Anda di halaman 1dari 4

Ke Mana Aku Harus Pulang?

Hal terakhir yang kuingat sebelum ambulans membawaku pergi dari kampung
halaman hanyalah tangisanmu dan ibumu, Nak. Tak ada yang lebih menyayat hati seorang
pemikul nafkah ini jika bukan ketakutan akan tidak mampu mengantarmu ke pelaminan.
Beberapa hari belakangan, kau sering mengeluh lantaran pesta pernikahanmu dengan Amalia,
kekasihmu yang kaujanjikan hidup bersama itu, gagal total akibat pandemi Covid-19 yang
bukan hanya memorakporandakan dunia, melainkan juga setiap ruang dalam kepalamu. Kau
bisa lihat betapa angka-angka kematian yang kita dengar setiap harinya begitu berjarak.
Sebagai audiens, kau mungkin tak pernah benar-benar menyadari, tiap angka mewakilkan
satu jiwa yang punya identitas dan kisahnya sendiri. Covid-19 telah memutus benang-benang
kehidupan banyak jiwa di dunia, termasuk jiwa bapakmu ini.

Semenjak hari pertama dinyatakan positif Covid-19, setiap hari ibumu menangis.
Sedang aku hanya mampu memandang pilu dari sudut mataku yang keriput, setetes air mata
jatuh dari matanya yang sama keriputnya denganku. Sejak itu pula, pikiranku kerap kali
campur aduk. Mencari tahu sendiri tentang siapakah yang menderita di balik angka yang
setiap hari bertambah tersebut? Apakah yang mati punya kesempatan untuk melihat wajah
keluarganya pada saat terakhir? Apakah semua tanggung jawab dan beban yang dipikulnya
selama hidup di dunia harus dipaksa berhenti begitu saja? Bagaimana dengan yang
ditinggalkan, apakah mereka pernah menduga takkan diberi kesempatan untuk mengecup
jasad orang yang dikasihinya? Setiap kali pikiranku mencapai pertanyaan semacam itu, yang
muncul di benakku hanyalah bayang-bayang wajahmu di waktu kecil.

Ilham, anakku. Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana rupamu saat terjatuh
dari sepeda atau ketika berebut mainan dengan anak tetangga. Saat terakhir aku
menganggapmu bocah kecil adalah ketika akhirnya kau memutuskan merantau mengadu
nasib. Aku menangisi keputusanmu sesering engkau meyakinkan kami berdua, orang tuamu,
bahwa kau akan hidup baik-baik saja.

“Kau tahu bapakmu ini bukan seorang pegawai, tak ada gaji pensiunan yang bisa
ditinggalkan untuk pegangan hidup ibumu. Ibumu hanya punya dirimu bila kelak aku tiada.”
Selalu saja kuulang kata-kata itu demi mencegah kau pergi. Namun, rupanya darahku yang
mengalir di tubuhmu itu menjadi bumerang untukku sendiri. Kau keras kepala, mirip sekali
denganku. Terlepas dari keegoisanmu yang memilih pergi, aku selalu mendukung
keputusanmu, Nak.

Hari-hari pertama di perantauan, kami masih sering mendapati surat dari kantor pos.
Surat yang mengabarkan bahwa kau masih suka merindukan masakan ibumu. Kita memang
bukan keluarga berada yang bisa saling bertukar kabar lewat telepon seluler, Nak. Akan
tetapi, kau tidak pernah lupa untuk selalu bertanya bagaimana keadaan kami di kampung.
Jujur, hatiku terenyuh kala itu. Tapi itu dulu. Dulu sekali sebelum akhirnya kau mengenal
Amalia dan jatuh hati padanya. Aku turut senang mendengar bahwa berkat Amalia pula kau
mendapat pekerjaan.
“Restui kami, Pak” ucapmu spontan ketika kita berbincang tentang Amalia sesaat
setelah kau pulang dari perantauan kemarin, sesaat sebelum aku dinyatakan positif Covid-19
dan dikarantina di rumah sakit nan jauh dari kampung. Sekarang, di saat-saat seperti ini justru
aku ingin mendengarmu mengucap kalimat itu sekali lagi, Nak. Supaya dengan mudah aku
dapat mengangguk mengiyakanmu selagi aku masih sanggup meski terbata.

“Selamat pagi, Pak” suara seorang perawat yang akan mengganti infus
menyadarkanku dari lamunan. Aku tertegun. Belakangan, rasanya sangat sulit bagiku
membedakan realita dan halusinasi. Memperhatikan keadaan sekitar dalam ruang unit
perawatan intensif rumah sakit yang berhiaskan mesin-mesin canggih yang katanya mampu
membantu memompa obat-obatan ke dalam tubuh. Karena belum ada obat yang terbukti
mampu menyembuhkan pasien Covid-19, metode pengobatan saat ini hanyalah memberikan
asupan oksigen yang cukup ke paru-paru dan berharap kekebalan tubuh mampu melawan
virus sialan itu.

Aku menatap sekeliling ruangan yang bahkan lima kali lipat lebih besar dari kamar
tidurku. Tak ada yang mengganggu pikiranku sekarang selain kematian. Membayangkan
malaikat maut mencabut nyawaku sekarang juga sementara keluarga berada sangat jauh di
kampung. Besar kemungkinan akan ditolak di kampung sendiri. Mereka pikir, jenazah yang
dikuburkan akan turut menyebarkan pandemi itu kepada masyarakat sekitar. Ini bukan lagi
kesalahpahaman, melainkan kombinasi dari stigma akan ketakutan dan kurangnya rasa aman
sehingga masyarakat tak lagi memikirkan kemanusiaan.

Tampak olehku hujan turun sedikit demi sedikit di luar jendela, tetapi kini, dadaku
seperti pendiangan dengan setumpuk bara. Entahlah, Ilham, entahlah, aku tidak yakin suara
hatiku kini akan sampai di telingamu. Namun, paling tidak beginilah aku berusaha. Sungguh
aku ingin kembali meski rasa takut di dalam diriku hampir sama besarnya dengan rindu yang
bertumpuk dan tertahan.

Malam harinya, entah mengapa napasku menjadi semakin sesak. Tim medis saling
memanggil dengan suara tercekat, entah karena terhalang masker dan alat pelindung diri yang
mereka kenakan atau karena suara yang benar-benar parau. Aku merasa semakin lemah dan
tak mampu menggerakkan tangan barang sejengkal. Ketika para dokter itu berusaha
memperlambat kematianku, aku kembali mengingatmu, Anakku. Kini, tubuhku ibarat
layangan putus di tengah angin kencang yang kautangisi di masa kecil. Seandainya kau bisa
melihatku, Nak. Bola mataku hangat. Tak banyak yang ingin kulakukan selain memelukmu
dan ibumu untuk terakhir kali.

Aku mencoba menarik napas kembali dengan susah payah. Para dokter yang tadinya
berusaha membantuku dengan oksigen dan alat-alat canggih yang tak begitu kupahami, kini
mulai menuntunku mengucap kalimat tauhid. Air mataku luruh, begini rasanya menyambut
maut. Tak apa, bukan salah mereka sebab aku sendiri merasa kematian terdengar begitu
dekat. Barangkali, beberapa jam lagi, tepat ketika alarm di kamarmu dibunyikan dan ayam
berkokok bersahutan. Saat itulah, aku akan serapuh daun-daun di musim gugur.

***
Ilham, anakku. Usiamu dua puluh tujuh tahun kini. Sepanjang hidupmu, pasti belum
pernah kau mendengar kabar kematian lewat toa yang disiarkan berkali-kali dalam sehari,
atau bendera putih yang terpasang di setiap gang yang kaulalui. Yang jelas dan pasti, kini
bapakmu adalah satu dari sekian banyak angka kematian yang terus meninggi, yang kau tatap
dengan nanar di layar televisi.

Aku tahu, Nak. Tidak seperti mereka, kita yang menjadi bagian dari penambahan
angka tersebut mungkin sangat berat melanjutkan kehidupan kembali lantaran menghadapi
perpisahan yang tak terperi. Namun, kematian kini tampaknya tidak hanya mulai dianggap
wajar, tetapi mulai muncul gelombang orang-orang anti kematian. Mereka yang menolak
kematian dan menunjukkan emosi penolakan pada kematian bukanlah oknum yang bisa
sepenuhnya disalahkan, Nak. Mereka hanya tidak mampu mendudukkan diri dalam posisi
‘yang mati’ dan ‘yang ditinggalkan’, yang pasti menginginkan tempat pembaringan terakhir
penuh kedamaian.

Sebagaimana jasadku kini yang ditolak kampung halaman. Aku tahu dan telah
menduganya dari jauh-jauh hari. Namun, tidak pernah sesekali membayangkan kau dan
ibumu berlari menderap berusaha mendekat. Petugas medis yang membawa jasadku
mencegahmu hingga tampak olehku tubuhmu yang bergerak menjauh dengan tangis
mengucur deras dari bola matamu yang hampir tertutup oleh kelopaknya.

Nak, negara kita memang tidak separah Ekuador, yang kini mulai meletakkan
jenazahnya begitu saja di tepi jalan. Pemerintah kita juga tidak seburuk Donald Trump yang
dengan enteng mengatakan bahwa kematian di Amerika Serikat, menurutnya, hanya
berjumlah seratus ribu, bukan dua miliar. Akan tetapi, jangan jadikan ini sebuah kebolehan
bagimu untuk mewajarkan kematian. Jangan pernah.

Jangan berakhir seperti ini, Nak. Jangan mewajarkan kematian. Tetaplah menjadi
seseorang yang menganggap kematian sebagai sesuatu yang tidak wajar dan memproduksi
rasa miris karena rasa itulah yang akan membuatmu tergerak untuk menolong, berempati, dan
yang terpenting tidak kehilangan kemanusiaan serta solidaritas untuk menyelamatkan
sebanyak-banyaknya orang hidup.

“Bapak..” panggilmu dengan suara serak yang seakan tercekat di kerongkongan.


Sesaat setelah diperbolehkan petugas medis dengan syarat tetap menjaga jarak dan
mengenakan masker. Saya hanya perlu mendekati jasad bapak sebagai tanda penghormatan
terakhir, begitu kira-kira ucapanmu yang meluluhkan hati mereka. Seandainya aku masih bisa
bergerak, Nak. Mungkin kini bahuku telah berguncang hebat oleh isak tangis.

“Aku kira Bapak masih akan pulang dan menyaksikan aku menikah..” racaumu
dengan tangan mengusap bercak air mata. Kulihat tanganmu mengayun, berusaha menggapai.
Sementara ibumu telah dibopong beberapa orang setelah jatuh terjerembab ke tanah.
Sungguh, aku sangat ingin mendekap tubuh renta ibumu, Nak, istriku itu.

Kau sudah dewasa kini, Anakku. Sebentar lagi kau beristri. Aku selalu berharap kau
mengerti bahwa tak pernah sekalipun aku melarangmu melakukan apa pun yang kamu mau.
“Restui kami, Pak,” katamu sejenak sebelum mayatku disurukkan ke liang lahat. Ini
yang aku takutkan, Nak, ketika kau meminta restuku sementara aku sudah tak sanggup
mengangguk dan mengatakan iya. Aku tidak kuasa menolak sementara rua ke surga telah
terkuak. Aku menangis mendengarmu.

Selamat menikah, Anakku. Tidak ada yang bisa kuharapkan selain kebahagiaanmu
atas jalan hidup yang telah kaupilih.

“Selamat tinggal, Pak” katamu sebelum memunggungi makamku.

“Selamat menempuh hidup baru, Nak..” balasku dengan air mata yang luruh.

***

Anda mungkin juga menyukai