Anda di halaman 1dari 21

BAB III

TEORI DASAR
III.1 Batuan Induk
Secara umum, batuan induk adalah batuan sedimen yang berbutir halus yang
mampu menghasilkan ataupun telah menghasilkan hidrokarbon. Waples (1985) membuat
pengertian tentang batuan induk, antara lain:
 Batuan induk potensial (potential source rock), merupakan batuan yang
mengandung material organik dalam jumlah yang cukup untuk menghasilkan
dan mengeluarkan hidrokarbon hanya jika kematangan atas kenaikan
temperatur terpenuhi.
 Batuan induk efektif (effective source rock), merupakan batuan dengan
material organik yang sedang menghasilkan dan mengeluarkan hidrokarbon
untuk membentuk akumulasi hidrokarbon dalam jumlah yang ekonomis.
 Mungkin batuan induk (possible source rock), merupakan batuan sedimen
yang memiliki kemungkinan membentuk dan mengeluarkan hidrokarbon,
namun belum pernah dievaluasi potensinya.
Suatu batuan dapat dikatakan sebagai batuan induk apabila mempunyai kuantitas
material organik, kualitas untuk menghasilkan hidrokarbon dan kematangan termal.
Kuantitas material organik dan kualitas material organik merupakan produk hasil
pengendapan, sedangkan kematangan termal merupakan fungsi dari sejarah struktur
maupun tektonik pada suatu wilayah. Kuantitas material organik umumnya dinilai
dengan melakukan pengukuran terhadap karbon organik total (Total Organic Carboon,
TOC) yang terkandung dalam batuan. Kualitas ditentukan dengan mengetahui tipe
kerogen yang terkandung dalam material organik dan tipe hidrokarbon yang mungkin
dihasilkan oleh batuan induk. Kematangan termal umumnya diperkirakan dengan
menggunakan pengukuran reflektansi vitrinite dan data dari analisis pirolisis. Table III.1
menunjukkan metode paling umum yang digunakan untuk menentukan potensi dari
batuan induk.

19
Analisis geokimia batuan induk formasi Ngimbang dan pemodelan cekungan 1D di blok RRJ cekungan Jawa Timur Utara
Reynandi Rifky Jaya
Tabel III.1 Metode untuk menentukan potensi batuan induk
Penentuan Pengukuran

 TOC yang terdapat pada batuan


Kuantitas Batuan Induk
induk
 Tipe Kerogen
Kualitas Batuan Induk  Potensi hidrokarbon yang
dihasilkan
 Pyrolisis Tmaks
 Reflektansi Vitrinite
Kematangan Termal Batuan Induk  Gas Chromatography (GC) dan
Gas Chromatography –
Spectrometry Mass (GC-MS)

III.2 Kuantitas Batuan Induk


Kekayaan batuan induk ditentukan dengan mengukur TOC yang hadir pada suatu
batuan. Jumlah karbon organik yang terdapat pada batuan merupakan faktor yang dapat
menentukan kemampuan batuan induk untuk menghasilkan hidrokarbon. Lingkungan
pengendapan mengontrol jumlah karbon organik yang terkandung dalam batuan. Batuan
induk umumnya berasosiasi dengan wilayah produktivitas organik tinggi dikombinasikan
dengan pengendapan dalam lingkungan anoksik, upwelling dan sedimentasi cepat.
Proses-proses ini dapat mengendapkan material organik. Analisis TOC biasanya
dilakukan menggunakan alat penganalisis karbon Leco. Teknik yang dilakukan cukup
sederhana, yaitu dengan membakar sampel berbentuk bubuk yang bebas mineral
karbonat pada temperatur tinggi dengan bantuan oksigen (Gambar III.1). Semua karbon
organik akan berubah menjadi CO2, diperangkap dan kemudian dilepaskan ke detektor,
jumlah CO2 yang dilepaskan proporsional dengan jumlah karbon organik dalam sampel
batuan. Jumlah karbon dioksida yang di dapat proporsional dengan jumlah karbon
organik di dalam batuan (Subroto, 1993).

20
Analisis geokimia batuan induk formasi Ngimbang dan pemodelan cekungan 1D di blok RRJ cekungan Jawa Timur Utara
Reynandi Rifky Jaya
Gambar III.1 Diagram skematik penganalisis karbon leco (Subroto, 1993)

Tabel III.2 berikut ini menujukkan implikasi batuan induk berdasarkan persen
berat TOC menurut Waples (1985).

Tabel III.2 Skala nilai Total Organic Carbon (TOC) (Waples, 1985)

Implikasi Batuan Induk TOC (% Berat)

Potensi rendah (very poor) < 0.5


Sedikit berpotensi (poor) 0.5 – 1.0
Cukup berpotensi (fair) 1.0 – 2.0
Berpotensi baik (good) 2.0 – 5.0
Berpotensi sangat baik (very good) 5.0 – 20.0
Kemungkinan Batubara (excellent) >20.0

Batuan yang mengandung TOC < 0,5% biasanya dianggap kurang berpotensi
membentuk hidrokarbon. Jumlah hidrokarbon yang akan terbentuk dalam batuan

21
Analisis geokimia batuan induk formasi Ngimbang dan pemodelan cekungan 1D di blok RRJ cekungan Jawa Timur Utara
Reynandi Rifky Jaya
semacam ini sangat kecil sehingga ekspulsi tidak akan terjadi. Lebih dari itu, kerogen di
dalam batuan yang miskin tersebut sering kali teroksidasi yang mengakibatkan tidak
berpotensi.
Batuan dengan TOC antara 0,5% dan 1,0% berada pada batas antara berpotensi
rendah dan baik. Batuan ini kemungkinan besar tidak menjadi batuan induk yang sangat
efektif tetapi tetap dapat menghasilkan sejumlah kecil hidrokarbon dan karena itu tidak
boleh terlalu diabaikan. Namun kerogen dalam batuan sedimen dengan kandungan TOC
< 1% umumnya akan teroksidasi dan karena itu potensinya membentuk hidrokarbon
menjadi terbatas.
Batuan sedimen dengan TOC > 1% secara umum memiliki potensi yang besar.
Pada beberapa batuan, TOC antara 1% dan 2% berasosiasi dengan lingkungan
pengendapan pertengahan antara oksidasi dan reduksi yang merupakan tempat terjadinya
pengawetan material organik yang kaya akan lemak dan berpotensi membentuk minyak
bumi. Sementara itu, TOC dengan nilai lebih dari 2% umumnya menandakan lingkungan
reduksi dengan potensi yang lebih baik lagi.
Harga TOC merupakan parameter awal untuk menentukan analisis lebih lanjut.
Namun demikian, kualitasnya harus menjadi parameter penentu berikutnya, mengingat
bahwa TOC yang tinggi boleh jadi merupakan akibat terkandungnya material kekayuan
(woody) yang telah teroksidasi. Jika kasus ini yang terjadi, maka batuan tersebut tidak
berpotensi menjadi batuan induk walaupun harga TOC nya tinggi. Jadi TOC tinggi
memang diperlukan tetapi bukan berarti merupakan satu-satunya kriteria untuk
menentukan bagus dan tidaknya sebuah batuan induk.

III.3 Kualitas Batuan Induk


Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, kuantitas karbon organik tidak
semata-mata dapat menunjukkan potensi batuan induk menjadi batuan sedimen. Kualitas
yang dimaksud salah satunya adalah tipe material organik yang terkandung. Tipe
material organik merupakan penentu sifat dasar dari produk petroleumnya, minyak atau
gas. Seperti yang telah disebutkan bahwa material organik dalam batuan induk yang

22
Analisis geokimia batuan induk formasi Ngimbang dan pemodelan cekungan 1D di blok RRJ cekungan Jawa Timur Utara
Reynandi Rifky Jaya
menghasilkan minyak (pada keadaan yang memenuhi syarat) disebut dengan kerogen.
Kerogen secara spesifik didefinisikan sebagai bagian dari material organik dalam batuan
sedimen yang tidak larut dalam asam non-oksidasi, basa dan pelarut organik biasa. Sifat
tidak larut ini dipengaruhi oleh ukuran molekulnya. Perbedaan tipe kerogen dapat
diidentifikasi dari konsentrasi lima unsur primer yaitu karbon, hidrogen, oksigen,
nitrogen, dan sulfur. Tidak semua tipe akan menghasilkan minyak. Tabel III.3
menunjukkan empat tipe kerogen (Waples, 1985).

Tabel III.3 Tipe kerogen, asal, penyusun organik dan sifat kimianya (Waples, 1985).

III.3.1 Kerogen
Proses pembentukan kerogen dimulai pada saat perusakan dari transformasi
tubuh organisme terjadi. Biopolymer organik berukuran besar (misalnya protein dan
karbohidrat), sebagian atau seluruhnya terurai dengan beberapa komponennya terusak
atau terpakai untuk membentuk geopolimer baru, molekul besar yang tidak memiliki

23
Analisis geokimia batuan induk formasi Ngimbang dan pemodelan cekungan 1D di blok RRJ cekungan Jawa Timur Utara
Reynandi Rifky Jaya
struktur biologi teratur. Kerogen mempunyai berat molekul yang sangat tinggi,
berkembang setelah tertimbun puluh atau ratusan dan bahkan ribuan meter.
Komposisi kerogen akan berhubungan dengan kapasitasnya memproduksi migas.
Kerogen tipe I relatif jarang ditemukan dan berasal dari alga yang hidup di lingkungan
danau dengan kondisi anoksik dan jarang ditemukan di lingkungan laut. Kemudian
cenderung menghasilkan minyak bumi yang melimpah. Kerogen tipe II lebih sering
dijumpai dibandingkan tipe I dan berasal dari berbagai macam sumber material organik
seperti alga laut, lemak dinding bakteri, serbuk sari, spora, lilin daun tanaman, getah dan
dedritus dari maseral liptinite yang umumnya terendapkan di sedimen lingkungan laut
dengan kondisi reduksi dan cenderung menghasilkan minyak dan sedikit gas. Kerogen
tipe III yang berasal dari material organik darat yang sedikit mengandung lemak dan
lilin, serta mengandung material selulosa dan lignin terutama senyawa aromatik dari sisa
tanaman sehingga didominasi maseral vitrinit yang menjadi penyumbang terbesar di
kerogen tipe III. Kerogen tipe III mempunyai kapasitas produksi hidrokarbon cair lebih
rendah daripada kerogen tipe II, biasanya kerogen tipe III cenderung menghasilkan gas.
Kerogen tipe IV terdiri dari recycle dan material organik yang teroksidasi yang berasal
dari berbagai sumber. Kerogen ini tidak memiliki potensial menghasilkan hidrokarbon.

III.3.2 Kematangan Kerogen


Proses kematangan kerogen meliputi 3 (tiga) tahap (Gambar III.2), yaitu:
diagenesis, katagenesis dan metagenesis. Tahapan proses ini mempunyai hubungan yang
erat dengan pembentuan hidrokarbon. Hidrokarbon terbentuk melalui pemecahan panas
bahan organik yang berasal dari tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang telah terpendam
dan terawetkan dalam batuan sedimen.
III.3.2.1 Diagenesis
Tahapan diagenesis terjadi pada temperatur rendah yaitu <60° C. Pada tahap ini
terjadi reaksi biologi dan kimia. Jika suatu organisme mati, seperti lipid (lemak jenuh),
pigmen (klorofil), protein, karbohidrat dan lignin maka senyawa-senyawa organik
tersebut akan segera diubah oleh bakteri. Bakteri-bakteri ini akan membantu memecah

24
Analisis geokimia batuan induk formasi Ngimbang dan pemodelan cekungan 1D di blok RRJ cekungan Jawa Timur Utara
Reynandi Rifky Jaya
moleku-molekul organik yang besar menjadi molekul-molekul organik yang lebih kecil
dan reaktif. Molekul yang reaktif ini saling bergabung dan membentuk molekul-molekul
yang kompleks.

Gambar III.2 Evolusi kerogen dan produk minyak bumi yang dihasilkan (Tissot dan
Welte, 1984)

III.3.2.2 Katagenesis
Dalam tahapan ini perubahan material organik terjadi pada temperatur antara 60-
225° C. Selama proses ini terjadi perubahan komposisi kerogen. Dengan bertambahnya

25
Analisis geokimia batuan induk formasi Ngimbang dan pemodelan cekungan 1D di blok RRJ cekungan Jawa Timur Utara
Reynandi Rifky Jaya
temperatur, kerogen akan terurai menjadi H2O, CO2, minyak bumi dan gas alam. Jumlah
bitumen yang ada dalam sedimen akan meningkat dengan bertambahnya temperatur
terhadap kedalaman, sedangkan jumlah kerogen yang ada dalam sedimen secara bertahap
akan berkurang.
Selama proses katagenesis berlangsung, konsentrasi bitumen akan naik dengan
tajam dan komposisinya pun akan terubah. Proses ini dikenal dengan oil window,
umumnya terjadi pada temperature antara 60-160° C. Panas pada temperatur di bawah
65° C tidak cukup untuk membentuk minyak bumi, sedangkan pada temperatur 160°C,
umumnya minyak bumi telah terurai menjadi gas. Jadi untuk batuan yang lebih muda
umurnya, temperatur yang diperlukan untuk dapat menghasilkan minyak lebih tinggi.

III.3.2.3 Metagenesis
Tahap metagenesis umumnya terjadi pada temperatur di atas 225°C. Pada tahap
akhir atau tahap metagenesis, proses pemecahan kerogen menjadi minyak bumi sudah
selesai dan hidrokarbon yang terbentuk hanyalah hidrokarbon yang lebih ringan.
Akibatnya pada tahap metagenesis, hanya didapat dry gas.
Penentuan tipe material organik merupakan hal yang sama pentingnya dengan
evaluasi kekayaan material organik di dalam sampel. Hal ini didasarkan pada perbedaan
tipe material organik akan menghasilkan fraksi hidrokarbon berbeda. Hasil analisis rock-
eval pyrolisis dapat dijadikan parameter dalam menentukan tipe kerogen dan produk
minyak dan gas yang dihasilkan pada puncak kematangan (Peters dan Cassa, 1994).
Parameter data pirolisis yang digunakan untuk penentuan tipe kerogen adalah hydrogen
index (HI) dan rasio antara S2 dan S3 (Tabel III.4).
Pirolisis merupakan dekomposisi material organik dengan pemanasan dan dalam
kondisi absennya oksigen, yang digunakan untuk mengukur kekayaan dan kematangan
dari batuan induk potensial. Pada analisis ini, kandungan organik dipirolisis lalu dibakar.
Jumlah hidrokarbon dan karbon dioksida yang dilepaskan kemudian diukur. Pada rock-
eval pyrolisis dikenal tiga jenis puncak, yaitu S1, S2 dan S3 dalam satuan miligram
hidrokarbon/gram batuan (Gambar III.3)

26
Analisis geokimia batuan induk formasi Ngimbang dan pemodelan cekungan 1D di blok RRJ cekungan Jawa Timur Utara
Reynandi Rifky Jaya
Tabel III.4 Parameter penentuan tipe kerogen dan produk yang dihasilkan pada puncak
kematangan (Peters dan Cassa, 1994).
Tipe HI Produk Utama
S2/S3
Kerogen (mg HC/g TOC) Pada Puncak Kematangan Minyak
I > 600 >15 Minyak
II 300 – 600 10 – 15 Minyak
II / III 200 – 300 5 – 10 Minyak dan Gas
III 50 – 200 1–5 Gas
IV < 50 <1 Tidak Ada

Gambar III.3 Diagram skematik rock-eval (Waples, 1985)


Dari analisa rock-eval pyrolisis akan diperoleh parameter-parameter sebagai
berikut (Hunt, 1996):

27
Analisis geokimia batuan induk formasi Ngimbang dan pemodelan cekungan 1D di blok RRJ cekungan Jawa Timur Utara
Reynandi Rifky Jaya
a. S1 yaitu mengukur kandungan free hydrocarbon yang tervolatilisasi dari batuan pada
temperatur < 300°C, yang dihasilkan dari kerogen selama proses pengendapan.
b. S2 yaitu menunjukkan jumlah hidrokarbon hasil proses cracking, yang terjadi akibat
kerogen pada batuan induk mengalami peningkatan temperatur 350 - 550ºC secara
alamiah.
c. S3 yaitu menunjukkan jumlah kandungan CO2 yang terbentuk dari pirolisis material
organik, terbentuk pada temperatur 300 – 390ºC.
d. Tmax yaitu menunjukkan temperatur pada saat pembentukan hidrokarbon melalui
cracking (S2) mencapai intensitas maksimal. Nilai Tmax yang menunjukkan oil
window berkisar antara 435-470°C.
e. Hydrogen Index (HI) dan Oxygen Index (OI). Nilai HI yang semakin tinggi
menunjukkan oil prone, sedangkan nilai OI yang tinggi menunjukkan gas prone.
Hydrogen Index (HI) dengan satuan milligram hidrokarbon/gram TOC mewakili jumlah
hidrogen relatif terhadap jumlah karbon organik yang berada pada suatu sampel. Kurva
S2 dalam analisis rock-eval dapat membantu dalam menentukan jumlah total hidrogen
dalam milligram hidrogen terhadap sampel berdasarkan rumus berikut
HI = S2 (mg/g)/%TOC x 100
Oxygen Index (OI) dengan satuan milligram hidrokarbon/gram TOC mewakili
jumlah oksigen relatif terhadap jumlah karbon organik yang berada pada suatu sampel.
Kurva S3 pada analisis rock-eval dapat membantu menunjukkan jumlah total oksigen
yang hadir dalam sampel berdasarkan rumus berikut.
OI = S3 (mg/g)/%TOC x 100
f. Production Index (PI) atau S1/(S1+S2), umumnya mempunyai nilai 0,1-0,4 dari awal
sampai akhir saat oil window.
Nilai HI dan OI dapat digunakan untuk mengetahui kualitas (tipe) kerogen yang
dihasilkan, yaitu dengan menggunakan diagram silang HI vs OI (Waples, 1985).

28
Analisis geokimia batuan induk formasi Ngimbang dan pemodelan cekungan 1D di blok RRJ cekungan Jawa Timur Utara
Reynandi Rifky Jaya
Gambar III.4 Diagram silang HI vs OI (Waples, 1985)
Kualitas batuan induk juga dapat dilihat dari potensi hidrokarbon yang
dihasilkan. Potensi hidrokarbon yang akan dihasilkan oleh batuan induk dapat diketahui
dengan mengeplot HI vs TOC serta potential yield (S1+S2) vs Total Organic Carbon
(PY vs TOC) (Gambar III.5).

Gambar III.5 A) Diagram TOC vs HI (Waples, 1985), B) Diagram TOC vs Potential


Yield Waples, 1985)

29
Analisis geokimia batuan induk formasi Ngimbang dan pemodelan cekungan 1D di blok RRJ cekungan Jawa Timur Utara
Reynandi Rifky Jaya
III.4 Kematangan Batuan Induk
Sifat kimia material organik yang terkandung dalam batuan sedimen berubah
seiring dengan waktu, merefleksikan temperatur dan sejarah pembebanan. Kematangan
dapat diukur dan dapat dikombinasikan dengan data kualitas dan kekayaan untuk
memperkirakan jumlah hidrokarbon yang dihasilkan oleh material organik. Tingkat
kematangan merupakan produk dari sejumlah faktor, seperti tatanan tektonik, sejarah
pembebanan dan sejarah termal. Kematangan dapat diketahui dengan menggunakan
beberapa metode, di antaranya yaitu reflektansi vitrinit dan Tmaks (Tabel III.5 dan Tabel
III.6).
Tabel III.5 Indikasi kematangan hidrokarbon berdasarkan reflektansi vitrinit (Peter and
Cassa, 1994)
Tingkat Kematangan (%Ro)
Immature 0.2 - 0.6
Mature
Early 0.6 - 0.65
Middle 0.65 - 0.9
Late 0.9 - 1.35
post mature >1.35

Tabel III.6 Indikasi Kematangan hidrokarbon berdasarkan Tmaks pirolisis Rock-Eval


(Tissot et al., 1987)

Indikasi Kematangan
Tmaks Pirolisis Rock-Eval (° C)
Hidrokarbon
Belum Matang < 435
Minyak (dari kerogen tipe II) 435 – 455
Minyak (dari kerogen tipe III) 435 – 465
Gas (dari kerogen tipe II) >455
Gas (dari kerogen tipe III) >465

30
Analisis geokimia batuan induk formasi Ngimbang dan pemodelan cekungan 1D di blok RRJ cekungan Jawa Timur Utara
Reynandi Rifky Jaya
III.5 Lingkungan Pengendaapan
III.5.1 Biomarker
Biomarker (biological marker, molecular fossil) dalam geokimia petroleum
berdasarkan Peters dan Moldowan (1993) adalah senyawa organik kompleks yang
tersusun atas unsur karbon (C), hidrogen (H), dan unsur lainnya yang ditemukan dalam
minyak, bitumen, batuan dan sedimen serta menunjukkan sedikit atau tanpa perubahan
dalam strukturnya dari molekul organik asalnya (organisme hidup). Istilah marker
biologis atau seringkali disingkat biomarker dipergunakan untuk memeri senyawa yang
terdapat di dalam sedimen yang mempunyai suatu hubungan struktural yang jelas dengan
senyawa hasil biologis. Definisi ini menjadi dasar analisis geokimia petroleum untuk
korelasi antara batuan induk dan minyak dengan menunjukkan kematangan asal material
organik maupun lingkungan pengendapan. Dari semua biomarker yang sering dipelajari
adalah alkana normal, isoprenoid, sterana, dan triterpana.

Tabel III.7 Kelas penting dari biomarker dan prazatnya (Waples, 1985)
Biomarker Prazat

Alkane normal (> C22) Lilin tumbuhan darat

Alkana normal (< C22) Lemak alga

Isoprenoid (< C20) Berbagai macam klorofil

Isoprenoid (> C20) Lemak atau klorofil dari alga hipersalin

Sterana Steroid

Triterpana Triterpenoid bakteri

31
Analisis geokimia batuan induk formasi Ngimbang dan pemodelan cekungan 1D di blok RRJ cekungan Jawa Timur Utara
Reynandi Rifky Jaya
III.5.1.1 Senyawa Biomarker n-Alkana
Perbedaan lingkungan pengendapan dicirikan oleh adanya perbedaan variasi
organisme dan biomarker. Secara umum organisme dapat dikelompokkan menjadi
bakteri, alga, dan tumbuhan tinggi, yang dapat dianalisis melalui kehadiran dan distribusi
biomarker n-alkana.
n-Alkana, merupakan salah satu biomarker pertama yang dipelajari secara
intensif. Indikasi lingkungan pengendapan maupun asal material organik pada n-alkana
dapat ditunjukkan oleh distribusi homolog atau anggota dari seri n-alkana. Menurut
Waples (1985) untuk sebagian besar alkana normal yang ada pada tumbuhan tingkat
tinggi memiliki nomor ganjil dari atom karbon, terutama atom karbon 23, 25, 27, 29 dan
31 sedangkan secara kontras alga laut memproduksi alkana normal yang memiliki
distribusi maksimum pada atom karbon 17 atau 22, tergantung dari spesiesnya saat ini,
sehingga bentuk distribusinya sangat tajam dan tidak ada kecenderungan memiliki
nomor ganjil atau genap dari atom karbon. Kebanyakan sedimen tentunya menerima
kontribusi dari alkana normal baik dari arah darat maupun laut, sehingga bentuk
distribusi alkana normal merefleksikan campuran antara keduanya.

III.5.1.2 Senyawa Biomarker Isoprenoid


Isoprenoid yang paling umum dalam petroleum adalah isoprenoid dengan atom
karbon 15, 16, 17, 18, 19, dan 20. Isoprenoid kebanyakan berasal dari klorofil. Klorofil
merupakan sumber untuk sebagian besar molekul pristana dan fitana (Gambar III.7)
yang merupakan dua jenis isoprenoid yang paling umum digunakan untuk menunjukkan
kondisi relatif oksidasi/reduksi selama diagenesis.
Dengan kehadiran dan distribusi biomarker isoprenoid maka beberapa hal dapat
dianalisis, salah satunya yaitu:
 Pristana/fitana merupakan rasio isoprenoid dari bitumen atau minyak bumi sering
digunakan sebagai indikator redoks yang potensial dalam batuan induk (Didyk et al.,
1978). Rasio pr/ph > 1 menunjukkan kondisi oksik. Rasio pr/ph > 5 mengindikasikan

32
Analisis geokimia batuan induk formasi Ngimbang dan pemodelan cekungan 1D di blok RRJ cekungan Jawa Timur Utara
Reynandi Rifky Jaya
bahwa senyawa organik pembentuk minyak berasal dari terrestrial dalam kondisi
oksik (Peters dan Moldowan, 1993).

Gambar III.6 Berbagai macam bentuk distribusi alkana normal. A. Distribusi alkana
normal asal material darat, B. Distribusi alkana normal asal material
darat dan alga laut, C dan D. Distribusi alkana normal asal material, alga
laut (Waples, 1985).

III.5.1.3 Senyawa Biomarker Triterpana


Biomarker umum lainnya yang digunakan sebagai penunjuk lingkungan
pengendapan dan material asal adalah triterpana. Sumber organisme untuk biomarker
triterpana dipercaya berasal dari bakteri. Triterpana dapat dibagi menjadi tiga famili yang
berbeda berdasarkan jumlah cincinnya. Triterpana yang dipelajari secara lebih mendalam
memiliki lima cincin dan oleh karena itu disebut sebagai pentasiklik

33
Analisis geokimia batuan induk formasi Ngimbang dan pemodelan cekungan 1D di blok RRJ cekungan Jawa Timur Utara
Reynandi Rifky Jaya
Gambar III.7 Struktur dari isoprenoid pristana dan fitana (Waples, 1985).

Gambar III.8. A. Grafik Pr/nC17 vs Pr/Ph (Waples, 1985) dan B. Grafik Pr/nC17 vs
Ph/nC18 (Shanmugam, 1985)

34
Analisis geokimia batuan induk formasi Ngimbang dan pemodelan cekungan 1D di blok RRJ cekungan Jawa Timur Utara
Reynandi Rifky Jaya
Senyawa ini terdiri dari atom karbon 27 sampai dengan 35 walaupun kadang-
kadang dilaporkan memiliki atom karbon hingga 40. Triterpana lain yang juga dipelajari
memiliki 3 cincin disebut sebagai trisiklik. Senyawa ini terdiri dari atom karbon 21
sampai dengan 40, akan tetapi didominasi oleh atom karbon kurang dari 25. Famili yang
ketiga adalah tetrasiklik yang paling sedikit dipelajari (Waples dan Machihara, 1991).
Triterpana trisiklik bukan merupakan turunan dari triterpana pentasiklik, akan tetapi
merupakan anggota dari famili genetik yang terpisah. Triterpana trisiklik mempunyai
nomor atom karbon dari C19 sampai dengan C45 dan kemungkinan terbentuk pada jumlah
kecil dari bakteri yang sama yang menghasilkan triterpana pentasiklik atau dari spesies
mikroorganisme lainnya yang menyintesisnya. Terdapat beberapa pola yang dapat
dibedakan pada triterpana trisiklik mulai C19 sampai dengan C26. Minyak yang berasal
dari lingkungan pengendapan laut dikarakterisasikan antara lain dengan adanya dominasi
ekstrem dari C23, kehadiran dari C26 atau nomor atom karbon yang lebih besar, C21 yang
lebih besar daripada C20 dan C20 lebih besar dari pada C19. Minyak yang berasal dari
lingkungan pengendapan darat dikarakterisasikan antara lain dengan kehadiran C23 yang
tidak dominan, C19 yang lebih dominan terhadap C21, dan ketidakhadiran C26 atau nomor
atom karbon yang lebih besar.
Untuk triterpana pentasiklik pada umumnya dibagi menjadi hopanoid dan
nonhopanoid. Di dalam hopanoid terdapat 17α(H),21β(H) yang sering disebut sebagai
hopana dan 17β(H),21α(H) yang sering disebut sebagai moretana. Menurut Seifert dan
Moldowan (1980) bahwa rasio moretana terhadap hopana berfungsi sebagai indikator
kematangan. Rasio rendah dari perbandingan tersebut dianggap berasosiasi dengan
minyak yang sudah matang. Struktur lain dari molekul yang dapat diidentifikasi dari
triterpana pentasiklik adalah dua hopana yaitu bisnorhopana 28, 30 dan trisnorhopana 25,
28, 30 dan beberapa non-hopanoid seperti gammaserana dan senyawa familinya yang
disebut sebagai oleanana. Oleanana dipercaya berasal dari angiospermae atau tumbuhan
darat yang menghasilkan resin dalam jumlah banyak. Kehadiran oleanana pada
lingkungan laut kemungkinan akibat proses transportasi dari sumber darat.

35
Analisis geokimia batuan induk formasi Ngimbang dan pemodelan cekungan 1D di blok RRJ cekungan Jawa Timur Utara
Reynandi Rifky Jaya
Gambar III.9 Pola trisiklik terpana untuk mengindikasikan lingkungan pengendapan
(Price dkk., 1987)
III.5.1.4 Senyawa Biomarker Sterana
Sterana yakni steroid merupakan senyawa pendahulu biologis dari sterana.
Steroid yang paling umum adalah sterol yang mempunyai atom karbon 27, 28, dan 29
yang hadir dengan beragam proporsi dalam organisme. Menurut Huang dan Meinschein
(1979) bahwa proporsi relatif dari C27 - C29 pada sterol biasa yang berasal dari organisme
hidup berhubungan dengan lingkungan tertentu sehingga sterana pada sedimen
kemungkinan menyediakan informasi lingkungan purba yang berharga. Jumlah yang
lebih besar dari sterol C29 mengindikasikan kontribusi yang kuat dari darat sedangkan
dominasi dari C27 mengindikasikan kontribusi yang kuat dari fitoplankton laut. C28
memiliki jumlah yang pada umumnya lebih rendah jika dibandingkan kedua sterol
lainnya, akan tetapi jumlah yang relatif lebih besar dari biasanya mengindikasikan
kontribusi yang kuat dari alga lakustrin. Rasio m/z 217 melalui diagram segitiga sterana
C27–C28–C29 sangat spesifik digunakan untuk merefleksikan input asal material organik.
Prinsip utama dalam diagram segitiga ini digunakan untuk membedakan kelompok
sampel minyak dari batuan induk berbeda atau organik fasies dari batuan induk yang
sama.

36
Analisis geokimia batuan induk formasi Ngimbang dan pemodelan cekungan 1D di blok RRJ cekungan Jawa Timur Utara
Reynandi Rifky Jaya
Gambar III.10 Diagram segitiga Huang & Meinschein (1979)

III.5.2 Teknik Korelasi


Untuk mengidentifikasi batuan induk dan menentukan jalur migrasinya maka
diperlukan adanya korelasi dari sampel yang ada dengan membandingkan kandungan
kekayaan material pada sampel tersebut. Korelasi geokimia dapat dilakukan antara
minyak dan batuan induk, dan minyak dengan minyak. Korelasi batuan induk dengan
minyak dilakukan untuk mengetahui apakah minyak berasal dari batuan induk yang
dimaksud. Korelasi antara minyak dan minyak dapat membandingkan apakah minyak
dari lapangan-lapangan tertentu berasal dari sumber yang sama. Salah satu metode
korelasi geokimia adalah dengan membandingkan biomarker pada sampel batuan induk
dan minyak. Biomarker memberikan metode yang sangat berguna untuk menentukan
kematangan hidrokarbon yang bermigrasi, yang tidak dapat dilakukan dengan
mempergunakan analisis kerogen. Beberapa jenis biomarker yang digunakan antara lain
alkana normal, sterana, dan triterpana. Pada alkana normal biasanya penentuan asal

37
Analisis geokimia batuan induk formasi Ngimbang dan pemodelan cekungan 1D di blok RRJ cekungan Jawa Timur Utara
Reynandi Rifky Jaya
material organik dengan cara melihat distribusi puncak C15, C17 dan C19 penanda alga,
dan puncak C27, C29, dan C31 penanda tumbuhan tinggi. Dapat ditinjau pula nilai rasio
pristana/fitana dengan pristana/nC17 dan fitana/nC18. Biomarker sterana mengindikasikan
lingkungan pengendapan berdasarkan diagram terner C27, C28 dan C29 (Huang dan
Meinschein, 1979). Untuk melakukan korelasi, dilakukan pengeplotan untuk setiap
sampel batuan induk dan minyak. Distribusi hasil pengeplotan menunjukkan apakah
sampel-sampel tersebut korelatif atau berasal dari sumber yang berbeda.
Untuk biomarker triterpana, korelasi dapat dilakukan dengan membandingkan
pola-pola trisiklik dari sampel batuan induk dan minyak. Ada atau tidaknya oleanana dan
gammaserana dapat dijadikan penanda yang spesifik dalam kromatogram untuk
mengindikasikan apakah sampel-sampel minyak berasal dari satu sumber batuan induk.

III.6 Pemodelan Cekungan


Pemodelan geokimia merupakan gambaran model cekungan yang merupakan suatu
metode dalam mengidentifikasi pematangan batuan induk, dengan menganalisis
beberapa aspek penting yang mempengaruhi dan mengidentifikasi tingkat kematangan
batuan induk dalam menghasilkan hidrokarbon. Tujuan dari pemodelan cekungan ini
adalah untuk mengetahui zona dan tingkat kematangan suatu batuan induk.
Grafik sejarah pemendaman (burial history) menggambarkan interaksi suplai
sedimen, perubahan muka air laut dan pergerakan vertikal dasar cekungan terhadap
waktu. Dalam sejarah pemendaman (burial), akan terjadi penurunan yang kontinyu
seiring dengan bertambahnya beban diatas suatu lapisan. Secara normal, grafik burial
history, menggambarkan penurunan cekungan dan pembebanan sedimen didalam
cekungan. Sejarah pemendaman akan memberikan gambaran tentang kerangka dari suatu
pengendapan. Didalam sejarah pemendaman dilakukan perhitungan sejarah termal dan
pemodelan kinetik dari pembentukan hidrokarbon. Sejarah pemendaman juga memberi
gambaran tentang peritiwa geologi yang utama, seperti waktu dan durasi dari
sedimentasi dan erosi, serta kecepatan sedimentasi.

38
Analisis geokimia batuan induk formasi Ngimbang dan pemodelan cekungan 1D di blok RRJ cekungan Jawa Timur Utara
Reynandi Rifky Jaya
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan burial history
sebagai input pada software, yaitu top formasi, umur formasi, komposisi litologi suatu
formasi, erosi dan data geokimia sumur.

Gambar III.11 Burial history (Cole, et. al., 1995)

39
Analisis geokimia batuan induk formasi Ngimbang dan pemodelan cekungan 1D di blok RRJ cekungan Jawa Timur Utara
Reynandi Rifky Jaya

Anda mungkin juga menyukai