Anda di halaman 1dari 5

BEGINILAH DIA MEMBUNUH

Mutya Widyalestari, 1106005162 | Ilmu Sejarah | Tugas V

S
eorang gadis baru saja diputuskan pacarnya. Hal itu memengaruhi amat, sangat banyak
kehidupan sosialnya. Ia jadi tidak konsentrasi belajar. Ia membentak ibunya yang
terlalu lama menggunakan kamar mandi. Ia mengomeli adiknya yang meminjam
bajunya tanpa izin. Ia hampir menyerempet seorang ibu dengan mobilnya ketika berangkat ke
kampus. Ia juga tidak konsentrasi ujian. Di Fakultas Ekonomi, lebih baik nilai jelek dengan
usaha sendiri daripada ketahuan nyontek dan di-DO selamanya dari kampus. Ia juga lupa
membawa dompet dan akhirnya harus pura-pura puasa Senin-Kamis ketika diajak ke kantin.
Utang sama teman? Malu, dong. Bawa mobil ke kampus, baju mentereng, hape tipe terbaru,
tapi buat makan siang kok ngutang? Idih, nggal level!

Untung saja mantannya berkuliah di fakultas lain, jadi ia tidak perlu takut masuk kampus
pagi ini. Dipikir-pikir, untuk apa sih, dia mengencani cowok itu? Cuma karena dia anak
teater, rambut gondrong, dan kelihatan sedikit keren. Cuma karena obrolan mereka
nyambung soal filsafat, gender, dan sejarah ekonomi. Cuma karena mereka sama-sama
ngefans Makoto Shinkai dan brand milik Apple.

Ah, dasar buaya. Brengsek, gadis itu membatin, memaki dalam diam. Ia sudah meremas-
remas semua kado waktu masih pacaran yang bisa dihancurkan tangan tadi malam. Nomor
hape berikut sms-sms norak dari orang itu tak luput dimusnahkan. Ia juga menghipnotis diri
sendiri di cermin dengan mantra “akubencidia—akubencidia—akubencidia—
bencibencibenci” . . .

. . . tapi tidak ada satu pun yang mempan. Lihat, bahkan ketika ia hampir lompat dari
jembatan, wajah pria sialan itu terbayang. Giginya yang putih. Botol Aqua (atau Prima) di
tangan. Wajahnya yang terbatuk-batuk karena asap rokok. Pola pikirnya yang aneh...

Dalam benaknya yang kusut, lelaki itu sedang bicara padanya, meski wajahnya tertutup
bayangan hitam yang ganjil: “Boleh aja temen-temen gue ngerokok. Tapi gue nggak. Oh,
man, rokok tuh BUKAN bikin lu “laki”. Rokok bikin lu impoten. Bikin lu kéré. Bikin bibir lu
item, gigi lu kuning, napas lu bau, dan akhirnya? That’s it. Nggak enak buat dicium! Ya
nggak, sih? Kalo frustrasi, kalo butuh inspirasi, gue mending ke hotel atau supermarket,
ngabisin duit, kebut-kebutan kayak “terong”, karaoke sampe suara gue abis, berantem sama
bencong, yaa.. ngapain kek! Asal nggak bunuh diri aja,” lalu dia tertawa puas dan gadis itu,
waktu itu hanya bisa tersenyum getir sambil membatin: Oh sial, kayaknya gue mesti berhenti
“nyemok” mulai besok.

Lalu tiba-tiba ia tersadar dan danau kembali terbentuk di matanya. Gadis itu menggeleng
muak. Mengempaskan kenangan dan perasaan itu jauh-jauh.

Lompat dari Jembatan Teksas—

coret.
Dengan satu tarikan napas keras, dia beranjak dan memikirkan cara lainnya untuk mengakhiri
hidup.

Dunia tidak sesimpel itu. Ayo kembali. Di dunia sana tidak ada apa-apa, panggil suara hatinya.

Tapi ia pura-pura abai. Malah langkahnya semakin cepat. Umurnya sudah dua puluh tahun
dan ia masih berbicara dengan diri sendiri. Sindrom seperti itu seharusnya sudah hilang saat
seorang anak menginjak usia delapan belas, jadi ia putuskan tetap berjalan dalam diam. Tak
ada yang bisa menggoyahkan tekadnya. Pokoknya ia harus mati hari ini.

Hanya butuh satu hari untuk membuat dirimu jadi cengeng, yah?

Ini cita-citaku.

Hah? Apaan? Jadi Baby Huey?

Gadis itu pura-pura tidak mendengar dan melanjutkan, Dari kecil aku merasa, manusia punya
kehendak bebas. Termasuk menentukan kapan, di mana, dan bagaimana mereka mati.
Mereka tak perlu menunggu dengan was-was dan kalut soal takdir.

Suara dalam hatinya tertawa. Kamu kehilangan gairah hidup. Kamu tertiban sial. Kamu a-i-u-e-o.
Dan itu semua hanya karena pacarmu memutuskan kamu tadi malam? Kamu sungguh... “rasional”.

Aku orang biasa. Nggak punya keahlian khusus. Nggak ada yang peduli kalo aku nggak ada.
Bumi juga bakal terus berputar. Matahari tetap bersinar. Dunia kehilangan satu orang kayak
aku pasti bukan masalah besar. Dua tahun lagi paling aku cuma jadi pegawai bank, ikut
pemilu empat tahun sekali, atau hadir di arisan ibu-ibu tiap bulan sambil ngarep undian
nggak jelas. Aku nggak sepinter Ema yang bisa jadi asisten dosen atau Regan yang udah
magang di BI. Aku cuma... well, ini semua karena cowok goblok itu. Aku bakal jadi arwah
penasaran dan gangguan dia sampe gila. Sampe mampus. Ibu juga nggak sayang aku.
Merry. Merry. Merry terus. Apa di kepalanya cuma ada adik manja itu? Dari dulu aku
berpikir aku pasti anak pungut. Buktinya, mereka cuma ngangguk-ngangguk nggak jelas
waktu aku bilang keterima di Ilmu Ekonomi. Mereka malah pergi ke rumah sakit demi adik
ceroboh yang bahkan bawa motor aja masih cupu. Hahaha. Udah cukup. Bener, deh.

Cuk, kup!

Gadis itu tenggelam dalam pikirannya gelapnya sendiri dan tertawa putus asa.

Tapi, bunuh diri tidak semudah yang dia kira.

Dari jembatan Teksas, ia mencoba menabrakkan dirinya di kereta yang lewat, pura-pura
menyeberang rel tanpa lihat kanan kiri, tapi petugas stasiun menarik tangannya tepat waktu,
menghardiknya goblok, dan menyuruhnya mendingingkan kepala.

Ditabrak kereta—

coret.
Ia mendengus. Harus ke mana lagi dia sekarang? Ia ingin kematian yang singkat, cepat, dan
tidak menyakitkan. Dulu, waktu masih kelas 5 SD, ia pernah menuyusun daftar cara-cara
bunuh diri yang ampuh. Ia menyesal tidak membawa daftar itu sekarang.

Mau kuingatkan? kata suara itu lagi.

Tidak perlu.

Suara itu terkekeh genit. Aku juga cuma ingat satu paragraf. Karena kayaknya kamu bakal mati
beneran, akan kuberi tahu sebagai bonus. Hmm.. Mari kita lihat. ’Terjun dari atap, membelah leher,
mengiris lengan, kesetrum, tenggelam di laut, bakar diri, semuanya tidak elit. Aku ingin mayatku tetap
cantik waktu mati nanti. Shakespeare sangat romantis. Ia pasti membuat daftar bunuh diri yang lebih
panjang dariku, hanya untuk membuat Romi dan Yuli tetap rupawan, tidak butuh efek lebay saat
dipentaskan di panggung.’ Kamu ini bodoh, ya? Percuma cantik kalau sudah mati. Dan apa-apaan
usaha terjun ke mulut kereta barusan? Memangnya kamu Anna Karenina?

Apa kubilang aku butuh saranmu?

Setelah itu, suara tersebut tidak lagi bicara apa-apa.

Dalam kesunyian itu, si gadis tiba-tiba ingat percakapannya dengan si mantan. Bagaimana
mereka tanpa sengaja melihat berita di televisi tentang anak kecil, bocah bau pesing yang
bunuh diri. Mereka menertawainya sampai terguling-guling. Mereka pikir itu tindakan orang
yang pantas dikasihani, karena tidak bisa melihat betapa kerennya hidup sebagai manusia,
bukan rumput atau monyet di kebun binatang yang kerjanya cuma tidur, makan, dan cari
kutu. Mereka bahkan sepakat bahwa orang yang mati karena sigaret atau kokain lebih
terhormat daripada orang yang mati gantung diri. “Rokok itu cara bunuh diri yang
menyenangkan. Gantung diri kayaknya,” cowok itu pura-pura tercekik, “agak sakit. Iya
nggak, sih?”

Ah, lagi-lagi. Gadis itu hampir lupa betapa ia menyukai mantannya saat mengatakan “iya
nggak, sih?” di akhir kalimat.

“Selama ini gue percaya. Hidup adalah memilih. Orang mati nggak bisa milih. Udah beda
dunia gitu, loh. Selama masih bisa memilih, lu berarti masih hidup. Bodo amat lu terkapar
cacat di korsi roda, miskin, stres skripsi—lu, selalu, punya, pilihan. Untuk maju. Mundur.
Atau berhenti.”

Halo, “idealist-man”. Sebentar lagi aku bakal mati, lho. Kamu nggak kangen?

Ia bayangkan, kalau cowok itu ada di sana, dia akan berkata, “Berhenti berpikir satu arah,
Cantik. Bayangkan suatu hari lu nemuin gue, nyokap lu, atau Mas Igor terjun dari atas
gedung dengan pesan terakhir di kertas: “Sori, Guys. Gue udah capek.”

Padahal mereka nggak pernah cerita sedikit pun bahwa mereka mau mati. Nggak pernah
curhat kalo mereka sebenernya depresi. Selama ini mereka kelihatan normal dan manis kayak
anak kucing tapi tahu-tahu, duaarrr, mereka tinggal mayat jelek yang nggak bisa lagi lu ajak
ngomong, nggak bisa lu “céngin”, nggak bisa lu whatsapp buat minta duit atau password
SIAK.

Kalo udah kayak gitu, gue yakin move on nggak semudah yang lu bayangkan. Move on, bagi
mereka yang ditinggalkan itu ribet. Sama rempong-nya dengan lu yang kita pengen move on
dari keinginan mengakhiri hidup.”

Hapenya berdering. Ada sms masuk. Ia menimbang-nimbang sesaat sebelum membukanya.


Halah, palingan Damar, nanyain kenapa gue nggak masuk kelas asistensi tadi. Eh, omong-
omong, tu cowok makin hari makin cakep. Boleh nih, kapan-kapan diajak nonton bareng.

“Gue nggak suka nonton,” lagi-lagi suara si mantan bergema di otaknya. “Buang-buang duit.
Industri kapitalis, tuh. Iya, iya, oke... Gue ngerti maksud lu, wahai anak FE yang pintarnya
selangit. Trade itu bagus, kapitalisme nggak seburuk itu, bla bla bla. Gue juga tahu gue
hampir tiap hari download, nge-seed, ngopi film anak-anak. Oke. Nggak usah diomongin,”
lelaki itu angkat tangan melihat mata si gadis yang melotot, “Maksud gue, kalo mau kencan
yang agak bermutu ya jalan-jalanlah ke pameran, Ragunan, seminar, magang bareng, ikut
bantuin korban banjir...”

“Lu mah apa juga disebut kencan,” cibir si gadis. “Presentasi bareng sama salat berjamaah
juga lu sebut kencan.”

“Lho? Definisi kencan tuh apa? Menghabiskan waktu berdua, kan?”

“Dasar gila.”

“Bukannya gombal?”

“Gila.”

“Makasih.”

“Sama-sama.”

Dan si gila yang tadi, baru saja mengirimkan sms padanya dengan bunyi yang membuat si
gadis mengerjap: Halo. Balikan, yuk?

Beberapa mahasiswa yang berlawanan arah darinya berjalan terburu-buru. Sekolempok


mahasiswi berbisik-bisik di halte bikun. “Denger, nggak? Ada yang bunuh diri. Serem, ya?”
“Di mana? UI?” “Iya, anak UI.” “Tapi di UI, bukan?” “Oh, gue tahu, tuh. Ada tadi
beritanya.” “Sampe bawa pistol gitu, ya? Kok bisa, sih?” “Abis patah hati, kali?” “Cakep,
nggak?” “Dasar lu, kalo cakep aja!”

Pandangan gadis itu memburam.


Tanpa sadar setitik air mata jatuh di pipinya.

Dalam layar ponselnya yang menyala, ada sebuah pesan yang belum ditutup. Pesan tiga jam
lalu yang telat masuk. Pesan dari orang yang meski nomornya sudah dihapus, angka-
angkanya tetap bercokol di kepala seperti tumor: Halo. Balikan, yuk? Cewek yang gue suka
ternyata nggak suka gue. Sikap idealis dan omong kosong soal bunuh diri yang gue pelajari
bertahun-tahun ternyata nggak guna di situasi kayak gini. Dasar emang manusia. Ditunggu di
you-know-where.

Karena kencan bagi mereka adalah menghabiskan waktu berdua...

.... Saat mati sekali pun.

Anda mungkin juga menyukai