Anda di halaman 1dari 3

Berisik!

Aku benar-benar membenci semua yang orang katakan, semua yang orang-orang pikirkan tentang
diriku. Menganggap aku lebih baik, menyatakan diriku sebagai sosok teladan, atau sekedar orang yang
paham akan agama. Semua itu bodoh sekali. Bahkan, sampai-sampai aku merasa mual dan muak akan
itu semua. Aku ingin berhenti, ingin mengakhiri ini semua.

Aku ingin mati!

Alasan aku berkata demikian bukan sebuah kekosongan belakang, bukan omong kosong. Jangan
mengatakan seakan aku hanya kelelahan atas semua itu. “Aku perlu hiburan,” bukanlah cara berpikirku
sebenarnya. Ini terjadi karena cara pandangku sedari awal telah mengganggap rendah diriku
dibandingkan mereka yang membawa tangan kosong di pagi buta, pulang di sore harinya penuh akan
buku-buku hasil tulis tangan mereka. Bukan!

Ini terjadi karena sebuah tragedi di masa lalu, lantas aku menyalahkan diriku di hari itu, dan bahkan kini
aku telah membenci sosokku. Hanya sebatas itu, namun rasanya aku telah melewatkan 7 tahun tanpa
ada apa-apa yang berarti.

Izinkan aku perkenalkan satu tulisan baruku, Aku dan Topeng

Tragedi itu adalah masa lalu yang kejam. Bagiku aku tidak bisa dan hampir mustahil mencapai masalah
itu dahulu. Aku dibesarkan di keluarga yang taat agama, hari-hari aku belajar dan menuntut ilmu agama
atau seperti TPQ (Taman Pendidikan Quran, atau di tahun itu masih TPA), bahkan kedekatanku dengan
masjid sudah di bangun sejak awal kelahiranku. Baru beberapa tahun aku sudah diajak ke masjid, itupun
ada cerita lucu di mana aku yang masih kecil sekali itu, ngompol.

Sekolah dasar aku habiskan di SD Muhammadiyah PK, itu adalah milik Muhammadiyah, berketempat di
sisi dan di halaman Masjid Kottabarat. Lingkungan paling bersih ada di sana, bersih akhlaknya, bersih
mulutnya, bersih pula kelakuannya. Aku masih ingat bagaimana dulu shalat adalah “kewajiban”—penulis
bermaksud “ditekankan”. Demi Allah selama belum kiamat, shalat adalah wajib!—hingga dibuatkan
buku absen. Dulu aku pernah menangis, salah sangka kalau aku tidak shalat, padahal hanya lupa mengisi
buku itu.

Keseharianku bukan soal menangis saja, bertengkar, benci dengan teman, melakukan tindakan
kecerobohan, remidial, merusak fasilitas sekolah, berbohong, mendapat ranking bagus, melakukan
drama yang terbaik, berhasil melakukan lompat tinggi, mengalahkan 1 tim dalam permainan “kabadi”,
menjuarai try out, dan lulus di peringkat 10 besar. Keseimbangan mutlak, tidak selamanya aku baik,
tidak selamanya aku buruk, aku hanyalah anak kecil yang masih perlu bermain-main.

Sayangnya, semua itu berubah seketika, atau bertahap lebih jelasnya, ketika hari itu. Aku mempercayai
jika itu adalah 7 tahun yang lalu. Berarti antara 10 tahun usiaku, atau mendekati 11. Pesona daya tarik
dari pakaian yang lepas dari syariat islam dan menampilkan aurat. Sebuah kostum kelinci putih, dalam
acara unjuk bakat dari Jepang, mbak-mbak itu hanya akan keluar pada penampilan terbaik saja. Aku
hanya fokus pada wilayah bawah, aku penasaran, mengapa ia memakai popok bayi?
Semenjak hari itu, aku mengambil makna utama dari hidupku, yaitu semua hal itu. Melakukan
penelusuran di youtube mengenai topik-topik yang demikian. Mulanya tidak bebahaya—percayalah
semenjak berkenalan dengan ini semua, tidak ada yang bisa disebut “tidak berbahaya”—tetapi sedikit
demi sedikit aku mengambil informasi-informasi tabu. Semua tentang sesuatu yang buruk lagi hina.
Demikian, sampai aku mencapai batas dari ini semua.

Hari itu, kali pertama aku menyadari, bahwa nafsu adalah pemicu cairan dari dalam sistem reproduksiku
dan faktor nafsu itu beragam, salah satunya adalah gambar aurat tadi. Tetapi ini lebih, bukan sekedar
aurat. Sebuah permainan dewasa. Kamu tidak perlu tahu, tapi aku pasti ingat itu. Malam hari, malam
ketika aku sendiri saja di rumah. Itu sebenarnya hanya 10 menit saat ibu pergi membeli pulsa. 10 menit
itu pula aku panik.

Aku yang masih kecil tidak tahu berapa jumlah cairan yang bisa di keluarkan melalui 1 selang uretra. Aku
masih menganggapnya 2: kencing dan mani. Sehingga benar-benar aku panik. Sampai sekarang aku
masih yakin, penyebab utama dari masalah 7 tahunan ini, adalah Abdul Latif Multi Utomo di satu hari
itu.

Dalam perkembangannya aku semakin liar. Mengintip dalam rok temanku sendiri, berfantasi seakan aku
“dimainkan” oleh alien, menggambar sesuatu tak senonoh mengenai Sakura (Naruto), dan lain
sebagainya yang kamu tidak perlu tahu tindak kriminal macam apa itu.

SD ku berakhir, kini SMP. Mula-mulanya aku tidak mengambil pusing. Apa sebenarnya ini? Tidak peduli.
Hampir bisa dipastikan setiap hari aku melakukan ini, melakukan itu. Namun, seakan hawa
keberadaanku dikatakan zero. Selamat datang di periode “blank”. Aku menamainya sendiri.

Sebagaimana namanya, aku berada di luar pikiran. Segala tindakanku dapat dikatakan “tidak mengolah
informasi menjadi usaha”. Sehingga prestasiku sangat down. Hanya terbatas. Maaf, aku tidak mau
mendengar orang mengatakan prestasi sebagaimana orang berambisi meraih nilai. Prestasi adalah apa
saja. Membuat novel, khatam 1 juz, atau meraih nobel juga prestasi. Sedangkan aku, aku tidak bisa
mengubah apapun, bahkan ilmu yang diberikan guru—kami memanggilnya ustad/ustadzah—tidak
terproses dalam pikiranku. Sehingga jarang namaku terpasang pada peringkat atas atau menengah.
Sekitar menengah ke bawah, nah itu aku.

Akhirnya, aku menamai masa SMP sebagai “blank”. Selain itu, emosionalku tidak terkendali, ditambah
semua ini adalah lingkunganku. Ada sedikit banyak orang yang memiliki hobi sama sepertiku. Aku sedikit
terganggu sejujurnya. Tetapi juga menikmatinya. Doujinshi, manga buatan fan, yang sentah mengapa
sekarang menjadi sarang komikus dewasa. (Tunggu, mungkin karena aku hanya tahu itu?). Selanjutnya,
aku aktif menjelajahi luas papan media dewasa. Sehingga kebanyakan nama situs itu aku tahu. Jujur,
karena kebanyakan aku mengambil dari anime dan jejepangan, aku hanya mengambil kartun, gambar,
dan game. Jarang aku mengambil dari manusia, bukan makhluk gepeng.

Sekarang dan entahlah, aku sudah dewasa. Usia 17 tahun bukan sekedar mendapatkan KTP dan SIM.
Sistem seperti penjara mungkin masih belum berlaku. Tapi rehabilitasi banyak sekali. Remaja, aku benci
kalimat itu. Terlalu berat dan terlalu ringan di waktu yang sama. Tetapi, rasanya masih kurang seimbang.
Kapan menyadari bahwa aku harus segera berhenti adalah akhir ramadhan 2020, selepas itu aku akan
lulus dari SMP. Tetapi nyatanya itu bukan kelulusan dari semua kehinaan ini. Semakin parah. Bahkan aku
yakin ini jauh mengerikan. Kenapa? Aku sudah mengakuinya di depan orang tuaku, tetapi aku masih
belum mau dan merencanakan berhenti. Bahkan tidak ada rencana sama sekali.

Mungkin aku sudah merasa

Anda mungkin juga menyukai