Anda di halaman 1dari 8

Memories 2 : Why we can’t see the Stars in the Rain?

Ini adalah sebuah pertanyaan mendasar yang mungkin saja bisa dipertanyakan oleh semua
manusia.

“Mengapa manusia bisa menderita?”

Terdapat berbagai jawaban untuk menjawab pertanyaan ini, setiap orang pun mempunyai
jawaban yang berbeda-beda. Akan tetapi, terdapat jawaban yang paling umum untuk pertanyaan
tersebut dan hal itu adalah sebuah perbandingan antara diri sendiri dengan orang lain.
Sebenarnya, tidak salah untuk membandingkan diri dengan orang lain—begitu pikirku—namun,
yang salah adalah perbandingan yang dilakukan selalu mengarah ke atas. Kita selalu
membandingkan diri dengan sosok yang mempunyai mobil yang lebih bagus, gaji yang lebih
tinggi, ataupun pasangan hidup yang lebih cantik. Sebenarnya, solusi dari permasalahan tersebut
adalah kita hanya perlu menerima keadaan diri seadanya dan puas dengan hal tersebut. Namun,
sayangnya manusia tidak diciptakan seperti itu. Oleh karenanya, manusia selalu menderita.

Tapi itu merupakan perbandingan internal bukan. Dibandingkan dengan factor eksternal, seperti
yang dilakukan oleh dan dengan orang lain tanpa kemauan diri sendiri … bukankah itu terdengar
lebih menyakitkan? Kau merasa puas dengan dirimu sementara orang di sekitarmu merasakan
hal yang sebaliknya. Itu tidak hanya akan menuntunmu pada penderitaan, kau juga akan
kehilangan dirimu sendiri.

Dingin. Kurekatkan syal berwarna silver yang sedari tadi melingkari leher untuk menjaga
kehangatan tubuh ini. Cappuccino hangat yang kubeli sepertinya tidak bisa melaksanakan
tugasnya dengan baik dikarenakan cuaca malam ini. Salju yang turun sebenarnya tidak begitu
lebat, namun angin malam yang berhembus serta awan mendung berwarna orange yang
menutupi seluruh penjuru langit menjadi penyebab suasana dingin tak tertahankan ini. Tidak
terlihat satu pun bintang di atas sana, bahkan bintang Polaris sekalipun.

Tidak banyak orang bodoh sepertiku yang masih saja berjalan di bahu jalan dengan menerobos
malam bersalju ini. Kebanyakan dari mereka berlindung di dalam sebuah bangunan entah itu
rumah ataupun Kafe. Aku pun memberhentikan Langkah saat akan melewati salah satu toko
yang menjual beragam jenis hadiah untuk natal. Kaca yang memisahkan antara barang yang ada
di dalam dengan pengunjung yang berada di luar itu bisa merefleksikan diriku sepenuhnya.
Tampak sesosok laki-laki setinggi 165 cm dengan coat berwarna hitam yang ia padukan dengan
bawahan berwarna coklat. Rambut Panjang yang ia biarkan acak-acakan serta cappuccino yang
ada ditangan nampaknya benar-benar membuatku terlihat lebih tua dari umurku yang
seharusnya. Padahal tahun ini aku baru akan berumur 18 tahun.

Langkah demi Langkah kutelusuri, tujuanku tidak lagi jauh di sana. Hanya tinggal berjalan lurus
untuk 400 meter ke depan lalu belok kanan di simpang jalan. Tempat yang kutuju adalah sebuah
Kafe yang berada di daerah Shinsigai, Kumamoto. Sembari berjalan, masih saja kupikirkan
mengapa aku harus datang ke tempat itu. Jauh-jauh datang ke Kumamoto dengan tujuan untuk
kabur, namun pada akhirnya tetap menurut seperti anjing peliharaan? Lebih parahnya lagi, aku
mungkin akan mengingkari omonganku sendiri.

Isi kepalaku cukup kacau apabila disuruh untuk mengatakan semua hal yang ada di dalamnya.
Namun, belum saja selesai dengan semua perdebatan diri ini, masalah yang lain Kembali datang.
Seseorang dari arah belakangku tengah berlari menerobos beberapa pengguna tepi jalan dan
berhasil menabrakku hingga cappuccino yang sedari tadi kupegang untuk menghangatkan diri
pun jatuh dari genggaman.

“HEI--!” Belum sempat ku menyelesaikan kalimat, ia pun langsung memotong perkataanku.

“Maafkan aku! Maafkan Aku!” ujarnya sembari mengambil Kembali cup yang sudah jatuh ke
jalan untuk diberikan kepadaku. Isinya sudah kosong. Ia pun terlihat kebingungan dengan hal
tersebut.

Sosok yang menabrakku adalah seorang perempuan. Ia terlihat sedikit lebih pendek dariku,
mengenakan kacamata dengan frame bulat, dress berwarna putih yang bahkan bisa Bersatu padu
dengan salju serta rambut yang dibiarkan terurai sepunggung. Nafasnya pun terdengar sangat
terburu-buru, sepertinya keadaannya juga sangat genting hingga ia berlari ditengah salju seperti
ini.

“Sudahlah, tinggalkan saja. Setidaknya aku tidak terluka. Pergilah.”

Begitu kulontarkan kalimat tersebut, ia pun langsung menunduk sekali dan langsung berlari lagi.
Arah yang ia tuju sama sepertiku walau aku tidak tahu ke mana arah ia pergi setelah berbelok di
simpang jalan. Aku pun Kembali berjalan menuju tempat yang dijanjikan.
Libcafe. Sebuah kafe yang berada di Daerah Shinsigai, Kumamoto. Aku pun tiba di tempat.
Gedung yang mereka gunakan adalah Gedung berwarna coklat dengan interior bagian dalam
berwarna putih. Terdapat papan yang ditulisi dengan kapur warna-warni yang berisikan menu
rekomendasi dari Kafe tersebut.

“Orang yang aneh. Siapa yang mengajak bertemu di kafe yang menu andalannya adalah ice
cream dan parfait saat malam bersalju seperti ini?”

Aku pun masuk ke dalam kafe tersebut. Dibandingkan dengan suasana di luar, tentu saja berada
di dalam bangunan lebih baik. Namun, tidak hanya itu saja. Kehangatan di sini tidak hanya
berasal dari desain interior yang ada, namun juga para pengunjungnya. Senyum dan tawa berada
di mana-mana. Padahal ini adalah malam yang bersalju, namun mereka semua bisa menikmati
menu yang dipesan sembari mengeluarkan ekspresi tersebut. Terdapat beberapa pasang kursi dan
meja untuk menampung 4 orang pelanggan, ada juga meja bundar yang dilingkari oleh kursi
kecil untuk pengunjung yang membawa banyak teman, serta ada juga 6 kursi tinggi yang
menghadap langsung ke jendela yang menampakkan suasana jalan di luar.

Aku pun mengedarkan pandangan untuk mencari orang yang akan kutemui. Tidak butuh waktu
lama untuk menandainya. Seseorang yang duduk sendiri di kursi tinggi tersebut. Ia mengenakan
jas berwarna hitam yang tentu saja mencolok bagi orang yang bepergian di malam bersalju.
Tampak ia sedang menghabiskan menu yang ia pesan.

“Hei,” sapaku sembari mengambil tempat duduk yang berada di sampingnya.

“Oohh! Taka-kun, ya! Lama tidak bertemu!” tanpa permisi ia menjabat tangan kananku. Seorang
pria paruh baya yang tampak berumur 40 – 50 tahun. Orang ini adalah salah satu staf dari agensi
yang menaungi adikku saat ini. “Apa kau tidak memesan sesuatu, Taka-kun?”

“Tidak, langsung saja ke intinya. Apa yang ingin kau bicarakan di sini dan bagaimana kalian
tahu bahwa aku sedang di Kumamoto?” begitu tanyaku. Sebisa mungkin aku ingin mempercepat
pertemuan yang memuakkan ini.

“Seperti biasa, kau terlalu dingin. Yah, jika itu yang kau inginkan, maka akan kujawab
sebisaku.” Ia pun mulai membersihkan mulut sehabis menyantap sebuah parfait strawberry.
“Bagaimana kami mengetahuimu? Tentu saja dari transaksi kartu ATM yang kau gunakan untuk
membeli tiket pesawat Tokyo-Kumamoto. Apa yang ingin kubicarakan? Kurasa kau sendiri
sudah tahu jawabannya. Menyerahlah, Taka-kun.”

“Begitu.”

Tentu saja aku tahu persis apa yang ingin dibicarakan oleh Bapak ini. Ayah dan Ibuku—Shinichi
Morita dan Masako Morita—adalah mantan idola sekaligus actor dan aktris. Mereka sangat
terkenal sehingga aku sudah sangat lekat dengan dunia hiburan semenjak kecil. Namun, justru
karena itu aku sangat membenci bidang tersebut. Tidak diperbolehkan untuk menekuni bidang
dengan jalanku sendiri, dibatasi dengan berbagai macam aturan, sampai akhirnya aku dibuang
dan tidak diakui oleh Ayahku sendiri. Padahal saat itu aku masih berumur 15 tahun.

“Kembalilah, Taka-kun. Kau mempunyai bakat di bidang ini, bahkan kau sudah mulai meniti
karir, bukan?” pertanyaan itu diikuti oleh helaan napas berat. “Kalau saja kau tidak berpacaran
dengan perempuan murahan itu—”

“Diam KAU!”

Badanku bergerak dengan sendirinya. Tangan kananku sudah mencengkram dengan erat kerah
baju milik orang ini sementara tangan kiriku berusaha kutahan agar tidak sampai mengenainya.
Aku pun mengatur napas lagi, pandangan orang-orang langsung tertuju padaku walau sang
pemilik kafe tidak begitu peduli karena mungkin kafe ini juga sudah disewa olehnya.

Aku pun melepas cengkramanku, “Jangan berani-berani berbicara tentang orang itu kalau kau
tidak mau kehilangan satu atau dua gigi keroposmu itu.” Namun, walau sudah dengan Tindakan
dan kalimat ancaman seperti itu, orang ini tetap tidak bergeming.

“Taka-kun. Bukankah sudah cukup bagimu untuk merepotkan kedua orang tuamu? Karir yang
sudah dibangun berkat koneksi orang tuamu, kau hancurkan begitu saja hanya karena ingin
berpacaran dengan seorang perempuan? Kau bahkan keluar dari sekolah dan tinggal mandiri
sekarang, bukan?”

“Apa kau berpikir bahwa aku peduli dengan semua hal yang kau sebutkan tadi?”

Ia pun menghela napas lagi, nadanya suaranya berubah bersamaan dengan kalimat yang ia
lontarkan, “Itulah mengapa kau selalu dibawah Hiro-kun, adikmu sendiri. Lihatlah bagaimana ia
terkenal sekarang, berbeda denganmu yang seperti sampah kedua orang tuamu sendiri.”
Benar. Perkataannya memang benar. Hanya itu saja yang tidak bisa kubantah.

“Kau keras kepala, Taka-kun. Oh iya, akhir-akhir ini aku sering mendengar tentang band trio
yang sedang nge-trend. Katanya mereka sangat sering mengcover lagu pop seperti milik Maroon
5.”

Tidak … kumohon, jangan hal itu. Hanya itu saja. Tolong jangan rebut itu dariku.

“Chivalry of Music, bukan? Itu adalah band mu sekarang. Oh iya, aku ingat sesuatu yang
menarik lagi, Taka-kun. Jika kau tidak memberikan keputusan ataupun menolak untuk Kembali
ke Jhonny’s Entertainment … maka, aku akan menghancurkan band kecil itu.”

Tidak ada pembahasan lagi setelah itu. Ia langsung pergi meninggalkan Libcafe setelah
memberikan peringatan. Haruskah berakhir seperti ini? Band yang belum lama terbentuk, tawa
lepas serta keringat Latihan yang mereka cucurkan selama ini harus berakhir karena masalah
pribadiku? Tentu tidak, bukan? Tapi bagaimana? Bagaimana aku harus menghadapi ini semua?.

Aku pun hanyut dalam pikiranku sendiri. Seolah tidak mempedulikan sekitarku, aku mulai
melipat tangan dan menaruh kepalaku di atasnya. Kupejamkan mata untuk sesaat,
membayangkan apa yang mungkin terjadi apabila aku menuruti keinginan orang tua ku, apa yang
mungkin terjadi bila aku tetap di Jhonny’s Entertainment. Bahkan, orang itu tidak mau sampai
ini terjadi, bukan? Oleh karena itu, ia meninggalkanku, demi kebaikanku katanya. Tapi, kurasa
itu benar, aku lah satu-satunya orang yang menghancurkan diriku sendiri.

Ditengah-tengah itu semua. Sebuah bunyi datang. Itu bukan bunyi biasa, itu adalah bunyi yang
berasal dari nada C paling tinggi dari sebuah Piano dan biasanya, para pianis akan
menggunakannya sebagai alat untuk menarik perhatian audience. Kepala pun Kembali
kutegakkan, pandangan kuedarkan untuk mencari sumber dari bunyi tersebut. Di sana—tepat di
bagian pojok—dekat dengan kasir kafe tersebut, aku menemukannya. Sosok berambut Panjang
yang dibiarkan terurai, kacamata top-frame yang ia kenakan sangat cocok dengan wajah dan
mata yang bersinar polos seperti bulan purnama. Tidak ada ekspresi dari wajah tersebut, dress
putih yang ia kenakan seolah menjadi identitas yang bisa menggambarkan dirinya seutuhnya.
Dia adalah perempuan yang menabrakku tadi. Piano pun mulai ia mainkan, dapat kukenali
bahwa bagian yang sedang dimainkan adalah intro dari sebuah lagu. Setelahnya, ia pun mulai
menyanyi. Aku pun cukup tertegun mendengar suaranya. Tone yang ia keluarkan sangat berbeda
dari penyanyi lainnya seolah itu adalah ciri khasnya. Namun, dibalik itu semua, bagian yang
paling menggambarkan dirinya adalah bagaimana ia sangat menjiwai sebuah lagu. Lirik, suara,
nada, tone, semua itu Bersatu padu dan menciptakan suasana yang ia inginkan, tidak—mungkin
itu juga menggambarkan suasana hatinya saat ini. Aku merasakannya.

Lebih dari itu semua … liriknya adalah bagian yang paling menyedihkan.

Stars in the Rain

So close, so far … You believe, we can’t reach it anymore

Rainbow or stars … Forever, I can’t find them

Right now, passing through the town.

Without opening the umbrella, Having no destination

And then, in the midst of frozen rain

We just lose these weeping dreams again and again.

Two of us, getting separate to each other

I wonder why … we can’t see the Stars in the Rain?

Why I can’t see a hope in an despair?

Aimer.

Ia melanjutkan nyanyiannya lagi untuk beberapa menit ke depan dengan lagu yang berbeda.
Walau begitu, apa yang terdengar di kepalaku masih saja lagu yang pertama ia nyanyikan.
Setelah 30 menit waktu berlalu, ia pun menutup penampilannya dengan lagu Twinkle Twinkle
Little Star yang ia aransemen agar sesuai dengan gaya menyanyinya. Selesai menyanyikan lagu
tersebut, ia pun mengundurkan diri dan langsung menghilang dari pandangan dengan berlari ke
arah pintu yang bertuliskan staff only. Aku pun langsung menyegerakan diri untuk berdiri dan
keluar dari kafe sembari mencari-cari pintu belakang dari kafe tersebut.
Tidak butuh waktu lama bagiku untuk menemukan tempat tersebut, aku pun juga menemukan
sosok dengan dress putih itu berdiri tepat di bawah lampu yang bersinar dengan Cahaya
berwarna orange berfungsi untuk menerangi Lorong kecil di bagian belakang. Namun, terdengar
sesuatu yang aneh darinya. Suara itu seperti sebuah rintihan. Ia sedang menahan tangis—atau
mungkin ia justru sedang menangis, namun disaat bersamaan tidak ingin mengeluarkan suara.

“Ia sedang ingin sendirian. Jangan menegurnya dan pergilah.” Begitulah kalimat yang
kukatakan pada diri sendiri. Namun, badan ini tidak bergerak mengikuti akal rasionalnya dan
malah menegurnya.

“Hei ….”

Ia pun sontak berbalik ke belakang dan mendapati diriku di sana. Kami berdua bertatapan untuk
beberapa detik. Wajah yang tadinya tampil tanpa ekspresi, hanya mengeluarkan suaranya yang
indah dan memainkan piano dengan jari mungil yang sekarang bisa kulihat, ternyata ia bisa
mengeluarkan ekspresi seperti ini. Mata yang tadinya terasa dingin dan polos, bersinar terang
seperti bulan purnama, kini justru memancarkan kehangatan namun tidak dengan senyuman
tetapi dengan air mata.

Aku bisa saja meninggalkan orang ini. Aku bisa saja mengabaikan orang ini. Aku bisa saja
acting dengan berpura-pura tidak melihatnya. Tapi, kenyataanya tidak seperti itu. Perasan ini
sama seperti perasaan yang pernah memenuhi hari-hariku. Perasaan Ketika aku dibuang oleh
ayahku. Perasaan Ketika aku ditinggalkan olehnya. Aku, tidak ingin dia , merasakan hal itu.

“Kau tidak apa-apa? Apa kau membutuhkan sesuatu? Aku ada di sini, aku juga bisa
membantumu.”

Ia tidak menjawabnya. Tangisannya sudah berhenti, namun kini tatapannya tidak ke arahku
tetapi menengadah ke atas.

“Kau tidak perlu sungkan. Aku di sini dan tak akan pergi.”

“Kau tidak perlu berkata seperti itu,” ia akhirnya menjawab perkataannku. “Kurasa kau bahkan
lebih memerlukan bantuan dibandingkan diriku sendiri. Bantulah dirimu dahulu sebelum
membantu orang lain.”
Itu adalah jawaban yang tidak kusangka-sangka. Namun, itu juga jawaban yang mungkin sedang
kubutuhkan. Perempuan ini unik. Ia yang tadinya tengah menangis justru menyadari apa yang
dibutuhkan oleh orang lain.

“Namamu, bolehkah aku mengetahuinya?”

Ia pun tersenyum, menghapus jejak air mata yang membekas di kedua sisi wajah polosnya, lalu
memberitahukannya padaku, “Yoshizawa Eima, kamu sendiri?”

“Takahiro Moriuchi.”

Saat itu adalah malam bersalju. Malam tanpa bintang. Malam tanpa harapan. Di saat seperti itu,
kami bertemu. Pertemuan itu bukanlah hal yang spesial karena setelahnya justru jauh lebih
spesial lagi. Namun, aku bersyukur bisa bertemunya saat itu.

Anda mungkin juga menyukai