Anda di halaman 1dari 28

Tugas Novel Bahasa

Indonesia

Noviera Ellsen
SMA Negeri 1 Wonogiri 23 / XII MIPA 3
Tahun Ajaran 2018/2019
Daftar Isi

20
Bab 1

Gadis Biasa
Ini aku. Sesosok gadis biasa yang berkepribadian sangat biasa. Gadis biasa yang
tinggal di tempat yang biasa, dikelilingi orang-orang biasa. Sungguh tak ada yang spesial.
Aku tak tahu mengapa kisahku bisa termaktub dalam huruf-huruf legam ini. Kecuali aku
adalah orang terpandang atau apalah yang biasa terpatri kisahnya dalam kerangka biografi.

Kini kau tahu aku adalah seorang pesimistik.

Jangan kau hiraukan perkataanku tadi. Sampai di mana kita? Oh iya, aku belum
memperkenalkan diriku. Hai, aku merupakan manusia yang ditiupkan arwahnya ke dalam
raga yang tinggal di Wonogiri. Aku lahir ke dunia yang mulai menggelap sambil membawa
harapan seterang matahari milik kedua orangtuaku. Ya, matahari merupakan ayahku dan
cahaya merupakan ibuku. Kau mungkin bingung. Carilah nama lain matahari dan cahaya,
maka kau akan tahu nama kedua orangtuaku. Tak mungkin aku harus memberitahumu semua
hal mengenai diriku.

Aku merupakan seorang siswi SMA Negeri 1 Wonogiri. Bergengsi, kan? Yah, bisa
dibilang begitu. Jangan menganggapku arogan, bukan sekolah yang aku banggakan,
melainkan ilmunya. Untuk apa sekolah bergengsi jika ilmunya kosong?

Penampilan sehari-hariku tidaklah menyakiti pandangan makhluk lain. Karena aku


muslimah, aku berusaha menutupi aurat semaksimal mungkin. Aku memakai jilbab, pakaian
lengan panjang, dan bawahan yang pantas. Benar-benar biasa. Kuakui aku bukanlah
seseorang yang terlalu fanatik dengan fesyen. Untuk apa? Yang penting diriku nyaman
memakainya.

Kegiatan sehari-hariku juga biasa. Bangun pagi, beribadah, mandi, makan, sekolah,
les, mengerjakan pr dan belajar untuk ulangan, serta tidur. Itu semua selalu kuulangi setiap
hari. Capek? Jelas. Tapi mau bagaimana lagi. Jika aku tak mengikuti semua rutinitas itu,
jangan harap masa depanku akan terjamin. Ya, semua ini tentang nilai, pengetahuan nomor
dua. Jangan membuatku tertawa.

Kini kau tahu aku seorang yang ironis.

20
Hobiku tidak terlalu spesifik dan tidak kulakoni dengan serius. Aku suka membaca,
mendengarkan lagu dan menyanyikannya, bermalas-malasan tentu saja, dan membaca teori-
teori yang kadang aku sendiri susah untuk memahami. Aku merupakan seseorang yang keras
kepala. Aku tahu ada banyak materi pelajaran sekolah yang belum kupahami tetapi aku malah
asyik mempelajari hal di luar materi sekolah. Ya, aku hanya mempelajari sesuatu yang aku
sukai. Tapi jika aku sudah mempelajarinya, aku akan mempelajarinya secara mendalam.
Bahkan ada yang kumulai sejak aku sekolah dasar dan hingga kini masih kuselami.

Kau mau tahu teori apa saja itu? Percayalah, kau tidak akan suka.

Teori penciptaan alam semesta, teori konspirasi, peradaban kuno, dialek Britania Raya
dan Amerika Serikat, sedikit teologi, sedikit anatomi serta penyakit fisik dan kejiwaan
(gangguan mental), perbandingan agama, dan saintis versus dogmatis. Jangan kau pikirkan ini
semua, berat. Aku saja ingin menghentikan pemikiran ini karena memberatkan otak, haha.
Aku ingin menitikberatkan pemikiranku ke materi pelajaran di sekolah sebagai loncatan
pertama.

Aku bukanlah seorang yang sangat alim, religius, dan lain sebagainya. Aku hanyalah
manusia biasa yang dipeluk oleh dosa. Tetapi aku juga bukan atheis, agnostik, nihilis, apalagi
satanis. Aku masih mengimani Tuhan sebagai penciptaku karena Dialah pembuat apa yang
tiada menjadi ada, bukan sekedar omongan kosong evolusi yang digembar-gemborkan
pengikut Darwin yang bahkan Darwin mengakui bahwa teorinya rumpang. Tetapi perlu
dicatat, aku adalah seorang islam tasawuf modern, yakni muslim yang berpikiran saintis
mengenai ciptaan Tuhan sambil memuji keagungan-Nya atas penciptaan alam semesta secara
logika.

Walau aku berpikiran secara saintis dan mengedepankan logika, bukan berarti aku
mengesampingkan keadaan non logis. Sebuah dunia akan mencapai keseimbangannya jika
ada dua sisi. Aku melihat sisi logisnya dan aku merasakan sisi non logisnya. Kau bingung apa
maksudku? Nanti kau akan mengetahuinya.

Ah, aku jadi menyimpang dari bahasan semula. Salam kenal sekali lagi dariku.
Seorang gadis biasa, bermata kecil berwarna cokelat gelap dan berlapis lensa minus.
Orangtuaku menyematkan nama Noviera Ellsen kepadaku. November Rain (hujan di bulan
November) pukul empat lebih sepuluh menit di sore hari. Gadis biasa yang mencari kata biasa

20
di dalam lautan ketidakbiasaan, terasingkan dari kebiasaan lingkungannya yang biasa. Aku
akan menceritakan kisah hidupku kepadamu, kawan, di lembar-lembar putih ini.

20
Bab 2

Kontradiksi Satu dari ‘Biasa’


1 Ramadan 1422 H. 16 November 2001. Saat itulah aku terlahir di dunia yang kejam,
meronta dan menangis. Keluargaku menyambut ketelanjanganku itu dengan senyuman. Yang
dapat kulakukan hanyalah menangis tanpa air mata. Ya, air mata bayi baru terbentuk tiga
bulan setelah kelahirannya. Kurasa, aku menangis karena meratapi kehidupanku yang kelak
akan gelap seperti ini, hahaha.

Sesungguhnya aku tidak tahu apa yang harus kuceritakan saat aku masih bayi dulu.
Aku saja tidak bisa mengingatnya. Hanya sedikit sempalan kisah yang dialirkan ke telingaku.
Salah satunya adalah kisahku yang didatangi oleh nyawa yang tak memiliki raganya. Konon,
kata orangtuaku, aku yang masih merah tengah tidur pulas. Tanpa disangka-sangka, ada sosok
yang meminta untuk dapat tidur di sebelahku. Dia meminta izin ayah kandungku.

“Tidak, kalau kamu ingin tidur, jangan di sebelah anakku. Tidurlah di sebelahku,”
tolak ayahku tegas. Maka sosok itu pun menurut dan tidak jadi tidur di sebelahku.

Itulah kontak kesekian kalinya keluargaku dengan sosok tak beraga itu, sekaligus
kontak pertamaku sebagai bayi merah yang tak mengerti apa-apa dan ternasabkan untuk
berkenalan dengan sosok-sosok tak beraga lainnya.

---

Aku menginjak usia tiga tahun. Aku termasuk anak yang cepat belajar. Kakekku
membelikanku majalah anak setiap kali beliau pulang kerja dan sampai sekarang sudah
bertumpuk-tumpuk di rak buku. Hal inilah yang membuatku bisa membaca di usia tiga tahun.
Buku habis kubaca, aku mulai beralih ke kotak kaca canggih yang membuatku dapat
mengoperasikan permainan. Komputer. Aku menguasai benda itu saat umurku tiga setengah
tahun, kebanyakan hanya otodidak. Pamanku yang biasanya mengoperasikan benda ajaib itu
pun hanya mengajariku sedikit. Selain memainkan permainan, aku juga berlatih mengetik.

Selain itu, netraku juga mulai terbangun. Aku membuatt seluruh keluargaku ketakutan
selama dua minggu. Aku terus-menerus menunjuki kaca jendela dan apapun itu yang terlihat
di malam hari. Aku sendiri tidak ingat akan hal ini. Keluargaku yang memberitahuku tentang
ini ketika aku sudah besar. Kata mereka, logatku sampai berubah. Aku yang tak pernah cadel,

20
mendadak tak bisa mengucapkan huruf “r” selama dua minggu itu. Namun, selepas itu,
keadaanku normal lagi.

Tentu saja semua kemampuan itu harus dibayar lumayan mahal. Aku terlambat
berjalan. Baru sekitar pertengahan dua sampai tiga tahun aku bisa berjalan. Itu pun harus
dipaksa dulu, seperti mitos dipukul lutunya dengan belut. Haha, aneh sekali.

---

Aku mulai bersekolah saat umurku tiga setengah tahun, mendekati empat tahun.
Alasannya sederhana. Aku melihat tetanggaku bersekolah lalu aku ingin sekolah. Sungguh
permintaan naif dari bocah yang belum mengerti akan kerasnya dunia yang memuja kertas
bertinta.

Orangtuaku pun menyekolahkanku di taman kanak-kanak. Aku diberi dua pilihan


antara TK satu dan lainnya. Yang sampai sekarang otakku tak mampu mencerna adalah,
bagaimana mungkin saat itu aku menolak bersekolah di sebuah TK dengan alasan yang aneh.

“Tidak mau. TK itu banyak setannya,” demikian ujarku saat itu. Kali ini, aku
mengingatnya dengan jelas, betapa aku tidak ingin bersekolah di sebuah TK karena TK itu
mempunyai banyak nyawa tak beraga. Belakangan, aku baru mengetahuinya dari teman-
temanku yang dulunya bersekolah di TK itu jika bangunan TK itu memanglah membuat bulu
kuduk berdiri tegak.

Aku menjalani kehidupan masa kanak-kanakku dengan sedikit tingkah. Kurasa aku
mempunyai bakat pendiam sejak kecil. Kau tahu, kan, ada semacam perlombaan ‘siapa yang
paling tenang’ di akhir pelajaran untuk menentukan siapa yang pulang terlebih dahulu. Aku
tak perlu susah-susah menjaga sikapku. Aku selalu keluar kelas paling pertama. Tapi tolong,
jangan sebut diriku apatis, intoleran, dan antisosial. Sungguh, kejiwaanku masih normal.

Sayangnya, di usiaku yang masih seumur jagung, aku harus merasakan jarum infus
yang mengoyak dagingku, mencari pembuluh darah. Ini bermula saat darahku menjadi
minuman si Aedes aegypti. Aku berangsur-angsur lemas dan bercak merah terlihat di sekujur
tubuhku. Diriku yang memang aslinya mudah mimisan, kini lebih sering mengalaminya. Ya,
aku terserang demam berdarah. Aku sudah tak dapat mengangkat tanganku saat aku
menyinggahi rumah sakit. Aku masih ingat keadaan ketika aku hendak dipasangi infusnya.

20
“Di dalam darah adik banyak semutnya. Ini mau diambil,” kata seorang perawat waktu
itu.

Memang benar, aku merasa sedikit kesemutan. Untungnya, arteriku cepat ditemukan.
Jadi, aku tak merasakan sakitnya koyakan jarum saat pembuluh tak kunjung menampakkan
dirinya.

Jadilah, aku menghabiskan beberapa hariku di rumah sakit. Percayalah, walau


kelihatannya enak – aku dimanjakan dengan makanan yang lezat – sehat itu lebih
menyenangkan. Tak ternilai harganya. Kesehatan juga merupakan berkah dari Tuhan.
Janganlah kau sekali-kali ingin merasakan sakit.

---

Ada juga kejadian saat kelasku berada di lantai dua. Aku mendadak sangat ingin
buang air kecil. Sementara itu, toilet hanya ada di lantai bawah. Aku pun memberanikan
meminta izin untuk buang air kecil kepada guruku.

“Bu Guru, saya ingin buang air kecil,” demikian kataku saat itu.

“Baik, silakan, hati-hati ya turunnya,” guruku memberi izin.

Tapi, tetap saja. Aku sudah bilang kepadamu, kan, jika aku anak yang tak banyak
tingkah. Sekadar menuruni tangga saja aku tak berani. Sebenarnya, nenekku yang kala itu
menungguiku, ada di lantai bawah. Namun, aku tetap saja tak berani karena banyaknya orang
yang ada di lantai bawah.

Aku ragu, bimbang, memegang besi pegangan tangga, mencengkeramnya kuat sambil
menahan agar aku tidak mengompol. Aduh, bagaimana ini, pikirku. Aku tak berani turun.
Aku pun juga tak berani mengatakan kepada guruku jika aku tak berani menuruni tangga.

Tanpa bisa kutahan lagi, rasa hangat akibat aliran air seni pun mengucur deras,
membanjiri lantai kelasku.

Aku sangat kebingungan, aku lupa bagaimana ekspresiku pada waktu itu. Guruku pun
memanggil nenekku yang berada di lantai bawah. Aku pun diajak guruku untuk pergi ke
ruang guru. Di sana, aku dipinjami rok cadangan walau warnanya berbeda dari rok yang
sekarang seharusnya kupakai. Waktu itu, aku tak terlalu memikirkan pandangan orang lain.

20
Jadi, kuterima saja roknya. Sampai sekarang, aku tak tahu bagaimana keadaan kelas yang
kuberi “hadiah” itu. Siapa saja yang membersihkannya, aku sungguh mengucapkan terima
kasih.

Tak ada banyak yang dapat kurangkai dari kisah masa kecilku. Jika kau mengharapkan
cerita masa prasekolah yang penuh dengan permainan, janganlah kau mengharapkan untaian
kisahku. Masa kecilku kebanyakan hanya kulalui di dalam rumah. Mengapa? Aku adalah
seorang yang mempunyai kelemahan di bidang kesehatan. Jika aku keluar rumah di sore hari,
aku akan sakit keesokan harinya.

Yah, maaf-maaf saja.

Tetapi, di sinilah bibit gejolak pertemanan mulai merambati tubuhku.

20
Bab 3

Kontradiksi Dua dari ‘Biasa’


Waktu terus merangkak, melatih sayapnya yang berkelepak untuk terbang. Seringan
bulu merpati, angin mengantarkanku menjadi seorang murid sekolah dasar. Seragam putih
dengan rok merah mulai kulirik-lirik saat toko pakaian kusinggahi. Seiring berjalannya waktu,
keadaan tubuhku mulai membaik. Aku bisa berlarian di siang sampai sore hari. Kebetulan saat
itu banyak bocah seumuranku. Jadilah aku mulai menjadi sosok yang ekstrover, tertawa
bersama teman-temanku.

Tak banyak juga yang kuingat dari masa sekolah dasar. Mungkin ingatan ini terlalu
letih untuk mengumpulkan kepingan memori yang telah terbakar oleh masa.

---

Kelas satu.

Tentu saja aku cemas. Aku akan bertemu banyak orang baru, kebanyakan lebih tua –
kau tahu, kakak kelas dengan segala stigma yang melekat – dan aku bukan orang yang mudah
akrab. Untunglah ibuku bekerja di sekolah dasarku sebagai guru. Kala itu, beliau mengajarkan
bahasa Inggris. Di kelas ini, aku mendapat seorang wali kelas yang tegas tapi sabar.

Ada beberapa hal yang kuingat semasa kelas satu. Di waktu inilah aku bertemu secara
langsung dengan manusia Kaukasoid, alien dengan kulitnya yang terlalu putih dan hidung
seperti penyihir. Oh, jangan lupakan rambut mereka yang seolah menduplikasi gen dari
rambut jagung. Selama lima setengah tahun aku hidup di dunia, saat itulah aku pertama
melihatnya. Sesosok wanita tinggi besar dengan mata terang, persis bangsa Aria yang
diunggulkan pasukan Jerman saat Perang Dunia II.

Aku menatapnya. Seluruh kelas menatapnya. Aku lupa nama wanita ini, yang kuingat
dia berasal dari entah Britania Raya atau Skandinavia. Wanita itu bersama suami wali
kelasku. Suami wali kelasku merupakan seorang yang lihai berbahasa Inggris dan beliau
sering berkomunikasi dengan alien Kaukasoid seperti ini.

Di sinilah mungkin keinginanku untuk berbahasa Inggris dengan lancar mulai meluap.
Aku masih ingat wanita itu membagikan buku tulis untuk seisi kelas. Aku mendapatkan buku

20
tulis bersampul Pinocchio (Pinokio) – dongeng tentang sesosok patung kayu yang hidup dan
hidungnya yang memanjang ketika ia berbohong – dengan tulisan berbahasa Inggris yang
menghiasi sampulnya. Aku sangat terpesona. Mulai saat itu, aku bertekad mendalami bahasa
Inggris. Entah bagaimana caranya.

Ada lagi hal yang kuingat. Seorang teman sekelasku merupakan anak yang sangat
aktif. Terlalu aktif, jika aku boleh menyebut. Suatu hari, wali kelasku tersebut jengkel dengan
kelakuannya yang selalu berkelana memutari seisi dalam kelas. Kau tebak, apa yang
dilakukan wali kelasku tersebut?

Beliau mengikat temanku agar tetap duduk di kursi dengan tali yang biasa digunakan
untuk mengikat kaki sapi dan kambing yang hendak dikurbankan. Kasar? Tidak. Itu lucu.
Semacam dark joke menurutku.

Kau sekarang paham aku seorang yang memahami apa itu kelucuan di atas
penghinaan.

Kau pasti tahu, di setiap sekolah dasar, ada saja cerita tentang geng pertemanan bocah.
Aku pun terlibat di dalamnya. Bukan sebagai pemimpin, tentunya. Hal ini akan berlarut larut
sampai kelas lima atau enam nanti.

---

Kelas dua.

Tingkatanku bertambah satu. Aku mempunyai adik kelas! Jangan kau pikir aku
gembira dengan adanya adik kelas. Aku tak peduli. Bahkan, sampai sekarang aku tidak hapal
siapa saja adik-adik kelasku saat sekolah dasar. Padahal, aku bukan seorang yang apatis dan
antisosial. Aku hanya tidak bisa mengingatnya. Entahlah kenapa.

Wali kelasku sekarang berbeda dengan yang dulu. Wali kelas dua lebih tegas dan
galak, dengan suara yang keras dan membahana. Beliau seorang wanita yang keras. Tak
jarang, murid-murid yang nakal beliau beri hukuman. Misalnya, murid yang tidak
mengerjakan pekerjaan rumahnya akan disuruh lari memutari lapangan, berdiri dengan satu
kaki, dan lain-lainnya.

Jangan kau pikir aku lolos dari semua hukuman itu dengan mudah, semudah
memejamkan mata di kala mengantuk. Aku pernah lupa mengerjakan PR. Pagi hari aku

20
berangkat sekolah seperti biasa ketika temanku bertanya bagaimana keadaan PR milikku. Aku
pun kaget dan memeriksa bukuku.

Kau tahu, seorang gadis muda kelas dua sekolah dasar mendapati dirinya belum
mengerjakan PR sementara sang wali yang tegas menghadangnya di masa depan. Maka aku
pun menangis sejadi-jadinya.

Klise. Aku kadang terbahak saat mengingat momen ini. Masa sekolah dasar memang
masa yang paling suci selama aku bersekolah.

Kontan saja aku mengerjakan PR itu dengan gugup. Kalau tidak salah, itu matematika.
Akhirnya, keadaan mulai terkendali. PR pun selesai dan aku meloloskan diri dari terkaman
hukuman wali kelasku itu.

Oh iya, di jenjang inilah aku mulai berjalan kaki sendirian ke sekolah. Saat kelas satu,
aku selalu berjalan kaki bersama ibuku. Saat aku berjalan kaki, aku teringat sekali. Hujan baru
saja mengguyurkan air matanya, menjadikan lumut-lumut melapisi semen dengan rakusnya.
Jalanan menjadi licin. Tepat sebelum gerbang belakang sekolah dasar – tempat aku biasa
memotong jalan – adalah turunan yang sangat curam. Bahkan ketika kau memakai sepatu
paling anti selip pun, jalanan itu masih berbahaya. Kau tahu apa yang menambah
keseramannya? Di tepian jalan, kanan dan kiri, terdapat masing-masing dua ekor anjing.
Artinya, ada empat ekor anjing yang menyambut perjalananku. Kuberi tahu, aku bukan
seorang penyayang binatang dan bukan pula orang yang bisa menghadapi binatang dengan
benar. Peliharaanku dulu – arwana, kelinci, hamster, dan lainnya – mati seluruhnya.

Ingin rasanya kaki ini berlari. Tetapi otakku melarangnya. Jika aku berlari, anjing-
anjing itu akan mengerjarku. Belum lagi jika aku terpeleset dan jatuh. Berteriak pun juga
salah. Rumah di dekat tempat aku membeku didiami oleh orang yang (maaf) terganggu
kejiwaannya. Aku tak mau memperpanjang urusan jika aku membuatnya terganggu oleh
teriakanku.

Di saat kritis ini, aku berpacu dengan waktu. Mata hewan-hewan ini sungguh
membuatku jengah. Jangan sampai mereka mendekatiku. Sementara itu, bel masuk sekolah
semakin merambat mendekat. Kakiku masih membeku. Akhirnya kuputuskan sesuatu.

Aku akan tetap berjalan melewati jalan turunan tajam dengan anjing-anjing itu
melihatiku. Dengan mantap kulangkahkan kakiku melewati mereka sambil berdoa. Tolong

20
jangan mengerjarku, pikirku. Aku berjalan secara perlahan, kurasa siput berkesempatan
memenangkan pertandingan. Napasku tak tentu, ingin menangis rasanya. Rasanya bagai
berjalan di siratal mustaqim, melewati rambut terbelah tujuh.

Tebak apa yang terjadi akhirnya. Aku berhasil melewati mereka! Segera setelah
gagang pintu belakang sekolah berhasil kusalami, aku mempercepat langkahku, melarikan diri
dari mata-mata lapar di belakangku. Aku selamat.

Sementara itu, kisah geng pertemanan masih berlanjut. Belum pas rasanya jika
kuceritakan karena belum ada konflik yang berarti.

---

Kelas tiga.

Apa ya, yang kuingat dari masa kelas tiga? Tak banyak. Aku sempat berganti wali
kelas waktu itu. Tak ada yang berarti. Di jenjang ini aku juga mengikuti beberapa lomba,
misalnya lomba menyanyi. Jangan kau tanya kenapa aku yang dipilih, aku juga tidak tahu.
Aku tak bisa bernyanyi sama sekali pada waktu itu.

Sementara itu, geng pertemanan di mana aku terlibat di dalamnya, mulai meluas.
Pemimpinnya, sangat berkuasa. Mungkin dia menerapkan aturan monarki Kerajaan Inggris,
aku juga tak tahu. Dia menetapkan nama panggilan kepada kami – para kacung setia yang
selalu berjalan di belakangnya – dengan seenak pemikirannya.

Setitik nuraniku mulai berontak. Tapi apa, sih, yang bisa dilakukan oleh anak kelas
tiga yang terlalu polos untuk merencanakan balas dendam? Jadi, aku masih menjalaninya
sampai kelas lima.

---

Kelas empat.

Tidak banyak juga yang kuingat di kelas empat. Wali kelasku kali ini juga tegas dan
galak, tak jauh berbeda dengan wali kelasku di kelas dua. Beliau suka memakan permen mint
herbal. Kuakui memang rasanya enak.

Satu-persatu temanku mulai beranjak “dewasa”. Kau tahu, kan, kegiatan klise seperti
pacaran. Entah kenapa aku tidak menemukan getaran apa pun. Pacaran bukan gayaku.

20
Netraku yang menatap mereka berduaan sebentar, putus sebentar kemudian, membuatku jijik.
Bagaimana mungkin mereka yang belum dewasa secara mental bisa menghadapi gelora cinta
yang seharusnya belum mereka rasakan? Salahkan semua acara televisi yang memengaruhi
mereka.

Sifat menghujatku mulai terlihat. Ketika itu, kakak kelas sangat ditakuti. Kebanyakan
teman satu gengku malah memacari mereka. Aku mulai gila. Sebisa mungkin aku tidak mau
mencampuri apa pun itu yang namanya pacar dan cinta. Sayangnya, Dewi Fortuna
membenciku. Saat pulang sekolah, aku dihadang oleh kakak kelas perempuan yang penasaran
dengan “kisah cinta” teman geng ku dan pasangan mereka.

Tak ada pilihan lain, bukan? Dengan rasa sebodo amat kuceritakan apa yang
kuketahui. Biarlah, itu tak menjadi urusanku. Siapa suruh mereka berdelusi tentang cinta saat
hipotalamus mereka bahkan belum siap mengirim sinyal perasaan berwujud dopamin ke
dalam sistem limbik. Memang mereka pikir, cinta itu hanya dari hati saja? Lalu apa guna
Nerve Growth Factor (faktor pertumbuhan saraf) hasil aktivasi dopamin dan serotonin?
Melelahkan.

Tambah lagi satu fakta tentangku. Logic comes first before feeling (logika datang
sebelum perasaan) adalah prinsip yang kupegang teguh.

Seiring dengan itu, bibit perpecahan mulai nampak di antara anggota geng. Aku
sendiri memilih bermain dalam bayangan, mengikuti apa kemauan mereka selama itu tidak
menggangguku. Tentu saja, aku bukanlah orang yang pasrah.

---

Kelas lima.

Tak terasa setahun lagi aku lulus dari sekolah dasar. Menyiapkan bahan untuk
memenuhi kapasitas otak sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Tetapi, jangan salah. Waktu
itu, aku sangat santai dalam menjalaninya. Kehidupan sekolah dasar tak pernah membuatku
stres dan kelelahan seperti sekarang.

Sekarang aku akan menceritakan titik puncak perpecahan geng persahabatan ini.
Semuanya dimulai dari sang pemimpin yang pingsan saat menjadi dirijen ketika upacara
bendera. Banyak orang menilai dan membicarakan bahwa gerakan orang itu saat pingsan

20
sangat tak natural. Ia seperti sudah bersiap-siap sebelum pingsan karena tangannya yang
menyangga tubuhnya sebelum pingsan sangat kentara terlihat.

Semenjak upacara selesai dan hari seterusnya, bahasan tentang insiden pingsan-yang-
sepertinya-disengaja itu masih hangat di bibir. Biar aku menerangkannya. Biasanya, terdapat
kubu yang pro dan kontra, bukan? Seperti kubu yang pro dengan naga Jabberwock dan Ratu
Merah dalam cerita Alice in Wonderland dan kubu kontranya yaitu Alice dan Ratu Putih. Ratu
Merah adalah sang pencipta insiden pingsan itu, orang yang memiliki pengaruh yang
membuat tanaman layu dan langit menggelap. Namun, Ratu Merah tak sadar akan
keberingasannya dan masih menganggap dia adalah makhluk paling menderita sejagad raya
karena Ratu Putih yang dianggap telah mengkhianatinya. Betapa naif yang membahayakan.

Aku mulai sedikit menyukai keadaan ini. Biarkan aku berperan sebagai Alice. Maka
aku pun mulai merancang pemberontakanku bersama teman-teman sekelasku yang juga
sangat membencinya. Semua, kecuali satu orang yang selalu berada di belakangnya selama
kami semua menjaga jarak. Tetapi, untuk apa meributkan satu Jabberwock saat pedang sudah
terasah? Maka aku dan teman-teman satu geng yang mulai jengah pun “mengkhianati” sang
pemimpin dari belakang, sampai akhirnya dia tak punya lagi kepala Jabberwock. Artinya, tak
ada lagi teman untuknya.

Kau pikir semua sudah selesai? Belum! Prajurit Ratu Merah, kartu as, belum keluar.
Dan sang pemimpin itu mengeluarkan kartu asnya. Dia sendiri. Dia berubah menjadi sosok
serupa hamba sahaya yang bermuram durja, seolah ditelan mentah-mentah oleh dunia yang
durjana. Kepala sekolah dan guru-guru pun menyadari perpecahan di masa sekolah dasar yang
penuh kenaifan. Kepala sekolah pun segera mengambil tindakan. Beliau meletakkan kami di
persidangan, meja kursi pesakitan, untuk menegakkan perdamaian. Ratu yang licik.

Kami semua ditanyai satu-persatu, alasan kenapa sang pemimpin dijauhi. Mungkin
karena beranggapan bahwa masalah anak kecil akan cepat selesai dalam sekali duduk, kepala
sekolah meminta kami berbaikan. Meski rasanya berat, akhirnya kami berbaikan juga. Yah,
hanya untuk sementara, sebelum kami kembali mengukur seberapa jauh jarak kami dari tubuh
sang pemimpin. Sampai sekarang pun, kami – terutama aku – masih menjaga jarak. Untuk apa
berteman dengan orang yang meracuni diri, hanya buang-buang waktu. Apakah belum
kubilang kalau dia juga suka memaksa orang lain memberikan sontekan di saat ujian? Aku
pun turut dia paksa.

20
Kau tahu aku bukan orang yang menuruti aturan umum. Jadi, kuberikan jawabannya.
Jawaban yang salah. Biar, biarkan dia menuai hasil kebodohannya. Aku tak peduli.

---

Oh, aku hampir melupakan sesuatu. Di kelas lima ini, ada semacam kelas tambahan
menari bagi siswa. Hampir semua siswa mengikutinya di sore hari. Aku juga tak menyia-
nyiakan kesempatan ini. Aku yang dulu aktif di segala bidang. Maka aku pun mengikuti kelas
menari dengan giat.

Suatu hari, ketika sedang asyik menari, tape recorder untuk kaset lagu berhenti
berputar dan berubah menjadi lagu campursari yang asing untuk anak-anak kelas lima sekolah
dasar. Aku sedikit menyadari apa yang terjadi tapi memilih untuk diam. Guru tariku tiba-tiba
berdiri. Tatapannya sangat marah dan melihat ke arah tape recorder. Kebekuan merajai
ruangan.

“Kamu jangan ganggu murid-murid saya!” seperti itulah kira-kira teriakan guruku.

Aku langsung memahami situasinya. Kau tahu, kan, apa maksudku. Sontak, tangisan
siswa – khususnya perempuan yang mudah panik karena perasaan mereka yang mudah
berkecamuk, haha – memenuhi ruangan, seakan sanggup memecahkan gendang telinga.
Mereka ketakutan akibat peristiwa spiritual yang kuanggap biasa. Mungkin, ini tak biasa
untuk mereka, aku juga kurang paham. Semua yang kulihat hanyalah anak yang iseng
memutar tape recorder. Kau tahu, apa yang paling membuatku jijik? Para pasangan berumur
sepuluh sampai sebelas tahun yang berpelukan erat sembari saling menenangkan diri. Jika aku
menjadi arwah tak bertubuh itu, akan kulempar mereka ke dalam sumur.

Setelah keadaan tenang, guru tariku menjelaskan sesuatu. Sang pengganggu itu adalah
gadis kecil yang menunggui pohon petai di sekolahku. Dia berpakaian putih polos dan bersih.
Aku mengangguk-angguk mengerti sementara teman-temanku masih ketakutan.

Jangan sekali-kali kau menganggapku mengidap skizofrenia.

---

Kelas enam.

20
Ujian nasional semakin dekat. Untunglah tak ada masalah yang berarti selama aku
menghadapi kelas enam ini. Ratu Merah sudah kehilangan Jabberwock, keadaan kelas pun
seirama dengan alunan angin yang berembus mesra.

Wali kelasku di kelas ini merupakan guru baru, pindahan. Beliau merupakan wali
kelas laki-laki pertamaku, atau kami seangkatan lebih tepatnya. Sebab, sebelumnya guru laki-
laki di sekolah kami hanyalah guru agama. Bukankah ini sebuah kemajuan? Kebetulan juga
wali kelasku juga biasa mengampu kelas enam di sekolah sebelumnya. Jadi, beliau sudah
berpengalaman.

Kelas enam kulalui dengan damai, tanpa konflik di sekolah. Aku memfokuskan diri
pada ujian nasional, bagaimana aku mendapat ilmu yang baik – dan nilai yang baik tentunya –
dan bagaimana aku menetralisasi gangguan yang mungkin bisa menggoyahkan konsentrasiku.
Aku pun mengambil les untuk memperdalam pengetahuanku.

Rupanya, di tempat les, aku harus menghadapi bullying. Aksi ini dipelopori oleh
seorang siswa yang berbeda kelas denganku dan aku sama sekali tidak tahu kenapa otak
cemerlang anak itu mempunyai pikiran untuk mem-bully bocah naif dan biasa ini. Wujud
bully-annya adalah verbal. Dia mengatakan julukan yang aneh dan tak masuk akal untukku.
Aku sering menangis sebelum berangkat les. Bahkan, aku berani bertaruh dialah yang
menyembunyikan sandalku ketika aku les. Aku begitu kebingungan, sampai teman-teman
sekelasku di tempat les ikut mencarikan sandalku. Biadab.

Lama-kelamaan, aku memutuskan untuk tak memedulikannya lagi. Semakin aku


terganggu, maka dia akan semakin senang, begitu pikirku. Maka aku pun cuek saja dan
bersikap sinis. Hingga pada suatu hari, dia berhenti mengolokku. Sampai sekarang aku tak
mengerti apa alasan dia menghentikan ucapan sampahnya itu. Bersamaan dengan berhentinya
serapahan itu, dia selalu memandangku penuh rasa takut dan segan. Aku heran tapi tak ambil
pusing. Hari-hari les pun jadi lebih tenang setelahnya.

Kuakui dia pintar. Namun, apa gunanya kecerdasan yang tinggi jika kau tak dapat
memberikan kesan yang baik untuk sesamamu? Kau juga tak mungkin hidup sendirian.
Bahkan, kau akan tetap membutuhkan orang yang kau benci. Karena itu, imbangilah otakmu
dengan mulut dan tanganmu. Jangan sampai menyesal di kemudian hari.

20
Akhirnya, ujian kelulusan memberikan hasilnya. Alhamdulillah, nilaiku sangat
memuaskan. Bahkan, aku tak perlu cemas dalam menentukan sekolah menengah pertama
yang mau menerimaku. Aku percaya ini semua adalah hasil dari usaha dan doa yang tak jemu
kurangkai.

---

Oh iya, aku ingin mengucapkan sesuatu. Kesedihan melanda sekolahku ketika aku
kelas enam. Dua orang siswa meninggal karena sakit. Salah satu siswa adalah teman
sekelasku sendiri. Dia berjuang melawan lupus selama dua tahun. Keadaan tubuhnya sangat
memprihatinkan. Dia kurus kering, seakan tulang berbalut kulit. Dia adalah siswa yang
cerdas. Dalam masa sakitnya, dia tak pernah masuk lebih dari seminggu dan tak pernah absen
kurang dari hampir sebulan. Meski demikian, tak ada yang menghalanginya dari memahami
materi pelajaran. Bahkan, ia memperoleh hasil yang lebih baik daripada manusia yang belajar
tiap hari. Walau akhirnya, tepat saat latihan ujian nasional tingkat distrik, kabar duka
berembus dari rumahnya.

Kawan, kau sudah tenang di alam sana. Kau sudah berjuang dengan hebat. Aku
mengapresiasinya. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberimu kedudukan yang mulia di
sisi-Nya. Kau tak akan pernah kulupakan. Kau akan selalu menginspirasiku, menjadi
semangat hidupku dalam menjalani kehidupan. Kau telah berusaha semaksimal mungkin
sampai Sanga Zabaniyah memegang tanganmu untuk menuju kehidupan yang abadi.

Doaku untukmu, temanku.

20
Bab 4

Kontradiksi Tiga dari ‘Biasa’


Aku pun duduk di kelas tujuh sekolah menengah pertama. Perlu kusebutkan namanya?
Tidak. Kau pasti tahu sekolah mana yang kumaksud. Aku tak memiliki banyak masalah
selama bersekolah di sini. Tak pernah aku dipanggil guru bimbingan konseling kecuali saat
aku mempunyai tugas khusus atau lomba.

Kelas tujuh.

Tak ada yang spesifik mengenai aku di kelas tujuh. Mungkin, efek masih
terbungkamnya mulut karena tak ada yang kukenal. Ya, aku adalah satu-satunya manusia dari
sekolah dasarku yang terdampar di lautan tak dikenal ini. Aku seperti Christopher Columbus
yang terpisah dari awak kapalnya dan menemukan benua Amerika sendirian. Tentu saja suku
Indian yang aneh ini sulit untuk kuajak berkenalan.

Tak banyak memori yang terpatri dalam otak. Hampir tak ada konflik. Tetapi, ada
beberapa hal yang kuingat. Salah satunya adalah ketika aku dan teman-temanku sedang
istirahat menunggu dimulainya ekstrakulikuler wajib pramuka. Kami duduk di depan kelas 8I
yang tertutup dan kami yakin seribu persen tak ada manusia lain. Tiba-tiba, pintu bergetar
hebat dan lantai berasa digedor keras. Saat itu kami berada di lantai dua. Kontan saja kami
berlarian bagaikan semut yang dihapus tanda jalannya. Ternyata, setelah memberanikan diri,
kami membuka pintu kelas tersebut dan tak ada seekor tikus pun yang bersangkutan dengan
pintu. Tukang kebun mengatakan bahwa itu adalah penunggu di kelas tersebut.

Suatu ketidakpastian takdir yang lucu juga kualami. Kelasku, 7A, digabung dengan 7B
dan 7C jika aku tidak salah, dalam sebuah ruangan untuk mengikuti semacam seminar
tertentu, aku lupa seminar apa itu. Saat itu, kursi dipasangkan dua orang dalam satu meja. Aku
bersama salah satu temanku berada di belakang sesosok laki-laki yang sama sekali tidak
kukenal dan aku pun tak berminat mengenalnya. Temanku kehabisan isi bolpoinnya dan aku
tak dapat membantunya. Maka, temanku meminta pinjaman bolpoin dari sosok murid laki-
laki yang tak kupedulikan sama sekali itu. Murid laki-laki itu pun dengan cueknya
meminjamkan bolpoin ke temanku. Temanku berteriak perlahan – kau mengerti, kan,
maksudnya – sementara aku mengernyitkan dahi, tak mengerti sisi mana yang membuatnya

20
senang. Laki-laki itu tak begitu keren, menurutku. Sepertinya dia belum menyentuh pubertas.
Aku tak mengerti perasaan orang kebanyakan. Mereka aneh.

Kau tahu bagian yang paling lucu dari cerita ini? Aku dan si murid laki-laki aneh itu
hingga kini menjadi sahabat dekat. Benar-benar sahabat, tanpa campur tangan dopamin.
Semesta memang suka bercanda.

---

Kelas delapan.

Lagi-lagi aku masuk kelas unggulan, 8A. Sebenarnya aku tak begitu suka dengan kata
‘unggulan’. Memangnya kami ternak? Aku tak suka berjuang untuk hal yang tak kusukai.
Maklum, jiwa pemalas INTP begitu merasuk. Aku hanya mau mengikuti aturan yang kubuat
dan kusukai. Memang aku egois tapi perlu kau tahu Albert Einstein, Rene Descartes, dan
Isaac Newton sepemikiran denganku.

Di jenjang ini, aku mulai sedikit membuka diri lagi. Aku lumayan aktif dalam kegiatan
yang menguras tenaga. Pramuka, TUB-PBB, dan berbagai perlombaan akademik kuikuti.
Bahkan, aku bersemangat dalam mengikuti lomba antarkelas yang diselenggarakan sekolah
saat tanggal-tanggal penting. Aku sangat menikmati kelelahanku pada masa ini. Teman-
temanku pun bertambah dan jangkauan komunikasiku semakin luas.

Satu-satunya pertentangan batin yang kurasakan hanyalah ketika orangtua tunggalku


selama ini, ibuku, memilih pasangan hidup lagi. Tak baik rasanya jika aku menceritakan di
mana ayah kandungku. Intinya, saat itu, hidupku benar-benar dipenuhi kebimbangan. Aku
sudah cukup sulit membuat pertemanan baru, tak bisa kubayangkan sesulit apa membuat
anggota keluarga baru. Hampir setiap hari aku menangis dan akhirnya aku pasrah, menerima.
Kau tahu, siapa yang menjadi ayah tiriku? Beliau adalah wali kelasku saat kelas enam sekolah
dasar. Klise.

Di jenjang ini juga aku mengenal apa itu anime. Anime adalah animasi Jepang yang
diusung dengan tema 2D. Orang yang memperkenalkan hal ini kepadaku akan membawa
konflik batin yang begitu besar untukku di kelas sembilan, di mana aku kehilangan kata-kata
untuk menggambarkan perasaanku yang terguncang pada waktu itu.

---

20
Kelas sembilan.

Aku menjanjikanmu cerita tentang seseorang yang menciptakan konflik batin, kan?
Baiklah. Dia adalah sahabatku dan kami telah sekelas selama dua tahun, di kelas tujuh dan
delapan. Sayangnya, di kelas sembilan kami harus berpisah. Dia adalah gadis manis yang
sopan dan lemah lembut tapi kuat di saat yang sama. Pendiriannya teguh, agamanya kuat, dan
menurutku dia adalah simbol perempuan yang baik.

Transisi dari kelas delapan ke sembilan, dia sering mengeluh sakit perut. Sampai
meringis kesakitan dia mengaduh. Kami semua khawatir tapi dia selalu menguatkan
tubuhnya. Ternyata, dia menderita usus buntu. Kontan saja ia lalu dioperasi untuk
penghilangan penyakitnya itu. Operasi pun berjalan lancar. Kami kira begitu. Nyatanya, dia
semakin kesakitan. Bahkan, dia tak dapat masuk sekolah saat sudah kelas sembilan.

Suatu malam, dia mengaduh kesakitan. Saat itu jam menunjukkan pukul tiga pagi.
Sahabatku itu mengeluh kepada ayahnya bahwa dia kesakitan. Ayahnya dengan sigap
membawanya ke mobil untuk memeriksakan keadaannya ke rumah sakit umum daerah.
Sayangnya, takdir tak mau menggubris ratapan para rakyat yang tak berdaya. Ketika mobil
baru sampai setengah perjalanan, temanku tersebut mengembuskan napas terakhirnya, napas
pembebasannya dari segala penderitaan dunia.

Pagi harinya, berita duka pun dikumandangkan. Aku terhenyak tak percaya. Teman-
teman yang lain telah bersimbah air mata ketika diriku bertahan dalam kebekuan yang
menjalari dan membekukan air mataku. Saat itu, hatiku benar-benar kosong. Aku tak tahu
reaksi apa yang harus kutunjukkan. Aku kehilangan orang yang hebat lagi. Lagu Victims dari
band Avenged Sevenfold memainkan iramanya dari dalam telingaku.

Surga untukmu, kawanku. Tuhan telah melipatgandakan pahala kebaikanmu seiring


rintihan doa yang kau panjatkan saat tubuhmu menyakitimu. Kau telah terbebas dari belenggu
rasa sakit yang menyesap darahmu perlahan. Kau takkan kulupakan.

---

Selama kelas sembilan, aku kian disibukkan oleh berbagai persiapan ujian nasional
dan perlombaan yang membuatku jarang menghadiri kelas. Paginya aku berada di kelas, siang
di perpustakaan untuk mendalami materi lomba, dan sore di tempat les untuk mengejar
ketertinggalan. Sekali lagi, aku menikmati proses ini. Aku tak merasa lelah sedikitpun.

20
Apalagi ketika aku menatap piala hasil pencapaianku sambil membayangkan saat-saat aku
dan rekan setimku menerima piala tersebut di depan lautan manusia.

Saking tak pernahnya aku berada di kelas, teman-teman sekelasku di 9B membuat


suatu candaan.

“Kau tak usah ke kelas saja, tempatmu bukan di sini,” ledek mereka. Aku hanya
tertawa. Candaan ironi mereka menunjukkan bahwa mereka peduli. Lebih baik saling
meledek daripada manis di depan.

Akhirnya, ujian nasional pun tiba. Sekolahku menggunakan sistem CBT (Computer
Based Test) atau tes yang menggunakan sistem komputer/elektronik. Saat itu, dua meja
digabungkan menjadi satu dengan dua komputer dan dua kursi. Kau tebak siapa yang ada di
sampingku. Ya, teman sekelasku, si murid laki-laki yang cuek di kelas tujuh. Dia kini menjadi
sahabatku. Mungkin, saking dekatnya, banyak yang mengira aku menyukainya. Hal ini sangat
lucu, betapa manusia tak pernah melihat kejadian yang sebenarnya. Kami mempunyai
kesamaan. Mata kami sama. Mungkin itulah yang menjadikan kami dekat.

Tak ada lagi konflik yang dibutuhkan. Setelah perpisahan sekolah menengah pertama,
aku lulus dengan hasil yang sangat memuaskan. Seperti sebelumnya, aku tak perlu cemas
menunggu pergeseran peringkat.

20
Bab 5

Kontradiksi Empat dari ‘Biasa’


Babak baru dimulai. Aku menduduki kelas sepuluh sekolah menengah atas yang kagi-
lagi merupakan sekolah favorit di daerahku. Sejujurnya, aku tidak terlalu membanggakan
status favorit atau hal lainnya. Status sekolah favorit hanya akan membuat warga sekolah
terlalu bangga dan arogan. Akui saja.

Kelas sepuluh.

Aku memilih memasuki jurusan MIPA, matematika dan ilmu pengetahuan alam. Lagi-
lagi aku hanya memilihnya berdasarkan stigma dan tuntutan masa depan, bukan berdasarkan
kesenanganku. Verbal adalah duniaku dan aku akan memasuki alam penuh angka. Permainan
baru akan segera dimulai.

Jurusan MIPA mengadakan tes untuk menyaring siswa dengan ‘kecerdasan istimewa’
yang aku percaya itu tak ada bedanya dengan kelas akselerasi yang telah ditutup. Hanya nama
yang berbeda. Aku mengikuti tes itu dan entah kenapa aku juga lolos masuk. Padahal, aku
sama sekali tak mempunyai impian lulus sekolah lebih cepat. Untunglah, kegelisahanku tak
mau menempel terlalu lama denganku. Dua kelas yang memuat ‘manusia pintar’ mengadakan
pengisian formulir untuk menyatakan kesetujuan mengikuti kelas empat semester. Tentu saja
aku memilih untuk mengikuti kelas normal enam semester. Aku tak mau mengempaskan
pernyataan orang-orang tentang masa yang paling indah selama sekolah.

Menurutku, aku tak cocok masuk kelas ini. Terlalu banyak tekanan dan pacuan
sementara aku bukanlah tipe orang yang suka mengikuti aturan yang ketat. Aku dipaksa
menjadi sosok yang tak kuinginkan. Rajin, giat belajar, dan sifat ‘baik’ lainnya. Sungguh, aku
kebalikan semua itu. Jadilah, aku tak nyaman berada di kelas itu dan akhirnya aku keluar dari
kelas tersebut di jenjang kelas sebelas. Bagi beberapa orang, mungkin ini adalah kegagalan.
Tetapi tidak untukku.

Aku menyukai kebebasan dan aturan yang berjalan bersamaku, bukan mengikatku.

20
Memang menyenangkan bersama orang-orang yang sama tanggapnya denganmu.
Namun, apa tantangannya jika kau bersama orang setengah robot? Aku membutuhkan lebih
banyak fleksibilitas, di mana aku dan teman-temanku bisa membuat kelas lebih
menyenangkan daripada sekadar meja bertabur kertas soal.

---

Kelas sebelas.

Aku harus memulai sosialisasi dari nol besar. Tak ada teman sekelasku yang lama
bersamaku. Jangan lupakan fakta bahwa aku keluar dari kelas cerdas istimewa. Menurutku,
bersosialisasi itu tidaklah susah, kau hanya perlu mendalami karakter orang lain dan membaur
dengan mereka. Tidak perlu membuat-buat suatu hal, itu akan terkesan aneh.

Kuberi tahu sesuatu. Aku mempunyai satu orang yang tidak terlalu kusukai.
Sebenarnya, aku menilai orang secara objektif. Aku tak menyukai sifatnya, bukan orangnya.
Akan tetapi, satu orang ini sungguh seperti tempat sampah sifat buruk menurutku. Egois,
apatis, tidak punya empati dan simpati, sombong, pembohong, tukang mengadu, dan sesosok
ratu drama. Aku bukanlah orang yang suka menghujat dari belakang maka aku tidak
menyukainya secara terang-terangan.

Ada beberapa hal yang sampai sekarang membuatku sangat kecewa – bukan marah
atau kesal, aku kecewa – dengannya. Seharusnya dia tidak memperlakukanku sebagai barang
mainannya. Perlu kau ketahui, aku sempat mempunyai masalah dengannya di tingkat sekolah
menengah pertama. Aku memaafkannya dan memberinya kesempatan kedua. Kukira sifatnya
akan berubah saat aku sekelas lagi dengannya. Ternyata tidak.

Aku bersama seorang temanku pernah membuat semacam cerita fiksi. Kami
mengunggahnya di suatu laman internet. Tak kusangka, orang yang tak kusukai itu mencari
ceritaku dan temanku itu lalu menghujatnya habis-habisan. Padahal, aku dan temanku tak
mencari api apa pun dengannya. Mengurusinya pun tak pernah. Jika dia tak menyukai cerita
kami, maka jangan membaca. Simpel.

Dia juga tukang mengadu. Sebelum diriku, sudah ada korbannya. Temannya menolak
berdekatan lagi dengannya karena jengah dengan sikapnya yang semaunya sendiri. Kau bisa

20
menebak apa yang kemudian terjadi. Temannya mendapat ancaman dari kekasihnya, paksaan
agar dia mau berteman dengan orang itu lagi.

Mengapa harus memaksakan pertemanan yang tak sehat? Seharusnya orang itu
melakukan introspeksi sebelum menghakimi dunia.

Aku tak ingin menggosip. Namun, konflik ini terlalu sayang untuk dilewatkan. Betapa
ada taring yang tersembunyi di balik gigi-gigi yang terkikir rata.

Suatu hari, aku mendapati penyakit asmaku kambuh. Kebetulan saat itu air
conditioner sedang mati jadi kelasku terpaksa menggunakan kipas angin yang ironisnya
berada di dekatku yang sedang tak enak badan. Aku pun berbisik sambil menahan sakit di
tenggorokan, meminta agar orang itu memindahkan arah kipas angin atau hal apalah yang
menolongku. Alih-alih membantuku yang sudah lemas, dia malah mengatakan sesuatu yang
tak masuk akal.

“Kamu pindah saja ke bangku belakang!” jawabnya dengan ketus.

Apa maksudnya? Tak ada bangku kosong tersisa. Kalau pun ada, bagaimana aku dapat
berjalan dengan benar ketika pasokan oksigen di paru-paru lebih sedikit dari yang biasanya?
Aneh. Belakangan aku baru tahu dari kakak kelas yang sering dia curhati. Dia mengeluhkan
tentang aku yang tak peduli dengan keadaannya ketika dia sakit flu, seminggu setelah aku
bertahan dari asma. Dia mengatakan bahwa aku sama sekali tak menanyainya tentang
sakitnya. Pernyataan yang tidak masuk akal. Dia sudah memiliki obat, masker, selempang
kertas, dan jaket yang membantu penyembuhannya waktu itu. Apalagi yang aku harus
sediakan? Aku bukan orang super romantis yang suka mengucapkan banyak kalimat ‘semoga
cepat sembuh’. Sungguh tidak sepadan dengan aku ketika asma menyerang. Tak ada obat, alat
bantu, apalagi jaket. Lalu, apa yang dia lakukan? Menyinisiku!

Dia bertindak selaku pemeran utama dalam sebuah cerita romansa. Dia adalah
protagonis wanita sementara kekasihnya adala protagonis pria. Dia memerankan sosok wanita
tak berdosa yang dijauhi semua orang karena keanehannya. Di tengah semua itu, ada satu pria
– kekasihnya – yang menolongnya keluar dari cemoohan. Akhirnya, semua orang
menyukainya dan dia benar-benar menjadi tokoh utama yang terkenal. Harapan yang terlalu
tinggi. Jika aku meletakkan pengambilan suara untuk menentukan siapa saja yang

20
menyukainya, aku yakin dia akan mendapat nol besar. Memang dia terkenal. Namun, dia
terkenal karena sifatnya yang hanya ingin didekati orang lain, bukan mendekati orang lain.
Dia pikir, dunia hanya sebatas khayalan kosongnya saja.

Karena aku bukan orang yang suka menusuk dari belakang, aku terang-terangan tidak
menyukainya. Sebenarnya, aku dan teman-temanku yang lain sudah berusaha mendekatinya,
menyadarkannya, dan menasihatinya. Dia mengangguk patuh dan hanya itu yang dia lakukan.
Tak ada perubahan yang berarti. Maka aku pun menyemprotkan kenyataan yang pahit ke
muka putih mulusnya itu. Aku tak ingin hidup di dalam drama romansa yang memuakkan jadi
kupecahkan layar kaca yang menangkup drama itu. Selanjutnya, aku mendapat kabar bahwa
dia menangis karena aku. Luar biasa, permainannya sebagai korban sungguh sempurna.

Aku tak peduli. Hal yang terpenting adalah aku bisa mengungkapkan perasaanku,
menjadi diriku sendiri, dan tidak menggunjingkannya dari belakang. Sampai sekarang, aku
tak pernah membicarakannya. Entahlah jika dia masih dendam padaku, yang penting aku
menyampaikan kejujuran mengenai sifatnya.

---

Kelas dua belas.

Sayap-sayap waktu makin tak terkendali kecepatan terbangnya. Waktu paling krisis
selama sekolah menengah atas akhirnya mencengkeram leherku. Setahun lagi aku
menjejakkan kaki di universitas. Aku belum memastikan universitas mana dan jurusan apa
yang hendak kupilih. Nilaiku yang naik turun mengajakku tertawa. Ini tidak lucu. Sepertinya
masih kemarin aku bermain bersama teman-temanku di sekolah dasar. Hari ini aku sudah
kelas dua belas. Apakah kecepatan cahaya sudah bertambah? Entahlah.

Tak ada konflik yang berarti di jenjang ini. Terlebih lagi, aku belum menyelesaikan
jenjangnya. Jadi, tak banyak yang dapat kuceritakan. Satu hal yang pasti, tingkat stresku
meningkat. Tekanan yang kuterima untuk memperbaiki nilai banyak sedikit mempermainkan
kondisi kesehatanku. Aku termasuk manusia yang dapat menahan rasa sakit sampai satu
waktu tertentu dan tumbang selama berhari-hari saat sakit itu tak bisa kutahan lagi. Aku baru
saja mengalaminya. Di kelas ini pula aku mengalami kondisi kebingungan dan khawatir tapi
bisa kuasumsikan itu bukan depresi, anxiety disorder (gangguan kecemasan), ataupun bipolar.

20
Hanya saja, konsentrasiku mudah pecah dan aku kelelahan saat tiba di rumah. Itu pun masih
banyak tugas meminta untuk kuselesaikan. Aku tahu itu semua untuk menunjang nilai rapor.
Aku sangat tahu. Meski begitu, keadaan ini menggerogoti kesadaranku perlahan. Aku menjadi
lebih tertutup dari dunia, selalu menghadapi layar Microsoft Word, PowerPoint, dan Excel.
Jangan lupakan kertas yang minta diperhatikan.

Aku mengira bahwa keadaan seperti ini bukanlah masalah serius. Sampai akhirnya,
aku membaca sebuah artikel yang menyatakan penelitian para psikolog tentang keadaan
mental siswa zaman sekarang setara dengan gangguan kecemasan yang dialami oleh pasien
rumah sakit jiwa era 1800-an.

Apakah ini wajar?

Aku berharap pemerintah segera menemukan metode belajar yang tepat agar kami –
atau setidaknya angkatan di bawahku – tidak merasakan gangguan jiwa ini. Semoga.

20
Bab 6

Kontradiksi Final dari ‘Biasa’


Kau telah menyingkap tali perjalanan waktuku. Retinamu telah menangkap bayangan
kisahku, konflik, dan kecacatan takdir. Aku sengaja tak memberikan nama tokoh karena apa
serunya mengikuti aturan permainan biasa? Bukankah dengan seperti ini, kau bisa
menciptakan nama tokohmu sendiri.

Tak banyak yang dapat kuungkapkan dari histori hidupku. Otakku terlalu lelah untuk
mengingatnya dan jariku terlalu sering mengomel kelelahan. Aku masih terus berkejaran
dengan waktu yang berkecamuk. Aku yakin, sebentar lagi sang waktu berubah menjadi badai
Katrina yang memporak-porandakan susunan keping nasib yang sedang kutata.

Yah, tak ada hal lain yang bisa kulakukan selain menikmati alunan sonata kehidupan
ini. Apa yang bisa kulakukan untuk mengubahnya? Hampir tak ada. Jadi, daripada kelelahan
karena berusaha mengubah arah kemudi takdir, lebih baik aku menikmati segala goncangan
yang ada di dalamnya sembari menempa keteguhan hati. Aku tahu, masa sekolah menengah
atas ini tak ada apa-apanya dibandingkan kuliah di universitas dan bekerja. Apalagi, jika
sudah menikah dan mempunyai keturunan. Aku tak mau membayangkan itu sekarang. Hal
yang harus kulakukan adalah berfokus pada masa sekarang demi masa depan yang secerah
alfa centauri.

Terima kasih karena sudah menyelami kisah tanpa romansaku. Aku tak akan
menceritakannya di sini karena menurutku hal seperti itu klise. Apa yang pergi akan
digantikan oleh yang datang. Lagipula, untuk apa bergelut dengan sesuatu yang tak pasti
ketika Tuhan sudah menyiapkan yang terbaik di lembaran daun-Nya? Ujungnya jelas,
berdosa.

Baik. Kau telah memperhatikan ceritaku. Sekarang, beri tahu aku, apakah kau sudah
mengenalku? Kuberi tahu, aku lebih suka jika kau tak memahamiku.

20

Anda mungkin juga menyukai