Anda di halaman 1dari 8

Aku dan Cerita Masa Depanku

By : Septiani Nadia

Hai, namaku Clarisa temanku biasanya memanggilku Cla atau Risa. Aku bersekolah di salah satu
sekolah ternama di tempatku, dan sekarang aku menduduki tingkat 2 jenjang SMA. Aku
bukanlah siswi teladan dan cerdas, aku hanya siswi biasa dan lumayan dikenal karena aku
merupakan salah satu anggota osis disekolahku.
Aku juga mempunyai seorang teman dekat, mengapa aku tak menyebutnya sahabat? karena,
sahabat yang kupercayai hanya diriku sendiri.
Suatu hari ketika aku selesai menjalankan rapat rutin bersama anggota organisasi yang lain, aku
menghampiri temanku yang sedang bergosip di salah satu meja temanku yang cukup hits,
namanya Karin.
Lantas aku ikut duduk bersama mereka dan ikut mendengarkan salah satu temanku bercerita
tentang masalah pacarnya, ah kurasa itu adalah topik yang kian hari kian hangat di kalangan
remaja seperti ku.
"Kalian tau, pacarku itu sangat mengesalkan, tapi kuakui ia cukup romantis" ujar Dewi, temanku.
"Bagaimana maksudmu?" tanya Sinta sambil mengernyitkan dahi bingung.
"Kemarin ia membuatku kesal karena ia menghilang tanpa kabar, lalu ia tanpa rasa bersalah
mengaku kalau ia bermain game bersama temannya tanpa memberitahu ku" sungutnya.
"Tapi setelahnya ia meminta maaf padaku karena ia telah mengabaikanku dan membawakanku
makanan kesukaanku, ahh betapa senangnya aku" lanjutnya sambil tersipu.
"Ah kau ini memang seperti itu Wi, dirayu sedikit saja sudah luluh" ledek Karin.
"Biar saja" balas Dewi.
"Oiya Ris, rapatnya sudah selesai?" tanya salah satu temanku, Tina.
"Oh udah kok" jawabku sambil tersenyum tipis.
Setelah percakapan itu, semua orang sudah kembali pada kesibukan cerita diri mereka masing-
masing, sebenarnya aku juga ingin berbagi ceritaku tapi aku rasa hatiku tak nyaman karena
masuk dilingkungan pertemanan mereka yang sudah dari awal terbentuk tanpa aku.
Lalu tanpa bicara aku pergi ketempat dudukku dan merebahkan kepalaku di meja, aku rasa
kepalaku sedikit berputar.
"Ris, kamu sakit?" tanya Radit.
"Gak papa kok Dit, cuma agak pusing aja" jawabku.
Mendengar jawabanku ia pun mengangguk dan pergi menghampiri temannya yang sedang mabar
di belakang.
Tanpa sadar aku tertidur dengan kondisi tubuhku yang lumayan hangat kurasa.
Entah sudah berapa lama aku tertidur, aku merasa tepukan di bahuku, ternyata ia temanku yang
membangunku dan menberi tahu kalau pembelajaran telah usai.
Lalu aku membereskan buku buku yang berserakan di atas meja dan lantas aku segera pulang
dan mengistirahatkan tubuhku.
Sepertinya mengemban dua kewajiban sekaligus membuat tenagaku terkuras, ah tak apa lagipula
tak setiap hari aku seperti ini.
Tak usah lama lama aku sudah sampai dirumahku, sederhana namun nyaman dengan tanaman
hias yang membuat rumahku kian sejuk.
"Assalamualaikum, Risa pulang" salamku sambil membuka pintu.
"Waalaikumsalam" jawab orang tuaku yang sedang duduk di sofa ruang tamu.
Aku tak melihat keberadaan adikku, dimana ia? oh mungkin saja ia sedang bermain atau di
kamar bermain game bersama temannya. Entahlah hanya ia yang tahu.
"Risa nanti selesai kamu bersih bersih, temui ayah ya di taman belakang" ucap ayahku.
Aku hanya mengangguk, karena aku sudah terlalu lelah untuk sekedar berbicara saja. Aku butuh
menyegarkan tubuhku sejenak.
Aku hanya membutuhkan waktu mungkin 20 menit untuk membersihkan tubuhku, aku
merebahkan tubuhku sebentar sebelum menemui Ayah.
Setelah kurasa cukup aku lantas segera menemui Ayah yang kurasa sudah menungguku di taman
belakang. Dan ternyata dugaanku benar Ayah sudah duduk di kursi panjang dekat ayunan , lantas
segera aku hampiri.
Entahlah aku hanya berperang dengan logika ku mengenai obrolan apa yang mungkin akan Ayah
tanyakan kepadaku, entah baik atau buruk bagiku semoga tidak membuatku kepikiran hingga
larut.
Kulihat punggung Ayahku yang terlihat masih bugar hingga sekarang, kuharap semoga itu tetap
bugar hingga aku sukses kelak, harapku dalam hati.
"Ayah" panggilku pada beliau yang ternyata sedang mengelus kucing peliharaanku.
"Risa, duduk sini dekat ayah" titah ayahku sambil menepuk kursi disebelahnya yang masih
kosong.
Aku segera menduduki kursi kosong itu dan netraku menatap kucing yang terlihat sangat
nyaman di pangkuan ayah, aku pernah diposisi itu dan aku mengakui jika usapan Ayahku
memang senyaman itu.
Memikirkan itu saja sudah membuatku tersenyum mengenang masa kecilku yang tiba tiba saja
hinggap di kepalaku.
"Ayah mau bicarain apa sama Risa?" tanyaku ketika berhasil mengendalikan suasana hatiku
yang sempat flashback ke masa lalu tadi.
"Ayah mau tanya sama Risa, Risa mau melanjutkan kemana setelah lulus nanti. Sebaiknya
segera Ayah bicarakan saja sama Risa supaya nanti jika Risa ingin berkuliah Ayah ada biaya
untuk Risa" ucap Ayah dengan lembut.
"Ayah juga ingin tanya, Risa ingin jadi apa? Ayah tidak meminta Risa untuk mengutarakannya
sekarang, Ayah juga ingin Risa memikirkannya dengan betul supaya nanti Risa tidak salah
langkah" lanjut ayah dengan nasihat diakhir kalimatnya.
Mendengar tuturan Ayah, aku hanya terdiam sejenak. Aku juga bingung ingin berkuliah atau
tidak. Aku takut apabila aku berkuliah, biayanya akan memberatkan mereka nanti.
Apalagi aku memiliki adik yang masih menduduki kelas 2 SMP, aku rasa jika aku ingin
berkuliah aku hanya takut mereka akan terbebani dengan itu, karena aku juga tahu biaya kuliah
sekarang juga tak murah.
Kuberanikan diri menjawab dengan keyakinan yang kuteguhkan tadi.
"Risa sebenarnya ingin berkuliah Yah, tapi sepertinya Risa mau membantu Ayah dan Bunda aja.
Risa mau bekerja setelah lulus nanti" ujarku dengan senyum singkat.
"Risa, jika mau berkuliah Ayah akan usahakan. Risa capai cita cita dan impian Risa. Ayah dan
Bunda tidak akan menghalangi mimpi Risa" ucap Ayah.
"Ayah tau sebenarnya Risa ingin menjadi psikiater, kenapa Risa tidak jujur saja pada ayah?"
tanya ayah padaku.
Mendengar itu aku hanya menunduk, aku tak tau ternyata Ayah tau apa yang kuinginkan selama
ini.
Sebelumnya aku ingin bercerita sedikit tentang mimpiku itu, aku rasa selain dokter mungkin
psikologi dan psikiater juga harus dipertimbangkan.
Memang benar dokter tetap berpengaruh besar dalam era ini karena dokter merupakan sebuah
profesi yang mulia dan memiliki tanggung jawab besar.
Tapi menurutku, psikologi dan psikiater pun tak kalah penting sekarang. Karena maraknya anak
muda, bahkan anak kecil pun sudah memiliki gangguan mental yang beragam sebabnya.
Menurutku, anak kecil memiliki gangguan mental seperti itu karena melihat atau bahkan
merasakan sendiri kekerasan di dalam lingkungan hidupnya tinggal. Sedangkan untuk anak
remaja sekarang aku rasa mereka cenderung memendam masalah mereka sendiri hingga tak
sanggup menahan lalu melampiaskan melalui, self injury semisal.
Atau mungkin karena ia berada di lingkungan keluarga broken home, ia masih membutuhkan
orang tuanya apalagi dalam masa remaja sekarang membutuhkan pengawasan serta dukungan
dari orang tuanya.
Tanpa itu, aku rasa hal itu akan mempengaruhi mental anak yang kian hari kian menurun. Anak
membutuhkan kasih sayang serta dukungan dari orang terdekatnya terlebih orang tuanya, apabila
ia kehilangan itu aku rasa mereka sudah kehilangan untuk terbuka pada orang tua.
Terlepas dari itu, orang tua juga tidak bisa memaksa kehendak mereka dengan dalih masa depan
anaknya. Mereka cukup mendukung dan meluruskan apabila anaknya mengambil keputusan,
karena belum tentu yang terbaik untuk mereka itu juga yang terbaik untuk anak.
Impianku untuk menjadi psikiater adalah untuk mengurangi resiko kematian karena depresi,
mengusahakan mereka mendapat tempat berkeluh kesah meski lewat terapi, dan menjadi sosok
yang dapat membantu mereka yang kehilangan pelita dalam hidupnya.
Itulah alasan mengapa aku ingin menjadi psikiater alih alih menjadi dokter umum.
"Risa pikirkan aja dulu, kalau sudah Risa putusin mau bagaimana segera kasih tau Ayah atau
Bunda ya, gimanapun keputusan Risa nanti pasti kita dukung" ucap Ayah membuyarkan
haluanku.
"Iya ayah, nanti Risa pertimbangkan" jawabku yakin.
Mendengar jawabanku, Ayah pun tersenyum. Ayah bangkit dari kursi dan mengelus puncak
kepalaku sambil tersenyum, lalu ayah meninggalkanku dan masuk kerumah.
Aku masih terduduk di kursi taman sambil memikirkan bagaimana mimpiku kelak, haruskah ku
tempuh ataukah aku hanya bermimpi.
Ah sudahlah lebih baik aku istirahat saja, hal ini bisa kupikirkan nanti dan semoga besok atau
lusa nanti aku sudah mendapat jawaban dari itu.
Aku melewati makan malam dan menuju ke kamarku untuk melihat tugas untuk besok dan aku
ingin segera pergi ke pulau mimpi, tubuhku lelah.
Mentari menyusup celah jendela dengan malu menampakkan sinarnya, aku terusik dalam tidurku
hingga tersadar akan sekolah, aku segera bersiap untuk sekolah nanti.
Sekarang aku telah siap dengan seragam sekolah yang sudah melekat rapi di tubuhku, kuambil
tas lalu segera aku pergi ke ruang makan untuk sarapan dan berpamitan.
"Selamat pagi" salamku pada orang tuaku yang sudah berada di meja makan.
"Pagi sayang, mau sarapan apa?" tanya Bunda padaku.
"Nasi goreng saja bunda" balasku.
Mendengar jawabanku, Bunda lantas menyiapkan sarapan yang kumau.
"Selamat morning" sapa adikku, Satria.
Itu adikku yang kuceritakan tadi, Satria namanya. Seorang yang kuanggap mengesalkan tapi ia
juga sosok yang kusayang juga. Lesung pipi membuat parasnya kian menarik.
Sungguh, apabila dia bukan adikku bisa saja aku menjadikan ia sebagai kekasihku. Ah tapi itu
hanya anganku dulu.
Oke kita kembali pada ceritaku.
"Bahasanya jangan dicampur begitu dek" peringat Ayah. Sedangkan adikku hanya cengengesan
sambil menggaruk tengkuk nya yang tak gatal.
Lalu ia mengambil tempat di sebelahku yang kosong, kurasakan lengan kiriku dicolek olehnya
dan ku tengok ia hanya menyengir lucu.
"Kenapa?" tanyaku padanya.
"Nanti jalan jalan yok mba, bosen dirumah trus" ajak Satria padaku sambil berbisik.
Tak buruk, sepertinya ajakannya juga tak akan merugikan aku dan sepertinya ucapannya ada
benarnya. Hari terasa membosankan untukku, dan sepertinya ia juga merasakan hal yang sama.
Aku hanya mengangguk mengiyakan ajakan adikku, bisa kulihat ia berbinar senang. Sungguh ia
terlihat menggemaskan ketika melihatku seperti itu.
Aku segera menyelesaikan sarapanku dan langsung berpamitan kepada orang tuaku. Setelah
berpamitan aku bergegas ke sekolah karena mentari sudah menyingsing menandakan aku harus
segera bergegas.
Kutempuh waktu kurang lebih 10 menit menuju sekolahku dan ketika aku sampai gerbang aku
bertemu dengan temanku lalu kami pun berjalan beriringan menuju kelas kami.
Kami mengobrol dengan santai dan kulupakan sejenak tentang obrolan dengan ayahku kemarin,
aku harap setelah aku bersantai hari ini aku sudah menemukan apa yang bisa kujadikan jalan
menuju masa depanku kelak.
Sesampainya kita dikelas, segera kuletakkan tas ku ditempatku, dan Shania menghampiriku dan
duduk dibangku depanku dan mengatakan sesuatu yang membuatku bingung.
“Cla, aku mau bertanya sesuatu padamu apakah boleh?” Tanya Shania padaku.
“Mau bertanya apa?” balasku sambil bertanya.
“Menurutmu jika aku kelak menjadi dokter apakah aku akan sanggup menjalaninya?” tanyanya
dengan pandangannya mengarah langit.
“Kurasa kau sanggup, karena aku lihat kamu memiliki kemampuan itu dan aku yakin universitas
manapun mau menerimamu karena kamu kan murid paling jenius” jawabku sambil memujinya.
Memang benar apa yang kukatakan, aku tidak berbual. Shania adalah murid terpintar
diangkatanku karena telah berhasil menang mewakili sekolahku dalam ajang OSN Fisika di
ajang Nasional, sungguh bukankah ia cerdas, belum lagi OSN Kimia.
“Ada yang mengganggu pikiranmu Shan?” tanyaku setelah menyadari raut wajahnya sedikit
sendu.
“Kemarin ayahku tiba tiba membicarakan tentang kuliah kedokteran padaku, katanya aku harus
selalu mendapat nilai dan ranking Yang bagus agar diterima di universitas ternama dan berada di
fakultas kedokteran” ceritanya sambil menghela nafas.
“Sungguh sebernarnya aku tak ingin Cla, tapi orang tuaku memaksa karena kakakku menentang
mereka dan kabur dari rumah, jadi tinggal aku yang menjadi harapan mereka. Tapi aku tak ingin,
dari dulu aku hanya ingin menjadi pengacara yang bijaksana.” Ucap Shania mengeluarkan uneg-
unegnya padaku.
Mendengar cerita Shania, aku sangat bersyukur ketika aku dihadapkan pilihan tentang masa
depan dan orang tua mendukungku, sekali lagi aku ucapkan aku sangat bersyukur.
“Menurutku kau coba bicarakan baik baik dengan mereka akan impianmu Shan, aku tahu niat
mereka memang baik karena sudah menyiapkan masa depanmu. Tapi kurasa yang terbaik bagi
mereka, tidak baik untukmu, kau berhak memilih masa depan sesuai dengan impianmu” ucapku.
“Dan aku rasa apabila kau memaksa menjalani yang bukan kemauanmu itu nanti mungkin kau
akan menyerah ditengah jalan” lanjutku.
“Andai mereka juga berpikir seperti itu, mungkin aku dengan senang hati menjawab aku
menolak suruhan mereka, tapi aku tak bisa Cla” keluhnya padaku dengan suara bergetar.
Mendengar itu segera aku beranjak dari kursiku dan segera kutarik Shania ke pelukanku, kurasa
yang ia butuhkan saat ini hanya pelukan, bukanlah kalimat yan membuat ia berpikir lebih dalam
lagi.
Kupeluk ia dan kuelus punggungnya yang bergetar dan kubisikan kalimat penenang agar ia jauh
lebih tenang.
Kurasa ia sudah lebih baik lalu kutanya padanya
“Sudah lebih baik?” tanyaku.
Ia hanya mengangguk, aku tau rasanya berada diambang kebingungan akan masa depan dan
berada dibawah tekanan dari orang orang yang memaksa kehendaknya pada sesesorang yang
entah sanggup atau tidak.
Baiklah sepertinya aku harus melanjutkan mimpiku dan aku tak ingin menyesal di kemudian hari
karena tak menggapai apa yang kuinginkan ucapku dalam hati.
Setelah itu aku membiarkan Shania berpikir dengan yakin agar ia tidak akan salah langkah kelak,
dan aku sebagai teman hanya mendukung dan menasehati, apabila ia butuh sandaran dan telinga
untuk mendengar aku siap menjadi penopang dan pendengar yang baik.
Karena aku tahu yang sekarang ia butuhkan bukan hanya kata penenang, namun juga
membutuhkan seseorang yang ia anggap rumah untuk pulang.
Rumah yang bisa ia jadikan tempat berlindung, tempat berkeluh kesah serta rumah yang dapat
memberikan kenyaman untuk ia ketika sedang lelah setelah berpetualang.

Setelah pembicaraanku dan Shania tadi pagi, dari pembicaraan selesai hingga aku pulang aku
sudah membulatkan tekad untuk mengiyakan tentang perkuliahan yang Ayah obrolkan kemarin
malam.
Perjalan pulang terasa sangat menegangkan, tapi aku meneguhkan hati dan semoga ayah dan
bunda tetap mendukung aku untuk mengejar mimpiku.
Sesampainya aku dirumah kucari kedua orangtuaku di sekitar rumah dan akan segera
kubicarakan agar aku hatiku tidak merasa gelisah lagi. Ah setelah mengitari rumah sudah
kutemukan mereka yang sedang mengobrol di taman belakang dengan kucingku yang berada di
pangkuan ayahku seperti kemarin. Apakah merasa senyaman itu pada ayahku.
Sudahlah aku tak lagi mau memikirkan hal itu, yang penting sekarang adalah aku harus
mengutarakan semuanya pada Ayah dan Bunda.
“Ayah, Bunda” panggilku kepada mereka dan mereka semua serempak menoleh.
“Ada apa Risa?” tanya Bunda sambil menoleh dan menepuk kursi tengah yang kiranya muat
untukku.
Aku tak langsung duduk disitu, melainkan aku berdiri menjulang dihadapan mereka dengan
tangan bertaut gugup.
“Ayah, Risa mau meneruskan ke jenjang selanjutnya dan meneruskan mimpi Risa. Risa yakin
dan insya allah Risa akan berusaha sebaik mungkin agar tidak mengecewakan Ayah dan
Bunda”ucapku dengan yakin.
Kulihat mereka tersenyum dengan tulus,dan mengucap syukur dengan gumaman pelan.
Kemudian mereka berdiri dan segera memelukku, kurasakan kehangatan yang luar biasa
memenuhi rongga dadaku. Sungguh aku ingin menangis rasanya tapi aku tak ingin merusak
momen seperti ini.
Percakapan tadi juga mengkhiri ceritaku pada kesempatan kali ini, ada hikmah yang dapat kita
petik dari cerita itu bahwa Kejarlah mimpi dan teruslah berusaha an jangan biarkan orang lain
merusak mimpi mu, jangan dengarkan dan teruslah berusaha dan bungkam mereka dengan hasil
kesuksesanmu.

Demikian cerpen yang dapat saya sampaikan apabila ada penulisan kata atau salah perkataan
dalam karya saya, saya mohon maaf yang sebesar besarnya.

Anda mungkin juga menyukai