Anda di halaman 1dari 4

“BOCAH-BOCAH BERSERAGAM BIRU LAUT”

Karya Puthut Ea

Aku seperti kupu-kupu di ruang ini. Kupu-kupu dengan sayap yang butut dan rapuh. Kupu-kupu
yang kadang kala berlagak bisa terbang jauh. Seekor kupu-kupu yang berharap bisa mendekati
fakta tetapi malah terperangkap di kaca jendela. Lingsut, lelah, dan menggelepar di sana.
Mungkin selamanya.

Ruang teduh, ruang nyaman. Ruang tunggu dengan warna pastel. Lubang-lubang ventilasi kecil
di dekat langit-langit tinggi itu membawa bocoran harum yang mungkin berasal dari beranda
surga. Ratusan kepala bocah yang ada di dalamnya menekuri lantai, ratusan yang lain terlentang
menatap langit-langit ruang. Aku mengitari mereka perlahan-lahan, sebagaimana seekor kupu-
kupu mencari hinggapan. Kepala-kepala itu masih penuh cerita. Kepala-kepala itu masih penuh
derita. Yang membuat lega hanyalah ketika malaikat penjaga neraka menolak mereka. ”Tempat
ini bukan untuk anak-anak manis seperti kalian. Pergilah ke ruang tunggu yang nyaman itu.
Tunggulah sejenak, sebentar lagi surga akan dibuka tepat pada saat di mana kalian merasa
mengantuk.”

Bocah-bocah itu berseragam biru laut. Dari tubuh mereka menguar bau harum taman di pagi
hari. Tapi jangan bayangkan bahwa kulit mereka lembut dan bantat seperti donat. Mereka belum
sempat bermimpi mempunyai rambut lurus di tengah kewajaran rambut bergelombang, mereka
belum sempat bermimpi mempunyai kulit putih di tengah kegaliban warna kulit coklat matang.

Kepala mereka memancarkan warna ungu yang sedih. Sebagian dari kepala mereka menunduk,
menekuni lantai, mungkin ingin kembali membaca masa lalu, sebuah masa di mana kisah sedih
digelar oleh waktu. Sebagian menatap kosong langit-langit ruang, mungkin ingin membaca masa
lalu, sebuah masa di mana rasa sakit berpilin dengan nelangsa. Ada masa memang, seluruh anak
diciptakan hanya untuk bersedih dan menderita. Ada kurun waktu di mana kelak akan tercatat,
anak-anak terlahir untuk menangis sepanjang waktu.

Aku masih mengitari mereka seperti kupu-kupu. Aku ingin hinggap dan menyadap kisah. Tapi
selalu dan selalu, ada jarak yang terentang jauh antara si penyadap dan yang disadap. Senantiasa
ada pintu-pintu terkunci, halaman-halaman tak terbaca, antara aku yang hanya membaca dan
mendengar, dengan mereka yang mengalami sendiri.

Tubuh mereka seperti dilindungi oleh arus deras yang tidak terlihat. Ada semacam badai lembut
yang membalut tubuh mereka. Sehingga setiap kali aku mencoba hinggap, aku terlempar.
Percobaan yang selalu aku ulang. Sekali dua, sempat aku hinggap, sebelum kemudian kembali
terlempar jauh, dengan hanya membawa sari-sari kisah yang tidak cukup sah untuk kurangkai.

Lalu aku akan terbang agak tinggi, mendekati lubang ventilasi, mencoba bernapas lebih lapang
dengan bocoran harum yang bertiup dari beranda surga. Setelah cukup tenaga, kembali aku
mengitari mereka, mendaratkan diri di antara ratusan bocah yang menekuri lantai. Tapi seperti
mata yang menghadang cahaya matahari, seperti laron yang mencoba mendekati unggunan api,
aku lebih sering terpelanting. Hanya sesekali, ada sari-sari kisah yang cacat peristiwa, bisa
kubawa pergi. Dan aku terus mencoba lagi, setelah mendapatkan tenaga dari lubang ventilasi.
Demikianlah, setelah beribu kali aku melalukan percobaan tolol itu, kuberanikan diri untuk
merangkainya. Dan aku seperti kupu-kupu yang terjerembab di tanah berdebu. Mengepak pelan,
melemparkan rangkaian kisah yang cacat peristiwa. Hanya bermodal harap dan cita, siapa tahu
memang ada suatu masa di mana seluruh bocah datang hanya untuk berbahagia.

***

Dua bocah itu berpelukan di sebuah sudut. Dua kakak beradik, beradu kepala, dan saling
melingkarkan lengan, berpelukan. Aku mencium sari kisah yang terbakar. Mereka mati dibalut
api. Ibu mereka terlalu bersedih. Kemiskinan mungkin masih berani dihadapinya. Tapi satu di
antara mereka, menderita sakit yang tak mungkin ditanggulangi. Uang mereka tidak cukup untuk
membiayai. Si ibu mengambil seliter minyak tanah. Dua orang yang masih lelap, mencoba
diselamatkan oleh sepasang tangan yang menggigil. Tangan ibu mereka sendiri. ”Nak,
penderitaan ini tidak akan sanggup kita hadapi. Hanya kematian yang bisa menyelamatkan kita.”
Dan api berkobar. Mereka bertiga meregang. Mereka bertiga berpelukan, seakan masih ada janji
yang belum selesai ditunaikan, berharap ada dunia di seberang yang bisa membuat mereka
berkumpul untuk makan bersama di pagi yang cerah.

Aku mampir pada segerombol bocah yang lain. Bocah-bocah itu seperti berjongkok, membuat
lingkaran besar dengan posisi saling berhadapan. Tangan-tangan mereka terkait satu sama lain,
membuat rantai lingkaran yang kokoh. Kaki-kaki mereka mengecil. Kaki-kaki mereka bengkok.
”Ada yang salah dengan tubuh kami. Kami tidak ingin berjalan empat kaki seperti sapi. Mereka
membangun rumah sakit bergedung tinggi. Mereka menganggap rumah sakit adalah hiasan kota
yang membuat para pelancong merasa nyaman dan senang. Mereka ingin mengatakan pada
dunia, inilah kota kami yang indah dan makmur. Mereka seperti sepasang keluarga yang
memajang potret pernikahan di ruang tamu, untuk memastikan pada seluruh orang yang
berkunjung bahwa pernikahan dan rumah tangga mereka baik-baik saja. Tapi mereka
membiarkan kami seperti ini.”

Di samping lingkaran besar itu, tubuh-tubuh kecil berbaring. Tubuh mereka mengecil dengan
mata terbelalak membesar. Mulut mereka sangat lemah. Bumi seperti menyedot seluruh daya
mereka lewat punggung yang tertempel di lantai. Satu di antaranya berkata, ”Ibu membawaku
pulang dari rumah sakit. Ibuku tahu aku akan mati. Ibuku sudah tidak punya air mata. Ibuku
kalah dalam menagih janji. Mereka bilang biaya perawatan gratis. Mereka bohong. Mereka
membiarkan aku mati, dan membiarkan perasaan ibuku bolong. Mereka mencoba membunuhku
dua kali. Pertama membiarkanku tidak punya gizi, kedua membiarkanku pulang karena ingkar
terhadap janji.”

”Aku pulang ketika bel istirahat pertama berbunyi.” Si anak yang berkata, bermata alum.
Suaranya serak. ”Orangtuaku tidak ada di rumah. Aku pergi ke lemari pakaian ibuku yang sudah
tidak ada kuncinya lagi. Aku mengambil selendang milik ibu, selendang yang baunya selalu
membuatku rindu padanya dan pada masa ketika aku sering digendongnya. Sudah dua bulan
SPP-ku tidak terbayar. Aku juga masih belum membayar uang Lembar Kegiatan Siswa. Aku
tidak enak dengan ibu guru, aku malu dengan teman-temanku. Aku membuat tali menggantung
dari selendang ibuku. Aku tahu ibu sangat menyayangiku. Tapi di hari itu, aku ingin mengatakan
kepadanya bahwa di luar sana, uang tidak bisa diganti dengan rasa sayang.”
Pintu masuk ruang tunggu itu terbuka, sebaris anak-anak berseragam biru laut masuk. Sebagian
dari mereka mengambil posisi duduk melingkar, sebagian lagi terlentang menatap langit-langit
ruang tunggu yang begitu tinggi. Seluruhnya anak-anak yang seharusnya berpakaian putih dan
merah.

Aku mengitari sesosok tubuh yang menyandarkan tubuhnya di dinding. Kepalanya menyorotkan
sinar ungu. Arus kuat menderas ketika aku hendak hinggap. Kembali aku hampir terpelanting,
kembali aku harus menuju ke lubang ventilasi, lalu pada kali ketiga aku berhasil hinggap di
kepalanya, menyadap sari ce- rita, sebelum kembali terlempar jauh.

”Kami belum ingin surga. Kami ingin dunia. Kami ingin belajar menjadi manusia. Tapi kami
tidak sanggup berada di dunia yang dulu. Dunia yang pahit. Dunia yang tidak kunjung kami
mengerti. Kami ingin bermain layang-layang dan bersepeda. Kami ingin bernyanyi dan berlari.
Kami ingin bermain air dan bermain api. Kami tidak ingin di sini. Kami belum ingin ke sini.
Tapi mereka memaksa kami. Mereka mendorong kami. Kami tahu dunia adalah tempat orang
bersedih, tapi kami tahu dunia adalah tempat orang bergembira. Hanya kami sungguh tidak
mengerti, ada celah di dunia sana, begitu bayi terlahirkan, dia harus menanggung nista dan
sengsara. Mereka tahu kami akan mati. Mereka tahu kami mati. Mereka tahu, dan mereka diam
saja!”

Seorang gadis kecil di sampingnya ikut berkata, ”Aku telah jadi mayat ketika bapak
menggendongku naik kereta. Aku mati karena muntaber. Mati karena tidak cepat mendapat
pertolongan. Bapakku tidak kuat menyewa ambulans untuk mengangkut mayatku. Aku
digendong naik kereta. Bahkan, bapakku sempat bingung dan tidak tahu di mana bisa
memakamkan mayatku. Bagi orang miskin seperti kami, mati pun masih menyisakan masalah.”

Aku hinggap lagi. Aku terlempar lagi. Kembali, hanya serpih sari-sari kisah yang bisa kusadap.
Dan tibalah satu sentakan besar. Sangat besar dan kuat. Aku ditabrak warna hitam. Aku ditabrak
warna putih. Aku seperti hancur. Seperti hilang.

***

Aku masih seperti kupu-kupu di dunia ini. Dengan sepasang mata yang rabun dan perih. Kupu-
kupu yang berharap bisa terbang mendekati fiksi, tapi malah terperangkap dalam kawat-kawat
besi. Mungkin sampai mati.

Aku hanya seperti kupu-kupu. Hanya seperti. Tidak lebih. Karena aku melewati masa kecil tanpa
ancaman busung lapar, tanpa takut terserang polio, tak pernah berpikir jika sakit dipulangkan
oleh petugas rumah sakit. Aku memang pernah berpikir untuk bunuh diri di waktu kecil, tapi itu
karena uang jajanku tidak ditambah. Aku hanya seperti kupu-kupu. Berharap mendekati dan
mengerti penderitaan mereka hanya lewat kabar dari koran dan berita dari televisi. Seekor kupu-
kupu yang berlagak bisa memilin fakta dan fiksi, namun yang terjadi selalu masuk dalam dua
jebakan besar. Kalau tidak malu-malu dan salah tingkah, pasti masuk ke jebakan serampangan
dan genit.

Sementara barisan bocah-bocah berseragam biru laut terus mengalir ke ruang tunggu. Mereka
datang dari mana-mana. Sementara banyak orang yang seperti kupu-kupu, beterbangan, berharap
menyadap dan menghadirkan kisah, sambil terus menyimpan kenangan tentang masa kecil yang
riang sekaligus menyimpan harapan akan masa depan yang nyaman, di tengah- tengah barisan
bocah-bocah berseragam biru laut menuju ke ruang tunggu.

”Ah, itu hanya kabar yang berlebihan. Lihatlah, akan selalu lahir generasi-generasi yang lebih
baik dari kita.” Mereka berkata sambil terus menggali lubang-lubang utang, meracuni laut,
membobol gunung, menebangi hutan. Ya, generasi yang lebih baik. Dengan wajah dan kulit
plastik, dengan tangan penuh tombol, dengan tubuh terlilit kabel. Sambil terus mengunyah
berita-berita penuh kebohongan, sambil menyeringai dan berkata, ”Hari gini, gitu loogh…”.

Mereka benar. Ada perbedaan memang, bocah-bocah berseragam biru laut mati dengan cepat,
kurang gizi, kelaparan, bunuh diri. Sedangkan yang lain mati dengan cara lebih lambat,
disorientasi, depresi, keracunan kabar bohong dan bahan makanan.

Mereka benar, dan mungkin sekaligus mereka tolol. Sedangkan aku seperti seekor kupu-kupu
yang tidak kalah tololnya. Hari itu, sebuah koran mengabarkan seorang bocah mati bunuh diri
karena tidak bisa membeli buku, dan televisi memberi tahu ada seorang bocah mati bunuh diri
karena ia merasa terlalu gemuk dan tidak secantik dulu. Mereka berdua sama-sama bertemu di
ruang tunggu, memakai seragam biru laut dengan kepala memancarkan warna ungu.

Anda mungkin juga menyukai