Anda di halaman 1dari 5

Arunika yang Tak Kunjung Tergenggam

(Diah Ayu Puji Lestari_20201241014)

Bandung, 01 Februari 1995

Namaku Akiko Citraloka. Panggil saja aku


Akiko. Papaku orang Jepang, Mamaku orang Indonesia.
Mereka sangat menyayangiku. Rasa sayang itu bisa
terlihat dari harapan mereka untukku, yang tertuang
dalam namaku, “Akiko Citraloka”. Kata Akiko dalam
bahasa Jepang berarti anak yang cerdas. Mungkin
orang tuaku berharap aku menjadi anak yang cerdas
seperti arti dari namaku. Namun aku merasa,
kecerdasan itu tak pernah nampak dalam diriku,
inilah aku, aku yang penuh kelabilan seperti remaja
pada umumnya.
Nama belakangku Citraloka. Dalam bahasa
sanskerta, Citraloka bisa dimaknai sebagai catatan
sejarah dunia. Entah atas dasar apa orang tuaku
memberikan nama itu, akupun tidak tau. Mungkin saja
saat aku lahir mereka masih memusingkan perihal
sejarah dunia, atau mereka tertarik dan kagum dengan
sejarah dunia, atau apapun itu aku tidak terlalu
penasaran. Umurku genap 17 tahun pada bulan lalu.
Tapi aku tidak tau, sampai kapan aku bisa menikmati
Indahnya dunia. Belum lama ini aku mengetahui bahwa
penyakit lupus menyerangku. Ini pertama kalinya aku
menulis seperti ini. Ya... setidaknya inilah yang
bisa aku lakukan sembari merenungi segala
ketidakjelasan dalam hidupku. Aku.....

Ku jauhkan jemariku dari mesin ketik satu-satunya yang ada di


rumah ini. Duduk dan bersandar pada kursi, memejamkan mata untuk
beberapa saat. Pun sekejap kemudian kulayangkan pandangan ke arah
jendela yang terbuka. Seperti orang yang tak berdaya dan malas
bergerak, aku bangkit dari kursi untuk menutup jendela yang terbuka.
Jendela yang membiarkan udara dingin meraih kulitku dan merajai
ruanganku. Jendela kamar lantai dua yang membiarkanku
menyaksikan indahnya Bandung Utara malam ini. Remang-remang
rembulan, langit indah bertabur bintang, dan kunang-kunang yang
berterbangan. Suasana itu membuatku terdiam, mengagumi semua
keindahan yang sangat disayangkan jika tidak dipandang. Lalu...
pertanyaan itu kembali mengganggu pikiranku. Pertanyaan yang terus
menyerangku selama 17 tahun ini.

“Salahkah jalan hidupku ini?”

Tiba-tiba, terlintas dalam benakku, sosok seorang anak bertubuh


mungil kelas satu SD yang kudorong ke tanah. Teman kelas sekaligus
tetanggaku di lingkungan rumah lamaku.

“Brukkk”

Karena sangat kesal, aku mendorong Satia hingga ia tersungkur ke


tanah. Jika dilihat sekilas, itu memang pertengkaran anak kecil. Tetapi
jika kupikirkan sekarang, apa yang membuat kami bertengkar adalah
hal yang sensitif. Hal yang tidak seharusnya diperdebatkan oleh anak
SD yang masih polos.

“Tuhan yang menciptakan kita!”

“Bukan...!!!”

“Iya...! Kita punya Tuhan, Allah itu Tuhan kita, Tuhan itu ada!”

“Kata siapa? Kalau ada, memangnya kamu pernah lihat? Pernah


bertemu? Tidak bukan? Ya sudah berarti tidak ada!!!”

Whusss.... Angin berhembus menerobos jendela kamarku.

Aku berusaha untuk memejamkan mata, tetapi tidak bisa. Di dalam


telingaku terngiang-ngiang suara orang tua dan teman-temanku yang
terus bersahutan.

“Kamu sudah benar sayang, tidak perlu dipikirkan, hidup saja


dengan damai, jangan pernah merasa terdiskriminasi. Lagi
pula, kita sama-sama warga negara ini. Kita berhak untuk
hidup dengan pilihan kita. Jika ada yang menganggap kita
berbeda, lebih baik kamu diam saja, tidak perlu mengutarakan
pemikiran kita kepada mereka, percuma saja, mereka tidak
akan paham.” Suara lembut mama memang selalu bisa
membuatku tenang.

“Alhamdulillah Allah membantuku, aku merasa hasil ujianku


akan bagus. Aku selalu berdoa agar aku diberi kemudahan
dalam menimba ilmu, aku meminta kepada Allah agar aku
menjadi orang yang sukses, sehingga bisa membuat kedua
orang tuaku bahagia.” Begitulah suara nyaring penuh
kebahagiaan teman kelasku di SLTP.

“Ada perbedaan mendasar antara agama dan sains. Kamu tidak


perlu ragu. Pikirkan mana yang lebih rasional. Bukanlah lebih
jelas mengenai sains yang berdasarkan observasi dan nalar?
Akiko sayang, semua yang terjadi bisa dijelaskan secara ilmiah.
Kamu tidak perlu repot-repot seperti mereka yang memikirkan
Tuhan, yang bahkan tidak bisa mereka lihat dengan mata
kepala mereka sendiri. Kamu setuju bukan, bahwa Tuhan itu
sebenarnya hanya angan-angan belaka dari manusia?
Bukankah perkembangan ilmu pengetahuan membuat semua
pertanyaan-pertanyaan tentang misteri dunia ini bisa
terpecahkan, karena menghadirkan penjelasan yang
meyakinkan? Pegang kata-kata Papa, tunggu dan lihat saja
beberapa tahun yang akan datang, akan tiba masa dimana sains
atau ilmu pengetahuan itu berkembang lebih pesat lagi dan
bisa memecahkan segala misteri yang ada. Sekarang coba
renungkan tentang pilihan keluarga kita. Ketidakpercayaan
kita terhadap Tuhan bukan tanpa sebab. Ingat selalu mengenai
hal itu, Akiko! ”

“Tuhan itu ada, karena jika tidak, alam semesta beserta isinya
ini tidak akan terbentuk. Jika Tuhan tidak ada, lantas
bagaimana manusia bisa berada di bumi ini? Manusia dan alam
semesta tidak mungkin ada dengan sendirinya. Ada yang
menciptakan manusia dan alam semesta ini, yaitu Tuhan. Kita
harus bisa membuka hati dan pikiran kita tentang bukti-bukti
keberadaan Tuhan. Jadi, tidak diragukan lagi bahwa Tuhan
adalah pemegang kekuasaan tertinggi kehidupan alam
semesta.” Suara guru Agama di suatu kelas yang tidak sengaja
kudengar waktu itu.

Suara-suara itu semakin membuatku bertanya-tanya. Bukti-


bukti perkataan mama dan papaku benar-benar ada dan bisa terlihat
dengan jelas. Bukankah seharusnya aku tinggal menyetujui hal itu dan
hidup dengan damai. Namun sayangnya, hatiku justru ragu. Hatiku
seakan menuntunku ke arah lain. Hatiku terus berdiskusi dengan
sendirinya, tanpa diberi komando untuk memulai ataupun mengakhiri.

“Benarkah kita tidak bertuhan? Emm... ya mungkin


saja, karena buktinya di dunia ini tidak ada yang bisa melihat
Tuhan yang dipercayai. Tapi bukankah bisa jadi Tuhan itu ada,
karena jika tidak, siapa yang menciptakan alam semesta dan
isinya? Owhh aku lupa, pada akhirnya semua bisa dijelaskan
sains.

Wushh.... Sang bayu berhembus lebih cepat dari sebelumnya. Udara


dingin berhasil menusuk pori-pori kulitku. Aku kembali menjadi orang
gila karena bergumam sendiri.

“Benarkah Tuhan itu ada? Jika Tuhan ada, apakah Tuhan itu
ada banyak, sehingga terdapat begitu banyak Agama di dunia
ini? Mengapa manusia harus menyembah Tuhan? Siapa Tuhan?
Makhluk seperti apakah Dia? Apakah Tuhan itu patung salib
yang disembah umat Kristiani? Ataukah patung dewa yang
diberi persembahan oleh orang-orang Hindu dan Buddha? Atau
Tuhan itu tidak berwujud seperti yang dipercayai oleh orang
Islam? Bukankah tidak ada yang masuk akal?”

Tik... tok, tik... tok

Suara jarum jam menunjukkan waktu sudah hampir tengah malam.


Kunang-kunang yang berterbang pun mulai menyembunyikan dirinya.
Hanya cahaya rembulan, dan gemerlap bintang yang masih setia
menghiasi langit malam itu. Lalu aku mendekati mesin ketik yang
tadinya kutinggalkan.
Aku seorang atheis. Selama beberapa tahun ini aku
mengagumi islam. Dan selama beberapa tahun ini,
diam-diam aku mempelajari Islam. Manusia itu
bertuhan, memiliki kitab suci, ada surga, neraka,
dan sebagainya. Haruskah aku mengabaikan ajaran
orang tuaku, dan beralih untuk menjadi Islam? tapi
sekarang aku kembali ragu, apakah Islam itu yang
terbaik untukku? Sedangkan aku pernah mendengar
ajaran dalam Islam bahwa orang selain Islam tidak
bisa masuk surga. Bukankah seharusnya tidak seperti
itu? Bukankah itu terlalu kejam? Padahal banyak
orang non-Islam yang baik yang pernah kutemui. Dan
pastinya ada banyak sekali di luar sana yang lebih
baik lagi. Kemudian, jika kita melihat fakta di
sekitar kita, tidak semua orang Islam itu baik. Masa
iya penjahat, pencuri, perampok, ataupun orang tidak
baik lainnya bisa masuk surga hanya karena mereka
beragama Islam? Lalu bagaimana dengan orang-orang
non-Islam yang baik, yang selalu membantu orang
lain, yang amanah, yang murah senyum, yang tidak
sombong, dan lain sebagainya? Bukankah itu tidak
adil? Atau mungkin Islam memiliki keadilan
tersembunyi yang tidak aku ketahui? Bagaimana yang
benar? Adakah yang bisa membantuku? Aku mohon....

Alih wahana dari berita :

https://www.suara.com/news/2019/07/10/080500/mereka-hidup-
tanpa-tuhan-pengakuan-orang-orang-ateis-di-indonesia

Anda mungkin juga menyukai