Manusia tissue
Tak lama aku berbincang dengan Malla, kemudian
kulangkahkan kaki menuruni tangga gedung kuliah Kimia..di tengah
tangga kulihat seseorang yang tak asing bagiku.
“ki… ki…?” sapaku terkejut melihat dia digedung kimia ini. Sosoknya
yang manis dengan ukuran tubuh yang tinggi bagi ukuran cewek. Tak
terlihat seperti kiki tadi malam aku temuin bareng icha.kali ini terlihat
berbeda, ataukah pandanganku saja yang sudah pusing soal-soal dari
pak Bi. Kuyakinkan diriku dengan menginjak kaki kiriku dengan kaki
kanan. “oouuuughh” bisikku, sakit juga berarti aku masih sadar.
“kok bisa ketemu di sini?” Tanya kiki lembut, yang tadi malem hanya
diam tanpa kata.
“iya… aku ambil kuliah disini” jawabku tegas, biar terasa cowoknya.
“Kamu sendiri ngapain di sini?”. Tanyaku penasaran.
“ohhh, aku juga kuliah disini”. Jawab dia seakaan suaranya itu
mengandung panah cupid meluluhkan pendengaranku dan kemudian
memberikan rangsangan kepada adrenalinku. Suaranya khas, cara
berbicaranya sedikit ada kata-kata yang digigit, terdengarnya seperti
membutuhkan tenaga banyak untuk mengucapkan beberapa kata saja.
Tapi itu yang membuatku penasaran ingin lebih tau tentang dia.
“ada kuliah?” tanyaku basa-basi.
“entar masih lama, masih 1 jam lagi”. Jawab kiki sambil melihat jam di
tangannya.
“ehm… gimana kalau ke…..”kataku belum selesai sudah dipotong
ucapan kiki.
“ke kantin yuk, kebetulan aku juga laper ni” jawab kiki.
Aku tersenyum, aku belum selesai ngomong, eh dia sudah tau hendak
kemana aku mengajaknya. Mungkinkah dia bisa membaca pikiranku
seperti Edward Cullen dalam twilight. Ah tak mungkin dijaman orang
bisa ketawa ataupun menangis saat melihat layar handphone ada orang
seperti itu. Dalam kepalaku ada beribu pertanyaan. Ah sudahlah
mungkin kebetulan, yang paling penting aku bisa ngobrol dengan gadis
semanis dia. Lumayanlah bisa buat menghilangkan penat dari ujiannya
pak Bi yang berambut gondrong itu mirip Ki Joko Bodo.
Suasana kantin lumayan ramai, kulihat masih ada beberapa meja
kosong. Sengaja aku cari meja yang di pojokan, biar lebih enak saja aku
ngorol sama dia.
“kamu mau pesen apa ki?” tanyaku sambil aku meletakan tas dia tas
meja.
“adanya apa?” tanya kiki bingung.
“aduh… aku ga tau ya ki, aku juga ga ikut jualan disini….” Jawabku
tersenyum.
“yaudah aku pesen bakso kalo ada” jawab kiki sambil tengok2 menu
yang terpampang di atas kasir.
Bakso Rp. 8.000
“hmmm…"jawabku senyum.
“yipp, kammu kennall iccha dari manna?” Tanya kiki
“Daari mana ya…? Ya kenal aja”. Jawabku ngeles.
“icha… siapamu ki?” tanyaku.
“iccha temenkyu, sahabat akkyu wakttuu SMA.. kattanya kammu suka
iccha ya? Deket juga ma iccha kan?” tanyanya menggoda.
“ee…..enhhh… gugh guk guk…”bakso dimulutku keluar.
“ah ngakku deh… ga usah kessellek gittu.. biasa ajahh kalli”. Kata kiki
sambil ketawa.
“ah kata siapa, biasa aja kok, temen doang ki.. summpah deh….”
Kataku membela.
“ ah suka juga ga apa-apa kok. Lagian kalian juga lama kenal” kata dia.
Dalam hatiku kamu sih ga apa-apa, lah aku yang ngejalani tersiksa
dong, lihat sekali saja takutnya bukan main apalagi sampai akhirnya
harus tiap hari ketemu dia..ehmmm tak bisa aku bayangin deh.(Kalian
bisa bayangin sendiri menurut imajinasi kalian.hehehe).
“ki, handphonemu bisa buat telpon ga?” tanyaku mengalihkan
perhatian.
“emang kenapa yip” jawab kiki bingung
“pinjem dung bentar aja, wat miskol”. Kataku sambil menjulurkan
tangan
“ni….” Kata kiki ngasihin telpon.
“kring…… kring…….” Suara handphone di sakuku.
“thanks ya kii”. Kataku sambil balikin handphonenya.
“loh… buat misskol happemmu” Tanya kiki heran.
“iya.. itu nomorku..” kataku sambil mengangkat satu alisku dengan
senyum yang aku manis-manisin ke dia.
“ugh… dasar”. Kata dia gemes sambil mukulin sendok ke mangkuk.
“yah.. kalau aku minta langsung takutnya engga bakalan kamu kasih”.
Kataku membela.
“kkelliattan banggettt ssih.. bbuayanya…?” kata dia.
“hahahaha… engga dong ki…?” kataku sambil menghabiskan
minumku.
“kruyuukk kruyukkkk..kruyukk..” kedengaran suara dari perutku.
Kebiasaan yang aku takutkan apalagi pada momen-monen lagi bareng
dengan cewek.. hufft… “sial banget” kataku lirih.
“kenapa yyip” Tanya kiki.
“engga kenapa-kenapa kog” jawabku nyengir menahan perutku mulai
berkontraksi. Waduh kenapa harus sekarang. Nunggu sebentar kenapa
sih, kebiasaanku yang jelek setiap makan apalagi makan pagi terus
paginya belum “pup”, pasti langsung berkontraksi.. “malu-maluin saja”
katakuu dalam hati.
“ki…” kataku nyengir menahan sampah yang semakin di ujung.
“heem…”jawab kiki.
Raksa (Hg)
Pulang kuliah aku mengendap-endap menghindari sekumpulan
teman-teman mahasiswa, menghindari panggilan baruku “ ayip sang
manusia tisu”. Langkahku melewati koridor-koridor kampus seakan
aku ini maling jemuran di tengah-tengah bidadari yang menjemur
pakaiannya ketika mereka sedang asiknya berendam di kolam air hangat
dan aku mencuri selendang seperti halnya yang dilakukan oleh Jaka
Tarub.
Debar jantungku semakin mengencang, dadaku semakin sesak,
tapi mataku semakin segar memandang seseorang di depanku. Kubuka
kerudung jumper abu-abu bercorak coklat yang menutupi kepalaku.
“manis” satu kata yang aku ingat saat dia tersenyum padaku.
Senyumannya membuatku semakin ingin mengenalnya lebih jauh.
Andai saja bibir itu selalu didepanku, mungkin aku mati rasa tak bisa
bibirku ini berkata apapun. Hanya mataku yang berbicara kepadanya
mencoba mengatakan “kalau aku menyukai dirimu”.
“hai” kata yang kudengar dari bibir manis itu menggoyangkan
gendang telingaku, meskipun nada bicaranya sebenarnya terdengar
aneh, kata “hai” berubah jadi “ghaiii” karena memang cara bicaranya
yang khas seakan kata-kata itu digigit, tapi bagiku terdengar seperti
nyanyian burung menyambut mentari yang membangunkan bumi dari
tidurnya. Mungkinkah ini cinta yang kembali kurasakan, seakan aku ini
tak normal lagi, andai kata aku ini logam mulia yang dalam suatu tabel
periodik unsur terletak di golongan B yang biasanya berbentuk padatan
dan keras seperti emas, nikel, besi, namun aku ini adalah logam yang
berbentuk cair yakni Raksa (Hg).
“kiki… kiki… dan kiki…” seseorang yang selalu membayangi
fikiranku saat ini. Ingin segera aku memilikinya, tapi mungkinkah aku
bisa. Aku yang tak sebanding dengan dirinya secara fisik, membuat
malu dirinya saja kalau aku menjadi kekasihnya. Tapi bukan diriku
kalau aku begitu mudah menyerah, kalah sebelum berperang. Kata
teman-temanku aku seorang yang ambisius, apapun yang aku inginkan
itu harus aku lakuin dan aku dapatkan. Urusan efek samping aku tak
terlalu memperdulikannya. Yang penting di jalani dulu saja, kalah atau
menang, sedih atau senang, baik atau buruk pasti ada jalan untuk
menyelesaikannya.
Burung cendrawasih
Langkahnya mengayun lembut melambai laksana burung
cendrawasih memamerkan tubuhnya yang indah, sekali lagi tersenyum
padaku. Lagi-lagi “manis” kata yang melintas di otakku menyingkirkan
ingatan-ingatan tentang kata-kata ilmiah yang bagiku sangat sulit aku
ingat tapi harus kucoba tetap kuletakan dalam kepala. Kupandangi dia
sejenak sebelum memasuki ruang kelas, kulihat dia menoleh kepadaku
seakan menyalakan lampu hijau diatas kepalaku yang semula berwarna
kelabu. “malam minggu depan aku dijemput ya?” kalimat yang
mungkin diucapkannya lewat pandangannya. Kusambut pandangan itu
dengan kedipan mata menandakan “pasti aku jemput kamu malam
minggu depan”.
Senin, selasa, rabu, kamis, jumat kesempatanku untuk lebih
mengenalnya mencoba lebih mendekatkan aku dengannya, karena
hanya itu kesempatanku bertemu dengannya. Aku bela-belain bolos
tidur di kos-kosan, bangun pagi tiap hari, sampai akupun bolos kuliah
kalau melihat kiki masih duduk sendiri di sebuah sudut kampus,
kuperjuangkan waktuku hanya untuk menemui kiki di kampus.
Semakin hari aku semakin dekat semakin nyambung obrolanku
dengannya. Aku ingat kata-kata si penyanyi dangdut dengan kantung
ajaibnya yakni Puji Estuti, tapi dia lebih senang di panggil dengan
Puzie, biar keliatan bukan penyanyi dangdut katanya. Puzie mengatakan
bahwa belajar kimia sama hanya dengan belajar cinta, salah satunya
tentang ikatan antara inti atom (proton bermuatan positif) dengan
elektron yang bermuatan negatif yang berjumlah banyak dan berada di
sekeliling inti atom. Semakin dekat elektron terhadap inti atom maka
energi untuk terlepaskan akan semakin besar karena ikatannya semakin
kuat. Analognya aku adalah elektron dan kiki sebagai inti atomnya,
semakin aku mendekatkan diri kepadanya maka dia akan lebih tertarik
padaku dan akan semakin kuat ikatan antara aku dan dia dan akhirnya
elektron-elektron (laki-laki) yang ada disekelilingnya yang mencoba
mendekati dia akan terlepas, dan akulah yang menjadi nomor satu.
Kandang Buaya
Suatu malam akhirnya kesampaian juga aku bisa kencan
dengannya. Hari yang kunantikan, sama aku menantikan ibuku
memasakan makanan kesukaanku “telur mata sapi pakai kecap manis
dengan bumbu tomat, cabai, bawang merah dan putih yang semuanya
telah ditumis”. Kedekatanku dengan kiki seperti susunan atom dalam
gas mulia, elaktrondan intinya stabil, erat, ikatannya kuat dan sukar
bereaksi dengan atom lain, artinya hanya aku dan dia. pernah
kutanyakan arti namanya “Rizky dwi Agustin K”. Aku penasaran
dengan namanya, ingin aku lebih mengenal dia.
“Rizky dwi Agustin K” kataku.
“ieyya qenappa yiep?” tanyanya sambil meminum segelas float.
“namamu artinya apa si?”tanyaku memaksa jawaban.
“ohg..qirrain”jawabnya.
“apa dong?” tanyaku menekan.
“rizky itu artinya rejeki, dwi artinya dua, aku anak kedua dan agustin
artinya agustus, tepatnya 25 agustus” jawab dia semangat.
“owg kamu 2 hari lagi ulang tahun dong?” jawabku sok tau.
“heem..” jawab dia menganggukan kepala, lagi lagi dan lagi kata
“manis” menancapkan gas di otakku. Tapi kali ini berbeda, kata
“manis” di ikuti dengan kata “banget”. Ehm semakin membuatku
tergoda saja, untung di sebelahku tak ada kursi kosong jadi tak ada
setan yang menemaniku, kalau saja ada ingin sekali aku kecup bibirnya,
apakah semanis minuman coklat yang dari tadi aku minum.
“terus K itu artinya apa”. Lanjut tanyaku.
“K itu tempat aku lahir” jawab dia.
“kalimantan?” tanyaku.
“bukan!!” jawab dia.
“kuningan, kudus, kemarang (semarang), kekalongan(pekalongan)?
Tanyaku lagi.
“bukan itu.. Bukan kota kok”. Jawab dia mulai mangkel.
“lah terus apa kalau bukan kota?”. Tanyaku semakin penasaran.
“ya coba tebak deh”. Tantang dia.
“ah ribet, jauh ya? Kok nyasar sampai sini, udah engga di terima jadi
kuntilanak disana”ejekku.
“sialan yip”. Jawab dia marah.
“kirain kamu asli sini”. Kataku masih kurang percaya.
“soal itu sudah kamu….” Kataku belum selesai sudah dipotong kiki.
“oh..itu yip, tadi aku juga mau ngomong . Maaf sudah menunggu ya.. ”.
Kata kiki sabar.
“iya aku ngerti ki, jadi bagaimana?” tanyaku penasaran.
”Aku jg gag mau kamu jadi berubah sikap sama aku. Kamu pasti bisa
menyimpulkan semua omonganku ini. Setelah ini mungkin kamu gag
mau kenal kiki lagi, atau gag mau liat kiki lagi. Aku maklum banget
kog yip. Aku tau, aku yang salah yip..Tapi tolong jangan jauhin aku ya
yip? Aku pengen kita tetep temenan seperti dulu tanpa ada yang
berubah. Hanya waktu yang bisa menjawab perasaanku. Biarkan
semuanya mengalir seperti adanya..please...”. kata kiky sambil menarik
kembali tanganku.
Cinta memang tak perlu di kata cukup dirasa saja...
Tapi cinta pun butuh pengertian, butuh waktu, dan butuh
pengorbanan...
Cinta tak pernah menyakiti atau di sakiti...
Sebesar apapun sakit yang kita rasa, tapi cinta tak akan pernah
berubah...
Dia tetap 5 huruf yang membawa hati dalam kedamaian
Jangan salahkan siapa-siap.
Jangan salahkan hati
”dua setengah saja bangga. Penyanyi dangdut saja yang kumlot terus
tetap engga banyak gaya”. Kataku.
”belom tahu Ipku kan?”. tantang kataku.
”ah... percuma tetap saja nasakom”. Kata kamal tak peduli.
Hilang ingatan
Malam itu letih sekali badanku, ingin rasanya ganti onderdil
badan maklum habis perjalanan 2 jam lebih dari semarang ke
pekalongan dengan sepeda motor. Saat yang bersamaan, nyaman
rasanya sudah sampai di rumah sendiri “rumahku istanaku”. Rasa
lelahku terobati saat kulihat rumah berwarna pink. Rumah sederhana
dengan pagar besi berwarna coklat kulihat tanaman depan rumah
sebagai penghias taman sama sekali tak berubah, daun-daun terlihat
pucat dan kering, tanah dalam potpun terlihat retak karena sudah lama
tak disirami. Kuparkir motor merah hitamku yang seperti belalang
tempur di garasi rumah. Terlihat garasi kosong dan lapang saat itu,
“klik..” suara pintu coklat terbuka dan tak terkunci. Kuhirup dalam-
dalam udara dalam rumah, segar sekali, membuatku sangat nyaman dan
ingin segera rebahkan badanku ini dikamarku.
Saat masuk rumah kulihat ayahku tertidur di sofa krem ruang tamu,
hanya memakai kaos putih berkerah dan sarung kotak-kotak buatan
dalam kota, kota pekalongan tercinta. Dalam benakku mungkin ayahku
capek seharian bekerja, dia memang ayah terbaikku yang sekarang aku
punya dan selamanya.
“dari sana jam berapa?” Tanya ibuku yang sedang nonton sinetron di
televisi
“jam 5 sore bu, kok ayah sudah tidur?’ kataku sambil kuletakan tas di
samping sofa tempat televisi setelah kucium tangan ibuku.
“ga tau, dari tadi sore udah tidur, dibangunin ga mau”. Jawab ibuku
yang sibuk dengan remot televisi.
“mungkin kecapean bu,yaudah biarin dulu. aku mau mandi dulu bu.
Panas, gatel semua.” Jawabku saat melangkah ke kamar mandi.
“lah wawan kemana bu?” lanjut tanyaku.
“ adekmu biasa keluar belum pulang dari tadi pagi, biasa kalau liburan
kaya gini,di bilangin orang tua mana mau dia. Palingan sebentar lagi
pulang.” Jawab ibuku yang kesal dengan tingkah adekku satu-satunya.
“Kalau mau makan ambil sendiri di dapur” lanjut kata ibuku.
“HAAAA…hwuaaaa….. hahahahah” terdengar teriakan kencang dari
ruang tamu tempat ayahku berbaring. Aku langsung berlari menjemput
suara tersebut. Kulihat ibuku di samping ayahku memegang erat
tangannya. Wajah ibu bingung dan panik, beliau hanya memandang
ayahku. Aku juga bingung sebenarnya ada apa ini, kenapa ayah tertawa
tapi matanya tak menandakan kebahagiaan . wajahnya pucat, matanya
berair. Melihat ayahku seperti itu aku hanya terdiam mencoba menggali
dan bertanya-tanya kenapa seperti ini.
“bu, ayah kenapa?” tanyaku karena aku tak tau awalnya bagaimana.
“ tiba-tiba teriak sendiri, kenapa ini?” jawab ibuku panik, malah beliau
balik Tanya padaku.
Aku mendekati ayahku, tapi beliau tak mengenaliku. Kenapa ini
kenapa? Tanyaku dalam benak. Pikiranku menjadi-jadi, jangan-jangan
ayahku kerasukan. Aku membantu ibuku memegang ayahku yang mulai
berontak. Tubuh ayah yang besar tak sanggup kupegangi dan akhirnya
terlepas dari pelukanku yang erat. Ayahku bangkit sambil mengacung-
acungkan tangannya ke arahku, ayah tertawa-tawa mengacung
tangannya ke mukaku seperti anak kecil yang saling mengejek. Aku
terdiam menundukan kepala, tak tega melihat ke arah wajah ayah.
Air mata yang bening pun mengalir dari mata ibuku, suara
isakan tangis dari ibu kudengar dengan jelas. Sudah begitu lama aku tak
melihat ibuku menangis seperti ini, suasana semakin menegangkan dan
membuatku tak tahan melihat semuanya ini. Aku hanya menatap ibuku
yang sungguh sedih dan bingung dengan apa yang terjadi. Sementara
itu ayahku tetap berdiri didepanku dan ibuku yang duduk di sofa.
Kulihat mata ayah yang tua itu memerah dan mengeluarkan air mata
yang terlalu mahal untuk dikeluarkan, tapi kenapa beliau masih tertawa-
tawa dan berbicara tak jelas itu. ibuku menatapku agar aku melakukan
sesuatu pada ayahku. aku tertekan, aku sendiri juga tak kenal ayah yang
seperti itu.
“Panas”, kudengar ayah mengucapkan itu, ayah mondar-mandir
berjalan di ruang tamu dari sudut ke sudut. Aku memperhatikan beliau
dan mencoba mencari solusinya, terfikir olehku untuk minta tolong
kepada tetangga, tapi tak diizinkan oleh ibuku. aku semakin panik
melihat ayah yang tak mengenakan bajunya, air mataku mengalir deras
melihat ibuku memeluk ayah sambil menangis.
Gerakan badan ayah semakin berat untuk aku pegang. Ayah
memberontak dan berlari menuju pintu didepannya yang tak terkunci
itu. kususul ayahku lebih cepat, aku hadang-hadangi beliau didepan
pintu, aku mencoba menutup pintu namun ditolak ayahku dengan
tenaganya yang kuat. Aku tetap memaksa dengan sekuat tenagaku
menutup pintu jangan sampai ayah keluar dan berlari tanpa busana itu.
aku dorong ayah sekuat tenagaku, kulihat beliau terjatuh di lantai,
beliau mulai bangkit lagi dan tetap memaksakan untuk keluar, ayah saat
itu mengatakan ingin keluar, ingin jalan-jalan di luar. Kupegangi tangan
ayah dan kupaksa beliau masuk kamar. Tenagaku mulai habis melawan
kekuatan ayah yang belipat ganda ini.
Setelah memasuki kamar kupeluk tubuh ayah dari belakang,
kududukan ayah di kasur, aku tetap memegangi tubuh ayah kuat-kuat.
Ibuku mulai menenangkan ayahku, mencoba menanyakan siapa beliau
itu, siapa aku, kudengar beberapa kata dari mulut ayah. Kata-kata kasar
mengumpat ibuku. diucapkannya kata-kata itu sambil tertawa. Ayah
yang kukenal tak pernah mengmpat seperti itu, apalagi kepada ibuku.
Kulihat ibuku terus menanyakan beberapa pertanyaan kepada ayah
dengan ucapan yang terbata-bata karena tak bisa menahan air mata
beliau yang semakin membasahi kulit wajahnya yang putih itu. aku tahu
hati ibu hancur dan kecewa, tapi ibu tetap coba tenang dan tetap
mencoba menyadarkannya ayah. Ibu mulai membacakan beberapa ayat-
ayat suci alquran ditelinga kanan ayah, beliau terus mengingatkan ayah
untuk menyebut nama-Nya. Ayah tak berubah, beliau tetap berontak,
dan semakin menjadi-jadi dengan ucapannya yang malah meledek
ibuku.
Sambil kupeluk ayah erat-erat dari belakang, aku membisikan
adzan ke telinga kiri ayah. Kubisikan pelan-pelan dan terus menerus
dengan suaraku yang tak keluar kerena isakan tangisku yang semakin
tak bisa kukendalikan, sementara itu ibu keluar mengambil air. Ibu
datang dengan segelas air, ibu menyodorkan gelas itu ke mulut ayah,
ibu mencoba meminumkan air itu, semakin gelas didekatkan ke mulut
ayah, justru mulut ayah semakin ditutup kuat-kuat. Tak peduli dengan
itu decelupkan tangan ibu ke dalam gelas, air digelas tertumpah
sebagian, kemudian tangan ibu yang basah itu diusapkannya ke muka
ayah.
Otot yang tegang, badan ayah yang dari tadi berat kurasakan
mulai lemas. Aku bersyukur keadaan ayah mulai membaik. Kulepaskan
tanganku dari tubuh ayah pelan-pelan mengikuti tubuh ayah yang
melemas itu. Ibu menanyakan lagi pertanyaan yang tadi selalu
ditanyakan kepada ayah. Ayah mulai bisa menjawabnya, beliau juga
mengenalku. Mata ayah yang tadi merah sekarang mulai memudar,
wajahnya yang tadi pucat dan tegang sekarang mulai berseri kembali
meskipun kulihat wajah ayah letih.
Kubaringkan ayah ke kasur yang spreinya berantakan itu, ayah
pasrah saja saat kututupi tubuhnya dengan selimut, tubuhnya lemas tak
sanggup lagi untuk bangkit. Kubiarkan ayah berbaring mengembalikan
ingatannya. Ayah masih bingung melihat aku dan ibuku menangis. Aku
tahu ayah saat itu pasti tak sadar, tapi aku tak tahu persis itu disebabkan
apa. Aku tak berani menyimpulkan sesuatu dahulu tanpa tahu
penyebabnya.
Ayahku ayah tersayang paling baik sedunia, ayah yang selalu
mensuport apapun yang aku suka selama itu tak dianggap oleh ayah
merugikan aku dan membahayakanku, ayah yang selalu ada saat aku
sakit, ayah yang selalu memberikan apapun yang aku minta, apapun itu
selama beliau sanggup pasti beliau berikan padaku, ayah yang selalu
memberikan kejutan–kejutan yang tak terduka dan kejutan itu
membuatku menangis kalau aku mengingatnya. Ayah tercanggih di
dunia yang aku miliki.
Suara kenalpot motor yang berisik terdengar dari garasi, aku
tahu adekku pulang. Hampir satu jam kejadian itu berlangsung dari
awal ayah teriak sampai terbaring lemas di kasur. Habis tenagaku,
tenaga ayahku, air mataku dan air mata ibukupun mengering melihat
ayahku yang seperti itu. aku duduk didekat ayah yang sedang berbaring,
kulihat adikku memasuki kamar, aku tahu dia heran dan bingung
kenapa aku, Ayah, dan Ibu berkumpul dikamarnya sedangkan kondisi
ayah seperti ini.
Setelah mendengar beberapa penjelasan dari ibuku, adekku
kulihat juga tak sanggup menahan air matanya, namun dia lebih kuat
dariku. Kudengar ibuku menyuruh adekku memanggil tetanggaku yang
kebetulan juga dokter memastikan kondisi ayah saat ini.
Tak lama hanya selang beberapa menit wawan kembali
memasuki kamar bersama pak Hendra yang menenteng koper putih
ditangan kirinya. Pak hendra awalnya menanyakan asal muasal keadaan
ayah kepada ibuku. tentu saja ibuku menceritakan semuanya dari awal
sampai akhir. Pak Hendra mulai beraksi dengan membuka koper itu,
aku menyingkir dari samping ayah memberikan kesempatan kepada Pak
Hendra agar lebih leluasa bekerja dengan peralatn dokternya yang
tersusun rapi dikopernya. Pertama-tama diambilnya teleskop dari koper
dan digantungkann di leher pak hendra, kemudian dikeluarkan tensi
meter dan didekatkan lengan kanan ayah. Pak hendra mulai memasakan
salah satu bagian alat tensi meter itu dilengan ayah. Sambil tangan
kanannya meremas-remas bundaran karet hitam yang dipegang, tangan
kiri pak hendra menaikan telekopnya ke kedua kupingnya. Sungguh
terlihat cerdas saat kulihat raut muka pak Henda memeriksa tekanan
darah ayah. “sedikit tinggi” bisik pak hendra kepada ibuku.
Setelah selesai dengan semua pemeriksaan yang dilakukan Pak
Hendra, pak hendra merapikan peralatannya sambil memandang ibuku
sebagai tanda ingin menjelaskan asal muasal ayah bisa seperti itu. Pak
hendra berjalan keluar dari kamar langsung diikuti oleh ibuku. kudengar
dari sela-sela pintu kamar pak hendra menjelaskan beberapa hal kepada
ibuku. kata pak hendra ayah terkena stress yang kalau berlanjut bisa
membuat ayah hilang ingatan. Ada syaraf di otak ayah yang tegang, dan
sekarang juga masih dimungkinkan akan tegang kembali. “Tapi tenang
bu”, kata pak Hendra menenangkan ibuku, kata pak hendra, ayah hanya
butuh istirahat dan ketenangan, untuk sementara waktu jangan sampai
ayah memikirkan yang berat-berat, setaknya ayah tak boleh memikirkan
sesuatu dikepalanya yang membuatnya jadi stress.
Kursi bambu
Sinar kuning yang menembus sela-sela dedaunan menyinari
sebagian muka ayah. Kulihat ayah menarik nafas dalam-dalam
dilanjutkan memejamkan mata sejenak. Sore itu, tepatnya tiga hari
setelah ayah seperti orang kerasukan, aku bersama ayah duduk di
belakang rumah menikmati sinar mentari sore yang mulai meredup
bertemankan sepiring kue dan secangkir teh hangat yang tertata di meja
yang terbuat dari bambu. Keadaan ayah saat ini sangatlah baik, wajah
ayah sudah berseri dan mulai banyak bicara seperti kebiasaan dahulu.
Aku jadi teringat dengan cerita-cerita ayah dahulu sewaktu aku kecil
sebelum masuk sekolah. Aku selalu meminta ayah menceritakan
dongeng, biasanya aku diceritakan dongeng sehabis bangun tidur,
bukannya sebelum tidur. Aku ingat dongeng yang selalu aku minta, “si
kancil mencuri timunnya Pak Tani”, sampai-sampai aku hafal jalan
ceritanya. aku minta ayah menceritakannya hampir setiap pagi sehabis
bangun tidur, aku tetap tak bosan mendengar cerita ayah meskipun
kadang-kadang ayah berimprovisasi dengan jalan ceritanya itu, ada
sesuatu yang berbeda yang membuatku nyaman saat mendengar ayahku
bercerita. Aku tak tahu itu, rasa sayang ayah padaku yang begitu dalam
terasa mengalir bersama kata-kata yang kudengarkan. Ayahku
tercanggih sedunia.
Ayah menaruh cangkir yang dari tadi dipeganginya, kulihat kali
ini ayah serius mau membicarakan sesuatu. Beliau beberapa kali
memanggil ibuku. Tak lama ibuku datang menduduki kursi yang terbuat
dari bambu sama seperti yang aku dan ayah duduki. Kursi taman terbuat
dari bambu, hand made tetanggaku.
Sinar matahari sore mulai meredup, matahari telah kembali
keperaduanya, dan ayahpun mulai bercerita tentang masalah yang
dipendamnya yang membuat beliau stress. Ayah menyebut nama
seseorang, aku kenal orang itu “Hadi Santoso” tetanggaku yang baru
pulang dari merantau. Dan sekarang tak jelas keberadaanya, tak terlihat
lagi batang hidungnya di kampungku.
Ayah terus bercerita semua hal, semua kejadian dan semua
maksud yang ingin disampaikan oleh ayah. Cara ayah berbicara
mencoba tetap menegarkanku dan ibuku yang mulai panik. Ayah
bermaksud membeli mobil dari Hadi santoso, memang terakhir aku
lihat hadi santoso baru membeli sebuah mobil merah (city car). Ayah
bermaksud memberi kejutan kepadaku dan adikku membelikan mobil
itu, dan apa yang terjadi, ayah memang berhasil mengejutkanku, tapi
bukan kejutan yang aku harapkan, kejutan yang membuatku kecewa
dan sakit hati. Uang ayah sudah terlanjur masuk ke kantong Hadi
Santoso sebanyak harga mobil, bayangkan 160juta rupiah menguap
begitu saja dibawa kabur hadi Santoso yang sekarang tak diketahui
sarangnya. Mendengar angka yang banyak nolnya itu, aku terhentak
dari kursi bambu ini, berdiri dengan muka merah seakan kaki ini refleks
melangkah ke rumah Hadi Santoso yang sudah tak berpenghuni itu.
Seberapa banyakah uang itu, aku sendiri tak pernah melihat uang
sebanyak itu, apalagi untuk mencari uang yang mempunyai banyak
angka nol itu, mencari uang yang memiliki tiga angka nol saja aku tak
sanggup.
Musibah yang melanda ayahku dan keluargaku tak hanya itu
saja, ayah melanjutkan pembicaraanya kepadaku dan ibuku yang belum
bisa menerima kenyataan ini. Raut muka ibu sangat kecewa dengan
ayah. Awal mula Ibu memang tak menyukai tetanggaku yang tak jelas
adat-istiadatnya itu, aku tahu Ibu selalu mengingatkan ayah agar tak
berurusan dengan Hadi Santoso. Pagi, siang dan malam ibu selalu
mengingakkan ayah, tapi bukan ayahku kalu beliau punya keinginan
menyerah begitu saja, sifat ambisius ayah yang menurun padaku juga.
“Nah begini ni.. kalau orang ga mau dibilangin” kata ibuku yang tak
bisa menahan emosi.
“sekarang mau apa coba…hah!!” bentak Ibu kepada ayah.
Life must go on
Dua minggu kemudian.
. Pagi sekali ibu membangunkanku, Kulihat ibuku sudah rapi
dengan pakainnya yang serba merah itu. ibuku terlihat cantik dan
terkesan ceria dengan baju itu, meskipun aku tahu hati ibu sangatlah
kacau.
“mau kemana bu?”
“sudahlah, mandi dulu sana, habis itu pergi”
Aku turuti saja kemauan ibu, sepertinya ibu mengajakku untuk
sesuatu yang sangat penting. Hampir setengah jam ibu menungguku
untuk berdandan. Seperti dua minggu yang lalu, masuk gang keluar
gang lewati jalanan, lewati jembatan yang airnya berwarna warni
karena limbah batik. Sampailah aku ke tempat yang dimaksudkan ibu.
Kuparkirkan motor di depan sebuah gedung tiga lantai itu, gedung
berwarna putih dengan bagian depan dominan dengan kaca hitam lebar.
Aku langkahkan kaki mengikuti ibuku memasuki gedung itu.
“selamat pagi” sapa ramah seorang petugas kepada aku dan ibuku saat
membuka pintu kaca besar itu.
Ibuku menghampiri seseorang yang duduk di salah satu sudut
ruangan. Namanya endah haryani, aku tahu itu dari sebuah papan nama
yang terletak di atas meja. Ibu endah seorang customer service bank
BUMN yang seumuran dengan Ibuku menyapa ramah sekali, seperti
teman dekat ibu. aku duduk di kursi yang selalu tersedia didepan meja
Ibu endah, tepat di samping ibuku.
Aku perhatikan ibu endah yang mengangguk-angguk
mendengarkan maksud ibuku datang ke bank itu.
“ibu serius?” kata Bu endah.
“iya bu, saya tak tahu harus bagaimana lagi.”
“sayang lho bu, padahal tahun ini”.
“iya habis bagaimana lagi bu, saya sudah tak punya apa-apa, hanya itu
yang saya bisa gunakan untuk menyambung hidup”.
“sebentar ya bu, saya tanyakan dulu ke dalam”.
Beberapa menit aku dan ibuku menunggu Bu endah masuk
kesebuah ruangan, mungkin menemui atasannya. Ibu endah datang
bersama seseorang laki-laki memakai kemeja putih berdasi hitam garis-
garis.
“maaf ibu, sekali lagi Ibu serius mengambil tabungan Haji itu?”
“iya bu” jawab ibu lirih dengan berlinang air mata. Aku tahu ibuku
setengah hati mengambil uang itu. tapi life must go on dan we should
survive.
Terdengar olehku perbincangan antara ibu endah dengan
seorang pria itu, samar-samar pria itu menyayangkan ibu mengambil
tabungannya padahal Ibu berangkat haji pada tahun ini. Akhirnya yang
aku dengar, pria itu mengizinkan ibu untuk mengambil uangnya.
Sebelum Ibu mengambil uangnya, ibu endah menyarankan
kepada ibuku agar tak menutup rekening hajinya itu. kata Ibu endah
saldo ditabungan bisa disisakan seperempat atau sedikit saja karena
untuk membuka rekening Haji susahnya bukan main, “niatnya yang
susah, banyak godaan” kata bu endah. Ibu endah juga bercerita bahwa
tabungan haji milik ayah itu sudah dikosongkan beberapa bulan yang
lalu, dan ayah waktu itu datang bersama seseorang laki-laki, dan
diberikannya uang itu - kepada Hadi santoso pikirku- saat itu juga.
“pimpinan saya waktu itu sudah curiga bu”. Kata bu endah.