Anda di halaman 1dari 99

BAGIAN SATU : NARA SABINA MUTAHAR

Izinkan terlebih dahulu aku memperkenalkan diri, boleh ? baiklah. Namaku Nara, Nara
Sabina Mutahar. Panggil saja Nara. Karena kebanyakan kawanku memanggil dengan nama
itu. Tapi, jika kamu ingin memanggilku dengan sebutan lain, silahkan ! itu bukan masalah
bagiku dan aku gak mempermasalahkannya juga.
Aku suka makan seblak, kwetiaw, cilor dan mie ayam. Suka ngantuk kalau malam,
suka mau minum kalau habis makan. Tapi Alhamdulillah teratasi dengan baik.
***
Aku lahir di Majalengka. Di Desa Jatipamor, dekat dengan pom bensin Pertamina yang
dimiliki oleh pemiliknya.
Didesaku banyak sekali yang berprofesi sebagai Petani. Mungkin itu disebakan oleh
karena masih banyak sawah yang tersedia untuk digarap dan belum berubah menjadi wujud
bangunan pabrik. Itu keren, masyarakatnya ramah dan baik. Percaya deh. Salah satunya
adalah Mang Umang. Dia tetanggaku, dia baik, dan ramah tentunya.
Mang Umang cukup sering mengunjungi rumahku, untuk hanya sekedar main atau
dimintai tolong oleh Mamah membetulkan sesuatu. Ya, betul. Orang yang kupanggil Mamah
adalah Ibuku. Dia hebat, seratus persen tidak ganteng. Kuyakinkan kamu !
***
Di hari ini, di Bandung, sudah agak sore dengan matahari yang nampaknya akan menyinari
Bumi bagian lain. Aku akan mencoba menulis cerita yang pernah aku alami di masa Sekolah
Menengah Atas, atau harus kusebut masa remaja ? Begitulah.
Cerita ini berkisah tentang hubungan asmaraku dengan satu sosok laki-laki yang
kebetulan masih satu sekolah denganku juga. Dan, kuingatkan padamu, cerita ini gak
mengandung zat adiktif, jadi aman. Insya Allah.
Kalau harus aku sebutkan, itu adalah masa yang aku senangi hingga sekarang.
Dimana aku bisa membuat hidupku memiliki warna lain selain merah, kuning dan hijau. Aku
memiliki banyak hal disana (Di masa ketika remaja dulu). Termasuk mengenal salah satu
penjual buku didepan GGM.
Mungkin cerita ini akan menjadi cerita yang panjang. Tapi semoga kamu gak bosan
untuk membacanya. Akan kutulis seperti yang pernah aku alami pada masa itu, dengan
mencoba mengingatnya secara detail semampuku.
Baiklah, coba duduk dan bersantailah untuk sekedar mendengarkan ceritaku ini.
***
BAGIAN DUA : KELUARGAKU
Sebelum kesana (Ceritaku tentang dia) perkenalkan terlebih dulu, keluargaku. Agar supaya
menjadi akrab dan kamu gak bingung jika di cerita selanjutnya aku menyebut mereka.

***

Pertama, Ibuku, seorang Mojang Majalengka pada masanya. Yang sudah kubilang bahwa dia

gak ganteng, tapi dia cantik. Ini serius, aku gak berbohong.

“Dulu Mamah Mojang ?” Tanyaku ketika melihat foto yang terdapat di album foto
keluarga.

“He he he, iya” Jawab Mamah senyum.


“Kenapa, Mamah mau sama Abah ?” Tanyaku lagi.

Abah itu adalah panggilanku untuk Ayah, bukan bermaksud kutujukan pada kakek.

“Mungkin, karena Abah tidak ganteng ?” Jawab Mamah dengan senyum kecil.

Aku tertawa. Mamahku juga.

Mamahku itu humoris, asal kamu tahu saja. Mamah adalah perempuan hebat
bagiku, atau jika harus kusebut untuk tetangga sekitaranku juga. Dia ramah dan baik.

***

Kedua, ayahku, gak perlu diperdebatkan lagi bahwa dia lebih ganteng dari aku dan Mamah.
Jika harus aku persentase, mungkin sampai sejuta persen.

Ayah, atau biasa kusebut Abah, adalah sosok yang hebat, heroik, dan banyak lagi.
Kamu tahu Superman ? Nah, Abahku lebih kuat, kamu tahu Batman ? Abahku lebih jenius
dari padanya, dan kamu tahu Barry Prima ? Syukurlah jika tahu, aku hanya ingin bertanya.
Hehehe.

***

Oh ya, yang ketiga, adikku, panggil saja Laras. Namanya Larasati, sih. Tapi panggil saja
seperti yang kusebutkan tadi !

Dia lahir tahun dua ribu tiga, berbeda empat tahun denganku. Kukasih tahu, dia itu
cantik. Bukan aku menyebut seperti itu karena dia adikku, tapi ini jujur.

Adikku memiliki kulit sawo matang, hidung yang agak mancung, dengan tinggi yang
lumayan, meskipun tidak lebih tinggi dari tugu Monas.

Saat itu, dia masih sekolah kelas satu SMP. Dia sering cerita ke aku kalau disekolah
banyak laki-laki yang suka ke dia. Aku sebagai kakak tentunya menasihatinya agar fokus
untuk belajar. Meskipun aku tahu, dia punya obsesi untuk menjadi seniman disuatu hari
nanti, dan aku aamiin kan.

Ya, begitulah adikku. adik terkasihku, yang dilahirkan pada hari Jum'at setelah
khutbah.
***

Dan itu tentang sedikit informasi mengenai keluargaku. Sebenarnya, ada juga Bi Esih, yang
dipercaya oleh Abah untuk membantu Mamah mengerjakan perkerjaan rumah.

Kukasih tahu sedikit, sedikit saja jangan banyak-banyak, takut overdosis.

Bi Esih adalah seorang istri dari suaminya. Tapi sudah bercerai dua tahun lalu.
Menurut pengakuan Bi Esih, dia bercerai oleh karena suaminya main judi terus, dari pagi
sampai larut malam dan kemudian seperti itu setiap hari. Suaminya, eh, mantan suaminya
terkadang juga suka melakukan tindak kekerasan yang ditujukan pada Bi Esih.

Sudah cukup ! Segitu saja, kalau kebanyakan takut aku dosa, itu namanya Ghibah.
Pokoknya Bi Esih itu baik, cantik, ramah dan dia menyandang status janda sekarang.

***

Oh ya, hampir lupa, aku masih terdaftar sebagai salah satu siswa Sekolah Menengah Atas,
bertempat tidak jauh dari rumahku. Aku terdaftar sebagai siswa kelas sebelas.

Disekolah, aku memiliki lumayan banyak teman. Dan yang paling akrab denganku
adalah Derin, dia kawanku satu desa (Anaknya Mang Dirba). Dia cantik, juga mudah untuk
berbaur dengan yang lain. Apa, ya ? Oh, kalau sekarang bisa dibilang ekstrovert.
Kamu harus tahu sekolahku, ini pendapat pribadi saja. Sebenarnya, itu adalah
sekolah seperti pada umumnya. Tapi, yang membedakan adalah disana ada sejuta atau
mungkin sampai semiliar kenangan yang tersusun rapi dipikiranku. Dengan segala yang
pernah kualami saat itu. Saat dimana aku masih seorang anak remaja biasa yang memakai
seragam putih abu-abu.

Didepan sekolah ada taman. Indah. Ada juga pos Satpam yang sudah lama ada disitu.
Disamping taman, ada dua pohon pete besar. Katanya, kalau sedang malam pohon itu suka
ada hantunya, itu kata Satpamnya bukan kataku. Masuk kebagian dalam sekolah, ada
lapangan yang biasa dipakai upacara pada hari Senin. Cukup luas, bisa menampung siswa
satu sekolah.

Pada tahun 2019, aku kesana buat sekedar main, bukan untuk mengenang, karena
kenangan akan tetap abadi bersama hatiku. Dan, ternyata belum banyak yang berubah,
hanya menambah beberapa kelas yang menjadi lantai dua.

“Wow”

Sungguh terkejutnya aku, melihat masjid yang dulu belum rampung dan sekarang
sudah berdiri kokoh disamping ruang BK. Disamping lapangan upacara itu, masih terdapat
pohon yang sekarang sudah menjulang agak tinggi. Aku lupa pohon apa itu, maafkan.

***
BAGIAN TIGA : PENDAPATKU TENTANG DIA

Majalengka, 15 Januari 2017. Di kantin, aku dan teman sekelaskku yang lain sedang makan
bakso buatan Mang Budi. Kami duduk bergerombol tapi beda meja. Dimejaku, ada aku,
Derin, Saras, dan Lisa. Dimeja sebelah, ada Rival dan Iqbal.

Kami makan sambil ngobrol, atau mungkin, ngobrol sambil makan ? begitulah.

Lisa bilang bakso buatan Mang Budi adalah terenak di sekolahku, dan aku setuju.
Karena memang gak ada lagi yang berjualan bakso selain Mang Budi. Kecuali, dipinggir jalan
dekat perempatan Mambo atau bakso Kinoy yang dekat bunderan Cigasong.

Cuaca yang dingin saat itu, bersama angin yang lumayan berhembus kencang khas
Majalengka. Diikuti cahaya matahari mulai nampak menerobos sela-sela dedaunan. Kami
riang sekali. Ya, karena kami merasa memang sudah akrab saja.

“Ibu Siti masuk ?” Tanya Derin. Dengan tangannya menyuapkan bakso.

“Masuk deh, kayaknya” Jawab saras datar.

“PR, udah ?” Tanyaku kemudian, kulemparkan pertanyaan itu untuk siapa saja yang
ingin menjawab.

“Yang mana ?” Tanya Saras kemudian, dengan alis mengerut terlihat.

Aku mengeluarkan buku dari tas yang sedari tadi ku gendong. Dan lalu meletakan
satu buku diatas meja. “Yang ini” kataku menunjuk PR yang dimaksud.

“Oh, belum, hehehe” Jawab Saras senyum anggun.

“Nanti liat, ya !” Sambungnya kemudian.

Aku menganggukan kepala tanda setuju. Kita harus saling membantu dengan murid
yang lain, agar dapat pahala. Insya Allah.

***

Ditengah obrolan kami, tiba-tiba datang dua orang laki-laki ke meja. Bukan ke mejaku tapi
ke meja sebelah.
Kayaknya, dia teman Rival, deh. Karena kulihat dia begitu terlihat akrab dengan Rival.
Tapi Lisa dan Saras juga terlihat cukup akrab dengan dia. Sesekali kulihat dia menoleh
kearahku, dan kuyakin itu. Aku bukan su’uzhon, itu hanya dugaan.

Lalu dia pergi menuju arah lapangan upacara. Kulihat dengan jelas, bajunya tertiup
angin berkelebatan, gak dimasukan dengan rapi seperti siswa pada umumnya. Dan
rambutnya, rambutnya gak terlalu rapi, hampir mungkin gak pernah disisir, atau dia
memang gak punya sisir ? dan dibagian kanan rambutnya terdapat dua buah polet sejajar,
yang biasa kami sebut jalan kutu.

Bagiku, saat itu, dia anak yang tidak disiplin. Yang sudah pasti nakal, atau, teman
perempuanku sering bilang badboy.

Coba kamu pikir, siswa macam apa yang berani membuat model rambut seperti itu
jika bukan siswa nakal. Bajunya saja dikeluarin gak dimasukin dengan rapih. Huh !

“Temen kamu ?” Tanyaku ke Rival, dengan tatapan mengarah padanya agar dia yakin
pertanyaan itu aku tujukan padanya.

“Iya. Katanya dia juga udah kenalan sama kamu ?”

“Hah ? Kenal dimana ?” Tanyaku lagi dengan muka heran.

“Di lauhul Mahfuz, katanya”

“Ih, aneh” Jawabku dengan ekspresi muka seperti jijik.

***

Hembusan angin benar-benar seperti memeluk tubuhku, sampai terasa dingin sekali.
Padahal aku pakai baju panjang.

Semua sudah selesai dengan makanannya, dan sudah bayar juga. Kami memutuskan
untuk kembali ke ruang kelas, di ruang dua. Karena saat itu akan berlangsung pelajaran Seni
Budaya.

Tak lama setelah kami masuk, Bu Siti datang membawa dua puluh buku paket tebal
dan ditaruh dimeja guru paling depan.
“Silahkan, sekarang kalian baca halaman lima puluh lima. Nanti kita simpulkan
bersama tentang permasalahnnya.” Kata Bu Siti sambil beranjak duduk dikursi depan, dekat
dengan papan tulis.

Si Dedi kemudian membagikan buku ke tiap meja. Satu meja kebagian satu buku
paket. Si Dedi itu adalah ketua murid dikelasku. Dia selalu menjadi jembatan antara pihak
murid dan guru jika menyoal tugas-tugas pelajaran atau mengenai si guru akan mengajar
atau tidak.

Si Dedi selalu berpakaian rapi, dengan bajunya hampir gak pernah dikeluarkan
seperti anak-anak nakal, atau harus kusebut seperti teman Si Rival yang tadi. Rambutnya
selalu rapi, dengan balutan pomade yang dia beli dari Alfamart dekat rumahnya.

Semua temanku terlihat sangat serius membaca buku yang dibagikan Si Dedi. Atau
mungkin mereka hanya menuruti apa yang dikata oleh Bu Siti, oleh karena takut jika nanti
ditanya gak bisa jawab. Hahahaha. Entahlah, hanya mereka dan Tuhan yang tahu.

***

Kira-kira pukul dua siang, pelajaran Seni Budaya selesai, aku dan yang lain
memutuskan pulang. Ya, karena pelajaran Seni Budaya adalah pelajaran terakhir di hari itu.

Aku berjalan melewati lapangan upacara dengan temanku yang lain, yang saat itu
lapangan upacara masih sangat ramai oleh siswa lain. ada yang lagi ngumpul dengan
temannya, ada yang lagi ngumpul dengan satu eskulnya masing-masing, dan ada juga yang
lagi wifi-an. Memang seperti itulah sekolahku, semua kelas gak serentak pulang bersama.
Oleh karena jadwal dari tiap kelas berbeda-beda.

Terlihat langit yang mendung saat aku sampai di gerbang sekolah. Aku lagi nungguin
angkot yang biasa lewat kedepan sekolah, bersama siswa lain yang berlangganan angkot.
Tiba-tiba ada yang memanggilku dari belakang dengan sedikit berteriak. Spontan aku
berbalik badan, untuk hanya melihat siapa orang yang memangilku. Ternyata, dia orang
yang tadi dikantin. Yang kata Rival sudah kenalan denganku.

Dia menghampiriku. Dengan muka terengah-engah karena berlari.


“Kamu Nara, kan ?” Tanya dia, dengan muka kecapean. Dengan siswa yang lain liatin
dia.

“Iya” Jawabku. Memasang muka keheranan.

Jarak antara aku dan dia sekitar satu meter. Tercium jelas wangi parfum khas
darinya.

“Kamu perempuan, kan ?” Tanya dia lagi.

“Eh ?” Aku terkejut. Dengan memasang wajah aneh. Aku berfikir, “Pertanyaan
macam apa ini ?”

“Kamu perempuan, kan ?” Ucapnya dengan pertanyaan yang sama.

“Iya” Jawabku mengangguk.

“Aku laki-laki” Jawabnya disertai senyum dibibirnya.

Hey, dengar, ya ! aku gak peduli dengan siapa kamu, jenis kelaminmu apa, atau apa
saja tentangmu, dengar itu !

Rasanya, pernyataan itu yang ingin aku keluarkan dari mulutku. Tapi tidak jadi, yang
entah mungkin nurani kecilku masih berfungsi.

Lalu, terdengar suara angkot datang. Dan aku melihatnya.

Tiiiiid, suara klaksonnya dibunyikan oleh Si Mamang, bermaksud apakah kami, atau
mungkin aku akan naik angkotnya nggak ?

“Keretamu datang” Katanya. Menatapku dengan senyum.

Aku hanya tersenyum padanya, untuk hanya sekedar berprilaku ramah. Walau
sebenarnya, itu tidak ingin aku lontarkan.

“Duluan” kataku. Sambil kemudian aku menaiki angkot yang sudah berhenti tepat
disamping kami berdua.

“Iya. Jangan lupa Bismillah” katanya. Dengan sambil menatapku dari luar angkot.

Si Mamang menginjak pedal gas untuk segera mobil angkot itu melaju kemudian.
Kulihat dari jendela belakang dia masih berdiri tegak ditempat tadi, menatapku dari
kejauhan. Aku bisa melihatnya, oleh karena aku duduk dibagian belakang, dan penumpang
juga Cuma ada tiga orang termasuk aku. Mamang supir gak aku hitung.

***

Diperjalanan, dengan diiringi angin sepoy-sepoy dan suara deru dari kendaraan lain,
pikiranku dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Dan sekarang, aku tahu namanya. Dia
Rama, itulah yang tertulis di name tag baju seragamnya, tadi aku melihatnya sekilas.

Tuhan, siapa dia sebenarnya ? maksudku, aku tahu namanya, tapi lebih terperinci
dari itu aku gak tahu. Darimana juga dia tahu namaku ? aaahhhhh, ini kacau.

***
BAGIAN EMPAT : RUMAHKU

Hari Minggu, dirumahku, terlihat matahari sudah nampak menyapa seluruh penduduk Bumi
bagian Majalengka. Tidak ada kerjaan lain bagiku selain membantu mamah mengerjakan
tugas rumah.

Bagiku, melakukan pekerjaan rumah pada hari libur adalah suatu keharusan yang
tidak bisa di ganggu gugat. Apalagi aku adalah seorang perempuan, yang suatu saat akan
menjadi seorang IRT atau Insinyur Rumah Tangga. Daripada kamu hanya berbaring ditempat
tidur, dan tanpa melakukan hal apapun, alangkah lebih bijak kamu membantu ibumu
mengurus rumah. Bukankah begitu ?

Itu didapur, terjadi obrolan antara aku dan mamah. Ngobrol seputar masa remaja
mamah yang penuh dengan asmara ala anak 90’-han. Yang masih aktif menjadi Mojang dan
menjadi dambaan para lelaki.

Mamah bilang, sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah dengan abah, dia
banyak yang naksir.

“Dulu, waktu mamah seumuran kamu, banyak laki-laki yang mau ke mamah.” kata
mamah, dengan tangannya memotong daun bawang dengan menggunakan pisau.

“Iya ?” kataku.

“Ih, kamu ya, abah kamu itu beruntung bisa dapetin hati Mojang Majalengka” kata
Mamah tersenyum.

“Aku juga beruntung dong, jadi anak Mojang Majalengka ?” tanyaku. Dengan sambil
mencuci gelas dan piring yang kotor.

Kami berdua tertawa.

Aku sangat bersyukur memiliki ibu yang berselera humor seperti beliau. Mamahku
hampir tidak pernah mengontrol apapun tentang hal apa yang harus aku senangi dan
lakukan. Sepertinya dia memang sudah percaya padaku.

Aku juga sering bercerita tentang kegiatanku di sekolah pada mamah, meskipun
sebenarnya bisa aja aku bercerita kepada kawanku. Tapi entahlah, aku lebih nyaman
bercerita kepada mamah dibanding kepada kawanku yang lain.
Mungkin aku bersikap demikian oleh sebab sedari kecil aku selalu diasuh oleh
mamah, dan bertumbuh menjadi anak yang sangat dekat dengan mamah. Maksudku, bukan
aku memiliki jarak dengan abah, tapi kedekatanku dengan mamah tidak bisa didefinisikan
oleh kata-kata.

Diluar, dihalaman depan, ada abah dan Mang Umang sedang membetulkan motor.
Motor Rx-King yang biasa dipakai Abah untuk pergi kerja. Terlihat tangan mereka penuh
dengan lumuran oli dan keringat, sesekali dilap menggunakan pungguh tangan masing-
masing.

Mereka memang seperti itu, kompak. Seperti aku dan mamah, abah dan Mang
Umang, Ikan Paus dan ikan kecil, kerbau dan Burung Jalak, hewan taman binatang dan
penjaga, pokoknya gitu.

***

Rumahku sama seperti rumah pada umumnya. Percaya deh. Meskipun ukurannya tidak
terlalu luas, tapi disana menyimpan ber-milyar kenangan antara aku dan keluargaku.
Dibagian depan rumah ada halaman yang lumayan luas, biasa dipakai untuk kegiatan Bi Esih
menyapu, atau biasa juga dipakai oleh keluargaku untuk hanya bersenda gurau bersama.

Bagian belakang rumah, ada halaman kosong, sedikit. Biasa dipakai untuk Bi Esih
menjemur pakaian yang sudah dicuci. Disana (Dihalaman belakang) juga ada goah, goah itu
gudang jika dalam Bahasa Indonesia.

Harus aku informasikan padamu. Dihalaman depan, akan terlihat sangat indah pada
sore hari, dengan pemandangan langit senja berwarna jingga. Jika kamu berkunjung
kerumahku pada tahun itu, kupastikan kamu akan betah untuk sekedar berdiam diri diteras
depan menikmati langit senja.

Dibagian dalam rumahku, ada banyak ruangan spesial yang sangat aku suka. Salah
satunya adalah ruang keluarga. Tempat biasa kami berkumpul bersama, dengan penuh
obrolan yang menyenangkan, dengan Si Abah yang suka pamer gombalan ke si mamah. Dan
aku suka.

***
Malamnya, aku sedang dikamar, mengerjakan PR dari Pak Lana, pelajaran Matematika.
Kamu tahu, itu pelajaran favoritku disekolah. Sejak dari SD, iya gitu kayaknya.

Saat sedang serius mengerjakan PR, hpku berdering, menandakan ada pesan masuk.
Itu dari nomor baru, yang dikirim melalui SMS. Waktu itu, belum trend aplikasi chat
bernama BIP, tau lainnya seperti sekarang. Ada, sih, BBM, tapi harus invite PIN dulu dan lalu
diterima oleh yang bersangkutan. Gitu pokoknya, ribet !

Whatsapp juga udah ada, tapi belum semarak sekarang penggunanya. Bisa dibilang
masih trendnya BBM dan SMS waktu itu.

“Assalamualaikum Nara, aku mau nanya kamu sudah punya pacar ?” seperti itulah isi
pesan yang kubaca.

Kamu tahu, kesan pertamaku saat membaca pesan itu adalah kaget. Serius, karena
baru kali ini aku mendapat pesan dari orang yang tidak kukenal langsung bicara kaya gitu.
Mungkin bagi Sebagian orang itu menjadi hal yang wajar, tapi bagiku ini sangat tidak
normal. Mungkin karena aku anak rumahan atau oleh sebab aku jarang bergaul dengan
orang-orang bebas macam itu ?

Kemudian, aku memutuskan untuk tidak membalas SMS yang tadi tersampaikan
padaku.

Malam sudah hampir larut, jam dikamarku sudah menunjukan pukul sembilan
malam. Rasanya, malam itu menjadi malam yang sunyi seperti biasa. Tidak ada hal yang
berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Serasa sepi dengan rasa sunyi selalu menjadi
terror.

Seperti itulah kegiatan malamku didalam kamar. Kamar yang tidak terlalu luas jika
dibandingkan dengan Stadion Si Jalak Harupat. Meski begitu, dikamarku ada barang-barang
yang tidak terdapat di Stadion Si Jalak Harupat, yaitu meja belajar yang dikasih oleh abah,
lemari pakaian, poster Valentino Rossi, kasur yang empuk, gantungan pakaian dan gording
warna cream.

Aku tidur sendiri dikamar, atau kadang suka sama Laras. Kalau dia minta buat
diajarin PR pelajaran Matematika, atau saat dia takut tidur sendirian.
***
BAGIAN LIMA : RAHMAT

Baiklah, semoga pada bagian kali ini menjadi cerita yang tidak membosankan, karena di
bagian kali ini aku akan sedikit bercerita mengenai A Rahmat, yaitu kakak kelas yang pernah
mendekatiku.

Namanya adalah Rahmat Malik, biasa dipanggil A Rahmat oleh siswa seangkatanku.
Dia memiliki kulit yang putih, berbadan tinggi, berhidung mancung dan selalu bercukuran
pendek. Normal seperti siswa yang terlibat organisasi resmi disekolahku.

Yang masih kuingat dari dia adalah dia selalu terlihat sok keren saat sedang jalan
atau sedang diam fokus pada satu hal. Entahlah, itu hanya pandanganku tentang dia atau
memang nyatanya seperti itu ?

Tapi anehnya, meski dia berprilaku demikian banyak dari kawan seangkatanku yang
menaruh hati padanya. Entah itu hanya menaruh kagum atau sampai berekspektasi bisa
menjadi pacarnya.

Pernah pada suatu pagi, di hari Senin. Aku datang ke sekolah dengan diantar angkot
seperti biasa. Berjalan dari gerbang sekolah menuju kelas bersama siswa lainnya yang
searah. Di koridor, tiba-tiba A Rahmat menyusulku dari belakang dan menyapaku kemudian,

“Pagi, De !” Sapanya sambil berjalan disebelahku.

“Iya A. Pagi !”

“Mau ke kelas ?”
“Iya A.”

“Ayo, sekalian aja. Ruang dua kan ?”

Aku mengangguk.

Jujur, mungkin jika perempuan lain ada diposisiku saat itu mereka akan merasa
kelabakan karena dekat dengan A Rahmat. Tapi bagiku biasa saja, sama seperti aku berjalan
dengan siswa laki-laki lain. Tidak ada yang istimewa.

Kami berjalan menyusuri koridor sekolah, dengan A Rahmat berjalan disampingku.


Yang sedari tadi sibuk ngoceh soal dia memiliki banyak kenalan orang-orang tersohor di
Majalengka. Termasuk soal dia aktif dalam Gerakan Pecinta alam dan sering satu acara
dengan Pak Okka Supardan, yaitu Fotografer yang sudah tersohor di Majalengka.

Demi Tuhan, sebenarnya aku muak mendengarkan dia mengoceh, malah menurutku
lebih baik aku mendengarkan pak kepala sekolah memberi amanat sampai satu jam
dibandingkan aku harus mendengar ocehannya yang menurutku tidak penting sama sekali.

“Kamu tuh harusnya sering-sering ikut sama Aa, De. Melihat Surga tersembunyi di
Majalengka.” katanya kemudian.

“Saya lebih suka ikut mamang ANGKOT, A.” kataku dengan ketus.

“Hahahaha, kamu lucu De, kaya Pikachu.” Katanya sambil ketawa.

“Saya lebih suka disebut kaya Annabell a.” jawabku masih dengan nada yang
kuharap dia mengerti bahwa aku risih.

“Serem dong ?”

“Lucu.”

“Yang lucumah kalau kamu ketawa. Itu baru lucu.” Katanya yang disusul tawa.

Aku senyum kecil.

“Kamu satu kelas sama Si Derin, ya ?” tanya dia kemudian.

“Iya A.”

“Jangan cuek-cuek atuh, nanti ditilang Polisi.” Katanya mencoba melawak.


“Lagi sariawan a.”

“Minum Adem Sari atuh !”

“Iya a, nanti mau beli di KOPSIS.”

“Kamuteh di Jatipamor kan ya ?” tanya dia lagi.

“Disini A, sekarang mah.”

A Rahmat ketawa.

Satu-satunya hal yang ingin aku lakukan saat itu adalah mempercepat langkahku
agar segera sampai ruang kelas.

Mendengar dia terus berbicara membuat aku serasa sedang berinteraksi dengan
burung beo pamanku yang ditaruh dirumah nenekku di Majalengka.

***

Saat sampai didepan kelas, aku langsung berlari masuk keruangan tanpa mengucapkan
sepatah katapun pada A Rahmat. Mungkin dia akan berfikir kalau aku sombong, tapi bodo
amat, aku tidak peduli. Semoga dengan itu bisa membuat dia menjauh dariku, yang pada
kenyatanya dia malah semakin cari perhatian padaku.

Setelah aku duduk, teman-teman perempuan kelasku langsung berteriak histeris


melihat A Rahmat lewat. Sungguh, itu seperti suara teriakan orang yang kesurupan, yang
sering aku lihat di acara-acara horror di Teve.

Kamu boleh saja tidak percaya dengan pernyataanku ini. Tapi kejadian seperti itu
memang benar adanya pada waktu itu. Padahal menurutku, mengagumi orang gak usah
seberlebihan itu.

Si Saras kemudian menghampiriku.

“Adeuh yang abis jalan berdua sama A Rahmat.” Katanya sambil mencolek tangan
kiriku.

“Ih, kamu mau, sana ambil. Satu set sama baju-bajunya.” Kataku sambil kemudian
tertawa.
“Mana, mau dong !” sambil mukanya mendekat kearah mukaku.

“Sana atuh minta sama mamahnya jangan sama aku !”

“Mubazir kamumah yang kaya gitu dibiarin. Hahahaha.”

“Mubazirmah yang kaya aku dibiarin, Hahahaha.”

Tidak lama setelah itu Pak Lana datang membawa dua buah penggaris berbentuk
segitiga. Dengan kacamata merk Guess GS yang dia taruh di saku baju sebelah kanan.

Aku masih ingat, bagaimana tatanan rambut dari Pak Lana hampir selalu pakai
Powmade kaya Si Dedi, dan bajunya selalu terlihat rapi dengan wangi parfum bunga Kasturi
yang dia beli dari nenekku. Ya, aku tahu itu, karena aku pernah melihat Pak Lana sedang beli
parfum di toko nenekku saat aku sedang ada disana.

Setelah beliau duduk dikursi guru, Si Dedi mengambil komando untuk berdoa
bersama dengan khidmat sesuai ketentuan agama masing-masing. Dan setelah berdo’a kami
belajar dengan suasana pagi yang tenang dan damai di Majalengka.

***

Siangnya, setelah shalat Dzuhur di mushola sekolah, aku bersama Derin berjalan menuju
ruang tiga, berjalan berdampingan ditengah lalu Lalang siswa yang lain. Dijalan, yaitu
didepan KOPSIS, kami berpapasan dengan Rama.

Dia terlihat membawa satu buah bungkusan yang dibalut oleh kertas koran. Dia
menyapa kami, yang kemudian memberikan bungkusan yang dia bawa padaku.

“Buatmu.” Menyerahkan bungkusan yang dia bawa.

“Ini apa ?” tanyaku seraya memutar barang dia kasih.

“Telur.”

“Hah ?” kataku dengan muka yang keheranan.

“Iya. Jangan sampe jatuh, nanti pecah !”

Aku cuma senyum.

Rama juga senyum.


Jangan salah faham dulu, aku menerimanya bukan karena aku menyukainya. Itu,
hanya karena gak enak harus menolak pemberian yang sudah dia niatkan untukku.

Sebenarnya aku menaruh sedikit shu’uzhon pada dia. Aku dan dia baru saja kenal,
itupun dengan suasana yang cukup aneh menurutku, dimana dia bertanya apakah aku
seorang perempuan atau bukan. Tapi sekarang dia sudah memberiku sesuatu yang entah
aku sendiri gak tahu isinya apa.

“Makasih” ucapku kemudian.

“Iya, sama-sama” katanya.

Dia lalu pergi, berjalan kearah kantin.

Saat itu, aku merasa bingung denga napa yang barusan terjadi, sampai Si Derin saja
terheran-heran.

“Kamu kenal sama Si Rama ?” tanya dia dengan wajah bingung.

“Cuma tahu. Tempo hari ketemu didepan.”

“Oh.”

Setelah itu kami bergegas menuju ruangan, karena masih ada jam pelajaran setelah
shalat Dzuhur. Sementara Rama, aku gak tahu dia mau pergi kemana, yang jelas itu adalah
urusannya dan bukan urusanku.

***

Malam itu, sekitar pukul delapan malam. Aku sedang duduk diatas kasur sambil membaca
novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, dengan ditemani lagu dari Jamrud, Pelangi di
matamu.

Malamku memang seperti itu. Kadang suka diam sendiri sambil menatap langit atau
sesekali suka baca buku novel.

Tiba-tiba teringat sesuatu yang dikasih oleh Rama disekolah tadi. Aku penasaran
dengan isinya. Apakah memang benar telur, seperti yang dia bilang padaku ? atau benda
lain yang tidak penting ?
Setelah kuambil bungkusan itu dari tas, langsung aku merobek kertas koran yang
membalutinya, diatas kasur.

Dan isinya memang benar telur. Tapi bukan telur beneran, itu telur mainan. Telur
kinderjoy.

Eh ? untuk apa dia memberiku barang seperti ini ? kan, benar, gek penting. Sudah
kuduga dari awal memang itu adalah sesuatu yang tidak penting. Lalu, kubelah telur itu,
yang hanya berniat untuk memakan coklatnya saja, sekaligus mendapatkan mainannya juga
Hahaha.

Saat kubelah, ada kertas yang Rama tempelkan di bagian dalamnya menggunakan
steples. Entah bagaimana caranya. Yang ku tahu, kedua bagiannya dikasih lem agar merekat
dengan kuat. Dan lalu, kubuka surat yang dilipat itu yang kemudian ku baca dalam hati.

HAI NARA,

AKU RAMA AKU TIDAK MENGGIGIT

JADI JANGAN TAKUT

KEMARIN AKU SMS KAMU TAPI GAK DIBALES

Itulah isinya. Sebuah tulisan dengan huruf kapital yang ditulis secara manual.

Oh, jadi yang kemarin mengirim SMS itu dia. Tapi, darimana dia tahu nomorku ?
apakah dia memintanya pada kawanku ?

Tunggu, saat itu aku berpikir keras tentang SMS yang dia kirim padaku kemarin. Apa
alasan dia mengirim SMS seperti itu ? Apakah dia bermaksud mendekatiku, atau itu hanya
isengnya dia saja ? Entahlah, itu rahasia dia dan Tuhan.

Handphone ku berdering. Saat aku cek ternyata itu adalah panggilan dari Rama,
nomor yang kemarin mengirim SMS padaku, yang membuat aku aneh setengah sadar.

“Assalamualaikum” ucapnya membuka obrolan

“Waalaikumsalam”

“Aku Rama.”
“Iya, tau.”

“Oh, kukira gak tahu. He he he he.”

“Ada apa, ya ?” tanyaku.

“Memastikan,”

“Memastikan apa ?”

“Kamu tahu namaku, he he he.”

Itulah pertama kalinya aku ngobrol dengan Rama lewat telpon. Hal yang gak pernah
terbayang sebelumnya olehku.

“Kamu suka es-krim.” Katanya.

“Kamu nanya ?” dengan mukaku merasa aneh. yang mungkin dia gak tahu karena
gak keliatan.

“Enggak, itu pernyataan.”

“Dimana-mana nanya dulu.”

“Itu dimana ?” katanya dengan nada suara seperti orang kebingungan.

“Apanya ?”

“Katanya dimana-mana !”

“Tau, ah !”

“Ha ha ha ha,”

“Aku tahu nama kamu !” katanya kemudian.

“Disekolah kan nyapa.”

“Oh iya, lupa. Ha ha ha ha,”

“Kamu kenal Saras ?” tanyaku.

“Anaknya Mang Wawa, kan ?”

“Iya, tau dari siapa ?” kataku sambil menahan senyum.


“Aku hipnotis, terus dia ngasih tahu.”

“He he he he,”

Sampai dengan saat itu, aku masih belum tahu kalau Rama berniat ingin mendekatiku.
Jadi aku masih menilai dia sama seperti aku menilai kawan laki-laki ku yang lain.
Perihal dia memberi Kinderjoy padaku, aku menganggap bahwa itu mungkin hanya
ucapan salam kenal darinya. Karena pada kenyataanya setiap pribadi memiliki caranya
sendiri untuk mengucapkan salam kenal, ya meskipun jika dipikir-pikir cara yang dilakukan
oleh Rama memang jauh berbeda dengan kebanyakan laki-laki pada waktu itu. Terkesan
tidak umum.
Dan soal dia yang mengirim SMS padaku tempo hari, katanya untuk memastikan
bahwa aku gak didampingi jin pendamping. Hahahaha.
Jujur saja, aku adalah tipe orang yang sulit untuk membuka hati untuk laki-laki.
Maksudku, aku tidak mudah untuk menyerahkan rasa percayaku pada satu laki-laki, apalagi
ini mengenai perasaan. Itu adalah hal yang paling rentan bagi perempuan.
Jika kamu menganggapku sok jual mahal, silahkan saja, aku tidak keberatan
mengenai itu. Kupikir setiap perempuan memiliki pandangannya sendiri soal ini.
Aku hanya tidak ingin perasaanku menjadi korban ketidak bertanggung jawaban para
pasukan buaya Angkatan darat. Bertingkah lugu dan merayu pada saat pertama mendekati
dan kemudian menjadi biadab saat sudah berhasil memiliki.

***
Percakap lewat telepon dengan Rama berlangsung sampai pukul sepuluh malam. Dimana
dia bercerita kalau dulu waktu masih bayi dia gak bisa inget kapan dia lahir, dan gak inget
siapa yang membantu ibunya melahirkan dia. Dan itu membuatku tertawa.
Humor yang dia suguhkan padaku benar-benar berbeda dengan kebanyakan laki-
laki. Contohnya seperti Si Anjas, mantan pacarnya Si Vika. Menurut pengakuan Si Vika kalau
lagi teleponan Si Anjas selalu bertanya dia sedang apa, udah makan atau belum, atau
kadang suka membahas tentang kegiatan Si Anjas di OSIS, yang menurutku itu menjadi
membosankan, dan itu juga yang membuat si Vika sering cerita ke aku kalau gaya pacarana
dia monoton.
Meski begitu, aku tidak berhak menyalahkan Si Anjas dalam hal ini. Karena sejatinya
setiap orang memiliki caranya sendiri untuk menjalin komunikasi dengan lawan bicaranya.
***
BAGIAN ENAM : KOSAN MANG ASEP

Hari-hari selanjutnya, setelah percakapan lewat telepon dengan Rama, aku menjadi semakin
akrab dengan dia. Bisa dibilang lebih akrab dari sebelumnya, kami juga tidak jarang ngobrol
lewat telepon. Meski begitu, aku jarang sekali atau bahkan tidak pernah lihat Rama makan
atau hanya sekedar nongkrong dikantin sekolah bersama kawannya yang lain. Dan itu
membuatku agak aneh.

“Ka kosan moal, Bal ?” (Mau ke kosan gak, Bal ?) Tanya Rival ke si Iqbal yang tiba-tiba
datang dari arah belakangku, kemudian duduk disampingku.

Saat itu, aku, Iqbal, Iyan, Lisa dan Saras lagi ngobrol dikantin. Menikmati waktu
istirahat dengan humor ala anak remaja.

“Kosan siapa ?” tanyaku pada Rival. Karena saat itu akan memang gak tahu kosan
yang dimaksud oleh Rival.

“Kos Mang Asep.” Jawab Saras.

Oke, begini, akan kujelaskan sedikit mengenai kos Mang Asep. Supaya kamu gak
bingung jika dibagian selanjutnya aku menyebut tempat ini.

Sebenarnya itu adalah tempat kos biasa, yang dihuni oleh mayoritas siswa laki-laki
yang ber-almamater dari sekolahku ini. Tapi, disana juga ada warung yang sengaja dibuat
oleh Mang Asep agar yang mau jajan gak usah jauh keluar, dan untuk membuat Mang Asep
banyak uang.

Bangunan kosnya memanjang dengan rentetan kamar. Warung yang dibuat Mang
Asep berada tepat didepan kos itu. Dengan tempat duduk yang ditaruh dibagian depan
warung. Tempat itu menjadi salah satu saksi bisu kisah klasik remajaku, dimana disana, aku
merasa jadi ratu yang memiliki banyak bodyguard. Ha ha ha ha ha.
Pada waktu percakapan itu aku sama sekali gak tahu dimana kos Mang Asep berada.
Bahkan nama tempatnya saja baru aku dengar saat percakapan itu. Ya mungkin wajarlah,
sebab aku memang jarang sekali bergaul diluar sekolah selain dengan kawan satu kelasku.

“Kos Mang Asep dimana ?” tanyaku ke Saras, yang kemudian malah dijawab oleh Si
Rival.

“Didepan sekolah.” Katanya. “Dibelakang tanah kosong.”

“Kenapa kalian suka kesana, kan nongkrong disini juga bisa !” tanyaku lagi dengan
penasaran.

“Disana bisa sambil ngerokok…..,”

“Sama minum-minum.” Jawab Saras memotong.

Aku kaget.

“Dih, sok tahu !” Bela Rival terhadap tuduhan dari Saras.

“Lah, bener. Ketuana kan Si Rama.” (Lah, benar. Ketuanya kan Si Rama) Desak Saras
lagi.

Oh, Rama juga suka nongkrong disana. Pantas saja aku gak pernah lihat dia ada
dikantin kalau sedang istirahat sekolah, ternyata tempat tongkrongannya di kos Mang Asep.

“Tong sok shu’uzhon, bisi hese Khusnudzon ceuk si Rama teh !” (Jangan suka
shu’uzhon, takut nanti susah khusnudzon kata Si Rama tuh !) Kata Si Rival membela.

“Mamaneh we !” (Gimana kamu aja !) kata Saras dengan nada kesal.

Aku hanya senyum melihat mereka beradu argumen, lucu, seperti suami istri yang
sedang bersitegang. Hahahaha.

Kemudian mereka bertiga berlalu pergi ke kos Mang Asep, dengan Si Saras yang
masih nampak kesal karena masih cemberut. Hahahaha. Karena aku masih penasaran
dengan kos Mang Asep, aku memutuskan bertanya pada Saras. Kupikir dia agak tahu
mengenai kosan Mang Asep, meskipun gak detail tapi mungkin cukup untuk menambah
informasi.
“Emang suka banyakan yang nongkrong disana ?” tanyaku ke Si Saras yang sedari
tadi fokus ke layar handphone miliknya.

“Banyak, Ra. Dari sekolah lain juga suka ada yang ikut nongkrong disana.” jelas Saras.

“Iya ?” tanyaku antusias.

“Yeh, makanya kalau sekolah disini tuh main juga kesekitaran sekolah. Kurang afdal
tahu kalau sekolah disini gak tahu kosan Mang Asep.” Jelasnya yang kemudian disambut
oleh tawa.

“Gak mau ah, takut diculik. Hahahaha,”

“Yang mau nyulik kamu juga mikir seratus kali, Ra.” Kata Si Lisa menanggapi
omonganku.

Kami semua ketawa.

Di kantin sekolahku selalu ramai pada waktu istirahat. Ramainya suara obrolan,
ramainya suara ketawa dari tiap manusia yang ngetawain aib dari manusia lain. pokoknya
asik deh suasana di sekolahku pada waktu itu.

Aku bilang seperti itu bukan ingin mengklaim bahwa sekolahku adalah sekolah
terasik di dunia, tidak, bukan begitu. Itu hanya sebuah pernyataan pribadi dariku saja,
mungkin sekolah yang lain juga sama, dan bisa saja lebih asik daripada sekolahku. Tapi,
disini aku tidak sedang membahas sekolah lain. aku harap kamu gak salah paham.

***

Siangnya, setelah pelajaran Bu Duri selesai, aku dan Derin pergi menuju Mushola untuk
melaksanakan shalat Dzuhur. Kami berjalan melewati lapangan upacara dan ruang guru.
Berjalan bersama murid lain yang bertujuan sama, yaitu untuk melaksanakan shalat Dzuhur.

Seingatku, waktu itu yang menjadi imam shalat Dzuhur kami adalah Si Egi, teman
satu kelasnya Rama. Dia adalah kawanku di eskul Pramuka, dia berdomisili dari Talaga,
bagian Selatan Majalengka. Jika tidak salah, waktu itu dia juga sekalian pesantren di salah
satu pondok yang berada tidak jauh dari sekolah.
Selesai shalat, aku dan Derin kembali menuju ruangan untuk kembali melahap
pelajaran Bahasa Indonesia dari Pak Shaleh.

Saat aku dan Derin sampai di kelas, kulihat Rival, Iqbal dan Iyan sudah berada disana,
sudah duduk dikursi masing-masing.

“Eh, tadi ada paket buat kamu, Ra.” kata Rival. Berbicara dari belakang.

Kebetulan, Rival duduk dibelakangku dengan Reno juga.

“Paket apa ?” kataku “Dari siapa ?” sambil kubalikan badan yang kemudian kami
berhadapan.

“Dari hamba Allah.” Katanya, sambil memberikan titipan yang dimaksud.

Itu adalah sebuah barang yang dibungkus oleh kertas kado ber-motif batik
megamendung, yang nampak digambar manual oleh si pengirim.

Jujur, aku tidak tahu dari siapa bingkisan itu datang, Si Rival juga gak ngasih tahu
secara spesifik mengenai pengirimnya.

“Makasih !” kataku.

“Iya !” kata Rival.

Terlihat dari jendela Pak Shaleh sedang berjalan menuju ruangan kami, dengan
membawa laptop dan mengenakan baju dinas PNS.

Proses belajar berlangsung dengan khidmat, dengan kami yang mencoba untuk
memahami apa yang disampaikan oleh Pak Saleh. Mungkin, ada yang memang dengan
benar memahami apa yang dimaksud oleh Pak Saleh, atau, ada juga yang memang dengan
benar tidak mengerti yang dimaksud. Rasanya kasihan.

***

Sepulang sekolah, aku gak langsung pulang kerumah, karena diajak oleh Lisa dan Saras
untuk nongkrong dulu di kantin, dan aku mengiyakannya. Kami duduk dekat tiang pemisah
antar meja disana, dengan masih banyak murid sekolahku yang berlalu Lalang lewat jalanan
kantin.
Disekolahku memang kaya gitu, semua kelas gak pulang secara serentak. Ada yang
jam sepuluh pagi sudah pulang, karena si guru berhalangan hadir, ada yang jam enam sore
baru pulang karena pelajarannya full, dan ada yang jam delapan pagi sudah pulang kerumah
sebab mereka jadi atlet loncat pagar. Ha ha ha ha. Macam-macam pokoknya !

“Eh, Emang yang suka nongkrong di kos Mang Asep gak dilarang sama Satpam ?”
tanyaku ke mereka sambil menaruh tas yang digendong keatas meja.

“Suka, tapi ada pawangnya.” Kata Saras.

“Pawang apa ?” tanyaku penasaran.

“Pawang Satpam !” Jawab Lisa spontan.

“Pawang Satpam ?” tanyaku keheranan.

“Iya, pawang Satpam, Si Rama.” jelas Lisa.

Oh, Rama juga dikenal sebagai pawang satpam ternyata, Hahahaha. Kata Lisa,
mereka juga satu SMP sama Rama, gak tahu satu SD enggak, dia gak bilang.

Katanya, dari dulu Rama itu memang suka ngelakuin hal-hal yang aneh, yang gak
semua siswa berani ngelakuin hal itu. Aku cuma senyum mendengar mereka bicara kaya
gitu, karena memang nyatanya seperti itu. Dan akupun mengalaminya.

Obrolan berubah haluan saat nama Rama muncul ke permukaan. Kami bertiga jadi
ghibah tentang Rama disana. Dosa sih inimah sebenernya, tapi harap maklumlah ya, kami ini
perempuan !

“Dulu ya, waktu kelas dua SMP. Kan ada tugas bikin puisi, terus dibacain didepan
satu-satu. Pas dia bacain puisinya masa nyeritain tentang tetangganya coba. Ha ha ha” kata
Saras tertawa.

“Ih, iya ?” kataku.

“Iya, terus gurunya nanya, kenapa nyeritain itu” kata Saras lagi “Dia bilang, biar pada
tahu nama tetangganya, gitu.”

Aku, Saras, Lisa ketawa, tidak dengan yang lain.


“Yang ini, Ras. Yang waktu praktek senam dia pake lagu dangdut.” Kata Lisa
menimpali. Dengan raut wajah sisa ketawa.

“Oh, iya. Lagu apa ya, namanya ?” kata Saras berfikir selama beberapa detik.

“Oh, lagu Talak Tilu !” jawab saras ke pertanyaannya sendiri.

Talak tilu itu, adalah lagu dangdut daerah Sunda, dan berbahasa Sunda.

Berbicara mengenai Rama, aku jadi ingat obrolan antara aku dan Rama pada saat
berbincang lewat telepon.

“Kamu suka bolos sekolah ?” Tanyaku ke Rama.

“Aku gak suka bolos, Ra. Tapi pernah libur waktu hari Jum’at.”

“Itu namanya bolos !”

“Bukan Ra, itu bukan bolos.”

“Lalu alasanmu apa libur hari Jum’at ?”

“Nih kukasih tahu, pihak sekolah semena-mena menentukan hari libur sekolah,
mereka gak ngajak musyawarah murid-murid dulu. Jadi aku juga gak ngajak mereka
musyawarah dulu buat nentuin hari libur sekolah.”

Demi Tuhan, mendengar penjelasannya itu membuat tawaku pecah. Aku tertawa
terbahak-bahak dikamar waktu itu. Sampai mamah masuk kedalam kamar dan nanya, “Ai
teteh kenapa, kesurupan ?”

Ditengah obrolan kami, tiba-tiba ada Rama datang ke meja kami. Dia meminta izin
untuk duduk bergabung dengan kami. Dia duduk disamping kanan Lisa, dengan rambutnya
terlihat seperti biasa, tidak rapi dan terkesan acak-acakan, disertai dua buah garis polet
memanjang diatas telinga kanannya.

“Keur naraon ieu teh, keur ngayakeun konferensi meja kantin ?” (Lagi pada ngapain
ini tuh, lagi ngadain konferensi meja kantin ?) katanya.

“Keur ngandakeun jelema gelo.” (Lagi ngomongin orang gila) jawab Saras.
“Paingan tadi ceuli Pak Ali kabudegan.” (Pantes tadi kuping Pak Ali berdengung)
katanya ketawa dan kami juga ketawa.

Ya, katanya memang kalau kita sedang dijadikan topik pembicaraan oleh orang lain
kuping kita suka berdengung, entah itu apakah benar atau nggak, yang jelas itu menjadi
budaya di masyarakat. He he he he he.

“Gelo manehmah !” kata Saras.

“Hayang di jajanan ku aa Rama,” kata Lisa kemudian, sambil merayu Rama,


menatapnya dengan muka memelas. (Mau di jajanin sama aa Rama).

“Asal jadi pamajikan uing hela !” jawab Rama tersenyum. (Asal jadi istriku dulu).

“Dih, embung !” jawab Lisa. Dengan ekspresi muka yang jijik. (Dih, gak mau).

Aku, Saras dan Rama tertawa.

Saat itu kami ngobrol cukup lama dikantin. Dengan berbagai obrolan yang terkesan
aneh dari Rama.

Dia bilang, Majalengka yang sekarang sudah lebih ramai dibandingkan dengan
Majalengka di zaman Nabi Sulaiman. Dan dia juga bilang, harusnya pabrik genteng di
Jatiwangi jangan membuat genteng yang awet dan tahan lama, karena terbukti sekarang
dengan gentengnya awet, pembeli genteng jadi berkurang. Harusnya, kata Rama, genteng
itu dibuatnya tahan 2x24 jam.

“Biar apa ?” tanyaku ke dia.

“Biar yang punya pabrik gentengnya gak rugi, terus banyak uang. Jadi, kalau karang
taruna mau ngadain lomba 17 Agustusan gak bisa alasan ga punya uang.”

Aku, Saras dan Lisa tertawa.

Ternyata, Dibalik sikap anehnya, Rama adalah orang yang asik. Dia seolah bebas mau
bicara apapun sesuai dengan kehendaknya sendiri, meskipun omongannya terkesan ngawur
dan aneh. Ha ha ha ha.

“Aku punya rambut.” Katanya. Sambil jari telunjuknya menunjuk kearah begian itu.
Aku tidak tahu pernyataan itu Rama maksudkan ke siapa, tapi kayaknya kepadaku.
Karena dia menatapku. Dan langsung kujawab,

“Aku juga punya” jawabku.

“Tapi aku gak punya kamu.” Katanya tersenyum. aku juga cuma senyum.

“Modus !” kata Lisa memonyongkan bibirnya mendekat ke wajah Rama.

Hahaha, Si Lisa emang orangnya gitu, suka asal kalo ngomong. Seolah bagi diamah
mau ngomong apapun juga bebas, gimana dia.

Menurutku, Lisa adalah sosok perempuan yang memiliki cara berpikir yang luas,
diam-diam aku juga menyukai cara berpikir dia yang seperti itu. Dia memiliki karakter kuat
bagi dirinya sendiri. Untuk anak seusia kami saat itu, pemikiran dialah yang paling dewasa
dari yang lain.

Pada kenyataannya, Lisa memiliki daya tarik tersendiri bagi para kaum Adam.
Sosoknya yang terkenal cuek ke laki-laki membuat dia menjadi incaran pasukan buaya
Angkatan darat. Tapi bagi dia, semua laki-laki itu sama, kecuali dua puluh lima Nabi dan
Rasul.
Lisa memiliki mata yang lentik, dipadukan dengan bentuk wajahnya yang bulat,
bibirnya yang seksi dan hidungnya yang mancung, membuat dia nampak lucu dan
menggemaskan saat senyum dan ketawa.

“Aku mau ngajak makan.” Kata Rama menatapku.

“Ke aku ?” tanyaku.

“Ke anaknya Pak Mutahar,”

“Itu ayahku. Heh !” dengan mataku menggelegak.

“Berarti aku ngajak kamu.” ucapnya tersenyum.

“Insya Allah.” kataku.

Rama beranjak dari duduknya, dan pergi kearah lapangan upacara. Sebelum dia
pergi, Saras sempat bertanya mau kemana, dan dia menjawab mau berdoa, agar aku mau
diajak makan berdua. Ha ha ha ha, lucu sekali dia itu.

Jika kamu bertanya, apakah aku sudah mulai tertarik padanya semenjak itu ? hmm,
kayaknya iya deh. Aku bilang tertarik, ya. Bukan suka ! Dia itu rame, dan harus kubilang
padamu, dia gak pernah melakukan hal yang semena-mena meskipun dia dikenal sebagai
anak nakal disekolah. Tidak seperti orang yang bernama Deni.

Dia itu, ya, orang yang bernama Deni adalah orang yang paling aku tidak suka. Dia
selalu bertindak semena-mena ke orang lain, suka malak juga. Mungkin dia begitu oleh
karena dia merasa bahwa gak ada orang yang berani melawan. Iya lah, dia malaknya ke adik
kelas, mana mungkin mau melawan. Kalau mau dibilang hebat itu, sana, palak kepala
sekolah. Gak berani, kan ? Huh, CUPU !

Deni, bagiku, adalah sosok Setan yang sudah dimodif menyerupai wujud manusia.
Dengan dia, aku rasa manusia lain akan malu mengaku sebagai manusia, yakin !

Dia juga pernah mendekatiku, pernah bilang bahwa dia menyukaiku. Dia pernah
nelpon ke aku pada malam hari. Saat itu, aku tidak tahu kalau itu adalah Deni karena
nomornya baru, jadi ku angkat saja. Katanya, dia menyukaiku dari SD.

EDAN !
kenal aja enggak, langsung bilang suka dari SD. Laki-laki macam ini harusnya di
bazooka oleh TNI, atau seminimalnya diasingkan ke Saturnus !

***
BAGIAN TUJUH : SURAT PENDEK RAMA

Malamnya, di atas kasur, dengan jendela yang terbuka, aku menghirup udara malam
yang sejuk di Jatipamor. Terlihat angin membelai lembut dedaunan, disertai suara motor
yang berlalu-lalang di Jalan K.H. Badul Halim.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam kalau gak salah, karena
tadi aku baru selesai shalat Isya dan ngaji.

Pikiranku di malam itu tiba-tiba menjadi terpusat pada seorang laki-laki Bernama
Rama. Seorang laki-laki yang awal berkenalan denganku menggunakan cara yang menurutku
tidak seperti laki-laki pada umumnya. Jauh berbeda hingga tiga ratus enam puluh derajat.

Dan malam itu, menjadi hal yang tidak biasa bagiku. Itu menjadi malam pertamaku
memikirkan seorang manusia aneh Bernama Rama. Maksudku, secara tiba-tiba dan tanpa
sadar aku ingin banyak tahu tentang Rama secara lebih detail, secara lebih banyak dari
sebelumnya.

Entah itu adalah yang berkaitan dengan kenalakannya, atau perihal dia gemar
melakukan hal-hal yang mmenurut masyarakat lain aneh.

Pada dasarnya dia mungkin memiliki beberapa kesamaan dengan laki-laki lain. Ya,
mungkin saja. Entah apakah dia bukan hanya mendekatiku, atau dia juga memperlakukan
perempuan lain seperti dia memperlakukanku ? Entahlah.

Sampai dengan malam itu, meskipun aku sudah jauh lebih dekat dengan Rama
dibandingkan dengan awal pertemuanku didepan sekolah dengannya, aku masih belum
tahu banyak hal tentang dia. Hanya beberapa saja yang kutahu tentangnya.

Termasuk aku tahu bahwa Rama memiliki luka jahitan di bagian dahi, yang menurut
pengakuannya, luka itu dia miliki oleh sebab sewaktu kecil berniat mau nyembunyiin sandal
milik tetangganya tapi terpeleset dan dahinya terkena besi.

Dia juga memiliki luka jahitan pada jari manis, oleh sebab terkena sayatan benda
tajam saat berantem dengan Si Roy anak SMK yang berada didaerah Jatiwangi. Aku tahu itu
dari Si Rival, karena pada waktu itu dia yang menemani Rama bertemu dengan Si Roy. Kata
Rival, yang memiliki masalah bukanlah Rama, melainkan Si Izay anak sekolah sebelah. Tapi
Rama merasa bahwa dia juga berhak bertanggung jawab atas tindakan yang melibatkan Si
Izay.

Ketika itu aku berpikir, apa kerennya berantem bahkan sampai tawuran ? mungkin
kau akan merasa merdeka setelah menang tawuran atau berantem. Tapi setelahnya
masalah tidak berhenti sampai disitu, semuanya akan menjadi semakin rumit dan
membesar.

Pada usia anak SMA, anak dari sekolah mana yang rela harga dirinya dijatuhkan
dihadapan kawan-kawannya yang lain. Apalagi menyangkut nyali, huh sudah, tidak akan ada
habisnya.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu yang dikasih oleh Si Rival saat disekolah, yang katanya
dari Hamba Allah.

Saat kubuka, ternyata itu adalah titipan dari Rama. Sebuah buku gambar berukuran
A3. Dengan backround yang dia buat sendiri, gambar Doraemon dan Nobita yang sedang
berhadapan, dikasih sebuah kata-kata seperti seolah mereka sedang mengobrol.

“Doraemon, berikan aku alat untuk membuat pembaca ini tersenyum” (kata Nobita
di ilustrasi itu). “Tidak bisa Nobita, dia hanya bisa tersenyum oleh Rama saja” (Jawab
Doraemon).

Aku senyum setelahnya.

Tak lama kemudian Rama menelponku lewat aplikasi Whatsapp.

“Assalamualaikum” katanya membuka obrolan.

“Walaikumsalam,” kataku “Aku sudah buka paket dari kamu !”

“Oh ?”

“Iya, makasih !”

“Iya,” katanya “Kamu suka kelelawar ?”

“Enggak, takut !”
“Aku tahu yang kamu suka !”
“Apa ?”

“Eum…. Manusia, kan ?” katanya “Namanya, Pak Dadang”

Pak Dadang yang Rama maksud adalah kepala sekolahku. Beliau menjabat kepala
sekolah sejak aku masih kelas satu SMA sampai sekarang.

“Ngaco, kamu !”

“Ha ha ha ha”

“Boleh aku nanya ?”

“Itu sudah nanya.”

“Ihhhh, maksudku, aku minta izin mau nanya ke kamu, boleh gak ?”

“Oh, boleh. He he he he,”

“Kenapa kamu ngasih Kinderjoy sama buku gambar ini ke aku ?”

“Sogokan.”

“Biar aku suka ke kamu ?”

“Biar kamu bisa senyum. Ha ha ha ha”

“Dasar. He he he he”

“Yang suka ke kamu itu banyak, Ra.” Katanya kemudian.

“Masa ?”

“Harus aku absen ?”

“Boleh, biar gak keliru. He he he he,”

“Si Rangga anaknya Mang Jaja, Si Deni anaknya Mang Kardi, Si Cucun anaknya Pak
Sobirin, Pak Dede, Pak Adin…,”

“Emang mereka suka ke aku ?” kataku memotong omongannya.

“Iya.”

“Kata siapa ?”
“Kata orang. Ha ha ha ha,”

“He he he he,”

Rasanya suasana malam dihari itu menjadi setingkat lebih menyenangkan bagiku.
Dengan hujan yang mulai turun diluar, mengguyur daerah Majalengka bagian Jatipamor.
Gemercik hujan yang jatuh diatas atap rumah terdengar sampai ke dalam kamar. Nyaring
sekali.

Dimulai pada malam itu, aku tahu kalau Rama memang berniat mendekatiku.
Meskipun dia gak bilang secara terus terang, dan meskipun aku bukanlah peramal handal
macam Paul si Gurita. Tapi sedikitnya aku bisa menebak, meskipun lebih menjurus kearah
menduga-duga.

ku baringkan badan dikasur yang biasa dipakai untuk tidur, sambil memandangi buku
gambar yang dikasih Rama. Saat ku angkat buku itu jatuh selembar kertas dari dalamnya.

“NARA, SENYUMMU ITU PALING DIINGINKAN OLEH SERIBU LAKI-LAKI. ATAU


MUNGIN DUA RIBU. TAPI ALANGKAH BERUNTUNGNYA AKU BISA MENDAPATKANNYA
SECARA PERMANEN, SATU SET DENGAN ORANGNYA.”

Begitu katanya. Oh Tuhan, itu seperti sebuah pujian untuk senyumku. Rasanya
wajahku memerah saat itu juga setelah membaca surat yang dia selipkan di buku itu.

Boleh aku jujur padamu ? oke, salah satu yang membuatku suka padanya adalah itu
(Dia suka ngirim aku surat). Mungkin bagimu itu sepele. Tapi, bagiku itu istimewa. Karena
pada tahun itu, tahun 2017, siapa yang mau ribet-ribet nulis surat hanya untuk seorang
perempuan. Padahal kan udah ada SMS dan aplikasi chat lainnya. Tapi, itu yang membuat
dia berbeda, itu yang membuatnya terlihat istimewa.

Wajah merahku gak bisa disembunyiin lagi, rasa maluku semakin menjadi-jadi. Boleh
aku bilang bahwa Rama adalah laki-laki pertama yang gemar mengirimku surat macam itu.
Dari semua laki-laki yang pernah berhubungan denganku hanya Rama yang gemar membuat
surat untukku. Termasuk surat izin dia gak bisa nganterin aku pulang oleh sebab harus nyuci
baju. Ha ha ha ha ha.

***
Diluar, hujan semakin lebat membasahi seisi Desa Jatipamor. Angin mulai bertiup
kencang seolah sedang bekerja sama dengan si hujan untuk membuat udara semakin dingin.
Karena alasan itulah jendela kamar yang tadi terbuka aku tutup kembali.

Diatas kasur, dengan posisiku yang sudah siap untuk tidur, aku membayangkan
betapa anehnya pertemuan pertamaku dengan Rama. Bagaimana bisa aku yang mula-mula
menganggap dia adalah manusia aneh menjadi akrab dan bahkan sangat dekat dengannya.

Perlahan mataku mulai terpejam dengan teringat sesuatu yang dikatakan oleh Rama
saat kami berada di lapangan upacara, “Ra, kamu tahu, kita itu rencana Tuhan yang
terealisasi !” dan kujawab iya Rama, Rama si manusia aneh. Ha ha ha ha.

Selamat malam Rama, selamat malam dari Jatipamor untuk Ligung. Terima kasih
Ligung, sudah merawat dan berbagi oksigen dengan manusia aneh bernama Rama. Ligung
pasti gak akan denger, karena jauh. Ha ha ha ha.

***

Hari Senin, kegiatan pertama disekolah dimulai dengan Upacara Bendera. Dibawah sinar
Matahari yang mulai muncul, semua siswa sudah berbaris rapi dilapangan, memakai
seragama putih abu-abu, lengkap dengan segala atribut yang diwajibkan oleh pihak sekolah.

Bingung sih sebenenya mah, katanya perbedaan itu adalah rahmat, tapi kenapa
sekolah memerintahkan untuk seragam ?

Nampak dari barisanku pengurus OSIS sibuk mempersiapkan peralatan untuk dipakai
oleh para petugas upacara. Guru-guru sibuk menyuruh pengurus OSIS mempersiapkan
peralatan. Sangat berbakti.

Saat itu, aku mencari Rama. Aku menoleh kanan, kiri, depan, belakang, untuk
memastikan apakah dia ikut Upacara atau enggak. Tapi usahaku berakhir sia-sia, sebab
sedari tadi aku gak lihat batang hidung Rama sama sekali, yang ada cuma gerombolan
teman satu kelas Rama, itu juga kebetulan berbaris disamping kelasku.

Dimana dia ? dia gak ikut upacara ? kamu pasti nyangka, aku mencarinya karena aku
suka padanya, kan ? huh, kau sok tahu ! Aku mencarinya karena aku ingin melihatnya, itu
saja. Jangan su’uzhon !
Upacara bendera dimulai ketika pemimpin upacara mulai berdiri didepan barisan
kami. Aku gak tahu siapa nama pemimpin upcara waktu itu, yang kuingat dia botak.

Setelah upacara selesai, semua siswa diperintahkan untuk duduk. Katanya, ada yang
harus dibahas. Dan, kulihat ada sepuluh siswa yang diseret dan kemudian dibariskan
didepan oleh Pak Gugum. Pak Gugum itu adalah salah satu guru yang ditugaskan oleh
kepala sekolah dibagian BP atau akronim dari Badan Penyuluhan. Kata Pak Gugum, mereka
adalah siswa yang ketahuan meloncat pagar belakang sekolah.

Hah ? meloncat pagar sekolah ?

“Ada Si Rama.” kata Saras berbisik.

Aku diam tidak menjawab.

Dan memang benar, didepan ada Rama bersama sembilan siswa lainnya. Kalau gak
salah mereka semua adalah anak yang suka nongkrong di kosan Mang Asep. Tapi kulihat
raut muka Rama nampak tenang, seolah itu bukanlah masalah besar baginya. Bahkan saat
ditunjuk oleh Pak Gugum, dia terlihat santai.

Pak Gugum memerintahkan mereka untuk memasukan baju kedalam agar terlihat
seperti yang lain. Ya, meskipun dugaanku ini bisa saja salah.

Dari kejadian itu, Seolah apa yang dikatakan oleh orang-orang tentangnya adalah
benar. Rama itu nakal, dia gak baik, suka bolos sekolah, playboy, suka ngehajar orang.
Semua pernyataan itu bergeming dikepalaku. Membuat seolah aku harus bertindak untuk
menjauhi dia, oleh sebab dia gak baik untukku. Atau, jika tidak, aku akan mendapat masalah
besar.

Semua siswa diperintahkan untuk kembali keruangan masing-masing. Kecuali yang


sepuluh orang tadi, mereka dibawa ke ruang BP. Entah apa sanksi yang akan diberikan oleh
pihak sekolah ke mereka. Karena disekolahku, bisa dibilang cukup ketat untuk urusan begini.

***

Dikelas, pada jam istirahat, aku, Saras dan Lisa sedang ngobrol bertiga. Ngobrol ngalor-
ngidul banyak sekali.

“Eh, tadi Si Rama diapain ya, sama BP ?” Tanya Saras.


“Enggak tahu” kataku.

“Kalem we, si etamah geus jadi member guru BP ti SMP.” (Tenang aja, diamah udah
jadi member guru BP dari SMP) Kata Lisa ketawa.

Kami bertiga ketawa disana.

Do’aku waktu itu tidak lain adalah semoga Rama gak sampai dikeluarin dari sekolah.
Karena jujur saja, aku gak mau kalau sampai hal itu terjadi. Akan sangat membosankan jika
Rama dikeluarkan dari sekolah. Bukan apa-apa, mungkin memang banyak orang yang
seperti Rama disekolah. Tapi, bagiku dia berbeda, sangat berbeda.

Apakah akan ada orang yang berani bilang ke Wakasek Kesiswaan kalau salah satu
muridnya cantik ? apakah akan ada yang berani bilang ke Mang Budi kalau dia menyukaiku ?
Engga, kan ? yasudah !

“Ra, kamu lagi deket sama Rama, ya ?” tanya Lisa tiba-tiba sambil memandangku
dengan tatapan tajam.

“Hah, enggak biasa aja.” Jawabku.

“Masa, sih ?” kata saras. Dengan muka merayu.

“Iya, aku sama Rama biasa aja.”

“Jangan takut, dia mah baik sebenernya. Nakal juga gak sampe keterlaluan.” kata
Lisa kemudian.

Lisa benar. Seburuk apapun sikap seseorang pasti akan selalu ada sisi positifnya.
Terlepas dari Rama dikenal sebagai anak nakal, tapi dia selalu membagikan keceriaan ke
setiap orang, termasuk padaku.

“Jadi inget waktu kelas tiga SMP.” kata Lisa mengenang.

“Emang kalian berdua sekelas berapa tahun sama Rama ?” tanyaku.

“Dua tahun,” Jawab Saras. “Kamu kalau sekelas sama dia mah, aku jamin, stress ! Ha
ha ha ha.”

“Kenapa gitu ?”
“Dulu tuh ya, aku kan udah beres piket. Kelas udah rapih semua, terus aku pulang.
Eh, besoknya, di papan tulis ada gambar orang lagi ngeroko coba. Mana ada kata-katanya
lagi,” jelas Saras.

“Kata-katanya apa ?” tanyaku penasaran.

“Saras Yuningsih, kenapa kelasnya masih kotor, kamu gak piket, ya. Gitu.”

Aku, Lisa dan Saras ketawa.

“Edan da si etamah. Ha ha ha ha.” Ucap Lisa. (Emang gila diamah).

Entah mengapa jika obrolan sudah menyakut soal Rama, aku selalu ingin mereka
terus bicara. Aku mau tahu tentang Rama secara lebih jauh dari apa yang aku tahu. Rasanya
kalau ngomongin Rama menjadi topik yang gak pernah ada habisnya. Aplalagi ngomongin
tentang kelakuannya yang terkesan aneh. Ha ha ha ha.

***

Pukul tiga sore, semua pelajaran sudah selesai, aku keluar dari kelas untuk bergegas pulang.
Ada Depri menghampiriku, saat aku berjalan di koridor.

Katanya, dia salah satu orang yang juga menyukaiku. Tapi aku gak tertarik sama
sekali padanya. Dia se-angkatan denganku, anak basket. Laki-laki yang cukup populer
disekolah, menjadi idaman perempuan, bagi yang suka !

“Eh Ra !” sapanya, sambil berjalan disampingku.

“Iya ?”

“Mau pulang bareng, gak ?”

“Aku naik angkot aja !” kataku. Sambil berjalan menyusuri koridor.

“Yakin, naik angkot aja ?” katanya memandangku dengan muka menyebalkan.

“Yakin, sopirnya juga gak keberatan !”

Dia ketawa, dan kemudian bilang, “Jarang-jarang loh ada Rizki yang nyamperin !”

“Yang datangnya Depri bukan Rizki !”


“Ha ha ha ha.”

Dia ketawa cukup keras kaya orang kesurupan.

“Yaudah, aku duluan ya. Lain kali kita pulang bareng !” katanya sambil berlalu pergi.

***

Didepan sekolah, ada Rama berdiri di samping pos Satpam dengan berkacak pinggang. Dan
tentu, dengan jaket kain berwarna merah berpadu abu-abu yang dia taruh di pinggangnya.

“Ra !” sapanya.

“Eh, Rama !”

“Mau nungguin jemputan, ya ?”

“Iya, kamu sendiri lagi apa ?”

“Nungguin yang dijemput.” jawabnya tersenyum.

“Hah, siapa ?” tanyaku. Dengan alisku yang mengerut.

“Kamu !” katanya.

Aku keheranan mendengar jawabannya barusan.

“Mau naik angkot juga ?” Tanyaku.

“Boleh.”

“Kosan kamu kan deket !” Ucapku.

“Iya, rumahmu juga jauh !” Katanya. Menunjuk kearah selatan.

“iiiiihhhh, Raaammaaaaaaaa !” jawabku kesal.

“Ha ha ha ha,”

Angkot datang memotong obrolan kami. Aku menaiki angkot itu, dan rama nampak
akrab dengan si sopir angkot.

“Maneh ek kamana naek angkot sagala ?” (Kamu mau kemana naik angkot segala)
tanya si sopir ke Rama yang sudah duduk disampingku.
“Anterkeun lah, jauh yeuh ka kosan !” (Anterinlah, jauh nih ke kosan)

“Eta kosan maneh deket tinggal lempang !” (Itu kosan kamu deket, tinggal jalan) kata
si sopir menunjuk karah gada-gada depan sekolahku.

Aku senyum mendengar percakapan mereka.

“Nya nggeus atuh, ek maturan maneh we beh teu kesepian, watir.” (Yaudah, mau
nemenin kamu aja biar gak kesepian, kasihan.)

“Gelo siamah !” (Gila kamumah) kata si sopir sambil ketawa, dan aku juga ketawa.

Aku duduk bersebelahan dengan Rama, dibagian tengah. Rama terlihat biasa saja,
tidak canggung sama sekali. Jika harus jujur, saat itu aku merasa canggung padanya. Entah
mengapa, aku merasa tidak seperti biasanya.

Dijalan, tepatnya di depan POLRES Majalengka, angkot berhenti untuk membawa


penumpang lain.

“Eh, Ram !” kata penumpang yang baru masuk.

Aku gak kenal siapa dia, dia bukan siswa sekolahku, terlihat dari identitas yang ada
diseragamnya.

Dia memiliki perawakan yang gak terlalu tinggi, atau bahkan cenderung kecil.
Kulitnya putih, tapi gak seputih tepung Tapioka, yang kemudian aku tahu namanya,
namanya Vano, dikenalin oleh Rama didalam ANGKOT itu.

“Eh, No !” sambut Rama.

“Ek kamana ?” tanya dia, sambil duduk didepanku. (Mau kemana).

“Nganter study tour.” Kata Rama. (Nganter Study tour).

Aku kaget, sekaligus lucu dengan apa yang baru saja dia ucapkan.

“Nganter study tour saha ?” kata orang tadi keheranan.

“Ieu, nu ieu.” Kata Rama menunjuk kearahku.

“Ngaco kamu !” kataku. Dengan suara yang pelan berbisik ke kuping Rama.
“No, hayang kenalan ceunah.” Ucap Rama menunjukku dengan jempolnya. (No, mau
kenalan katanya).

“Oh, kenalin, Vano.” Katanya. Mengulurkan tangan, mengajakku berjabat tangan.

“Iya, Nara.” Jawabku tersenyum. seraya menjabat tangannya.

“Dia ini masih ada ikatan saudara sama Pak Bupati !” menunjuk Vano.

“Iya gitu ?”

“Saudara ti saha sia teh ?” (Saudara dari siapa kamu teh ?) tanya Vano ke Rama.

“Ti Nabi Adam.” (Dari Nabi Adam)

Aku ketawa mendengar ucapan dari Rama.

“Punten teh, sok kadang-kadang kieu si Rama mah.” (Maaf teh, suka tiba-tiba gini si
Rama mah).

Aku senyum.

***

Aku dan Rama turun didepan pom bensin dekat rumahku. Sementara Vano masih harus naik
angkot menuju tujuannya.

“Kade No, Bismillah tong poho !”(Hati-hati No, jangan lupa Bismillah) kata Rama ke Si
Vano.

“Moal poho nepi Isya.”(Gak bakal lupa sampai Isya) Jawab Vano dari dalam ANGKOT.
ANGKOT kembali melaju melewati jalan K.H. Abdul Halim menuju arah Kadipaten.

“Rumahmu gede, yah !” kata Rama kemudian. Sambil melihat-lihat kearah pom
bensin.

“Ini pom bensin, rumahku yang itu.” kataku seraya menunujuk rumah disebrang
jalan.

“Oh, kukira yang ini, He he he he,” katanya.

“Makasih, ya.” Kataku.

“Untuk ?”

“Udah nganterin aku !” kataku tersenyum kecil.

“Ke si mamang ANGKOT itumah, jangan ke aku !” Ucapnya. Sambil berkacak


pinggang.

“Ihhhh,” kucubit tangan kirinya dengan penuh rasa kesal.

“Aduh” keluhnya memegang tangan yang tadi kucubit.

Waktu itu, aku gak nanya soal sanksi yang Rama dapat dari pihak sekolah. Karena
bagaimanapun, aku belum memiliki hubungan apapun dengan Rama, itu menjadi privasi
bagi dia sendiri.

Aku berjalan menuju rumah. Disusul Rama yang kembali naik angkot untuk pulang
kerumahnya. Setahuku, dia suka naik motor kalau berangkat ke sekolah. Ko, sekarang naik
angkot, ya ? motornya di kemanain ? hah, bingung.

Sore yang cukup membuatku senang sekaligus grogi. Sore yang cukup membuatku
semakin dekat dengan manusia bernama Rama. Dan satu lagi, aku jadi kenal Vano. Ha ha ha
ha.

Tak lama setelah aku masuk ke rumah, gerimis turun. Langit mendung dengan segala
keluhan yang keluar dari mulut Bi Esih dan Mamah. “Ya Allah, hujan deui wae.” itulah
keluhan yang kudengar. Disambut dengan tawaku untuk itu, karena wajah Bi Esih terlihat
lucu.

***
Malamnya, aku selesai makan diruang makan dengan Mamah dan abah. Laras sedang
dikamarnya mengerjakan tugas. Anak rajin !

Setelah selesai makan, kegiatan rutinku adalah menuju dapur untuk membersihkan
peralatan makan yang tadi kupakai. Sejak kecil aku diajarkan oleh mamah untuk
membersihkan sendiri peralatan makan yang sudah di pakai. Kata mamah, selagi kita bisa
mengerjakannya sendiri jangan merepotkan orang lain. Dan prinsip itulah yang melekat
pada diriku sampai sekarang.

“Teh, tadi ada yang nganterin, ya ?” tanya Bi Esih. Menatapku sambil memotong
daun bawang diatas meja.

“Ssssttt” kataku. Sambil aku menutup mulut dengan telunjuk, menandakan kalau Bi
Esih harus jangan bilang ke siapa-siapa. Bi Esih mengangkat jempolnya, tanda dia sepakat.
Dan aman.

Aku mendekati Bi Esih dan ngobrol dengannya soal yang tadi. Kata Bi Esih, yang
mengantarku pulang orangnya ganteng, dan itu membuatku ketawa mendengarnya. Lalu,
aku bertanya, apakah jika Bi Esih seumuranku akan suka ke dia, dan Bi Esih menganggukan
kepala. Katanya lagi, mubazir kalau laki-laki seperti itu di anggurin. Ha ha ha ha, Bi Esih ada-
ada saja.

Setelah selesai mencuci piring, gosok gigi, cuci kaki dan membawa es-krim, segera
aku menuju kamar, memakan es-krim diatas kasur, yang kemudian kepikiran perihal sanksi
yang diberikan oleh pihak sekolah ke Rama, dan itu membuatku kembali bertanya-tanya.
handphone ku kemudian berdering, dan itu telpon dari Rama. Langsung ku angkat.

“Assalamualaikum” katanya.

“Walaikumsalam” jawabku.

“Belum Subuh, ya ?”

“Baru juga Isya !”

“He he he he,”

“Rama, aku mau nanya,”


“Aku mau jawab !”

“Serius, ih !”

“Ha ha ha ha ha,”

Dengan ucapan Bismillah aku memberanikan diri untuk bertanya ke Rama perihal
sanksi yang dia dapatkan dari pihak sekolah. Sedikit ragu sebenarnya aku bertanya soal it
uke Rama. Tapi, kalau aku gak nanya mana akan aku tahu soal itu, dia juga pasti gak bakal
ngasih tahu.

“Hey, katanya mau nanya, si narasumber udah gak sabar mau jawab nih !” katanya,
karena sedari tadi aku diam untuk berfikir.

“Oh iya, ini….”

“Apa, mau nanya kapan Naruto jadi hokage ?” katanya memotong.

“Bukan ih. Makanya dengerin dulu !”

“Siap bu sekertaris !” katanya sambi ketawa.

“Tadi, diapain aja di ruang BP ?” tanyaku dengan suara agak pelan.

Setelah diam beberapa saat, akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulutku. Dan kau
pasti tahu jawaban dia seperti apa.

“Ditanya. He he he he,”

“Aku tahu, maksudnya, ditanya apa ?”

“Kenapa suka sama Nara, gitu.”

“Serius ih !” kataku dengan nada kesal.

“Kan gak lagi ulangan bu Guru,” jawab dia dengan suara santai.

“Tau ah, ngeselin. Ditanya bener dijawab ngawur, males !”

Dia ketawa.

“Kamu gak cocok kalo marah, Ra.” Katanya kemudian.

“Ngomong aja sana sama tiang listrik !”


Saat itu aku benar-benar kesal padanya. Hey, kau harus tahu, jika Wanita sedang
serius jangan main-main dengan itu kalau kau gak mau membangunkan jiwa Tirex didalam
diri kami.

“Jangan suka marah, nanti senyummu hilang !”

“Tinggal dicari !” dengan nadaku masih ketus, karena memamng masih kesal ke dia.

“Ribet, harus lapor polisi, harus buat berita kehilangan dulu….,”

Aku senyum, dengan mencoba gak bersuara agar dia gak tahu kalau aku lagi senyum.

“Kasihan pak Polisinya, lagi banyak jadwal buat jaga keamanan konser, ditambah
harus nyari senyum kamu, gak bakal ketemu.” Katanya melanjutkan.

“Nanti kubantu dia !” dengan nada suara yang kubuat seakan akau masih kesal ke
Rama.

“Daripada bantuin dia, mending bantuin aku !”

“Bantuin apa ?”

“Membuat si setan geer.”

“Caranya ?”

“Tersenyumlah !”

“Emang senyumku disukai setan ?”

“Setengah. Hahaha,”

“Yang setengahnya lagi, disukai siapa ?”

“Disukai warga sekolah.” Katanya.

Mendengar Rama bicara begitu, aku tersenyum, yang kemudian dia bisa
mendengarnya.

“Terima kasih sudah membantu. Semoga si Setan gak berharap ke kamu !” Katanya.

“Sama-sama.” Jawabku sambil senyum.


Rama selalu saja bisa membuat emosiku mencair. Meskipun kadang aku suka dibikin
sebal juga oleh dia.

Mungkin bagimu itu adalah hal yang aneh untuk sebuah humor, tapi sepenuhnya aku
merasa senang oleh itu. Saat dimana aku berhasil merasa selalu dibuat senang oleh obrolan
yang terkesan random dari Rama.

Malam yang indah, dengan guyuran hujan dibulan Juni yang membasahi wilayah
Majalengka. Rasanya dingin, terasa sampai kedalam. Apalagi akukan lagi makan es-krim,
jangan minta !

***

Besoknya, aku tahu Rama mendapatkan hukuman peringatan agar gak ngulangin kejadian
itu (Melompat dari pagar sekolah). Aku tahu itu dari Saras. Karena kebetulan dari salah satu
siswa kemarin yang dipanggil ke ruang BK ada temannya Saras juga.
BAGIAN DELAPAN : DEPRI DAN DENI

Baiklah, sesuai dengan apa yang kubilang di bagian sebelumnya, aku akan menceritakan
atau mengemukakan pendapatku tentang orang bernama Depri dan Deni.

Mereka berdua katanya adalah orang yang juga menyukaiku waktu itu selain Rama.
Seperti yang kamu ketahui, Depri pernah mengajakku pulang bareng, yang kemudian aku
menolaknya. Dan Deni, dia juga pernah bilang lewat telpon, bahwa dia menyukaiku sejak SD
yang menurutku tolol sekali.

Kumulai dari Deni, dia adalah anak tongkrongan, sama seperti Rama. tapi, dia gak
nongkrong dia kos Mang Asep. Melainkan nongkrong di warung Mang Uha. Atau lebih
dikenal dengan sebutan UWA.

Saat itu, Senin siang pada waktu istirahat, dia dengan satu temannya, kalau gak salah
namanya Aep, menghampiriku ke kelas. Dengan berlagak seolah dia adalah jagoan. Dia
masuk dengan tanpa malu sama sekali.

“Hai, Ra !” sapanya sambil duduk disampingku.

“Ih, ngapain, sih ?” kataku sambil mendorong badannya. Dengan ekspresiku merasa
terganggu.

“Mau ngobrol sama Nara.” Katanya santai.

“Aku mau ngobrol sama Rama.” kataku kemudian menatap dia dengan sedikit
marah. Entah mengapa, kata-kata itu spontan keluar dari mulutku.

“Rama ?” katanya dengan ekspresi kaget.

“Iya, dia pacarku.”

Kata-kata itu seolah spontan saja keluar dengan sendirinya. Yang bahkan mungkin
tanpa aku sadari sama sekali. Dan itu, membuat Saras dan Lisa yang sedang duduk
didepanku terperanga.

Kata-kata itu seolah menjadi ultimatum dariku. Rasanya, seperti aku sedang
mengeluarkan senjata rahasiaku, untuk membuat Si Deni lumpuh.

“Oh, kamu pacarnya Si Rama ?” tanya dia.


“Iya, kenapa ?” tanyaku dengan nada mendesak.

“Gak papa.” Katanya dengan ekspresi murung terlihat.

Setelahnya, dia pergi dari kelasku. Entah kemana tujuannya. Ngapain aku kepo
tentang sesosok manusia seperti itu, GAK PENTING !!!

Dia mau pergi ke Islandia pun silahkan, malah aku bersyukur dengan itu. Agar tidak
ada lagi manusia macam dia yang terus merayuku dengan cara kacangan seperti itu. Padahal
aku tahu, bahwa saat itu dia sudah memiliki pacar, namanya Rani, anak kelas sepuluh.

Nyatanya, dimasa sekarang malah banyak Deni-Deni yang bermunculan. Dengan


sikap yang lebih dari Deni yang hidup di masa itu. Sungguh memprihatinkan !

***

Di hari-hari berikutnya tidak ada lagi Deni yang menggangguku. Kayaknya, dia sudah jera
dengan aku menyebut bahwa aku pacarnya Rama.

Dan menyoal pernyataan itu, akhirnya aku harus menjelaskan semuanya ke Lisa dan
Saras. Mereka tahu bahwa aku sedang menjalin hubungan pendekatan dengan Rama.
Mereka bilang Rama itu baik, hanya sedikit aneh saja. Ha ha ha ha. Gak papa lah, yang
penting masih ori belum dimodif.

Katanya, kalau ada masalah dengan Rama, mereka siap membantu. Aduh, serasa
punya peri penjaga deh. Ha ha ha ha.

***

Untuk orang yang bernama Depri, dia adalah anak basket yang sok keren. Padahal dia gak
keren sama sekali, sangat tidak keren. Malah menurutku terkesan norak, tebar pesona
kesana-kesini.

Dia pernah memberiku bunga, tapi gak ngasih langsung, dia nitip ke temennya. Lupa
aku namanya siapa. Dibunga itu, dia menulis surat untukku dengan gaya Bahasa yang
sebagus mungkin dia buat. Mau tahu gak kata-katanya kaya apa ? oke, nih aku kasih tahu
dengan seingatku.
“JIKA KAU JADI BUNGA YANG BISA MEMBUAT ORANG TERSIPU KARENA AROMA
WANGINYA, MAKA AKU AKAN MENJADI LEBAH YANG AKAN MENGHIRUP SARI-SARI ITU”

Gimana ? bagus, gak ? kalau bagus sana bilang sama Depri puisinya bagus. Ambil
sekalian sama orangnya gak papa, dengan senang hati aku kasih, diskon seratus lima puluh
persen !

Bagiku, Depri tidak lebih dari seorang anak manja yang bergantung pada kepunyaan
orang tuanya. Jika ada yang bilang dia ganteng, aku setuju. Karena memang faktanya begitu.

Nih kukasih tahu, dia menjadi salah satu orang populer disekolahku, semua
perempuan akan dengan sangat mudah dia dapatkan. Iya, semua perempuan, kecuali aku.
Banyak yang mau ke dia, tapi aku gak mau. Terserah aku lah mau ke siapa, dan menurutku
aku berhak memilih kalau aku gak mau ke Si Depri.

Kalau ada yang bilang dia lebih ganteng dari Rama, aku setuju. Setuju berapapun
persenannya. Tapi kalau aku gak suka ke dia mau gimana ? orang bebas berpendapat
apapun, dan aku juga bebas untuk tidak memperdulikannya !

***

Pernah pada satu hari, di kos Mang Asep, aku memperlihatkan puisi yang dikirim Depri pada
Rama. dan katanya itu bagus. Dia bertanya mengapa aku tidak suka ? yang padahal katanya,
itu adalah puisi yang dibuat dengan rasa cinta, bukan rasa anggur merah, Hahahaha.

“Laki-laki itu kayak gitu kalau lagi suka sama perempuan.” Kata Rama sambil makan
gorengan di atas meja.

“Kamu juga ?” tanyaku.

“Aku gak bisa bikin puisi.”

“Kamu suka ngirim aku puisi !”

“Itumah ungkapan dariku aja !” katanya “Ngaco yang ditulis jadi kata-kata dikertas”

Aku senyum.

“Iya Ra, Si Rama mah suka nulis-nulis gak jelas !” kata Parno “Tuh, di dalam, banyak
coretan-coretan buatan Si Rama.”
“Iya ?” kataku kaget.

“Aku mau liat, ih !” sambungku lagi.

“Jangan !” kata Rama melarang.

“Kenapa ?”

“Gelap, takut ada hantu. He he he he,”

“Kan ada kamu. He he he he,”

Boleh saja Rama bilang kalau setiap kertas yang dia kirim untukku hanya sebatas
ocehannya semata. Tapi aku menyukai itu. Jangan protes !

***
BAGIAN SEMBILAN : JALAN RAHASIA

Sore itu, tanggal 17 Juni 2017, adalah sore yang tidak akan pernah terlupakan dalam
sebagian kenanganku dengan Rama. disore itu, untuk pertama kalinya dalam edisi
pendekatanku dengan Rama, aku pulang dianter oleh Rama sampai rumah. Eh, sampai pom
bensin.

Rasanya, saat itu, adalah perasaan yang sulit untuk diungkapkan oleh kata-kata.
Pokoknya, aku senang titik !

Aku diantar pulang oleh Rama pakai motor yang biasa dia pakai untuk berangkat ke
sekolah. Itu adalah motor klasik Honda C70. Kata Rama, itu adalah motor milik pamannya.
Berhubung gak dipakai jadi dia gunakan untuk berangkat kesekolah.

“Motor ini aslinya bisa terbang.” Katanya.

“Iya ? coba terbangin !” ucapku tersenyum.

“Lagi males katanya. He he he he,”

“He he he he, aku boleh nanya ?”

“Aku boleh jawab ?” tanya dia kemudian.

“Boleh, tapi harus dengan jujur !”

“Ah, si jujurnya ketinggalan. Sekarang aku dengan Nara.”

“Ha ha ha ha ha,”

“Jadi gak ?”

“Jadi.”

“Apa ?”

“Nanya.”

“Maksudku, pertanyaannya, apa ?”

“Oh, ha ha ha ha, kenapa kamu suka sama aku ?”

“Karena kamu perempuan !”


“Kalau aku laki-laki ?”

“Boleh deh, asal namanya Nara. Ha ha ha ha,”

“Ih, serius !” jelasku dengan jengkel sambil menjewer kupingnya.

“Karenaaaaaaa…., aku mencintai semua hamba Allah.”

“Perempuan lain, juga ?”

“Tergantung !”

“Tergantung apa ?”

“Dianya mau gak, sama aku ?”

“Kalau dianya, mau ?”

“Tergantung juga !”

“Tergantung apalagi ?”

“Akunya mau gak sama dia ?” katanya “Tapi, dia harus kecewa kalau sekarang mau
sama aku.”

“Kenapa ?”

“Udah ada yang mau ke akunya.”

“Heh, siapa ?” tanyaku kaget.

“Nara Sabina Mutahar Binti Bapak Mutahar.” Katanya tertawa.

Pernyataan itu seperti sebuah petir yang menyambar. Aku gak bisa berkata-kata lagi
dengan itu. Mulutku rasanya dibungkam dengan beribu sumpalan, meskipun aku merasa
bahwa hatiku rasa senang. Dan pasti mukaku memerah saat itu.

***

Sore itu, kayaknya gak ada yang mengganggu kesenanganku dengan Rama saat pulang
bersama menyusuri jalan yang dikelilingi sawah.
Kata Rama, itu adalah jalan rahasia. Yang dia bilang jalan rahasia dari tilangan Polisi.
Jika kamu ke jalan itu, kamu akan merasa sangat sejuk. Dengan mata yang dimanjakan oleh
pemandangan sawahnya.

Saat itu, belum terlalu ramai orang yang lewat ke jalan itu. Masih hanya ada
beberapa motor, itu juga motor petani yang dipakai untuk ke sawah. Ada juga kuburan
disana. Ada juga peternakan ayam. Yang pada tahun 2018 terjadi kebakaran di peternakan
itu. Kasihan.

Suasana sore yang rasanya mendukung, tidak hujan dan tidak panas. Adem.

Jalan itu (Jalan rahasia) tembus melewati SMP, lupa aku SMP berapa. Pokoknya itu
adalah sekolah SMP satu-satunya disitu. Jalan itu juga tembus ke sekolah Kristen, yang
katanya sekolah Kristen itu adalah terbesar se-Asia. Yang kemudian, keluar lewat jalan
utama yaitu Jalan K.H. Abdul Halim, perempatan pasar Mambo.

Dari perempatan Mambo, kami mengambil jalan menuju ke alun, dan melewati SMA
Negeri 2 Majalengka. Yang katanya, itu adalah sekolah unggulan kedua di Majalengka.

Ku kasih tahu, alun-alun yang dulu masih belum keren seperti sekarang, tapi itu asik.
Dulu, di alun-alun banyak yang berjualan disampingnya. Masih banyak pohon juga disetiap
samping-samping penjuru. Ada juga patung Abah Geot, yang sekarang hilang entah kemana.

Tapi, alun-alun sekarang juga asik, ko. Keren. Kamu udah pernah kesana ? belum,
ya ? kasihan, ih. Watir.

“Kakakku, dulu sekolah disini.” Kata Rama. saat kami lewat depan sekolah itu.

“Kenapa kamu gak sekolah kesini ?” tanyaku. Yang masih diboceng dengan
motornya. Dan senang.

“Gak asik !”

“Gak asik, kenapa ?”

“Aku gak kenal sama gurunya !” jawabya tersenyum.

“He he he he,”
Oh, jadi Rama punya kakak. Kakaknya pernah sekolah di SMA itu ternyata. oke, aku
tahu sekarang.

Setelah melewati alun-alun, kami masih berjalan lurus ke Jalan Siti Armilah, atau
populer dengan sebutan Jalan STARMIL. Lalu ke bunderan munjul, yang saat itu masih ada
patung ikan. Sekarang ikannya hilang, gak tahu diambil siapa ? tanyalah sama Pak Bupati !

Kemudian kami kembali menyusuri jalan K.H. Abdul Halim. Jalan ini adalah jalan
terpanjang di Majalengka. Terbentang dari Kadipaten sampai ke bunderan Cigasong, yang
dekat sekolahku.

Kami berhenti di pom bensin biasa yang depan rumahku. Katanya, Rama mau
langsung pulang. Mau nyuci.

Jaketnya berkelebatan tertiup angin, dengan rambutnya yang hampir mungkin


menurutku gak suka disisir dengan rapi. Tapi aku suka, Ha ha ha ha.

Sampai dirumah, kata Bi Esih, Mamah, Abah dan Laras sedang pergi ke gunung. Mau
kondangan katanya. Ih, aku gak diajak. Ngeselin. Tapi gak papa lah, aku sudah senang hari
itu karena diantar pulang oleh Rama. Hehehe.

Aku langsung masuk kamar setelah membuka sepatu yang kemudian diletakan di rak
sepatu depan pintu. Kurebahkan diri diatas kasur empuk kepunyaanku, sejenak ada rasa tak
percaya diantar pulang oleh Rama.

***

Dengan diriku yang belum mandi, masih kubayangkan kejadian tadi di sepanjang jalan. Aku
jadi tahu Rama punya kakak dan alumni dari SMA Negri 2 Majalengka. Aku jadi tahu kalau
ternyata ada jalan yang namanya jalan rahasia. Dan aku jadi tahu, kalau naik motor dengan
Rama rasanya nyaman. Hahahaha.

Kupejamkan mata dengan sambil bergumam dalam hati, “Rama, terima kasih sudah
mengenalkan aku ke Mang Asep. Terima kasih sudah bilang ke Wakasek Kesiswaan kalau
aku cantik. Terima kasih sudah bilang ke Vano kalau aku istrimu. Hahahaha,”

Selanjutnya, apalagi yang kamu lakukan untuk mmbuatku tersanjung ? haruskah


aku bertanya padamu ? ah, gak usah. Nanti gak asik. Gak jadi kejutan.
***
BAGIAN SEPULUH : AKU SENANG

Hari-hari selanjutnya aku semakin dekat dengan Rama. Lebih dekat dari sebelumnya.
Meskipun kata orang Rama itu aneh dan nakal, aku tidak peduli. Menurutku, setiap orang
punya sisi positif dan negatifnya masing-masing. Seperti Rama, mungkin sisi negatifnya dia
dikenal sebagai anak nakal oleh orang banyak. Dan sisi negatif dari orang-orang, adalah ber-
su’udzon bahwa Rama adalah anak nakal.

Hari itu, jika kamu satu sekolah dan bertemu denganku, kupastikan kamu akan
melihat Nara yang penuh rasa senang. Nara yang penuh rasa gembira. Aku tidak peduli
dengan penilaian orang padaku. Karena mereka kan gak tahu apa yang sedang aku rasain.
Huh !

Apakah kau menganggap bahwa aku seperti itu karena sedang jatuh cinta ? kujawab
iya. Ya, aku sedang jatuh cinta pada satu sosok laki-laki yang mengenalkanku pada Mang
Asep, Si Vano dan Si Egi.

Dia juga memberitahuku bahwa ada jalan rahasia di Majalengka. Jalan rahasia yang
mungkin hanya dia, aku dan petani disitu yang tahu. Aku juga jadi tahu, kalau patung ikan di
bunderan Munjul dibuat oleh sebab Pak Bupati saat itu suka mancing. Hahahaha.

“Kamu tahu gak, GGM singkatannya apa ?” tanyaku yang saat itu lagi dibonceng
sama Rama.

“Gadis-Gadis Majalengka.” katanya. Sambil senyum.

“Iya, gitu ?” tanyaku lagi. Karena memang aku sendiri gak tahu GGM itu singkatan
dari apa.

“Iya !”

“Kamu kata siapa ?”

“Bisikan.”

“Bisikan dari siapa ?”

“Tadi, dari mamang seblak.” Katanya senyum. Aku juga senyum.


Mamang seblak yang Rama maksud adalah mamang seblak yang tadi melayani kami
saat sedang ngobrol di GGM.

Saat itu, aku sedang menamani Rama mencari buku yang dia cari.

***

Kami berhenti ditoko buku yang terletak tepat didepan GGM. Pelayan disana adalah seorang
kakek yang berumur sekitar lima puluh tahun.

“Assalamualaikum” kata Rama sambil masuk ke dalam.

“Walaikumsalam” jawab si kakek “Eh, si ganteng”

“Damang, bah ?” tanya Rama ke si kakek itu. Sambil Rama mencium tangan si kakek.

“Damang, kasep.” Jawab si kakek. (Sehat, ganteng).

Rama terlihat sangat akrab sama si kakek. Dengan dari apa yang mereka lontarkan.

“Bah, kenalin, ini Nara.” Kata Rama memperkenalkanku. Yang kemudian aku
menyalami si kakek dengan mencium tangannya.

“Nara, kek.” Kataku.

“Oh, geulis gening, cep.” Kata si kakek tersenyum. (Oh, cantik gini, cep).

Cep itu adalah panggilan untuk anak laki-laki. Sifatnya umum.

“Ini, Abah Ukri.” Kata Rama memperkenalkan kakek itu.

“Mau ngobrol apa mau pamer kesini teh ?” tanya abah Ukri.

Rama senyum.

“Duduk, neng !” kata abah Ukri menyuruhku.

“Iya, bah.” Kataku. Tuh, kan, aku jadi nyebut abah juga jadinya. Yang kemudian aku
duduk dikursi dekat dengan meja kasir, didepan tumpukan buku.

“Baru pada pulang sekolah ?” tanya si abah padaku.

“Iya, bah.”
Rama sedari tadi melihat-lihat rak buku. Kayaknya dia masih mencari-cari buku yang
dia inginkan.

“Si Encep mah gitu, suka sibuk sendiri kalau nyari buku.” Kata si abah.

“Em, sering kesini bah, Rama ?”

“Kalau lagi sibuk kesini.”

“Kalau lagi sibuk ?”

“Iya. Katanya, kalau lagi gak sibuk suka males.” Jawab si abah tersenyum.

“He he he he, dia mah gitu ya, bah ?”

Si abah tersenyum.

Lalu, rama datang menghampiri kami. Dia membawa satu buku, buku sejarah Jawa
Barat yang diterbitkan tahun 1997.

“Perempuan itu suka pelajaran sejarah.” Kata Rama senyum.

“Aku suka Matematika !” sanggahku gak setuju.

“Matematika juga bagian dari sejarah.” Jawabnya sambil duduk disampingku.

“Kamu kenal Phytagoras ?” tanya Rama padaku.

“Kenal.”

“Kenalan dimana ? aku mau dikenalin atuh.” Katanya tersenyum.

Aaaahhhhh, Ramaaaaaa, kamu ngeselin deh. Si abah hanya senyum. Dia nampak
sudah hafal betul karakter Rama macam apa.

“Ihhhhhhhhhh,” dengan ekspresiku yang sebal dan lalu ku jewer kuping kirinya. Dan
dia senyum, sambil bilang “Aduh”.

Abah Ukri permisi untuk kebelakang. Katanya, mau cek stok buku. Tersisa hanya aku
dan Rama disitu.

“Kamu suka sejarah ?” tanyaku.

“Aku suka perempuan !” katanya memandangku.


“Tau, ah. Ngeselin !” Kataku sambil memajang ekspresi kesal padanya.

“Perempuan, selain suka sejarah ternyata suka kayak macan betina kalau lahiran.”

“Kenapa emang ?”

“Sensitif, suka marah.” Jawabnya tersnyum.

Aku cuma diam. Diam karena aku sedang kesal padanya.

Aku benar-benar kesal padanya saat itu, gak lagi pura-pura. Tapi, Rama selalu saja
bisa membuatku kembali tersenyum juga, setelah dia bilang kalau mamang parkir yang
botak yang biasa markirin kendaraan di sebrang jalan katanya seperti makhluk halus. Suka
tiba-tiba muncul tanpa sepengetahuan kita.

Dia juga bilang, kalau mamang parkir itu botak oleh karena waktu dicukur dia tidur
dan mengigau Mau dicukur botak. Ha ha ha ha dia ini ada-ada aja.

***

Setelah kami pamitan ke abah Ukri, Rama mengantarku pulang.

Kami menyusuri Jalan K.H. Abdul Halim yang panjang. Dengan diiringi suara motor
yang berlalu-lalang dan awan cerah yang terlihat berwarna biru muda.

Jalan K.H. Abdul halim saat itu, adalah Jalan K.H. Abdul Halim yang masih belum
ramai dengan café-café kopi dipinggir jalannya. Jauh berbeda dengan yang sekarang. Dulu,
jalanan masih terasa sangat luas dengan fungsinya yaitu sebagai tempat kendaraan berlalu-
lalang dan bukan tempat parkir !!!

Kami juga melewati Bunderan Munjul. Seperti yang kubilang sebelumnya, Bunderan
Munjulnya masih patung ikan, belum ada taman, belum ada warung yang estetik. Itu
(Daerah Bunderan Munjul) masih hanya ada patung pesawat dan patung ikan beserta
pedagang. Yang biasa mangkal disamping-samping dekat pos Polisi.

Rama bilang, dia juga punya saudara di Cibasale, namanya Om Agus. Dia laki-laki,
anak dari kakak ayahnya. Katanya lagi, Majalengka itu indah cuma jalannya saja yang gak
indah.
Aku adalah anak rumahan. Jarang sekali keluar dari rumah apalagi sampai main ke
tempat-tempat wisata. Gak pernah.

Dari semua laki-laki yang pernah dekat denganku termasuk mantanku belum ada
yang pernah mengantarku pulang ke rumah. Bahkan, aku gak pernah ngobrol berdua
langsung sama mantan-mantanku sebelumnya. Hanya dengan Rama aku se-akrab dan
sedekat ini.

***

Malamnya, setelah melaksanakan shalat Isya, aku tersenyum mengingat kejadian yang tadi
aku alami dengan Rama. Tuhan, terima kasih sudah mengizinkan Rama hidup di Bumi.
Dengan itu, aku rasa bahwa cinta itu memang indah.

Sepenuhnya dari bagian hatiku merasa senang. Senang sekali. Angin yang
berhembus diluar seolah membuat pikiranku makin tertuju pada Rama. rasanya, udara
sangat sejuk malam itu, dengan sisa-sisa air hujan yang terbawa angin.

Rasanya, aku ingin teriak sekencang-kencangnya saat itu juga. Biarin Pak Bupati
dengar, kalau perlu, aku ingin teriak sampai warga negara Uganda tahu kalau aku senang.
AKU MAU PAMER, HEY, AKU SEDANG SENANG. DENGAR ITU !

Tahu, gak, aku senang karena apa ? karena aku punya laki-laki yang mencintaiku
dengan tindakan bukan hanya dengan perkataan dan namanya Rama. kubilang sekali lagi
namanya RAMA ! ingat itu ! Ha ha ha ha.

Heuah,

Jam berapa disana ? masih sore, kah ? disini sudah larut malam dan aku ngantuk.
Aku mau tidur dulu, nantilah kulanjut besok ceritanya. Oke. ?
BAGIAN SEBELAS : CANTIKA

Cantika, atau panggil saja Cantik. Dia adalah salah satu murid satu sekolah denganku.
Seangkatanku dan cantik tentunya, seperti nama panggilannya.

Aku gak mengenalnya secara rinci dalam personal. Aku mengenalnya sedikit. Tapi,
ditulisan ini, aku menuliskan dia karena dia sempat terlibat dalam hubunganku dengan
Rama.

***

Hari itu adalah Rabu siang, aku dan Derin sedang berjalan menuju depan sekolah untuk beli
cilor. Cilor adalah makanan yang lagi trend saat itu, cuma aci yang digoreng dan dibaluti
telur, mirip seperti dadar gulung.

Aku melihat Rama dijalan depan sekolah. Tapi, aku melihatnya membonceng
perempuan lain. Ya, dia adalah Cantik. Seketika hatiku langsung bagai dilanda api cemburu
saat itu juga. Rasanya gak karuan. Meskipun aku tahu, hal itu tidak semestinya terjadi pada
diriku. Siapa aku bagi Rama ? aku belum menjadi pacarnya sampai detik itu. Dan kurasa dia
bebas mau boncengin siapapun termasuk Cantik.

Meski begitu, tetap saja aku gak mampu menyembunyikan bahwa aku merasa
cemburu padanya. Rasanya, aku gak mau melihat kejadian itu, dan aku gak mau tahu
tentang hal itu. Mungkin itu akan menjadi lebih baik bagiku.

Semua pikiran negatifku bermunculan yang tertuju pada Rama. ternyata, dia sama
saja dengan laki-laki lain. Gak lebih dari seorang laki-laki brengsek yang suka baperin
perempuan, dan lalu kemudian di tinggalin gitu aja kalau sudah bosan.
Kesenanganku yang sudah tercipta dengan Rama selama ini, seolah hangus begitu
saja dibakar api cemburu.

Meskipun aku tahu, apa yang kupikirkan belum tentu berbanding lurus dengan apa
yang terjadi. Aku hanya melihat itu adalah dari lensa optik pandanganku saja. Tapi tetap
saja, aku merasa kecewa, cemburu dan apalah itu pokoknya.

Sepanjang jalan setelah beli cilor, senyumku hilang, ekspresi muka senangku
berubah menjadi BT. Moodku tak tentu arahnya kemana, dan pikiranku tentu saja kacau
dengan hatiku juga.

Harusnya dari awal aku gak usah menaruh hati pada Rama jika akhirnya akan jadi
seperti ini.

Dasar ketua gabungan siswa BRENGSEK !!!

***

Pulang sekolah, Rama menungguku didepan sekolah. Disamping pos satpam seperti biasa.
Tapi kekuatan cemburuku sudah menguasai kendali diriku. Aku gak meliriknya sama sekali
meskipun hanya untuk bilang “Hey”. Rasanya malas.

Aku lagi nunggu angkot, dia menghampiriku dan mencoba ngajak aku ngobrol
dengan gaya khasnya.

“Kamu sariawan, ya ?” katanya mencoba membuka obrolan.

Aku gak jawab. Aku hanya diam.

“Aku punya adem sari, mau ?”

Aku menatapnya dengan tatapan tajam. Dia juga menatapku, tapi dengan tatapan
yang biasa aja, gak nampak sama sekali dia panik.

Padahal, aku berharap dia tahu kalau aku seperti itu sebab aku melihatnya
membonceng perempuan lain, dan aku cemburu oleh itu. Meskipun aku tahu, kalaupun aku
harus cemburu untuk apa ? Tapi kau paham, kan, apa yang aku rasakan ? bagus jika paham,
kita sehati. Dan, untukmu yang sepihak ke Rama, dengarlah, perempuan itu jarang sekali
melibatkan logika, kebanyakan dari kami (Perempuan) mengutamakan perasaan. Itu yang
kurasa.

Angkot datang, dan aku langsung menaikinya tanpa bilang apapun ke Rama.
mungkin dia bingung dengan sikapku yang mendadak berubah seperti itu. Tapi biarlah, aku
gak peduli. Dia juga gak peduli dengan perasaanku.

Sepanjang perjalanan rasanya hampa, rasanya sunyi. Meskipun banyak motor yang
berlalu-lalang tidak membuat suasana hatiku menjadi ramai.

Hal yang pertama muncul dipikiranku saat itu, adalah : Aku harus menjauh dari
Rama. terlepas dari dia gemar membuatku senang dan tersenyum. Mungkin caraku salah
saat itu. Tapi, aku mohon kamu mengerti betapa cemburunya aku oleh kejadian itu.
Meskipun sebenarnya aku berharap dia menelponku dan menceritakan kronologisnya.

Aku berharap hari itu Majalengka diguyur hujan. Hujan yang deras, tapi jangan
sampai banjir. Kurasa dengan adanya hujan pikiranku sedikit teralih dari Rama. itu yang
kuharap.

Sore itu, setelah pulang dari sekolah, aku termenung dikamar sendirian. Dengan
hujan gerimis yang kecil tapi banyak. Aku duduk dikasur, dengan kaki yang ditekuk untuk
menutupi wajahku yang saat itu sudah turun hujan air mata.

Entahlah, aku tak biasa begini sebelumnya. Aku hampir gak pernah nangis meskipun
putus dengan mantan-mantanku yang lain. Tapi kali ini ada rasa yang berbeda, hatiku seolah
hancur se-hancur-hancurnya. Padahal, saat itu, aku belum resmi berpacaran dengan Rama.
dan, harusnya aku mewajarkan dia membonceng siapapun.

Aku seolah bukanlah Nara yang pandai tersenyum lagi hari itu. Sebenarnya, aku
sudah berusaha membendung air mata yang terus saja memaksa keluar seperti hujan itu.
Tapi, selalu gagal. Hujan dipipiku seperti dikenadalikan oleh kekuatan lain dari diriku yang
sadar.

Harusnya dari awal, dari semenjak aku memutuskan untuk menaruh hati pada Rama
aku juga memikirkan resiko ini.

Ah, sial !
Sebodoh itu aku.

Hujan sore itu makin bertambah besar, dengan air mataku juga. Dengan suara Bi Esih
juga yang terdengar bilang “Subhanallah” karena ada petir. Mamah dan abah sedang
diruang tengah. Mungkin sedang ngobrol atau yang lain.

Aku masih termenung dikamar, sendirian. Dengan suasana yang semakin sunyi
bagiku. Lalu ada yang mengetuk pintu dan itu Mamah. Mamah menyuruhku makan dulu.
Karena sedari pulang sekolah aku belum makan.

Aku bergegas keruang makan. Dengan keadaanku yang kubuat menjadi normal
seperti biasa. Sebelum menuju ke ruang makan, aku pergi ke kamar mandi untuk membasuh
muka agar gak terlihat habis nangis.

Di ruang makan sudah ada mamah, Laras dan Bi Esih. Abah tidak makan bersama
kami saat itu, katanya mau ke Wa Eman. Ada urusan.

***

Aku berusaha bersikap normal di ruang makan. Yang kuharap mamah gak curiga dengan
keadaanku saat itu. Seolah bagiku, gak pernah terjadi masalah sama sekali.

Bi Esih pergi ke dapur untuk kembali bekerja setelah menyiapkan makanan di meja
makan. Aku hanya mengambil sedikit nasi, karena memang saat itu nafsu makanku sedang
gak ada. Atau, mungkin belum lapar karena kepikiran kejadian disekolah.

“Yang banyak atuh makannya, teh !” kata Mamah padaku. Sambil mengambil nasi
yang kemudian ditaruh di piringnya.

“Iya. Lagi galau meren,” kata Laras kemudian.

Meren itu kalau Bahasa Indonesia-nya : kali.

“Lagi belum lapar banget. Nanti juga kalau lapar makan lagi.” Kataku sambil
menyuapkan makanan yang saat itu teman nasinya adalah tumis kangkung.

Saat itu, hujannya masih lebat. Sesekali diiringi dengan suara petir dan suara dari Bi
Esih yang menyebut nama Allah, yaitu “Subhanallah”.

***
Selesai makan, aku langsung bergegas menuju kamar lagi. Gak bantuin Bi Esih cuci piring,
karena rasanya sedang malas melakukan apapun.

Laras juga sudah kembali ke kamarnya, Mamah membantu Bi Esih membereskan


piring dan gelas yang tadi dipakai untuk makan.

Dikamar, aku malas melakukan hal apapun, hanya berbaring diatas kasur yang
kurasa itu hal yang paling elegan untuk bersedih. Hp ku bergetar. Dan itu Rama. Dia
menelponku sudah lima kali, tapi tidak kuangkat.

Apakah menurutmu caraku ini salah, dengan gak ngangkat telpon dari Rama ? Ah,
menurutku sudah benar. Aku butuh menenangkan diriku dulu, tenang dari hal-hal yang
membuat emosi menjadi sensitif.

Kira-kira jam setengah Sembilan malam, hujan diluar sudah reda. Perasaanku sudah
lumayan tenang dari pikiran-pikiran sensitif. Ada Mamang sekuteng juga diluar, karena
terdengar dari suara khasnya yang bilang : “Teng… Sekuteng… Teng… Sekuteng…”

Aku keluar dari kamar untuk mengambil minum karena haus. Dirumah, sudah sunyi.
Bi Esih kayaknya sudah tidur, mamah dan Laras juga. Abah belum pulang saat itu. Aku
ngambil minum di ruang makan, dekat dengan kamar Bi Esih. Dan minum juga disitu, dikursi
dekat meja makan yang tadi kupakai.

“Teh, belum tidur ?” kata Bi Esih keluar dari kamarnya.

“Eh, bi, belum.” Kataku “Bibi juga belum tidur ?”

“Udah, tadi denger suara yang ngambil minum, bibi kira jurig.”

Jurig itu hantu kalau Bahasa Indonesia Raya-nya.

“Ha ha ha ha,” aku tertawa lumayan keras.

“Takut, gitu bi ?” tanyaku kemudian dengan ekspresi sisa ketawa.

“Keueung aja, teh.” Kata Bi Esih yang kemudian duduk disampingku. (Horor aja, teh).

Dengan mengobrol sama Bi Esih pikiranku jadi bisa teralihkan. Gak kaya tadi yang
masih terasa amburadul.
Kami mengobrol ngalor-ngidul di ruang makan, termasuk Bi Esih bercerita tentang
mitos pocong keliling yang sempat jadi trend di tahun 2014. Katanya, si pocong muncul pada
jam dua pagi. Lalu mulai keliling jam setengah tiga pagi.

“Bibi pernah lihat ?” tanyaku pada Bi Esih.

“Enggak teh, sieun.” Kata Bi Esih dengan alisnya mengkerut. (Enggak teh, takut).

“Ha ha ha,”

Kamu harus melihat ekspresi wajah Bi Esih saat itu. Lucu. Membuat aku ketawa.

“Si aa yang kemarin kemana, teh, gak nganterin pulang ?”

“Gak ada, kelaut !”

Bi Esih tahu tentang Rama, karena aku kadang cerita ke Bi Esih soal aku dan Rama.
kalau ke mamah, kurasa belum saatnya. Aku gak mau mamah berpikir yang aneh-aneh soal
hubunganku dengan Rama. Apalagi aku gak pernah cerita tentang laki-laki pada mamah.
Meskipun mungkin mamah akan paham, karena mamah juga pernah muda.

“Lagi marahan, ya ?” kata Bi Esih padaku dengan senyumnya menggoda.

“Enggak, biasa aja.” Jawabku datar.

“Euleuh, kalau gak berantem mah, tadi pulang sekolah mukanya masa sedih ?”

Aku diam. Kemudian, aku menceritakan soal kejadian disekolah ke Bi Esih. Mau gak
mau, aku juga butuh pendengar atau tempat curhat untuk sarana bercerita keluh kesahku.

Kata Bi Esih, baiknya diobrolin dulu jangan langsung menyimpulkan sendiri. Katanya
gak baik kaya gitu, itu namanya su’uzhon.

Bi Esih benar. Tapi, apa dayaku saat itu yang sudah duluan terbawa emosi dan
tumbuh rasa cemburu yang mendalam. Aku tahu, apa yang aku lakuin itu salah. Tapi,
pernahkah kamu merasa ada di posisiku saat itu ?

Rasanya hari itu sangat menyebalkan. Rasanya aku gak mau hari itu terjadi. Kalaupun
harus terjadi, biarlah aku gak lihat kejadian itu. Mungkin itu lebih baik.
Mendengar petuah dari Bi Esih, aku berniat mengajak Rama bertemu untuk
membahas masalah ini. Tapi, lagi-lagi egoisku gak ngizinin hal itu terlaksana. Aku gengsi. Dan
lagi, aku bukan pacarnya, akan sangat konyol kalau aku ngajak ketemu untuk bertanya soal
itu. Nantilah, kutunggu saja di bereaksi !

Malam sudah nampak larut, hujan kembali turun meskipun hanya gerimis. Aku
memutuskan untuk tidur saat itu. Karena sudah ngantuk. Dan otakku sudah memerintahkan
untuk tidur.

***

Itu adalah kamis pagi, aku sudah shalat Subuh. Suasana rumah sudah agak ramai. Ada
mamah yang sedang didapur menyiapkan makanan untuk sarapan. Ada abah yang sudah
bangun tidur tapi belum mandi. Ada Laras yang sudah mandi tapi masih bengong. Ada juga
Bi Esih yang sudah segar sedang didapur sama mamah. Gak tahu Bi Esih udah mandi belum.
Aku gak nanya.

Setelah mempersiapkan semua yang akan kubawa ke sekolah, aku menuju ruang
makan untuk sarapan. Disana sudah ada macam-macam menu makanan, ada nasi dan
teman-temannya yang lain.

Pagi itu kami sarapan bersama. Dengan suasana pagi yang masih sejuk. Aku duduk
disamping Laras. Dia lagi pake dasi saat itu.

“Udah, nanti aja pake dasinya. Makan dulu !” kata mamah ke Si Laras. Sambil
mengambil nasi untuk abah.

“Iya. Lagian pake dasi aja ribet banget !” kataku.

“Bawel !” sanggah Laras sambil masih memakai dasi.

“Ih, adik durhaka.” Kataku dengan senyum. Mamah dan abah juga senyum.

Selesai makan, aku bersiap berangkat kesekolah dengan diantar mobil angkot
langgananku.

Aku duduk dekat pintu. Di jalan, yaitu di Jalan K.H. Abdul Halim di pertigaan Pujasera,
ada seorang siswa naik. Dan siswa itu bisa kukenali. Dia adalah Vano.
“No !” sapaku.

“Eh, Ra.” Katanya sambil duduk disampingku.

“Tumben jam segini udah berangkat ?” tanyaku sambil senyum.

“He he he, iya. Lagi niat sekolah.”

Aku senyum.

Didalam angkot itu aku bertanya padanya soal Cantik. Yah, meskipun akan lebih
afdol kalau aku bertanya langsung pada Rama. Tapi, aku harus tahu dulu siapa itu Cantik.
Kata Vano, Cantik adalah mantannya Rama waktu kelas satu.

Ah, itu membuatku semakin ber-su’uzhon soal kejadian kemarin. Aku gak bisa
nyembunyiin rasa cemburu pada Cantik dan rasa kesal pada Rama. Rama gak lebih dari
seorang bajingan yang deketin banyak perempuan, pikirku.

Vano turun didaerah bunderan Cigasong. Katanya, dia mau mampir dulu ke warung
buat beli rokok. Aku masih naik angkot, karena tujuanku masih lumayan jauh dari situ.

Pagi yang sejuk di kota ku saat itu, dengan jalan yang masih nyaman untuk dilalui.

Aku berhenti didepan sekolah, untuk kemudian berjalan menuju ruang kelas
bersama murid yang lain.

Disamping lapangan upacara, aku melihat Rama sedang ngobrol sama Egi. Mereka
ngobrol didepan perpustakaan. Terlihat seperti biasa, bajunya gak dimasukin dan jaket yang
di ikatkan di pinggang.

Aku berharap dia gak lihat aku. Rasanya sedang malas saja untuk bertemu
dengannya, apalagi sampai ngobrol, huh, jangan deh. Kayaknya, cemburuku memang sudah
gak bisa di ganggu gugat padanya, ditambah aku tahu kalau Cantik ternyata adalah
mantannya. Semoga kamu faham perasaan perempuan gimana kalau soal hal seperti ini,
apalagi itu mengenai mantan. Hmmm.

Oke, kalau Rama mau balik lagi ke Si Cantik, ya silahkan. Aku gak akan larang, tapi dia
harus menjauhiku. Dan jangan buat aku berharap seolah dia mau ke aku. Rasanya, saat itu,
Rama sudah masuk kategori laki-laki brengsek didalam hidupku. Meskipun sebelumnya dia
sangat baik padaku dan bisa buat aku senang.

Tapi aku juga ingat kata dari Bi Esih, katanya kita harus menyelesaikan masalah
dengan kepala dingin dan jangan berprasangka. Bi Esih benar. Semoga aku tetap bisa
menyelesaikan masalah ini dengan semampuku, yang meskipun aku emosi gak karuan.

Oh ya, sampai dengan saat itu, rasa suka ku ke Rahmat sudah memudar.
Sebenanrnya sudah jauh sebelum saat itu. Tapi, aku lupa nulis. Jadi kusampaikan sekarang
agar kamu gak berfikir aneh-aneh ke aku.

***

Dikelas, pagi itu, pelajaran Bahasa Inggris. Aku duduk paling depan, dekat meja guru. Aku
duduk sama Derin, dibelakangku ada Saras dan Lilis. Lumrah, sih, kalau siswi perempuan
duduk paling depan. Karena siswa laki-laki emang pada gak mau duduk didepan. Gak tau
deh kenapa.

Kami belajar seperti biasa. Dengan Bu Tini yang sedari tadi berbicara faseh sekali
menggunakan Bahasa Inggris. Sebenarnya, aku gak ngerti apa yang dibilang sama Bu Tini,
karena jujur saja aku lebih menyukai Matematika.

Kalau gak salah waktu itu, Bu Tini sedang bercerita tentang kisah hidupnya yang
bertemu seorang bule di Yogyakarta. Katanya, dari kejadian itulah dia tertarik untuk
mempelajari Bahasa Inggris. Dan, jadilah sekarang dia seorang guru Bahasa Inggris yang
paling fenomenal disekolahku.

Bu Tini juga cerita, gimana dia ketemu sama suaminya, yang sama-sama suka Bahasa
Inggris. Tapi suaminya menguasai Bahasa Spanyol dan Jepang. Uh, ini sungguh
penyombongan diri yang luar biasa. Ha ha ha ha.

***

Itu adalah jam istirahat, aku, Saras dan Lisa sedang gobrol ditempat duduk. Derin gak ada,
dia lagi ke kantin mau makan, katanya.
Rival ke mejaku. Untuk kemudian bilang kalau Rama ingin bertemu setelah pulang
sekolah. Dan aku mengiyakannya. Itu menjadi waktu yang tepat untuk aku bertanya
langsung soal Cantik padanya, sekaligus mendengarkan penjelasan resmi darinya.

Semoga aku gak kebawa emosi dan gak bertindak diluar kekuatan diriku yang sadar.
Doakan !

“Kamu lagi berantem sama Si Rama ?” tanya Lisa padaku.

“Enggak. Cuma lagi kesel aja.”

“Kenapa gitu ?”

Aku jadi cerita pada mereka soal Rama dan Si Cantik. Entah apa yang aku pikirkan
saat itu. Tapi nampaknya mereka sudah menjadi teman yang menjadi lumbung curhatanku
soal Rama. karena menurutku, merekalah yang tahu lebih banyak soal Rama. karena mereka
pernah satu SMP dengannya. Meskipun itu sudah lama, dan sifat seseorang bisa saja
berubah seiring berjalannya waktu.

Lisa bilang, Cantik adalah perempuan yang baik. Dia sangat menjaga perasaan
perempuan lain kalau-kalau laki-laki yang mendekatinya sudah punya pasangan. Dan dia
bilang, lebih baik aku bicara langsung ke Rama menyoal masalah ini. Karena bisa saja itu
hanya suatu kesalah pahaman.

Aku setuju ke pendapatnya. Kemarin, aku memang sudah diperbudak oleh rasa
amarah dan cemburuku yang berlebihan pada Rama. Tapi, kuharap kamu mewajarkan itu,
karena aku hanya baru kali ini menjalin hubungan dengan laki-laki sampai sedekat ini.
Maksudku, dari mantan-mantanku sebelumnya atau dengan orang yang mendekatiku,
hanya dengan Rama aku berinteraksi secara langsung, sampai diantar pulang ke rumah. Ya,
meskipun hanya sampai pom bensin.

Untuk kamu yang sepihak ke Rama dan ingin menilaiku, bahwa aku berlebihan,
silahkan saja, aku gak larang. Itu menjadi hakmu.

“Harus hati-hati ngobrol sama Si Rama mah !” kata Saras kemudian.

“Kenapa gitu ?” tanyaku penasaran.

“Kadang suka gak ngerti akumah dia ngomong apa.” Katanya senyum.
“Heueuh bener.” Timpal Lisa “Bahasanya terlalu susah dicerna.”

Aku, Saras dan Lisa ketawa.

Tak lama, Bu Ira masuk. Karena saat itu proses belajar masih berlangsung. Saat itu,
Bu Ira mengajar pelajaran PKW. PKW itu singkatan dari Prakarya dan Kewirausahaan.
Pelajaran yang ngajarin kita buat dagang gitu.

Saat itu, Bu Ira memerintahkan kepada kami buat bikin produk, yang kemudian kami
pasarkan sendiri ke murid-muid disekolah. Kami dibagi kelompok, satu kelompok terdiri dari
sepuluh orang. Laki-laki dan perempuan dicampur.

Aku satu kelompok dengan Saras, Lisa, Derin dan temanku yang lain, lupa aku
namanya. Kami bersepakat untuk membuat Lilin aromatheraphy. Yang menurut kami simple
dan gak butuh banyak budget. Kata Bu Ira, untuk penjualannya sendiri akan dilakukan pada
pelajaran PKW selanjutnya.

“Minggu kemarin, ada yang sampai berani jual produknya ke Pak Kepsek.” Kata Bu
Ira sambil berdiri didepan.

Aku dan teman kelasku yang lain tertawa mendengarnya.

“Siapa bu ?” tanya salah satu temanku.

“Kelompoknya Si Rama.” katanya.

Aku kaget mendengarnya. Benar yang dikatan Lisa, kalau Rama berani melakukan hal
yang belum tentu berani dilakukan murid lain. Kami sekelas tertawa.

“Katanya, belum dibayar. Pak Kepseknya belum gajian.” Jelas Bu Tini. Yang kemudian
disambut oleh tawa kami.

***

Sorenya, kira-kira jam 04.15 sore waktu Indonesia bagian Majalengka. Aku berjalan menuju
kantin sekolah, karena katanya, Rama nunggu disana.

Sampai disana, kulihat Rama duduk bersama Cantik. Harus aku jujur bahwa aku
cemburu. Tapi, aku mencoba menahan cemburuku itu, berbekal penjelasan dari Lisa
mengenai Cantik dan petuah dari Bi Esih.
Disana aku duduk didepan mereka berdua. Aku seperti seorang Satpol PP sedang
meng-introgasi pasangan yang ketangkap mesum.

Cantik menjelaskan, bahwa kemarin dia minta diantar Rama pulang karena ibunya
nelpon. Kalau nunggu angkot kelamaan dan ibunya juga nyuruh dia cepat pulang. Dan dia
bilang, dia dan Rama hanya sebatas hubungan teman. Gak lebih dari itu.

Rasanya, saat itu, aku seperti orang yang sangat bersalah pada mereka berdua
karena sudah su’uzhon. Dan emosi tanpa sebuah penjelasan yang benar dan pasti.

“Teteh jangan marah sama Rama, yah !” kata Cantik. Suaranya sangat ramah
dikuping.

Cantik terlihat sangat merasa bersalah soal kejadian kemarin. mungkin dia berpikir,
kalau dia menjadi pengganggu hubunganku dengan Rama. atau bisa dibilang orang
keempat. Karena yang ketiga Setan.

“Enggak, ko.” Kataku dengan rasa bersalah.

Dari sejak itu, aku jadi tahu siapa Cantik. Dia adalah perempuan baik, orang
Rajagaluh yang murah hati. Terlepas dari dia mantan Rama, aku jadi menaruh respek
padanya. Aku sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Lisa tadi.

“Ini !” Rama memberiku satu bungkus Adem Sari.

“Buat apa ?” tanyaku. Cantik diam, dia juga bingung kayaknya.

“Biar gak sariawan lagi. Kemarin kan diem terus.” Katanya.

“Udah sembuh !” kataku dengan bibir monyong. Cantik cuma senyum.

Kami ngobrol banyak disana, aku juga jadi akrab dengan Cantik.

Sebenarnya, masih timbul pertanyaan di otakku. Dari siapa Rama tahu kalau aku
marah ke dia gara-gara dia boncengin Cantik ? ah, gak pentinglah itu. Yang penting
sekarang, aku sudah baikan lagi sama Rama, dan dapat kawan baru.

Aku gak mau mempermasalahkan status mereka dimasa lalu. Bagaimanapun itu
adalah suatu hal yang sudah terjadi, dan menjadi sejarah untuk kehidupan masing-masing.
Adanya masa lalu adalah untuk dihargai bukan itu di hakimi.
Setelah semua masalah beres dengan si Cantik yang sudah menjelaskan
kronologisnya, aku minta maaf sudah bersu’uzhon ke dia dan Rama.

***

Sorenya, aku pulang diantar lagi oleh Rama, naik motor yang sama. Tapi kali ini gak
lewat ke jalan rahasia. Kami lewat jalan utama. Melewati Bunderan Cigasong, menyusuri
Jalan K.H. Abdul Halim, belok ke Jalan Gerakan Koperasi, terus belok lagi menuju Jalan
Ahmad Kusumah, melewati Jalan Kartini, Jalan Letkol Abdul Gani, yang kemudian belok
menuju Jalan Imam Bonjol. Karena saat itu, aku minta diantar Rama membeli Seblak yang
lagi trend di Majalengka. Yaitu Seblak Ceker Naga.

Aku masuk kedalam untuk memesan. Sementara Rama, dia menungguku diluar.
Katanya kalau kedalam takut ada yang suka. Ha ha ha ha.

Dari dalam kulihat Rama lagi ngobrol sama mamang parkir. Mereka terlihat sangat
akrab, seperti kawan lama yang baru ketemu lagi.

Selesai memesan, kami menuju ke alun Majalengka karena kebetulan gak jauh dari
situ. Aku juga sekalian mau makan seblaknya disana. Pada tahun itu, alun menjadi tempat
sarana untuk me-rileks kan diri dari segala kepenatan duniawi.

Seperti yang sudah kujelaskan sebelumnya, bahwa alunnya masih ada banyak pohon
dan sederhana. Belum se-keren sekarang. Banyak juga macam-macam pedagang yang biasa
berjualan di bagian pinggir jalan.

Jika harus ku bilang, aku menyukai alun yang dulu karena disana terdapat banyak
komunikasi antar pedagang dan pembeli. Banyak terjadi dialog yang menyenangkan. Apalagi
Mang Uhek, pedagang kopi yang biasanya suka dagang didekat pendopo.

Aku kenal ke Mang Uhek dari Rama. Katanya, Mang Uhek adalah salah satu
keajaiban dunia. Karena bisa menyeduh kopi dan kemudian mengaduknya memakai
bungkus kopi itu sendiri. Ha ha ha ha. Ada ada saja.

Saat itu kami duduk di pendopo, menghadap kearah Gedung juang, membelakangi
kantor Bupati.

“Bupati Majalengka orang Ligung, kan ?” kataku sambil meniup seblak.


“Gak tahu. Belum kenalan.” Jawab Rama senyum sambil melihat anak-anak yang
sedang bermain bola di lapangan depan kami.

“Ih. Warga yang gak baik.” Kataku senyum. Dia juga senyum.

“Kamu suka seblak, gak ?” tanyaku.

“Nanti kamu cemburu !”

“Eh ?”

“Kaya ke Si Cantik !”

Aku senyum. Aku seolah di skakmat oleh pernyataannya.

Kami sangat menikmati senja yang indah disana. Dengan banyak anak kecil yang
bermain bola, dan menikmati interaksi dari berbagai orang disekitar tanpa menggunakan
hp. Di tahun itu, memang sudah ada game-game online. Tapi belum semarak sekarang,
semua orang masih sibuk dengan aktivitas sosial nyata mereka bukan dengan aktivitas
virtual mereka.

Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk sosial, tapi kemudian berubah


menjadi individual ketika nada dering mereka berbunyi.

Setelah dirasa puas menikmati sore yang lumayan indah di alun kami memutuskan
untuk pulang.

Aku yang dibonceng oleh Rama, sangat menikmat setiap momen yang terjadi dihari
itu. Sungguh indah, jika menikmati setiap detik waktu dengan orang yang kita suka.

Ah Tuhan,

Terima kasih dariku, telah mengizinkan Rama lahir ke Bumi dan menakdirkan dia
satu sekolah denganku.

Cuaca yang cerah di langit bulan Juni, dengan tiupan angin yang segar dari
pepohonan disepanjang jalan.

Majalengka yang indah, yang rindu, yang belum banyak kedai kopi disepanjang jalan
K.H. Abdul Halim. Yang masih belum ada skywalk di GGM. Yang masih bagus jalannya.
BAGIAN DUA BELAS : BAKAR-BAKAR

Hari Minggu, dirumahku, aku dan teman kelasku mengadakan acara bakar-bakar. Tadinya,
tempat acara itu di rumahnya si Rival, di Majalengka kota. Yang kemudian dipindahkan
kerumahku karena sekalian main, katanya.

Ada sekitar sepuluh orang yang datang, termasuk Saras dan Lisa. Akumah senang-
senang aja, sih, dimanapun juga, karena aku pasti akan ada yang jemput. Ha ha ha ha.

Motor mereka ditaruh dihalaman depan rumahku. Berjejer rapi, seperti anak motor
kalau parkirin motornya dipinngir jalan. Dan suka nongkrongnya didepan Gedung Juang
depan alun-alun Majalengka.

Waktu itu Saras datang dengan Vano. Iyalah, mereka, kan, lagi pedekate. Gak tahu,
ya ? kasihan ih.

Aku mempersilahkan semua tamu masuk ke rumah. Tapi katanya mereka mau
diteras depan aja. Adem. Tuh, kan, apa kataku, jika kamu ke rumahku saat itu pasti kamu
maunya diteras depan. Karena memang nyaman disana.

“Si Rama gak diajak ?” tanya Saras.

“Gak enak sama yang lain. Dia kan bukan anak kelas !”

“Gak papa Ra. Ajak aja !” sahut Rival.

“Iya, ajak aja !” kata Lisa.

“Yaudah nanti aku telpon.” Jawabku sambil menuju kedalam rumah.

“Eh Ra, sama aku aja !” kata Vano.

“Oh, oke.”

Vano kemudian menelpon Rama, nyuruh dia datang kerumahku.

“Buru !” kata Vano sambil berbicara melalui Hp nya. Kemudian dia menaruh hp nya
kembali ke saku celana.

“Gimana katanya ?” tanyaku pada Vano. Sambil memegang gagang pintu.


“Iya, katanya. Tapi mau mandiin kuda dulu.” Jawab Vano. Disambut tawa kami
kemudian.

“Tiiraha Si eta boga kuda ?” tanya Lisa.

“Nyao si etamah, stress !” Ucap Saras dengan sisa ketawa.

Kami ngobrol diluar, dengan Vano yang mahir membuat hal-hal lucu. Dan Si Rival
yang suka cerita hal-hal aneh. Harus kukatakan bahwa aku suka itu.

Bi Esih datang membawa satu teko yang diisi air teh, dengan beberapa gelas dan
toples gula. Mamah, saat itu sedang didapur, dan abah lagi ke Jatiwangi. Saras juga lagi
belajar dikamarnya.

“Makanannya mau apa ?” tanyaku pada mereka.

“Nanti aja, nungguin Si Rama datang !” kata Vano sambil nuangin teh ke gelas.

***

Saat kami ngobrol, terdengar suara motor datang dan masuk kedalam halaman rumahku.
Itu Rama. Dia datang pakai motornya yang biasa, tapi saat itu dia pakai jaket warna biru
navy bukan jaket yang biasa dipakai ke sekolah.

“Assalamualaikum” ucapnya sambil menyalami semua temanku.

“Walaikumsalam” sahut kami.

“Diuk atuh, Jang !” kata Vano menepuk lantai dekat dengannya. Rama duduk
disamping Vano. (Duduk dong, Jang).

“Kumaha ieu teh, aya babagi sembako dimana ?” katanya dan kemudian kami
ketawa. (Gimana ini tuh, ada pembagian sembako dimana).

“Eta cuy, diharepen bale Desa Cijati.” Ucap Rival ketawa (Itu cuy, didepan balai Desa
Cijati).

“Ek meuli naon yeuh bos, hakaneunna ?” tanya Vano pada Rama. (Mau beli apa nih
bos, makanannya).
“Jeung dibagikeun ?” tanya Rama seraya menuangkan teh ke gelas, yang kemudian
diminum. (Buat dibagiin).

“Jeung urang atuh, ih.” Timpal Saras. (Buat kita atuh, ih).

Aku hanya diam menyimak. Aku mengerti Bahasa Sunda. Tapi aku lebih memilih
diam, oleh sebab lebih enak mendengar dan melihat mereka berdialog.

“Aku lagi puasa, Yuni.” Kata Rama.

Eh, Rama manggil ke Saras, Yuni ? gak nurut umum, ih. Ha ha ha ha.

“Ari tadi nginum !” kata Saras. (Tadi, kan minum).

“Poho anjir.” Ucap Rama, dengan mimik wajah yang seolah kaget membuat kami
tertawa melihatnya.

“Beli jagung aja, gimana ?” usulku pada mereka.

“Iya, tuh. Biar gak ribet.” Kata Vika.

Lalu, sebagian dari kami bergegas membeli jagung ke Cikebo, Maja. Karena didaerah
sana memang banyak jagung yang bagus.

Aku, Rama, Vano, Saras dan Lisa tetap dirumah untuk menyiapkan peralatan bakar-
bakaran. Rama dengan Vano beli arang ke Mang Endik di Panyingkiran. Katanya, Mang Endik
adalah teman dari ayahnya Rama, dulu pernah satu kerjaan yaitu membawa sayur ke pasar
induk di Cibitung. Sementara aku, Saras dan Lisa menyiapkan anglo dan bakaran dibantu
oleh Bi Esih.

Saat itu, sebenarnya aku ingin mengenalkan Rama pada mamah langsung. Tapi aku
gak berani. Karena takut mamah berpikir berlebihan soal itu. Kata Lisa, kenalin aja siapa
tahu pendapat mamahku gak seperti yang aku bayangkan. Iya, sih, dia benar juga. Lagian,
aku juga hanya menduga-duga mengenai respon mamah, kalau aku ngenalin Rama.

***

Tim dari Cikebo datang membawa seperangkat jagung, disusul Rama kemudian,
membawa arang. Mamahku bergabung di halaman depan dengan kami. Semua temanku
menyalami mamah satu persatu, dengan Rama bagian terakhir.
“Rama, bu.” Katanya memperkenalkan diri.

“Oh, iya. Temennya Nara ?” tanya mamah senyum.

“Yang kemarin nganterin Si teteh, bu.” Kata Bi Esih memotong.

Rama senyum. Aku juga.

“Kenapa gak mampir dulu atuh ?” tanya mamah ke Rama.

“Belum nyuci bu. Takut keburu hujan.”

Mamah ketawa dengan yang lain juga.

Itu adalah pertama kalinya mamah bertemu dan ngobrol dengan Rama. Dan pertama
kali juga Rama bertemu dan ngobrol dengan mamah. Hatiku rasa senang waktu itu.
Akhirnya, Rama dan mamahku bisa ketemu. Dan mamah gak marah, gak mikir macam-
macam.

Benar kata Lisa, harusnya sejak kemarin-kemarin aku berani bilang ke mamah kalau
aku lagi deket sama Rama. mamah juga pasti ngerti. Karena mamah juga pernah muda, kan.

***

Semua elemen mempersiapkan bahan-bahan dan peralatan. Ada yang mirun api, ada yang
membuka jagung, ada yang nyiapin kaca buat benerin make up ada juga yang selfie. Ha ha
ha. Sungguh keanekaragaman yang menyatukan.

Pasukan perempuan kebagian buat bukain jagung dan hal-hal lain yang enteng.
Sementara pasukan laki-laki, kebagian kerjaan yang diperuntukan buat laki-laki. Biar adil.

Semuanya terlihat bahu-membahu untuk sebuah pekerjaan. Rama menghampiriku,


dia bilang mau pinjam spidol, yang entah untuk apa. Kemudian dia menulis di sebuah kardus
berukuran 50 cm x 30 cm,

“Sedang ada acara hajatan

Maaf ngebul

Mohon dimaklum”

Yang kemudian dia taruh dipagar depan rumahku.


Semua yang ada disitu ketawa lihat tulisan yang dia bikin, termasuk mamah. Mamah
gak marah sama sekali, mungkin mamah paham dengan keisengan anak-anak muda se-
usiaku ini mangkanya dia gak marah.

“Teu sakalian, disini lagi ada lomba master chef jangan protes kalau ngebul !” kata
Vano kemudian setelah lihat tulisan Rama. (Gak sekalian, disini lagi ada lomba master chef
jangan protes kalau banyak asap).

“Bisi loba nu menta kena lah !” jawab Rama senyum. (takut banyak yang minta
nanti).

“Kan sedekah,” kataku.

“Tadi, kita niatnya bakar-bakaran, bukan sedekah.”

Aku dan yang lain ketawa, mamah dan Bi Esih juga.

Setelah semua selesai dengan tugasnya masing-masing, kami mulai membakar


jagungnya.

Suasana rumahku ramai sekali saat itu, persis seperti yang ditulis oleh Rama. kayak
yang lagi hajatan. He he he he.

Vano, Rama dan Azis bertugas membakar jagung. Aku, Saras, Lisa dan Vika bertugas
membuat minumnya. Sementara Rival, Seli dan Ratih menyiapkan tempat untuk kami
makan kemudian. Yaitu membersihkan lantai dan kemudian ditaruh samak sebagai alas
kami duduk.

“Eh, minumnya teh manis aja, yah !” ucapku pada mereka.

“Cai herang we, Ra !” kata Vano dengan suara agak keras. (Air putih aja, Ra).

“Iya. Biar gak repot.” Timpal Rama. “Tapi kasih sariwangi sama gula. Biar ada manis-
manisnya.”

“Sarua we atuh, siateh.” Kata Azis senyum. (Sama aja, kamuteh).

“Oh, sarua ?” tanya Rama sambil mengipas-ngipas jagung yang lagi dibakar.

“Bodor maneh !” kata Saras.


Semua ketawa.

Hari Minggu yang menyenangkan jika harus kusebut. Dimana aku bisa bercanda ria
dengan temanku diluar sekolah, dengan keadaan yang gak terikat aturan-aturan
menyebalkan.

Apalagi ada Rama. Aku jadi tahu kalau dia ternyata mudah sekali berbaur dengan
orang lain. Meski dia bukan anggota kelasku, tapi dia bisa menyesuaikan dengan baik. Itulah
salah satu yang kusuka darinya.

***

Jagung sudah dibakar dan siap dimakan, dengan tikar yang sudah tersusun rapi diteras
depan.

Diatas tikar sudah ada teko yang isinya teh manis, dengan sepuluh gelas kecil. Kami
duduk disana membentuk bundar. Dengan jagung dibagi satu orang satu. Mamah sama Bi
Esih gak mau katanya, mau ikut bergabung aja.

“Ketua, pimpin do’a !” kata Rival ke Rama.

“Heueuh Ram, pimpin do’a buru, beh afdol !” kata Saras senyum.

Kemudian Rama mengangkat tangannya seperti Gerakan berdo’a,

“Oke teman-teman, jangan sampai kita mengkhianati usaha dari Si Azis karena sudah
membeli jagung ini jauh-jauh dari Cikebo dengan gak berdoa…,”

“Buru, ih, lila !” potong Lisa. (Ayo, ih, lama).

“Kela atuh, beh berkah pan ieu teh.” Kata Rama. kami ketawa setelah dia bilang gitu.
(Nanti dulu, biar berkah kan ini tuh).

“Baiklah teman-teman marilah kita segera berdo’a karena perut Lisa sudah minta
diisi !” kata Rama kemudian dengan kami yang berdoa tapi sambil cekikikan.

Kami makan sambil gobrol, dengan mamah sama Bi Esih juga.

Rumahku jadi ramai dengan suara obrolan dari kami dan kadang dengan gelak tawa
juga. Halaman depan seolah memiliki warna baru.
Di halaman yang biasanya hanya dipakai oleh Bi Esih untuk kegiatan bersih-
bersihnya, sekarang dipakai oleh aku dan teman-temanku untuk melakukan interaksi sosial,
dengan canda dan tawa tanpa dikontrol oleh hp.

Harus aku katakan padamu bahwa itu asik. Karena jika menurut opiniku sendiri, hal
seperti itu akan sulit untuk dilakukan di era sekarang.

Dulu, memang sudah ada handphone, tapi belum banyak yang “diperbudak” oleh
itu. Sehingga, saat kumpul akan terasa adanya interaksi antar manusia dan esensi manusia
sebagai makhluk sosial terlihat sangat alami.

Aku suka hp, karena itu mempermudah pekerjanku untuk menyelesaikan tugas
sekolah. Dan juga, membuat orang yang berbeda negara atau bahkan pulau bisa bertatap
muka dengan adanya hp. Tapi, jika dengan barang itu membuat manusia menjadi
individualistis, nampaknya aku agak sukar untuk bilang suka.

***

Kami masih duduk dihalaman depan sambil makan jagung dan ngobrol ngalor-ngidul.
Mamah masuk kerumah dengan Bi Esih, katanya mau beresin kerjaan rumah yang lain.

Aku masih duduk disitu, disamping Lisa yang sedari tadi terus bicara menyoal tingkah
Rama semasa SMP dulu. Termasuk soal puisi yang dibuat oleh Rama tentang tetangganya.

“Motivasi maneh naon, nyieun puisi eta teh ?” tanya Lisa ke Rama. (Motivasi kamu
apa, membuat puisi itu ?)

“Memperkenalkan Mang Enda ka dunia luar.” Jawabnya senyum.

Kami ketawa setelahnya.

“Untung uing ngan dua taun sakelas jeung maneh,” (Untung aku Cuma dua tahun
sekelas sama kamu)

“Ek tilu taun teh kaburu lulus,” kata Rama ketawa, dan kami juga.

“Kalian teh, Jatiwangi, kan ?” kutanya Lisa.

“Iya.”

“Zis, kamu juga orang Jatiwangi, kan ?” kutanya Azis.


“Iya. Waktu SMP, satu kelas sama Si Rama juga.” Jawabnya, sambil nyalain rokok.

“Sama kalian juga, dong ?” tanyaku ke Lisa dan Saras.

“Enggak. Si Azis mah, waktu kelas satu bareng Si Ramanya.” Jawab Saras.

“Oh,”

“Aku satu desa sama Si Azis,” kata Rama kemudian.

“Sa desa timana, jauh !” (Satu desa darimana, jauh !)

“Aing teh sa-desa jeung maneh. Ngan, saacan maneh lahir, aingteh buru-buru
pindah, da nyaho ek aya maneh !” (Aku tuh satu desa sama kamu. Cuma, sebelum kamu
lahir, aku cepat-cepat pindah, soalnya tahu mau ada kamu)

“Si anjing,” Si Azis ketawa dan kami juga.

Udara sudah semakin dingin waktu itu, oleh sebab sudah menjelang sore.
Disekitaran desaku memang akan terasa seperti itu jika menjelang sore, oleh sebab disana
masih banyak sawah dan tanaman lain tumbuh. Sehingga terasa sejuk dan enak.

Mengkhawatirkan jika aku harus bilang keadaan desaku saat ini. Sekarang, pohon-
pohon yang tumbuh disamping jalan semakin berkurang oleh karena ditebang manusia-
manusia tanpa belas kasih.

Sawah-sawah juga sudah mulai menyempit oleh sebab banyak yang sudah dibeli dan
dijadikan pabrik tekstil. Entah apa yang sebenarnya yang dipikirkan oleh kebanyakan
manusia, hingga mereka dengan suka rela menukar sumber oksigen dengan kertas yang
sangat diagungkan itu.

Waktu itu kira-kira pukul empat sore, setelah salat Ashar teman-temanku
memutuskan pulang. Katanya, takut kesorean kalau pulang lebih dari jam segitu, takut
keburu hujan juga dijalannya. Memang saat itu hampir pada sore hari Majalengka selalu
diguyur oleh hujan, entah itu hanya gerimis atau sampai lebat sekali.

Aku manggil Mamah, untuk kemudian teman-temanku pamit pulang. Mereka


bersalam ke Mamah satu demi satu termasuk Rama.

“Bu, saya nitip Nara, ya !” katanya ke mamah, sesudah salaman.


“Heh, emang aku barang ?” kataku melotot.

Mamah hanya senyum ke Rama. Mamah selalu bersikap ramah kepada siapapun itu
orangnya, sekalipun dia adalah seorang Albert Einstein, mungkin. Bi Esih gak keluar rumah,
karena dia lagi beres-beres dapur kata mamah.

***

Setelah semua temanku pulang dengan motornya, aku masuk ke rumah untuk cuci kaki dan
kemudian bergabung dengan mamah dan Bi Esih didapur.

“Tadi pacar kamu ?” tanya mamah ke aku.

Maksud mamah, dia bertanya apakah Rama pacarku atau bukan.

“Bukan.”

Sebenarnya aku bingung harus jawab apa ke mamah soal Rama, oleh sebab saat itu
aku dan Rama memang belum resmi berpacaran, jadi kujawab saja seperti itu ke mamah.

“Bodor yah, orangnya.”

“Aneh juga.” Ucapku sambil motongin bawah merah.

“Gimana aneh-nya, teh ?”

“Ya.., gitu,” dengan suara agak ditekan.

“Kemarin-kemarin kan ada nganterin si teteh, cuma sampe pom bensin.” Kata Bi Esih
kemudian.

“Iya ?” tanya mamah ke aku, sambil menatapku senyum.

“Sebenernya, sih, dia bukan niat mau nganterin aku,”

“Terus ?”

“Katanya mau study tour. Mengenal Majalengka dari pandangan yang berbeda.
Katanya gitu.”

“Kasep-kasep teh aneh, gening.” Mamah ketawa setelah bilang gitu.


Disana, kami jadi ghibah, deh. Ghibah tentang sesosok manusia yang super aneh,
yang awal bertemu denganku bukannya bilang siapa namanya malah nanya aku perempuan
atau bukan. Ha ha ha ha.

Mamah dan Bi Esih juga ketawa waktu aku certain kejadian itu. Bi Esih bilang,
barukali ini ada laki-laki yang ngajak kenalan ke perempuan tapi nanya perempuan atau
bukan ? Mamah juga bilang, katanya, kalau memang aku suka ke dia atau dia suka ke aku,
dan bisa buat aku senang mamah gak akan melarang, tapi dengan satu catatan, jangan
lakuin hal-hal yang diluar keharusan, dan aku bilang siap.

Ah, Tuhan…,

Rasanya lega sekali mendengar pernyataan mamah itu. Bagiku, itu adalah ciuman
tanda kasih sayang untukku. Meskipun awalnya aku sempat su’uzhon ke mamah tentang
hal-hal yang mengenai kedekatanku dengan Rama. Tapi syukurlah, waktu itu aku
mendapatkan pernyataan langsung darinya mengenai antara aku dan Rama.

Aku juga cerita ke mamah dan Bi Esih kalau Rama suka ngirim aku surat. Katanya, ko
di zaman yang sudah modern seperti sekarang, masih ada yang kepikiran buat ngirim surat
kaya gitu. Hahaha.

Mamah, aku juga gak habis pikir tentang itu, padahal dia bisa aja ngirim lewat sms
atau whatsapp. Tapi itulah dia, mamah, itulah Rama yang bisa membuat anak sulungmu ini
senang.

“Mana atuh mamah mau liat suratnya !” kata mamah padaku, sambil dia mencuci
tangan.

“Malu, mamah.” Kataku sambil senyum.

“Sama mamah sendiri ko malu,”

“He he he he,”

“Mau liat, surat yang kaya gimana yang bisa buat anak sulung mamah ini sampe suka
ke dia !”

Aku dan mamah bergegas menuju kamar, dengan aku yang cuci tangan dulu sebab
tadi udah potong bawang merah. Takut bau.
“Dia orang mana, teh ?” tanya mamah.

“Siapa, Si Rama ?” kataku sambil buka pintu kamar.

“Iya.”

“Orang Jatiwangi.”

Kami duduk diatas kasur, dengan saling berhadapan. Aku ngemabil surat-surat yang
pernah Rama kirim untukku didalam laci meja belajar.

“Meni banyak gini,” kata mamah, setelah ku ambil surat itu dan kutaruh diatas kasur
di tengah-tengah kami. aku hanya senyum.

Mamah membaca surat itu satu per satu, dengan diirngi tawa.

“Yang ini juga buat teteh ?” tanya mamah, saat melihat surat yang Rama beri judul
“Mie Ayam”.

“Iya.” Kataku.

“MIE AYAM”

AKU LEBIH SUKA LIHAT KAMU MAKAN ES-KRIM

DIBANDING MIE AYAM.

JIKA HARUS KUSEBUT,

ITU LEBIH INDAH.

“Bodor gening, nya ?”

“He he he he,”

Aku menyukai mamahku yang bersikap bijak akan hal itu, baginya, aku berhak
mendapatkan kebahagiaanku sendiri tanpa sebuah tekanan dan tuntutan apapun.

Aku gak bilang kalau mamahku adalah ibu terbaik se-Indonesia atau bahkan Se-
Dunia. Tidak sama sekali. Hey, ingatlah setiap ibu ingin yang terbaik untuk semua anaknya,
dimanapun dia berada. Hanya saja, aku lebih beruntung dengan ibuku yang seperti ini, yang
mengerti bahwa aku adalah masih seorang anak remaja biasa dengan tingkah dan
kelakuannya yang masih harus banyak dimaklum.

***

Malamnya, aku lagi ngerjain tugas sekolah, dikamar. Laras lagi telponan sama temannya,
mamah sama abah lagi ngobrol diruang keluarga, karena abah udah pulang sebelum
Maghrib. Bi Esih, aku gak tahu Bi Esih dimana. Kayaknya, lagi ngaji dikamarnya.

Diluar, masih sejuk seperti malam-malam yang lalu, dengan bintang-bintang yang
sedang nampak dilangit. Begitu indah jika harus kukatakan pemandangan langit malam itu.

Tuhan, langitmu indah !

Terdengar suara mamah manggil aku waktu lagi nulis. Aku langsung beranjak dari
duduk dan menghampiri mamah. Disana sudah ada Kak Irfan, dia kakak sepupuku, tapi udah
kayak kakak kandungku sendiri.

Dia, atau biasa kusebut Kak Ifan, adalah seorang sarjana Teknik Sipil. Kak Ifan kerja di
BMCK, salah satu perusahaan kontruksi didaerah Cibasale, Majalengka. Tapi, dia jarang ada
di Majalengka, karena waktunya lebih sering di Cibubur, Bogor.

Waktu aku SMP dulu, Kak Ifan masih sekolah di sekolahku yang sekarang. Aku
sekolah disana juga tidak lain adalah referensi dari Kak Ifan.

Kak Ifan adalah laki-laki kelahiran tahun 1995, berbeda lima tahun denganku. Dia
adalah sosok kakak yang baik.

“Widih, udah gede aja ni anak !” kata Kak Ifan padaku.

“Kakak juga jadi gendut.” Kataku ketawa, sambil kemudian menyalaminya.

“Pacarnya siapa, nih ?”

“Ada tuh, suka ngirimin surat.” Kata mamah senyum.

Aku juga senyum, karena gak tahu harus jawab apa.

Aku senang kalau kalau Kak Ifan datang berkunjung ke rumah, karena dengan begitu
stok kulkasku jadi penuh. Hahahaha.
“Si Laras mana ?” tanya Kak Ifan ke aku.

“Di kamar kali,” jawabku, sambil duduk disamping Kak Ifan.

“Laraaaaas !” panggil mamah dengan suara agak berteriak.

“Iya !” jawab Laras dengan suara keras.

Laras kemudian datang menghampiri kami ke ruang keluarga.

“Ih, ada Kak Ifan !” katanya kegirangan.

“Hey, udah gede juga ya kamu !” kata Kak Ifan ke Laras, sambil kemudian salaman
dengan Laras.

“Dulu mah masih pada kecil, eh, taunya sekarang udah pada tinggi dan cantik. He he
he he,”

“Kakak nginep ?” tanya Laras ke Kak Ifan, sambil duduk disampingku, disofa panjang
depan mamah dan abah.

“Kalo ngantuk ya nginep disini.”

“Kalau ngantuk mah tidur !” kataku senyum. Disambut tawa oleh mereka.

“Makan dulu Ri. Mamah udah masak, tuh !” kata mamah menggerakan kepalanya
kearah dapur.

“Iya. Nanti gampang lah.”

“Aku mau ngerjain tugas dulu, yah.” Kataku ke mereka, karena saat itu memang
tugasku yang tadi masih belum selesai semua.

Aku beranjak dari duduk untuk kembali ke kamar. Padahal dikamar aku gak ngerjain
tugas, karena saat itu kebetulan pas aku masuk kamar ada telpon dari Rama, jadilah aku
telponan dengan Rama.

“Coba tebak, dirumahku ada siapa ?” tanyaku ke dia, sambil tiduran terlentang
dengan kaki ditaruh ditembok.

“Ada, Bi Esih !” jawabnya dengan suara ditekan.


“Selain itu,”

“Adaaaa, Pak Latif ?”

“Eh, siapa itu ?” tanyaku, memang aku gak tahu siapa itu Pak Latif yang disebut oleh
Rama.

“Gak tahu siapa. He he he he,”

“Tebak yang bener, ayo !”

“Dapet hadiah, gak ?”

“Dapet.”

“Apa ?”

“Maunya apa ?”

“Mmmm….,” dia diam kaya yang lagi mikir pas ujian. “Pelukan !”

“Tiap di motor aku meluk.”

“Pantes punggungku suka kerasa anget. Ha ha ha ha,”

“Jorok, ih !”

“Aku udah mandi.”

“Pikiranmu !”

“Ha ha ha ha,”

“Buruan tebak, dirumahku ada siapa ?”

“Bentar…,” dia diam lagi kemudian menjawab, “Oh, Si Depri, ya ?”

“Ogah, ih. Itumah buat kamu aja, kop !”

“Nanti saingan sama kamu.”

“Emang kamu mau ke Si Depri ?”

“Namanya bukan Nara. Jadi aku gak mau.”

“Ha ha ha ha ha,”
“Disana hujan ?”

“Enggak. Emang disana hujan ?”

“Belum dapet kabar.”

“Dari siapa ?”

“Dari hujan.”

“Emang dia bisa ngomong ?”

“Kadang-kadang.”

“Gimana ngomongnya ?”

“Cik… cik.. cik… cik…”

“Itumah suara air hujan jatuh !”

“Itu Bahasa mereka, tapi kamu gak ngerti. Kan kita juga pake Bahasa yang gak
dimengerti sama mereka.”

“Iya, yah. He he he he,”

Entah mengapa, percakapan dengannya selalu mengasikan, selalu membuatku


senang kalau harus pamer. Meskipun hanya begitu, itu cukup. Cukup bisa membuatku
senyum sendiri kaya orang kurang waras. Ha ha ha ha.

Akhirnya aku yang bilang ke Rama kalau dirumahku ada Kak Irfan. Karena dari tadi
dia jawabnya ngelantur mulu. Ha ha ha ha.

“Nanti aku kenalin !” kataku, sambil berubah posisi tidur jadi telungkup.

“Takut, ah.”

“Takut kenapa ?”

“Takut khilaf, nanti aku suka ke dia.”

“Ihhh, homoooooo.”

“Ha ha ha ha,”
Malam itu identik dengan kesunyian, tapi kemudian berubah setelah aku
mengenalmu, Rama.

Hey, Rama, ingatkah kamu bahwa kita pernah memiliki momen itu disetiap malam
menjelang tidur ? ah, keterlaluan jika kau sampai lupa.

Jam berapa sekarang ? oh, sudah jam Sembilan malam. Aku harus tidur, menyiapkan
energi untuk besok bertemu denganmu disekolah. Kamu sering bilang, kalau aku jangan
suka begadang, karena itu adalah kerjaannya Si Nyamuk. Takut dia marah terus frustasi,
bunuh diri, deh. Ha ha ha ha.

Perlahan ku pejamkan mataku secara lembut, sambil membayangkan kata yang


pernah dia ucapkan padaku waktu kami makan di Kedai Artha.

“Aku beruntung ketemu sama kamu di zaman modern ini.”

“Emang kenapa ?” tanyaku ke dia.

“Bayangin kalau ketemunya zaman Majapahit. Malam hari kalau aku mau ngabarin
kamu, harus nyari burung merpati dulu buat sampein surat. Ribet, deh, pokoknya.”
BAGIAN TIGA BELAS : YOGYAKARTA

Majalengka, 8 Asustus 2017, sekolahku mengadakan kegiatan Kunjungan Industri ke


Yogyakarta. Sebelum berangkat, semua siswa dikumpulan disekolah, di tiap ruangan
berbeda. Katanya ada sedikit pesan dari bapak Kepala Sekolah untuk kami. Kami
dikumpulkan dari sekitar jam setengah tujuh sore, dengan cuaca agak mendung dan banyak
genangan air di lapangan upacara, bekas hujan tadi siang.

Sore itu aku diantar oleh Ka Ifan menggunakan motor CB streetfire nya. Dia juga mau
sekalian ketemu sama teman-temannya di alun-alun Majalengka.

Di ruangan, Pak Kepsek berpesan agar menjaga sopan santun jika sudah sampai ke
Yogyakarta. Karena bagaimanapun kita adalah tamu yang berkunjung kesana. Harus
menjaga sikap, bertingkah laku baik, jangan menjadi penjahat di tempat tinggal orang lain.

Aku setuju, bagaimanapun itu, kita hanyalah tamu yang datang untuk bertamu,
bukan untuk bertingkah seolah kita adalah pemilik wilayah itu, apalagi sampai mengakui
bahwa itu adalah rumah kita. Itu konyol.

Setelah Pak Kepsek menyampaikan khutbahnya, dan semua barang-barang sudah


siap, kami beranjak menuju bus yang sudah ditentukan oleh pihak panitia.

Kami berangkat dari Majalengka pukul delapan waktu setempat, dengan


menggunakan bus yang sudah disewa oleh pihak sekolah.

Waktu itu, ada sekitar delapan bus yang disewa oleh pihak sekolah untuk mengantar
semua siswa angkatanku. Satu bus diisi oleh dua kelas, berbeda jurusan. Laki-laki dan
perempuan dicampur, dengan guru juga.

Kelasku kebagian di bus nomor tujuh, satu bus dengan siswa yang satu kelasnya
adalah laki-laki semua. Aku duduk bertiga dengan Lisa dan Saras, dikursi nomor empat dari
depan. Yang duduk dibelakangku, ada Derin, Rani dan Vika. Sementara Didepanku, ada
Debby, Dina dan Putri.

Di bus kami juga ada lima orang guru, yaitu Pak Gugum sebagai wakil kesiswaan, Pak
Saleh, Bu Vina, Bu Siti dan Bu Nur sebagai wali kelasku. Untuk guru-guru, mereka duduk
didepan, dekat pak supir yang sedang bekerja, menyetir mobil supaya sampai ke Yogya.
“Si Rama di bus berapa, Ra ?” tanya Saras padaku, sambil makan ciki.

“Kayaknya di bus satu deh,” jawabku sambil makan ciki Taro.

“Bus Widia tea ?” tanya Lisa.

“Iya.”

Suasana bus sangat ramai dengan suara obrolan dari tiap kelompok masing-masing.
Disana, di bus itu, ada yang udah tidur dari semenjak tadi berangkat, ada juga yang lagi
sibuk telponan dengan pacarnya, ada juga yang lagi dengerin musik pake headset miliki
temannya. Pokonya ramai, deh. Asli, aku gak bohong.

Bus berjalan melewati jalan Desa Kutamanggu yang lurus terus menuju daerah
Sukaraja dan kemudian ke Jatiwangi.

***

Saat sampai didaerah Jatiwangi, tepatnya di depan Toko Koja dekat alun-alun Sutawangi,
Rama mengirim pesan lewat Whatsapp. Dia bilang, dulu di alun-alun Sutawangi itu ramai
dengan banyak interaksi para penonton konser, tapi sekarang sepi, karena lagi gak ada
konser. Aku hanya senyum membaca pesan darinya.

Memang benar yang dikatakan oleh Rama, bahwa di alun-alun Sutawangi selalu
ramai jika sedang ada konser. Meskipun aku gak tahu secara detail tentang itu, tapi
sedikitnya aku tahu dari teman-temanku yang berasal dari Jatiwangi.

Dan juga, di daerah Jatiwangi masih terdapat banyak pabrik genteng yang masih
rutin memproduksi genteng sampai dengan saat ini. Meskipun sekarang-sekarang ini
jumlahnya kian berkurang.

Terhitung pada tahun 1992 pabrik genteng di Jatiwangi masih berjumlah sekitar
enam ratus tiga puluh jebor. Dan pada tahun 2017, menyusut menjadi seratus lima puluh
jebor. Segitu kira-kira jika tidak salah. Aku mendapatkan informasi itu saat berkunjung ke
café Jatiwangi Art Factory bersama Rama.

Tunngu, jebor yang kumaksud diatas jika dalam Bahasa Indonesia bermakna tempat
pembuatan. Gitu deh pokoknya.
Ditahun sekarang yaitu tahun 2019, jumlah pabrik genteng itu kembali menyusut.
Tapi aku gak tahu pasti tentang berapa jumlahnya sekarang, karena aku memang jarang
mengikuti perkembangan tentang Majalengka itu sendiri. Tentang alun-alun yang sudah
dimodif saja aku baru tahu saat pulang ke Majalengka. Terus, Skywalk GGM juga baru tahu
belum lama ini. Aduh maaf, aku terlalu sibuk di Bandung, hahaha. Semoga itu tidak menjadi
masalah bagimu. He he he he.

Akan kukasih tahu sedikit mengenai Jatiwangi. Ini hanya sebuah opini pribadi saja,
dengan berbekal informasi dari kawan-kawanku yang berasal dari sana. Dan mohon maaf
jika informasiku ini agak kurang tepat nantinya.

Jatiwangi adalah salah satu daerah yang tergabung di Kabupaten Majalengka.


Disana, membentang jalan raya utama yang tersambung sampai ke Cirebon. Oh ya, ada juga
lokasi yang diperuntukan untuk pedagang semacam bengkel otomotif atau lainnya, yaitu
Jatiwangi Square, yang dibangun di tanah bekas pabrik gula Jatiwangi zaman dulu.

Di Jatiwangi juga ada pasar Tradisional, yaitu pasar tradisional Ciborelang. Banyak
sekali pedagang disana, sekarang, pasar tradisional itu sudah semakin modern dengan
direnovasi oleh pemerintah. Bangunannya terlihat lebih rapi dan nampak segar. Aku pernah
beberapa kali berkunjung kesana diajak oleh Rama, seingatku, dulu kami membeli sayur-
sayuran dan daging ayam dari Wa Misoh.

Aku tahu Wa Misoh dari Rama. Katanya, Wa Misoh adalah langganan dari ayah
Rama. Nih, kukasih gambaran sedikit tentang Wa Misoh agar kamu gak penasaran. Jadi, Wa
Misoh itu adalah seorang perempuan berumur sekitar tiga puluh lima tahun. Dia penduduk
asli Desa Cideres. Dulu, Wa Misoh hanya berjualan daing ayam dari rumah ke rumah,
sebelum sekarang membuka toko di pasar Ciborelang.

Suaminya yaitu Mang Yaya, berjualan sate Ayam dan Kambing di daerah Cideres,
tidak jauh dari RSUD Cideres.

Diam-diam sebenarnya aku menyukai sikap rama yang terkesan ramah kepada setiap
orang yang dia temui. Siapapun itu, sudah pasti dia selalu melemparkan senyum. Termasuk
ke si teteh penjual lotek di daerah Wates, dan itu sempat membuatku cemburu.
“Kenapa diem, kan gak lagi amanat Pembina upacara.” tanya dia keaku sambil nyetir
motor.

Aku gak jawab masih diam tanpa kata.

“Sariawan lagi ?” dia nanya gitu karena sebelumnya aku pernah bersikap demikian
ke dia menyoal masalah tempo hari dengan si Cantik. Masih ingat gak ?

Setelah beberapa saat dia diam kemudian aku memberanikan diri untuk menjawab.

“Ngomong aja sana sama si teteh penjual lotek !” dengan suasana hatiku yang kesal
padanya dan dengan sedikit nada marah.

Enathlah, aku juga bingung mengapa setiap Rama akrab dengan perempuan lain
hatiku rasa gak tenang. Sejujurnya, itu bukanlah sikap yang kuinginkan. Aku terbiasa bodo
amat pada setiap hal yang menyangkut tentang mantan-mantanku sebelumnya, tapi kali ini
suasana hatinya agak berbeda, berbeda sampai tiga ratus delapan puluh derajat.

“Kamu cemburu ke si teteh tadi ?” katanya senyum.

“Bodo !”

“Kukasih tahu Ra, si teteh tadi masih saudara jauh ku. Ayah dia itu kakaknya bibiku.”

Mendengar penjelasan dari Rama, rasa bersalah dan maluku timbul. Wajahku pasti
memerah saat itu. Aaaahhh upnormal !

***

Oke, cukup, kita lanjut ke cerita perjalan menuju Yogyakarta.

Kalau tidak salah, waktu itu kami se-rombongan melalui jalan tol, yang masuk dari
pintu tol Sumberjaya. Selebihnya, aku kurang bisa mengingat karena saat itu aku tidur
didalam bus, tepat setelah bus memasuki pintu tol dan setelah diajak selfie oleh Si Saras.

Si Saras mah emang gitu. Dia sering mengabadikan setiap momen yang menurut dia
keren, dan lalu mempostingnya ke Instagram, yaitu aplikasi yang sering digunakan oleh
banyak manusia untuk menyimpan tiap momen didalam hidupnya, yang menurutku
terkesan Riya, Hahaha.
Aku kebangun sama getaran yang bersumber dari ponselku. Itu sudah jam satu pagi
waktu di jam tanganku. Dan saat itu mobil bus masih di jalan tol. Si Saras lagi tidur dengan
kepalanya dibungkus sweeter, dan si Lisa juga masih tidur dengan headset yang masih
terpasang di kupingnya, dengan mulutnya menganga.

Aku ngecek ponsel milikku, ternyata getaran yang tadi adalah SMS dari Mamah, yang
dikirim pada pukul 08.35. Mamah menulis, “Neng, dijalannya jangan lupa berdoa. Kalau
ngantuk tidur aja.” Seingatku itu pesannya. Dan langsung kubalas, “Iya mamah. Tadi Nara
tidur dari semenjak masuk tol.”

Dari kaca jendela mobil, aku melihat banyak mobil berseliweran, baik itu mobil
pribadi, bus, container atau mobil patroli TOL. Udara didalam mobil saat itu benar-benar
bercampur aduk, antara minyak wangi, minyak kayu putih, bau badan kami karena belum
mandi dan bau Fresh Care yang dipakai oleh sebagian siswa yang lain.

Sebenarnya, aku penasaran sedang apa Rama di busnya. Apakah dia sudah tidur ?
atau dia lagi apa ? ahhh, sungguh setiap pertanyaan itu memenuhi setiap sudut dari otakku.
Benar adanya jika ada yang bilang bahwa cinta adalah urusan perasaan, sementara rindu
adalah urusan tindakan.

Dengarlah, kuharap kamu paham tentang apa yang kuutarakan ini. Semoga.
Mungkin, kamu juga sering merasakan apa yang sedang aku rasakan disaat itu, tentang
seberapa ingin kamu bertemu dengan priamu. Meskipun, beberapa jam yang lalu kamu baru
saja bertemu dengannya.

Kamu bebas bilang bahwa sikapku berlebihan menyoal itu. Tapi itu terserah. Setiap
individu berhak memiliki pemikirannya masing-masing tentang sebuah perasaan. Termasuk
aku, perempuan yang bernama Nara Sabina Mutahar, yang sedang rindu pada satu sosok
laki-laki yang aku cintai. Hahaha. Kuharap kau memaklumi tentang perasaanku ini, perasaan
yang seperti bisa mengontrol alam bawah sadarku.

Anda mungkin juga menyukai