukan. Kenyataan
hidup inilah yang telah merenggut mimpi-mimpi ibuku, mimpi yang
selalu diinginkan sepanjang hidupnya, meskipun ibu telah berusaha
melawan kenyataan dengan segenap kekuatan dan pikirannya tapi tetap
terkhelakan dengan ketetapan Tuhan. Semua itu ibu pandang sebagai
cobaan, karena ibu tahu semakin tinggi pohon, semakin besar pula
angin yang menerpanya.

Akhirnya setelah aku pikirkan matang-matang, sebaiknya aku


harus menuruti semua permintaan ibu, sudah banyak yang beliau
korbankan. Mungkin hanya itu yang bisa aku lakukan , jangan sampai
mengecewakan ibu dengan tindakan bodohku lagi. Seperti tindakanku
dulu di belakang rumah tetanggaku. Waktu itu sore hari di belakang
rumah tetanggaku aku sengaja main petasan sendiri tanpa teman atau
pengawasan orang lain. Belakang rumah dipenuhi jerami padi yang
kering, memang waktu itu musim panen padi. Aku berdiri di atas
tumpukan jerami memegang dua buah petasan dan sebuah korek api.
Aku tempelkan salah satu petasan sebesar jari jempolku kesebuah
batang pohon, waktu itu aku kelas 5. Kunyalakan petasan, kutungguin
sampai meledek. “duaarrr” girang sekali hatiku mendengar bunyi
ledakan petasan yang merobekan kulit pohon itu. petasan kedua aku
taruh dibagian akar pohon yang tertutup dengan jerami padi, pikirku
kali ini ledakannya pasti akan menumbangkan pohon karena petasan
yang kupegang sebesar lenganku. Kusulut petasan itu dengan hati-
hati,sumbunya sangat pendek, aku takut meledak sebelum sempat
menghindar. Terlihat sumbu sudah menyala merah, aku berlari kencang
menghindari ledakan, aku berdiri tak jauh dari pohon menutup
telingaku memandangi ledakan petasan itu yang akan merobohkan
pohon, seperti Rambo merobohkan tower penjaga milik musuhnya
dengan lemparan granatnya. “duaarr” kali ini lebih besar dari yang tadi,
pohon pun terlihat bergetar, mataku terbelalak mengharapkan pohon itu
tumbang. Tak terlihat sedikitpun tanda-tanda pohon itu mulai roboh,
justru yang terlihat si jago merah melalap jerami padi yang jumlahnya
begitu banyak. Pikiranku panik melihat api yang mulai besar. Aku
tengok kanan kiri mencari benda yang mungkin bisa memadamkan api.
Aku lihat sebuah ember, dan aku langsung menuju sumur dekat
denganku, waktu itu sumur tetanggaku masih berada di luar rumah. aku
ambil air secepatnya, berlari menuju titik api untuk memadamkannya.
Sampai titik api itu, terlihat air di ember tinggal sedikit saja karena
ember yang aku pakai ternyata bocor. Api semakin membesar dengan
cuaca yang panas dan berangin itu. melihat itu, lalu aku singkirkan
jerami-jerami di sekitar titik api untuk menghindari nyala api merambat
ke jerami lainnya. Kuperhatikan nyala api semakin kecil dan akhirnya
mati namun masih berasap. “syukur” kataku, kupalingkan badanku
untuk memasuki rumah. aku melangkah pelan menuju pintu belakang
rumahku.
Daun pepohonan terlihat bergoyang lebih kencang, suara seperti
mesin pembuat pop corn terdengar keras dan sangat cepat, kutengokan
wajahku untuk melihat sekali lagi kearah titik api itu. terbelalak, takjub,
bingung dan panik melihat api yang besar. Ingin memadamkan jago
merah itu namun kakiku menyeret tubuhku ke dalam rumah, semakin
kencang langkahku memasuki rumah, kemudian membelok ke kamar
mandi. Aku dengar di luar sudah ramai dengan orang-orang berteriak
meminta air, suara api bereaksi dengan airpun aku dengar dengan jelas.
Aku juga dengar suara ibuku mencari keberadaanku. “mampus aku
pasti ibu memarahiku, mungkin aku ikut dipanggang dengan api yang
aku buat itu”, pikirku dalam hati. Di kamar mandi aku meloncat naik,
sekujur tubuhku terasa dingin, pakaian yang aku kenakan juga basah
kuyup. Beberapa menit dengan kondisi itu aku semakin tak kuat
menahan nafas. Aku ambil oksigen lagi, kali ini aku hirup lebih banyak
supaya aku bertahan lebih lama di dalam bak mandi. Aku bersembunyi
dari ibuku di dalam bak mandi, aku akan bertahan sampai kapanpun
sampai ibuku tak akan menemukanku. Terdengar suara ibu mencariku
semakin dekat mengusik telingaku, kuselami bak mandi semakin dalam,
meskipun sedalam laut pasifik pasti akan aku selami untuk menghindari
wajah ibu yang akan terlihat seperti tazmanian devil. Namun sayang
sekali bak mandi rumahku hanya setinggi 1 meter, sedalam apapun aku
akan terlihat seperti dolphin di akuarium. Semakin dekat terdengar
suara naungan tazmanian devil mendekatiku, aku tak bisa bergerak saat
tangan tazmanian itu semakin menenggelamkanku ke dasar bak mandi.
sesak dan paru-paruku sudah tak mampu menyimpan oksigen lagi. Aku
minta ampun kepada ibuku agar aku tak ditenggelamkan lagi.
Kudengar dari buih-buih air yang menyembur dari dasar bak “dasar
anak bodoh!!, yang dibakar rumah orang, kenapa kamu yang
dipadamkan?”. Diangkatnya tubuhku dari bak mandi, dilemparkan
tubuhku kesudut kamar mandi. Mulut ibu berbuih menceramahiku
karena ulahku yang membuat geger sekampung, untung saja rumah
tetanggaku itu berhasil diselamatkan kalau saja tidak, aku mungkin
menjadi dolphino panggang. akhhirnya Sang malaikat penyelamatku
pun datang -nenekku- membelaku dengan menyudahi ceramah ibuku
karena waktu itu nenekku memaklumi tindakanku yang mungkin
dianggap belum cukup nalar dengan akibat yang aku lakukan.
Aturan nomor 3, jangan main petasan. Sejak saat itu, kejadian di
kamar mandi, aku mendapat julukan baru dari teman-temanku “yip yip
dolphino”. Nama yang lucu bukan? tapi tak selucu asal muasalnya,
ulahku seperti lumba-lumba ditaman rekreasi meloncati lingkaran api
kemudian berenang kembali ke kolam, namun aku sedikit berbeda
dengan lumba-lumba itu, aku membuat api sendiri, kutinggal kan,
biarkan orang lain yang meloncat-loncat, berteriak,dan bersorak
ketakutan melihat jago merah besar yang menggeliat mencoba memeluk
rumah tetanggaku dan selanjutnya yang aku lakukan adalah aku terjun
bebas ke dasar kolam, bak kamar mandi.
………..

Seminggu sebelum masuk kuliah.


Berharap kisah ini akan lebih baik
Terbaring kudisini menerawang kelangit
Tunjuk satu bintang luangkan harapan
Terbang tinggi…… (hari untukmu, Rocket Rocker).
Lagu yang aku dengar malam itu dari earphoneku, Aku
terbaring di rumput memandangi bintang di tepi danau buatan kampus
UNNES. Aku melamun sendiri, kulihat sekitar tempatku berbaring
banyak mahasiswa berkumpul dengan temannya hanya untuk sekedar
nongkrong atau bercerita, bahkan ada juga yang berpacaran. Gemercik
suara air tersapu angin membuatku tenang malam itu, kupejamkan mata
menikmati kesempurnaan alam ciptaan Tuhan . Keseimbangan yang
sangat tak terbantahkan. sesekali bisikan angin berdirikan bulu
kudukku.
“boy”, kudengar kata itu dari seseorang yang baru saja
menghampiriku, kubuka mataku kupandangi dia, terlihat samar-samar
dengan penerangan seadanya oleh lampu taman. Aku tak peduli dengan
katanya sampai kulihat dia ikut merabahkan badannya di atas rumput.
Badannya yang lebih besar sedikit dariku direbahkannya disamping
kanan tempatku berbaring memandangi bentang lukisan dilangit. Sekali
lagi Ery berkata kepadaku “Semenjak dari rumah, kamu terlihat tak
bersemangat. Ada apa Boy?”. Sejenak kami berdua terdiam
memandangi langit yang dipenuhi berjuta-juta bintang itu. seseorang
yang selalu ada saat aku terjatuh seperti bintang yang selalu bersinar
meskipun kadang sang bulan melupakan keberadaanya. Dialah Ery
yang selalu ada untukku terutama saat aku terluka, meskipun kadang
aku seperti bulan, timbul tenggelam untuk sang bintang. Ery adalah
bintang Keduaku setelah Kiki, seorang yang sangat aku harapkan
sampai detik ini.
Aku terbangun dari lamunanku, dan mulai mempedulikan
keberadaan ery di sampingku. Aku mulai bercerita kepada ery tentang
semuanya yang telah terjadi di rumah beberapa minggu lalu. ku tahu ery
mendengarkan semua ceritaku meskipun dari tadi dia hanya terdiam
membisu, mungkin dia bingung harus berkata apa kepadaku. Beberapa
menit aku berkata-kata dia tetap diam membisu sampai aku selesai
dengan kata terakhirku.
“Boy..” aku dengar kata itu sekali lagi dari bibir ery.
“Lihatlah Boy” kata dia sambil mengacungkan jarinya ke arah salah
satu bintang. Ery mengacungkan satu bintang yang terlihat sangatlah
kecil dan terpisah dari lainnya. “Lihat bintang yang kecil itu, dia terlihat
sendiri boy tapi sebenarnya tidak boy, apakah kamu tahu di luar sana
masih banyak kumpulan bintang yang membentuk suatu
galaksi,miliyaran galaksi diluar sana. Semua itu, sistem jagat raya ini
mengembang boy, ada suatu gaya yang mengembangkannya. Padahal
kamu tahu kan boy kalau jagat raya ini hanya dari satu titik saja tercipta
melalui ledakan besar. Suatu saat nanti akan mencapai titik dimana
energi elasitasnya sama dengan nol, setelah mencapai itu jagat raya
akan mengempis kembali menuju satu titik. Sungguh sempurna dan
teratur ciptaan-Nya, semua itu ada sebab akibatnya boy ”.
Aku bingung mendengar ery berkata seperti itu, banyak tanda
tanya di kepalaku, maksud dia berkata itu untuk apa? Apa ada
hubungannya dengan ceritaku, apa jangan-jangan tadi dia tertidur tak
mendengarkanku tentang kejadian dirumah?. Kemudian dia
melanjutkan kata-katanya.
“bintang kecil itu adalah kamu boy”. Aku semakin bingung dengan
kata-kata Ery seraya aku memandang dia heran. Kulihat dia
memandangku dengan senyuman yang sangat berseri.
“Bintang itu memang ikut hukum keteraturan Tuhan, tapi dengan
kekuatan dan suatu sebab akibat bintang itu esok bisa terlihat di tempat
lain dengan bintang-bintang lainnya. Begitu juga kamu boy, sekarang
kamu mungkin dapat keteraturan Tuhan yang tentunya tak kamu
harapkan. Untuk melihat nantinya bagaimana, kamu harus berusaha
dengan kekuatanmu untuk bisa mengalahkan kenyataan hidup ini, buat
mimpimu-mimpimu itu menjadi kekuatan yang besar dalam dirimu.
Suatu saat nanti aku yakin kamu pasti bisa memindahkan bintang itu”.
aku tertegun mendengar kata-kata ery, tak pernah sebelumnya dia
menyemangatiku sampai tubuhku membara. Jiwa penuh semangatku
bangkit kembali.
Suara dari earphoneku terdengar aneh lagu Rocket Rocker
berubah menajadi ketupan suara gendang.
Dangdut suara gendang rasa ingin berdendang
Terajana… terajana… ini lagunya.. lagu india (Terajana,
Rhoma Irama).
Lagu yang mendadak muncul ketika kulihat Kamal Khan berlari
mendekati aku dan ery yang sedang berbaring, seperti biasanya
langkahnya putar-memutar tak jelas tentu saja dengan tarian khasnya.
Scepat kilat dia merebahkan badannya disamping kiriku.

Anda mungkin juga menyukai