Anda di halaman 1dari 10

Adik yang Ke-empat

Pilih salah satu: meneruskan usaha untuk merebut cinta Santy dengan risika,
harus berhadapan dengan seorang perwira tinggi, atau mundur diri saja tetapi
membawa duka lara? Manakah yang harus kupilih?

Tidak ada, dan seharusnya alternatif itu tidak boleh ada. Tetapi bagaimana
tidak? Aku memang menaruh hati pada Santy, sungguh sangat menaruh hati,
sementara Santy belum memberikan respon apaapa. Malah ja mengatakan, “Jika kau
mau berteman denganku, kau yoga harus berkenalan dengan ayahku.”

Bagiku bertamu ke tempat orang merupakan hal yang biasa saja. Tetapi
menghadapi seorang perwira tinggi tanpa alasan, kecuali hanya sekadar untuk dapat
lebih dekat dengan anaknya, aku belum pernah. Dan itu yang membuat aku kecut.

Kalau aku dianggap tak rasional oleh beberapa kawan itu boleh saja. Mereka
bisa saja mengatakan, “Mengapa harus Santy? Top masih banyak gadis lain.
Mestinya tahu diri dong, kamu anak siap, dan Santy itu siapa?”

Kusadari sepenuhnya, siapa diriku. Tetapi haruskah aku melangkah surut dan
melepaskan mata Santy yang bening, sifatnya, yang manja, seperti gadis yang selama
ini kuidam-idamkan? Tentu nanti dulu.

Aku masih ingat dan sangat ingat, bagaimana perkenalan ity bermula. Di
bawah pohon angsana ketika matahari sore membakay dan di tengah sorak-sorai
manusia yang menyaksikan invitasi voli itu,

“Santy. Santy Paramaisuri. Anak jenderal berbintang satu. Kelas III A1,
rangking dua, jago renang berhati lembut. Cukup?”

“Ck-ck-ck,. Bukan main. Bukan main-main!”

“Tak ada dalam kamusku main-main.”

“Jadi kamu serius?”

“Kau boleh cek di Kepolisian. Identitasku lengkap di sana.” “Hahaha ...”

“Kok ketawa? Tak ada yang lucu kan?”


“Ya. Hanya lelucon.”

“Hahaha...”

“Hihihi...”

Lalu kami pun ber-hahaha dan ber-hihihi. Hahaha...hihihi.

Selanjutnya, seperti biasa, pandangan tidak lagi mengarah ke pertandingan


voli itu lagi. Pertanyaan dan jawaban sudah melanglang buana dari hobi, alamat
rumah, tokoh idola, dan segudang lagi, pokoknya asal dapat mempermulus jurusjurus
untuk mendapatkan matanya yang bening itu.

“Di mana kita bisa ketemu lagi? “ kataku sesaat sebelum berpisah Sore itu.

“Satu hal yan: perlu kau ketahui, ayahku tidak begitu senang bila tidak tahu
setiap teman lelakiku. Jadi kalau kau mau berteman denganku, kau harus datang
bertamu ke rumahku, bertemu ayahku, Kau boleh datang setiap saat. Pagi, sore,
malam, terkecuali subuh.”

“Gila. Badung juga kamu.” .

“Tidak soal. Kau mau kan?”

Wah. Ini ujian mental atau seloroh semata? Aku tak tahu, tetapi gadis yang
mengenalkan dirinya dengan cara konyol ini tak menyimpan rasa risih. Di matanya,
ya di matanya, tak ada dusta.

“Jawab. Atau kau juga pengecut, seperti lelaki lain, yang mundur sebelum
melangkah. Kecil, “ kata Santy seraya menunjukkan jari kelingkingnya padaku.

“Lho siapa yang bilang aku pengecut?”

“Aku.”

“Baik. Akan kubuktikan, Santy.”

Itulah awalnya. Kami berkenalan saat ada invitasi voli antarsekolah SMA di
kota ini, kota Metropolitan, ibu kota yang kejam kata sebagian orang, yang lebih
kejam dari seorang ibu tiri.

Aku melupakannya. Toh, semua itu canda semata. Kupikir, tak mungkin aku
dapat meluluhkan hati gadis secantik dia. Selama ini, jangankan Santy yang bermata
bening, Siska, Sarinah, Suharti, Mariyem, Laraswati, Inge dan banyak lagi gadis yang
kukagumi, tak pernah jatuh cinta padaku. Bagaimana mungkin aku mendapatkan
mereka, sebab setiap kali aku akan mengatakannya, pasti gugup datang melanda. Ini
penyakit, penyakit yang latar belakangnya panjang bila kuceritakan. ,

Tetapi Ya Tuhan, ternyata aku masih juga dipertemukan dengannya, dengan


gadis yang tanpa setahuku telah mengagetkan pengunjung Gunung Agung ketika aku
sedang melihat-lihat buku di sana.

“Biasakan dengan cara yang sopan menegur orang,” kataku, ketika tiba-tiba
ia menepuk bahuku, saat aku jongkok memilih milih buku.

“Walah-walah. Berlagak. “

“Bukan berlagak. Tetapi itu adat orang Timur.”

“Oh ya?”

“Ya, harus begitu. Harus seperti itu.”

“Oh ya?”

“Sialan, “ umpatku, karena Santy tahu benar bahwa aku bercanda.

“Di Pasar Senen banyak orang jual blouse, kau tidak ke sana” tiba-tiba ia
mengagetkanku dengan pertanyaan konyol.

“Aku belum punya pacar. Lalu untuk siapa?”

“ Ya, untukmu.”

“Lho kok?”

“Ganti saja jeansmu dengan bloxse. Jadi nampak wajar. Karena hanya mereka
yang jantanlah yang wajar memakai xeans itu. Tidak untuk orang yang penakut
macam kamu.”

“Gila. Aku masih sibuk.”

“Alasan! ”

“Sungguh aku masih sibuk.”


“Kau penakut. Mana buktinya bahwa kau berani datang X rumah? Ganti
dengan blouse ya?” teriak Santy seraya menjauh pergi dan tak menghiraukan
panggilanku kendatipun sudah dengan sua" yang cukup mengagetkan banyak
pengunjung.

Pertemuan itu hanya sekilas, tetapi sangat membekas. Begiv manjanya, begitu
mempesona. Lalu akankah kubiarkan ia terbang ke mana-mana dan jatuh dalam
dekapan orang lain? Tidak boleb Tidak bisa. Tidak boleh dan tidak bisa terjadi.

Apakah Santy tidak main-main? Benarkah kata-katanya it Ah persetan! Toh


yang berhak menilai diriku, ya aku sendiri. Tetap bukankah aku tak melihat
kebohongan di matanya? Benarkah ia memang mengharapkanku datang ke rumah
nya? Ke rumah seorang jenderal yang siap memasang wibawanya lalu bertanya
seperti menghadapi seorang pesakitan?

Busyet, tak bisa juga lepas pikiranku dari gadis konyol itu.

Konyolkah Santy? Tidak. Sama sekali tidak. Gadis itu cantik.

Soal ia agak badung, kukira wajar-wajar saja. Gadis seusia “dia memang begitu
sifatnya. Yang jelas, ada bisik-bisik halus yang menghantui setiap kali kurebahkan
diriku di pembaringan, di jalan, di halte, di mana saja. Apalagi matanya, ya matanya,
bagai bintang kejora. Duh, jatuh cintakah aku padanya?

Ya, aku telah jatuh cinta.

Lalu bagaimana? Bagaimana aku mengungkapkannya, kecuali melalui pertemuan.


Dan pertemuan itu tidak akan terjadi jika saja aku tak berani ke rumahnya.
Maksudku, biarlah pertemuan itu di luar rumah. Kelak, manakala sudah akrab, mau
tak mau aku kan harus berkenalan juga dengan orangtuanya. Tetapi itu maksudku,
kehendakku. Kehendaknya tidak demikian. Ah...mengapa aku harus terjerat dalam
lingkaran yang tak jelas di mana muaranya?

Lama aku tercenung.

Tiada pilihan lain, kecuali aku harus berani membulatkan tekad. Toh, harimau
saja belum tentu makan anaknya. Mengapa harus takut? Kan sebisa-bisanya aku saja
menjelaskan bahwa aku teman Santy, ingin kenalan, dst. dst.

Ada juga debar jantungku ketika membuka pagar yang tak terkunci. Sebuah
bangunan model Spanyol, dengan jendela berkotak-kotak kecil, dan sebuah halaman
yang asri, beberapa bonsai ditata sedemikian rupa, lalu di pojok, serumpun batang
pinang merah, membuat rumah ini kelihatan anggun.

Debar jantung mulai berdegup sumbang. Tetapi aku sudah membulatkan


tekad, Kalau yang keluar ayahnya? Ah, masa bodoh Kalau juga diusir, itulah resiko
menaksir.

Kutekan bel dan luar biasa, suara terompet yang menggema Benar-benar
rumah seorang tentara,

“Masuk!”

Duh. Begitu singkat dan mengejutkan.

“Kamu yang bernama Hamdan? “

“Ya, Om.”

“Jelaskan secara sistematis, apa tujuan dan latar belakang kamu ke sini?”

Wah, formalnya.

“Bisa bicara apa tidak?

“Ya, Om.”

“Bukan itu jawabannya.”

Kutarik nafas dalam-dalam, mata ayah Santy tetap saja memandangku dengan
tajam. Tidak terlalu garang, tetapi disiplin dan ketegasan memang amat jelas
kelihatan.

“Saya teman Santy. Tetapi saya juga ingin berkenalan dengan Om dan Tante.
Saya kira adalah perbuatan yang baik bila saya juga berkenalan dengan keluarga di
sini. Saya orang rantau Om. Tak punya sanak famili...”

“Disini bukan perusahaan pengerah tenaga kerja.”

“Saya tidak mencari kerja Om. Saya sudah bekerja.”

“Sebagai apa dan dimana?”

“Cuci Mobil, di jalan Asoka, dekat perempatan.”


“Bagus.”

Duh, kata-kata itu, betapa membanggakan. Tetapi ayah Santy tak meneruskan
pertanyaannya lagi. Ia hanya menatapku, satu, dua, tiga, ampun, empat menit dengan
tak berkedip. Aku tak tahan.

“Kau sekolah?”

"Ya, Om. Semester 7, Fakultas Sosial Politik, Jurusan Hubungan Luar


Negeri.”

“Bagus “

“Maaf, mengapa begitu sunyi rumah ini?”

“Hahaha... aku tahu maksudmu, Di mana Santy, itu kan yang hendak kau
tanyakan?” Ayah Santy kemudian melengos pergi ke dalam. Kutatapi tata ruang tamu
yang artistik. Di dinding potret keluarga dalam ukuran besar terpampang. Hanya
berempat? Ya, itu Santy, lalu seorang pemuda gagah, mungkin kakaknya, kemudian
ibu dan ayahnya.

“Hai...sudah lama? ” tiba-tiba Santy muncul sambil bergelayut di lengan


ayahnya. Belum sempat kujawab, Santy sudah berkicau lagi.

“Kau hebat. Kau tidak gugup menghadapi papaku. Kau tahu, papa selalu
memperlakukan temanku begitu.”

“Nak Hamdan jangan heran. Dulu ketika muda, Om pemain sandiwara. Nah,
bagaimana dengan akting Om barusan?”

“Luar Biasa. Saya pikir Om memang akan sekaku itu untuk menghadapi
setiap tamu, khususnya jika tamu itu pemuda seperti saya.”

“Ya, awalnya. Bila mereka kecut, mereka minta diri segera. Kebanyakan
seperti itu. Tetapi kau biasa-biasa saja.”

“Saya gugup tadi, Om,” kataku membantah, tetapi orang tua ini hanya tertawa
dan anak gadis itu, ya anak gadis di sampingnya juga ikut tertawa. Busyet, akukah
yang mereka tertawakan?
“Boleh saya berkenalan dengan ibu?” tanyaku pada ayah Santy yang duduk
berhadapan denganku. Sengaja pertanyaan itu kutujukan padanya, agar ia mengerti
bahwa kedatanganku bukan untuk Santy semata,”

Lelaki itu tak menjawab, sementara Santy hanya memandangi ayahnya tanpa
kutahu apa maksud mereka.Lama ia tercenung sehingga aku merasa salah tingkah.
Aku tak berani menatap wajah ayah Santy dan mataku hanya berani menerobos ke
keluar jendela, memandang senja yang mulai hilang.

“Kami hanya berdua. Ibu Santy telah empat tahun mendahuly: kami.”

Orang tua itu diam lagi. Suaranya sudah mulai lirih. Aky menyesal
mengajukan pertanyaan itu. Sama sekali aku tak bernia, untuk membuka lembaran
lama mereka. Aku sungguh tak mengetahui, kalau ibu Santy sudah tiada.

“Santy anak kedua. Kakaknya, Zuhdi, meninggal waktu berumur sembilan


belas tahun. Waktu itu Om sedang menunaikan tugas di luar daerah. Sekarang, seperti
yang anak lihat sendiri, rumah ini begitu sepi.”

Ruangan itu sepi kembali. Entah, barangkali karena larut oleh kenangan masa
silam, entah karena pertanyaanku mengusik cerita sedih oleh kepergian kedua orang
yang mereka cintai. Aku tak tahu persis. Sementara kulihat ada kabut di mata Santy
dan kabut itu kemudian mengkristal lalu bergulir satu-satu jatuh dari dagunya.

“Waktu itu Santy baru berumur 12 tahun. Baru kelas 1 SMP. Hanya pada
Zuhdi-lah ia bisa bermanja-manja, sebab tak ada orang lain di rumah ini, kecuali Om
dan Tante. Dan, hanya berselang setahun setelah kepergian kakaknya, Tante
menyusul. Musibah yang memang berat untuk dilupakan. Tetapi Tuhan telah
berkehendak demikian,” kata ayah Santy seakan menyabarkan diri dan anaknya
sendiri.

Ah...betapa banyak yang tak kutahu tentang kehidupan keluarga Santy,


sementara aku sendiri telah banyak bercerita pada Santy siapa aku sesungguhnya.

“Aku tahu siapa anak sesunguhnya. Santy bercerita banyak padaku tentang
nak Hamdan. Mula-mula aku tak percaya, tetapi kemudian aku yakin dan aku tak
akan salah. Kau nak Hamdan adalah putra pertama Sersan Ambri kan?”

“Ya, Om. Tetapi Bapak sudah lama meninggal,”

“Aku Tahu. Dia anak buahku yang paling disiplin dan berani.
Ketika kudengar ia meninggal, aku tak sempat melayat, Maklum,

jaraknya terlalu jauh. Aku prihatin. Oh ya, apakah benar, kau masih punya dua orang
adik lagi?”

“Tiga, Om.”

“Mereka semua masih di Balikpapan?”

“Ya, Om. Ibu sudah tua, tetapi Mirna, adik saya yang pertama sangat setia
merawat ibu. Ady sendiri sekarang sudah semester 3 Fakultas Ekonomi di Universitas
Mulawarman. Ruri, yang paling bungsu, sekarang di SMA 1 Balikpapan.” |

“Biaya sekolah?”

“Mirna sudah kerja, Om. Di Bank Swasta. Mirnalah yang amat meringankan
beban ibu.”

“Nak Hamdan juga?”

“Tidak, Om. Saya tidak bohong, saya kuliah sambil kerja cuci mobil di
perempatan jalan Asoka itu. Pendapatan saya hanya cukup untuk biaya kuliah dan
hidup sehari-hari.”

Sepi ruangan itu. Aku juga tak hendak memulai lagi pembica| raan. Ada yang
terasa menyesak dalam batinku. Sudah tiga tahun aku tak pulang. Yah, tetapi ibu dan
adik-adik tentu mengerti, aku terpaksa bergelut dengan kehidupan untuk sebuah cita-
cita.

“Nak Hamdan mirip, ya mirip sekali dengan ayahmu. Ayahmu pemberani.


Pernah suatu kali ia hampir terkena ranjau di belantara Irian Barat, ketika ia menjadi
anak buahku. Tetapi naluri prajuritnya sangat tinggi, bukan saja ranjau itu tidak
mengenai dirinya, tetapi 1a malah mampu mengamankannya. Jika tidak, bukan saja
ayahmu yang tewas, aku juga, karena ia adalah pengawalku yang paling setia.”

Santy masih tetap diam, sementara ayahnya masih saja bercerita tentang masa
lampau, tentang almarhum ayahku dan dirinya sendiri. Aku hanya mendengarkan,
sebab bayang-bayang almarhum ayahku, ibu dan adik-adikku semakin hadir di
pelupuk mataku. Ya telah tiga tahun aku tak berziarah ke makamnya dan telah tiga
tahun pula aku tak pulang.
“Kami kesepian. Dulu, ketika kakaknya masih hidup, kepada. nyalah Santy
bermanja-manja. Rumah ini tak pernah sepi. Sekarang Nak Hamdan lihat sendiri,
hanya kami berdua di rumah ini.”

Hening ruang tamu itu. Tak satupun kalimat keluar dari mulutku. Di luar,
suara belalang terdengar saling menyahut, Batinku semakin tak menentu.

“Om berhutang budi pada almarhum ayahmu. Telah lama Om harapkan. Jika
suatu saat kelak Om bertemu dengan salah seorang putera almarhum, Om akan minta
agar ia mau tinggal bersama Om, menjadi anak angkat, menjadi bagian dari keluarga
kami. Sekarang, tanpa disangka-sangka, kau hadir disini. Kau mau &an menjadi
bagian dari kehidupan kami?”

Aku terkesiap. Dalam mimpikah kata-kata itu kudengar?

“Om ingin agar nak Hamdan mau tinggal di sini, menjadi anak angkat dan
menjadi kakak Santy, menggantikan kakaknya yang lebih dulu pergi. Nak Hamdan
mau kan?”

Aku tak segera menjawab. Bukan aku menolak, tetapi terasa hadir lagi
almarhum ayahku di sini. Telah lama kurindukan seorang Ayah. Tetapi itu hanya
sebuah kerinduan yang tak mungkin kesampaian. Sekarang, di tengah perasaan galau
oleh rindu pada ibu dan adikadikku, di saat-saat cerita kehidupan keluarga ini yang
mengusik batinku, tiba-tiba ada seseorang yang memintaku menjadi anak angkatnya
dan menjadi kakak dari anaknya, haruskah aku menolaknya? Aku tak tahu.Aku tak
mengerti.Bahkan tak kumengerti ke mana perasaan cinta yang kupendam itu pergi.

Kupandangi Santy yang sudah larut dengan isaknya. Entahlah, aku merasa
gadis di depanku ini bukan lagi Santy yang kemarin, bukan Santy yang badung, yang
konyol, yang bermata bening, yang sanggup menggelorakan nada-nada mesra.

“Kelihatannya permintaan ini mengejutkanmu. Sebenarnya tidak. Sejak Om


yakin bahwa nak Hamdan adalah putera sersan Ambri, sejak itu pula Om teringat
akan jasa-jasanya, Ya almarhum telah menyelamatkan jiwa Om. Dan...Santy pasti
menyetujuinya kan, bila Hamdan tinggal bersama kita? " Gadis itu segera
mengangguk seraya menatapku penuh harapan.

“Jawablah kak Hamdan,” tiba-tiba Santy mengusik lamunanku dan sungguh


aku tak mampu mengatakan kebahagiaan ini dengan kata-kata kecuali anggukan,
yang tak kutahu, apakah Santy melihatnya karena ia telah larut oleh kerinduan akan
kehadiran seorang kakak.

“Jawablah. Kak Hamdan mau kan jadi kakakku?”

Sekali lagi, aku hanya mengangguk, mendekapnya erat-erat saat ia benamkan


wajahnya di dadaku. Dan remang-remang kulihat di luar jendela, malam telah mulai
merambat dan menghadirkan bayang-bayang adikku, Mirna, Edy, Ruri dan sekarang
Santy, ya, dia sekarang telah menjadi adikku yang keempat, yang akan mengisi hari-
hati yang akan datang di perantauan.”

Anda mungkin juga menyukai