Anda di halaman 1dari 4

Sekarang tanggal 2 Oktober tahun 2020 pukul 18.47 WIT.

Jam di laptopku masih


mengikuti waktu Jogja, jadi sebenarnya waktu yang terpampang adalah 16.47. Saat ini
aku sedamg berbaring di atas ranjang dengan laptop Lenovo yang kubeli tahun 2018
saat aku sedang bertugas menjadi asisten diklat Departemen Ansestesi RSUP Dr.
Sardjito. Aku saat ini tinggal di kota Kepi, di rumah sewa milik bidan Ime. Aku akan
mulai mencoba menulis ulang kisah hidupku selama 26 tahun ini dari kenangan yang
masih bisa kuputar dalam otakku (atau mungkin otakku yang mengulangnya
kembali). Terdengar aneh dan menakutkan, ya. Sebenarnya keraguan atas memoriku
sudah berlangsung lama, aneh juga mengatakan hal ini, karena aku sendiri adalah
seorang dokter, yang mana sudah jadi pengetahuan umum bahwa seorang dokter
harus memilki memori yang prima. Semasa pendidikan, aku merasa terganggu dengan
kemampuanku mengolah memori. Barangakali jika aku memiliki memori yang lebih
baik, prestasiku selama kuliah akan lebih baik juga. Tapi seorang teman saat masa
preklinik pernah mengatakan, bukan karena memoriku yang buruk, melainkan karena
aku saja yang kurang fokus. Ya, mungkin itu benar. Aku ingin mengakui sesuatu,
sebenarnya saat sholat aku sering upa sedang berada di rakaat ke berapa. Mungkin
karena aku tak fokus. Pikiranku menggelinding kemana-mana. Bahkan saat usiaku
yang sudah mencapai lebih dari seperempat abad ini, aku belum bisa sholat dengan
khusyuk. Ya Allah, tolong bantu aku.
Jadi, aku sudah menonton beberapa film dan juga membaca buku yang
menyadarkanku betapa memori ini sangat bermakna bagi kehidupan manusia.
Bayangkan hidup tanpa memori, apakah kita bisa hidup dengan cinta dan kasih
sayang? Hari ini kita mengalami moment spesial bersama seseorang kemudian esok
harinya terbangun dan kenangan dengan seseorang tersebut terhapus begitu saja, dan
kita harus memulai hari yang baru lag., Atau mungkin sebenarnya bukan hal yang
baru, tetapi hanya pengulangan, lalu karena kita tidak sadar, kita akan
menganggapnya sebagai sebuah pengalaman baru. Mengerikan bukan? Atau mungkin
bila tidak hilang, memori tersebut akan terdistorsi. Sesuatu yang kita ingat bukanlah
sesuatu yang sebenarnya. Memori kita menipu kita sendiri. Namun jika dipikir-pikir,
seiring berjalannya usia, pemeknaan kita terhadap sebuah kenangan juga ternyata bisa
berubah-ubah ya. Pengalaman yang kita anggap menyenangakan saat berusia 10 tahun
ternyata jika direnungkan kembali menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan
saat aku berusia 24 tahun. Aku merasa saat ini, ternyata menulis diari itu penting
sekali. Bukan baru sekarang sebenanrnya aku memiliki ide seperti itu, sudah lama.
Dulu kuanggap menulis status media sosial bisa menjadi wadah pengganti diari,
namun aku salah.
Oleh karena itu, aku akan memulai menulis ulang kisah hidupku berdasarkan
kenangan yang kusimpan. Suatu saat aku pasti akan tersenyum dan mungkin akan
merasa jijik membaca tulisan ini. Memori menjadi harta karun yang sangat penting
bagiku. Dan baiknya juga kulengkapi dengan dokumentasi berupa foto atau video ya.
Sayangnya, aku bukan orang yang gemar mengeluarkan HP untuk memotret atau
merekam. Maka aku berharap mulai saat ini, aku akan mulai rajin menulis dan
mendokumentasikan moment-moment indah maupun sedih. Kenangan yang kutulis
akan acak, tidak mengikuti timeline yang semestinya, tergantung aku ingin
merenungkan ‘aku pada masa yang mana’. Baiklah, ayo kita mulai, mari kita lihat
sejauh apa aku menulis di hari perdana ini.
24/10/2020 19.18 WIT
Aku Memikirkan Teman SMP-SMA
Kalau diingat-ingat, aku tidak begitu memiliki kenangan yang berkesan
selama periode ini. teman-temanku saat itu kebanyakan adalah teman-teman
sekompleks dan kami bersekolah di tempat yang sama. Sejujurnya aku tidak
memiliki teman yang sangat amat dekat, atau seseorang yang bisa kusebut
sahabat. Garing sekali, ya. Kalau dibandingkan dengan masa kuliah, aku adalah
pribadi yang berbeda. Gita, Iin, Nusa, Ika, Dayana, Titah, dan Oshin. Agak aneh
menyebut nama mereka. Orang-orang yang masih kuhubungi dalam sebulan
terakhir ini adalah Gita dan Iin. Thanks to social media. Tujuh orang ini
merupakan anggota inti dari persekutuan kami. Sepanjang periode ini,
anggotanya bisa saja bertambah kemudian keluar dengan sendirinya, tetapi orang-
orang intinya ya ketujuh orang itu. Aku tidak tahu apa aku termasuk ke dalam
kelompok itu. Karena seingatku, aku tak begitu akrab dengan mereka. Mereka
yang menarikku. Terkadang aku bersyukur, karena dengan begitu aku terlihat
memiliki teman. Setidaknya itu bisa membuat mamaku tidak khawatir aku
bertumbuh tanpa kawan. Sayangnya kadang aku merasa terganggu berada
disekitar mereka. Barangkali karena sebenarnya kami tidak ada kecocokan? Hal
mudah yang bisa dilihat adalah aku tak begitu suka KPop, sedangkan mereka?
Dua orang yang masih sejalan denganku adalah Dayana dan Ika. Seandainya
kami bisa lebih dekat, mungkin hubunganku dengan mereka bisa menjadi seperti
segitiga Arta-Putu-Mendes. Tapi bukankah aku cukup dekat dengan Dayana?
Hm, seingatku juga yang berupaya lebih dulu untuk berkomunikasi adalah
beberapa orang dari mereka, hahaha. Terutama Gita dan Iin. Betapa baik hatinya
mereka.
Baik, mari kita urai lebih dalam ketujuh orang ini. Aku, Nusa, Iin, dan Oshin
sama-sama tinggal di perumahan dosen Unipa di Amban Pantai. Aku ini
sepertinya yang paling pintar, hahaha. Sebelum SMP aku tak begitu dekat dengan
mereka. Kalau dengan iin, dia punya latar belakang yang perlu kujelaskan di
bagian tersendiri. Aku tak dekat dengan mereka. Mereka bukan teman
sepermainanku. Kalau bukan karena kami seangakatan dan sekelas, kami
mungkin tak akan berteman sama sekali. Dilihat-lihat, dari kecil ternyata aku
sudah congkak dan gemar menganggap diri eksklusif ya, ahahhaha.
Aku dan Oshin bersekolah di SD yang sama, kami les Bahasa Inggris
bersama juga. Aku tidak pernah bisa ngobrol panjang dengannya. Entahlah, setiap
kami sedang berdua, tak ada yang kami obrolkan. Dia jadi sangat pemalu di
depanku, tetapi berbeda jika dia sudah berinteraksi dengan Nusa atau Iin. Aku
dan dia terpaksa berinteraksi karena orang tua kami punya perjanjian untuk antar
dan jemput sekolah. Kadang aku pergi atau pulang dengan dia dan orangtuanya,
dan terkadang sebaliknya, dia yang nebeng denganku. Aku sedang coba
mengingat interaksiku dengannya, apakah kami pernah bermain hingga tertawa-
tawa? Sepertinya tidak. Aku sering dititipkan di rumahnya jika orang tuaku
berpergian. Sepertinya hanya pada kesempatan itu aku main ke rumahnya. Selain
itu tidak pernah. Saat di rumahnya, sepertinya aku lebih sering hanya duduk di
depan tv menunggu orang tuaku pulang, kadang hingga tertidur. Oshin dan
saudaranya main di ruangan lain. Sekilas ada kenangan aku pernah tertawa
degannya, menertawakan apa ya? Aku ingat pernah melihatnya makan ikan
goreng dengan sambal botol. Pulang dari rumahnya aku meminta mamaku untuk
menyediakan menu yang sama. Tetapi karena di rumah sepertinya sambal botol
tidak ada, aku memakan ikan dengan sambal buatan mamaku. Bukan sambal
terasi, sepertinya sambal yang cabainya diblender kemudian direbus. Esok
paginya aku mencret-mencret. Aku ingat juga sering ke rumahnya untuk
meminjam catatan saat aku sakit. Aku masih ingat tulisannya, bulat-bulat, jelas,
agak besar tapi sesuai dengan lebar baris di buku, dan ia menekan
bulpen/pensilnya saat menulis. Sepertinya ia juga gemar menggarisi garis di
samping kiri kolom nomor, dan dia akan mengisi nomor tidak pada kolom nomor.
Dulu aku berpikir, bahwa sifatnya yang pemalu bisa membuatnya tidak bisa
punya banyak teman, sekarang aku berpikir aku lah yang memiliki masalah.
Rumahnya adalah yang paling hijau di kompleks. Ada berbagai macam
tanaman. Jalan masuk kecil ke rumahnya dihimpit tumbuhan-tumbuhan, aku ingat
ada tanaman yang daunnya sejenis pandan, tumbuh cukup besar. Di samping
rumahnya ada tanaman-tanaman untuk bahan dapur. Orangtuaku dan juga warga
lain sering meminta sayur atau bahan-bahan lain yang tinggal dicabut saja di
sana. Saat memasuki halaman rumahnya, terkadang aku merasa masuk ke
dimensi lain. Serasa masuk ke dalam hutan, dan aku suka sensasinya. Tapi aku
tidak pernah masuk sampai benar-benar ke halaman belakang rumahnya.
Seingatku, bagian itu terlampau hijau dengan rindangnya tanaman-tanaman, aku
bisa saja hilang atau bertemu ular di sana. Bagian belakang rumahnya berbatasan
dengan rumah dari bagian komplek yang aku dan kawan-kawan kecilku sebut
sebagai kompleks baru. Aku akan menceritakan kompleks baru ini di lain waktu.
Hal lain yang kuinhat dari rumahnya adalah tengkorak rusa dan tanduknya yang
dipajang di depan rumah.
Nusa. Sebenarnya di antara 3 teman wanita di kompleksku, Nusa lah yang
mestinya kuanggap paling asing apalagi dia tidak bersekolah di SD yang sama.
Awalnya dia bersekolah di SD Yapis, yang letaknya sangat jauh dari kompleks,
kemudian pindah ke SD rival SDku. Rumahnya tepat di pinggir jalan besar.
Wanita-wanita di rumah-rumah bagian depan kompleks ini sudah lebih dulu
berjilbab sebelum kebanyakan wanita muslim Indonesia tersadarkan untuk
berjilbab. Dulu, simbol-simbol keagamaan yang sering dikenakan orang-orang
bagian depan kompleks ini selalu kukorelasikan dengan tingkat kesalehan.
Terlalu saleh sampai kuanggap terlalu aneh. Apalagi mendengar anak-anak
mereka tidak boleh menonton kartun. Pikiran seorang anak berumur kurang lebih
7-10 tahun. Lucu juga menganggap seseorang radikal dan berpotensi menjadi
teroris karena tidak menonton kartun. Mungkin aku terpengaruh papaku? Papaku
sering menyebut kompleks bagian depan ini sebagai Kampung Arab. Terdengar
lebih seperti ejekan bukan?
Saat aku SD sebenarnya teman bermainku adalah 3 anak lelaki. Hm mugkin
kami bisa juga disebut geng dengan anggota 4 orang termasuk aku. Nusa ini anak
yang kami anggap aneh, karena setelah menguping dari obrolan ibu-ibu,
didapatkan info kalau emosinya tidak stabil. Sering mengamuk hingga melempari
orang tuanya dengan berbagai benda. Aku ingat saat kami akan berangkat
mengikuti SIMA, ada yang berinisiatif untuk mengajaknya. Saat sampai di depan
rumahnya kami berhenti dan saling pandang, menunggu siapa lebih dulu yang
memanggil namanya. Sempat ada yang berkelakar jangan sampai nanti kami
dilempari barang. Sepertinya kami jadi memanggilnya, tapi akhirnya dia tidak
ikut berangkat. Aku jadi ragu info tentang kegemarannya melempari orang benar
atau tidak. Mungkin suatu waktu aku akan menanyakan langsung.
Aku tidak benar-benar berteman baik dengannya, tetapi cukup kurang ajar
untuk pergi ke rumahnya, lalu meminjam banyak buku serta majalah. Seingatku,
rumahnya adalah rumah dengan buku paling banyak sekompleks. Aku ingat
pernah meminjam seri komik Nabi muhammad SAW dan pernah kecewa karena
koleksinya ada yang kurang. Aku lalu menjadi fans majalah Annida yang amat
kugemari, dan novel-novel islaminya yang lain. Penulis pertama yang kukenal
adalah Helvy Tiana Rosa. Rumah Nusa adalah tempatku memuaskan dahaga akan
membaca. Dan orangtuaku biasa membeli buku dari orang tuaya. Tidak banyak
yang mereka beli. Salah satu buku yang sangat berkesan adalah kumpula cerpen
Helvy Tiana Rosa berjudul Sang Pangeran. Aku masih ingat beberapa judul cerita
didalamnya, cerita pertama adalah Kibere, lalu ada Ciliwung Oh Ciliwung, Surat
Cinta dari Allah, Sang Pangeran, dan kisah tentang anak yang malas sekolah yang
tersadar setelah bertemu pengamen cilik. Aku sadari orangtuaku sendiri kurang
memahami pentingnya literasi, sampai akhirnya kami mengenal seri Harry Potter.
Mungkin karena kondisi ekonomi juga. Selanjutnya, orangtuaku akhirnya
membiarkan aku dan adikku berlangganan majalah Bobo dan bersedia
membelikan buku-buku cerita lebih banyak. Walau mungkin papaku akan
membelikan dengan dahi berkerut. Untuk itu, aku sangat berterima kasih kepada
Nusa dan orang tuanya karena sudah mau meminjamkan buku untuk aku baca :).
Pada akhirnya, pada periode SMP-SMA, Nusa ini kukenal sebagai orang
yang supel, agak cerewet, dan senang menjadi pusat perhatian. Tentu penilaianku
terhadapnya setelah kami berkuliah berbeda. People change, both of us, it can be
the way she act or the way I see her. Ternyata panjang juga ya, aku sudah lelah.
Mari kita lanjutkan besok atau lain waktu jika aku sedang ingin. Aku mau belajar
dulu.

25/10/2020
9.13 WIT
Betulkan, tidak butuh waktu lama sampai aku merasa tulisanku sendiri cukup
cringe. Aku tidak jadi belajar semalam. Setelah menulis, aku makan malam sambil
nonton serial Fargo yang kuulang untuk kedua kalinya, lalu melanjutkan membaca
Sharp Objects sampai akhirnya tertidur. Seharian kemarin aku sama sekali belum
mengobrol dengan seseorang, karena obrolan di pasar tidak benar-benar kuanggap
mengobrol. Aku bersyukur bisa menikmati waktu hanya dengan diriku sendiri. Aku
khawatir jika nanti aku menikah dan punya keluarga sendiri.

Anda mungkin juga menyukai