Anda di halaman 1dari 5

NAMA : RAHMA INTAN CAHAYANI

KELAS : XI KMP 1.1

MONSTER

Mari kita berandai-andai apabila dunia jadi lebih baik kepada kita yang ingin
Bahagia.

Ibu bilang harus terus menggantungkan kaca berisi ramuan, supaya kelak akan sehat. Aku
mempercayainya karena ia satu-satunya penopangku. Namun, alibi tersebut patah dengan
mudahnya layaknya ranting tua di tengah hutan karena sosok hadir dalam hidupku.
Di tengah kesunyian, ia bernarasi bak si handal yang sudah terbiasa melantunkan setiap kata
indah. Katanya, aku ini sakit, otakku otak babi dan Ayah berjanji akan menyembuhkanku.
Kedua alisku berkelok tanda kurang mampu memahami bahasanya. Akhir pembicaraan aku
menyimpulkan benang, Ayahnya tidak memberi ramuan.
Bumi semakin tua, semakin banyak waktu yang kutelan bersamanya, aku salah
menyimpulkan, kutangkap, ia hanya selayaknya pohon cemara yang ditanam dengan baik, ia
terlihat begitu tegar dan mampu menerobos tarian angin yang kuat. Ia sehat juga terlihat
sepertiku.
Pada fase ini, bukan ramuanlah yang menunjukkan sehatnya jiwa, melainkan seberapa
dekat kita berdiri di hadapan bajingan dunia.
Kamu bukan anak aneh ataupun alien dari luar angkasa, Yori. Kamu santun dan tidak
pernah marah, isi kepalamu unik dan menghabiskan waktu dengamu selalu terasa seperti
petualangan yang ujung nya tidak ingin aku yakini. Kalaupun ada yang aneh tentangmu, aku
pikir seharusnya itu tentang benci yang tidak pernah lahir dari kejinya tangan Ayahmu. Tidak
juga hadir dari pengecut-pengecut di sekolah yang sering mengganggumu. Tapi bagiku,
kamu tidak aneh, Yori. Sebab kalau kamu petaka-maka aku juga. Tapi menurutku, kamu
menakjubkan.
Akhir dunia akan datang sebentar lagi dan kita belum terlambat untuk bersembunyi. Kalau
kita mati dan terlahir kembali, aku sudah tidak ingin jadi siapa-siapa lagi selain Mugino
Minato dan Hoshikawa Yori.
Anak kecil tahu apa?
Anak kecil itu menangis karna takut ibunya kecewa ia tak seperti ayahnya.
Anak kecil paham apa?

Anak kecil yang lain harus sembuh untuk bertemu dengan sang ibu, ia akan sembuh
mungkin bersama dengan luka-luka yang lain.

Bagi mereka kita hanya dua jiwa lemah yang tidak berarti, dianggap mati sebab tak
menjalani hidup dalam narasi semestinya. Meski begitu rapalku tidak pernah berubah,
bagaimana caraku melihat binar netra itu, bagaimana caraku membicarakan tentang banyak
mimpi yang sejatinya hanya dikemukakan olehku. Sebab kamu hanya sepatah jiwa, yang
menjalani hidup dengan semestinya.

Meski kamu tahu semua itu palsu, namun garis kurva itu stagnan dalam persentase seratus
persen.
Harusnya mereka tahu aku terbelenggu dalam kebingungan atas luas dan sempitnya
semesta. Tapi mereka seolah buta dengan menyalahkan jika harusnya aku menerima apa
yang ada. Bukan, bukan aku – tapi untuk mereka.

Fana dari keberadaaan yang mereka inginkan adalah perayaan, tapi bukankah itu adalah
kuburan untuk pundak kecil ini? Burung yang lepas melintasi langit dan juga angin yang
menemani mereka untuk mengarungi kebahagiaan. Jadi, ketidakpahaman apa yang mereka
dapatkan? Apakah kurang jelas? Mereka membunuh.

Tapi lagi, dunia tidak serela hujan untuk jatuh dan diterima agar dimanfaatkan. Mereka
terlalu monster untuk kita yang merupakan keabadian.
“aku selalu ingin sembuh. Kepalaku penuh dengan beribu kemungkinan. Bagaimana jika
saat ibu kembali aku masih belum pandai menulis? Bagaimana saat ibu kembali aku masih
terbata saat membaca? Bagaimana saat ibu kembali badanku masih penuh luka yang buruk
rupa? Bagaimana saat ia tidak mengenaliku sebagai yori, tapi monster kecil?”
Untuk apa aku dilahirkan? Jika hanya terus dihadapkan dengan tatapan aneh orang-orang,
menusuk tajam seakan mereka melempar pisau tanpa gerakan tangan. Jika hanya terus
dihadapkan dengan ejekan teman-teman yang merasa paling suci, jika hanya diam terus
menangis, mempertanyakan kehidupan dengan segala eksistensi rancu diri sendiri.
Aku tidak mau hidup.
Aku berlari menuruni bukit, mengantongi satu bintang yang kupetik dari langit. Buru-buru
mengetuk pintu, aku tak sabar segera menunjukkannya, kamu bertanya-tanya saat aku
memintamu mengulurkan tangan, aku tersenyum lalu menjelaskan bahwa bintang ini
mampu mengabulkan satu permintaan. Kata mereka kita adalah takdir paling mengada-ada
yang mengantarkan malapetaka.
“kalau gitu aku akan minta kepada sang bintang untuk menggandakan satu permintaan ini
menjadi dua. Jadi masing-masing dari kita dapat satu”. Aku mengangguk
Ketika permintaan itu menjadi dua aku mengajakmu menuju gerbong kereta tua tempat
biasa kita membunuh waktu bersama. Tak lama badai datang dalam sedetik setelah
tubuhmu basah kuyup berhasil bertempat dengan selamat.
Mendaratkan diri di salah satu kursi, dari belakang kamu bergerak mengikuti, bintang yang
kupetik kamu keluarkan dari dalam tas. Tanganmu bertaut, kedua matamu tertutup, siap
mengutarakan permintaan. “semoga kalau kita terlahir kembali, dunia akan menerima kita
apa adanya tanpa mempertanyakan kepantasan kita.” ketika permintaanku selesai perlahan
sebongkah cahaya di tanganmu itu memudar, lenyap, lalu menyatu di malam gelap.
“permintaan yang bagus.” aku setuju, karena kita jauh dari kata manusia hina.

-Ayah berkata, ibu pergi karena aku memilki otak babi,


Ayah berkata, ibu pergi karena aku yang menjadi monster.
Dunia ini jahat sekali untuk monster sepertiku,
Aku dihina, dilempar, diejek satu dunia karena menjadi monster.

Lucunya, aku terima dengan lapang dada. karena tidak ada yang meyakinkanku bahwa
aku normal-

-Kalau semua manusia di dunia berkata bahwa kau adalah monster,

Akulah teman monstermu itu.


Kamu tidak pernah memiliki otak babi,
Kalau kau merasa memiliki otak babi, akupun juga.
Aku akan rentangkan tanganku untuk memelukmu paling erat,

Ingat, dari dulu kau normal-


Kepingan rasa aman itu menguap menyebar menjadi deru nafas tatkala aku mendekapnya
untuk diberikan padamu. Pecahan perasaanmu terinjak, terkikis, berhamburan sampai aku
tidak tahu bagaimana mengembalikannya padamu. Kamu bukan monster dan otak babi,
yori. Sebab dunia terlalu besar untuk menerima bahagiamu yang seujung harap, sebab
dunia terlalu sempit untuk menerima aku yang tak punya syarat untuk kita. Sebab, kita
hidup di dunia yang kecil mengartikan bahagia sepadan untuk siapa saja.
“tuhan aku ingin cepat cepat dewasa. Berlari ditengah sawah alang-alang tanpa takut
menginjak serpihan kaca, terkikik atas perputaran kertas pada kerajinan kincir angin yang
kamu buat pagi tadi, dan terhindar dari hiruk pikuk omelan orang-orang tua sebab kita
sudah dewasa, kita boleh atur diri sendiri.”
Ayo berlari hingga sampai pada jurang kebahagiaan!

Kita cuma anak kelas lima yang sepatutnya rasakan bahagia, bukan rasakan melankolia dan
tubuh yang luka-luka disiksa ayah dan teman-teman yang mengolok-olok. Dunia ini tak adil
bagi kita yang masih kecil. Maka dari itu, ayo berlari kencang meski diujung sana ada jurang.
Berlari hingga sampai pada jurang kebahagiaan seperti apa yang semestinya kita dapatkan.
Kita akan segera bebas.
Biar yang tersisa hanya bebungaan yang kamu hapal diluar kepala, sisanya lupakan saja.
Mari bahagia seperti anak lain sebaya kita. Mari kita bahagia bersama,
Jadi, ayo berlari sekencang-kencangnya-
“ada beberapa manusia yang punya cita-cita se-sederhana ingin dipanggil ayah atau ibu. Di
dalam kepala mereka bermain diorama sebuah keluarga yang setiap sudut rumahnya selalu
dipenuhi wangi bahagia dan dipeluk hangat cinta yang membara.
Aku tidak pernah sampai pada cita-cita seperti itu, karena sepanjang aku menjadi anak
manusia, yang kusaksikan dalam sebuah formasi keluarga hanyalah ribuan kehancuran
yang terjadi setiap detiknya.”
Lorong kereta tua yang selalu aku tapaki sendiri, kini ada empat jejak kaki. Gerbong kereta
tua pun kini lebih berwarna lagi, tentu tawa kami mengisi. Meski disekolah harus ada satu
kepalsuan lagi, setidaknya sisi diriku yang ini diterima.
Dinosaurus akan datang lagi, dan kita akan hidup kembali.
Ingin kujelajahi sisi baik dunia yang ada dibalik gerbang biru yang sudah berkarat itu.
Dengan bebas aku akan berlari, merasakan hembusan angin bebas menabrak tubuhku.
Tubuhku mungkin penuh luka, kakiku mungkin lemah, dan jiwaku mungkin pengecut, tapi
bagiku, diriku adalah sebenar-benarnya yang aku mau. Maka tidak ada yang mampu
menghalangi kemanapun kaki kecil ini melangkah. Aku akan mengejarnya, walau harus ke
ujung dunia.

JANGAN LUPA PEGANGAN YANG KENCANG! Sebab kereta ini akan menyusuri birunya
lautan. Tidak perlu takut kedinginan sebab definisi dingin yang sebenarnya sudah kita
tinggalkan jauh-jauh di belakang-membeku bersama hati manusia yang sudah kehilangan
fungsinya dan kota yang sebentar lagi tenggelam tertimbun dosa-dosa para penghuninya.
Ikan-ikan akan berenang melintang-lintang mengiringi dan memandu kita menuju stasiun di
ujung jalan. Aku dengar, di sana kita akan disambut oleh rasi bintang. Bisa jadi ada salah
satu dari mereka yang membentuk namamu dan mereka akan melafalkannya lebih lantang
daripada siapapun yang bisa. Dan aku bukan lagi si pengecut yang penakut itu sebab nebula
akan mengerti dan dia tidak sadis menghakimi.

Aku akan meneriakkan namamu sama lantang dan kerasnya kepada angkasa yang menjadi
sedekat nadi di sana. Dia tidak akan menurunkan hujan komet dan meteor hanya karna kita
ada dua anak laki-laki. Dan meskipun angkasa cuma tersusun atas kumpulan atom tanpa
hati, dia tidak akan berani mengataimu abnormal berotak babi.
Air hujan dan reruntuhan tanah bercampur menghantam gerbong ini dari mana saja.
Sepertinya sebentar lagi kita akan segera berangkat. Jangan lupa pegangan yang kencang
sebab kereta ini akan menyusuri birunya lautan. Atau, genggam saja tanganku kalau kamu
mau. 3.. 2.. tanah dan bebatuan itu sudah menghalangi semua jendel. Tidurlah di pundakku.
Nanti aku bangunkan kalau sudah sampai di stasiun di ujung jalan. 1... Kita berangkat.

Anda mungkin juga menyukai