Anda di halaman 1dari 5

Secuil Kisah dari Timur Kota Delta

Siang yang terik itu, dengan semilir angin sepoi menemaniku akhir-akhir ini. Hari
kesekian di masa karantina. Sepertinya, aku akan mulai menggarap cerita ini sepotong demi
sepotong. Mari kita mulai.

***

Seperti biasa, tugas akibat dari program sekolah online kian hari kian membeludak.
Bertumpah ruah seakan-akan tak ada habisnya, walaupun sudah terselesaikan beberapa.
Otakku yang sudah terlalu lama berdiam diri bertapa di rumah ini, seakan mau meledak
rasanya. Guru yang hanya mampu memberikan materi dan juga latihan soal tanpa bisa
menjelaskan secara rinci menambah rasa penat di neuron-neuron kecilku.

‘ah, butuh refreshing dan udara segar’ batinku. Pagi ini saja, aku sudah disuguhi
sarapan tentang Statistika. Yang sekali lihat pun tahu, kalau itu termasuk hitung-hitungan
yang merepotkan. Dan dilanjut dengan pelajaran keagamaan yang membahas tentang hukum-
hukum Islam. Ingin rasanya rehat sejenak, pergi ke pedesaan dengan dikelilingi sawah dan
pepohonan hijau di sepanjang jalan, mengistirahatkan diri diatas bukit sambil berbaring
menengadah melihat indahnya langit biru dengan awan-awan putih berarak. Menghirup
perlahan segarnya udara disana, sambil melemaskan otot-otot yang kurasa sudah hampir
karatan. ‘Ah sudahlah, berhenti berkhayal tentang indahnya liburan’ Sudah saatnya kembali
terhempas ke kenyataan dan segera menyelesaikan tugas terakhir hari ini.

‘Integrasi dan Disintegrasi di Indonesia’ Aku membaca dengan cermat judul tugas
Sejarah hari ini. Sekilas memori tentang sejumlah konflik dan isu hangat akhir-akhir ini mulai
terdorong keluar dari lobus temporal–tempat menyimpan memori–di otak mungilku. Dengan
cepat aku mengetikkan beberapa kata kunci di halaman pencarian. Dan dengan sepersekian
detik, berbagai macam artikel menyeruak keluar di situs pencarian. Kiranya ada lebih dari
satu juta hasil database disana.

Rencana perubahan pancasila, dana hibah pendidikan yang salah sasaran, kinerja
pemerintah yang kian hari kian dipertanyakan, dinasti politik akan mengeser demokrasi
negeri ini, diskriminasi kulit hitam di Indonesia lebih parah dibanding luar negeri, lonjakan
kasus COVID 19 di Indonesia, sekolah online tidak efektif, dan banyak lagi persoalan-
persoalan di negeri ini yang membuatku berpikir sejenak,
“Mau sampai kapan negeriku ini terbelenggu oleh kerakusan, ego kelompok, dan
diskriminasi? Sampai benih-benih perpecahan dengan mudahnya menyusup masuk melalui
celah-celah yang sengaja dibiarkan terbuka?”

Aku bukanlah seorang ahli ataupun pengamat politik negeri, yang satu kalimatnya
saja dapat membungkam para politikus keji. Aku juga bukanlah kelompok oposisi, yang
selalu menentang kinerja tikus-tikus pengerat kursi jabatan. Aku hanyalah salah satu dari
jutaan rakyat di negeri ini. Aku tak bisa menyalahkan ataupun membenarkan. Bukan berarti
aku menutup mata soal masalah negeri sendiri, melainkan karena semakin jauh aku melihat,
semakin dalam aku menyelam, semakin sering aku mendengar, maka semakin aku tidak tahu
apa-apa. Ingin rasanya memakai pintu doraemon dan pergi ke suatu belahan dunia ini. Tanpa
ada isu serta konflik yang mengusik pikiran. Tenang dan damai.

Tapi, mana tega aku meninggalkan tanah air sendiri. Mana berani aku pergi,
mencampakkan ibu pertiwi. Bahkan sehancur-hancurnya negeri ini pun, ia tetaplah tanah
kelahiranku. Negeri tempatku bernaung. Rumah abadi yang sampai mati pun aku cintai. Aku
hanya miris. Dengan keadaan negeriku yang sekarang, dan aku yang masih belum melakukan
kontribusi apapun untuknya. Malu aku sebagai rakyatnya. Yang aku bisa hanyalah
memandangi layar handphone dan menggulirnya dari atas kebawah. Memperhatikan berita
dan kabar tentang negeri yang katanya paru-paru dunia ini. Terkadang dengan khilafnya
mengkritik pemerintah, yang kalau diingat lagi pun aku merasa,

‘ah, kamu bisa apa?, tiap hari hanya mengkritik. Memangnya apa yang sudah kamu
sumbangkan untuk negeri sendiri?!’

Mereka memang kejam. Tapi, pernahkah kalian berpikir, bahwa sebenarnya kitalah
yang jauh lebih keji. Kita hanya duduk, berbaring sambil menghujat dan memaki mereka.
Adakah yang lebih hina dari lisan yang selalu mengkritik tanpa memberi saran? Adakah yang
lebih bermulut besar daripada kita? Ah, tak sampai hati aku menulisnya. Mau dijelaskan
serinci apapun, masih ada terlalu banyak persoalan negeri dan rakyatnya. Dijelaskan pun, aku
sendiri sudah terlalu lelah. Teringat akan sebuah petuah dari seorang yang pernah berbincang
santai denganku,

“kita ini bibitnya sudah bagus, bahannya kualitas terbaik. Hanya petaninya saja tidak
tahu bagaimana merawat dan memeliharanya. Apalagi memanen dan memasaknya.
Sementara kalian mulai tersadar, ternyata kebun kalian beserta bibitnya sudah mati”
Aku yang dulu masih tidak terlalu paham dengan kata-katanya hanya terdiam. Entah
kenapa, saat aku tanpa sadar mengingatnya kembali, aku termenung memikirkannya lagi.
Seakan-akan dengan tepat menohok hati tanpa sempat lobus frontal–bagian otak yang
mengontrol perasaan–ku beralasan. Kini, aku paham maksud orang itu berkata seperti itu
kepadaku. Sangat paham. Negeri ini dan sumber dayanya, beserta orang-orang yang
mendedikasikan hidupnya untuk pengetahuan demi bangsa ini, itulah kebun juga bibitnya.
Kemudian para pejabat, pemerintah, dan investor asing yang mengeruk paksa negeri ini,
merekalah petani itu.

Dan kalian tahu fakta yang membuatku termenung lama? Para petani itu hanya bisa
memanen! Mereka tidak peduli bibit itu tumbuh subur atau tidak, yang mereka tahu, asal bibit
itu bagus, mereka akan mendapatkan keuntungan. Tidak peduli bibit dan kebunnya rusak atau
dimakan ulat. Ironisnya, kita yang sudah diperlakukan begitu pun tetap tak bisa melakukan
apa-apa. Hanya bisa menunggu dan berharap akan perhatian petani suatu hari nanti, dengan
tulus merawat kebun juga bibitnya.

Mungkin banyak dari kita yang tidak tahu, atau mungkin tidak peduli. Entahlah, yang
manapun itu, aku harap kalian, aku, sama-sama membuka mata akan dzhalimnya ulah
manusia untuk menguasai dunia. Aku tidak begitu mengerti tentang konspirasi global, new
world order, rekayasa kehidupan, atau perbudakan global dan istilah-istilah baru yang
mungkin asing bagi sebagian orang. Yang aku tahu pasti, semua itu adalah perbuatan
manusia. Ulah kita, tindak-tanduk keturunan adam yang ingin menguasai bumi dengan
ketamakannya.

***

Hah, sudahlah. Terlalu banyak cerita yang ingin aku tulis. Namun, tak sampai hati
kusampaikan. Sepertinya cerita ini sudah berada di penghujung akhir. Dan akan segera
kurampungkan. Aku berharap, Negeri ini, bumi, dunia esok hari. Akan menjadi tempat yang
lebih baik, yang benar-benar layak untuk kita tempati. Ah, aku lupa. Tak selamanya kita
berada di dunia. Karena tidak ada yang benar-benar kekal, bukan?

Selagi kita masih diberi kesempatan untuk tinggal lebih lama di Negeri ini, aku harap
kita bisa memperbaiki diri dan bermuhasabah dengan lebih baik kedepannya. Kita tak tahu,
kapan waktu akan memberhentikan kita. Bisa jadi tahun depan, bisa jadi bulan depan, atau
mungkin esok hari, atau bahkan hari ini? Aku tak tahu. Yang kutahu, tiap detik hidup yang
diberikan-Nya sangatlah berarti. Seperti kutipan puisi seorang penyair termahsyur Negeri ini,
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan? Kita abadi”
Biodata

Abiyyah Taufiqatul ‘Ula adalah nama yang diberikan kepada seorang gadis penyuka
makanan gratis. Perempuan kelahiran Sidoarjo yang juga melankolis ini sedang berusaha
sebaik munkin mengikuti pembelajaran online di tahun terakhirnya di SMA. Sangat tertarik
belajar berbagai macam bahasa yang mungkin kalian akan merasa tidak mengerti(baca: aneh)
jika berbicara dengannya. Dapat dihubungi melalui kontak berikut :

Instagram : @abiyyahtaufiqatul_

Whatsapp : 085931276165

Email : biya.manaf27@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai