Anda di halaman 1dari 105

cerita panjang

S. JAI

CALCUTTA
VAN
JAVA

SINOPSIS

KASIYATI, seorang penghibur di gang mesum memutuskan melayani seorang saja


tamunya. Seorang berkebangsaan Belanda, Gerritsen. Pria itu bekerja sebagai ahli
mesin di perusahaan yang terancam diswastanisasi oleh negara.
Di Jawa, Gerritsen punya misi lain selain tentu saja mencukupi kebutuhan hidup
Kasiyati dengan seorang putranya. Pria itu bertugas memuluskan jalan agar
perusahaan itu kembali dikuasai orang Belanda.
Kenyataannya, di Jawa Gerritsen malah melunasi kebebasannya menjalin hubungan
asmara dengan mahasiswi ilmu budaya, seorang putri induk semangnya. Namanya
Umi
Khalsum. Di luar dugaan, gadis itu ternyata punya sederet nama lain karena ia
pencari jati diri.
Tepatnya gadis itu seorang pemburu masa lalu.
Ia menemukan diri dan kejayaan Jawa di masa silam. Juga cinta yang membebaskan
pada diri Gerritsen berawal dari sihir tarian bulu ayam di lubang kuping pria
itu.
Hal yang sama terjadi pada Kasiyati, seorang pendamba masa depan, terhadap
Gerritsen. Hebatnya keduanya adalah perempuan pemuja cinta yang merindukan
tersingkapnya rahasia keindahannya, keagungannya.
Lantas bagaimana misteri hubungan keduanya, Kasiyati dan Umi Khalsum? Jiwa dan
raga? Juga masa lalu dan masa depan?[]

MULA-MULA adalah kata. Jagad tersusun dari kata. Demikian menurut penyair
Subagio Sastrowardoyo.
Namun saya percaya da menyakini bahwa nenek moyang segala ilmu, juga tentu saja
kata adalah mitos. Bahkan jauh sebelum kata-kata itu peras sampai apuh beban
artinya, mitos telah lebih dulu menyingkap makna sampai akarnya yang purba,
murni, asali. Mitoslah yang mengembalikan kepastian, kebenaran tak terbantahkan
dan suci.
Saya percaya dan menyakini amanah pengarang itu terletak pada kemuliaannya untuk
mengingatkan bahwa menghidupkan kata pada karya itu semulia kreasi Tuhan
meniupkan ruh hidup manusia di semesta. Seperti laiknya partikel atau gelombang
abstrak selaput jagad.
Jadi kata itu seperti manusia juga. Seperti juga manusia, ia tahu bagaimana
harus hidup, bercinta dan menyusun pikiran besar melunasi hasratnya pada alam
cita. Tentu saja laiknya pengalaman batin, hasrat yang demikian sangatlah
subjektif. Bagai sajak dalam aku lirik.
Saya meneropong sedekat mungkin manusia dengan sudut pandang aku yang merdeka
tanpa niat untuk menganiaya. Biarlah mereka bicara dengan bahasa mereka sendiri.
Saya hanya menghormati sebagaimana saya angkat topi pada kejujuran dan
kemurnian
kata.
Tentang cinta, saya menyakini cinta yang berpuasa, cinta yang menahan diri agar
terhindar dari kesepian, kecemasan apalagi kehilangan hak milik saya sebagai
individu yang kreatif. Cinta yang sulit diterjemahkan, disingkapkan dengan kata-kata
karena kata tak sanggup menampung kandungan isinya. Tapi juga cinta yang tak
bisa menemukan titik paling subtil dalam kata.
Justru saya menangkap bayang keindahan cinta itu dari salah satu versi mitos
Cerita Panji—sebentuk foklor, cerita rakyat yang dihargai murah karena dinilai
tidak bermutu dan rendah.

PROLOG:

Candra Kirana

BIAS binar keajaiban cinta tetap nyala. Bagai lazuardi api yang berkobar tertiup
angina. Semesta dibasuhnya, meski sang kekasih telah tiada. Atas nama cinta Dewi
Anggraeni, yang terbang menghadap sang pencipta, Raden Panji Yudarawisrengga
menolak kawin dengan saudara sepupunya, putrid Prabu Lembu Merdhadhu di Kediri.
Pewaris tahta kerajaan Jenggala itu memilih menyingkir ke Ngurawan—tempat Prabu
Lembu Pangarang, pamannya, bertahta. Raden Panji yang juga punya nama
Jayakusuma
itu pun berpetualang cinta dengan menikahi putri pamannya, Dewi Surengrana.
Sang pangeran muda itu pun telah melunasi takdir keajaiban cintanya, tatkala
ruang waktu peristiwa berkubang pada peperangan. Ketika itu pecah pertempuran
antara kediri dan Hindustan. Pemantiknya, harga diri yang terbeli lantaran
lamaran raja Hindustan, Kelana Sewandana ditampik Dewi Candra Kirana. Perang
berakhir dengan Prabu Kelana berkalang tanah bersimbah darah. Segera, sang
pangeran muda memetik kesempurnaan bulan pada diri Kirana yang jelita.
Nun jauh di sana, selembar jiwa bernyanyi dalam duka. Surengrana musti mengisi
hari-harinya yang dirobek senandung cemburu. Tangisnya seperti tembang.
Perempuan itu membunuh sepi dengan menderak-derakkan jeruji giginya. Dia
memarut
geram sendiri. Ia pun menuai badai. Badai langu membungkus namanya, Dewi
Thotok
Kerot.
1. Pitutur Pengantar Tidur

DUHAI anakku tersayang,


Entah sudah berapa dongeng kuceritakan padamu. Kini sampailah pada kisah
penghujung di usiamu. Sejenak lagi kau tumbuh remaja. Bila sebelumnya telah
kukisahkan tentang dongeng binatang, cerita berikutnya adalah perihal manusia.
Bukan maksud ibumu hendak menghentikan tradisi bercerita kita. Tapi semata-mata
agar engkau belajar mencari, menemukan dan menyelami cerita-ceritamu sendiri.
Sesukamu. Sekehendakmu. Sebebas merpati yang terbang dan kemudian kembali
pulang.
Engkau punya rumah, anakku. Hanya inilah pesanku. Engkau juga punya ibu.
Seburuk
apapun ibumu. Sebrengsek dan senaif apapun dia.
Sekalipun orang lain menilai kehidupan kita tak bermutu, belajarlah mencari arti
dari keadaan itu sesungguhnya. Karena dengan demikian kau tak terbiasa dalam
kepalsuan, sebelum selanjutnya menolak kepalsuan itu. Sebab itulah sebagai anak
yang hendak menginjak remaja, saatnya kini kukisahkan padamu dongeng tentang
sesuatu yang dianggap orang tidak bermutu. Manusia yang kukuh sungguh
melawawan
kepalsuan itu.
Ibumu ini telah cukup melihat cerita ini banyak yang tidak masuk akal, hilang
ingatan atau antara mimpi dan kenyataan. Ibumu hanyalah seorang tukang cerita
bagi anak-anaknya seperti engkau, anakku. Agar tumbuh kuat dan hidupmu bermutu.
Sekalipun kita dilahirkan di dekat air comberan dengan kondom beterbangan
dikendarai busa sabun wangi dan sampah shampoo di komplek pelacuran berbau
minyak srimpi ini.
Wahai putraku tercinta,
Ibumu memang seorang pelacur, tapi kisah ini adalah cinta yang besar bagimu,
bagi hidupmu, dan bagi harapan-harapan kehidupan di masa mendatang. Agar engkau
jadi tahu tak semuanya yang besar musti berawal dari kemewahan, kemegahan.
Inilah misteri dari cinta, anakku. Tumbuh dimana ia suka. Sekarang, tiba saatnya
kau perlu tahu gairah hidup ibumu yang demikian juga disemangati oleh dongeng
yang abai. Tentang seorang wanita yang dikutuk karena kebiasaan buruk. Seorang
pencemburu yang senantiasa menderak-derakkan giginya. Kerot-kerot mengunyah
dendam dan benci. Mungkin semacam cinta juga. Bahkan dendam itu pun diabadikan
dalam sebuah arca Dewi Thotgok Kerot. Luar biasa tinggi arca perempuan yang
sedang sial itu.¬1)¬
Tentu saja ibu menyimpan banyak tanya, gugatan. Sedemikian buruk nasib sang dewi.
Sementara pria punya selera, sang pujaan Panji Jayakusuma malah kian
memprimadona justru karena sering berganti nama dan cintanya. Terlebih terhadap
Dewi Candra Kirana. Seolah mereka sejoli penyelamat dunia.
Aku protes keras, anakku. Cinta itu misteri yang bukan cuma milik orang istana,
putera raja-raja yang sempurna hanya dalam cerita. Kita tidak akan pernah
sesempurna cerita itu, anakku. Tapi cinta itu tumbuh tidak pernah pilih kasih.
Ia hadir pula bersama kita, di sini. Di dunia nyata maupun mimpi kita, cerita
kita ini.

2. Senja Seorang Delicata2)


TAKUT? Ah, aku telah tak punya rasa itu lagi. Garis hidupku yang melabuhkan aku
di gang mesum ini, telah suntuk bagiku. Menjadi orang buangan, tapi dibutuhkan.
Jadi yang terhina tapi dipuja lelaki hidung belang, telah mendamparkan takdir
kehidupanku yang sama sekali lain. Meski aku tak tahu persis apakah takdir itu
kurebut atau hanya terseret arus yang menyebabkan aku demikian tak punya takut.
Katakanlah sesuatu kekuatan tumbuh dari bawah kesadaran jiwaku, bahwa hidupku
kini yang sebenarnya, telah ada di ruang rongga tubuhku. Sedang jasad ini
ternyata tak cukup berguna kecuali bagi lelaki yang perlu menenggelamkan batang
tubuhnya.
Karena itu, aku tidak takut dengan garis keriput di raut mukaku. Aku tak gentar
dengan usia senja yang bakal menyerang tubuhku. Apalagi hanya untuk hilang nyali
bila mulai sepi dari penjaja tubuhku. Aku merasa punya hidup baru sebagai
seorang wanita berjiwa pengembara yang meninggalkan jasadnya. Agar menikmati
keluasan samudera alam cita, merasuk ke dalamnya, mendaki puncak-puncak gunung
es di dasar lautan terdalam, terjauh. Aku tak peduli tubuh semenjak lelaki
sedang butuh.
Meski aku tetap setia tinggal di gang sempit ini, kendati tak masuk dalam kamus
pilihanku. Aku memang tak punya pilihan, seperti halnya aku setia pada jasadku
yang tak tersisih sekalipun merepih. Pilihanku hanyalah aku punya obsesi yang
besar pada kehidupan yang sederhana di gang sempit dan mesum ini. Gang yang
cuma
kenal ditindih atau menindih.
Ya, keberanianlah yang menggurat di nadi leherku. Keberanian untuk kembali lahir
lagi, hidup lagi, tidak sekadar sebagai seorang pelacur miskin yang sentimental
pada isi kantong lelaki. Aku ingin bernyali besar tumbuh sebagaimana jiwa
seorang wanita, seorang ibu bagi anakku dan seorang manusia yang mengendarai
sendiri mimpi-mimpinya. Bahwa menjadi manusia, menjadi wanita tidaklah
sesederhana di gang mesum ini.
Ketika perempuan-perempuan sibuk menjemur kasur, mencuci sprei, atau upacara
menelan pil anti hamil, aku berkelana selaku wanita tukang cerita bagi anakku.
Aku memperkenalkan negeri asing yang entah itu dongeng, mimpi atau dunia nyata
keadaannya. Aku tak peduli. Karena bagiku yang terpenting adalah aku sedang
menciptakan suatu dunia baru yang sanggup melepaskan seluruh krisis yang mendera
tubuhku. Bagaimana rupanya? Seperti apa wujudnya? Percaya atau tidak? Itu hanya
semata urusan orang yang mencari-cari pekerjaan yang sia-sia. Paling-paling aku
cuma dicap perempuan yang mati rasa, yang sakit jiwa atau putus asa akibat
dagangannya nganggur percuma.
Tapi kalianlah sebetulnya yang sakit
“Satu-satunya kebusukanku, aku adalah seorang pelacur. Itu semata-mata urusan
tubuhku sendiri. Aku sudah bermaksud menghentikannya dengan cara hanya
menerima
seorang tamu saja. Seorang saja. Selebihnya, jiwaku sehat walafiat. Bahkan belum
pernah aku merasa sesehat ini. Aku punya anak, punya hidup, punya cinta, cita
dan punya hak dan kuasa. Apa yang salah? Aku juga punya misteri yang kukejar,
punya gairah yang memabukkan untuk kuburu. Apalagi? Salah satu kebrengsekanku
hanya urusan jasadku.”
Setiap lelaki yang kuhardik dengan kasar seperti itu tak cukup pintar untuk
mengerti. Lelaki paling cerdas hanya bersikap mundur teratur. Tapi yang bodoh
biasanya mengajak bertempur. Sedang pria yang setengah-setengah seringkali
berucap, “astagfirrullah.” Kata yang di gang mesum ini terbilang sangat kejam
menggantikan kalimat, ”Tuhan menyembuhkan penyakit sosialmu dengan mengutuk
jadi
gila.”
Dengan makhluk pria, aku tak pernah berdebat. Cukup jelas bagi yang datang di
gang ini, juga yang ke rumahku bukan lelaki yang punya jiwa petualang soal-soal
kegilaan atau kemabukan. Yang datang Cuma sepenggal nafsu dengan bumbu
perasaannya. Atau seonggok hati yang berekor birahi. Dan tentu saja uang atau
perjanjian utang.
Selain itu, juga lantaran di pintu rumahku dan pintu jiwaku seakan tertulis
pesan, “Tak ada tempat untuk berdebat,” atau, “Ceritaku tidak untuk digugat.”
Namaku Kasiyati. Ejaan yang benar Kasih Hati. Tapi penghuni gang mesum ini akrab
memanggilku Mening. Bila ada lelaki yang senang dengan nama Kasiyati, sudah
barangtentu dia bukan pria biasa. Dulu aku tersiksa dengan nama Mening. Kini
tidak lagi. Aku punya seorang putra tanpa bapak, Jauhari. Panggilannya Jauhar.
Aku sendiri yang memberinya nama. Seperti juga aku yang menentukan jalan
hidupnya, juga jalan ceritanya.
Aku menjalin kasih dengan pria berkebangsaan Belanda, Edeleer L Gerritsen. Aku
berharap dia bisa menjadi ayah yang baik bagi Jauhar. Karena keinginanku itu,
aku sendiri yang menambahkan Edeleer di depan namanya itu. Artinya, tuan yang
terhormat.

3. Kupunya Nama, Maka Aku Ada


ENTAH bagaimana mulanya, keberadaanku, kehadiranku begitu tiba-tiba saja ada.
Aku lahir, hidup, punya masa silam, masa kini dan masa depan, maka aku ada. Aku
sering berganti-ganti nama, tapi tak mengubah garis hidupku.
Dan yang kutulis ini kuyakin adalah perjalanan hidupku terlepas dari siapa pun
namaku.
Semula aku punya nama Kiyato, agar tumbuh sebagai gadis yang tegar. Mbah Puteri
yang memberi nama itu. Selain berbau Japanese, juga mencontoh kekuatan batin
Mbah Puteri yang dulu sebagai jugun ianfu3) sebagai pemuas nafsu serdadu Jepang.
Namun selang beberapa tahun, ibuku yang memang berdarah Jepang itu protes.
“Harusnya aku yang punya nama itu, karena akulah keturunan langsung serdadu
Jepang,” sergah ibu suatu saat seperti dikenangkan Mbah Puteri.
“Nggak perlu. Justru karena kamu memang berdarah Jepang kamu kuberi nama Jawa
—Jumanah.
Akulah yang tahu ayahmu orang brengsek,” tepis Mbah Puteri yang masih
menyimpan
kekerasan hati buah dari dendam. “Kamu tak akan kuat. Tapi puterimu bisa jadi
yang berani berhadapan dengan orang Jepang.”
Ucapan Mbah Putri memang terbukti. Bertahun lalu aku turut andil mendaftarkan
nenekku sebagai penerima santunan korban kekejaman fasisme Jepang.
Ibuku sempat mengganti namaku dengan Maharani. Tapi keseharianku yang rusuh,
liar dan tak pernah makan kitab suci agama, membuat ayahku Kiai Sholeh Mansyur
jadi risih. Aku berganti nama Islam dari kitabnya, Umi Khalsum.
Aku bersikukuh menjadi diriku sendiri, keadaanku.
Tingkahku kian menghebat, kebat kliwat4) tatkala duduk sebagai mahasiswa Ilmu
Budaya di Universitas Pawiyatan Dhaha. Aku makin merasa tangguh merekam di
otakku konsepsi-konsepsi kebudayaan sebuah kota yang telah lama terkubur. Aku
punya kepercayaan demi melukis gambaran bakal lahirnya kembali kejayaan kota ini.
Aku menciptakan kota Calcutta van Jawa, menjadi kota besar, kaya, megah yang
terbelah peradabannya oleh sungai laiknya ular melingkar, Gangga. Dengan sisik-
sisik
berkilau di sisinya. Rumah abu, mantra dan doa peziarah yang hendak menghormat
leluhurnya.
Bila matahari pagi menyusup, percikan kilau dari ombak kali menjadi kanvas emas
perahu-perahu gethek5) penambang pasir. Di sisi timur bibir kali berdiri
Klenteng terjepit pusat kota dagang, Dhaha. Di pinggir sebelah barat gereja yang
lapang menghadap kubah masjid agung. Berdiri menjulang di atas pasar bandar kali.
“Ini sebuah kota pujaanku, impianku,” gumamku. “Betapa sejak dari sudut arteri
hingga jantungnya membuat pikiran, perasaanku melesat ke peradaban dengan
pelbagai kepahitannya, keangkuhannya bahkan keluguannya.”
Petang datang diintip mata dewa yang berbinar keemasan. Di sudut timur laut kota,
petilasan Yang Mulia Maharaja Prabu Jayabaya tak pernah henti menghembuskan
nafas kota. Sebuah spirit dan jiwa dari raga kota. Sebiji mata batin bagi
seluruh warga yang memujanya.
Di sana tertanam rahasia masa silam, masa kini dan masa depan. Kami berlomba
menangkap sumber dari segala sumber alamat, sasmita.
“Tentu engkau pun tahu aku memahatkan doa atas nama Gerritsen juga di sana. Aku
ingin dengan segala cinta dan birahi menjadi satu-satunya kekasihnya. Aku mau
dia menjadi pendamping hidupku. Dan aku baru kali ini mengucapkan doa yang
begini simple, meski aku orang pintar. Bukankah cirri orang pintar itu berdoa
dengan bahasa yang melayang tinggi melambung ke angkasa? Tapi tidak bagiku kali
ini,” aku mencurahkan isi hati selaku wanita normal kepada kawan sebangku,
Endang Pergiwati.
“Eh, kamu juga minta supaya kekasihmu itu tak sering bertandang ke gang mesum
Proborini?” pinta Endang.
“Tidak. Kenapa? Mungkin jawabnya belum. Karena bule itu biasanya liberal. Ia
tidak suka dilarang dari sesuatu yang memang haknya.”
“Hei..jadi kau pendamba cowok liberal? Penganut freesexs, sering gonta-ganti
pasangan?? Ingat AIDS, sayang!”
“Huh! Aku tidak berkata begitu.”
“Lantas?”
“Karena aku tahu Gerritsen hanya bergaul dengan seorang pasangan saja yang aman
di gang itu. Dia sendiri cerita padaku. Sebegitu terbukanya cowok liberal itu.”
“Kau akan menikahi pria yang menceritakan affair-nya dengan seorang pelacur?”
“Why not?”

4. Sepotong Rahasia

BUKAN maksudku tampil selaku diri yang gila misteri.


Kedatanganku memang membawa misi rahasia. Secara professional tak seorang pun
boleh menyingkap tabirnya. Tapi secara pribadi tidak satu pun bagiku perlu
menyimpan misteri hidup. Sepanjang berbatasan tipis dengan rahasia tertinggi
dari Sang Khaliq, tidak pernah aku menutup-nutupi suatu soal. Apalagi menyangkut
kehidupan pribadiku.
Seperti yang kututurkan ini adalah keberadaanku yang sebenar-benarnya. Bahkan
yang tersimpan di bilik ruang dalam jiwaku. Menjadi rahasia bila berhadapan
dengan orang lain, bagiku cuma terhalang selembar tirai. Tentang hidupku,
cintaku, petualanganku, juga tentang kehidupan spiritualku. Terlebih
pengembaraanku menembus keleluasaan padang alam citaku.
Sebelum terpaku di kamar kos milik keluarga Nyonya Jumanah dan Kiai Mansyur,
aku
punya latar belakang pekerjaan yang sama sekali tak menyenangkan untuk
kuceritakan kendati itu terjadi di negeri sememikat itu, India. Aku diminta
mempelajari seluk-beluk sukses berabad-abad maskapai perkebunan peninggalan
Inggris. Dua tahun aku di negeri persemakmuran itu tapi tanpa hasil. Pikiranku
terus melayang pada perempuan. Karena kukira penyebabnya lantaran tak ada wanita
yang menyeretku jadi betah dan pintar di sana.
Kini sesuatu yang luar biasa mulai terjadi di sini. Aku merasa takjub, benar-benar
tersihir keindahan India justru di wilayah peta ini. Sepenggal negeri yang
dahulu bernama Hindia Belanda. Ketika aku menjadi seorang yang terhormat lebih
dari sekadar anugerah Edeleer dilayani wanita tengadah pasrah di gang mesum
bernama Kasiyati. Saat di lembaran hidupku yang lain aku dipuja gadis penuh
gairah putrid nyonya rumah, Umi Khalsum.
Aku lahir di Wageningen, Nederland 28 tahun lalu. Aku tak punya nama kecil. Aku
menyelesaikan pendidikan teknik di Technische Hogeschool Delf dengan
spesialisasi mesin produksi Ketel Uap dan Boiler, menurut anjuran ayahku yang
berharap aku bisa bekerja di maskapai perkebunan yang dirintis leluhurku, Deli-
Batavia
Maattschappij di anak cucu perusahaannya. Entah di turunan yang ke berapa.
Sampai kemudian oleh suatu sebab aku bekerja di PT Perkebunan Nusantara X Pabrik
Gula Ngadirejo, di Jawa ini. Sebelum dipersiapkan mengemban misi rahasia ini,
aku harus terlebih dulu mendalami Bahasa Indonesia selama beberapa bulan di
Universitas Leiden. Mengambil kursus singkat spionase di salah satu rekanan
Akademi Militer Kerajaan di Breda.
Tapi baiklah untuk sementara aku belum perlu mengungkap misi rahasia apakah itu.
Demi menjaga profesionalisme kerjaku sebagai seorang ingenier, ahli mesin. Aku
perlu tunjukkan bahwa bule yang semenjak kecil dicap pemalas ini, karena
kebiasaanku membersihkan lubang kuping dengan bulu ayam atau cottonbuds,
berkelejatan lantaran geli keasyikan ke sekujur syaraf tubuhku ini, seorang
pekerja yang beres,
Di pabrik tak ada ayam. Hanya kulit tebu atau paku. Kunci atau besi.

***

MESKI aku tak tahu jawaban persisnya, sayang dugaanku keliru ketika mengira
wanita itu tak menyukai tetek mbengek soal mesin, oli dan rancang bangun pabrik.
Setidaknya itu kutahu dari gairah sorot mata Umi Khalsum bila mendengar
paparanku. Gadis itu jadi paling kritis mengajukan Tanya seolah dialah
insinyurnya, bukan aku.
Entahlah, semakin aku cuma merasa ada yang aneh saja. Selanjutnya terserah
padaku. Biarpun tumbuh kecurigaanku mengapa Umi Khalsum gelisah sibuk
mengatur
duduk bila menyaksikan bulu ayam menari di cuping kupingku. Seakan aku yang
menikmati tapi dia yang menggelinjang malang.
“Jadi Mr Gerritsen didatangkan khusu untuk menangani ketel pabrik yang meledak
itu?” kedengarannya Umi bertanya sesuatu yang telah tahu jawabnya.
“Ya, begitulah kurang lebihnya.”
“Wah, hebat dong.”
“Kebetulan saja, aku yang ditunjuk mendampingi logi mendatangkan konstruksi pipa-
pipa
ketel uap dari Jerman atau Jepang atas rekomendasi banyak pihak yang tak perlu
kusebut.”
“Sebegitu pentingnya bule ini?”
”Jangan kamu kira aku nggak ngerti kata bule, gadis Jawa yang nggak Jawa.”
Kami pun tertawa cekikikan. Desah angina penjambak bau sedap malam menerobos
kehangatan canda kami.
“Huh, apa sampean ngerti orang Jawa yang Jawa?”
“Untuk mengerti Jawa tidak harus belajar pada orang Jawa. Nederland itu
gudangnya pakar Jawa. Kamu mungkin nggak percaya orang Jawa sekarang justru
belajar Jawa di Nederland. Lebih banyak professor ahli kebudayaan Jawa di
Nederland ketimbang dari Jawa. Universitas Leiden itu istananya budaya Jawa.
Paling yang kamu kenal cuma Neil Murder, Zoetmulder.”
“Aku percaya. Aku sudah tahu kenyataannya seperti itu. Jadi kata-katamu percuma.
Lebih baik ceritakan yang tak aku tahu perihal pabrik,” pinta Umi Khalsum.

***

PABRIK itu dibangun pada menjelang akhir masa kekuasaan Gubernur Jenderal
Hindia
Belanda Mr ACD de Graeff sekitar tahun 1930. Jerih payah dari revolusi industri
paling modern di zamannya, 40 tahun sesudah berakhirnya system tanam paksa
tanaman tebu. Benarkah sungguh-sungguh berakhir?
Yang menakjubkan ketel uap pabrik sebagai dapur meski lebih setengah abad
umurnya tetap berfungsi baik. Juga lokomotifnya penarik lori-lori baru
belakangan saja diafkir. Justru ketel kedua yang baru dibangun lima tahun
terakhir sering ngadat. Puncaknya bulan April 2007 pipa-pipa arus produksi
meledak dan kebocoran tak bisa dihindari. Produksi mangkir total.
Setelah tender perbaikan digelar, biaya perbaikan nyaris menyentuh angka 10
miliar. Kerusakan ketel jelas berdampak pada ruginya petani tebu yang harus
antri tebang jika pun beruntung tebunya tak mengering. Waktu tercepat yang
dibutuhkan perbaikan ketel dua bulan.
Peristwa inilah yang mengantar percepatan insinyur Gerritsen dikirim ke Jawa.
Meski sebetulnya ia hendak ditugaskan menyelidiki kebocoran-kebocoran lain
terkait keuangan perusahaan. Kapasitas produksi sangat memadai, bahkan peringkat
terbaik. Tapi kredibilitas perusahaan harus diselamatkan sampai tercium rencana
swastanisasi dari pihak BUMN.
Sudah dapat diduga apa yang terjadi di dalam. Nenek moyang di Nederland hanya
butuh kirim orang untuk menyiapkan laporan konkret dari Gerritsen. Tapi kini
rencana sedikit berubah. Dia punya tambahan waktu untuk menggoda perempuan-
perempuan
Jawa.

5. Pengakuan Kasiyati

EDELEER, aku harus katakana tak cukup berucap terimakasih padamu. Kaulah pria
yang membuka matapandangku, matahatiku, matabatinku tentang keindahan cinta di
lembah nista ini. Kau seperti sengaja dikirim hanya untukku, untuk hidupku.
Tidak untuk yang lain, tidak untuk kepentingan lain.
Bagiku engkau sesosok dewa yang terjun ke rawa-rawa, sesuatu yang tak pernah
terbayang sebelumnya olehku.
Kau sungguh nyata, Edeleer. Kau menembus lebih jauh dari hidupku selama ini yang
cuma berkubang pada Lumpur, dan rumput basah di rawa-rawa ini. Hidup sederhana
yang berkutat soal dapur, kasur dan sumur atau sandang, pangan dan papan. Hidup
yang bahkan untuk menyentuh belahan jiwaku, anakku saja aku tak mampu. Aku tak
kuasa dan tak sampai terjemah hatinya. Bagaimana bisa aku mencuri arti yang
demikian ini?
Bahkan, jikapun itu suatu ujian, aku merasa tidak pernah lulus. Untuk pasrah
saja aku tak rela. Apalagi harus memberontak keadaan. Apalagi harus bersyukur,
betapa aku makhluk paling nista, bila itu terjadi: Bersyukur dianugerahi
kebebasan menikmati gerak riuh gemuruh gang mesum ini. Lebih kejam dari rajam
hujatan makhluk yang disucikan moral dan kitab agama atas nama dendamnya pada
gang mesum ini.
Apakah itu pertanda puncak dari kematianku? Tujuan hidupku? Atau semacam
tetenger bahwa aku telah tak memiliki apapun? Apalagi hak? Sebaliknya bahwa
akulah yang sesungguhnya telah dimiliki belahan jiwaku, anakku. Begitulah aku
sebagai perempuan sebagai ibu yang terampas, terenggut.
Pada titik tertentu, aku merasa diselamatkan putraku.
Kini aku berdiri di titik balik yang serupa garis cakrawala di tepi samudera.
Kaulah samudera itu, Edeleer, dengan alunan ombak, angin dan kicau beburung di
angkasa. Juga di balik pelipis laut yang terendam ada karang, palung terdalam
sampai ruang gelap di dasarnya. Kekayaan yang tak ternilai harganya.
Jiwa yang membangkitkanku kembali dari matisuri pikiran, indera, imajinasi,
perasaanku dan intuisi hati dan batinku.
Ah, mengapa aku demikian memuja dengan kata-kata begitu seolah-olah hidup
seperti rumput—hijau segar tapi kerap dianggap pengganggu. Kutahu jawabnya demi
hidup itu sendiri yang seringkali dicap tidak bermutu, meski sama-sama susah
dimengerti, kejujurannya, keluguannya, keindahannya, apalagi rahasianya.
Padahal ini adalah sesuatu yang sederhana. Cinta, birahi, uang dan harapan. Atau
sejenis belaskasih, nafsu, hiburan dan uang makan.
Kekasihku, Gerritsen, aku memujamu sebagai orang asing dari belantara jiwa yang
perawan, suci dengan sinar gairah purba yang lugu dan murni yang kubutuhkan.
Andaikata aku lelaki pengembara, kaulah Dewi Anggreini yang memikat hati sang
Panji. Tapi kaulah pria itu dan aku bukanlah Dewi Anggreini, perawan lugu
sesempurna cahaya rembulan, purnama yang bertengger di jarum-jarum cemara dan
puncak rerimbunan bambu yang membayang diserpih air sungai.
Kau yang berkuasa atas kelelakianmu. Aku tidak punya kekuatan untuk menaklukkan
cintamu, merebut rahasia jiwamu menjadi milikku. Aku hanya menunggu keajaiban
berpihak padaku mendapatkan cintamu, kasihmu, birahimu, hidupmu.

6. Aku Berontak, Maka Aku Ada

“UMI, kamu seperti perempuan liar, tak bermoral. Kau perempuan penggoda yang tak
tahu agama,” dingin, kebiasaan marah Abahnya, Kiai Mansyur. “Melihatmu, aku
merasa telah menanggung beban dosa yang luput kumintakan ampun pada Allah. Kau
berbeda dari tiga kakakmu yang selamat menempuh hidup bahagia. Tinggal kamu
satu-satunya
slilit di sela gigi Abah dan Ibumu.”
Biasanya, Umi diam. Dalam diam pikirannya bergolak. Sampai batas ujung tertentu,
ia memberontak oleh arus darah yang menggelegak.
“Jangan salahkan terus aku, Abah. Aku punya pribadi dan Abah punya andil
membuatku berbeda seperti ini. Bagaimana Abah terus membedakan aku dari
saudaraku dengan sekeji ini. Aku memang harus beda, tanpa atau dengan campur
tangan Abah,” Umi tersirap darahnya saat ia anggap selesai soal-soal pribadinya
di usianya dewasa. “Persoalanku sudah sangat lain Abah. Masalah keilmuan. Kenapa
Abah begitu bernafsu ingin aku seperti anak-anak lagi?”
“Anakku, Abah sekadar memantik hatimu akan moral dan agama.”
“Bagaimana bisa Abah punya hak menentukan seolah satu-satunya orang yang tahu
moral, dan kukuh beragama? Hanya karena Abah punya mushala dan pernah nyantrik
di pesantren paling mujarab menyembuhkan luka aklaq. Seoalah aku adalah dosa
Abah dan harus mohon ampun bertobat padamu,” kata yang pengap sesumuk cuaca
siang yang bimbang.
“Karena itu sebaik-baik jalan, anakku. Agama.”
“Anakmu memang tak bisa membaca huruf Arab apalagi kitab. Tapi bukan berarti
aku
terkutuk.”
“Tak ada orangtua yang tega mengatai anaknya demikian.”
Umi hampir saja menangis bila ayahnya tak mulai menyoal hubungan asmaranya
dengan pria dari negeri kincir angina itu. Bahwa seorang ayah kini sedang
khawatir dengan kehidupan pribadi putrinya.
“Mustinya kamu berlaku sopan sekalipun kepada pria yang kurang tinggi aklaqnya,
Umi,” satir tapi telah biasa getir.
“Jadi Abah menempatkan Umi dan Tuan Gerritsen tak beradab?”
“Tidak. Abah hanya melihat kamu sedang terancam, mendekati bahaya perbuatan
setan.”
“Sudah kusangka, Abah sangat kejam.”
“Abah cuma tidak ingin apa yang kubangun sebagai keyakinan lalu runtuh kembali.
Sesuatu yang berat. Sakit. Pengorbanan itu sangat pedih, Umi. Kecuali bagi orang
yang ikhlas. Tapi ada yang lebih pedih dari itu, takdir yang tak sempat kita
rebut. Bapakmu ini belum cukup ilmu ketika tidak sungguh-sungguh menyakini
jalannya benar-benar ikhlas atau meragukannya. Dulu ketika Abah memilih menikahi
ibumu, aku sedang berperang menaklukkan diri. Bagaimana aku bisa menjamin hidup
seorang wanita yang tidak henti-hentinya merasa diri sebagai anak haram
keberadaannya di dunia ini. Ia menyebut diri putera setan. Abah bertarung waktu
itu dengan batin sendiri. Lebih meradang ketimbang pergulatanku dengan keadaan
zaman. Abah tak bisa berpaling karena kuanggap ini takdirku yang bisa kurebut.
Aku memenangkan pertarungan itu, meski semuanya itu ternyata bukan semata-mata
hasil jerih payahku. Seiring berlalunya waktu, lambat laun darah setan yang
mengalir di tubuh ibumu terbuang. Anak. Ya, anak-anak telah lahir dan
membersihkan kotoran yang bersarang pada tubuh ibumu. Aku bersyukur karena
semua
anak yang lahir dari rahim ibumu, perempuan. Siti Rodiyah, Siti Rofiah, Siti
Fatimah dan kau ragilku, Umi Khalsum. Aku tak habis piker bagaimana Mbah
Putrimu,
ibumu dan aku punya nama sendiri-sendiri untukmu. Seolah-olah kamu hendak
dibentuk demi untuk memenuhi perasaan-perasaannya sendiri. Ah, tapi sudahlah,
kau juga tak akan mengerti perasaan Abah. Kau belum pernah dihujani panah
takdirmu ke ulu hati antara yang tak bisa kau tekuk dan yang bisa kamu buat
remuk. Sepenuhnya itu hakmu Umi, milikmu. Abah hanya tunjukkan batas-batas
diriku, bahwa kuakui terkadang aku sangat ingin kau kembali seperti anak-anak
lagi. Bukan. Jangan. Jangan artikan ini penyesalan. Ini cuma gambaran ayah yang
tak mau hilang kekuasaannya.”
Beberapa butir air bergulir dari sudut mata Abah. Seperti halnya dia, aku tidak
berduka. Dia kukira hanya sedang tidak mengenali puterinya lagi. Seorang wanita
berdarah muda yang tengah menggugat hidupnya karena merasa ibarat di sarang laba-
laba.
Bahkan untuk menangkap gairah yang menggelegar dari binary matanya saja dia tak
bisa. Kiranya, ia melihat puterinya terjebak permainan cintanya sendiri.
“Umi, kau sedang dikuasai nafsumu, anakku.”
“Tapi aku punya otak, Abah.”
“Hanya itu yang mengendalikanmu? Tidak cukup. Tidak adil. Kamu hanya akan jadi
kekonyolan yang kau tertawakan sendiri kelak. Pergaulanmu dengan Gerritsen akan
meruntuhkan spirit hidup ibumu bila kau tak hati-hati, Umi. Abah sedang
mengingatkan. Jangan kau buat ayah ibumu punya hutang pertobatan yang belum
lunas.”
Umi Khalsum tercenung. Berdiam diri. Berdamai diri.

7. Takdir Ibu

MEMANDANG Abah menuntun ibu ke kamar mandi saban pagi, telingaku serasa
dibisiki
sepenggal kata yang menggetarkan hati. Ibu lebih sepuluh tahun usia Abah tapi di
tubuhnya sama-sama mengalirkan darah sejarah.
Lukisan itu bukan suatu alas an bagiku membenarkan atau menyalahkan argument
Abah. Aku sebatas memahami serentetan bunyi yang ditembakkan dari rongga mulut
Abah melalui sudut pandang sorot mata ibu. Kukira itulah satu-satunya usahaku
menjangkau hati ibu. Perihalo takdir ibu aku tak sampai hati mengumbarnya.
Ibu tetaplah seorang ibu.
Bila menelan sesuap makanan, terlebih dulu ibu musti menjulurkan lidahnya ke
depan, mengangkat dagu tinggi-tinggi, lalu memaksanya meluncur di batang
tenggorokan. Kebiasaan itu abadi hingga kini, yang menurut Mbah Puteri sebuah
gambaran dari semangat hidupnya yang melayu, memberat dan menyiksa diri.
Berbeda dengan Abah, ibu puasa bicara. Satu-satunya jendela yang menembus
kalbunya cuma sorot matanya. Orang pertama yang sanggup mengintip ruang jiwa
dari jendela itu adalah Abah. Dari sanalah tidak ibu punya garis-garis warna
yang berbeda. Abah senantiasa menanamkan benih cinta dengan kata, “Kau bisa
mengendalikan takdirmu, berawal dari matamu.” Mantra Abah ini ternyata mujarab.
Syarat berat agar Abah menyembuhkan sakit jiwa ibu sebagai anak setan terlampaui.
Setelah berkat doa, cinta, juga tatapan mata. Maafkan bila untuk yang satu ini
aku susah menterjemahkan: Bagaimana mula pertama percumbuan ibu, percintaannya
di ranjang saat saling memasuki dari jendela dua pasang matanya. Hampir pasti,
Abah harus terlebih dulu main paksa.
Lantas, betapa hidup ibu jadi berubah semenjak awal mula menjatuhkan mata
pandang ke dalam bayang terdalam bening mata bayi-bayi puteri buah kasih
keduanya. Ibu mendapati cermin diri pada sebentuk nyala redup yang berkelebat
menyusup di rongga mata anak-anaknya.
Untuk pertama kalinya ibu tersenyum, saat itu. Untuk kali pertama ibu
memperkenalkan kepada kami, bayi-bayi ini, kebebasan seperti arus air mengalir.
Lalu apa bedanya aku dengan saudara-saudaraku? Mengapa di mata Abah, aku
pembawa
sial? Jika Abah memintaku membaca ayat-ayat berbahasa Arab, mengapa kemudian
kujawab dengan pertanyaan serupa agar Abah duduk di bangku kuliar mengambil
filsafat, sejarah, sastra atau budaya? Mengapa engkau tidak menemukan jawabnya
pada mata ibu, bahwa takdirku berbeda dengan takdirmu, Abah, yang berkawan
maupun yang bergelut denganku?
Aku tidak mendapat alas an yang cukup untuk menyiksa Abah. Ibu mengikat kami.
Tidak saja perasaan dan batin kami. Tapi juga hati yang tak terbantahkan
kejujurannya, kebenarannya, kemurniannya.
Siapa berani berbantah, mengunyah, apalagi muntah?
Kenyataan bahwa kecurigaan Abah kelak aku akan merobohkan bangun spirit
hidupnya,
hanya dengan menjalin asmara pria asing itu kukira sangat berlebihan. Itu sama
artinya,
Abah yang putera seorang terpandang, kukuh memegang ajaran agama, menganggap
semua pria bule itu Yahudi atau kafir. Sungguh keji.
Kuakui, sadar atau tidak, sisi terdalam jiwaku yang sempat terlupakan terbias
bayang bening sorot mata ibu. Jendela hati yang menghamparkan pandang segala
keindahan hijau belantara cinta yang purba.

8. Bercumbu dengan Cemburu

“TAHUKAH kamu perihal cemburu, Edeleer Gerritsen? Pernahkah kau menyelami


perasaan perempuan yang dikurung dalam diri seperti itu, seorang pelacur yang
hanya mendamba cinta seorang lelaki saja?” pertanyaan ini bergemuruh di dada
Kasiyati yang hampir pasti tak terjawab oleh kekasih hati.
Di depan pria pujaannya, hati Kasiyati seringkali rusuh—keadaan yang pernah
dibayangkannya dan ia takuti, mula pertamanya, mencari makna dari
keterasingannya, keganjilannya. Sama sekali tidak popular di gang mesum ini,
ketika halaman rumah para wanita penghibur bisa dihitung berapa jumlah tamunya
dalam sehari, sehari semalam atau seminggu.
Hebatnya, Kasiyati kian merasa dikuasai gila-gilaan olehnya. Hingga dia
menggapai kenikmatan rasa buah dari emosinya itu. Kasiyati bercumbu dengan
cemburunya pada pejantan asing berkulit roti merah yang matang. Puncak rasa itu
nyaris membuatnya melenyapkan otaknya. Dia hampir hilang akal.
“Aku belum pernah punya rasa ini sebelumnya, Edeleer,” Kasiyati mengulang tanya,
juga mungkin kepada dirinya sendiri.
“Aku menyukai tempat ini, menyukai kamu, memberiku daya hidup.”
Terang kata-kata Gerritsen tak menghunjam sampai ulu hati. Seperti roti tawar
dengan mentega tanpa selai.
“Aku ingin mengatakan sesuatu yang semenjak engkau jadi tamuku, telah
menyiksaku,
Edeleer.”
“Ceritakanlah. Senang sekali aku mendengarmu, Kasiyati.”
“Aku kini dihinggapi perasaan yang sebetulnya tak dimiliki wanita penghibur. Kau
yang memulai, Edeleer, kuharap kamu juga yang mengakhiri. Jika aku menjadi
pelacur karena semata-mata demi uang, demi kehidupanku, aku sudah cukup
mendapatkan hampir seluruh gajimu dari perusahaan. Jumlah besar yang mungkin tak
seberapa dibanding kiriman komisi jasa baikmu dari negerimu sendiri. Aku sudah
harus memenggal masa laluku yang menyerahkan keperawanan karena kemiskinan.
Aku
mesti mengakhiri dongeng Bombay6) ala India tentang seorang gadis yang menjual
keperawanannya di atas alas kardus demi biaya pembakaran jenazah bapaknya.
Barangkali ini serupa daya hidup dalam pikiranmu. Hanya saja aku mendapati suatu
kenyataan yang lain, Edeleer. Aku sudah harus meninggalkan lembah ini tanpa
harus dibayangi ketakutannya merenggut kebebasan hidup seseorang. Bukankah kau
datang ke gang ini didorong keinginan melunasi kebebasanmu? Ah, bagaimana
mungkin aku mulai bisa mengutuk dan mengingkari kenyataan lembah nista yang
telah jadi bagian hidupku. Edeleer, bertahun-tahun aku hendak melenyapkan akalku,
tapi terbukti hari ini aku tak bisa. Agar tidak banyak mempertimbangkan seabrek
perangkat pikiran, perasaan, nasib. Betapa hari ini ternyata aku masih hidup dan
sanggup jatuh cinta kepadamu, Edeleer. Aku mencemburui kebebasanmu, cintamu.
Sementara aku masih terpaku pada keseharian hidup yang mengurungku di sini.
Apakah aku salah? Aku tidak sampai hati menyalahkan diri sendiri atau menyesali
diri karena jujur harus kuakui satu-satunya terjemah dari kebebasan yang
kudapatkan terbaik ternyata ada di tempat ini. Ialah tatkala aku tidak punya
perasaan apa-apa terhadap beban tubuhku. Juga simpul yang tidak asing bagi
kebutuhan tubuh: Uang yang kudapat dengan gampang. Terlentang di atas ranjang,
melayang dan akhirnya dibuang. Edeleer, tentu kau tak bisa membayangkan dari
anti klimak keadaanku yang telah terlupakan.”
Kasiyati mengapuh perasaannya, pikirannya, inderanya, sampai dengus nafasnya pun
ia minta menyingkap isi hatinya. Sulit dibayangkan tidak menguap, bila itu ia
ungkap kepada pria yang memuja pikiran, apalagi harus berkendara bahasa
Indonesia dari hasil kursus tiga bulan. Sebab itu, Kasiyati lebih banyak
bersandar pada hal-hal yang irrasional, yang tak terucapkan, dan yang asali,
murni tak terbantahkan. Inilah yang ia percaya sebagai nenek moyang bahasa yang
ia ucapkan.
Seorang Edeleer Gerritsen hanyalah manusia biasa. Ia berbicara dengan banyak
sekali bahasa. Satu-satunya kamus mutakhir yang komplet menyerap makna adalah
ketika kami sedang bercinta, bercumbu rayu dan bertubuh utuh memerah sperma
menghisap darah, peluh dan melemparkan raga. Nafas kami yang hangat kaya nuansa,
bahkan puisi. Juga aroma tembakau yang dihisap Edeleer, bau parfum murah hadiah
pria-pria yang mencoba merayuku, minta diri tak mau dikebiri dari arti.
“Jika pun benar kamu sedang tersiksa, aku tak suka kamu menyiksa diri seperti
ini, Kasiyati,” itu kata pertama yang Edeleer mengerti saat jasadku kembali. “Di
tempat ini, di ruang dan pada orang yang kupilih sebagai pelabuhan hasrat
cintaku.”
“Hei.. Bagaimana kamu bisa ucapkan kata-kata seindah itu, Edeleer?”
“Kamu yang mengajari aku, Kasiyati.”
“Ah, Tuan hanya memuji.”
“Tidak, perempuanku. Dari seluruh permukaan bumi paling tepi, ranjangmulah,
kamarmulah pasak bumi yang memusat ujung temaliku. Lalu, kamulah titik dengan
bilik-bilik kamar tempat istirahku. Pengelanaanku berpusar padamu, berkumpar di
pusarmu.”
“Edan! Jangan-jangan ini rahasia terhebat dari ketangguhanmu di tempat tidur.
Karena Tuan minum pasak bumi Kalimantan, ya?”
“Nggaaakk!!!” konyol sekali bila ia pertontonkan kepolosannya. “Aku cuma sedang
belajar bahasa Indonesia saja. Dari tubuhmu.”

9. Voorloopig Verslag7)

NGADIREJO, suiker fabriek8), April-Mei 2007


Perbaikan ketel pipa air berkali-kali bongkar pasang. Kerusakan parah akibat
ledakan pipa mungkin bisa diatasi. Tapi mencari kebocoran dalam jumlah besar
seperti upaya menemukan jarum di tumpukan jerami. Jerami yang terbakar.
Kebocoran masih terus terjadi.
Desas-desus dari luar berhembus pabrik bakal berhenti total beroperasi. Tapi
kamu para inginier berkejaran dengan waktu memulihkan peralatan jantung pabrik.
Ketel buatan Japan, merk yoshimine berkapasitas 75T/h itu, kerusakan boleh
dikata total dari kedua jenis arus: pipa air downcomer maupun riser. Kontraktor
yang memenangkan tender dan sanggup mendatangkan pipa khusus dari Japan
berjenis
searless carbon steel tube boiler 33. s-jis.6-3461-1978 (Ike tak yakin angka-angka
ini berguna bagi anda, hei para bestuursleder9) ). Sanggup bekerja 24 jam. Sebab
bila dalam sehari perusahaan untung bersih 2 miliar rupiah, berapa musti rogoh
kocek dalam sebulan atau bahkan dua bulan?
Rupanya ini krisis paling hebat sepanjang sejarah pabrik. Melihat geliat kerja
mandor perusahaan, karyawan pastel dan kampanye apalagi yang kontrak harian,
seperti kucing kebanyakan makan. Krisis ini memudahkan bagiku menangkap isu
praduga bersalah demi memuluskan project atasanku: Menguasai kembali maskapai
melalui swastanisasi. Tentu saja sambil di sana-sini berteori. “Jelas ini akibat
human error yang menumpuk. Standar perawatan ketel di luar dan dalam masa giling
tidak diterapkan. Jelaga yang berlapis-lapis penyebab korosi berlebihan.”
Beragam tuduhan pun mulai melayang. Rasional maupun berbau supranatural. Krisis
ini konon ibarat pecahan gunung es dari akumulasi pelbagai kejahatan misdrijf10)
berwajah kolusi, korupsi dan nepotisme meski masih desas-desus perlu dibuktikan
lebih dalam. Kebocoran dana di sejumlah pos atau mark up pelbagai tender sonder
pertimbangan biaya perawatan dan nilai penyusutan. Tuan pasti paling suka fakta
ini agar “ayam jantan” segera lepas dari kurungan bolong BUMN ini. Ini sandi
operasi yang tak boleh bocor kepada pers. Untuk masalah ini akan terus saya
kejar sampai mendekati kebenaran.
Info lain: Mulai muncul gerakan protes petani akibat kerugian yang diderita
tanpa kompensasi. Harga tebu jatuh tanpa kepastian kapan waktu tebang. Sebagian
malah mulai menuding telah terjadi permainan atas rendahnya rendemen tebu. Pada
saat kisruh, dari sisi kepercayaan gaib,itu semata-mata kesalahan administratur
pabrik yang tak menghormati danyang-danyang penunggu desa. Upacara-upacara
ritual dituding sengaja ditebas. Tak ada pertunjukan wayang, jaranan, apalagi
ritual penyerahan binatang atau boneka korban.
Kelihatannya mulai banyak kepentingan yang bermain. Lebih banyak pula yang sibuk
mencuci tangan. Soal yang ini, kiranya kawan yang bertugas nguping di jajaran
direksi di kantor Jembatan Merah Surabaya banyak mengumpulkan data. Laporan
untuk sementara sampai di sini. Kiriman komisi jangan sampai telat lagi. NB:
Email baruku pasakbumi@mailcity.com. Daftar dugaan departemen-departemen yang
potensi korup belum bisa kulaporkan. Aku masih melayani perempuan-perempuan di
sini. Kau tahu bukan, aku seorang javanenliefde11) terutama kepada gadis-gadisnya.
Aku cuma berbekal sepotong sajak Tagore:
O, perempuan, kau bukan buah karya Tuhan semata, tetapi
buah karya lelaki juga12).

10. Klandestain13)

AKU benar-benar tak bisa sembunyi dari bayangan Mr Gerritsen. Ia menjadi


semacam
hantu yang mengikuti terus kemana aku pergi. Bahkan ia merasukiku.
Hanya dalam keadaan kosongku, ia menyisakan bayangan yang tak pernah pergi.
Geliat tubuh, desis bibir tipisnya dan geli yang angslup di jurang birahi,
bertempias melalui pori-pori kulitnya. Merinding ngeri. Saat ujung lembut bulu
ayam menari melemparkan ribuan syaraf telinganya seperti bola bekel.
Tidak ada yang aneh bila aku merasa tak ada bedanya aku bersamanya atau tidak.
Perasaan ini rupanya buah dari kecamuk ketakutan Abah dan keindahan mata ibu
yang kini sebagian menjadi milikku.
Aku merasa telah hilang tubuh, bentuk dan remuk. Sebaliknya, aku menemukan
keutuhan dari serpih ruh jiwaku yang tak terlacak sampai ujung terjauh mimpiku,
igauku, alam bawah sadarku.
Batasnya cukup jelas: Jutaan syaraf kuping kekasihku yang seolah milikku.
Seoalah punyaku. Juga tarian itu selain sepotong sajak Tagore yang telanjur
dibenamkan padaku tentang kecantikan seorang perempuan. Sajak yang ditulis
pengarang kelahiran Calcutta dan menetap di sana hingga senja usianya. Lalu
tentang Jalan Niaga, kuil, laut, dermaga, sawah, hutan, bukit. Tidak sulit
bagiku memindahkan itu ke wilayah peta kotaku. Menjadi semacam perpustakaan
dengan rak-rak berderet tempat berdiamnya gemuruh ruh. Apalagi cuma soal sepele
semacam kemiskinan, pelacuran.
Aku cukup tahu diri dimana tersembunyi kecantikanku, di lipatan segala peta itu.
Siapapun namaku, apapun profesiku.

11. Fantasi Negeri Birahi

“AKU suka sama kamu karena kau gadis yang sangat bergairah, Umi. Kau gadis Jawa
model terbaru. Pintar, terbuka, pemberontak, punya karakter dan yang lebih
penting kamu kaya obsesi. Juga fantasi.”
“Ada lagi pujianmu yang tertinggal, Tuan Gerritsen?”
“Oya, ada. Kau sangat cantik. Maksudku, itulah segala kecantikanmu, Umi.”
Bagi Umi Khalsum yang terakhir ini tak sanggup menusuk ke dalam kalbunya.
Betapa,
meski ia cantik, ia telah meninggalkan jagad kecantikannya dari sisi
jasmaniahnya. Ia tak mau undur ke belakang dari pencapaian dunia dalamnya. Tapi
ia percaya rayuan Gerritsen bahwa kecantikan itu bias dari gelora cintanya pada
ruh hidupnya yang sejati. Bahwa dirinya adalah misteri tersembunyi dan kini ia
berenang di lautan bawah sadarnya itu demi dia sendiri.
Umi cukup memahami ajaran manunggaling kawula Gusti.14) Bahwa dirinya
hanyalah
gambaran mengenai Tuhan saja. Ia semata-mata tampil sebaik samarannya, nama-
nama
yang pernah dia punya. Termasuk gambaran cintanya kepada pria itu. Ia juga
percaya pada seorang pria yang kelak akan menyingkap sisi terahasia hidupnya,
mengenali cintanya dan tentu saja membuka tudung samarannya.
Ia yakin Gerritsenlah pria itu. Pria intelek didikan Eropa. Ahli mesin yang
jatuh cinta pada puisi, tahu mistik, mengagumi Jawa dan tentu saja seorang
petualang yang haus akan sesuatu fantasi baru, obsesi segar yang kira-kira
simpulnya jatuh pada perempuan Jawa bernama Umi Khalsum.
“Bila aku bersamamu, aku seperti menziarahi hidup yang purba, yang primitive dan
tanpa kepalsuan, Tuan Gerritsen.”
“Andai negeri ini dipenuhi sesak manusia berjiwa sepertimu, Umi. Setidaknya
orang-orang pintar yang bebas punya kehendak seperti kau banyak hidup di kota
ini. Apalagi jika para penguasa negeri ini punya jiwa sebebas kau, terlebih
dengan spirit ibu yang ada padamu. Oh, kejayaan akan datang dan kehormatan
kembali, enggan untuk pergi lagi, Umi,” mata Gerritsen menerawang dalam.
“Wow.. jadi kau tahu juga riwayat Jawa di masa tempo dulu, Gerritsen?”
“Aku hanya sedikit membaca permukaannya saja. Dari Lombard, Geertz, atau Magniz
Suseno selain pakar-pakar Jawa dari negeriku sendiri waktu di perpustakaan
Leiden.”
“Tapi kau sangat menukik dalam kalbumu perihal kejawaan. Seolah kau tahu banyak
jiwa ksatria dan kesetiaan seorang perempuan pada diri Dewi Shinta atau pada
Kunti yang dari rahimnya lahir Arjuna. Kau juga pemuja percintaan Batara
Kamajaya dan Dewi Ratih, bukan?” tiba-tiba Umi bicara wilayah jiwa yang antara
hidup inheren di negeri kahyangan dan bumi pertiwi.
“Tentu Mahabarata dan Ramayana juga kubaca. Meski cuma sepenggal-sepenggal.
Bagaimana bisa kamu puji aku luar biasa dalam kejawaan? Kau yang bertahun-tahun
mendalami Jawa, tinggal di Jawa, berbahasa ibu Jawa. Pujian itu tepat untukmu.”
“Buktinya aku masih juga belum paham benar. Sebaliknya, aku mengerti justru dari
uraianmu.”
“Semoga kau tidak sedang berfilosofi mikul dhuwur mendhem jero15) yang
terjemahannya, memendam rasa sakit sambil mendorong orang lain celaka itu.”
“Tidak. Apalagi terjemahanmu itu salah kaprah,” Umi seperti melempar bola
pingpong saja.
Sepanjang siang Umi menghabiskan hari bersama kekasihnya, Gerritsen. Keduanya
saling menjelajah wilayah tak berpeta. Kota dan juga cinta. Kota yang bagi Umi
persis rak-rak perpustakaan pribadinya, arsitektur, maupun tata letak rancang
bangunnya. Sementara penduduknya adalah buku-buku budaya, agama, kepercayaan,
sastra, ilmu jiwa dan sebagainya dalam deretan katalog secuil kertas.
Lalu tentang cinta, kami saling memasuki ruang-ruang jiwa yang belum terjamah,
hutan-hutan perawan, saling menjadi tamu sekaligus tuan rumah di negeri fantasi
kami sendiri tempat segala keindahan juga misteri kegaibannya. Kami sedang
merasuk melalui pintu bahasa, bercengkerama, berkencan menciptakan sekaligus
memecahkan mitos-mitos baru kami perihal cinta.
Bahwa cinta tak pernah tuntas bila dinalar sekalipun murni dari otak homo
sapiens paling cerdas, intelektual suma cumlaude dari universitas terkemuka.
Ternyata cinta berdiam di sisi tersembunyi dari bilik bernama hati. Semacam
institusi yang bersih, murni, suci tanpa kepalsuan dan kebenarannya tak
diragukan. Ia merangkum seluruh gemuruh gairah pikiran, perasaan, inderawi juga
intuisi batin kami.
“Pikiran akan gagal menerangkan cinta. Seperti keledai di lumpur. Cinta
sendirilah pengurai cinta16),” tiba-tiba Umi ingat saja sepotong sajak penyair
Rumi dari Afganistan.
“Huih…kau pengagum Rumi rupanya.”
“Ah, hanya membaca. Tapi itu tak akan membantuku jadi orang. Aku punya spirit
sendiri tantang bulan. Aku berjanji kelak akan kuceritakan padamu bagaimana
lelaki memuja cinta perempuan karena perempuan adalah kesempurnaan, kecantikan
purnama. Kukira tak hanya perempuan yang mendamba purnama tapi juga kaum pria
yang mabuk kemilaunya.”
“Candra Kirana?”
“Diancuk! Tuan tahu juga?”
“Kan sudah kubilang, aku diberitahu Romo Zoetmulder.”
Kami sama-sama pecinta. Kami sama-sama pemabuk tak peduli mata yang
berpandangan,
raga yang bergandengan, berpelukan, bahkan berciuman di dekat kuil bersebelahan
dengan Jalan Niaga tengah kota. Diapit dua buah bukit ranum di sisi barat kota.
Juga pelukan kali di tebing kuil menuju pasar bekas dermaga kapal masa silam.
Umi menghabiskan waktu belanja buku-buku dan sedikit keperluan wanita, parfum,
snack, sofftex, susu pembersih, juga pembersih lubang kuping cottonbuds untuk
kekasih agar tak perlu repot mencari bulu ayam, kendati dengan alas an khusus
Umi tetap setia menyediakannya.
***

AROMA kecap merasuk ketika kami melenggang di gang kampong yang sebagian
besar
dihuni orang Tionghoa. Sebuah pabrik berdiri gugup di situ karena kedelai
seperti lari sembunyi dari ladang. Lalu restoran cepat saji menyediakan aneka
makanan murah rakyat seperti warung. Kami menyantap rupa-rupa masakan tauhu
dibumbu tauge, taokwah manis hangat semangkuk. Kamu juga memesan taoco dan
menyeruput segelas teh. Beberapa gethuk pisang kumasukkan kantung plastic.
Bentuknya menyerupai jung-jung yang membawa pasukan Kublai Khan di masa akhir
kejayaan Kediri lampau, mengangkut senjata api atau juru masak tentara yang
kocar-kacir oleh tipudaya Widjaya. Kukira orang-orang ini musti berterimakasih
pada Airlangga yang memuluskan jalan sejak Tuban, Ujung Galuh hingga pusat kota
lepas dari nasib kelam sejarah di kemudian hari.

***

GERRITSEN bersikukuh menggiringku ke Poh Sarang. Tempat paling masyhur bagi


arsitektur gereja Katolik bergaya Majapahit di dekat kaki bukit. Buah tangan
Maclaine Pont.
“Bertahun-tahun aku ingin berkunjung ke tempat ini, Umi.”
“Bagaimana perasaanmu kini?”
“Luar biasa. Apalagi di sisi seorang perempuan sepertimu. Mudah bagiku
membayangkan lekuk liku gerbang gereja dan menara kapel seperti tubuhmu.”
“Overdomme!17) rayuanmu maut juga.”
Sebuah ciuman mendarat mulus di emperan paras Umi.
Di muka bukit itu, tempat yang tepat bagi Umi Khalsum mengenalkan pada Gerritsen
sosok pertapa Kilisuci. Konon tak jauh dari gereja itu pula tempat pertapaan
putrid Airlangga menjadi orang suci yang menolak singgasana. Dialah penjaga
negeri ayahandanya dan keturunannya sebagai titisan Wisnu di samping pendeta
Hindu terkenal Mpu Baradah. Kesucian orang-orang ini tergambar dari cerita Panji
dan dongeng Calon Arang, ketika Kediri diserbu wabah penyakit akibat ulah dukun
teluh yang dendam lantaran putrinya, Ratna Manggalih tak juga berjodoh.
“Aku merasa dibesarkan spirit mitos itu. Cinta, nafsu, kuasa, juga pengembaraan
batin sebagai pemberontak yang oleh orangtuaku telanjur dicap pembangkang,”
tandas Umi yang menyerupai keluh kesah.
“Ceritakanlah padaku, Umi. Tentang dirimu sendiri. Hidupmu.”
“Aku kehilangan akar. Aku tak punya tokoh panutan. Aku hanya menangkap binary
mata ibuku, satu-satunya yang masih terjaga berkat sepotong dongeng, selain
tentu saja gairahku waktu aku selagi bayi yang menyusu. Selain itu aku bukan
siapa-siapa. Karena itu hidupku kuhabiskan hanya untuk mencari masa silam semata-
mata
memberi arti masa kini sembari mempertimbangkan masa depan. Tentu ini sebuah
kecelakaan. Ya, mungkin sebagian telah menjadi takdirku. Tapi sisa takdirku
berkata lain. Aku beruntung sebagai perempuan dan hidup dari kekayaan hasil bumi
warisan kakek yang tuan tanah dan kini giliran dikelola ayahku, Kiai Mansyur.
Dua hal yang akhirnya memicu diriku menjadi pembangkang yang gampang tersulut
api emosi masalah keluarga. Aku membabtiskan diri sebagai peziarah masa lalu
semenjak di bangku Universitas Pawiyatan Dhaha. Harus jujur kuakui, belakangan
hari, sehabis memerah otak memeras hati, kutemukan ujung simpul dari pencarianku
selama ini. Yaitu cinta. Juga kau yang menjadi saksi hidupku tentang cinta yang
kumaksudkan, hidup yang kumiliki,” Umi menghabiskan kata seperti hendak
menyusutkan jiwanya sampai seolah ingin mencairkan tubuhnya.
“Ah, lagi-lagi kau melebihkan kehadiranku, Umi.”
“Tidak, kekasihku. Kau adalah sisi kedua mata uang emas yang terbakar gelora api
cinta yang berkobar. Sementara sisi lainnya adalah sesuatu keindahan cinta yang
universal pada tubuh mitos-mitos penjaga hatio dan batinku. Juga jiwaku. Sampai
aku sulit mengenali lagi mana bagian tubuh dan mana jiwa mitos-mitos itu. Cinta
yang selama ini tidak kutemukan dari kitab-kitab pelbagai agama, aliran, sekte-sekte
yang luar biasa subur di sini laiknya dalam satu rak khusus. Aku tak bisa
membaca kitab, tapi sekarang aku tidak buta. Bahkan aku mampu mengembalikan
cinta itu kepada yang murni dan asali. Pengalaman batinku yang gaib hingga
merasa hilang raga jadi kunci pembuka rahasia cinta. Juga kepercayaanku pada
negeri dongeng sebagai kenyataan tinggi sangat membantuku menterjemahkan perihal
cinta yang universal. Oya, hampir lupa kuceritakan, perihal cinta sesame manusia,
alam, demi keseimbangan semesta, aku terilhami biografi Mahatma Gandhi yang
ternyata seorang penganut Jainisme Mahavira. Lihat cara berbusana Gandhi yang
nyaris tak cukup disebut selembar kain adalah simbol kepapaan hidup di dunia,
seorang vegetarian yang menghapus kasta lebih dari sekadar derajat arus dan
warna darah. Andai dia bukan lelaki, tentu lain ceritanya bagiku. Dialah yang
mengilhami aku sekaranga agar menjadi seorang pecinta sejati, sebebas burung
terbang rendah atau menjulang tinggi. Cinta sebagai suatu pengalaman religius di
louar batas-batas agama, kepercayaan atau sekte.”
“Kau tidak sedang mengenalkan diri sebagai seorang penganut penghayat
kepercayaan kepada Tuhan, bukan?” ada nada gugatan pada diri Gerritsen.
“Pertanyaan itu tak perlu kujawab. Pertanyaan yang kurasa serupa dengan apakah
seorang pelacur itu punya Tuhan. Kalau Sidharta tak malu berguru pada seorang
pelacur seperti dalam novel pemenang Nobel Herman Hesse, lalu jawaban apa yang
memuaskan bagimu?”
Tiadanya jawaban atau pertanyaan lagi membuat dialog kami terhenti. Ada yang
mengeras atau mencair di dalam hati. Apapun itu, barangkali itu suatu cinta atau
cinta yang sedang mencari bentuk.
Umi mulai diserbu rasa takut kehilangan ruang waktu bercerita. Hari menjelang
sore saat Umi ragu Gerritsen bakal tersinggung bila diseret ke tempat Dewi
Surengrana. Prasasti bagi kaum Hawa pencemburu buta yang menderak-derakkan
dendam dengan giginya. Sedang pria itu punya kebiasaan nyleneh pula menikmati
bulu ayam dari lubang kupingnya.
Boleh jadi ini cuma perasaan Umi saja.
Ternyata, lebih dari itu Umi juga tak punya cukup keberanian menceritakan
kehebatan suluk asli Kediri, Gatoloco yang bernas beringas ketimbang teori cinta
Kamasutra.
Bukti bahwa Umi masih wanita biasa.

12. Menabur Angin Menuai Badai

KASIYATI, bergegaslah mencari pengganti nama baru buat putramu. Bila kau tak
ingin hendak mewarisi pemantik perpecahan antar umat. Jauhar, dalam tradisi
Hindu berarti jalan bakar diri ketimbang duduk tunduk pada kekuasaan musuh. Dan
musuh Hindu waktu tempo dulu adalah Islam, sesudah membinasakan Budha
Hinayana
maupun Mahayana. Namun Jauhar bagi dunia Arab berarti permata, yang kemudian
biasa digunakan dalam sajak mistik Islam, Hamzah Fansuri.

13. Grihajuddha18)

BAGIKU, Jawa adalah persimpangan dua perempuan.


Ketika di India, aku pernah menonton film dari stasiun televise lokal. Sebuah
film lama, Grihajuddha, garapan sutradara Busdhadeb Dasgupta, yang juga seorang
penyair asal Calcutta. Aku sangat terkenang kisah persimpangan jalan tokoh-tokohnya
saat negerinya sedang dilanda krisis moral dan politik kelas menengah.
Aku menggambarkan diriku berada pada situasi itu ketika berhadapan dengan Umi
Khalsum dan Kasiyati. Bahkan lebih banyak lagi persimpangan menghantui terkait
krisis suiker fabriek. Saat begitu rupa warna pilihan, aku musti menjatuhkan
satu pilihan tanpa harus menafikan pilihan lainnya.
Aku resmi menikahi Umi Khalsum dengan cara Islam. Tapi aku menemukan
kebebasan
dan tanggungjawab tanpa embel-embel moral justru pada diri Kasiyati. Kukira
barangkali karena Umi Khalsum terlampau dewasa karena pengembaraannya.
Sementara
pada diri Kasiyati justru kebebasan itu kuraih dari kekanak-kanakannya, yang
tanpa aturan. Akulah baginya yang melengkapi fantasi kekanak-kanakannya, karena
ia tak pernah lagi merasa terkurung satu-satunya jerat kelam hidupnya,
kemiskinan dan lembah hitam. Bersamanya, aku menemukan seluruh sisi
kemanusiaanku tanpa selembar kertas pun yang menyederhanakan hubungan cinta
kami.
Apalagi rupa-rupa surat nikah maupun Kartu Keluarga atau KTP.
Suatu ketika aku menangkap situasi jiwaku dari pantulan keinginan hasrat birahi
Umi yang tak bisa kululuskan lantaran terbentur sebingkai dinding. Saat Umi
mengungkap hasratnya yang kuat ingin bercumbu rayu di kebun tebu. Aku tak tahu
persis alasannya meski kukira hendak melepas bebas suatu beban. Baru setelah
kudesak karena aku menolak, ia mengurai latar belakangnya. Katanya, demi
membantai ngeri gelitik gemerisik daun tebu. Angin berbisik tapi serbuk daun
tebu bagi Umi membuat nyeri hati. Pobhia yang tak bisa kujelajahi. Aku hanya
menebar janji bakal menutup kembali goresan luka hatinya itu. Kendati aku
menyimpan bayangan gersang bila kami berkelejatan di kebun tebu.
Kukira hanya orang yang benar-benar sehatlah, atau yang berbatasan tipis dengan
keadaan jiwa yang pathologis yang memahami situasi keindahan semacam ini. Lalu
tidak keliru bila kemudian tumbuh benih kecurigaan pada diriku bahwa sekarang
hubungan kami bertiga adalah hubungan orang-orang yang terjangkit psikopat dan
mabuk oleh keindahan cinta.
Andaikata aku punya kemampuan bahasa Indonesia yang hebat, mungkin keadaanya
akan lain pencerahannya. Beruntung aku memiliki dua perempuan yang
kecerdasannya
tak kutemukan pada diri orang lain, wanita lain. Meski tak pernah mengajukan
tanya, Umi kukira memahami hubunganku dengan Kasiyati. Sebaliknya, demikian
halnya pada diri Kasiyati.
Kami rupanya telah menjamah sedikit dari misteri tingkat tinggi perihal cinta.
Sebab itulah sebagai sebuah persimpangan, akhirnya dalam catatan harianku pun
kujatuhkan pilihan pada Umi Khalsum, dalam selembar kertas hijau muda. Ini hal
yang tak kuasa kulakukan pada Kasiyati. Catatan harian itu sebagai berikut:
Umi Khalsum. Nama ketiga ini pun sesungguhnya masih tidaklah tepat. Ia bukanlah
pemeluk Islam teguh. Dia juga bukan pemilik suara indah. Keindahannya terletak
pada kecantikannya. Kecantikannya tercium dari imajinya tentang sebuah kota.
Kepercayaannya, keyakinannya, obsesinya membangun pusat kota budaya di atas
agama-agama Hindu, Budha, Islam, Kristen, Konghucu, dan agama lain penganut
kepercayaan, dengan megah. Ia menemukan diri di tengah carut-marut kegaguan
zaman. Berkat pengembaraan terhadap diri, berpihak pada spiritualitas yang aneh,
ganjil, liar bahkan cenderung subversif dan anarkhis, ke dalam semangat baru,
arus baru juga kebangkitan baru. Ia pemburu masa lalu sebelum akhirnya menemukan
ruh cinta dari salah satu versi cerita Panji dalam Babad Kediri.
Engkau tak perlu lagi ganti nama keempat, Umi Khalsum.

14. A m a r a h

MASIH tiada sehelai pun catatan harian Gerritsen tentang Kasiyati. Suatu misteri
terdalam yang belum terpecahkan. Namun Kasiyati sungguh manusia biasa yang bisa
terbakar amarah, kecewa atau duka ketika kekasihnya memilih menikahi Umi
Khalsum.
Emosi Kasiyati pecah membuncah. Ia menangis meski lupa bagaimana mula caranya,
karena tak pernah ia lakukan semenjak bertahun-tahun lalu. Sungguh pantangan
baginya menangis apalagi di depan putranya. Tapi kali ini benar-benar terjadi
dengan sedu-sedan menyayat yang sangat aneh.
Sebuah tangis dengan irama seronen19) mengiris. Ia menangis dengan begitu
indahnya. Seolah memperjelas itulah hidupnya yang sebenar-benarnya. Sebuah
tangis yang membuatnya menarikan ruh jiwanya sebagai seorang manusia kukuh tak
mau menanggung beban badaniyahnya. Sepertinya ia sedang mengalunkan nyanyian-
nyanyian
kerinduan pada hidup yang abadi di alam cita.
Sayang, mata ini sering menipu diri. Geliat tubuh Kasiyati yang meronta,
berkelejatan seperti cacing terpanggang terik, mengesankan ia sedang mendendam
pada hidup, mengumpat pada Tuhan. Kasiyati membanting-banting pintu, memukul-
mukul
meja, membentur-benturkan kepalanya pada dindinya kayu.
Sungguh, betapa amarah Kasiyati sebetulnya tertuju pada dirinya sendiri,
keadaanya dirinya. Atau lebih tepatnya keterbatasan diri atas penjara tubuhnya.
Tubuh yang bahkan telah sejak lama ia jual atau gadai pun tidak ia lakukan.
Kelelahanlah, juga perasaannya yang menyendiri membuat tangisnya terhenti. Pagi
masih cerah ketika ia mulai lagi menyenandungkan irama seronen yang mengiris,
lalu menari, juga nyanyian kerinduan yang mengukuhkan keinginannya tak mengakui
tubuhnya. Ia ingin melenyapkan tubuhnyta, sebab tahu diri percobaannya memberi
arti padanya telah gagal. Bahkan tak cukup berarti bagi lelaki kekasihnya. Tiada
suasana paling nestapa selain seperti ini. Tak ada keindahan paling menakjubkan
dan tak bisa diceritakan kecuali terjadi pada pengalaman diri Kasiyati.
Kindahan dari pencerahan keadaan diri yang mirip supreme de gout de moi,20) –
perasaan
mual luar biasa terhadap dirinya.

15. Kecamuk Amuk

NGADIREJO, akhir Mei 2007


Pers makin sibuk memberitakan perbaikan ketel pipa air yang tak kunjung kelar.
Sampai hal yang sulit diterima akal telah terjadi. Tekanan dari jajaran direksi
tak henti-hentinya melumrahkan gebrakan meja. Bahkan Administratur pabrik
mempertontonkan drama paling tragis sepanjang kepemimpinannya. Ia menangis
seperti perempuan muda dijamah tubuhnya oleh lelaki. Ia tersedu di depan para
staff. Sesuatu yang sama sekali tak berarti kecuali bagi dirinya sendiri.
Keadaan ini tak bisa dibiarkan terus berlarut. Aku khawatir pers beralih isu
mengarah pada merajalelanya tindak korupsi. Hal yang tak boleh terjadi sebelum
aku melaporkan detil kejahatannya pada atasanku. Secara pribadi aku suka bila
pers mencium ini. Proses swastanisasi tentu lebih cepat. Cuma justru di sinilah
pekerjaanku, memotong kecepatan waktu sampai atasanku di Nederland benar-benar
siap.
Maka rumus BUMN sarang koruptor itu benar. Aku berhasil mengumpulkan beberapa
data tender proyek yang di-markup, pencurian besi tua secara besar-besaran,
keterlibatan aparat keamanan, permainan rendemen yang melibatkan ketua paguyupan
kelompok tani dengan orang dalam dan yang paling terbuka adalah suap dalam
rekruitmen tenaga kerja.
Memang beberapa palaku yang sempat tercium aroma korup, jadi pelanggan
pergeseran gerbong. Sayang, ini tampaknya hanyalah upaya arisan saja.
Ketika laporan ini ditulis, petani tebu protes keras karena tanamannya tak
terurus. Sebagian yang lain mengamuk dengan membakar tebu-tebunya yang
melinting
kering.
Info terkini: Dikabarkan rencana pembelian vaporator, pemasak gula dari Jerman.
Total anggaran mencapai 36 miliar rupiah. Silakan cek ulang kawan di Jerman,
karena di sini diisukan cuma seharga 18 miliar.

16. Z i a r a h
JELANG petang. Aku datang ke dusun Menang bermaksud menjemput masa depan.
Kubawa
serta putraku, benih yang kutanam agar panen di hari belakang.
Aku tak hanya ziarah ke petilasan Eyang Jayabaya, tapi juga menziarahi seluruh
gemuruh tubuhku yang menyimpan perasaan mual ini dengan sedikit melonggarkan
kepercayaan pada akan datangnya masa depan. Aku menziarahi kembali mimpiku,
tenaga gaibku, alam mistis yang diantar kembang kanthil dan aroma kemenyan juga
japamantra juru kunci petilasan.
Menaiki tangga pamoksan aku melepas alas kaki. Menyerahkan doa pada juru kunci
yang berlaku sebagai pintu menuju hari yang lebih menjanjikan. Ini tempat samadi
yang tak pernah sepi dari dengung doa minta rezeki, jodoh, jabatan, pangkat
bahkan keberuntungan hasil perjudian.
Entah bagaimana mulanya, aku menyakini tempat ini sebagai semacam gerbang
melihat hari depan. Atau daun jendela yang setiap saat bisa terbuka bagi yang
hendak ingin menatap riwayat dan semangat untuk membuka hari.
Anakku banyak bertanya, tempat apa ini dan untuk apa kemari. Aku pun menjelaskan
dan menabur benih pengetahuan gaib dan penglihatan mistik padanya. Bahwa tempat
pemujaan ini dibangun di atas mimpi seorang bernama Warsodikromo yang
menyingkap
sebagai petilasan Eyang Jayabaya. Mata air Mbah Sumber Buntung dijelmakan
sebagai Sendang Tirtokamandhanu, tempat pemandian puteri kraton Kediri. Pesarean
Mbah Ageng disebut-sebut sebagai loka muksa, pintu menuju surga bagi sang Prabu.
Lalu makam ki Salepuk dijadikan loka busana, tempat busana sang raja semula
ditanggalkan sebelum muksa. Kemudian makan Eyang Samsujen menjadi loka
makuta,
tempat Sri Aji Jayabaya meletakkan mahkotanya sebelum muksa.
Suatu keajaiban terjadi ketika aku merasa tak cuma masa depan yang datang,
tetapi aku juga bertemu dengan masa lalu. Aku bertemu dengan sesosok perempuan
yang entah kapan waktunya tiba-tiba saja datang petang itu. Aku serasa sangat
mengenal perempuan itu.
“Bagaimana bisa kamu juga datang kemari? Sepertinya kau juga telah terbiasa.
Untuk apa?” aku menegur sapa lebih dulu seakan-akan ini caraku menaklukkannya.
“Sama sepertimu. Aku mau menjemput masa depan.”
“Pasti urusan cinta, bukan?”
“Ya. Salah satunya. Kamu?” perempuan itu balik menyergap.
“Begitulah.”
Kami seperti sama-sama sangat mengenal kepribadian kami. Tapi kami tak pernah
menyebut sepotong nama pun untuk dilekatkan di badan.
Aku pulang dengan kesegaran yang belum pernah terasa sebelumnya. Sekaligus
dibalut mendung rasa takut, was-was menatap hari esok. Barangkali aku memang
sedang menerima sasmita, tapi beban hidup yang menumpuk di badan ternyata masih
cukup kuat menghalang.
Entah mengapaaku ingat ajaran leluhurku tentang sedulur papat, lima pancer.
Kakang kawah, adi ari-ari, welat, kunir dan getih puser.

EPILOG:

Rahasia Waktu Peristiwa


SEBAGAIMANA setiap pertemuan, acapkali menyegarkan ingatan. Juga menyisakan
gumpalan rahasia terpendam. Kuburannya adalah waktu. Kini aku jadi mengerti
mengapa pertemuan kita yang ternyata bukan hanya sekali terjadi ini, senantiasa
menggairahkan. Jawabnya karena kita punya cinta yang menyemangati hidup. Aku
rindu pertemuan-pertemuan berikutnya denganmu, tempat kekinian memberi makna
bagi waktu yang tepat menjadi suatu peristiwa.
Bagiku, perjumpaan denganmu yang menggendong masa lalu, juga kepingan masa
silam,
adalah peristiwa yang menakjubkan. Kukira demikian halnya bagimu bertemu
seorang
yang memburu masa depan sepertiku. Jadi satu-satunya kesamaan kita pada hari ini
adalah sama-sama menciptakan peristiwa, menyingkap maknanya sambil mengubur
usia
atau mengejar alam cita.
Sebab itu, maafkan aku bila aku merasuki hari-harimu dengan beban yang
kufetakompli sama denganku seperti itu. Aku tak bisa menilai diriku sendiri,
apalagi ketika menjalani peristiwamu dengan sorot mata dari jendela hari depan.
Harus jujur kuakui, bagiku, pencerita, penulis atau pendongeng dari jendela
waktu itu, bahwa seluruh nama-nama dari peristiwa atau cerita ini memang pernah
ada. Akan tetapi segala peristiwa di dalam cerita ini tidak pernah ada. Atau
tepatnya mungkin belum sempat ada.
Satu-satunya peristiwa yang kita sadari ada, adalah upacara kematian insinyur
Edeleer L Gerritsen. Lagi, aku memfetakompli peristiwamu, yang kuyakin benar
lantaran kita memang sedang ada di sana saat itu, pertemuan itu. Gerritsen
meninggal setelah menjalani perawatan intensif di RS Baptis akibat komplikasi
dari bahaya tetanus di lubang kupingnya. Lagi, satu hal yang di luar pengetahuan
kita, ternyata Edeleer L Gerritsen punya kebiasaan buruk selain menarikan bulu
ayam, ia juga tak jarang menenggelamkan batang kunci atau paku ke kupingnya.
Semenjak itu aku mulai punya masa lalu, sehingga bisa kuceritakan seperti ini.
Termasuk mengulang peristiwa keherananmu saat aku membawa surat wasiat Edeleer
L
Gerritsen agar jenazahnya dibakar bila ia meninggal dan ia minta abunya dilarung
di kali Brantas. Ah, rupanya inilah terminal kita berikutnya bisa saling bertemu
bukan? Aku sendiri terkesima ia berwasiat seperti itu. Tapi kesima yang tak
menyurutkan sadarku dengan berusaha mencari jawab dugaanku sendiri. Bahwa kau
akan melakukan satti21) karena cintamu yang luar biasa padanya. Semestinya,
akulah yang melakukan itu karena telah mual dengan beban raga yang menyiksa.
Sampai sekarang aku tidak tahu, mengapa tidak juga kulakukan itu padanya,
Saudaraku.

2008

CATATAN
1) Arca itu hingga kini masih berdiri kukuh di Desa Pulu Pasar, Kecamatan Pagu,
Kediri. Tingginya mencapai 4 meter.
2) Sebutan untuk pelacur rendahan pada masa imperium Romawi yang sering dikenal
dengan nama kuno Byzantium. Diambil dari novel Paul I Wellman, Wanita, Gramedia
1976, cetakan kedua.
3) Wanita pribumi yang dijual untuk menjadi budak nafsu serdadu pada masa
pendudukan Jepang 1942-1945.
4) Melampaui batas tata kewajaran atau norma masyarakat umum.
5) Perahu tradisional yang hanya dijalankan dengan sebatang gala. Biasanya
perahu ini terbuat dari bambu-bambu yang diikat.
6) Judul cerpen yang ditulis seorang pengarang terbaik Indonesia, Gerson Poyk.
Mengisahkan seorang pelaut Indonesia yang membeli perawan gadis remaja Bombay.
Saya membaca cerpen ini dari majalah sastra Horison beberapa tahun lalu.
7) Dari bahasa Belanda. Artinya, laporan sementara.
8) Pabrik Gula (Bld)
9) Para anggota pimpinan (Bld)
10) Kejahatan berat yang di sini dikanal dengan KKN.
11) Pecinta Jawa
12) Dipetik dari kumpulan sajak Tukang Kebun, Rabindranath Tagore, Pustaka Jaya,
1996 hal 94.
13 )Gerakan bawah tanah. Pengarang mengasosiasikan jiwa yang terlupakan dengan
idiom ini.
14) Paham mistik Jawa yang terjemahan harfiahnya, menyatunya Tuhan dalam diri
manusia.
15) Ajaran moral orang Jawa tentang etika tenggang rasa. Kuranglebih
terjemahannya, menjunjung tinggi harkat martabat dan menutup rapat aib yang
merendahkan.
16) Dari salah sebuah sajak sufi Jalludin Rumi, dalam Mastnawi.
17) Sejenis kata umpatan. Artinya, terkutuklah kau (Bld).
18) Artinya jalan persimpangan. Selain film yang ditontonnya waktu di India ini,
tokoh Gerritsen juga terinspirasi kunjungannya ke Calcutta. Di sana ia mendengar
cerita bahwa sebuah prasasti Airlangga ditemukan di sana oleh Raffles. Prasasti
itu kemudian disebut Batu Calcutta berbahasa Sansekerta dan Jawa Kuno. Juga
disebut-sebut sebagai batu perismian Biara Pucangan. Cerita ini juga diilhami
oleh pesona penyair Rabindranath Tagore yang jatuh hati untuk menulis sajak
tentang Jawa. Sayang, penulis belum menemukan sajak yang dimaksud.
19) Seruling khas gamelan Madura
20) Istilah ini digunakan pengarang Budi Darma untuk melukiskan kondisi kejiwaan
tokohnya dalam Olenka. Sumber utamanya dari ungkapan Albert Camus pada novel
La
Nausee.
21) Tradisi Hindu kuno yang berlaku untuk perempuan-perempuan istri demi
membuktikan pengabdian dan cinta pada suaminya. Caranya dengan ikut membakar
diri bersama jasad suami bila telah mati.[]

Diposkan oleh s.jai di 19:35 0 komentar

kliping
Surabaya Pagi 22 November 2008

Absurditas di Sangkar RUU Pornografi

Bagi UU Pornografi ada semacam manifesto bahwa pornografi adalah buku, syair
lagu, puisi, gambar, film, foto. Bahwa pornografi adalah saat pikiran hati dan
perasaan meloncat dari ruang pasung. Bahkan biang pornografi dan pornoaksi
adalah tubuh perempuan di depan mata jalang penguasa laki-laki

Bersiaplah bagi kita, pengarang untuk menggali “kuburan” sendiri! Lebih dari itu,
nikmati kepedihan menyaksikan karya-karya terbaik terancam bakal menemui ajal
karena dibakar di tungku api!

Pesan ini bukan cuma isapan jempol, karena Rancangan Undang-Undang Tentang
Pornografi lolos diundangkan sejak dua pekan lalu. Bukan berlebihan bila keadaan
luar biasa mengerikan ini, sebanding dengan saat gaya absurditas novel dan drama
berjaya di Perancis berkat pemantik tragedi perang dunia kedua. Mungkin engkau
telah tahu. Barangkali pula kamu sedikit tahu.

Saat itu filsuf Jean Paul Sartre melempar konsepsi filsafat eksistensialis yang
gemilang, kendati justru dalam lapangan sastra ia tak sebaik penganut-penganutnya:
Albert Camus, Samuel Beckett, Eugene Ionesco, Friedrich Nietzsche. Mereka
melalui karya-karyanya adalah manusia yang menyerupai nabi yang berjuang
membebaskan umat dari gurita zaman modern.

Mereka sastrawan yang mengkritik puncak-puncak nalar yang diboncengi cemburu,


ambisi, serakah, dan berbuah sikap metafisik atau sikap jiwa, yang nampaknya
samar tetapi jelas, jauh tetapi dekat. Suatu sikap yang dalam pandangan mereka
sebetulnya sama sekali sia-sia, tapi perlu meski tak harus berarti penting.
Bahkan hingga paling tersia (pesimis maupun optimis). Bagi mereka yang penting
adalah hidup “indah” menyongsong kematian.

Kehidupan rutin dan mekanis, kebosanan, keterasingan, kecemasan, dari banyak


segi inhuman di dalam diri manusia, tergambar jelas dalam sederet karya,
Caligula, Sampar (Camus), The Waiting for Godot, Endgame (Beckett), Zarathustra
(Nietzsche) dan masih bisa ditambah deretan karya yang boleh dibilang kitabnya
nabi senjakala modern.

Absurditas adalah gaya hidup untuk “menghibur diri dan bermain dalam tingkat
keseriusan ludic,” dalam kurungan hukum mitos sisiphus mendorong batu besar ke
atas bukit sebelum akhirnya menggelinding lagi ke bawah lembah. Atau sang Dajjal
yang menggergaji besi api neraka, tapi suara adzan mengutuhkannya lagi dari
gigitan gigi gergaji. Kaum penganut absurditas percaya tragedi besar manusia
adalah sadar dirinya sia-sia. Kesadaran menggerakkan eksistensinya, sebergairah
jabang bayi sejak saat kali pertama menyusuri bukit payudara ibu.

Lantas, adakah di masa kini tragedi lebih besar tengah terjadi, setelah setengah
abad lebih absurditas hidup dengan nafas senin-kemis? Jawabnya ada, bahkan luar
biasa banyak jumlahnya. Di negeri yang tanggung menyebut modern ini, bahkan
bukan mustahil bakal mengalami tragedi yang luar biasa dahsyat bagi kemanusiaan
zaman pascamodern, post kolonial, atau posttradisi.Yaitu, bila UU Pornografi
diberlakukan. Yaitu tragedi yang terbesar dialami hamba-hamba kebudayaan,
seniman, penyair, pengarang, penari dan perawat tradisi-tradisi adiluhung.
Karena tidak hanya tubuhnya yang terancam tapi juga kebebasannya, karyanya.
Mereka dalam kondisi ketakutan yang mencekam tapi spirit hidupnya menggeram.

Musti diakui, karya seni, juga sastra, novel, puisi, drama, tari yang
menakjubkan keindahannya tak harus ada seks, bahkan sonder seksualitas. Akan
tetapi hampir bisa dipastikan, setiap karya besar yang berbobot bagi kemanusiaan
senantiasa mengandung erotisme (bukan seksualitas), semacam kegairahan pada
cinta dan hidup, saling mengutuhkan, saling memasuki ruh makluk hidup yang
“terhalang”
batasan tubuh.

Namun, UU Pornografi telah terang-terangan mengamputasi bagian “tubuh” seniman


dari keutuhannya, kebebasannya, kegairahannya untuk mengutuhkan diri dalam karya
seni. UU Pornografi akan memproduksi orang-orang menjadi kerdil dan cacat “tubuh”
dan jiwa. Bagi mereka yang melawan atas dasar spirit neo-absurditas sudah pasti
akan ditebas, dijebloskan tahanan dan karya-karya mereka diberangus.

Erotisme bisa hadir dimana saja, di setiap karya seni yang mengekplorasi
keindahan. Gairah Api Cinta! Birahikan Dunia! Lalu siapa yang tiba-tiba berani
dengan traktat UU Pornografi menjadi hakim bahwa setiap yang erotisme adalah
pornografi atau pornoaksi. Bagi anda penyair yang menulis sajak cinta, atau
pengarang yang terlalu bergairah ngotot tak sudi menyiapkan kuburan sendiri,
terang bakal ditimbun tanpa ampun.

Cermati, pasal krusial ini: Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat
oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi,
gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk
pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau
pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang
melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat (pasal 1 ayat 1).

Artinya, tidak ada yang bisa dilakukan seniman terhadap erotisme dan tentu saja
tubuh dalam karya terbaik mereka. Sebuah kemustahilan manakala wilayah
penafsiran, otak, hati perasaan, juga imajinasi, persepsi, intuisi, interpretasi
dipagari kawat berduri. Lalu bahasa apa yang lebih santun selain Yang Terpasung?
Apalagi, bagi UU Pornografi ada semacam manifesto bahwa pornografi adalah buku,
syair lagu, puisi, gambar, film, foto. Bahwa pornografi adalah saat pikiran hati
dan perasaan meloncat dari ruang pasung. Bahkan biang pornografi dan pornoaksi
adalah tubuh perempuan di depan mata jalang penguasa laki-laki.

Dengan kata lain, ini adalah kebiadaban. Dalam bahasa Einstein mungkin lebih
santun, “Tidak ada kebodohan paling konyol selain mengulang-ulang kesalahan yang
serupa.” Pemasungan imajinasi, interpretasi, persepsi, intuisi, juga pembakaran
buku, pembabatan seniman telah terjadi sejak zaman bahuela. Di sini tak lama
lagi masih akan terjadi. Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil
perampasan (pasal 28 ayat 1)

Ada kalanya, terbayang dalam keadaan suram bukan mustahil muncul karya-karya
seni magnumopus, masterpeace. Namun rupanya sekalipun ada neo-absurditas sangat
sulit hal itu lahir di bawah cekam kerangkeng UU Pornografi. Absurditas akan
sangat sulit dimaknai, disemangati lagi karena kesia-siaan hidup itu justru ada
di tangan algojo “tuhan“ bernama polisi dan undang-undang. Bukan malaikat
pencabut nyawa Izroil atas perintah Tuhan. Sebuah kesia-siaan yang berlipat
ganda dari keadaan sebenarnya (manusia menjarah wewenang Tuhan). Pilihannya
hanya ada dua “bunuh diri“ atau “dibunuh“. Atau barangkali bukan diantara
keduanya?

Kalau pun ada diantara keduanya, kiranya hanyalah cinta pada hidup. Semacam
“kecintaan”
pada diri. Sepanjang yakin akan kodratnya, takdirnya, duduk perkaranya, perannya,
misterinya, perkembangan kembara alam pikirannya, bacaan mutakhirnya, lalu hantu
teror semisal UU Pornografi tadi. Cintalah, yang sanggup menggerakkan
kepengarangan sepanjang masa dalam kondisi apapun.

Menjadi pengarang, adalah suatu upaya menjaga diri agar tak kehilangan hak milik
sebagai manusia. Semacam cinta yang sesungguhnya, cinta yang berpuasa, cinta
yang menahan diri agar terhindar dari kesepian, kecemasan, apalagi kehilangan.
Cinta yang tidak takut pada jarak, waktu dan tentu saja ruang. Cinta yang bisa
mendengar dan merasakan jerit tangis, luka, bahagia, sampai dasar relung yang
terdalam manusia. Cinta yang sulit diterjemahkan, disingkapkan dengan kata-kata
karena kata tak sanggup menampung kandungan isinya.

Pengarang adalah seorang yang membabtiskan kata itu seperti manusia, juga
seperti partikel, seperti gelombang abstrak. Sebab itu meskipun ia tahu begitu
banyak, jutaan kata-kata, miliaran buku-buku, seperti juga manusia ia tahu
bagaimana harus hidup, menyela dan menyusun pikiran besar. Ia pun tahu, perlu
kerendahatian untuk berjanji—betapa pengarang tak akan tinggal diam saat
menjumpai kenyataan seperti sekarang: Kata sudah demikian kejam menghabisi
manusia. Akibatnya, kematian terjadi dimana-mana. Kecuali bagi siapa saja yang
berani, bersih dan jujur.

Jadi satu-satunya amanah pengarang terletak pada kemuliaan dan kewajibannya


untuk mengingatkan bahwa menghidupkan kata pada karya itu, sama halnya kreasi
Tuhan meniupkan ruh hidup manusia seutuh-utuhnya di semesta. Inilah erotisme.
Maafkan, bukan bermaksud menggambarkan kerja Tuhan dalam wujud manusia.

Akhirnya, maafkan pula bila terpaksa aku menyingkap kata yang mungkin semestinya
tak perlu kusampaikan padamu. Bahwa Al Hallaj demi melunasi kemerdekaan
jiwanya,
ia lalu menabrak agama, suatu sumber yang kuyakin engkaupun sepakat sebagai
segala sumber kreativitas. Bagaimana itu bisa terjadi? Lalu, bagaimana ini semua
bisa terjadi di sini di depan muka kita sendiri? Semoga bagi kawan-kawan kita
yang tak peduli, telah diberi kekuatan untuk bersiap mengunduh daya ciptanya
dengan berapi-api. ***
*) Penulis adalah pengarang, sutradara dan pimpinan Komunitas Teater Keluarga.
Kini bekerja sebagai peneliti dan anggota tim advokasi pada Center for Religious
and Community Studies (CeRCS) Surabaya

Diposkan oleh s.jai di 19:34 0 komentar

Selasa, 2008 November 18

cerpen

Sengau
S. Jai

KESEGARAN pagi ini nresep perasaanku. Lebih hebat dari tumpukan gunung dan
lembaran langit. Dua makhluk ciptaan Tuhan paling angkuh di mataku, di atas ubun-
ubunku,
tapi begitu mungil di dasar hati dan pikiranku. Segala benda terkukuh di semesta
atas kemauanku sendiri bisa berada dalam genggaman tanganku, kubuat mainan di
telapakku dalam waktu singkat yang memadat. Sekejab.
Itu bila kumau. Bila kupunya kehendak. Karena sesungguhnya seperti itulah
keadaanku. Memilih dan tidak untuk dipilih. Aku ini pilihan untuk memilih,
memandang gunung dan langit lainya batu atau emas. Segalanya cuma kutukan.
Sebuah pilihan. Disiapkan untuk tunduk menjadi bencana bagi yang lain.
Kasihan sekali mereka. Tak bisa bangun pagi sesegar ini sepertiku. Membuka mata
menganga, menangkap cahaya mentari, menjadi sais bayang-bayang sendiri.
Kesegaran yang sempurna setidaknya menurutku sendiri sejak berpuluh tahun.
Kesegaran yang sumringah dan tak seorang pun sanggup mengisahkan hal ikhwalnya.
Betapa ini kesegaran purba yang kurengkuh sendiri dengan satu-satunya mataku.
Cahaya Tuhan itu. Kesegaran pagi yang musti kupendarkan segenap tenaga ke dalam
perasaanku, hatiku, bahasaku, ucapanku, keheningan cuping telingaku berkat
kekuasanku sendiri. Saat inilah terpenting kujaga hidupku betapa kian waktu
merangkak jelang siang menuju malam sesuatu yang menggigilkanku menerobos
masuk
tubuh. Bahwa jika aku lena sekedip saja jurang nganga kutukan dan pilihan
merangsek amat tipisnya.
Kerap menyergap kengerian itu padaku. Membeberkan peta mengajukan tanya jaddi
manusia ataukah terseret dalam makhluk kutukan yang menyunpahserapahi Tuhan.
Aku
lahir tanpa pengetahuan siapa bapaku, ibuku, dimana alamatku, kakek nenekku,
nenek moyangku. Aku lahir begitu saja. Apa adanya karena seluruh pengetahuanku
telah lebih dulu tersumbat bisu tuli lidah dan kupingku. Itu tak cukup oleh
karena perkenalanku kali pertama di dunia ini adalah ketika manusia lain
mengasihaniku melihat kakiku bercabang seperti akar pohon trembesi. Hitam,
bersisik dan mekar. Begitulah di satu saat aku ada, hidup dan cacat. Tapi di
saat lain aku tiada dan ditiadakan. Hanya sepasang cahaya kecil meredup di mata
yang kukuh menyampaikan kisah meski kian memerah sulur-sulurnya ke segenap
tubuh
dan jiwa.
Ketika itu betapa lekat derita dan kekosongan dan kedekatan itu hanyalah serupa
kepura-puraan atas nama sabar, kemanusiaan, dosa, kerja, kasihan dan tetek
mbengek cinta lainnya yang tentu akupun harus pura-pura pula memahaminya,
melakoninya. Bahkan harus rela menyulap agar tampil lebih paham dari arti
sebenarnya. Padahal sesungguhnya itu pekerjaan yang sia-sia saja. Lalu demi
hidup pun kesia-siaan masih harus ditutup-tutupi. Ketika itu bagiku berlaku
hukum: Hanya orang yang beruntunglah yang dengan sadar menutup-nutupi kesia-
siannya.
Luput dari itu, mereka orang yang merugi. Tuhan bisa dibenci, dimaki. Namun itu
bukan cara mujarab untuk menyembuhkan luka hati manusia. Tuhan tak pernah
terluka hatinya sekalipun dicaci.
Inilah sungguh keadaan yang menggetarkan nyaliku. Bila sesekali menyeruak ke
permukaan bagian hidupku, aku bisa menyerupai seorang yang murtad. Bila Tuhan
menasbihkan sebagai makhluk yang aniaya dan bodoh, tentu bukanlah aku yang
dimaksudkan. Bukan. Itu bukan diriku.
Saban senja berlabuh, itu detik-detik terkuat bagiku mengumpulkan kata maaf dan
ucapan terimakasih. Kumaafkan ketebatasan ziarahku pada seluruh tubuh, rasa dan
jiwa. Tak lain sekadar mengais makna, menemukan arti, meraih gairah yang ditebar
matahari menerangi duniaku. Akupun merenda cerita kelumpuhanku, kebisuanku,
gangguan pendengaranku ke dalam kesunyian yang sama sekali baru dari hari ke
hari. Bila malam bertambah malam beribu ucapan terimakasih dan puji syukur
kulampiaskan atas nama sepasang mataku—harta terindah yang kupunya, menyusul
pikiran, perasaanku. Khusyuk hingga tak ikhlas bila malam-malam kupejamkan
untuknya. Ya, mataku tetap menyala demi seluruh gairah sukma hidupku, jiwaku,
hatiku, ruhku karena nun di sana tak ada gelap terang, tiada siang malam.
Segalanya hanya bayang-bayang. Akulah sendiri bayang-bayang itu. Lalu untuk apa
musti melumpuhkan bayang-bayangku sendiri? Mengalirlah sepertri desir air,
berputarlah selaksa roda. Semaumu, semauku sendiri. Bayang-bayang itu senantiasa
turut melaju atau lamban merayu.
Maafkan bila aku tak mampu menjerat segenap isi pikiran, perasaan, luka, bahagia,
lelucon sebaik atau sesempurna mataku mencerapnya. Amatlah sulit bagiku
menyakini kebahagiaanku sendiri, luka atau lelucon. Juga isi hati, gejolak
pikiran. Pembicaraanku tak terlampiaskan. Serba canggung, ragu-ragu dan
mencemaskan. Ah, atau barangkali terlalu mengasyikkan menonton dunia demikian
rumitnya meski sesungguhnya begitu sederhananya. Atau sebaliknya menyaksikan
jagad begitu simplenya kendati sebenarnya amatlah dahsyat kerumitannya. Pada
saatnya aku memungut jawab dimana letak kerumitan dan kapan waktu sederhananya.
Aju menemukan kerumitan dunia itu pada dunia fantasi dan mainan masa kanak-
kanak.
Sementara penyederhanaan itu pada cara hidup manusia dewasa. Karena sifatnya
yang sederhana tentunya sudah dapat diduga banyak yang tidak berguna, ternyata.
Jika pun tak perlu kukatakan kecenderungannya yang memporakporanda.
Semenjak itu aku kembali menyukai dunia anak-anak. Menumbuhkan gairah hidupku
dengan menikmati kesuntukan bermain, membelit dalam kerumitan. Kian terjerat
permainan rumit kian aku merasa sanggup menjawab teka-teki siapa, dimana, apa,
bagaimana, kapan aku terlempar ke rona dunia maha dahsyat ini. Sungguh sesuatu
yang menakjubkan, ternyata. Puji Tuhan. Betapa angin kebebasan menyejukkan pori-
pori
kulitku, nafasku, ruang gerakku, juga tentu saja bicaraku. Bukankah angin yang
membisikkan, meneriakkan, menggumamkan suara-suara itu? Suatu percakapan yang
paling rahasia sekalipun? Kusingkap seluruh tudung tubuhku agar leluasa menerima
suara-suara. Juga kesunyian supaya terlepas segala beban, derita, sakit, cinta,
cerita, berita. Selanjutnya meloncat, membobol dinding tubuhku diterbangkan
angin.
Itulah mula aku merasa nyaman, bersih diri, enteng. Itulahawal aku melupakan,
atau lebih tepatnya bersukaria dengan keadaanku sendiri maupun ketiadaanku yang
melekat bersamanya. Itulah ikhwal segalanya milikku tapi aku tak punya apa-apa.
Satu-satunya yang sering mendustaiku pun, yang saat ini demikian berharga bagiku,
yakni mataku, nyala redup di dalamnya bukan aku yang punya. Betapa miskinnya
aku.
Anak-anak yang menyulapku jadi manusia kaya raya, justru dari kemiskinan yang
demikian menjurang itu. Tak lain adalah karena ini kesempatan terbaik jadi
manusia. Bukan sembarang manusia. Tak semua manusia sanggup hidup seperti aku.
Bahkan kuyakin di dunia ini hanya akulah yang masih tersisa. Karena urutan
paling buncit pun di antara yang terbagu pasti sudah memilih bunuh diri
mengakhiri penderitaannya, atau yang terlampau bahagia tetapi takut akibat
kebahagiaannya lantas dia perbanyak perkenalannya dengan dosa. Ya, tak ada
pilihan lain baginya kecuali mengakhiri hidup, agar jelas dirinya tak berbuat
dosa pada siapapun kecuali diri sendiri. Toh yang terakhir ini pun hanya dia
sendiri yang tahu. Itupun masih amat sulit tesingkap dan bisa dinegosiasikan di
belakang hari.
Begitulah, aku memang makhluk paling langka karena memang demikianlah
seharusnya
aku diciptakan, ditumbuhkan, digerakkan, dihidupkan—hidup yang sungguh-sungguh
hidup, bukan kepura-puraan, apalagi bukan seni untuk menampilkan kepura-puraan.
Bagiku hidup adalah hidup itu sendiri. Titik. Jangan campuradukkan hidup itu
seni, seni untuk hidup. Hidup bukan lelucon sebagaimana air kehidupan atau air
seni. Kendati keduanya memang ada dalam cerita-cerita dunia wayang dan dalam
jungkir balik berbahasa. Sungguh mengherankan sekaligus menakjubkan sesuatu
kotoran tempat bersarangnya jutaan benih penyakit justru dengan kebanggaan luar
biasa disebut air seni. Begitu pula air mani sebagai cikal bakal bibit manusia.
Betapa dahsyat seni dunia wayang mengungkap lewat meminum air kehidupan? Ah,
barangkali ini karena demikian adiluhungnya wayang sehingga hal itu terjadi. Di
sana bisa jadi akibat pagar undang-undang pornografi saja. Bagiku ini ironi. Air
kehidupan harus diambil dari kuping dewaruci. Bagi orang tuli sepertiku suatu
yang mustahil.

***

DARI mata seorang anak sepertiku, berkat matahati, matakaki, mataair, matahari
dan mata-mata, pengetahuanku hanya sebatas api, sepatu dan kursi jadi sesuatu
yang begitu rumit. Begitu rumitnya sehingga wajar bila terkadang atau seringkali
sudah dipahami orang lain. Apalagi oleh manusia dewasa yang telah meninggalkan
dunia anak-anak. Sebagaimana diriku, kawanku bermain anak-anak. Tentu saja
jumlahnya membiak, begitu banyak seakan kampungku ini milik anak-anak. Dari
kampung ke kampung. Bahkan lebih dari itu dunia ini seolah punya kami, anak-anak.
Memandang mereka tanpa baju tanpa celana, inilah lelucon sesungguhnya di dunia
tanpa tandingannya. Kami pun saling berbicara sonder jurang pemisah. Apalagi
cuma soal sepele kaki, kuping dan lidah. Juga kelamin. Kami menyukai kelamin
kami. Buktinya, kami girang melukis kelamin kami dan pakaian ini terasa
menyesakkan, memenjarakan tubuh kami, kelamin kami. Resleting celana seperti
engsel penjara dijaga sipir-sipir berkumis kucing. Gagah tapi memalukan. Berani
tapi tak punya nyali jantan seorang penjaga moral. Pakaian ini adalah siksa
badan. Pakaian baju zirah para kalifah yang rindu udara kebebasan, kangen pada
kesejujab angin padang savana dari pelarian di medan laga padang pasir kerontang.
Pakaian ini adalah dendam laki-laki pada perempuan-perempuan calon istrinya
menjelang malam pengantin. Lalu apa artinya ini bagi lelaki sepertiku yang jauh
dari beristri? Bahkan pakaian adalah cinta pada derita tanpa akhir, duka yang
abadi sebagai pasangan hidupku. Sekarang aku butu itu, meski Tuhan telah
menyerangku habis-habisan dengan ayat-ayat apinya, tapi lidahnya tak pernah
menyentuh batinku, apalagi menjilah. Kendati seribu ulama berdakwah, berjuta
pengeras suara surau-surau dikumandangkan, seratus masjid selama sebulan penuh
menggelar pengajian paling suci dan orang-orang mendarus seperti lebah. Betapa
tak kuasa membiak dan menggetarkan gendang kupingku sekalipun ditusuk dan
dihunjamkan ke ruang terdalam. Apalagi oleh suara sumbang ulama menjual
tampang.
Apalagi dari kaset-kaset bajakan tanpa imam dan makmum. Apalagi dari masjid-
masjid
sumbangan hasil perkosaan. Sayang, telingaku tak kuasa mencatat angka gelombang
suara sumbang mereka.
Jadi maafkan bila pakaian ini menjadi penghalang ayat-ayat Tuhan bermula dari
kelembaban udara, desir angin dan cuaca. Sebagaimana ayat-ayat Tuhan yang
tertangkap oleh mataku pun tentu saja tak cukup untuk kumengerti, tak cukup
membuat hidupku lebih laras seimbang. Apalagi hanya dari dongeng mulut ke mulut,
yang sampai di dunia ini tinggal buih busanya alias omong kosong belaka.
Beruntunglah diriku diberi hak untuk menguasai penuh atas yang terjadi pada diri
sendiri yang kosong. Lalu aku leluasa mengisinya dengan air tetes demi tetes
dari mataair paling jernih yang bersumber dari sumur dalam tubuhku sendiri dari
dasar jurang paling dalam dengan rongga paling nganga, sekaligus air dari
dataran tertinggi palungnya. Inilah mataair paling suci bahkan tanpa mengalirkan
airmata, membebaskan diriku dari situasi tersebut dalam kitab-kitab terhormat
yang menyeretku dalam tragedi, korban, pelengkap penderita namun terbungkus
manis oleh kata paling indah atas nama kemanusiaan, ketuhanan, moral ilmu
pengetahuan, surga dan seabrek metafora yang hingga saat ini aku tak punya.
Karena kenyataannya memang makhluk sepertiku tak tersentuh itu semua. Bahkan
oleh kemanusiaan itu sendiri. Lalu makhluk apakah aku ini? Rupanya ini
pertanyaan yang tak terlalu penting karena aku hanyalah sepasang mata, bukan
batu, bukan pula langit. Barangkali aku setengah manusia atau sejenis tumbuhan
yang bisa melihat.
Bersama nak-anak kampung aku menuntaskan pekerjaan merakit kendaraan
berbentuk
kelamin. Dengan itu aku bisa berjalan, berlari dan terbang. Lantas tentu saja
bisa bekerja mencari uang dan makanan—khas hidup manusia dewasa yang aku
pinjam.
Kendaraan itu berbingkai beberapa potong besi dirangkai berbentuk sepeda beroda
tiga yang bisa kukayuh dengan lengan tanganku. Mengapa berbentuk kelamin, tak
lain bila aku kurang terlatih dan suatu ketika menghantam suatu benda keras aku
tidak terluka. Justru mengundang banyak tawa. Sementara aku tetap bertengger di
kursi dudukku mengendarai seluruh kuasaku, menikmati seluruh pengetahauanku.
Kenyataaanya sudah bisa diduga meski tak pernah terjadi sungguh peristiwanya.
Toh banyak orang tertawa bila aku melintas di jalanan dengan kendaraanku. Mula-
mula
aku tidak mengerti apa yang membuatnya tertawa. Tapi kemudian kutahu jawabnya
mereka sedang mentertawai dirinya sendiri. Bukan kasihan padaku, apalagi
menganggapku konyol seperti semula kuduga. Syukurlah lambat lain kebiasaan itu
hilang dan giliran banyak orang membutuhkan pekerjaanku. Aku menjual jasa
mengisi gas korek api dan menjahit sepatu—dua hal sederhana yang dibutuhkan
manusia dewasa masa kini. Bisa dibayangkan bila tanpa kehadiranku, penduduk
kampung miskin ini dijamin bakal bertambah miskin. Berapa banyak uang yang harus
dikeluarkan demi mendapatkan korek api baru, sepatu baru. Kepadaku tinggal
mengisi ulang dan memperbaiki bagian yang rusak, hidup mereka sehari-hari sudah
bis berjalan seperti biasa dengan sedikit merogoh isi kantong mereka dan
memberikan uang recehan. Sebaliknya, buatku aku bisa menyambung hidup dan
memperbanyak pengetahuan dari korek api dan seperti bekas dengan memberi nilai
penting dua benda berharga itu bagi perkembangan zaman bahkan peradaban dunia
ini dilihat dari mata penduduk kampung miskin sepertiku. Tentu saja dengan penuh
sadar, meski tiada aliran darah di tubuhku ini menjadi darah seorang budayawan,
psikolog atau ilmuwan berdarah biru. Aku tetap saja seorang penjual jasa gas
korek api dan ahli soal jahit menjahit seperti bekas yang menikmati panorama
perubahan zaman dan peradaban dunia ini dari atas kursi kelamin sepedaku. Suatau
keasyikkan yang tak terbeli siapapun. Suatu keindahan yang amat sensitif,
sekaligus penyucian jiwa paling purba, paling suntuk sepanjang sejarah umat
manusia dan semesta. Apalagi di zaman supercanggih seperti sekarang, tak ada
nabi, wali yang lumpuh duduk di kursi kelamin sepeda buatan, tanpa mulut dan
telinga. Tidak ada. Yang banyak jumlahnya adalah manusia yang menyerupai nabi,
berpura-pura wali dan yang mengenakan sepatu berbau ragam hidup tanpa tujuan.
Terang saja aku bisa melihat semua itu dari bekas luka atau goresan sepatu-sepatu
mereka. Aku bisa membaca langkah yang ragu-ragu, yang berjalan miring, angkuh,
atau yang penuh keyakinan nafsu menguasai dunia. Aku bisa menangkap sisi gelap
kaki yang bersih maupun yang penuh debu aroma korupsi: waktu, kekuasaan, jabatan
bahkan uang. Aku bisa pula menangkap derap langkah kaki mesin perusak,
penghancur, pembunuh tanpa otak dan hati.
Setelah bertahun lamanya hidung dan mataku, serta jari tanganku menajam melebihi
jarum yang kutusuk-tusukkan pada daging sepatu itu. Aku bisa ceritakan itu semua
bagaikan mengisahkan makhluk-makhluk bernyawa. Betapa sepatu-sepatu itu hidup,
mengalami nasib buruk oleh tuannya. Semakin bobrok sepatu-sepatu itu, semakin
sang tuannya berjaya menjalani hidup kesehariannya tanpa jarak antara dirinya
dan alaskakinya. Bahkan nyaris tanpa beda. Tentu saja bedanya bila sedang tak
lagi dikenakan. Atau bila sedang ditinggalkan tuannya sendirian di lorong-lorong
gelap. Sedang tuannya menggelar urusan penting, mungkin lebih berbahaya,
barangkali lebih merdeka, atau bisa jadi tak kurang gilanya. Kasihan engkau,
Bung! Di saat mulutmu lelah mengering, berdebu, kau ditilap menyantap ayam
panggang, es buah segar, atau malah bercinta dengan istrinya. Tapi di saat
tersemir rapi mengkilat seringkali kamu menjadi saksi terlibat sang tuan
mengatur siasat sampai cacat. Ah, tak perlu kusebut dosa apa, karena aku tak
tega melihatmu seolah duduk di kursi terdakwa. Anehnya, hari-hari berjalan
seperti biasa, seperti tak terjadi apa-apa. Bahkan telah menjadi kejadian yang
biasa. Yang luar biasa, bila tak melakukan dosa tidak ada kejadian yang perlu
dicatat. Rupanya dosa, kejahatan, cacat hukum, kebiasaan menyimpang telah jadi
pengertian baru bagi manusia. Ah, jangan-jangan sebaliknya manusia pun jadi arti
baru bagi dosa. Mana sesungguhnya yang benar? Kebingunganku seperti bukan tanpa
jalan. Karena itulah aku menjadi pemantik bagi korek-korek api mereka,
sebagaimana yang dibutuhkannya. Mereka perlu api.
Inilah sisi lain kenikmatan hidupku yang sekarang. Sementara bagian paling
menyiksa tatkala menghadapi sepatu bobrok tapi tetap dipaksa pemiliknya,
melayani dirinya, diperas kesaksiannya membungkus kakinya. Barangkali perasaan
sama terjadi pada dokter ahli yang mendiagnosa pasien tua renta. Ditemukan
banyak penyakit komplikasi berat dan sang dokter dipaksa mengoperasi pasien.
Sekalipun pasien itu bekas presiden atau koruptor kelas kakap, tentu sang dokter
menempuh jurus paling mutakhir: Berdoa. Lalu bagaimana bila dokter itu atheis?
Barangkali ia akan membaca kitab ilmu kedokteran paling tebal di dunia ini,
kendati jawabanya baru ia temukan pada bagian paling buncit dari kitab itu.
Yaitu garis lurus datar penutup buku.
Begitulah sepatu-sepatu itu seperti orang tua yang masa mudanya tak punya
kejelasan menggali pertanyaan siapa dirinya. Tetapi sudah ditentukan pimpinannya
bahwa dia harus mengikuti kemauannya tanpa banyak cingcong, protes atau berbuat
anarkhis. Bila perlu sesekali duakali dibersihkan otaknya, dipoles penampilannya,
untuk sebetulnya menipu tuannya. Tapi bila telah tak terpakai, ia dijauhkan dari
kebutuhannya sendiri tampil istimewa menggairahkan pesona berbicara dengan
sepasang sepatu-sepatu cantik yang eksotis dan senantiasa dianugerahi sejuta
gelar keindahan karena berjalan di lantai licin mengkilat atau permadani lembut
bernama semesta. Yang terjadi justru sebaliknya. Sebab itulah bila tak terpakai,
sepasang sepatu itu hanya menempati pojok ruang sempit dirubung kecoa dan laba-
laba,
semut serta angkrang buang kotoran sembarangan. Nasibnya berujung di jarum jahit
milikku. Di usia tuanya, nafasnya tertusuk ujung pisau dan dagingnya kubuat
makin remuk rempu. Selanjutnya sepasang sepatu itu kembali teraniaya. Ah,
kasihan sekali takdirmu, kawan! Engkau tak dianugerahi mulut, kuping dan mata
tapi kepada engkau hanya disemburkan nafas pendek saja. Mengapa engkau tak
diberi hak untuk memilih jadi sarung saja yang tiap hari kukalungkan di leherku
ini? Ia bisa kupakai sembahyang menurut caraku menghadap Tuhan setidaknya di
belakang orang-orang yang kupercaya jadi imamku. Ia yang menemani suka dukaku,
menyelimuti tidurku, membungkus tubuhku bila angin terlampau hebat menghujat.
Bahkan ia yang seringkali menerbangkan aku menjauh dan meninggi dri kenyataan
dunia yang basa-basi ini. Sarung ini sungguh suatu yang istimewa setelah mataku.
Ia jadi kawan bergelut dan bermain seia-sekata sesudah anak-anak kampungku. Ia
pula yang selalu menyadarkanku, menggugahku, menyemangatiku untuk tak boleh
berhenti sampai di sini. Dialah yang mengingatkanku bahwa hidup ini bukan untuk
dirinya saja tetapi juga untuk orang lain. Dia pula yang memamerkan kebenciannya
saat kukisahkan sepatu-sepatu itu begitu besar pengorbanannya kepada orang lain.
Hidup untuk orang lain sampai dirinya pun dihidupi orang lain. Kecamuk
keduanyakian menghebat terutama bila malam kian pekat dan mataku tersumbat.
Kenyataan hidup memang demikian. Orang-orang justru dihidupi orang lain yang
tentu saja ia tak tahu dan fatalnya lebih banyak dihidupi dengan kejahatan.
Hidup bahagia, kaya raya, rumah mewah, uang banyak, anak-istri ganteng dan
cantik meski itu semua bukan miliknya. Lantas dirinya sendiri sebagai dewa
penolong juga dihidupi orang lain lagi dengan kekaburan pula. Hanya orang yang
berani sendiri, sekalipun miskin, yang kehidupannya bagai dalam mimpi—bahwa dia
sudah lagi bukan manusia. Entahla, jelas ia tak nyata.
Kecamuk itu berakhir pada kegigihan sarung untuk terus mendampingiku. Syukurlah,
aku tak sulit untuk terus hidup karena aku punya sumber api. Meski demikian
bukan berarti aku tak harus waspada. Kendati hati-hati tak musti berlebihan dan
tak jarang justru menjatuhkan diri dalam rekayasa tak ada guna. Sumber api tentu
saja berarti bahaya. Terbakarnya rumah akibat kompor meledak atau kebakaran
pasar lantaran sengaja dibakar bisa berbuntut tuduhan buatku hanya karena aku
menjual gas korek api. Polisi yang terlalu pintar, jaksa yang terlampau pandai,
juga hakim yang teramat jenius bisa menyeretku sungguh ke penjara. Terlebih bila
itu didukung fakta tak terbantah bahwa aku diam membisu, tuli dan lumpuh. Itu
artinya segalanya telah sempurna. Juga kejahatanku—membenarkan ketidaktahuanku
tentang apa yang terjadi dan menimpaku. Betapa aku tidak tahu apa-apa tapi
peristiwa tetap saja terjadi suka atau tidak suka. Tidak ada penyangkalan, tidak
ada pembelaan, tidak ada pilihan. Vonis telanjur dijatuhkan. Bahkan kesempatan
pun aku tak punya.
Sumber api juga berarti petaka bila aku terlampau bersemangat untuk hidup dan
mengajukan pertanyaan mengenai misteri hidup ini dengan gejolak penuh nafsu.
Betapa gairah ini amat tipis dengan keputusasaan. Mengapa aku seperti ini
keadaanku diciptakan Tuhan. Mengapa aku bukan pegawai negeri, menteri, polisi,
tentara atau presiden? Mengapa aku bukan seorang kiai sehingga aku bisa mengaji
selama berhari-hari di masjid yang kubangun sendiri, bukan seorang buta huruf
seperti ini? Kadang-kadang aku (ini yang paling gawat) tergoda dengan tanya
orang-orang yang dengan susah payah melempar bahasa isyarat yang amat gampang
kucerna, bila Tuhan menghendaki aku dilahirkan kembali, aku mau lahir seperti
apa? Tentu saja jadi makhluk paling sepernu, sehat jasmani dan rohani, ganteng,
berwibawa, sedikitnya pendidikan SMA agar aku bisa jadi penguasa. Supaya hidupku
pun jadi ringan lantaran pekerjaanku satu-satunya tinggal menjaga diri dengan
makan sehat, obat penenang, berpikir santai agar tidak jadi gila saja.
Ah, tampaknya aku harus menyudahi omonganku sebelum akhirnya aku tertelan
sendiri oleh kata-kataku. Kini mulai tumbuh benih-benih takut, jangan-jangan
akulah yang menjadi gila dengan keinginan sinting menjadi manusia sempurna.
Bukankah aku lebih gampang gila ketimbang seorang penguasa, oleh sebab aku tak
punya jaminan kesehatan dan pekerjaan serta makan yang cukup? Syukurlah dunia
batinku segera menggugah fantasi edan ini untuk kembali jadi manusia biasa
seperti apa adanya. Aku tidak ingin menjadi apa-apa. Aku ingin seperti ini saja
dengan kekurangan dan kelebihanku. Aku hanya ingin menjadi seperti yang tertulis
sejak awal hingga akhir karangan ini.
Ya, aku hanya ingin jadi pengarang setidaknya bagiku sendiri, keinginanku,
imajinasi, catatan hidupku. Lantas, bagaimana itu bisa terjadi, aku berkata-kata
indah, menari lincah, apalagi membaca menulis apabila aku bisu tuli, lumpuh dan
buta huruf karenanya?
Kalau itu sungguh aku tidak tahu. Barangkali kata itu seperti wahyu. Juga mata
pena dan ujung jemariku.[]

Diposkan oleh s.jai di 03:19 0 komentar

cerpen

Koma
S. Jai
AKHIRNYA zombie hipertensi itu benar-benar memperdayainya. Bertahun tahun
lelaki
itu bergelut sebelum tekuk lutut, toh penyakit yang bersarang di tubuhnya itu
gila kuasa.
Dia takluk tanpa ampun. Dia dijatuhkan di muka umum, tanpa peduli lelaki bernama
Kesturi itu orang baik, harum. Kesturi roboh tanpa ragam belas kasih atas nama
keluarga, cinta, kemiskinan, anak-anak, apalagi utang-piutang dan seabrek.
Segalanya menghilang.
Ya, dia dirontokkan, seperti runtuh begitu saja. Tak kembali. Kejam. Bengis.
Menyedot aura duka orang banyak seolah tidak atas kehendak raja penguasa segala
alam. Seakan sonder tangan-tangan lembut malaikat pencabut nyawa. Siapa sangka.
Kesturi roboh saat kenduri. Saat penuh sesaji, doa-doa, pujian, kitab-kitab suci
saat diapit warga mendekatkan diri, minta selamat, mengirim doa, menolak bala
agar kelak saling memanen berkah halal sebagai imbalan dari Tuhan.
Seperti kemarau ini, panen melimpah, petani meruahkan hasil tebu atau padi dan
palawija. Buruh bangunan, buruh pabrik, buruh tani kecipratan rezeki. Itu tak
datang di musim hujan. Seret. Susah. Dimana-mana banjir air dan airmata. Demi
semua warga, selamatan dan doa-doa digelar agar lancar sepanjang masa.
Tapi apa lacur Tuhan maunya lain. Setidaknya itu yang menimpa keluarga Kesturi.
Kemarau tahun ini justru dibuka dengan malapetaka.
Di tengah kerumunan pria bersarung dan berpeci, Kesturi mendadak tak bisa
berdiri. Ia rasa ribuan semut menyerbu dan lalu berumah di batang kakinya.
Tubuhnya serasa memberat, membesar, kakinya berujung tak sanggup menjadi
tumpuannya. Beruntung, bibirnya nganga bisa buka suara, dia minta digiring
keluar dari kerumunan para pendoa.
Selepas beberapa menit, semut-semut cepat mobal menyerbu isi kepalanya, matanya
dan merajai tubuhnya. Kesturi ambruk tanpa sedikit ingatan pun. Orang-orang
memapah pulang ke rumah. Itu terjadi sore hari menjelang malam. Semenjak itu,
selebihnya gelap baginya. Kesturi mengalami koma.

***

SUDAH pasti tempat berikutnya rumah sakit. Beruntung, dari pintu rumah cuma
beberapa ratus meter saja. Malam itu Kesturi semobil diikuti istrinya, Rabiah.
Menyusul anaknya serta menantu. Udin anak nomor satu yang keranjingan, Ria
pengantin baru, Fatah yang kelas tiga SMP. Sementara Suci tiga tahun tidur
ditunggui Mbah Puterinya.
Detik waktu merambat lambat. Mobil pengantar berpacu deru, membawa tubuh
Kesturi
yang menyisakan desah-desah nafasnya. Malam berontak menghentikan bicara,
langkahnya sambung-menyambung, namun waktu tak bisa terkalahkan. Apalagi
dibunuh.
Dokter dan petugas rumah sakit pun sigap serba darurat, bahkan terburu terkesan
buru-buru, karena mereka digaji induk perusahaannya, yang tak lain juga tempat
Kesturi bekerja. Yang menakjubkan, dokter dan perawat itu dingin dan tenang. Ah
mereka ternyata juga bukan tipe pembunuh waktu sekalipun tak dijuluki sang
penyelamat.
Jam berdentang pukul sembilan. Tak ada sinyal Kesturi siuman. Catatan dokter
menyebut angka 250 pada alat pengukur detak jantung dan tekanan darah. Berpacu
cepat melintasi 90 denyut permenit. Alat Bantu oksigen telah dipasang, selang
infus mulai meneteskan butir-butir cairannya perlahan. Jarum suntik pun
dibenamkan. Entahlah, barangkali dimasukkan semacam obat penenang. Selebihnya
dokter bisa tegaskan, yang bisa dikerjakan hanya menunggu. Pesannya, bila
selambatnya 24 jam Kesturi tak siuman, alamat jiwanya sulit diselamatkan. Dokter
tak lupa menyematkan kata penting ‘biasanya’ sebab beda jika Kesturi mengalami
peristiwa ‘luar biasa.’
Memang dokter itu tak mengungkap, kondisi ‘luar biasa’ itu bisa jadi berkat doa-doa,
perbuatan baik pasien semasa sebelum koma yang dimaksudkan. Dokter tak perlu
menyingkap perihal jampi-jampi, mantra, juga pertolongan Tuhan. Barangkali tak
ada ruang. Terlebih ia tercatat lulusan terbaik dari perguruan tinggi termasyhur
di negeri ini.
Roh dalam jasad pasien ibarat sego jangan baginya. Meski ia tahu pahit, asin,
asam, manisnya. Karena itu dia akrab dan mengerti persis bila dalam waktu 24 jam
tak bangun kesadarannya, berarti dia telah pergi. Ini bukti pergaulannya,
kepercayaannya, tangannya, pikirannya dan tentunya keilmuannya. Tak butuh waktu
lama untuk itu. Baginya, yang belum juga kunjung ditemukan meski meremukkan
waktu lama hanyalah memastikan siapa dia, dimana tempat tidurnya.
Jam belum jauh beranjak. Dokter telah menjauhi desah nafas, denyut jantung
Kesturi. Tapi ia pergi bukan untuk mencari keberadaan roh pasiennya, karena ilmu
kedokteran tercanggih pun belum sanggup memastikan. Hanya leluconnya yang kerap
tergarap. Pernah dengan nada satir minta tolong dokter lain yang tekun beribadah
agar Tuhannya menunjukkan letak roh itu, agar setiap dokter bisa berbincang
gampang tanpa diagnosa pasiennya dan jitu.
Kesturi orang baik. Senyumnya ramah kepada banyak orang. Berkat senyum dan
tangan dinginnya, dia disegani. Di pabrik dia pun berhasil jadi mandor, posisi
tertinggi untuk karyawan musiman di pabrik itu, tentu saja berkat kepintarannya.
Diantara sepuluh saudaranya,dialah yang fasih baca-baca Al-Quran. Karena itu
dialah pendoa yang rajin terutama pada almarhum bapaknya. Bila ziarah lama
sekali di sana. Tak cuma itu jurang pemisahnya. Kesturilah satu-satunya anak
tiri dari ibu kedua setelah bapaknya kawin lagi.
Cerita punya cerita, bapaknya terpaksa memungut Kesturi karena tak mau terus
dimintai ‘upeti’ mantan istrinya, ibu kandung Kesturi. Bagi sang bapak, jatah
hidup anak hanyalah alibi. Merasa ada udang di balik batu, Kesturi dirayuk ibu
tirinya. “Syukurlah, bibit anak baik tak menolak diboyong,” ungkap sang bapak
ketika itu. Waktu itu kurang lebih dia berumur tiga tahun. Kini Kesturi bisa
jadi anak sulung dari adik-adiknya yang bertahun tahun kemudian membengkak.
Semasa muda Kesturi menjalani hari-hari sebagai anak orang miskin (ayah ibunya
pedagang barang kelontong yang keluar masuk pasar). Hingga terbit kasihan
padanya. Bahkan belas kasih itu terbawa hingga beranjak dewasa, dan berkeluarga.
Kehidupannya terbilang jauh dari cukup. Berapakah gaji karyawan musiman di
pabrik untuk memelihara empat anaknya. Si Udin, malah makan duit. Ia masuk
pergaulan anak zaman dengan kesukaan kebut-kebutan di jalan. Beberapa kali
celaka, operasi dan pada tulangnya ditanam logam—tentu saja pakai duit.
Adiknya, si Ria keluar masuk kerja tapi tak juga meraup rupiah yang layak. Untuk
makan saja perlu didulang duit bapaknya. Lalu jalan pintas diambil, Ria
dikawinkan demi meringankan beban. Cinta tak peduli bersuamikan karyawan
bengkel
merangkap buruh bangunan. Beruntung, bila musim giling pabrik, Kesturi bisa
mempercantik rumah dari hak waris istrinya yang masih berantakan. Dari uang
kerja di pabrik belakangan rumahnya sudah mendingan. Rencananya musiman ini,
setelah diangkat jadi mandor, rumahnya pasti lebih indah lagi. Maklum semua ini
demi kenyamanan hidup istri dan anak-anaknya.
Sayang harapanya angslup. Berbalik rasa kasihan paling mendalam. Baru dua hari
jadi mandor, Kesturi dan belum sempat memimpin anak buahnya, ia keburu masuk
rumah sakit.
***

KENDATI batal punya anak buah, bangsal Kesturi tak pernah sepi pembezoek.
Kawan
kerja, tetangga, kerabat, terus mengalir berdatangan. Banyak yang tertambat, tak
mau beranjak meski berjam-jam di sisi Kesturi.
Kian malam, serangan makin hebat. Main banyak simpati, makin kuat harus saling
menekan suaranya, menyumbat mulutnya. Ramai tapi senyap. Para pembezoek
diminta
berperang dengan perasaannya sendiri, takut, was-was, kasihan. Tak jarang mereka
dimohon menjadi manusia yang kuat merasakan sakit. Mereka dipaksa menyerahkan
dirinya yang sakit. Mereka harus jadi orang lain yang turut merasakan kepedihan,
keperihan, sakit ini. Mereka musti memperlihatkan siksa mendalam hingga paling
sukses bila jatuh dalam kesunyian. Ketakutannya sendiri. Yang tak sanggup itu
mereka sibuk menghalau kesenyapan. Ngobrol. Merokok. Lalu lalang melukis
ruangan.
Cuci mata di taman. Ngemil. Tertawa. Melamun. Sesekali perlu menghibur diri jika
tak sudi terhanyut arus waktu.
Ya, jam makin lambat merayap. Tiada tempat paling damai kecuali emplasemen
dengan taman separoh basah. Karena di situ tersedia janji. Wajar bila pembezoek
berakhir menambatkan mata, tubuh dan jiwanya ke sana. Taman dengan air yang
jernih, bola lampu besar yang bening benderang, rumput hijau yang berembun,
lembayung warna kembang yang tak bergoyang, lalu bunga arumdalu yang ditata apik
oleh seorang arsitek yang paham ilmu jiwa dan mengerti gairah hidup manusia.
Yang tahu keagungan makhluk lebih dari yang tergambar ilmu hayat. Bunga-bunga,
lumut, rumput berbisik bahkan mendesahkan nafasnya sendiri.
Tampaknya di sini keindahan, kebebasan, janji, hanya berbatas tempat tidur dan
sprei di rumah sakit—sebuah kata yang sesungguhnya mengalami contraditio in
terminis. Tapi, tak apalah barangkali seorang arsitek memaksudkannya ini adalah
sebuah jalan, sebuah usaha, kerja atau pengertian semacam itu sebagai hakekat
manusia. Bahwa sedekat apapun kebebasan itu ada jarak di dalamnya, kendati ia
harus menggambarkannya dalam ruang yang berbeda dan juga waktu. Kendati
kebebasan itu seperti taman dengan janji-janjinya, tak kenal ruang dan waktu,
tapi sang arsitek masih perlu menempatkan bola lampu yang bening agar taman juga
memberi janji bila malam tiba.
Jadi taman ini jelas juga dipersembahkan kepada orang yang kurang mengerti ilmu
jiwa. Bukankah bagi yang tahu, tanpa atau dengan bola lampu, taman tetap
melunasi janji dengan keindahan dan kebebasannya sendiri?
Ah, bukankah suatu petaka bila di RS iseng dan serius tak ada bedanya?
Giman, adik tiri Kesturi mengusir rasa takutnya dengan cara lain. Cepat ia cari
orang pintar. Seperti biasa bila terjadi musibah pada kerabatnya yang lain,
kesanalah tujuannya. Jadi lelakunya lebih didorong kebiasaan. Belum tentu
lantaran kepercayaan. Biasanya Giman datang tidak pada seorang pintar saja atau
kiai saja. Tiga atau empat orang dia mintai petuah, nasehati, atau doa-doa.
Biasanya jampi-jampinya pun beda, kadangkala pakai garam, lainnya lagi pakai air
atau cukup doa saja.
Biasanya pula Giman lah yang ngramesi, menjatuhkan pilihan mana yang terbaik.
Ada yang tokcer atau mungkin ada yang tidak. Yang itu sudah biasa. Yang luar
biasa adalah justru semangat Giman tanpa capai pagi siang malam cari orang
pintar. Mencari, meresapi, merahasiakan, bukan kerja enteng sembarang orang.
Giman tahu hal-hal sensitif seperti ini tak pernah ia ungkap bagaimana prosesnya,
apa hasilnya, apalagi berapa ongkosnya. Tak semua kepala paham, tak setiap
hidung mengerti, tak saban perut bisa menerima sekalipun penjelasannya panjang
lebar.
Terhadap takdir Kesturi juga demikian. Malam itu juga Giman sowan tiga orang
pintar. Usai basa-basi dengan bibir menari-nari, tiga petah berhasil dikantongi.
Giman tercengang acapkali dengar nada yang sama—sesuatu yang mustahil bocor ke
kuping orang lain. Ketiga orang pintar itu angkat tangan kendati bahasanya tak
sama. Bukan petuah. Bukan jampi-jampi. Bukan pula nasehat. Belum pernah telinga
Giman mendengar seperti ini: “Saya nggak bisa. pasrahkan saja. Relakan dan minta
keluarga supaya ikhlas.” Lalu: “Sudah ditangani rumah sakit, berarti kita cuma
bisa berdoa.” Berikutnya: ”Bacakan surat Yasin di rumah. Undang pengurus masjid.”
Sekembalinya, Giman bergegas ke rumah sakit. Dirasanya tak ada yang bisa
dikerjakan kecuali untuk dirinya sendiri. Dia perlu semacam hiburan untuk
kepenatan pikiran. Sekalian, dia hanya perlu simpanan perangai Kesturi.
Senyumnya, sekalipun dalam keadaan yang tak seorang bisa selami, apalagi untuk
dikisahkan. Dia perlu untuk tabungan ingatannya, bila kelak tiada. Ah, ia ragu
siapa yang menyelinap masuk tubuhnya dan lancing berpikir demikian.
Lalu ia sempatkan mencari raut Rabiah. Matanya, sembab, layu karena kurang tidur.
Bukan menangis,murung. Bibirnya tak sanggup melepas kepedihannya yang
mendalam,
memendam perjalanan hidup yang kelam oleh kemiskinan, derita panjang yang
membelit hari-hari bersama sang suami. Betapa untuk brucap kasihan saja pada
suaminya, dia tahu tidak bisa dan itu terlampau kurang ajar.
Rabiah pilih memasang matahati di jemari tangannya. Menggerakkannya. Diusapnya
pipi dan sudat mata suaminya yang terkadang melelehkan airmata. Barangkali
suaminya tengah mengajak bicara, dengan kata apa saja yang ia bisa sekalipun itu
airmata. Sementara tak ada rasa Rabiah yang dialirkan kecuali dengan matahati
jemari. Kendati sang suami kini meregang di pncak keprihatinan, bagi Rabiah
entah segalanya mengental laiknya suatu kebiasaan. Entahlah pasrah atau apa
namanya. Di sini Meminta diberi arti, memaksa dinilai. Bukankah telah bertahun
lamanya hidup bersama suami dan anak-anak juga tak lebih baik dari hari ke hari?
Ah, mengapa tiba-tiba dirinya demikian kejam? Ataukah cara ini malah membuatnya
lebih realistis, yakni berpikir bagaimana kehidupan anak-anaknya kelak? Bukan
mengudal suaminya yang belum sanggup melayarkan perahunya dengan tenang di
tengah samudera. Ah, lalu bukankah ketenangan samudera yang bagaimana pun tentu
menyimpan bahtera?
Makin banyak kecamuk tanya di benak Rabiah, makin dia melarung di dunia yang
terapung-apung. Di lautan dalam kesadarannya, sendiri tanpa teman. Kini suaminya
juga asing sendiri mendayung. Perahunya mungil dan kehabisan tenaga. Satu-satunya
harapannya adalah desah nafasnya, sisa cinta Kesturi yang harum semerbak seperti
pada bunga layu di taman. Siapa punya tekad menduga kedalaman maknanya kecuali
dia sendiri? Bahkan rona mukanya pun terhalang kabut misteri. Bibirnya menebar
senyum tapi matanya berurai genangan air. “Dalam keadaan begini menderita, kamu
masih tunjukkan kesabaranmu, suamiku,” gumam Rabiah.
Kesabaran. Ya sebagai seonggok manusia, sepotong suami, kesabaranlah tampaknya
yang bisa dibaca dan dimaknai. Hidupnya yang tergelincir, dengan beban berat,
serangan bertubi-tub dan tekanan dahsyat datang padanya. Siapa sangka di balik
itu Kesturi menyimpan kekuatan yang sanggup diledakkan jiwanya. Hanya orang-
orang
yang mengerti yang bisa menangkap gairah hidup Kesturi. Seorang diantaranya,
tentu saja istrinya. Betapa dalam keadaan begini luluh lantak, dia masih ngotot
memamerkan gairahnya maha besar itu. “Andaikata mampu buka suara, pasti dia akan
bicara banyak banyak agar orang lain, juga anak-anak lebih mengerti tentang
hidup,” pikir Rabiah.
Ya, barangkali Kesturi bakal menyingkap tabir keikhlasan dalam hidup,
peristirahatan, persinggahan, Tujuan lalu taman yang maha luas tempat kedamaian
melunasi janjinya. Sebuah lukisan perjalanan di dunia yang panjang, sekaligus
pasar buah kekayaan batin yang tidak akan tiba pada suatu titik. Tubuh dan detak
jantung serta dengus nafasnya hanyalah jaminan dirinya yang terikat dengan alam
dunia. Tapi alam kesadarannya, ruhnya bisa mengembara jauh mengikuti kehendak
batinnya. Seperti entah yang dialami Kesturi saat ini. Naasnya, dalam ilmu
kedokteran mutakhir cuma dikenal dengan kata kunci yang sederhana: Koma. Tapi
dalam pengertian kejiwaan sangatlah luar biasa dalam artinya. Luar biasa sulit
diterjemahkan dengan kalimat, kata, apalagi hanya dengan tanda. Dipastikan butuh
berlembar-lembar halaman buku, kalimat-kalimat teramat panjang. Bukankah dalam
ilmu kalimat ‘koma’ hanyalah sebuah tanda baca untuk pengertian yang belum akan
berhenti dan apalagi untuk menuju keutuhan maknanya? Kini Kesturi mengibarkan
suatu tanda, serupa panji-panji kemenangan perang. Bahwa betapa sulit dia
berhenti, mengakhiri atau menamatkan perjalanan, juga makna—bukti kekayaan
batinnya.
Sesukar menuntaskan suatu kalimat menuju titik…

***

IBU tiri mimpi buang hajat di ranjang—begitu dalam menyelami hati Kesturi pada
batinnya. Sang ibu tiri sadar masih butuh kata-kata untuk itu.
Lalu bisa diduga ucapan sang dokter itu terbukti. Lebih 24 jam Kesturi tak juga
siuman dari komanya, akhirnya ia pergi dan tak pernah kembali lagi—suatu
ungkapan yang sesungguhnya kurang tepat karena Kesturi sesungguhnya memang
telah
pergi sejak lama. Dia pun dikabarkan ‘tiada’ meski bagi Kesturi ketiadaan
dirinya itu telah hadir melekat semenjak mrucut ke dunia. Bahkan sedari mula
ruhnya ditiupkan padanya setidaknya enam puluh tahun lalu. Barangkali yang
paling tepat adalah Kesturi telah dilepaskan kuasanya atas tubuhnya, detak
jantungnya dan desah nafasnya dan ia tak berhak sebagai jaminannya lagi. Apapun
itu, untuk keperluan catatan dokter, Kesturi dinyatakan meninggal pada hari
Sabtu, pukul 21.15 wib setelah dirawat di rumah sakit selama lebih dari 24 jam.
Seperti telah disiapkan sebelumnya, jasad Kesturi cepat dibereskan untuk
dipulangkan ke pihak keluarga. Tak ada yang luar biasa terjadi malam itu. Tiada
tangis istrinya, Rabiah. Hanya peristiwa kecil, seperti biasa dokter rumah sakit
meminta maaf dengan hati serendah-rendahnya atas nama ilmu kedokteran, tak bisa
menyelamatkan Kesturi.
“Saya telah berusaha sekuat tenaga,” katanya.
“Tak mengapa. suami saya telah menyelamatkan dirinya sendiri,” batin Rabiah.
Singkatnya, jasad Kesturi kembali bergoyang. Tapi kali ini dalam mobil jenazah
tanpa sirine dan lampu merah—atas permintaan Rabiah yang ingin melepas simbol-
simbol
dunia yang entah bagaimana itu meresahkannya. Lima belas menit kemudian, jasad
Kesturi tiba. Sejumlah orang yang menggotong jasad itu merasa masih hangat, kian
mengurangi kepercayaan bahwa Kesturi telah benar meninggal.
Karena ia orang baik, di rumah pentakziah melaut. Belum pernah itu terjadi
sebelumnya apalagi justru pada waktu malam hari. Orang-orang terus berdatangan
dari banyak penjuru, sekalipun orang hanya kenal nama baik Kesturi saa. Atau
orang lain yang malam itu beru dengar nama baiknya dan takjub pada palayat
bergelombang. Lalu mereka memutuskan ikut ambil bagian. Hasrat serupa meski cara
berbeda, hendak berbela sungkawa turut mengiring jenazah Kesturi ke
peristirahatan terakhir.
Mendadak pecah tangis histeris sosok perempuan yang menghantam jenazah. Tangis
itu milik Ria, pengantin baru yang mengaum. Kegaduhan melahirkan keributan
karena orang berebut menyadarkannya. Tubuh-tubuh tak terurus bertubrukan. Geliat
meronta badan menciptakan kepanikan gelombang tangan-tangan mereka. “Tidak.
Tidak. Biarkan saya. Saya mau tidur dengan bapak malam ini, di sini, di samping
bapak.” Wanita yang hamil muda itu menggeram, terkadang menghiba, sebelum
puncaknya tubuhnya melemah. Tahu perempuan itu berbadan dua, malah
memperkeruh
suasanas. Setiap orang jadi berniat turut mengamankan orok di rahimnya.
Insiden itu berakhir setelah suami Ria dipaksa membopong perempuan itu ke kamar
belakang. Tapi Ria gembrot, suaminya tak sanggup sendirian. Terpaksa membiarkan
istrinya digotong rame-rame, diangkat dan jadi tontonan. Pemandangan yang
sungguh tak terbayang di benak sepasang pengantin baru. Eh, siapa tahu soal ini
bakal jadi biang pertengkaran keduanya. Maklum suaminya masih kekanak-kanakan
tak bisa menyembunyikan rasa malu akibat ulah istrinya. Terang saja Ria tak
peduli itu semua karena betul-betul terpukul kepergian bapaknya. Dia dikejar
dosa akibat tak kuasa membaca tanda tanda.
Ia dinikahkan segera dengan pesta yang tak terbayang gemerlap. Justru saat Kestu;ri
tak mampu melakukan itu. Bila dia tahu petaka ini bakal terjadi, tentu Ria
menolak pernikahan dengan pesat. Terlebih, bila ia tahu meriahnya pesta berkat
dana dari hak waris Kesturi dari ibu tiri yang dibagikan lebih cepat—justru saat
ibu tiri masih bugar. Terang ini melanggar kepatutan. Tetapi Kesturi terdesak
kemauan orangtua. Mungkin bagi Kesturi, tak mengapa mumpung demi kebaikan
anak-anaknya,
pernikahan Ria. Kini pernikahan itu ibarat suatu pukulan benda keras. Tangis
anak itu baru terhenti setelah dia di dekapan ibu dan neneknya.
“Saya tak menduga berakhir seperti ini, Mbah,” dia terus menghiba.
“Jangan berpikir terlalu mendalam. Yang penting ikhlaskan karena dia lapang di
sisi almarhum bapaknya,” tutur mbahnya—ibu tiri Kesturi di saksikan Rabiah. “Kalau
kalian larut dalam kesedihan, kasihan pelayat di luar. Kamu adalah tuan rumahnya.”
Malam tenang berkat ucapan ibu tiri.
Di luar rumah, serumpun lelaki terlibat perbincangan. Salah seorang bos pabrik
tempat Kesturi bekerja, sejumlah calon anak buah almarhum dan rekan-rekannya
bergerombol di ujung jalan karena kesulitan mendekati pintu rumah duka. Begitu
tahu kehadiran orang penting, pelayat lain menyibak memberi jalan dan
bergelombanglah lautan manusia itu dalam kegelapan.
“Coba bapak pikir, keluarga ini. Empat orang anak, seorang istri, harus hidup
tanpa Kesturi. Hati mana yang tak tergerak, Pak,” nurani sang bos coba diusik.
“Anak-anak harus tetap tumbuh. Harus bisa sekolah,” seorang menimpali.
Sontak seorang kerabat almarhum, menyerbu sang bos. Dia bawa suatu Rencana.
Sayang belum terungkap cepat dicegat kawanan buruh. Pembicaraan digembok,
sekaligus nombok isi hati sang bos pabrik. “Sudah, sudah. Saat ini kurang patut
membahas soal pekerjaan. Kasihan keluarga masih berduka, begitu kan pak?”
“Mana? Sekarang tunjukkan anak itu,” tiba-tiba sang bos berburu putra almarhum
sampa dapat.
“Ini pak. Namanya Udin. Umur 20 tahun, sekolah tamat STM, pengalaman kerja
belum
ada,” seloroh seorang kerabat.
“Ah, itu semua nggak penting. Pokoknya mulai besok kamu masuk kerja di pabrik,”
sang bos berkata kepada anak itu penuh wibawa. “Kamu menggantikan bapakmu cari
nafkah ya Adik-adikmu juga harus sekolah.”
Sikap sang bos justru berbantal kabut. Kabur berbaur. Di depan khalayak, anak
itu tak jelas berona muka, sedih atau bangga. Sepanjang ini sulit cari kerja.
Tapi kini peluang datang di waktu yang tak diinginkan. Berbenturan beban yang
ditimpakan di pundaknya. Dipikirkannya meski cuma nylempit saja, terjepit,
dihimpit kabut yang membungkus otaknya. Apa arit ini semua? Kekuasaan? Pamrih?
Tuntutan? Kasihan? Atau karena alasan lain yang bukan itu semua? Sang bos inign
menumpuk derma, misalnya.
Sekalipun tak menyentuk benak Udin, sang bos berlalu dari ranah suasana sehabis
kata bela sungkawa segebok amplop coklat yang mustahil tiada makna meski tanpa
ucapan terimakasih. Ya, kata itu demikian berat meloncat dari bibir Rabiah,
karena mungkin ia tahu terbungkus kuat dan mampat. Bergelut dengan kabut.
Mencari tempat meski seringkali tak di dapat, tak punya kuasa.
Malam melarut pekat. Pentakziah kian melaut oleh tanya akankah jenazah langsung
dikebumikan ataukah disemayamkan hingga menunggu esok pagi? Lama pertanyaan
itu
tersimpan semenjak jenazah yang masih hangat itu dimandikan, disholatkan tapi
belum ada keputusan pihak keluarga. Saling menunggu. Jawaban ditemukan
menyusul
oleh sebuah kericuhan. Seorang kerabat almarhum ngotot agar jenazah dikebumikan
esok pagi menunggu matahari terbit karena gelap tak dikehendaki setiap
keberangkatan menuju kebaikan.
“Besok pagi. Kasihan almarhum. Pokoknya besok. Biar ditunggui keluarganya malam
ini,” katanya nyaris emosi.
Sontak setiap pelayat saling pandang keheranan. Ratusan pelayat itu merasa
dipermainkan, mereka datang untuk mengantar almarhum ke peristirahatan terakhir.
Bukan yang lain, apalagi untuk menunggui jenazah. Pada saat semua diliputi
kekecewaan dan hawa duka berubah kabut kegundahan, lagi-lagi ibu tiri
menunjukkan kebesaran jiwanya. Ia membujuk kerabat duka untuk meluluhkan baja
itu.
“Kamu jangan begitu, Nak. Justru kasihanlah pada almarhum kalau masih harus
menginap. Dia akan memberatkan keluarga yang ditinggalkan. Kamu tahu bagaimana
anak-anak, istrinya larut dalam kesedihan. Ini yang memberatkan. Apakah kamu
bisa menjamin keadaan mereka bisa lebih baik nanti malam? Tidak. Justru
kasihanilah mereka, kita tak ingin mereka terus larut. Juga kita sama-sama tak
ingin seperti itu,” tutur ibu tiri.
“Saya tak sampai hati. Saya belum ingin ia pergi. Saya takut kegelapan.”
“Ikhlaskan. Sekarang ini almarhum bukanlah milik keluarga saja. Apalagi hanya
milikmu. Kamu tahu tentu kita, aku dan kamu, tidak bisa mengurus upacara ini
sendiri. Ikhlaskan karena pelayat menghendaki almarhum dikebumikan malam ini
juga,” ibu tiri terus menembakkan kata-kata lebih tajam. Bila tetap bersikukuh,
ibu tiri akan mengancam dengan kata, “Bagaimana kalau jenazah itu busuk di
ruangan ini? Apakah kamu mau menunggui bangkai dengan airmatamu yang tidak
habis-habisnya
itu? Lalu kalau semua pelayat itu meninggalkannya dan mereka pulang ke rumah,
apakah kamu mau tidur sendiri di sisi bangkai itu?”
Beruntung sebelum kata-kata kasar itu nyasar, ia sudah takluk. Karena memang
sedang tak punya tawaran. Saat jenazah hendak berangkat, ratusan orang giras
untuk bangkit. Gairah mereka sangat menakjubkan seakan-akan malam itu sengaja
dipilih Tuhan untuk menyingkap sisi gelap batin manusia. Sebuah pemandangan yang
menggugah setiap orang berhati, lalu merinding dingin bahkan bisa jadi menggigil.
Malam itu diciptakan tidak seperti malam-malam sebelumnya. Heran, takjub,
keganjilan, keagungan, khidmat membulat satu kenyataan. Meski puncaknya cuma
sejenak, sependek jarak pemakaman dengan halaman rumah keluarga duka. Sekitar
sepuluh menit perjalanan saja.
Seorang warga pemilik disel listrik merelakan mesinnya menyala mengiringi
perjalanan pemakaman. Malam itu padang njingglang. Bahkan sampai di tengah
kuburan, bertabur lampu berbinar terang. Cahayanya tak pernah sirnah. Tertinggal
dan terus tertinggal meski selepas para pelayat menjauhi jenazah itu berdiam
sendirian di kuburan.[]

Diposkan oleh s.jai di 03:17 0 komentar

cerpen

Kisah Pemburu Cinta


Cerita Pendek S.Jai

INI malam ke ribuan kali. Orang-orang tua itu menghajar mejanya dengan kartu.
Bukan untuk mengenang masa silam yang kelam karena matanya, pikirannya cuma
tertahan pada angka enam. Kakek-nenek itu tanpa bosan membariskan domino
melukis
totol macan. Tiada yang diacuhkan. Yang penting malam berlalu tanpa harus tahu
untuk apa sebenarnya melaju.
Malam itu telah benar-benar miliknya hingga tak sadarkan diri dipeluknya menjadi
bagian hidupnya. Ataukah telah dirangkul malam, menjadi anak kandungnya yang
manja bermain kartu di bawah lampu yang sinarnya berbinar jatuh di raut muka?
Diam-diam mengurungnya kembali jadi anak-anak tanpa tahu diri pernah jadi anak-
anak.
Kakek-nenek itu menemukan lagi arti hidupnya—suatu keasyikan bermain. Mereka
lupakan penantian, perburuan, ambisi. Bahkan keputusasaan menghilang. Walau umur
yang hampir seratus tahun mengajari itu semua telah saling berhimpitan. Juga
kematian.
“Sudahlah, Man Sapar. Bila sudah capai istirahatlah,” ujar lelaki yang biasa
dipanggil Abah Matkur.
“Huh, jangan singgung yang satu itu. Kalau sudah mati pasti berhenti,” Man Sapar
tersinggung diusik keberadaannya. “Kamu sendiri seperti sudah terima sinyal
nggak mau hidup enak. Eh, sudah bau tanah ya?”
“Lho, kalian yang ribut kok aku yang dibawa-bawa. Apa kurang hidangan kopinya?
Tiap malam aku yang bikin kopi kok nggak mati-mati,” Sergah Nyi Tanah yang
namanya diseret-seret.
Keasyikan mereka terhambat. Permainan pun melambat.
“Aku juga heran. Kenapa kita tidak mati-mati?”
“Ya..ya..”
“Mati aku! Lewat Man.”
“Ngomong apa tadi, Nyi Tanah?”
“Aku mat….”
“Aku jadi tahu sekarang. Nyi Tanah paling takut mati diantara kita. Kartunya
banyak dan karena dia perempuan.”
“Apa hubunganya?” protes Nyi Tanah.
“Lho, mati di alam sana giliran Nyi Tanah terima warisan paling sedikit diantara
kita.”
“Modar kowe, Bah!”
“Ora biso.”
Di mata tiga orang tua masa lalu tak pernah terungkap sungguh. Sekalipun perlu
sekadar hiburan, semisal ketiban sial mengocok kartu dan jadi bahan olok-olok.
Masa lalu yang dirangkumnya kuat-kuat dikisahkan atau pun tidak. Bosan? Mungkin
ya, barangkali pula tidak. Setidaknya, yang terungkap dari tempat duduknya saban
malam, duduk mereka di kursi itu-itu juga. Tak pernah lukir karena bosan, tak
sempat hadir di sela hari, jam, detik, peristiwa yang menghampirinya.
Tidak ada hal penting, juga kejadian, pada malam-malam itu saban hari. Lalu
untuk apa ini semua? Pengisi waktu belaka? Penantian? Kebingungan? Man Sapar,
Nyi Tanah dan Abah Matkur memang sedang tidak mengerti apa-apa. Lantas, tahukah
dirinya tengah dilanda azab bernama kebingungan? Mengapa menghabiskan malam-
malam
percuma bukannya rehat melepas capai oleh sebab esok pagi juga musti kerja?
Apakah mereka melakonkan manusia yang dikutuk penyakit menua insomnia,
alzaimer,
agar bisa melupakan dunia dan seluruh isinya, juga di mana ia pernah berperan?
Hanya mereka yang tahu. Wajar bila sepatah saja tak meloncat kata-kata jawab.
Bukan lantaran mereka tak sudi mengungkap segala tanya, tapi karena kesulitan
untuk berkata. Mereka tak sanggup merawat kepercayaan pada kata yang bisa saling
dipahami sesamanya. Sekantong kata dalam ingatannya ludes digerogoti virus di
otaknya. Pemandangan dahsyat bila itu benar terjadi. Duduk bersanding para tetua
yang tidak perlu kata. Hidup di usia tua jadi menggumpal, njlimet seperti akar
yang menjulur meresapi sari-sari makan untuk batang tubuh, daun dan buahnya. Di
luar umurnya yang tinggal sisa, mereka malah merasa menanggung penantian tanpa
putus seperti kartu domino yang sambung-menyambung. Mengejar buruannya yang
hingga kini belum tertangkap. Sampai di tempat paling terdekat dirinya dengan
rumah masa depannya—orangorang tua itu memilih tempat terakhir hidupnya dekat-
dekat
dengan kuburan—bukan cuma agar diri mereka setiap saat bisa mengingat mati.
“Bukan.”
“Lalu?”
“Perburuan. Ya, perburuanlah yang menjerat mereka di sini. Bahkan mereka punya
sumbangsih Menyebut jalan ini dan diberinya nama Jalan Tuhan.” Ungkap orang tua
yang banyak menyingkap masa lalu serikat kakek-nenek itu. “Kukira tentang ‘Jalan
Tuhan’ itu telah banyak yang tahu, orang-orang kampung di sini, terlebih yang
telah lanjut usia.”
“Oya? Jadi kita patut cium tangan, dong demi rasa hormat terhadap karya agungnya.
Bukankah dengan nama itu seolah tunjukkan pintu langit?”
“Ya, pasti. Banyak orang sependapat dengan kamu. Sekarang lihat, kuburan itu tak
hanya dihuni orang kampung sini. Warga kampung sebelah banyak juga dikubur di
sini. Kampung lain pun pesan tempat bila kelak mati. Sampai kuburan sesak dan
orang khawatir tak kebagian petak.”
“Ah, atau sebaiknya aku juga pesan mulai sekarang ya, Pak Tua?”
“Ha..ha.. apa nggak sebaiknya kamu pakai bagianku saja. Biar kita bisa ngobrol
sama-sama. Minum kopi segelas berdua, biar kamu bisa jawab pertanyaan malaikat
untukku, anak muda. Sebab kudengar bahasa Arabmu lumayan juga.” Pak Tua itu
meledek. Giginya remuk seperti tonggak bambu ambruk. “Bila orang tahu benar asal
mula ‘Jalan Tuhan’ itu, orang bakal lebih hebat tawanya.”
“Begitukah? Ceritakan kepadaku tentang ‘Jalan Tuhan’ itu, Pak Tua.”
“Perjumpaan Nyi Tanah, Man Sapar dan Abah Matkur bermula keinginannya
menagih
janji Tuhan. Awalnya karena keduanya tahu jodoh itu di tangan Tuhan. Waktu
umurnya nyaris tutup, sang jodoh tak kunjung datang. Sebab itu dimulailah
perburuan sampai di sini, sampai bertahun-tahun, sampai menyentuh batas harapan
dan putus asa. Di sini terus senantiasa hidup sendiri tanpa suami atau istri.
Semuanya mereka punya, rumah, pekerjaan. Tapi tidak ada, suami atau istri jodoh
yang langgeng, hidup bersama seia-sekata sampai tua untuk kelak di penghidupan
yang berikutnya, belum pernah tiba (meski bukan tak pernah mencoba). Kini, saat
hari-hari ketiga orang tua itu adalah tapal ambang perburuan dan penantian.
Suatu yang belum aku dan kamu mengerti. Barangkali antara menjemukan dan
menggairahkan. Atau perpaduan keduanya?,” kisah orang tua yang berbaik hati itu.
“Masalahnya, mengapa orang-orang itu membunuh waktu di meja, bukan di tempat
lain?
“Itu tak kumengerti jawabnya. Sekadar reuni, mengatur strategi? Semuanya bisa
benar.”
“Reuni?”
“Ya, siapa tahu. Biar kembali lagi ingatan kemudaannya. Menebar kisah lama yang
ingin didengar di kalangan mereka sendiri. Ya, siapa tahu bila bocor ke kuping
orang lain, berubah kisah sedih, sentimentalia, meski bukan mustahil jadi
lelucon. Tapi bagi kuping sendiri malah suatu kegairahan, bermakna justru di
usia tuanya. Ya, siapa tahu. Karena mustahil kita mencari tahu pada orang tua
yang tak mempercayakan hidupnya pada kata-kata,” paparnya.
“Lantas?”
“Itulah misterinya keberadaan mereka.”
“Ayolah Pak Tua, ceritakanlah padaku apa yang engkau tahu tentang mereka.”
“Kenapa engkau jadi begitu percaya pada ceritaku? Padahal aku tak tahu isi
kepala mereka. Kenapa kamu nggak menduga aku cuma mengarang cerita saja, anak
muda?” tutur orang tua itu.
“Ayolah bapak banyak makan jalan. Jadi aku percaya.”
Saat terdesak, Pak Tua kembali bercerita. Jadilah kurang lebih seperti ini
kisahnya:
Nyi Tanah, perempuan di meja domino itu pemilik rumah. Dulunya ia wanita
terpandang, terkaya. Banyak mata berpandan jalang karena sisa kekayaannya masih
tak terbilang. Sebagai pendatang di kampung ini, Nyi Tanah dikenal pekerja keras,
banting tulang dan justru tak wajar buat perempuan kebanyakan. Kebiasaannya
berkebaya, berganti daster dan penutup kepala—ciri wanita karir di zamannya.
Usaha dagangnya melesat maju, makin melambungkan namanya nyaris terbang.
Usaha
pupuk untuk petani kampung secepat memupuk ekonomi ditingkat subur. Di luar
kendali Nyi Tanah tumbuh kukuh jadi juragan. Seorang pendatang, segera
menanamkan kukunya. Bermula dari seorang pendatang, ia pun sanggup mendirikan
tiga rumah dengan dibangun dari kayu termahal.
Satu lagi kecerewetannya. Kecerewetan malah mengukuhkan jati dirinya yang keras
kemauan dan berwatak baja—seorang yang tidak gampang menaruh kepercayaan
pada
orang lain, apalagi sampai jatuh pada pelukan orang. Bagi lelaki tentu ini
kengerian. Sekalipun suaminya sendiri, terbit rasanya jadi pelayan untuk
juragannya. Nyi Tanah beberapa kali menikah, beberapa kali si suami pergi tak
kembali. Ada kalanya terusir, sisanya atas permintaan sendiri tanpa disertai
ungkapan duka, apalagi arimata Nyi Tanah. Selepas pria keempat atau kelima, Nyi
Tanah tanpa basa-basi menyingsingkan lengan bertangan besi. Dia ber diri demi
bertahan hidup menyendiri hingga menyongsong usia ke seratus tahun.
Nyi Tanah betah sonder direcoki upaya percobaan bunuh diri. Meski bukan tak
lepas dari pasang surut. Nyi Tanah pernah mengubah diri serendah-rendah umat.
Melucuti semua baju lembar demi lembar dari yang membungkus kulitnya,
kekayaannya, menjatuhkan, meluruhkan kekerasan hatinya, keangkuhannya, pasrah
diri demi demi mendapat lelaki yang ia harapkan menjadi jodoh hidupnya. Segala
upaya tak ada guna. Lelaki itu Man sapar, pejantan yang mendapati dirinya,
kehebatannya, arti hidupnya, jiwanya, kebebasannya, semangatnya, hiburannya,
nafsuny;a serta leluconnya saat terdampar di ladang yang bernama tempat
pelacuran. Meski justru Man Sapar ditemukan orang lain di kampungnya, tubuhnya
yang kecil, pelamun airmuka merah tegang tak ketinggalan, jauh dari kesar
berwatak sosial seperti yang dia obral sendiri.
“Ayolah Man Sapar, kau tak perlu lagi keluar banyak duit untuk pergi ke sana.
Bila kamu mau tinggal di sini…” Nyi Tanah mendesah, sanggup merajuk seperti
bocah mengantuk.
“Kalau Nyi Tanah maksudkan aku jadi suami, maaf aku tidak bisa,” Man Sapar tegas
tanpa perlu meresapi alasannya yang keluar juga. “Kalau mau jujur, Nyi
sebenarnya menyinggung perasaanku Nyi. Itu sama artinnya dengan keinginan Nyi
Tanah untuk membunuhku. Tapi kalau keinginan Nyi Tanah di luar itu aku masih
mempertimbangkan jawabannya.”
“Maksud Man Sapar kumpul kebo?”
Tak terungkap benar kesungguhan kata Man Sapar. Juga kesahihan kumpul kebonya
Nyi Tanah. Man Sapar justru buka mata pasang telinga mengumbar kata perihal
keburukan paras dan kebawelan janda kaya itu dasar segala penolak bala. Bahkan
tanpa kepergok yang empunya cerita hingga bertahun lamanya sampai umurnya
hampir
seratus tahun. Laiknya perempuan itu memendam kebohongan Man Sapar tanpa
sepengetahuan yang bersangkutan—pelacuran adalah tembok tebal bagi Man Sapar
untuk menutupi segala aib seolah seluruh pelacur di komplek itu membutuhkan
kejantanannya. Saat seperti itu seringkali terbayang di benak Nyi Tanah tubuh
mungil Man Sapar tenggelam di balik paha perempuan jalang berlemak, gempal,
lebih murah dibanding harga sekilo daging kambing congek. Ini semua cuma bayang-
bayang
dan omong kosong. Kenyataannya, tak ada jodoh yang awet di tempat tidur dan di
segala zaman, di saat dibutuhkan maupun tak lagi diperlukan—semisal ketika
sepasang kakek-nenek telah sama-sama mengidap amnesia.
Man Sapar pun menyudahi kebiasaannya keluar masuk pelacuran. Ia berhenti karena
malu. Merasa diri hidup tak berguna dan keliru menabung perbuatan baik: membayar
pelacur demi menyambung hidup anak-anaknya. Dirasanya pula justru membantai
hasratnya untuk berjodoh, menggauli istri yang kelak melahirkan anak lewat
rahimnya. Jalan sudah kebablasan ditempuh, kadang berjumpa satu-satunya
kehebatannya, keahliannya itu. Maka pilihan pun dijatuhkan. Suatu ketika Man
Sapar memutar otak. Didorong oleh malu dan kemaluannya, ia terinspirasi alih
profesi sebagai pembor, tukan bor pembuat sumur tanah.
Berkat berpikir keras, hasilnya pun berubah gemilang. Sebuah perhitungan yang
matang. Ia berpikir tiap orang butuh air bersih saban hari. Rumah, sawah, tegal
dan ladang juga minta air untuk mengairi tanaman. Terlebih bila musim kemarau
terulur panjang.
Beberapa pipa, sejumlah mata bor didesain khusus. Lalu mesin disel untuk
mendorong air menyemburkan tenaga pada pipa-pipa itu agar matabor gampang
menusuk bumi dengan kenikmatan luar biasa. Maka jayalah usahanya. Man Sapar
punya dua-tiga anak buah yang lincah.
Kampung itu tidak kesulitan air. Justru Man Sapar yang susah mengatur jatah
waktu menyusul membludaknya tawaran ngebor hingga kampung sekitar. Terlebih
ketika arus listrik gampang didapat, dan mesin pompa air tinggal ambil di toko-toko.
Di luar dugaan, berkat itu mengantar Man Sapar cepat berumah, menyenangkan anak
buah dan terpenting bermanfaat bagi orang banyak, memajukan warga kampung
setelah berjalan bertahun-tahun.
Kesibukan kerja yang luar biasa, kian mematikan hasratnya terhadap perempuan.
Sampai ke titik nadir tak terpikir. Melintas batas pun tidak. Betapa dahsyat,
kerja bagi hidup Man Sapar menebas kepentingan sendiri, lalu mengambil jalan
pintas melayani orang banyak. “Uang bukanlah segalanya,” ungkapnya suatu ketika.
“Apalagi demi memuaskan diri pribadi, maaf itu jauh dari pikiranku, dan
kehidupanku yang sekarang. Saya sendiri tidak tahu, barangkali inilah
reinkarnaasi dalam diriku. Sebab itu bagiku, kepuasan diriku adalah pada saat
bisa melayani kebahagiaan orang lain, orang banyak,” cetus Man Sapar.
Sampai suatu saat ia teruji. Begitu diusik perihal nikah, Man Sapar mendadak
jengah. Dia bingung dan tersinggung. Geram dan susah payah meramban jawab.
Walhasil justru Man Sapar balik merangkai kata tanya tak terduga. “Lho, mengapa
tak engkau perhatikan sungguh benda ini?” pinta Man Sapar sembari melempari
sejumlah buah matabor yang tampangnya sengaja dibuat persis kelamin pria
pejantan. “Kau tahu kenapa mata bor ini kubuat seperti ini?”
Yang bertanya menggeleng.
“Karena ini adalah kenikmatanku sendiri. Gairah cintaku yang mengaliri darahku,
mengejangkan seluruh ototku, melayangkan segala imajiku, terbang meliuk menukik
melampaui awan lembab. Bumi hanyalah perumpamaan daging-daging segar. Aku
berbahagia menikahinya, karena kuasa menyetubuhinya.”
“Dasar wong edan!” gerutu si penanya berakhir sumpah serapah tak karuan disertai
ancaman, “Tuhan belum mengujinya dengan seonggok waktu bernama kesunyian.”
Sialnya, tuan serba tahu itu telanjur menembakkan ancaman. Edannya lagi teror
buat Pak Tua usil itu diam-diam terbukti. Ketika ia bicara babakan waktu,
umurlah yang menggerogoti tubuh Man Sapar. Otot-ototnya melumpur, kulitnya
berpetak umpet. Nyatalah waktu pula yang menghabisi nyalinya, kemampuannya
menyetubuhi bumi. Tibalah saat ia merasa dihampiri perasaan asing, zombie
berwujud kesunyian. Ia mulai petualangan barunya melawan dirinya sendiri,
menaklukkan waktu dan menundukkan rasa jemu penantiannya. Dan yang pasti
mengerahkan sisa kekuatannya untuk menghalau makhluk langka lainnya yang
mewabah—keputusasannya.
Sebab itulah pilihan dijatuhkan sebagai Tujuan, yakni meja domino. Di sana
tersisa satu-satunya yang masih bisa dikendarai di jalan hidupnya: Menagih janji
Tuhan akan jodohnya. Ya untuk itu dia perlu sesekali merayu atau mengajaknya
canda tawa…

***

“HALO anak muda, apakah masih percaya seluruh ceritaku?” Pak Tua itu asyik
mengusik.
“Kenapa tidak? Pak Tua belum cerita soal Abah Matkur. Kenapa juga nyanggrok di
‘Jalan
Tuhan’ dan meja bertotol macan?”
“Ada apa kamu ini? Mengapa kau tak berhenti memaksaku mengisahkan mereka,”
keluh
Pak Tua. “Baiklah. Memang musti kukatakan yang kutahu, kisah-kisah mereka.
Sebelum kau berontak tak lagi percaya. Lalu mencapku tukang omong kosong.”
“Jangan berbasa-basi. Cepat teruskan!”
“Begini,” Pak Tua itu kembali bertutur. Ada getar rasa kini dibawah tekanan. “Abah
Matkur itu orang biasa. Penampilan biasa, rumah biasa dan gaya hidup yang serba
biasa. Ya, jadi tad ada hal istimewa yang mengiringnya kemari.” Ia terdengar
kebingungan mengarang cerita. Kalimatnya tak berbaris rapi. Suaranya bergoyang.
“Tapi tak disangka serba biasa itu jadi penyebab dia perjaka seumur-umur—pilihan
hidup yang sanggup ditempuh sedikit orang. Yang banyak tersedia, orang
merekayasa diri agar tak disebut lelaki biasa soal penghasilan, pekerjaannya
supaya bisa memperistri wanita malang pilihannya. Abah Matkur tak sudi menipu
diri. Ia jujur mengakui dihidupi seekor sapi. Bukan berarti perlu izin sapinya
bila ingin memelihara seorang lagi menjadi istrinya? Itu mustahil dilakukan. Itu
yang membuatnya tak punya nyali menjebol tembok aturan ‘ambillah perempuan-
perempuan
untuk menjadi istri bagimu yang telah mampu.’ Ya, dia dihidupi sapi jantan
Brahma dengan menjual kejantanannya paling tidak dua tiga kali sehari, agar
induk sapi-sapi betina beranak pinak. Hasilnya bisa menopang hidup setelah
dipotong jatah rumput gajah, dan jaum kuat untuk sapi. Jadi bila Abah Matkur
ditanya siapa paling berarti bagi kehidupannya, di dunia ini sudah pasti
jawabnya seekor sapi. Begitulah telah berlalu bertahun lamanya dengan sapi-sapi
paling tokcer. Sampai-sampai buntutnya, wanita-wanita yang menaruh hati padanya
harus puas mengurung niatnya. Yang tertinggal cuma ketakutannya bakal diserahkan
kehormatannya pada kejantanan seekor sapi. Lalu perempuan-perempuan itu hanyut
di laut kengeriannya sendiri mengandung bayi-bayi yang kelak lahir berbadan
manusia dengan berkepala sapi. Suatu yang sebelumnya tak terbayang di benak
lelaki serba biasa, Abah Matkur,” katanya.
“Jadi dia tetap membujang sampai sekarang, Pak Tua?”
“Ya.”
“Lalu, untuk apa dia di sana? Apa yang dia tagih kepada Tuhannya?”
“Itu yang sedang kupikirkan sekarang. Ia menagih seekor sapi betina ataukah
seorang perempuan jodohnya.”
“Lho, kok bisa?”
“Itu yang tidak aku tahu.”
“Bagaimana sih?”
“Aku betul-betul tidak tahu dan mustahil aku menceritakan padamu apakah Abah
Matkur seorang yang impoten ataukah seorang yang sebenarnya jatuh cinta pada
sapi betina, apalagi sapi jantan.”
“Terus?”
“Jadi jangan lagi desak aku mengisahkan yang tak kutahu. Karena aku sekarang
sedang memikirkan diriku sendiri.”
“Okelah, tapi sebentar pertanyaanku belum kelar. Pak Tua serba mengaku tahu, dan
mengudal kisah sepanjang waktu. Tapi Pak Tua belum jelaskan padaku bagaimana
kisahnya bisa seperti itu,” selidik anak muda itu.
Pak Tua itu mulai benar-benar sibuk dengan dirinya sendiri. Ia tampak kesulitan
menjawab pertanyaan yang memang tak cukup mudah untuk dimengerti.
“Katamu karena aku lebih tua darimu. Karena aku setua mereka jadi aku tahu
perjalanan yang mendera hidup mereka.”
“Tapi bukankah Pak Tua tak pernah bersinggungan dengan mereka. Bagaimana bisa
anda kisahkan sedetail itu, bahkan lebih detail dari hidup mereka yang sederhana.
Kenapa itu?” desaknya.
“Oh, begitu.” Pak Tua itu kini betul-betul terpojok, satu lagi puluru tajam
bakal merobohkannya.
“Ya, siapa anda sebenarnya yang begitu leluasa memata-matai keseharian mereka di
meja domino itu, bahkan sampai merasuki ke dalam ruh hidup dan jiwa mereka.
Siapa?”
“Jangan menuduhku segegabah itu anak muda,” Pak Tua itu pun mulai mengeluarkan
senjata penangkisnya.
“Habis, sepertinya Pak Tua amat berkepentingan dengan mereka.”
“Soal itu, kuakui memang iya. Karena aku seorang dalang wayang kulit yang sulit
mendapatkan lagi tawaran main, jadinya aku banting setir jadi pengarang cerita
yang syukurlah cukup memukau anak muda seperti anda. Berikutnya, aku tinggal
menyusunnya ke dalam kata-kata yang aku yakin makin membuatmu terpesona dan
tak
habis pikir takjub begitu tahu bagian akhir cerita.”
“Apa itu?”
“Jadi apa perlu aku buka kartu sekarang?”
“Ya, sebagai jaminan agar jantungku tak berhenti berdetak karena kaget yang luar
biasa.”
“Sabar dulu, jangan terburu nafsu,” pinta Pak Tua itu bermaksud meledek. “Em..tapi
baiklah. Jangan dikira aku tak bersinggungan dengan kakek-nenek di meja domino
itu. Biarpun aku tak pernah ke sana karena tak bisa bermain domino atau karena
tak terangkum dalam serikat orang tak berjodoh. Sesekali kupikir perlu kesana
untuk menitip tanya pada Tuhan. Tapi ini bukan tagihanku. Apakah laki-laki
seperti aku yang beristri sebelas orang wanita bisa mendapat kepastian siapa
diantara mereka atau siapa sebenarnya yang menjadi jodohku. Ya, seperti halnya
mereka, di usia tuaku seperti ini, aku sangat memerlukan kepastian jawaban atas
pertanyaanku itu. Apalagi dari sebelas istriku itu semuanya muda-muda dan luar
biasa cantiknya. Justru karena itu sebagai seorang seniman yang tahu dunia dalam,
aku tak ingin jatuh dalam dunia yang penuh dengan tipuan ini. Sebab itulah,
sudah kupikirkan sejak mula, aku akan mengajakmu pergi ke meja domino itu untuk
mengajukan pertanyaan penting. Barangkali diantara mereka lebih dulu bertemu dan
menghadap Tuhannya. Kau kubawa serta sebagai saksi bahwa kelak kamu juga akan
setua mereka, segelisah mereka, sesabar mereka atau bahkan lebih bodoh dari
mereka,” ungkap Pak Tua itu terus menyibukkan diri dalam dunianya, alam
pikirannya, perasaannya juga batinnya, harapannya, ketakutannya. Segalanya
beraduk dalam satu belanga sebelum menjelma menjadi kata.
Jelas ini suatu siksaan hebat karena Pak Tua itu tak lagi berkuasa atas
tangannya untuk memainkan wayang seperti biasa.

***

MALAM ini udara gerah. Kemarau hampir pergi ditandai awan tebal yang sering
memayungi angkasa. Panas bumi tak leluasa lepas dan murung di atap-atap rumah
penduduk sesekali lepas lantas terpantul lagi ujung payung angkasa. Di sana pula
rumah kayu Nyi Tanah tersekap. Beruntung keluasannya luar biasa dengan atap
genteng menjulang seolah hendak terbang.
Pak Tua tak ingkar janji. Diajaknya serta anak muda hadir di perjamuan domino
kakek-nenek tak berjodoh itu. Selaku saksi, anak muda itu tak berkata-kata. Tapi
ia musti khidmat menjalani suatu upacara yang tak dimengerti.
Usai upacara basa-basi, sesepuh-sesepuh terlihat bicara singkat dan tentu saja
padat. Tanpa makna yang tertangkap anak muda malang itu.
Lantas, Mereka tertawa lepas. Gelak tawa sekuat tenaga, sampai lupa diri abai
dan menyingkirkan segala nama, bahkan hidupnya.
Ya, mereka memang terlampau banyak mengendapkan misteri. Juga ketika tiba-tiba
langkah kartu mereka bertiga sama-sama mati. Mungkin ada yang khilaf. Barangkali
ada yang curang. Atau bisa jadi ini semua telah menjadi kehendak sang dalang
agar kehadirannya segera dimengerti oleh serikat kakek-nenek tak berjodoh itu.
Sebaliknya bukan mustahil kematian langkah adalah suatu hal yang biasa dan itu
tak berarti apa-apa.
Kisah ini pun tak lebih menguatkan kepercayaan anak muda itu pada sosok dalang.
Sosok dalam suluk yang menyingkapkan diri simbol ketuhanan dan kuasa
menghidupkan wajah-wajah wayang ke dalam ruh jiwa manusia. Sayang, kini rasa itu
kini tengah menuju kerapuhannya.
“Ya, dalang sekarang ini sebagaimana tukang cerita, sulit dipercaya,” pikir anak
muda itu.[]

Diposkan oleh s.jai di 03:14 0 komentar

cerpen

Sepotong Cinta dan Senyum Rupiah


Cerpen S. Jai

“APAKAH kamu bosan hidup, anakku?” getar suara Biru Langit tahu kesedihan
putranya. Dia datang tiba-tiba entah menerobos dari pintu sebelah mana.
“Tidak, Ibu. Bagiku justru sebaliknya, hidup musti bertaruh udara bersih dan air
jernih. Emosi cuma tetenger kita tak bisa berpikir, dan itu berarti keblinger”
Biru Langit mengumbar tegar.
“Saudaramukah yang kau maksudkan?” ibunya terpecik Biru Langit.
“Bu, telah kukatakan kebebasan itu musti memeras otak dan pikiranan, bukan emosi.
Apa hendak dikata bila saudaraku tak menyerap isi ucapanku. Dari ucarannya ‘kalau
begitu caramu aku kalah’ itu cukup bagiku merangkum simpul dia ingin menang
sendiri. Mau unggul tanpa peduli bagaimana cara dan jalan mana. Dia tidak bicara
soal kebenaran. Dia bicara tentang kepentingan sendiri. Berkali-kali ibu dengar
saudaraku penganut antiintimidasi, tapi di sisi lain justru telah dia kukuhkan
cara,” Biru Langit kian pedih.
Dia terpaksa mengeryitkan dahi karena ini masalah terpelik yang dihadapi—menyoal
warisan saat ibundanya masih segar bugar. Kenyataan, bayangan, fakta dan ilusi
saling menumbuk
“Lantas bagaimana karep-mu?”
“Kuakui aku miskin, tidak berduit, Ibu. Sisa-sia duit terpenting keluargaku
sudah raib. Tapi janganlah lalu ibu menzalimi aku, mengaturku tanpa sudi
kehendakku. Terus enteng saja menuntut aku untuk pasrah, nurut. Aku tidak rela.
Maaf jika aku tersinggung—sesuatu yang tak boleh, tetapi masih saja ada karena
Tuhan melengkapi manusia itu makhluk berhati, berjiwa dengan rasa itu, juga
kecewa,” Biru Langit bulat berpegang sesuatu yang diperjuangkan.
“Ya. Tapi ibu yang punya mau kamu cepat terima warisan.”
“Justru karena perintah ibu—orang yang lebih tua, lebih lama hidup di zaman ini,
zaman pagi tempe sore dele. Mustinya ibu sampaikan sesuatu yang benar. Ibunda
sudah betul, tapi harusnya memahamiku, pendapatku juga sebuah kebenaran.”
“Apa maksud kamu, Biru Langit?” ibundanya mulai tak tahan gempuran emosi.
“Ibunda memaksakan kehendak padaku. Di satu sisi ibu membuka jalan bagi orang
susah seperti aku, tapi di sisi lain ibu mengatur aku dengan membagi sisa
warisan agar aku melunasi hutang-hutangku. Hutangku, juga terhadap saudara
adalah sepenuhnya tanggungjawabku. Biar ibu cukup tahu itu. Aku harus bayar
dengan tanganku sendiri, dengan uang dari manapun itu aku dapatkan, termasuk
biarpun dari warisan ibu.”
Mendengar ini ibunda tak bisa berkata jelas. Kalimatnya patah-patah. Matanya
merah. Lalu meleleh—sesuatu yang sebenarnya bukan keahlian dia.
“Ibu kasihan padamu, Biru Langit. Karena itu ibu carikan jalan keluar, duit ini
untukmu.”
“Itulah kesalahan ibu. Bohong semata demi belas kasih. Lalu tanpa seizinku ibu
memotong uang itu untuk membayar hutangku pada saudara. Ini tidak adil, tidak
benar dan tidak fair.”
“Maksudmu?”
“Ada yang memanfaatkan kesusahanku. Aku susah. Tapi mencoreng mukaku tentu
tak
kurelakan.”
Cepat ibunda masuk kamar. Pertahanannya jebol. Tak sempat dia mendengar
gemuruh
dada putranya yang memecah karena menyemburkan api di mukanya. Di kamar
isaknya
mengiris-iris tabiat ibunda, seolah sebilah sembilu mletik dan ujungnya menusuk-
nusuk
tanpa ampun. Tabiat ibunda diserbunya dan memampatkan arus jalan nafas dari
lubang hidungnya. Isak tangis ibunda benar-benar terserak.
Suasana diam. Saling menyumbat untuk mendebat. Terlihat lubang hidung Biru
Langit kembang kempis nyaris pula nangis hanyut oleh sesengguk ibundanya. “Kalau
begitu baiklah. Aku terima permintaan ibunda. Aku pasrah berapapun jumlahnya,”
ucap Biru Langit tunjukkan kebesaran jiwanya.
“Ikhlas?” ujar saudara perempuan yang hendak mengganti uang Biru Langit. “Begini,
saran ibu. Kamu masih terima duit satu setengah juta dari sisa keseluruhan
warisan peninggalan ibu. Duit itu aku bayar lantaran aku yang menguangkan harta
peninggalan ibu pada saudara-saudaramu. Tapi setelah dihitung, kamu punya hutang
tujuhratus ribu pada saudara laki-laki sebagaimana permintaan ibu. Kamu harus
bayar lunas. Mengerti?”
“Itu artinya karena aku sudah tak percaya lagi padamu,” sergah saudara laki-laki.
“Oh, jadi itu masalahnya. Ada yang tak percaya. Baiklah.”
Uang diterima Biru Langit Rp. 800.000,-
“Sisanya?”
“Diamlah. Itu sudah urusanku,” tegas saudara perempuan. “Yang penting kamu sudah
tak punya hutang.”
“Tidak bisa. Ini soal kepercayaan. Aku juga bisa tak lagi percaya pada saudara.”
Biru Langit giliran menyerang saudara laki-laki. “Kapan kamu butuh duit?”
“Sekarang,” jawabnya.
“Kalau begitu aku bayar. Ini soal kepercayaan. Tujuh ratus ribu. Lunas.”
Biru Langit menyodorkan sejumlah itu dari uang Rp. 800.000,- yang diserahkan
saudara perempuan. Ibu sudah bisa menguasai diri. Tidak jelas perwajahannya. Dia
hanya memandang Biru Langit lebih lama.
“Jadi kamu cuma seratus ribu?”
“Ini sudah seperti maksudku. Dari tanganku sendiri.”
Ibunda Biru Langit heran. Barangkali terpukul tindakan dan caraku. Sesuatu yang
semula dikiranya sepele ternyata rumit, berbelit, berputar dan hasilnya itu-itu
juga. Jumlahnya itu-itu saja.
“Kini sudah clear, biarpun saat ini aku cuma kebagian seratus ribu rupiah,
begitu bukan?”
“Ya, clear.”
“Tapi dengan kamu belum,” Biru Langit khusus bicara pada saudara perempuannya.
“Kamu
musti bayar aku sisanya, tujuhratus ribu itu.”
Esoknya, sebelum meninggalkan rumah, pulang ke kontrakannya, Biru Langit
meninggalkan nomor rekening Zahra—istrinya. Dia tekan tombol telepon dan
berpesan agar saudara perempuannya hari itu segera mentransfer uangnya. Persis
jumlahnya Rp. 700.000,-. Tentu saja hitungan itu tidak persis betul. Biru Langit
harus potong biaya transfer, ongkos telepon.
“Tak mengapa. Ini harga diri. Bukan seharga pulsa telepon atau karcis bis.”
Satu-satunya yang di benaknya adalah Zahra dan putranya.
“Zahra, kuberikan uang ini padamu, jangan kau minta senyuman yang penuh misteri,”
gumam Biru Langit.

***

MENGINGAT istrinya—Zahra, perasaan iba sungguh terbit di benak Biru Langit


menyalip kemampuannya sebagai suami. Biru Langit memang gampang iba pada
siapa
saja, perempuan, anak-anak, orang tua, anak yatim, orang miskin, penderita,
orang kaya yang miskin jiwa, atau orang berjiwa besar yang kerdil nasibnya.
Tetapi iba pada Zahra kali ini sontak membuyarkan segala isi perasaannya. Hilang
sirna semua rasa, naluri, indera bahkan pikirannya, hanya lantaran cerita sepele
perihal Zahra belaka.
Mula-mula oleh karena keinginan Zahra untuk pergi ke sebuah WC umum. Waktu itu
malam hari. Dia hendak buang hajat, sepulang kerja lemburnya, Zahra minta Biru
Langit mengantar hingga pintu WC. Sambil meremasi perutnya yang nyaris ambrol
saja seluruh isi ususnya. Biru Langit pun membalap langkahnya, sebab justru
Zahra terbukti dalam keadaan demikian tak lebih cepat dari merangkak. Kakinya
tersendat-sendat. Perangainya ditarik-tarik melukiskan perut melilit. Jarak
pintu rumah kontrakannya dengan WC umum kurang lebih 20 meter dan harus
melintasi pojok gang jorok biasa ditongkrongi anak-anak muda kampung yang
pangangguran. Seperti malam itu juga, di pojok gang itu kasak-kusuk, bicara
kasar mereka, derum raungan sepeda motor membuat Zahra mengurungkan niatnya
untuk buang hajat. “Nggak jadi!!” katanya. Lantas ia balik kucing dan menyisakan
keheranan dan tanya Biru Langit. Keheranan dan tanya yang tak pernah terjawab
sampai keduanya bertengkar tanpa sebab, kecuali oleh perkara yang amat pribadi—
buang
hajad di WC umum itu tadi.
Biru Langit hanya menduga-duga. Bagaimana bisa Zahra cepat mengurungkan
niatnya,
seolah ada yang menyumbat lubang pintu keluarnya hajat hanya karena anak-anak
muda yang kurang kerjaan itu? Padahal ada Biru Langit, suaminya yang siap
berjaga di pintu WC dengan beberapa ember air telah dibawanya.
Lain waktu, Zahra mohon Biru Langit mendampinginya pergi menemui salah seorang
kliennya, yang belum pernah sama sekali ia kunjungi. Karena itu Zahra butuh
bantuan suaminya menemukan alamat yang sudah ia catat dalam buku hariannya.
Sebagai suami, Biru Langit tak keberatan biarpun berkendara umum. Naik bis, naik
mikrolet, becak, jalan kaki. Suatu peristiwa tak diduga terjadi. Sepanjang
perjalanan di angkatan, keduanya sama sekali tak saling bicara. Berujung Biru
Langit kehilangan Zahra. Atau lebih tepatnya Zahra kehilangan jejak suaminya.
Ternyata Biru Langit berjalan terlampau cepat dan terlalu jauh dari Zahra.
Ketika di kendaraan umum, Biru Langit menoleh, meraba serta mendengar
sekelilingnya ternyata di situ sudah tak dijumpai Zahra. Sesampai di rumah,
keduanya pun kembali bertengkar. Zahra menyumpahi Biru Langit bermacam-
macam.
Tangannya memukul dan kakinya menendang. Dia mulai berani menghajar Biru
Langit.
Benar-benar Zahra berani pada suaminya.
Pasangan Zahra dan Biru Langit menikah dua tahun sesudah rezim Soeharto tumbang
—hanya
selisih beberapa minggu semenjak kisah airmata di muka kasir supermarket.
Waktu itu ketika pacaran Zahra mengajaknya untuk berbelanja. Sebagai calon suami,
biarpun harus pura-pura bergaya belanja di supermarket, di plasa-plasa, laki-laki
Biru Langitlah yang harus bayar semua kebutuhan Zahra, mulai dari pasta gigi,
pembalut wanita, kue, permen, rok mini hingga supermi. Apalagi Biru Langit
memang sudah bekerja. Di depan kasir, Zahra mencermati selembar uang yang
hendak
dibayarkan Biru Langit. Selembar limapuluh ribuan edisi khusus bergambar
Soeharto senyum. Uang itu masih gres dan bukan cuma Zahra yang terpikat tapi
juga kasir itu tertarik pada keindahan desain uang kertas itu dan bermaksud
memilikinya. Pada uang kertas itu ada lubang transparan yang seolah-olah bukan
terbuat dari kertas atau plastik tapi dari emas. Zahra tidak rela uang itu
dibayarkan. Karena itu satu-satunya yang tersisa, maka dibayarkan juga oleh Biru
Langit biarpun ia bersedih hati dan membiarkan kekasihnya itu menangisi kertas
Soeharto senyum itu. Zahra baru berhenti sesenggukan sesudah dikatakan Biru
Langit padanya, “Sudahlah, aku masih menyimpan dua lembar lagi di rumah.” Zahra
bisa menghapus airmatanya sekalipun agak ragu lantaran takut Biru Langit
berbohong padanya. Begitu turun dari tangga Zahra sudah sudi menggandeng tangan
kekasihnya dan bahkan menggamit pinggang calon suaminya itu.
Pernikahan antar keduanya memang dibilang tak terlalu rumit. Pacaran tak terlalu
lama karena keduanya sama-sama menganggap sebagai sesuatu yang kurang penting.
“Yang
penting adalah cinta dan kesetiaann,” demikian ikrarnya beberapa hari menjelang
pernikahan. Di pinggiran kota kecil Lamongan selatan, di kampung calon mertuanya
itu, yang namanya pernikahan itu pihak laki-laki dituntut banyak keluarkan uang
dalam jumlah besar untuk meminang si perempuan sebagai maskawin. Ini beberapa
kali dilihat sendiri oleh Biru Langit ada dua truk yang berbaris saat ada
pinangan. Kedua truk itu penuh hasil panenan dengan seekor kerbau jantan dewasa
untuk calon istrinya. Memang ada pula yang cukup dengan perhiasan emas berpuluh-
puluh
gram. Ada juga yang sekadar maskawin berupa seperangkat alat sholat dan kita
suci Al-Quran. Bahkan ada yang Cuma beberapa puluh ribu uang, itupun masih
berutang. Zahra minta dinikahi cukup dengan meminta maskawin uang Rp.100.000,-.
“Asalkan maskawin itu Mas bayar dengan dua lembar uang limapuluh ribuan edisi
khusus bergambar Soeharto senyum yang kapan hari Mas janjikan,” pintanya. Suatu
syarat yang sama sekali tidak berat, karena dua lembar uang yang dimaksudkan itu
memang masih tersimpan rapat-rapat oleh Biru Langit. Keduanya menikah sederhana.
Serba sederhana. Foto-foto tidak ada, pesta juga tidak. Cuma yang istimewa soal
Soeharto senyum itu tadi, biarpun tak dihadiri oleh yang terhormat beliau yang
bersangkutan. Namun namanya pernikahan tetap saja disaksikan banyak orang.
Seperti tontonan. Biru Langit membaca ikrar akad nikah begitu keras dan mantap
menyerupai deklamasi sebuah puisi. Bedanya tidak ada tepuk tangan.
Benih pertengkaran sesungguhnya sudah dirasa Biru Langit semenjak dua peristiwa.
Kali pertama, Biru Langit telah dipesan orangtuanya bahwa perempuan bertubuh
pendek, seperti Zahra, apalagi yang punya weton ahad kliwon itu banyak bicara
dan cepat naik darah. Berikutnya ketika malam pertama, demikian bahagianya Zahra
lupa menyimpan ‘Senyum Soeharto’ itu di tempat yang aman setelah sekian lama
mengaguminya. Sementara Biru Langit juga lupa menyiapkan tissue sebelum
sanggama.
Sampai akhirnya entah bagaimana kejadiannya uang kertas itu tersembur ceceran
sperma tepat di bagian yang paling misterius—senyumnya. Itulah kali pertama
dalam keluarga terjadi amarah dan perang di hari yang justru seharusnya penuh
berkah.
Usai tumbangnya rezim Soeharto, uang kertas yang ramah itu jadi barang antik
yang diburu banyak orang kaya, yang barangkali sudah dapat diduga sebelumnya
oleh Zahra. Tapi tidak oleh Biru Langit. Saat keluarga itu kesulitan uang,
seorang kolektor hendak menawar selembar senyum edisi khusus itu seharga Rp.
5.000.000,-
sebelum akhirnya menaikkan senilai Rp. 6.000.000,-. Zahra menolak. “Ditawar
berapapun tak bakal aku terima!” Lalu di pun menyimpannya lebih rapat di tempat
yang tak seorang pun mengetahuinya, bahkan oleh Biru Langit, suaminya. “Apalagi
yang ini nomor serinya berurutan. Tak seorang pun yang berhak selain aku,” tukas
Zahra makin membuat ngiler Biru Langit akan jutaan uang itu.
Biru Langit membenarkan perkataan Zahra karena menurut ajaran agama, seorang
suami jelas tak berhak untuk mempengaruhi apalagi bernafsu memiliki kembali
maskawin yang telah diberikan pada istrinya, jika tak mau dicap laki-laki
pendosa. “Aku tidak tahu sepenuhnya isi hati Zahra. Kalau aku sih, apalagi dalam
kondisi serba kekurangan dan kesulitan uang, dapat menduga. Satu-satunya yang
meragukan isi hatiku hanyalah dosa itu tadi. Ya, kalau bicara dosa, semua
manusia pasti berdosa. Biarpun seorang presiden yang tersenyum dan gambarnya
dipasang di lembaran uang itu, juga berdosa. Bahkan apakah tidak mungkin, dia
lebih berdosa lagi karena itu, sebab telah beribu-ribu bahkan berjuta-juta
rakyat dibuatnya berdosa lantaran uang yang ada gambar dirinya itu? Eh!!”
pikirnya.
Krisis ekonomi yang berkepanjangan membuat keluarga itu sama-sama kehilangan
keseimbangan. Keduanya, Zahra dan Biru Langit telah kehilangan pekerjaan.
Fatalnya, malapetaka itu justru datang pada waktu Zahra sudah punya adik alias
anak. Hingga tidak ada alasan (dan rasanya jikapun ada tak perlu diceritakan di
sini) untuk terus menyimpan dua lembar senyum penuh misteri itu. Biru Langit pun
sudah lupa bagaimana dan bagian mana saat Zahra bisa melupakan uang itu untuk
kepentingan menyambung hidup. Yang dia ingat adalah saat Zahra berdoa, agar
senyum di lembar kertas itu tetap apa adanya supaya laku dijual untuk
kebutuhannya. Syukurlah masih ada senyum biarpun semisteri apapun. Tidak dalam
rupa-rupa berjuta-juta, uang itu masih harus dipotong Rp. 2.000,- untuk ongkos
jasa tukar. Nilai kotornya tinggal Rp. 88.000,- Nilai bersihnya habis untuk
keperluan asap dapur. Sejenak dapat menarik nafas lega, tapi ini bukan akhir
dari kesulitan, tapi awal dari kehancuran keluarga. Kehancuran yang memilukan.

***

“…SEBENARNYA aku malas untuk menulis ini, tapi aku harus melakukannya agar
tidak
ada penyesalan di kemudian hari. Aku ingin kau tahu, meski mungkin beberapa
bagian sudah sering kau dengar. Hingga saat ini, aku masih tidak bisa berpikir
apa-apa tentang pernikahan kita selanjutnya. Beberapa hari sudah kita mencoba
untuk tak bertemu. Ini kita lakukan mungkin dengan demikian keadaan menjadi
lebih baik. Aku tidak yakin. Sebab dalam kesendirianku, di saat malam menjelang
tidur atau saat aku tiba-tiba terbangun, aku tidak bisa menahan tangisku. Ada
rasa sakit di dadaku setiapkali mengingat perlakuanmu. Aku tidak pernah
menyangka kau tega berbuat seperti itu. Kau dengan mudah melempar kesalahan
kepadaku. Aku menyesal baru mengetahuinya justru di saat kita punya adik. Setiap
kali aku ingat, setiap kali itu pula hatiku mengatakan, TIDAK BISA! Aku tidak
bisa hidup bersamamu lagi. Seharusnya kau tahu setelah kita menikah, kau satu-
satunya
orang yang menjadi tempatku bersandar. Tapi sekarang setiap kali kau di dekatku,
aku merasakan sakit yang teramat sangat. Dulu aku mencintaimu karena kau orang
baik. Jika saat ini kebaikan itu tak kudapati lagi, apakah kau harus bertahan?
Kau sering bilang kau sangat menyayangi aku (juga adik) tapi apa bukti dari
perkataanmu? Jika kau sudah merasa melakukan yang terbaik untuk keluarga,
mengapa keadaannya seperti ini? Jika kau menjadi pemimpin keluarga yang baik,
mengapa kau tidak bisa mengatasi semua masalah ini? Aku hanya ingin jagan kau
sia-siakan apa yang kau miliki. Anak dan istri adalah harta tak ternilai yang
kau miliki. Seharusnya kau mencintai dan menyayanginya. Jika sampai terlepas
tidak mudah bagimu untuk meraihnya lagi. Zahra.”
Sehabis membacanya, Biru Langit melipat kembali surat terakhir yang diterimanya
dari Zahra itu. Dia tak lagi menaruhnya di bawah tikar pandan. Dimasukkannya di
lipatan buku tebal terindah yang semula terbuka dan menampakkan gambar-gambar
warna-warninya yang memikat. Sesuatu yang sungguh aneh pelan-pelan merasuki
jiwanya. Diam-diam ia iba pada Zahra, sesuatu yang selama ini lama hilang dari
perasaannya pada orang lain. Dia bicara sendiri dalam hatinya. Bahwa dia masih
mencintai Zahra, biarpun hal itu dia harus tunjukkan dengan perasaan iba.
“Betapa Zahra kini sedang ketakutan untuk hidup,” piker Biru Langit.
Kini kesendirian Biru Langit begitu menyiksa. Cermin besar yang terpasang dekat
pintu, membuat Biru Langit berikut nasib buruknya, hidupnya, menjadi ganda. Bila
melewati sisi pintu atau sedang memikirkan sesuatu, tubuh Biru Langit menjadi
dua. Selanjutnya beranak-pinak dan di rumah kontrakan itu penuh sesak oleh
tubuhnya. Berjubel sampai sedikit saja dia tak bisa menggerakkan tubuhnya.
Persis di tempat umum—sesuatu yang amat ditakuti Zahra. Jadilah Biru Langit
terpaku dan pikirannya mengembara berloncatan seperti melompat dari satu kepala
ke kepala lainnya yang sungguh serasa seperti hantu itu kehadirannya. Hanya
karena sepotong kaca kemarahan menjadi tersumbat. Sebab bukankah apa yang
diarasakan, bicarakan, teriakkan, pikirkan tentang kekecewaan, dendam,
kegelisahannya tentang dirinya sendiri belaka? Tidak ada bayangan apapun tentang
kehidupan di situ. Aquarium tua di sebelahnya diam di situ dan tiada ikan-ikan
di dalamnya. Kertas-kertas bekas dan plastik, botol dan gelas malah disumpalkan
di mulut aquarium. Tidak ada binatang pagi itu. Pintu terkunci menjadikan kucing
tak bisa mengetuk apalagi permisi. Lalat terbang di luar. Nyamuk sembunyi dan
hanya sisa-sisa bangkainya yang belepotan darah kering di atas karpet plastik
dan tikar pandan sewaktu terbunuh dalam serangan Biru Langit semalam. Buku-buku
menumpuk mati dan sebagian lagi di sebelahnya runtuh dan murung. Kesunyian.
Sepi.
Sendiri. Susah dan kosong. Satu-satunya kawan yang senantiasa hadir di saat-saat
seperti ini adalah ibunda. Dia datang tepat waktu dan tak pernah mengetuk pintu.
“Kamu bosan untuk hidup, anakku?”
“Aku hanya ingin tidur, Ibunda. Dan banyak bermimpi,” keluh Biru Langit.
“Tidak, anakku. Kamu tak perlu mimpi itu. Seperti orang-orang kaya itu juga tak
butuh mimpi. Orang yang tak punya persoalan dengan duniawi akan sulit bermimpi
karena hidup itu sendiri sudah seperti banyak impian, seperti impian-impian di
layar TV. Tapi bukan karena itu kamu tak perlu mimpi, karena kamu bukan orang
kaya. Bukankah sudah kuceritakan padamu semenjak kecil orang-orang seperti kita
benar-benar tak memerlukan mimpi itu karena dia selalu hadir tidak pada
tempatnya dan salah alamat?” jawab ibunda Biru Langit.
“Tapi aku betul-betul perlu tidur, Ibunda. Dan dalam tidurku mustahil tanpa
mimpi. Di siang bolong sekalipun.”
“Ya, yang diperlukan orang miskin macam kita hanya tidur. Tidur yang sebenar-
benarnya
tidur. Berapapun lamanya. Semenit, sepuluh menit, satu jam, sepuluh jam? Tidur
yang terbebas dari mimpi, igauan, pikiran, terror kebutuhan hidup, mati, dunia,
akherat, keseharian masa lalu dan hari depan. Bahkan Tuhan. Dan memang sian dan
malam bukan hal yang penting, sebab ini hanya perkara apakah matahari
menyaksikan kita atau tidak, toh dia juga punya rasa bosan untuk tujuannya itu.
Ketika bumi 12 jam di pelupuk matanya, lalu ia pergi ke belahan lainnya untuk
memata-matai orang—mungkin seperti kita yang tidak mempedulikannya. Apakah
artinya matahari atau bulan bila kita tak benar-benar mempedulikannya? Bukankah
kamu juga bisa mempedulikannya pada saat tidur dengan membuat karangan
tentangnya lalu kau ceritakan pada waktu bangun?” Ibunya mengajak bicara Biru
Langit tanpa kenal waktu seperti menari-nari di angkasa.
“Yang menggelisahkan aku, Zahra takut pada malam, Ibunda. Lebih parah lagi
bagiku siang dan malam sama-sama menakutkan.”
“Itulah kesalahanmu. Ibu tidak setuju jika orang berkata ketakutan adalah
pertanda adanya kehidupan. Yang benar adalah ketakutan itu bukan tanda-tanda ada
apa-apa. Bukan kehidupan bukan pula kematian. Ketakutan adalah pertanda hidup
setengah mati. Hidup tapi mati atau mati tapi hidup. Sesuatu yang sama sekali
tak punya arti bagi tatanan kehidupan kosmos. Untuk apa kamu hidup tapi penuh
ketakutan, atau untuk apa mati kalau menakutkan? Hidup itu hanya beda sedikit
dengan mati, sebab rupanya hanya beda waktu, tempat dan alamat. Kesalahanmu
berikutnya, kamu hanya diperkenalkan matahari pada siang dan malam. Itu
perasaanmu. Dan tidak diperkenalkan pada kehidupan. Sesungguhnya, Tuhanlah yang
memperkenalkanmu tidak saja pada ketakutan tapi juga keberanian dan celakanya di
matamu Dia selalu datang pada malam hari. Barangkali itu karena kamu lahir pada
waktu malam hari dan hari-hari berikutnya kamu sering jumpai Dia dengan rupa-rupa
bentuknya.* Terkadang berseragam yang membunuh orang dengan senapan dan
meriam.
Kadang pula Dia jadi orang biasa yang membawa klewang dan harus berurusan
dengan
orang berseragam. Seringkali pula Dia rela menjadikan dirinya teroris dan
membawa bom ke sana-kemari meledakkan hotel-hotel, night club, pub, masjid,
gereja, tempat-tempat rekreasi para pencari hidup. Tapi kamu lupa Tuhan juga
pernah hadir dengan ramah, berbaik hati dan penuh senyuman, berseragam putih
bersih sembari mengucapkan ‘maafkan saya, saya sudah berusaha sebisa mungkin’
kepada orangtua yang anaknya mengakhiri hidupnya di rumah sakit. Tidakkah kamu
menyadari bahwa sesungguhnya di mata ibunda, anak itu adalah kamu yang sekarang
menjadi hantu?”
Biru Langit tak bisa berkata-kata. Satu-satunya yang bisa dikerjakan adalah
memegang kulitnya. Lalu menyungging senyum. Begitu membuka matanya, dia tak
lagi
menemukan bayangannya di cermin.[]

Catatan:

*) Di sini sama sekali pengarang tidak bermaksud apalagi mempertegas diri


sebagai penganut paham pantheisme. Islam sama sekali tidak mengenal ajaran itu,
meskipun bukan berarti tidak memberi peluang di dalamnya sebagaimana tersebut
dalam ayat Al-Quran yang tersohor, “Kau lebih dekat padanya dari pada urat
nadinya sendiri.” Usaha pengarang hanyalah menunjukkan adanya tokoh-tokoh yang
tidak mustahil menyakini lain dari ayat itu dan secara sadar atau tidak
menyebarkan ajaran ke dalam tindakan nyata dalam kehidupan masyarakat. Buktinya,
makin banyak manusia yang mengkorup kekuasaan Tuhan ke dalam tangannya yang
bukan haknya. Diantaranya membunuh, menggunakan kekuasaannya untuk merusak
tatanan kehidupan kosmos, perang, merusak lingkungan, mendatangkan bencana dan
lain sebagainya.

Diposkan oleh s.jai di 03:09 0 komentar

Selasa, 2008 November 11

bank naskah

PADA SUATU HARI


Karya : ARIFIN C. NOOR
Ijin Penyiaran dan pementasan pada Teater Kecil Jakarta

Para Tokoh:
Nenek
Kakek
Pesuruh
Janda, Nyonya Wenas
Arba, Sopir
Novia
Nita
Meli
Feri

SANDIWARA INI DIMULAI DENGAN MENG-EXPOSE LEBIH DULU:


1. POTRET KAKEK DAN NENEK KETIKA PACARAN
2. POTRET KAKEK DAN NENEK KETIKA KAWIN
3. POTRET KAKEK DAN NENEK DENGAN ANAK-ANAK
4. POTRET KELUARGA BESAR
5. POTRET KAKEK TUA
6. POTRET NENEK TUA
7. MAIN TITLE ETC-ETC

Kakek dan Nenek duduk berhadapan.


Beberapa saat mereka saling memandang, Beberapa saat mereka saling tersenyum.
Suatu saat mereka sama-sama menuju ke sofa, duduk berdampingan, seperti sepasang
pemuda dan pemudi. Setelah mereka ketawa kembali mereka duduk berhadapan. Lalu
beberapa saat saling memandang, tersenyum, lalu ke sofa lagi duduk berdampingan,
seperti pepasang pengantin, malu-malu dan sebagainya, demikian seterusnya..

TIGA
Kakek : Sekarang jkau nyanyi.
Nenek menggeleng sambil tersenyum manja.
Kakek : Seperti dulu.
Nenek menggeleng sambil tersenyum manja.
Kakek : Nyanyi seperti dulu.
Nenek : Malu
Kakek : Sejak dulu kau selalu begitu.
Nenek : Habis kaupun selalu mengejek setiap kali saya menyanyi.
Kakek : Sekarang tidak, sejak sekarang saya tidak akan pernah mengejek kau lagi.
Nenek : Saya tidak mau menyanyi.
Kakek : Kapanpun?
Nenek : Kapanpun.
Kakek : Juga untuk saya.
Nenek : Juga untuk kau.
Kakek : Sama sekali?
Nenek : Sama sekali.
Kakek : Kau kejam. Saya sangat sedih. Saya mati tanpa lebih dulu mendengar kau
menyanyi.
Nenek : Sayang, kenapa kau berfikir kesana? Itu sangat tidak baik, lagi tidak
ada gunanya. Sayang , berhenti kau berfikir tentang hal itu.
Kakek : Mati saya tidak bahagia karena kau tidak maumenyanyi. Ini memang salah
saya. Tetapi kalau ejak dulu kau cukup mengerti bahwa saya memang sangat
memainkan kau, tentu kau bisa memaafkan segala macam ejekan-ejekan saya. Tuhan,
saya kira saya akan menghembuskan nafas saya yang terakhir tatkala kau sedang
menyanyikan sebuah lagu ditelinga saya.
Nenek : Sayang saya mohon berhentilah kau berfikir mengenai hal itu. Demi segala-
galanya
berhentilah. Tersenyumlah lagi seperti biasanya.
Kakek : Saya akan tersenyum kalau kau mau mengucapkan janji.
Nenek : Tentu, tentu.
Kakek : Kau mau menyanyi.
Nenek : Tentu, sayang, tentu.
Kakek : Kapan?
Nenek : Suatu ketika.
Kakek : Sebelum saya mati?
Nenek : Ya, sayang, ya, sayang.
Kakek : Sekarang.
Nenek : Tidak mungkin, sayang, kau tahu saya sedikit flu karena pesta beberapa
hari yang lalu?
Kakek : (Tertawa) U, saya baru ingat sekarang.
Nenek : Selalu kau begitu. Selalu kau tak pernah ambil pusing setiap kali saya
sakit.
Kakek : Kau melebih-lebihkan.
Nenek : Tapi acap kali kau begitu. Kalau saya batuk baru setelah satu minggu kau
tahu.
Kakek : Ya, saya akui saya acap kali terlalu asyik dengan diri sendiri. Saya
akui. Saya minta dimaafkan supaya sorga saya tidak tertutup, supaya kubur saya…….
Nenek : Sayang, saya tidak mau memberi maaf kalau kau tidak mau juga berhenti
menyebut-nyebut soal kematian.
Kakek : Maaf, tidak lagi.
Nenek : Sekarang saya akan memaafkan kau dengan satu syarat.
Kakek : Apa?
Nenek : Kau harus menyanyi.
Kakek menggelengkan kepalanya.
Nenek : Kalu begitu, kau tak saya maafkan.
Kakek : Dan sorga saya…?
Nenek : Mungkin, tertutup.
Kakek : Baik, saya akan menyanyi. Tapi separo. Kalau terlalu lama nanti saya
batuk.
Nenek : Tidak. Satu lagu.
Kakek : Nanti batuk.
Nenek : Setiap kali kau bilang begitu, padahal kau memang pintar menyanyi. Dan
kau selalu menghabiskan sebuah lagu dengan sempurna tanpa batuk.
Kakek : Satu lagu?
Nenek : Ayolah, sayang. Penonton sudah tidak sabar lagi menunggu sang penyanyi.
Kemudian kakek menyanyi du tiga baris dari no other love stand – chen Schubert
atau lainnya dan selebihnya play back. Begitu lagu berakhir nenek bertepuk
tangan dengan semangat.
Nenek : Suara kau tidak pernah berubah.
Kakek : Mna album kesatu? Saya ingin melihat gambar saya ketika saya menyanyi di
depan umum dimana kau juga ikut mendengarkan. Kau ingat kapan itu.
Nenek : Ketika itu kau baru saja lulus propaedus. Kau sombong betul ketika itu.
Kakek : Kau juga. Sepicingpun kau tak pernah membalas pandang saya.
Nenek : Habis pandangan kau nakal.
Kakek : Habis kau juga suka mencuri pandang.
Nenek : Kau sudah terlalu pintar berciuman ketika pertama kali kau mencium saya.
Kakek : Saya memang pintar berkhayal. Setiap kali saya menonton saya selalu
mengkhayalkan adegan ciuman secara amat terperinci.

EMPAT
Pesuruh : Ada tamu, nyonya besar.
Nenek : Siapa?
Pesuruh : Nyonya Wenas, nyonya.
Nenek : (Melirik pada Kakek) Nyonya janda itu (kepada pesuruh) Sebentar saya ke
depan.
Pesuruh exit.
Nenek : Kau surati dia?
Kakek : Tidak.
Nenek : Kau bohong. Bagaimana dia bisa tahu tentang pesta kita?
Kakek : Saya tidak tahu.
Nenek : Kau bohong (Exit) Cemam saya mulai kambuh.

LIMA
Kakek : Seharusnya dia tidak perlu datang kemari.
Kemudian kakek mondar-mandir sambil bersungut-sungut.
Kakek : Saya takut dia betul-betul demam karena kedatangan janda itu. Ah. Lebih
baik saya menyingkir ke ruang baca. (Exit)

ENAM
Nenek : Kai sangat berharap sekali nyonya hadir kemarin. Suami saya juga heran
kenapa nyonya tidak datang kemudian.
Janda : Kami sakit.
Nenek : Kami? Maksud nyonya….
Janda : Ya, saya dan anjing saya sakit. Setiap kali saya sakit anjing saya juga
ikut sakit. Saya agak senang karena sekarang saya agak sembuh, tetapi Bison agak
parah sakitnya.
Nenek : Kasihan. Sayang. (Heran suaminya tidak ada). Dimana kau? Dia tadi disini.
Sebentar, nyonya (beseru) Onda, dimana kau? (Exit)

TUJUH
Sambil mengamati ruangan tengah itu nyonya Wenas membenahi dirinya.
Janda : Terlaknat saya, kenapa saya jadi gemetar?
DELAPAN
Pesuruh muncul membawa minuman, ketika pesuruh itu akan pergi,
Janda : Nanti dulu.
Pesuruh : Ya, nyonya.
Janda : Siapa yang memilih minuman ini?
Pesuruh : Saya sendiri, nyonya, kenapa?
Janda : Ini memang kesukaan saya.
Pesuruh : Menyenangkan sekali. silahkan minum, nyonya.
Janda : (Minum) Segar bukan main. Bagaimana kau tahu saya suka minuman ini?
Pesuruh : Tuan besar sering menceritakan perihal nyonya kepada saya. Dan ketika
saya tahu nyonya datang, segera saya buatkan minuman itu. Selamat minum nyonya.
Janda : Nanti dulu.
Pesuruh : Ya, nyonya?
Janda : Tuan besar masih suka…
Pesuruh : Menyirami kaktus?
Janda : Ya?
Pesuruh : Tidak, nonya, tapi tuan besar menyirami seluruh bunga sekarang, setiap
pagi dan sore. Memang tengah malam seringkali diam-diam ia menyirami kaktus
yang
ditaruh di dalam kakus. Maaf nyonya, saya harus ke dalam.

SEMBILAN
Nenek : Selamat datan, nyonya.
Janda : Selamat atas….
Kakek : Terima kasih. Maaf , nyonya Tampubolon?
Nenek : Kau pelupa benar.
Kakek : Siapa bilang, Nyonya pasti nyonya Mangandaralam.
Nenek : Sayang, ini nyonya Wenas.
Kakek : Ya, saya maksud nyonya Wnas. Apa kabar suami nyonya?
Nenek : Maaf, Nyonya. Sayang, tuan Wenas telah meninggal sebelas tahun yang lalu.
Kakek : Maafkan kau benar sayang. Daya ingat saya jelek sekali. maafkan nyonya.
Janda : Tidak apa.
Nenek : (Berseru) Joni.!
Pesuruh : Ya, nyonya.
Nenek : Bawa minuman ini ke dalam.
Pesuruh membawa minuman tadi ke dalam.
Kakek : Baik-baik nyonya?
Janda : Berkat doa tuan dan nyonya. Tuan sendiri?
Kakek : Berkat doa nyonya.
Nenek : Nyonya suka minum jeruk?
Janda : Minuman apa saja saya suka. Tapi es susu saya paling uka.
Kakek : Saya sendiritidak begitu, tapi……..
Nenek : Kita berdua minum jeruk saja. Kita flue (Berseru) Joni!
Pesuruh : Ya, nyonya.
Nenek : Bikin es susu dan dua gelas jeruk panas.
Pesuruh : Dua es susu dan satu gelas jeruk panas, maksud nyonya?
Nenek : Dua es jeruk satu susu panas.
Kakek : Bagaimana anak-anak nyonya?
Nenek : Sayang, Nyonya dan tuan Wenas tidak diberkahi putera. Kenapa kau
bertanya begitu?
Kakek : Maaf, saya lupa. Maksud saya apa tujuan nyonya datang kemari?
Nenek : Maafkan suami saya, Nyonya. Kadangkala dia amat kaar, tapi sebenarnya
dia lelaki yang amat lembut.
Janda : Betul, nyonya. Onda adalah lelaki yang amat lembut, malah sangat amat
lembut. Onda selalu cermat dalam memilih kata-kata dan juga saya kira ia tidak
pernah memakai tanda seru selama hidupnya.
Kakek : Kita minum apa? Nyonya suka….
Nenek : Onda, kita baru saja memesan minuman (menyeret) Tingkahmu berlebihan
sehingga memuakkan.
Kakek : kausendiri yang menyuruh agar saya berlaku pura-pura tidak kenal kepada
nyonya itu.
Nenek : Ya, tapi kau berlebihan. Kau kurang wajar.
Kakek : Susah. Kalau saya wajar kau marah. Kalau saya berlebihan kau juga marah.
Kalau saya jumput di perpustakaan kau juga marah. Saya tidak tahu bagaimana
supaya kau tidak marah dan saya tidak mau marah agar kau tidak marah.
Nenek : Pendeknya berlakulah sedikit agak sopan.
Kakek : Saya coba.
Nenek : Kendorkan urat wajahmu.
Sementara itu pesuruh telah menyajikan minuman di atas meja dan baru saja akan
melangkah pergi.
Kakek : Udara sangat baik akhir-akhir ini, di rumah nyonya sering turun hujan?
Janda : Ya, terutama belakangan ini.
Nenek : Memang musim hujan.
JAnda : Dan terutama kalau sore.
Kakek : Seperti di rumah kita, tidak begitu, sayang?
Nenek : Tentu saja. Kalau di rumah nyonya Wenas jatuh hujan di rumah kitapun
turun hujan, sebab nyonya dan kita satu kota, bahkan satu wilayah kecamatan.
Kakek : memang satu kota, satu kecamatan. Tidak begitu nyonya eh, siapa? O ya
nyonya Wenas? Tidak begitu?
Janda : Ya, kita satu kota.
Kakek : Mari kita minum, satu kota mari.
Nenek : Silahkan, nyonya.
Kakek : (Stelah minum) Alangkah hangat es jeruk ini.
Nenek : Ya, silahkan, nyonya. Nyonya tidak suka?
Janda : (Menjerit) Alangkah sejuknya. Terima kasih.
Kakek : Sejak kapan nyonya suka es susu yang panas?
Janda : Sejak, sejak kemarin. Ya, kemarin.
Kakek : Kami sendiri menyukai wedang jeruk yang sejuk baru saja. Tidak begitu
sayang?
Nenek : Ya.
Janda : Terus terang saya sangat kagum pada nyonya. Saya tidak pernah melihat
nyonya bertambah tua.
Nenek : Nyonya berlebihan.
Janda : Saya sungguh-sungguh, nyonya.
Nenek : Kalau begitu saypun berterus terang. Nyonya semakin tua semakin cantik.
Kakek : Memang (Nenek melotot). Maksud saya, maksud saya ketuaan itu hanya
timbul apabila kita merasa tua. Adapun tua itu sendiri hanya hasil dari suatu
penjabaran, hanya sayangnya penjabaran tersebut dilakukan oleh waktu, sehingga
menyebabkan kurang enak kita terima konsekwensinya.
Nenek : Saya kira tidak begitu. Tua adalah konsekwensi dari kesadaran kita.
Kakek : Ya, kalau saja kita punya matematika, kita tidak akan pernah tua. Juga
kalau saja kita tidak punya jam kita tidak akan pernah tua.
Janda : Tapi kita punya matahari.
Nenek : Itu susahnya.
Kakek : Takdir. Sekarang mari kita minum seakan kita tidak punya matahari.
Janda : Alangkah sejuknyausu pana ini.
Kakek : Alangkah panasnya es jeruk ini. Tidak begitu, sayang?
Nenek : Ya.
Janda : Tapi kalau kita tidak punya matahari kitapun tak akan pernah punya bulan.
Nenek : Juga kita tidak akan punya iang hari dan rematik kau akan lebih parah
lagi.
Janda : Kita tidak akan punya siang dan punya malam.
Kakek : Kalau begitu?
Nenek : Lebih baik punya matahari daripada sama sekali tak punya apa-apa.
Kakek : Ya, dan itu berarti tuapun merupakan rahmat.
Janda : Tidak, bukan rahmat tapi “apa boleh buat”
Kakek : Apa boleh buat mari kita minum lagi.
Mereka minum dan omong seperti tadi.
Janda : Tua dan tidak tua tetap saja ama, kaktus, misalnya.
Nenek : Ya, kaktus memang tetap kaktus kaku dan berduri kapanpun.
Kakek : Saya jadi ingat Old Shatterhand dengan Winnetou, bagaimana keduanya
merangkak di atas padang rumput sambil membaui udara yang mengantarkan bau
musuh,
atau bagaimana mereka mendengarkan bentak-bentakan kaki kuda musuh dari jarak
ber-mil-mil. Kaktus-kaktus liar banyak bertumbuhan di Amerika.
Janda : Indahnya.
Nenek : Apa tidak indah kemeriahan flamboyant, yang mampu menciptakan jalan
selalu diliputi senja?
Kakek : Saya kira lebih indah, juga lebih bermanfaat. Kita bahkan bisa berteduh
di bawah cahaya kuning merahnya.
Janda : Tapi flamboyant saya kira terlalu mewah dan kurang seerhana.
Nenek : Kaktus memang selalu kesepian.
Janda : Memang ia kurang dihiraukan orang.
Nenek : Lantaran berbahaya.
Kakek : Bagaimana kalau kita beralih kepada bunga bank saja. Ini lebih langsung
menyangkut kepentingan ekonomi kita.
Janda : Sayang sekali kita telah sepakat menerima kehadiran matahari, sehingga
saya kini telah ditegurnya. Sudah cukup lama.
Janda : ………Saya di jamu di sini. Saya minta diri sekali lagi saya mengucapkan
selamat ata perkawinan emas tuan dan nyonya.
Sayang sekali dia sedang sakit: saya harus segera pulang.
Nenek : Terima kasih banyak ata kunjungan nyonya.
Kakek : Terima kasih banyak. Salam pada suami nyonya.
Janda : Terima kasih (Sambil pergi) Bisonku.

SEPULUH
Perang bisu meletus antara kakek dan nenek.

SEBELAS
Kakek : Kenapa kau diam begitu?
Nenek diam saja.
Kakek : Kenapa kau begitu diam?
Nenek : Kau juga begitu.
Kakek : Kenapa?
Nenek : Kau juga kenapa?
Kakek : Sayang, adalah tidak baik kita bubuhi pesta emas dengan kata-kata seru.
Nenek : Kau sendiri yang membubuhinya. Kau rusak bunga-bunga pesta kita dengan
kaktus-kaktu pacar kau.
Kakek : Sejak muda kau begitu yakin seakan saya pernah punya hubungan percintaan
dengan perempuan tadi. Saya heran kenapa kau begitu berhasil menciptakan tokoh
yang fantatis itu menjadi tokoh yang seolah nyata dalam diri kau sehingga tokoh
itu mampu mempermainkan kau sendiri selama hidup kau.
Nenek : Bukan fantastis. Tapi memang dia tokoh fantasi kau bahkan sampai saat
kau tua (Menangis) Sengaja kau suruh Joni menyiapkan segera minuman
kesukaannya
begitu dia datang.
Kakek : Siapa? Saya? Menyuruh Joni? Minuman apa?
Nenek : Kau menyuruh Joni membuat es susu begitu nyonya janda itu datang.
Kakek : Tidak. Saya tidak menyuruh Joni.
Nenek : Kau lakukan itu ketika saya sedang menemui dia tadi ketika kau
menyingkir dari dari sini tadi dan kemudian kau sembunyi ke kamar baca.
Kakek : Tidak, sayang, dari sini tadi saya langsung ke kamar baca dan kemudian
saya asyik membaca mengenai para psikologi. Ketika kau datang tepat saya sampai
pada baris-baris mengenai telepati. Saya ingat betul.
Nenek : Kau bohong.
Kakek : Kalau tidak percaya kau boleh memanggil Joni (Berseru) J o n i !

DUA BELAS
Pesuruh : Ya, tuan besar.
Kakek : Siapa yang menyuruh…..
Nenek : Biar saya yang Tanya (Kepada Joni) Joni.
Pesuruh : Ya, nyonya besar.
Kakek : Siapa yang menyuru…..
Nenek : Biar saya yang Tanya (Kepada Joni) Joni.
Pesuruh : Ya, nyonya besar.
Nenek : Sejak tadi pagi sudah berapa kali kau berbohong?
Pesuruh : Belum sekalipun nyonya.
Nenek : Akui saja toh tidak akan mengurangi penghasilanmu.
Pesuruh : Terus terang sudah dua kali, nyonya.
Nenek : Nah, begitu lebih jantan. Apa saja?
Pesuruh : Pertama kepada istri saya.
Nenek : Itu tidak perlu, yang kedua?
Pesuruh : Yang kedua kepada istri saya.
Nenek : Jadi kau selalu berdusta kepada istrimu sendiri?
Pesuruh : Tidak selalu, nyonya. Kadang kala, tetapi tidak pernah lebih tiga kali
sehari.
Nenek : Kenapa kau lakukan itu?
Pesuruh : Karena saya percaya istri sayapun melakukan hal yang sama.
Nenek : Mengenai hal apa saja kau berbohong?
Pesuruh : hampir segala hal dari yang paling ringan sampai yang paling berat.
Nenek : Yang paling ringan misalnya?
Pesuruh : Pura-pura sakit.
Nenek : Yang paling berat?
Pesuruh : Soal sembahyang.
Nenek : Tentang perempuan?
Pesuruh : Itu taraf tengah-tengah, nyonya.
Nenek : Bagaimana?
Pesuruh : Saya kira pertanyaan ini sudah bersifat sangat amat pribadi, nyonya
dan kurang sopan.
Nenek : Kau memang jago silat. Baik. Sekarang kau akui saja siapa yang menyuruh
kau menyiapkan tiga gelas e susu begitu tamu tadi datang?
Pesuruh : Saya sendiri nyonya.
Nenek : Kenapa justru es susu?
Pesuruh : Saya tidak tahu. Saya asal saja. Nyonya, seperti halnya untuk tamu
sebelumnya saya buatkan es sirop dan nyonya diam saja.
Sunyi.
Pesuruh : Ada yang perlu saya kerjakan lagi, nyonya besar?
Nenek : Pergi !
Joni exit.

TIGA BELAS
Sunyi.
Nenek : Berkomplot.
Kakek : Tidak baik mengada-ada.
Nenek : Bahkan kau diam-diam memelihara kaktus dalam kakus.
Kakek : Tidak melulu kaktus tapi beberapa jenis bunga lainnya, juga……
Nenek tiba-tiba menangis sangat kerasnya.
Kakek : Diamlah, sayang. Kalau kau diam saya akan menyanyi lagi. Diamlah. Saya
akan menyanyi dua buah lagu sekaligus. Sayang diamlah. Lagi jangan terlalu keras
kau menangis nanti kau batuk kalau batuk tenggorokan bisa luka dan suara bisa
serak.
Selain itu apa kata anak-anak nanti kalau mereka datang. Sayang. Atau kau mau
saya membaca kitab suci? Dongeng? Saya akan membaca bagaimana nabi Nuh
melayani
singa betina yang bunting, sementara seekor kera sakit enfluensa.
Nenek : Biarpun kau dukung saya dari sini ke kamar saya tidak akan diam.
Kakek : Baiklah, saya tidak akan berbuat apa-apa tapi kau mau diam.
Nenek : Kalau kau tidak berbuat apa-apa saya akan menangis lebih keras lagi.
Kakek : Tuhanku,kepala saya Cuma satu dan puyeng. Kalau saja saya punya tiga
kepala barangkali saya tahu apa yang harus saya perbuat agar kau diam. Tapi
kepala saya Cuma stud an tangis kau memenuhi kepala saya dengan sejuta lalat
hijau. Tuhan-ku.
Nenek : Saya akan terus menangis. Biar geledek menyambar saya tetap menangis.
Kakek : Katakan bidadariku apa yang……..
Nenek : Saya bukan bidadari.
Kakek : Katakan malaikat ku.
Nenek : Saya bukan malaikat!
Kakek : Katakan dewiku………..
Nenek : Saya bukan dewi.
Kakek : Terserah siapa kau tapi katakana………..
Nenek : Saya istrimu!
Kakek : Ya, katakana istriku apa yang……..
Nenek : Saya bukan istrimu!
Kakek : Tuhan-ku.
Nenek : Kau kejam. Kau bagaikan patung perunggu dengan hati terbuat dari timah.
Kau tidak punya perasaan. Kau nodai percintaan kita dengan perempuan berhati
kaktus. Hatimu ular cobra. Kejam! Kejam! Tuhan, masukkan dia ke dalam neraka
sampai kukunya hangus.
Kakek : (Menangis) Doamu jahat.
Nenek : Biar
Kakek : Kau ingin saya masuk neraka?
Nenek : Bukan. Kerak neraka. Neraka paling neraka.
Kakek : Kau kejam dank au sendiri?
Nenek : Ke sorga.
Kakek : Kau egoistis.
Nenek : Biar.
Kakek : Kenapa kita tidak sama-sama satu tempat?
Nenek : Tidak sudi.
Kakek : Kau rupanya ingin kita pisah.
Nenek : Ya, saya ingin kita pisah tapi kau tidak mengerti.
Nenek : ………..Saya ingin kita cerai.
Kakek : Cerai?
Nenek : Ya, cerai. Hari ini juga kita ke pengadilan. Kita cerai.
Kakek : Sayang, kau harus panjang berfikir untuk sampai ke sana.
Nenek : Kalau saya panjang fakir saya takut kita nanti tidak jadi cerai.
Kakek : Tapi kau harus berfikir…..
Nenek : Dalam soal perceraian tidak perlu fikiran tapi perasaan seperti halnya
soal percintaan. Pokoknya kita harus cerai.
Hari ini juga kita harus selesaikan surat-suratnya.
Kakek : Sekarang sudah terlalu siang dan saya kira kantor-kantor………
Nenek : Kalau kantor-kantor tutup besokpun jadi, tapi mulai malam ini saya tidak
sudi tidur satu kamar bersama kau.
Kau boleh tidur di kamar baca di ata kitab-kitabmu bersama rayap-rayapnya.
Suara Nita : B u s t a m i
Suara Joni : Ya, nyonya!
Kakek : Kau dengar? Nita sudah datang.
Joni lewat.
Kakek : Sayang diamlah.
Nenek : Saya tidak mau diam.
Kakek : Nita datang.
Nenek : Tidak perduli.
Joni lewat membawa banyak bungkusan belanja, begitu muncul Nita begitu nenek
lari ke dalam.
EMPAT BELAS
Kakek : (Mengejar) Sayang.
Nita : Ada apa lagi, pak?
Kakek : Kaktus dalam kakus (Exit)
Nita : Bustam.
Joni : Ya, Nyonya.
Nita : Ibu dan bapak bertengkar?
Joni : Tudak tahu, nyonya, tapi saya dengar mereka tangis tangisan.

LIMA BELAS
Ketika Nita dan kemudian Joni exit, muncul Sopir Arba membawa beberapa kopar
dan
tas meletakkan di sana, tidak lama kemudian muncul Novia dengan anak-anaknya,
Meli dan Feri.
Arba : Di sini, nyonya?
Novia : Ya, letakkan saja di sini dulu.
Arba : Yang lainnya, nya?
Novia : Biarkan saja di mobil, kau tunggulah disana.
Meli : Papa nanti ke sini, Mam?
Novia : Ya, sayang (berseru) Pak Arba!
Arba : Ya, nyonya?
Novia : Tidak, nanti saja.
Arba : Baik, nyonya (exit)
Feri : Mana bude Ita, Mam?
Novia : Sebentar, sayang.
Feri : Feri ingin lihat ikan, Mam?
Novia : Sebentar, sayang, sebentar.
Meli : Meli juga, Mam.
Novia : Ya, sayang Meli dan Feri boleh lihat ikan dengan janji tidak main-main
air. Nanti ikannya sakit. Kalau ikannya sakit nanti kakek dan nenek menangis.
Feri : Nenek juga suka menangis, Mam?

ENAM BELAS
Muncul Nita dan terkejut.
Nita : (Setelah memainkan Meli dan Feri) Ada apa lagi Novia?
Novia : Nanti saya ceritakan semuanya. Mana Memet?
Nita : Bustam!
Joni : Ya, nyonya.
Novia : Memet!
Nita : Ya, nyonya.
Novia : Bawa masuk Meli dan Feri (pada anak-anaknya) Siapa yang mau lihat ikan?
Meli dan Feri mengacungkan tangannya: Saya Mam.
Novia : Ikutlah sama Mang Memet.
Joni : Ayo lita nonton ikan.
Joni dan Meli dan Feri masuk ke dalam.

TUJUH BELAS
Nita : Lagu lama?
Novia : Tapi kali ini saya kira yang terakhir.
Nita : Dulu kau juga bilang begitu.
Novia : Tapi, Nita, kau sendiri bisa menimbang bagaimana sakitnya perasaan saya
melihat tingkah Vita terhadap pasiennya yang pura-pura sakit itu.
Nita : Siapa lagi?
Novia : Icih, anak sunda itu, pacarnya waktu sekolah.
Nita : Tapi kalau memang dia sakit apa salahnya berobat kepada suamimu?
Novia : Saya yakin dia hanya pura-pura sakit.

DELAPAN BELAS
Kakek : Begitu Nita. Kau harus dengar dari permulaan sekali soal ibumu……
Novia : Pak…..
Kakek : Ada apa kau? Baru kemarin kau pulang dari sini? Dengan siapa?
Novia : Anak-anak.
Kakek : Mana mereka?
Novia : Di belakang. Lihat ikan seperti biasanya.
Kakek : (Setelah berfikir) Kebetulan kau datang. Begini. Tidak salah kalau kau
juga sebagai anak tahu. Ini persoalan juga sangat runcing dan bisa mengakibatkan
kesedihan berlarut-larut.
Novia : Soal apa pak?
Nita : Ibu Purih. Ibu marah.
Novia : Kenapa?
Kakek : Itulah dengarkan saya (berfikir). Begini. Soalnya sepele dan tidak
bermutu. Ibumu tidak suka tanaman kaktus. Saya suka tanaman itu. Bahkan saya
punya tanaman kaktus dalam kakus. Ibumu marah-marah.
Novia : Bapak tidak maumengalah?
Kakek : Selama hidup saya selalu mengalah dan terus-terusan kalah malah.
Novia : Buang saja kaktus itu.
Nita : Soalnya bukan kaktus. Soalnya itu cemburu pada nyonya Enas.
Kakek : Ya, begitulah kalau tanpa tedeng aling-aling. Ibumu cemburu dan minta
cerai.
Novia : Minta cerai?
Kakek : Minta cerai. Bahkan ibumu minta supaya hari ini juga diselesaikan surat-
suratnya.
Novia : Ibu?
Nita : Ya, seperti kau sekarang.
Kakek : Apa? Seperti kau, Novia? Ada apa? Kau juga sedang minta cerai? Dari
siapa?
Nita : Dari siapa. Dari suaminya tentu, Vita.
Kakek : Kau dan ibumu memang satu jiwa. Alasan apa yang mendorong kau meminta
kesedihan serupa itu? Kebodohan macam apa yang mengotori otakmu? Cerai! Seakan
dengan mendapatkan kata itu kau dapat mengecap hidup inilebih nikmat? Novia, kau
jangan seperti gadis ingusan. Kamu kira rumah tangga itu rumah-rumahan dari
kotak geretan yang dengan mudah dapat kau bongkar-bongkar dank au susun-susun?
Novia, kau sudah waktunya menginsafi bahwa rumah tangga adalah rumah suci yang
lain, seperti masjid, gereja dan kelenteng. Dan rumah suci adalah tempat dimana
firman-firman Tuhan yang agung dan suci dimulyakan, rumah suci adalah tempat
dimana cinta kasih ditumbuh-kembangkan menjadi gairah hidup, untuk meraih maka
hidup yang samara dalam semesta ini.
Tuhanku……………….
Novia, alasan picisan apa yang menjadikan kau begitu gairah mendapatkan surat
talak? Jangan main-main. Ini bukan lagi semata persolan kau, juga bukan
persoalan suamimu semata, tetapi persoalan anak-anakmu yang masih kecil
(Menangis)
Meli, Feri…. Ini sudah menjadi persolan Negara, persoalan dunia, saya tidak
boelh membiarkan rumahmu terbakar hanya disebabkan api mainan yang diminyaki
cemburu buta. Saya harus beritahu segera ibumu. (Exit)

SEMBILAN BELAS
Nita : Novia, apakah kau tidak pernah memperhatikan baik-baik betapa jernih mata
anak-anakmu yang lucu itu. Meli dan Feri.
Novia : Tapi kau juga bisa menimbang betapa sakitnya hati saya. Coba saja, icih.
Si sundal itu hampir setiap hari ia berobat ke rumah.
Nita : Tiap hari?
Novia : Tidak. Maksud saya hampir seminggu sekali.
Nita : Seminggu sekali?
Novia : Katakanlah sebulan sekali tapi sekalipun begitu tingkahnya yang kekanak-
kanakan
cukup membakar seluruh amarah saya.
Nita : Bagaimana kau tahu? Apa kau ikut memeriksa penyakitnya?
Novia : Saya terpaksa jadi polisi kalau tahu perempuan itu mau berobat. Sengaja
saya masuk dalam kamar praktek. Pura-pura mencari sesuatu.
Nita : Kau juga dengan apa yang dipercakapkan Icih dengan suamimu?
Novia : Dengar.
Nita : Apa?
Novia : Seperti dokter dan pasien.
Nita : Lalu apa yang kau cemburukan?
Novia : (Setelah diam) Kalau periksa dalam.
Nita : Kenapa kau tidak ikut ke dalam dan menyaksikan Vita memeriksa tubuh
perempuan itu.
Novia : Gila.
Nita : Lalu kau di luar saja.
Novia : Tentu saja.
Nita : Itulah kesalahanmu.
Novia : Lalu apa saya perlu juga membuka kancing roknya? Gila!
Nita : Daripada kau di luar dan membayang-bayangkan yang tidak-tidak?
Novia : Saya tidak membayang-bayangkan tapi memastikan.
Nita : Tapi nanti dulu. Coba jelaskan. Jujur. Icih sudah bersuami?
Novia : Ini bukan masalah bersuami atau belum tapi masalah watak. Sekalipun
perempuan jalang itu sudah mati saya yakin rohnya masih banal.
Nita : Betul-betul kau diliputi kemarahan saja. Cobalah berfikir dengan tenang.
Sebegitu banyak sudah kata yang kau ucapkan tapi tidak sepatahpun kata yang
dapat menjelaskan kenapa kau minta cerai dari suamimu. Kalau kau mau jujr
sebenarnya kau hanya digerakkan oleh prasngka-praangkamu sendiri saja. Coba.
Kalau kau bisa cemburu oleh Icih kenapa oleh puluhan perempuan-perempuan lain
atau bahkan gadis-gadis yang juga berobat kepada suamimu?
Novia : Apa kau kira semua perempuan banal seperti sundal itu? Kalau ternyata
memang demikian sayapun pasti cemburu sebesar-besarnya terhadap semua
perempuan.
Tapi saya kira kaupun yakin tidak semua perempuan punya leher selenggang-lenggok
leher Icih yang suka membelit leher suami orang lain.
DUA PULUH
Muncul Nenek dan Kakek.
Nenek : (Menubruk Novia sambil menangis) Novia, sayang, kau jangan suka
membaca
roman-roman picisan. Kau bisa bayangkan sendiri apa jadinya isi kepalamu dengan
roman-roman seperti itu. Dengan membaca cerita-cerita cengeng seperti itu kau
sama dengan mengisi usus besarmu dengan minuman keras. Sekali-kali tentu kau
boleh, tapi kalau setiap hari kau minum arak sama dengan memperpendek usiamu
sendiri.
Nenek : ………….Novia, ibu yakin kau telah terpengaruh roman-roman sampah itu
sehingga hidup bagimu tak ubahnya seperti mainan peraan belaka. Bacalah Romeo
Juliet. Bacalah tentang kesetiaan cinta, dan singkirkan bacaan yang mengajarkan
kebencian dan perceraian. Kau kira perceraian itu jalan cuci?
Kakek : Kau kira kau akan menjadi betina yang jantan kalau kau berhasil bercerai
dengan suamimu?
Nenek : Jangan kau sangka perasaanmu dan kecemburuanmu akan menuntun
hidupmu kea
rah kebahagiaan.
Nita : Juga jangan lupakan Meli dan Feri.
Kakek : Hanya karena soal cemburu, soal-soal roman picisan rumah tangga kau
bongkar? Kenapa tidak kandang ayam saja yang kau bongkar yang sudah jelas sudah
tapuh itu?
Nenek : Novia, sayang, tidak satupun kebaikan yang terselip dalam niatmu untuk
bercerai dari suamimu. Lagi tidakkah kau dapat membayangkan kembali kebaikan-
kebaikan
suamimu seperti katamu dulu, ketika kau mendesak ibu agar menerima lamaran?
(novia
akan bicara) tidak perlu kau bicara apa-apa.
Kakek : Ya, tidak perlu sebab, kata-kata seru saja yang kau punya sekarang.
Nenek : Kau dalam keadaan marah. Dalam keadaan marah lebih baik orang diam, dan
lebih baiklagi kalau kau mau mendengarkan sayan orang lain.
Kakek : Ya, saya kira begitu. Ibumu sebenarnya juga sedang marah tetapi tak
sepatahpun kata kata yang diucapkan.
Nenek : Ban ini, kopor-kopor iniapa perlu artinya? Main-main kau sudah
keterlaluan.
Novia : Saya tidak main-main, bu, saya sungguh-sungguh.
Nenek : Lebih jelek lagi (menangis lagi) Tuhanku, apa jadinya nanti kalau kau
jadi berpisah dengan Vita yang dulu kau agung-agungkan? Apa jadinya hidupmu?
Nita : apa jadinya anak-anakmu? Meli dan Feri akan kehausan cinta sebab mereka
tidak akan lengkap menerima keutuhan cinta.
Nenek : Fikirkan baik-baik, sayangku. Singkirkan kegelapan yang dibenihkan setan
cemburu.
Kakek : Apa kira surat talak itu cek?
Nenek : Tuhanku, limpahilah anak saya dengan cahaya kasih Mu. Novia, tidakkah
kau bisa menimba pelajaran dari pengalaman-pengalaman ibu dan ayahmu?
Kakek : Ayah dan ibumu berumah tangga selama setengah abad, tanpa sedikitpun
membiarkan setan talak bertelur dalam kamar tidurnya, bahkan tidak dalam
dapurnya.
Nenek : Kami bagaikan Adam dan Hawa.
Kakek : Apa kau pernah mendengar Hawa minta talak kepada Adam? Berkacalah
kepada
ibu dan Ayhmu. Kamilah pasangan abadi dunia dan akhirat.
Nenek : Kami bagaikan Sam Pek dan Eng Tay.
Kakek : Pronocitro dan Roro Mendut.
Nenek : Di sahara kami adalah Leila dan Qais.
Kakek : Kau sendiri tahu betapa setianya Layonsari sampai-sampai ia bunuh diri
demi cintanya kepada Jayaprana.
Nenek : Bacalah semua itu, sayang. SEmua itu pusaka nenek moyang kita yang
manjur.
Kakek : Demi menegakkan tiang-tiang rumah tangga kita, berfikir dengan tenang.
Nita : Dan demi kebahagiaan anak kita. Adikku, kau begitu bahagia dengan Meli
dan Feri dan papanya Vita kenapa kau sebodoh itu mau memuaskan kebahagiaan itu?
Tidakkah kau tahu bahwa diam-diam saya sebagai kakakmu selalu merasa iri karena
saya dan suami saya tidak pernah diberkahi anak?
Nenek : Belum. Nita.
Kakek : Kau tidak boleh berkata begitu.
Novia : Tapi bu.
Nenek : Tidak, jangan bicara.
Kakek : Sekarang kau tidak akan bicara kecualimarah-marah.
Nenek : Marah-marah hanya menghasilkan kerut muka.
Kakek : Ibumu juga tidak suka marah.
Nenek : Sekali-kali tentu saja boleh sekedar olah raga urat muka, tapi kalau
terlalu sering bisa membuatpenyakit.
Nita : Dan anak-anakmu, Novia, anak-anakmu? Akan kau biarkan mereka kehausan
cinta hanya demi kepuaan amarahmu? Egoistis?
Novia : Saya tidak akan bicara apa-apa, saya hanya akan menjelakan panjang lebar.
Duduk perkaranya.
Nenek : Bicaralah.
Kakek : Apa persoalannya.
Nita : Sudahlah, kita semua sudah mengerti.
Nenek : Biarlah dia jelakan semua, Nita.
Kakek : Bagaimana kita bisa mengerti tanpa lebih dulu mendengar penjelasannya?
Novia : Vita mau kawin lagi.
Nita : Apa kau bilang?
Kakek : Dia bilang apa?
Nenek : Apa kau yakin itu kalimatmu? Saya yakin kalimat itu kau pungut dari
salah satu buku picisanmu (berseru) Joni! (tak ada sahutan)
Nita : Bustam !
Novia : Memet !
Kakek : Joni!
Joni : Ya, tuan besar.
Nita : Air dingin, Bustam!
Novia : Cepat, Met!
Joni : Sebentar, nyonya.
Nita : permainanmu terlalu kasar, Novia, kalau kau teruskan ibu bisa pingsan.
Novia : Maksud saya, maksud saya, Vita serong.
Nenek : Dari halaman berapa kau pungut kalimat itu? (berseru) Joni!
Novia : Met !
Kakek : Joni !
Nita : Bus !
Joni tergesa membawa empat gelas air dingin, mereka berempat sama-sama minum.
Nita : Ganti kalimatmu, Novia.
Kakek : Ya, kalau kau tidak ingin perut kamu kembung oleh air dingin.
Nenek : Cari halaman lain yang lebih lembut kata-katanya.
Novia : Ibu, saya cemburu.
Nenek : Nah, itu baik. Cemburu itu suci. Hanya dengan modal itu kaumampu
bercinta.
Novia : Tapi vita keterlaluan.
Kakek : Barangkali cemburu kau yang keterlaluan.
Nita : Novia, cemburu pada salah seorang pasien Vita.
Nenek : Novia, rupanya kau beluim menyadari bahwa usapan tangan seorang dokter
lembut dan suci seperti lembut usapan orang-orang suci atau bahkan nabi. Dokter-
dokter
bekerja atas tugas suci. Merekalah yang paling nyata mengamalkan firman-firman
Tuhan. Kalau kau mau mengerti para dokterlah yang paling banyak tahu tentang
penderitaan manusia sepanjang sejarahnya. Merekalah yang berjuang dengan nyata
agar kita bisa mengecap hidup ini bertambah baik.
Kakek : Merekalah menghibur kita, menyembuhkan kita dari segala macam luka yang
ditatahkan sang kala.
Nenek : Saya jadi terharu.
Kakek : Kasihan Vita.
Nenek : Anak sebaik itu dicurigai.
Kakek : Seperti nabi-nabi yang diludahi oleh umatnya sendiri.
Nenek : Kau kejam, Novia Abujahal kau.
Kakek : Judas kau.
Dengan pucat dan tergesa Joni muncul.
Nita : Ada apa, Bus?
Nenek : Ada apa, Joni?
Novia : Ada apa, Met?
Joni : Meli, nya.
Keempatnya : Meli?
Joni : Feri.
Keempatnya : Feri?
Joni : Meli dan Feri ?
Keempatnya : Meli dan Feri?
Joni : Ya, nya.
Keempatnya : Kenapa?
Joni : Hilang.
Keempatnya : Apa?
Joni : Hilang.
Keempatnya : Diculik ?
Joni : Hilang.
Novia : Kau gila.
Nita : Kau taruh dimana mereka?
Kakek : Beberapa kali saya bilang, hati-hati.
Nenek : Dunia penuh culik.
Nita : Kenapa kau bengong begitu?
Keempatnya : Cari.
Nita : tidak telpon dulu.
Kakek : Polisi.
Kemudian mereka berimprovisasi, mereka betul-betul cema, takut dan lain-lain.
Nita : Meli ! Feri ! Di mana.
Kakek : Cucuku.
Nenek : Cucuku.
Novia : Met !
Joni : Ya, nya.
Novia : Panggil Arba.
Arba : saya di sini, nya.
Novia : Kenapa kau diam saja?
Arba : Saya di sini, nya.
Novia : Meli dan Feri hilang.
Arba : Mereka diculik, nya.
Novia : diculik?
Arba : Papanya sendiri yang menculik, kira-kira seperempat jam yang lalu tuan
dokter tadi menemui saya dan diam-diam mengajak Meli dan Feri pulang.
Novia : Gila kamu.
Kakek dan Nenek dan Nita muncul.
Nenek : Di mana mereka?
Kakek : Sudah ada telpon dari Polisi?
Nita : Tukang rokok seberang jalan Cuma bilang bahwa seorang laki-laki telah
membawa lari Meli dan Feri dalam sebuah mobil.
Nenek dan Kakek : Apa?
Nenek : (minum) Telpon polisi lagi.
Telpon berdering.
Kakek : Pasti dari Polisi.
Nenek : Cucuku yang malang…. Oh saya sedang membayangkan mereka menangis
karena
penculik itu mengeluarkan pisau cukur.
Nita : (menyerahkan pesawat telpon) untuk mamanya Meli.
Kakek : Dari Polisi?
Nita : Dari Meli.
Kakek : Berapapun bayar saja permintaannya.
Nenek : Saya yakin pisau cukur itu menyentuh lehernya yang halus.
Nita : Meli dan Feri sudah di rumahnya ekarang. Mereka diculik oleh papanya
sendiri.
Nenek : Dongeng apa ini?
Kakek : Keterlaluan! Keterlaluan! Saya tidak bisa memaafkan permainan kasar
seperti ini ini.
Nenek : Kenapa berang begitu? Seharusnya kita bersyukur bahwa ini semua Cuma
main-main.
Kakek : Justru lantaran main-main saya jadi berang.
Nenek : Lalu apa kau berharap semua ini sungguh-sungguh? Apa memang kau
berharap
agar Meli dan Feri diculik?
Kakek : Bukan begitu maksud saya, tapi permainan ini bukan untuk orang-orang tua
macam kita. Ini permainan pemuda dan bukan untuk orang-orang yang rapuh
jantungnya.
Stelah Novia telpon, Nita mendekati dan keduanya bercakap tampak Nita membujuk
Novia.
Kakek : Betapapun akan saya marahi Vita. Akan saya katakana bahwa sebagai dokter
dia kurang mempertimbangkan kemungkinan effek psikologis dari permainannya.
Apa
dia tahu bahwa setiap kali saya harus mengatur peredaran darah saya sedemikian
rupa di depan aquarium sambil mendengarkan lagu-lagu yang paling lembut agar
kesehatan saya terpelihara? Dengan permainan baru saja, sama dengan dia
meledakkan granat di atas batok kepala saya. Apa dia fakir dia mampu mengobati
kalau saya sakit keras? Barang kali dia lupa bahwa dia dokter muda. Dokter muda
jelas baru tahu tentang ilmu kedokteran seninya. Untuk ia, ia perlu bergaul
dengan alam. Banyak tingkah. Coba……
Novia : Pak, Ibu, saya permisi pulang.
Kakek : Tanpa minta maaf?
Pulanglah dan bilanglah pada suamimu besok dia harus menghadap kemari.
Novia : Pulang dulu, bu.
Nenek : Jangan lupa semua naehat ibu.
Novia : Ya, bu.
Joni : Polisi, Nyonya.
Nita : Sebentar, saya ke muka.

Diposkan oleh s.jai di 06:39 0 komentar

bank naskah

Kasir Kita

Monolog Arifin C Noer

Setting :

Ruang tengah dari sebuah ruang yang cukup menyenangkan, buat suatu keluarga yang
tidak begitu rakus. Lumayan keadaannya, sebab lumayan pula penghasilan si
pemiliknya. Sebagai seorang kasir di sebuah kantor dagang yang lumayan pula
besarnya. Kasir kita itu bernama :

Misbach Jazuli

Sandiwara ini ditulis khusus untuk latihan bermain. Sebab itu sangat sederhana
sekali. Dan sangat kecil sekali. Dan sandiwara ini kita mulai pada suatu pagi.
Mestinya pada suatu pagi itu ia sudah duduk dekat kasregisternya di kantornya,
tapi pagi itu ia masih berada di ruang tengahnya, kelihatan lesu seperti
wajahnya.

Tas sudah dijinjingnya dan ia sudah melangkah hendak pergi. Tapi urung lagi
untuk yang kesekian kalinya. Dia bersiul sumbang untuk mengatasi kegelisahannya.
Tapi tak berhasil.

Saudara-saudara yang terhormat. Sungguh sayang sekali, sandiwara yang saya


mainkan ini sangat lemah sekali. Pengarangnya menerangkan bahwa kelemahannya,
maksud saya kelemahan cerita ini disebabkan ia sendiri belum pernah mengalaminya;
ini. Ya, betapa tidak saudara? Sangat susah.
Diletakkannya tasnya

Saya sangat susah sekali sebab istri saya sangat cantik sekali. Kecantikannya
itulah yang menyebabkan saya jadi susah dan hampir gila. Sungguh mati, saudara.
Dia sangat cantik sekali. Sangat jarang Tuhan menciptakan perempuan cantik.
Disengaja. Sebab perempuan-perempuan jenis itu hanya menyusahkan dunia. Luar
biasa, saudara. Bukan main cantiknya istri saya itu. Hampir-hampir saya sendiri
tidak percaya bahwa dia itu istri saya.

Saya berani sumpah! Dulu sebelum dia menjadi istri saya tatkala saya bertemu
pandang pertama kalinya disuatu pesta berkata saya dalam hati : maulah saya
meyobek telinga kiri saya dan saya berikan padanya sebagai mas kawin kalau suatu
saat nanti ia mau menjadi istri saya. Tuhan Maha Pemurah. Kemauan Tuhan
selamanya sulit diterka. Sedikit banyak rupanya suka akan surpraise.

Buktinya? Meskipun telinga saya masih utuh, toh saya telah berumah tangga dengan
Supraba selama lima tahun lebih.

Aduh cantiknya.

Saya berani mempertaruhkan kepala saya bahwa bidadari itu akan tetap bidadari
walaupun ia telah melahirkan anak saya yang nomer dua, saya hampir tidak percaya
pada apa yang saya lihat. Tubuh yang terbaring itu masih sedemikian utuhnya.
Caaaaannnnttiiik.

Ah kata cantikpun tak dapat pula untuk menyebutkan keajaibannya. Cobalah.


Seandainya suatu ketika gadis-gadis sekolah berkumpul dan istri saya berada
diantara mereka, saya yakin, saudara-saudara pasti memilih istri saya, biarpun
saudara tahu bahwa dia seorang janda.

Lesu.

Ya, saudara. Kami telah bercerai dua bulan lalu. Inilah kebodohan sejati dari
seorang lelaki. Kalau saja amarah itu tak datang dalam kepala, tak mungkin saya
akan sebodoh itu menceraikan perempuan ajaib itu.

Semua orang yang waras akan menyesali perbuatan saya, kecuali para koruptor,
sebab mereka tak mampu lagi menyaksikan harmoni dalam hidup ini. Padahal
harmoni
adalah keindahan itu sendiri. Dan istri saya, harmonis dalam segala hal.
Sempurna.

Menarik napas.

Bau parfumnya! Baunya! Seribu bunga sedap malam di kala malam, seribu melati di
suatu pagi. Segar, segar!

Telepon berdering.
Itu dia! Sebentar (ragu-ragu)

Selama seminggu ini setiap pagi ia selalu menelpon. Selalu ditanyakannya :”Sarapan
apa kau, mas” Kemarin saya menjawab :”Nasi putih dengan goreng otak sapi”

Pagi ini saya akan menjawab .....

Mengangkat gagang telepon

Misbach Jazuli disini. Hallo? Hallo! Halloooo!

Meletakkan pesawat telepon

Salah sambung. Gilaa! Saya marah sekali. Penelpon itu tak tahu perasaan sama
sekali.

Tiba-tiba

Oh ya! Jam berapa sekarang?

Gugup melihat arloji

Tepat! Delapan seperempat. Saya telah terlambat tiga perempat jam. Maaf saya
harus ke kantor. Lain kali kita sambung cerita ini atau datanglah ke kantor saya,
PT Dwi Warna di jalan Merdeka. Tanyakan saja disana nama saya, kasir Jazuli.
Maaf. Sampai ketemu.

Melangkah cepat. Sampai di pintu sebentar ia ragu. Tapi kemudian ia terus juga.

Agak lama, kasir kita masuk lagi dengan lesu.

Mudah mudahan perdagangan internasional dan perdagangan nasional tidak


terganggu
meskipun hari ini saya telah memutuskan tidak masuk kantor.

Tidak, saudara! Saudara tidak bisa seenaknya mencap saya punya bakat pemalas.
Saudara bisa bertanya kepada pak Sukandar kepala saya, tentang diri Misbah
Jazuli.

Tentu pak Sukandar segera mencari kata-kata yang terbaik untuk menghormati
kerajinan dan kecermatan saya. Kalau saudara mau percaya, hari inilah hari
pertama saya membolos sejak enam tahun lebih saya bekerja di PT Dwi Warna.

Seperti saudara saksikan sendiri badan saya sedemikian lesunya, bukan? Tuhanku!
Ya, hanya Tuhanlah yang tahu apa yang terjadi dalam diri saya. Saya rindu pada
istri saya dan sedang ditimpa rasa penyesalan dan saya takut masuk kantor
berhubung pertanggung jawaban keuangan....

Telepon berdering.
Sekarang pasti dia! (Menuju pesawat telepon)

Saya sendiri tidak tahu kenapa selama seminggu ini ia selalu menelpon saya.

Apa mungkin ia mengajak rukun dan rujuk kembali...tak tahulah saya. Saya sendiri
pun terus mengharap ia kembali dan, tapi tidak! Saya tak boleh menghina diri
sendiri begitu bodoh! Bukan saya yang salah. Dia yang salah. Yang menyebabkan
peristiwa perceraian ini bukan saya tapi dia. Dia yang salah. Sebab itu dia yang
selayaknya minta maaf pada saya. Ya, dia harus minta maaf.

Toch saya laki-laki berharga : saya punya penghasilan yang cukup.

Laki-laki gampang saja menarik perempuan sekalipun sudah sepuluh kali beristri.
Pandang perempuan dengan pasti, air muka disegarkan dengan sedikit senyum, dan
suatu saat berpura-pura berpikir menimbang kecantikannya dan kemudian pandang
lagi, dan pandang lagi, dan jangan sekali kali kasar, wajah lembut seperti waktu
kita berdoa dan kalau perempuan itu menundukkan kepalanya berarti laso kita
telah menjerat lehernya. Beres!

Nah, saya cukup punya martabat, bukan? Dan lagi dia yang salah! Ingat, dia yang
salah. Nah, saudara tentu sudah tahu tentang sifat saya. Saya sombong seperti
umumnya laki-laki dan kesombongan saya mungkin juga karena sedikit rasa rendah
diri, tidak! Bukankah saya punya tampang tidak begitu jelek?

Telepon berdering lagi.

Pasti isteri saya (Menarik napas panjang)

Saya telah mencium bau bedaknya. Demikian wanginya sehingga saya yakin kulitnya
yang menyebabkan bedak itu wangi. Oh, apa yang sebaiknya saya katakan?

Tidak! Saya harus tahu harga diri. Kalau dia ku maafkan niscaya akan semakin
kurang ajar. Saudara tahu? Mengapa semua ini bisa terjadi? Oh, kecantikan itu!
Ah! Bangsat! Selama ini saya diusiknya dengan perasaan-perasaan yang gila.
Bangsat!

Saudara tahu? Dia telah berhubungan lagi dengan pacarnya ketika di SMA! Ya,
memang saya tidak tahu benar, betul tidaknya prasangka itu. Tapi cobalah
bayangkan betapa besar perasaan saya. Suatu hari secara kebetulan saya pulang
dari kantor lebih cepat dari biasanya dan apa yang saya dapati? Laki-laki itu
ada di sini dan sedang tertawa-tawa. Dengar! Tertawa-tawa. Ya, Tuhan. Cemburuku
mulai menyerang lagi. Perasaan cemburu yang luar biasa.

Telepon berdering lagi.

Pasti dia.

Mengangkat gagang telepon.

Misbach Jazuli di sini, hallo?


Segera menjauhkan pesawat telepon dari telinganya.

Inilah ular yang menggoda Adam dahulu. Perempuan itu menelepon dalam keadaan
aku
begini. Jahanam! (kasar) Ya, saya Jazuli, ada apa? Nanti dulu. Jangan dulu kau
memakai kata-kata cinta yang membuat kaki gemetar itu! Dengar dulu! Apa
perempuan biadap! Kau telah menghancurkan kejujuranku! Dengarkan! Kau telah
menghancurkan kejujuranku! Dengarkan! Kau telah menyebabkan semuanya semakin
berantakan dan membuat aku gelisah dan takut seperti buronan!

Meletakkan pesawat dengan marah.

Betapa saya marah. Sesudah beberapa puluh juta uang kantor saya pakai berpoya-
poya,
apakah ia mengharap saya mengangkat lemari besi itu ke rumahnya. Gila!

Ya, saudara. Saya telah berhubungan dengan seorang perempuan, beberapa hari
setelah saya bertengkar di pengadilan agama itu. Saya tertipu. Uang saya ludes,
uang kantor ludes. Tapi saya masih bisa bersyukur sebab lumpur itu baru mengenai
betis saya. Setengah bulan yang lalu saya terjaga dari mimpi edan itu. Betapa
saya terkejut, waktu menghitung beberapa juta uang kantor katut. Dan sejak
itulah saya ingat isteri saya. Dan saya mendengar tangis anak-anak saya.
Tambahan lagi isteri saya selalu menelepon sejak seminggu belakangan ini.

Tuhanku! Bulan ini bulan Desember, beberapa hari lagi kantor saya mengadakan
stock opname. Inilah penderitaan itu.

Memandang potret di atas rak buku.

Sejak seminggu yang lalu saya pegang lagi potret itu. Tuhan, apakah saya mesti
menjadi penyair untuk mengutarakan sengsara badan dan sengsara jiwa ini?

Apabila anak-anak telah tidur semua, dia duduk di sini di samping saya. Dia
membuka-buka majalah dan saya membaca surat kabar. Pabila suatu saat mata kami
bertemu maka kami pun sama-sama tersenyum. Lalu saya berkata lembut : “Manis,
kau belum mengantuk?” Wajahnya yang mentakjubkan itu menggeleng-geleng indah
dan
manis sekali. Dia berkata, juga dengan lembut : “Aku hanya menunggu kau, mas”
Saya tersenyum dan saya berkata lagi : “Aku hanya membaca koran, manis” Dan lalu
ia berkata : “ Aku akan menunggui kau membaca koran, mas” Kemudian kami pun
sama-sama
tersenyum bagai merpati jantan dan betina.

Kubelai rambutnya yang halus mulus itu. Duuh wanginya. Nyamannya. Lautan
minyak
wangi yang memingsankan dan membius sukma. Apabila dia berkata seraya
menengadah
“Mas”. Maka segera kupadamkan lampu di sini dan lewat jendela kaca kami
menyaksikan pekarangan dengan bunga-bunga yang kabur, dan langit biru bening
dimana purnama yang kuning telor ayam itu merangkak-rangkak dari ranting
keranting.

Tiba-tiba ganti nada.

Hah, saya baru saja telah menjadi penyair cengeng untuk mengenang semua itu.
Tidak-tidak! Laki-laku itu ............, sebentar. Saya belum menelepon ke
kantor bukan ? Sebentar.

Diangkatnya pesawat telepon itu ! memutar nomornya.

Hallo, minta 1237 utara. Hallo ! ....... Saudara Anief ... ? Kebetulan .... Ya,
ya, mungkin pula influenza. (batuk-batuk-dan menyedot hidungnya) Yang pasti
batuk dan pilek. Saudara....ya?....Ya, ya saudara Anief, saya akan merasa senang
sekali kalau saudara sudi memintakan pamit saya kepada pak Sukandar....Terima
kasih...Ya? Apa? Saudara bertemu dengan isteri saya disebuah restoran?

Nada suaranya naik.

Apa? Dengan laki-laki? (menahan amarahnya) Tentu saja saya tidak boleh marah,
saudara. Dia bukan istri saya. Ya, ya...Hallo! Ya, jangan lupa pesan saya pada
pak Sukandar.

(batuk dan menyedot hidungnya lagi) Saya sakit. Ya, pilek. Terima kasih.

Meletakan pesawat telepon.

Seharusnya saya tak boleh marah. Bukankah dia bukan isteri saya lagi? Ah,
persetan : pokoknya saya marah! Persetan : cemburuan kumat lagi? Ah, persetan!
Saudara bisa mengira apa yang terdapat dalam hati saya. Saudara tahu apa yang
ingin saya katakan pada saudara? Saya hanya butuh satu barang, saudara. Ya,
benar-benar saya butuh pistol, saudara. Pistol. Saya akan bunuh mereka sekaligus.
Kepala mereka cukup besar untuk menjaga agar peluru saya tidak meleset dari
pelipisnya.

Nafasnya sudah kacau.

Kalau mayat-mayat itu sudah tergeletak di lantai, apakah saudara pikir saya akan
membidikkan pistol itu ke kening saya? Oh, tidak! Dunia dan hidup tidak selebar
daun kelor, saudara! Sebagai orang yang jujur dan jangan lupa saya adalah
seorang ksatria dan sportif, maka tentu saja secara jantan saya akan menghadap
dan menyerahkan diri pada pos polisi yang terdekat dan berkata dengan bangga dan
herooik : “Pak saya telah menembak Pronocitra dan Roro Mendut.”

Tentu polisi itu akan tersenyum. Dan kagum campur haru. Dan bukan tidak mungkin
ia akan memberi saya segelas teh. Dan baru setelah itu membawa saya ke dalam
sebuah sel yang pengap.

Hari selanjutnya saya akan diperiksa. Ya, diperiksa. Lalu diadili. Ya, diadili.
Saudara tahu apa yang hendak saya katakan pada hakim? Kepada hakim, kepada
jaksa,
kepada panitera dan kepada seluruh hadirin akan saya katakan bahwa mereka
pengganggu masyarakat maka sudah sepatutnya dikirim ke neraka jahanam.
Bukankah
bumi ini bumi Indonesia yang ketentramannya harus dijaga oleh setiap warganya?

Saudara pasti tahu seperti saya pun tahu hakim yang botak itu akan berkata
seraya menjatuhkan palunya : “Seumur hidup di Nusa Kambangan!”

Pikir saudara saya akan pingsan mendengar vonis semacam itu? Ooo, tidak saudara.
Saya akan tetap percaya pada Tuhan. Tuhan lebih tahu daripada Hakim yang botak
dan berkaca mata itu.

Lagi pula saya sudah siap untuk dibawa ke Nusa Kambangan. Di pulau itu saya
hanya akan membutuhkan beberapa rim kertas dan pulpen. Ya, saudara. Saya akan
menjadi pengarang. Saya akan menulis riwayat hidup saya dan proses pembunuhan
itu yang sebenarnya, sehingga dunia akan sama membacanya. Saya yakin dunia akan
mengerti letak soal yang sejati. Dunia akan menangis. Perempuan-perempuan akan
meratap.

Dan seluruh warga bumi ini akan berkabung sebab telah berbuat salah menghukum
seseorang yang tak bersalah. Juga saya yakin hakim itu akan mengelus-elus
botaknya dan akan mengucurkan air matanya sebab menyesal dan niscaya dia akan
membuang palunya ke luar. Itulah rancangan saya.

Saya sudah berketetapan hati. Saya sudah siap betul-betul sekarang. Siap dan
nekad. Ooo, nanti dulu. Saya ingat sekarang. Saya belum punya pistol. Dimana
saya bisa mendapatkannya? Inilah perasaan seorang pembunuh. Dendam dendam
yang
cukup padat seperti padatnya kertas petasan. Dahsyat letusannya. Saya ingat
Sherlocks Holmes sekarang. Agatha Christi, Edgar Allan Poe. Sekarang saya insaf.
Siapapun tidak boleh mencibirkan segenap pembunuh. Sebab saya kini percaya ada
berbagai pembunuh di atas dunia ini. Dan yang ada di hadapan saudara, ini bukan
pembunuh sembarang pembunuh. Jenis pembunuh ini adalah jenis pembunuh asmara.

Nah, saya telah mendapatkan judul karangan itu.

“Pembunuh Asmara” Lihatlah dunia telah berubah hanya dalam tempo beberapa
anggukan kepala. Persetan! Dimana pistol itu dapat saya beli? Apakah saya harus
terbang dulu ke Amerika, ke Dallas? Tentu saja tidak mungkin. Sebab itu berarti
memberikan mereka waktu untuk melarikan diri sebelum kubekuk lehernya.

Oh, betapa marah saya. Darah seperti akan meledakan kepala saya. Betapa! Sampai-
sampai
saya ingin menyobek dada ini. Oh,...saya sekarang merasa bersahabat dengan
Othello. Saudara tentu kenal dia, bukan? Dia adalah tokoh pencemburu dalam
sebuah drama Shakespeare yang terkenal.

Othello. Dia bangsa Moor sedang saya bangsa Indonesia, namun sengsara dan
senasib akibat kejahilan cantiknya anak cucu Hawa.

Telepon berdering! Seperti seekor harimau ia!

Itu dia.

Mengangkat pesawat telepon dengan kasar.

Hallo!!! Ya, disini Jazuli !! Kasir !! Ada apa?

Tiba-tiba berubah.

Oh,...maaf pak. Pak Sukandar, kepala saya. Maaf, pak. Saya kira isteri saya.
Saya baru saja marah-marah...Ya, ya memang saya...Ya, ya.

Tertawa.

Ya, pak...

Batuk-batuk. Menyedot hidungnya.

Influenza... Ya, mudah-mudahan..Ya, pak....Ya.

Saudara, dengarlah. Dia mengharap saya besok masuk kantor untuk pemberesan
keuangan....Ya?..Insya Allah, pak..Ada pegawai baru?..Siapa, pak? Istri saya,
pak?

Tertawa.

Ya, pak...

Batuk-batuk dan menyedot hidungnya.

Ya, pak. Terima kasih. Terima kasih, pak. Besok.

Meletakan pesawat telepon.

Persetan! Saya yakin istri saya pasti kehabisan uang sekarang. Apakah saya mesti
mengasihani dia? Tidak! Saya mesti membunuhnya.

Seakan menusukkan pisau.

Singa betina! Ya, sebaiknya dengan pisau saja, pisau.

Telepon berdering.

Persetan! Sekarang pasti dia.

Mengangkat telepon.
Kasir disini! Kasir PT Dwi Warna! Apa lagi! Jahanam! Ular betina yang telah
menjadikan aku koruptor itu! Jangan bicara apa-apa! Tutup mulutmu! Mulutmu bau
busuk! Aku bisa mati mendengar kata-katamu lewat telepon! Cari saja laki-laki
lain yang hidungnya besar. Penggoda bah! Cari yang lain! Toch kau seorang
petualang!

Meletakan pesawat telepon.

Jahanam! Apakah saya mesti membunuh tiga orang sekaligus dalam seketika? O, ya.
Tadi saya sudah memikirkan pisau. Ya, pisaupun cukup untuk menghentikan jantung
mereka berdenyut. (geram). Sayang sekali. Pengarang sandiwara ini bukan seorang
pembunuh sehingga hambarlah cerita ini.

Tapi tak apa. Toch saya sudah cukup marah untuk membunuh mereka. Namun
sebaiknya
saya maki-maki dulu alisnya yang nista itu. Saya harus meneleponnya!

Mengangkat telepon.

Kemana saya harus menelepon? Tidak! (meletakan telepon)

Lebih baik saya rancangkan dulu secara masak-masak semuanya sekarang. Demi
Allah,
saudara mesti mengerti perasaan saya. Bilanglah pada isteri saudara-saudara : “Manis,
jagalah perasaan suamimu, supaya jangan bernasib seperti Jazuli.”

Ya, memang saya adalah laki-laki yang malang. Tapi semuanya sudah terlanjur.
Sayapun telah siap. Dengan menyesal sekali saya akan menjadi seorang pembunuh
dalam sandiwara ini.

Seperti mendengar telepon berdering.

Hallo? Jazuli disini. Jazuli (sadar)

Saya kira berdering telepon tadi. Nah, saudara bisa melihat keadaan saya
sekarang. Mata saya betul-betul gelap. Telinga saya betul-betul pekak. Saya
tidak bisa lagi membedakan telepon itu berdering atau tidak. Artinya sudah cukup
masak mental saya sebagai seorang pembunuh.

Tapi seorang pembunuh yang baik senantiasa merancangkan pekerjaan dengan baik
pula seperti halnya seorang kasir yang baik. Mula-mula, nanti malam tentu, saya
masuki halaman rumahnya. Saya berani mempertaruhkan separuh nyawa saya, pasti
laki-laki itu ada disana. Dalam cahaya bulan yang diterangi kabut : ..Saya
bayangkan begitulah suasananya.

Bulan berkabut, udara beku oleh dendam, sementara belati telah siap tersembunyi
di pinggang dalam kemeja, saya ketok pintu serambinya.

Mereka pasti terkejut. Lebih-lebih mereka terkejut melihat pandangan mata saya
yang dingin, pandangan mata seorang pembunuh.
Untuk beberapa saat akan saya pandangi saja mereka sehingga badan mereka
bergetaran dan seketika menjadi tua karena ketakutan. Dan sebelum laki-laki itu
sempat mengucapkan kalimatnya yang pertama, pisau telah tertancap di usarnya.
Dan pasti isteri saya menjerit, tapi sebelum jerit itu cukup dapat memanggil
tetangga-tetangga maka belati ini telah bersarang dalam perutnya. Tentu. Saya
akan menarik nafas lega. Kalau mayat-mayat itu telah kaku terkapar di lantai,
saya akan berkata : “Terpaksa. Jangan salahkan saya. Keadilan menuntut balas.”

Tiba-tiba pening di kepala.

Tapi kalau sekonyong-konyong muncul kedua anak saya? Ita dan Imam? Kalau
mereka
bertanya : “Pak, ibu kenapa pak? Pak, ibu pak?

Memukul-mukul kepalanya.

Tuhanku!

Duduk.

Dia melamun sekarang. Dua orang anaknya, Ita dan Imam, 5 dan 4 tahun menari-nari
disekelilingnya. Di ruang tengah itu dengan sebuah nyanyian kanak-kanak :
Bungaku.

Saudara-saudara bisa merasakan hal ini? Mereka sangat manisnya. Lihatlah. Saya
tidak bisa lagi marah. Saya pun tak bisa lagi peduli pada apa saja selain kepada
anak-anak yang manis itu. Saya tidak tahu lagi apakah isteri saya cantik apakah
tidak. Saya tidak tahu lagi apakah laki-laki itu jahanam apakah tidak.

Saya hanya tahu anak-anak itu sangat manisnya. Betapa saya ingin melihat lagi
bagaimana mereka tertawa. Tak ada yang lain mutlak harus dipertahankan kecuali
anak-anak itu. Saudara-saudara mengerti maksud saya? Apakah hanya karena
cemburu
saya mesti merusak kembang-kembang yang telah bermekaran itu?

Balerina-balerina kecil itu menari bagai malaikat-malaikat kecil.

Semangat hidup yang sejati dan keberanian yang sejati timbul dalam diri begitu
saya ingat Ita dan Imam anak-anak saya. Seakan mereka berkata : “Pak susulah ibu,
pak. Pak, ke kantorlah, pak.”

Ya, Ita. Ya, Imam.

Malaikat-malaikat kecil itu gaib menjelma udara.

Saya harus pergi ke kantor. Akan saya katakan semuanya pada pak Sukandar. Saya
akan mengganti uang itu setelah besok saya jual beberapa barang dalam rumah ini.
Setelah semua beres saya akan mulai lagi hidup dengan tenang dan tawakal kepada
Tuhan. Hari ini hari Jumat, di masjid setelah sembahyang saya akan minta ampun
kepada Allah.

Saya tak mau tahu lagi apakah laki-laki Rahwana atau bukan. Saya tak mau tahu
lagi apakah Sinta itu serong atau tidak. Saya tidak peduli. Tuhan ada dan laki-laki
yang macam itu dan perempuan itu ada dalam hidup saya. Semuanya harus saya
hadapi dengan arif, sebab kalau tidak Indonesia akan hancur berhubung saya
menelantarkan anak-anak saya, Ita dan Imam.

Telepon berdering.

Jahanam! Kalau saudara mau percaya, inilah sundal itu. Setiap kali saya tengah
berpikir begini, jahanam itu menelpon saya.

Telepon berdering lagi.

Jahanam! Inilah sundal itu sesudah uang kantor ludes, apakah ia mengharap rumah
ini dijual.

Mengangkat pesawat telepon.

Ya, Misbach Jazuli

Tersirap darahnya.

Saudara, jantung saya berdebar seperti kala duduk di kursi pengantin. Demi Tuhan,
tak salah ini adalah suara istri saya. Oh saya telah mencium bau bedaknya. Hutan
mawar dan hutan anggrek. Ya, manis. Saya sendiri. Saya yakin dia pun sepikiran
dengan saya. Saya akan mencoba menyingkap kenangan lama.

Hallo?..Tentu...Tentu. kenapa kau tidak menelepon tadi? Ya...ke kantor, bukan?


Memang saya agak flu dan batuk-batuk.

(akan batuk tapi urung) ...Ya, manis. Kau ingat laut, pantai, pasir, tikar,
kulit-kulit kacang..ah, indah sekali
bukan?...Tentu...Tentu...He...?...Bagaimana?....Kawin?
Kau?...Segera?

Lihatlah, niat baik selamanya tidak mudah segera terwujud. Apa?...Apa? Ha???
Saudara, gila perempuan itu. Apakah ini bukan suatu penghinaan? Dia mengharap
agar nanti sore saya datang ke rumahnya untuk melihat apakah laki-laki calon
suaminya itu cocok atau tidak baginya. Gila. Hmm, rupanya laki-laki yang dulu
itu cuma iseng saja. Ya, tentu..bisa!

Meletakan pesawat dengan kasar.

Jahanam. Saudara tentu mampu merasakan apa yang saya rasakan. Beginilah, kalau
pengarang sandiwara ini belum pernah mengalami peristiwa ini. Beginilah jadinya.
Saya sendiri pun jadi bingung untuk mengakhiri cerita ini.

(tiba-tiba) Persetan pengarang itu! Jam berapa sekarang? Persetan semuanya! Yang
penting saya akan ke kantor meski sudah siang. Dari kantor saya akan langsung ke
masjid. Dari masjid langsung ke rumah mertua saya. Langsung saya boyong
semuanya.
Anak-anak itu menanti saya. Persetan! Sampai ketemu. Selamat siang.

Melangkah seraya menyambar tasnya. Tiba-tiba berhenti. Setelah mengeluarkan sapu


tangan, batuk-batuk dan menyedot hidungnya.

Saya influenza, bukan ?

SELESAI

Diposkan oleh s.jai di 06:37 0 komentar

Selasa, 2008 November 04

bank naskah

MALAM TERAKHIR
(Sotoba Komachi)
Karya : Yukio Mishima
Diterjemahkan oleh Toto Sudarto Bachtiar

Para Pelaku : Perempuan Tua


Penyair
Laki-Laki Pertama
Laki-Laki Kedua
Laki-Laki Ketiga
Perempuan Pertama
Perempuan Kedua
Perempuan Ketiga
Agen Polisi
Beberapa Penari
Beberapa Pasangan Kekasih
Beberapa Pengemis
Beberapa Pelayan Rumah Makan

PEREMPUAN TUA : Satu ditambah satu, dua, dua ditambah dua lagi, empat… (Dia
memegang sebuah puntung rokok di bawah cahaya lampu, danketika dilihatnya rokok
itu masih cukup panjang, dia kemudian pergi menuju PASANGAN KEKASIH di
sebelah
kirinya untuk meminta api. Sesudah itu dia duduk lagi dan mengisap rokoknya.
Setelah beberapa isap dia memadamkan lagi sigaretnya, dan melemparkannya ke
samping puntung-puntung rokok lainnya di atas sehelai kertas Koran. Kemudian dia
mulai menghitung lagi) Satu ditambah satu, dua; dua ditambah dua, empat…
PENYAIR : (Pergi berdiri di belakang PEREMPUAN TUA itu dan memperhatikan
apa
yang sedang dilkukannya)

PEREMPUAN TUA : Kau mau merokok ? Silakan.

PENYAIR : Terima kasih.

PEREMPUAN TUA : Masih ada keperluan lainnya ? Mungkin ada yang ingin kau
sampaikan ?

PENYAIR : Tidak. Tidak begitu penting soalnya.

PEREMPUAN TUA : Aku tahu kau siapa. Kau seorang penyair. Itulah keahlianmu.

PENYAIR : Rupanya kau tahu betul keadaanku. Ya, sekali-sekali aku menulis sajak.
Tentu. Tetapi itu bukan bisnis, bukan perusahaan.

PEREMPUAN TUA : Begitu pendaptmu? Pasti karena kau tidak bisa menjual sajak-
sajakmu,
bukan? Kau masih muda, bukan? Tetapi kau tidak akan lama lagi hidup. Tampak
malaikat maut sudah tercoreng di atas keningmu.

PENYAIR : Apa pekerjaanmu di masa yang lalu? Peramal? Dapatkah kau meramal
melalui garis tangan, melalui kerut-kerut pada muka?

PEREMPUAN TUA : Mungkin… Aku melihat begitu banyak manusia dalam


hidupku,
sehingga muka mereka itu tidak bicara apa-apa lagi kepadaku… Duduklah! Aku kira
kau sudah tidak begitu tetap lagi berdiri.

PENYAIR : Ini disebabkan karena aku baru saja minum-minum.

PEREMPUAN TUA : Eh… Selagi kau masih hidup kau harus berdiri dengan kedua
kakimu
di atas tanah.

PENYAIR : Dengarlah, ada sesuatu yang sangat ingin kuketahui selama ini,
sehingga terpaksa aku harus menanyakannya padamu. Mengapa kau saban malam
dating
ke mari pada waktu yang sama dan mengusir semua pasangan itu dari bangku
mereka?

PEREMPUAN TUA : Bangku itu bukan milikmu sendiri, bukan? Mau apa kau
sebenrnya?
Apakah kau seorang pengembara? Apakah kau harus meminta sedekah kepada orang-
orang
yang duduk di sini?
PENYAIR : Tidak. Tetapi bangku itu tidak bisa menyampaikan kejengkelannya.
Karena akulah yang harus menyampaikannya untuk dia.

PEREMPUAN TUA : Aku tak pernah mengusir orang. Mereka dengan sendirinya
pergi
menjauh kalau aku duduk di sini. Lihat saja, bangku ini bisa diduduki oleh empat
orang.

PENYAIR : Malah hari bangku-bangku itu untuk orang-orang yang sedang berkasih-
kasihan.
Kalau aku malam-malam melewati taman ini dan pada setiap bangku aku melihat
pasangan semacam itu duduk di atasnya, dalam hatiku aku selalu merasa bukan main
tenteramnya. Kalau aku melewati mereka maka aku berjalan dengan bersijingkat.
Bahkan kalau aku merasa letih, atau tiba-tiba aku kehilangan ilham, sehingga aku
mau duduk untuk mengumpulkan gagasan-gagasanku, akupun tidak melakukannya.
Karena rasa hormatku kepada… Tetapi kau langsung saja duduk. Telah berapa lama
sebenarnya kau biasa datang ke mari?

PEREMPUAN TUA : Ah, sekarang baru aku mengerti maksudmu! Tempat ini
agaknya
merupakan padang perburuanmu. Engkau datang ke mari untuk keperluan
perusahaanmu.

PENYAIR : Perusahaanku? Apa maksudmu sebenarnya?

PEREMPUAN TUA : Yah, maksudku, kau di sini mengumpulkan kesan-kesan,


impresi-impresi
yang kemudian kau olah menjadi sajak-sajak.

PENYAIR : Jangan beromong-kosong! Teman, orang-orang yang berkasih-kasihan,


lentera-lentera… apakah kau betul-betul mengira aku menulis tentang soal-soal
konyol itu?

PEREMPUAN TUA : Kalau waktunya sudah cukup lama berlalu, maka soa-soal itu
tidak
akan konyol lagi. Cobalah sebutkan padaku satu soal yang pada waktunya tidak
bersifat konyol.

PENYAIR : Kau punya gagasan-gagasan yang betul-betul menarik! Kau hampir-


hampir
berhasil memaksaku untuk mengajukan suatu pembelaan bagi bangku ini.

PEREMPUAN TUA : Ya Tuhan, kau betul-betul menjemukan! Kau Cuma mau


berkata bahwa
aku terlalu hina untuk bangku ini. Atau bukan begitu barangkali?

PENYAIR : Terlalu hina? Kau seorang yang murtad!

PEREMPUAN TUA : Jalan fikiran remaja masa kini betul-betul bagus! Aku terpaksa
harus mengatakannya.
PENYAIR : Dengarkan sekarang… Aku tidak lebih dari kelihatannya, seorang kuli
tinta, yang isteri untuk mengurus pun tidak punya. Tetapi ada sesuatu yang
kuhormati: yakni dunia ini, sebagaimana terpantul dalam mata anak-anak muda yang
sedang jatuh cinta, dan yang seratus kali lebih indah dari kenyataan – ya, aku
menaruh rasa hormat kepadanya. Lihatlah, mereka sedikit pun tidak tahu bahwa
kita sedang memperbincangkan mereka. Mereka sedang melambung ke langit, sampai
di atas bintang-bintang. Bahkan wajah mereka pun bersinar laksana bintang. Dan
bangku di sini ini, bangku ini ibarat sebuah tangga yang menuji ke langit,
menara pengawas paling tinggi di dunia, suatu pos pengenal yang paling baik.
Kalau ada seorang pemuda yang duduk di sini bersama gadinya, maka dia akan dapat
emlihat semua kota di dunia. Tetapi kalau aku berdiri di sini, maka aku tidak
melihat apa-apa, tidak melihat suatupun… Atau lebih baik… tentu saja aku selalu
melihat sesuatu … sejumalh bangku… seorang lelaki dengan lentera saku, aku kira
dia seorang agen polisi… Dua buah mobil yang saling berpapasan. Tanpa mengurangi
sorot lampunya. Dan apa itu? Sebuah mobil penuh dengan bunga-bunga! Seniman-
seniman
yang baru kembali dari konser? Atau suatu upacara penguburan? Hanya itulah yang
dapat kulihat.

PEREMPUAN TUA : Omong-kosong! Aneh sekali kau bisa menaruh hormat kepada
hal-hal
semacam itu! Maka aku bisa mengerti kalau kau menulis sajak-sajak yang tidak
dibeli orang.
PENYAIR : Bukan, bukan. Justeru oleh karena itu aku tidak pernah duduk di atas
bangku-bangku itu. Selama kau dan aku duduk di atasnya maka bangku-bangku itu
tidak lain kecuali bangku-bangku kayu yang papa. Tetapi apabila mereka duduk di
atasnya maka bangku itu akan menjadi semacam kenangan. Dan bangku itu bisa
menjadi lebih empuk dari sebuah dipan dan hangat oleh percikan-percikan api yang
keluar dari pelukan-pelukan mereka… Kalau kau duduk di sini maka semuanya
menjadi begitu dingin seperti makam, bangku-bangku itu seakan-akan batu nisan.
Aku tidak tahan.

PEREMPUAN TUA : Kau masih muda, masih plonco sekali, kau tidak melihat
benda-benda
itusebagaimana adanya.. Kau beranggapan bahwa bangku-bangku tu menjadi hidup
jika ada seorang pemuda tolol bersama pacarnya duduk di atasnya. Janganlah
begitu bodoh! Mereka saling memeluk di atas makam mereka. Lihat, betapa pucatnya
mereka, betapa pucat-lesinya mereka, dalam cahaya hijau yang melalui daun-daun
menyelinap dari jalan. Mata mereka terpejam. Tidakkah mereka kelihatan sebagai
mayat? Mereka mati selagi bercumbu. Benar, benar bau bunga. Bunga-bunga di
taman
malam hari baunya sama kuat dengan bunga-bunga di dalam peti mati. Dan semua
pasangan yang sedang jatuh cinta itu membiarkan dirinya terkubur dalam bau bunga-
bunga
itu. Satu-satunya yang hidup di sini ialah kau dan aku.

PENYAIR : Apakah kau kira dirimu lucu? Apakah kau betul-betul beranggapan
bahwa
kau hidup dan mereka tidak?
PEREMPUAN TUA : Tentu saja. Sekarang umurku sembilan puluh sembilan tahun,
tetapi lihatlah, betapa sehatnya aku!

PENYAIR : Sembilan puluh sembilan?

PEREMPUAN TUA : Ya, perhatikan aku baik-baik!

PENYAIR : Mengerikan. Segala kerut-kerut itu.

PEREMPUAN PERTAMA : Mengapa engkau? Mengapa kau bersikap begitu


sekonyong-konyong?

LAKI-LAKI PERTAMA : Mari, kita pergi. Nanti kita masuk angin!

PEREMPUAN PERTAMA : Tidak, kau kelihatannya seperti merasa jemu sekali!

LAKI-LAKI PERTAMA : Tidak, sama sekali tidak. Aku justeru teringat akan
sesuatu,
akan sesuatu yang menyenangkan.

PEREMPUAN PERTAMA : Begitu? Kalau begitu teringat akan apa?

LAKI-LAKI PERTAMA : Akan ayam-ayamku. Ayam-ayam itu besok pasti akan


bertelur
sebutir.

PEREMPUAN PERTAMA : Apa maksudmu berkata begitu?

LAKI-LAKI PERTAMA : Apa maksudmu berkata begitu? Tidak ada. Sama sekali
tidak
ada.

PEREMPUAN PERTAMA : Jadi, kau tidak bermaksud apa-apa! Tetapi bagiku itu
ada
artinya. Itu berarti bahwa hubungan kita putus.

LAKI-LAKI PERTAMA : Ayuh, cepatlah. Lihat trem terakhir itu sudah datang. Kita
mesti lari.

PEREMPUAN PERTAMA : Kau selalu memakai dasi yang jelek!

PEREMPUAN TUA : Syukurlah! Kedua orang itu setidak-tidaknya menjadi hidup


lagi!

PENYAIR : Bintang-bintang di langit mereka telah sirna. Mengapa kau berani


mengatakan bahwa baru sekarang mereka menjadi hidup lagi?

PEREMPUAN TUA : Aku tahu bagaimana kelihatannya muka seseorang yang baru
kembali
lagi kepada kehidupan… Aku cukup sering melihatnya. Muka semacam itu
memperlihatkan kejemuan yang luar biasa dan pemandangan semacam itu
menyenangkan
hatiku… Lama berselang, ketika aku masih muda, aku baru merasa hidup kalau aku
merasa pusing. Aku baru merasa hidup kalau aku lupa sama sekali akan diriku.
Kemudian aku sadar kalau aku keliru. Kalau kau masih punya perasaan, bahwa hidup
di dunia ini sangat menyenangkan – kalau bunga yang paling kecil masih nampak
seperti sebuah katedral dank au mengira bahwa burung-burung merpati yang terbang
melintas bernyanyi dengan suara manusia… kalau setiap orang yang kaujumpai
dengan gembira mengucapkan ‘selamat siang’ kepadamu dan benda-benda yang
sepuluh
tahun yang lalu sia-sia saja kaucari tiba-tiba berdiri menantikanmu di lemari
dapur… kalau semua gadis nampak seperti permaisuri, dan mawar-mawar sudah
bersemi lagi pada semak-semak yang layu… ya, dan semua itu adalah hal-hal yang
paling tidak sepuluh hari sekali pernah kau alami ketika aku masih muda dahulu,
maka… tetapi tidak kalau aku sekarang teringat lagi akan hal itu, maka aku pun
tahu bahwa semua itu adalah penipuan terhadap diri sendiri, sehingga kebusukan
dalam segalanya saja pun aku tidak dapat melihatnya, karena aku seolah-olah mati…
semakin jelek anggurnya, semakin cepat kau menjadi mabuk. Di tengah-tengah
kemabukanku, di tengah-tengah perasaan dan air mataku – aku mati. Sesudah itu
sikapku untuk tidak minum-minum lagi sebagai azazku. Itulah seluruh rahasia
hidupku yang panjang. Fikiranku sehat.

PENYAIR : Amboi! Tetapi kalau begitu apa sebenarnya makna hidup?

PEREMPUAN TUA : Apa sebabnya aku hidup? Bukankah kenyataan kehadiranku


dengan
sendirinya sudah merupakan suatu makna? Aku bukanlah seekor kuda yang berlari-
lari
untuk mendapatkan gula-gula! Kuda-kuda memang untuk disuruh berlari, tetapi
manusia?

PENYAIR : “Lajulah, lajulah kuda kecilku. Jangan melihat ke kanan atau ke kiri…”

PEREMPUAN TUA : “Ikuti saja baying-bayang. Bekas jalan kereta…”

PENYAIR : Kalau matahari terbenam, baying-bayang jadi lebih panjang.

PEREMPUAN TUA : Bayang-bayangnya melengkung. Bayang-bayang itu hilang


dalam
kelam malam. (Selagi mereka berbicara, PASANGAN-PASANGAN YANG
SEDANG KASIH-KASIHAN
di kanan-kiri mereka sama berdiri tegak dari bangku mereka dan pergi)

PENYAIR : Wahai, Ibu, masih ada sesuatu yang ingin kutanyakan… Siapa namamu
sebenarnya?

PEREMPUAN TUA : Mereka dulu memanggilku Komachi.

PENYAIR : Siapa yang memanggilmu begitu?


PEREMPUAN TUA : Semua laki-laki yang pernah memuja kecantikanku telah
meninggal.
Dan sekarang aku punya peraaan, bahwa setiap orang yang mengatakan aku cantik
harus meninggal.

PENYAIR : Kalau begitu aku mujur. Aku baru berjumpa denganmu setelah kau
berumur
sembilan puluh sembilan tahun!

PEREMPUAN TUA : Benar, kau beruntung… Tetapi hanya seorang gila seperti kau
mungkin menyangka bahwa setiap perempuan cantik jadi jelek dengan berlalunya
tahun. Tetapi itu suatu kekeliruan besar. Seorang perempuan cantik akan tetap
perempuan cantik selalu. Juga kalau sekarang ini aku nampanya jelek, sebenarnya
aku ini hanya perempuan cantik yang jelek belaka. Aku sudah begitu sering, dan
dari sekian banyak fihak, mendengar betapa mempesona kelihatannya aku, sehingga
selama tujuh puluh, delapan puluh tahun terakhir ini aku tak punya kebutuhan
lagi untuk berpikir lain tentang hal itu. Aku masih selalu memandang diriku
sebagai seorang perempuan cantik yang mempesona.

PENYAIR : Mestinya adalah suatu beban yang berat untuk menjadi seorang yang
cantik… aku dapat memahaminya. Seorang laki-laki yang pernh mengalami
peperangan,
selama-lamanya tetap terkenang akan peperangan. Sudah barang tentu dahulu kau
pernah cantik…

PEREMPUAN TUA : Apa katamu? Aku masih tetap cantik!

PENYAIR : Ya ya, tentu saja, aku mengerti. Mengapa kau tidak mau bercerita
barang sedikit mengenai masa remajamu kepadaku. Apa yang pernah kau alami
delapan puluh – atau barangkali sembilan puluh tahun. Ceritakanlah, apa yang
telah terjadi delapan puluh tahun yang lalu.

PEREMPUAN TUA : Delapan puluh tahun yang lalu aku baru berumur sembilan
belas
tahun. Kapten Fukaksa dari pasukan pengawal Kaisar. Sangat terpsona olehku.

PENYAIR : Bagaimana kalau aku berbuat seolah-olah aku kapten itu – siapa
namanya
tadi?

PEREMPUAN TUA : Jangan berangan-angan! Dia seratus kali lebih tampan dan
lebih
gagah daripada kau… Benar, dan ketika itu aku berkata kepadanya, bahwa aku akan
memenuhi keinginannya yang paling luhur, kalau dia sudah seratus kali
mengunjungiku. KEmudian tibalh malam yang keseratus itu. Ketika itu di kebun
istana Rokumee diselenggarakan sebuah pesta, dan semua orang yang gemar akan
kesenangan duniawi hadir. Aku agak merasa letih karena udara pana di dalam, dan
aku duduk di atas sebuah bangku, untuk menghirup hawa segar… Astaga…! Orang-
orang
dari seluruh kota kelihatnnya mengadakan rendevous di sini.

PENYAIR : Maksudmu para wanita dan pria yang gagah-gagah itu?

PEREMPUAN TUA : Tentu saja! Bagaimana kalau kita berdansa pada irama wals
sekarang ini agar yang lain menjadi kesal?

PENYAIR : Aku berdansa dengn kau?

PEREMPUAN TUA : Jangan lupa: kau Kapten Fukaksa sekarang. (TIGA PASANG
REMAJA,
yang berpakaian menurut mode tahun 1880, muncul sambil berdansa dengan irama
wals.

PEREMPUAN TUA dan PENYAIR itu juga berdansa. Ketika musik berhenti,
ORANG-ORANG
LAINNYA berkerumun mengelilingi PEREMPUAN TUA Itu)

PEREMPUAN PERTAMA : Komachi! Kau kelihatan sangat cantik lagi malam ini!

PEREMPUAN KEDUA : Kau membuatku iri. Dari mana kau peroleh pakaianmu
yang indah
itu?

PEREMPUAN TUA : Tentu saja dari Paris! Aku telah mengirimkan ukuran-ukuran
tubuhku kepada Maison Piquet dan kemudian menyuruh membuat pakaian itu di sana.

PERMPUAN PEREMPUAN : Benar begitu?


PEREMPUAN KETIGA : Ya, kalau tidak begitu tidak mungkin. Apa yang mereka
buat di
Jepang sini selalu begitu kampungan.

LAKI-LAKI PERTAMA : Tidak sangsi lagi. Mengapa harus kau pusingkan? Kau
mau
tidak mau harus mendatangkan pakaianmu dari luar negeri.

LAKI-LAKI KEDUA : Tepat. Danitu juga berlaku buat kami. Adakah kalian melihat
rok yang di pakai Perdana Menteri semalam? London. Kota ini masih tetap
merupakan kiblat buat pakaian laki-laki. (Sambil tertawa dan bercakap-cakap,
PEREMPUAN-PEREMPUAN itu membentuk sebuah lingkaran di seputar
PEREMPUAN TUA dan
PENYAIR itu. KETIGA LAKI-LAKI itu duduk di atas sebuah bangku sambil
bercakap-cakap)

LAKI-LAKI KETIGA : Komachi betul-betul mempesona!

PEREMPUAN KETIGA : Memang, dalam sinar bulan seperti sekarang ini seorang
tukang
tenung pun akan kelihatan cantik!
LAKI-LAKI PERTAMA : Ya, tetapi dalam sinar matahari yang terang benderang
sekalipun Komachi akan kelihatan cantik, dan dalam sinar bulan jadinya dia
kelihatan betul-betul seperti bidadari, dan…

LAKI-LAKI KEDUA : Ya, dan anda akan kehilangan kata-kata anda.

LAKI-LAKI KETIGA : Ya, dan dia pandai pula menjauhkan para pria dari dirinya!
Dan karenanya mereka banyak pula bergunjing tentang dia…

LAKI-LAKI PERTAMA : Dia betul-betul seorang ‘dara’ maksudku dia masih


perawan.
Ini sungguh-sungguh apa yang biasa kaunamakan suatu ‘histoire scandaleuse’!

LAKI-LAKI KEDUA : Kapten Fukaksa sangat tergila-gila kepadanya. Adakah kalian


melihat betapa pucat dan kurusnya dia? Seolah-olah dia tidak pernah makan apa-apa.

LAKI-LAKI KETIGA : Sehari-harian dia tidak berbuat lain kecuali menulis sajak-
sajak
untuk Komachi, dan tugas-tugasnya sebagai perwira sama sekali dilalaikan.
Justeru suatu hal yang aneh bahwa, para perwira pengawal lainnya masih mau
bergaul dengan dia!

LAKI-LAKI PERTAMA : Apakah salah satu dari kita masih mungkin mendapat
kesempatan menurut pendapatmu?

LAKI-LAKI KEDUA : Haha! Yang kucapai tidak mungkin lebih jauh dari suatu
‘espoir’,
aku Cuma bisa berharap.

LAKI-LAKI KETIGA : Tidak, mengenai hal itu aku tidak punya pengharapan lebih
besar daripada ‘une sardino’.

LAKI-LAKIPERTAMA : Ya, aku akan lebih cepat sampai di dalam kaleng atau
jarring,
daripada di tempat tidurnya… Dan begitu pula keadaannya dengan aku. Ah! Yang
paling menjengkelkan dari ikat pinggang Eropah dia selalu menjadi terlalu sempit
setelah makan. (Dua orang PELAYAN muncul. Yang seorang menghidangkan sebuah
baki
dengan cocktail, yang seorang lagi menghidangkan sebuah baki dengan hors
d’oeuvres.
SEMUA ORANG mengambil hidangan. Hanya PENYAIR itu memandang seperti
terpukau
kepada PEREMPUAN TUA. KETIGA ORANG PEREMPUAN itu, sambil
memegang sebuah gelas
di tangannya masing-masing, duduk di atas sebuah bangku yang terletak berhadapan
denganbangku PARA LAKI-LAKI itu)

PEREMPUAN TUA : Aku mendengar bunyi gemercik air di suatu tempat, tetapi aku
tidak melihat apa-apa. Aneh rasanya seperti sedang hujan nun di kejauhan.
LAKI-LAKI PERTAMA : Suaranya merdu sekali! Begitu jernih laksana gemercik
mata
air.

PEREMPUAN PERTAMA : Kalau mendengar dia berbicara kedengarannya seperti


sedng
membacakan sajak-sajak.

PEREMPUAN TUA : Mereka sekarang sedang berdansa! Bayang-bayang mereka


berlintasan sepanjang kaca-kaca jendela dan malam menjadi terang dan gelap.
Bagaikan api yang sedang meruak dan padam.

LAKI-LAKI KEDUA : Tidakkah kau sependapat bahwa suaranya mengandung


gairah?
Suara yang menghujam dalam ke dalam hatimu?

PEREMPUAN KEDUA : Aku seorang perempuan, tetapi aku menggigil kedinginan


kalau
aku mendengar suaranya.

PEREMPUAN TUA : Wahai! Kau dengar lonceng-lonceng itu? Kau dengar roda-
roda itu,
derap kuku-kuku kuda itu? … kereta siapakah gerangan? Aku masih belum melihat
orang dari kalangan istana. Lonceng itu kedengarannya seperti lonceng kereta
Kaisar. Amboi, alangkah pengapnya di sini, bau itu…

LAKI-LAKI KETIGA : Komachi membuat semua perempuan lain di sekitar dirinya


menjadi pucat.

PEREMPUAN KETIGA : Tetapi itu keji sekali. Dia tak tanggung-tanggung mencuri
warna tas tanganku! (Musik mengumandangkan lagu wals baru. SEMUA ORANG
menyimpan
kembali gelas masing-masing di atas baki PELAYAN dan mereka mulai berdansa
lagi.
PEREMPUAN TUA dan PENYAIR itu masih tetap berdiri dengan sikap yang sama)

PENYAIR : Semua betul-betul ajaib…

PEREMPUAN TUA : Apanya yang ajaib?

PENYAIR : Entahlah … Aku …

PEREMPUAN TUA : Jangan kau katakana! Jangan kau coba mencari kata-kata! Aku
tahu
apa yang mau kaukatakan…

PENYAIR : Kau.. kau begitu…

PEREMPUAN TUA : Begitu… cantik! Bukankah itu yang mau kaukatakan? Jangan
kau
katakana! Barangsiapa mengatakannya umurnya tidak akan panjang lagi. Aku
peringatkan!

PENYAIR : Tetapi…

PEREMPUAN TUA : Kalau kau masih saying kepada hidupmu… diamlah!

PENYAIR : Tidak. Ini betul-betul terlalu aneh! Kita tidak bisa memberi nama lain
kecuali keajaiban!

PEREMPUAN TUA : Betul begitu? Apakah yang semacam itu sekarang disebut
keajaiban?
Padahal itu merupakan suatu yang paling biasa di dunia.

PENYAIR : Tetapi kerut-kerut itu…

PEREMPUAN TUA : Apa? Adakah kerut-kerut pada mukaku?

PENYAIR : Tetapi memang itu yang mau kukatakan barusan! Sekarang aku tidak
melihat kerut-kerut lagi pada mukamu.

PEREMPUAN TUA : Tentu saja tidak! Mana mungkin pula seorang laki-laki selama
sertus malam bisa memuja tukang tenung yang keriput?... Jangan lagi kita bicara
tentang hal itu. Mari kita berdansa. (Mereka berdansa bersama-sama. PELAYAN-
PELAYAN
itu pergi. Satu PASANGAN KE EMPAT muncul. Kemudian KEEMPAT
PASANGAN itu duduk di
atas kursi, sambil berbisik-bisik mesra)

PEREMPUAN TUA : Kau letih?

PENYAIR : Tidak.

PEREMPUAN TUA : Kau kelihatan payah sekali.

PENYAIR : Aku selalu kelihatan begitu.

PEREMPUAN TUA : Apakah itu suatu jawaban?

PENYAIR : Sekarang adalah malam keseratus.

PEREMPUAN TUA : Namun…

PENYAIR : Apa yang mau kaukatakan…

PEREMPUAN TUA : Mengapa mukamu tiba-tiba berubah? Ada apa?

PENYAIR : Tidak ada apa-apa. Aku merasa sedikit pusing.

PEREMPUAN TUA : Bagaimana kalau kita masuk?


PENYAIR : Jangan. Aku lebih senang tinggal di sini. Di dalam sana terlalu rebut
untukku.

PEREMPUAN TUA : Musik telah berhenti. Alangkah sunyinya tiba-tiba.

PENYAIR : Ya, yang masih tinggal sekarang haya kesunyian.

PEREMPUAN TUA : Apa yang kau fikirkan?

PENYAIR : Tidak ada. Tetapi mungkin juga ada. Aku punya firasat yang aneh
barusan. Firasatku berkata, seolah-olah kita berdua sekarang harus berpisah,
untuk kemudian kita baru bertemu lagi setelah seratus tahun yang akan datang,
mungkin sedikit kurang dari satu abad.

PEREMPUAN TUA : Kalau begitu kita harus bertemu lagi di mana? Di kuburan
barangkali? Atau di neraka? Aku kira itulah yang paling masuk akal.

PENYAIR : Tunggu! Ada sesuatu yang tiba-tiba muncul dibenakku!... Sebentar!


Rasanya tempatnya ama seperti di sini. Aku akan melihatmu kembali di tempat yang
sama seperti ini.

PEREMPUAN TUA : Sebuah taman…, lentera-lentera gas, bangku-bangku,


pasangan-pasangan
yang sedang jatuh cinta…

PENYAIR : Ya, segala akan sama pula. Hanya satu hal saja yang ingin kuketahui…
kau dan aku akan bagaimana kelihatannya kelak.

PEREMPUAN TUA : Aku tidak percaya bahwa aku akan jadi bertambah tua lagi.

PENYAIR : Boleh jadi akulah yang tidak akan jadi tua.

PEREMPUAN TUA : Delapan puluh tahun setelah hari ini… Niscaya di dunia ini
sudah
banyak yang akan berubah bukan?

PENYAIR : Hanya yang dibuat oleh manusia yang akan berubah… Sebuah mawar
akan
tetap sebuah mawar juga delapan puluh tahun yang akan datang.

PEREMPUAN TUA : Aku ingin sekali tahu, apakah di Tokio nanti masih akan ada
kebun-kebun sunyi seperti ini.

PENYAIR : Rumput dan rumput liar akan menyelimuti semua kebun yang ada…

PEREMPUAN TUA : Tetapi burung-burung akan merasa betah di situ.

PENYAIR : Seluruh sinar bulan di dunia akan memancar di atas kebun-kebun itu.
PEREMPUAN TUA : Dan kalau kau naik ke atas sebuah bangku dan kemudian kau
memandang ke sekitar, maka kau akan melihat semua lampu di kota, dan ketika itu
akan terasa olehmu seolah-olah kau sedang memandang semua lampu di dunia.

PENYAIR : Kata-kata apa yang akan kita ucapkan, kalau kita bertemu lagi seratus
tahun yang akan datang?

PEREMPUAN TUA : Menurut hematku, kira-kira seperti: Sayang sekali kita tak
pernah saling berhubungan!

PENYAIR : Apakah kau benar-benar akan menepati janjimu?

PEREMPUAN TUA : Janjiku?

PENYAIR : Ya, janji malam kesertus itu.

PEREMPUAN TUA : Apakah kau meragukannya? Setelah segala apa yang pernah
kukatakan paamu

PENYAIR : Ya, malam ini keinginanku pasti akan terpenuhi. NAmun alangkah
anehnya
peraaan ini. Begitu menawarkan hati. Seolah-olah di tanganmu kau tiba-tiba
memunyai sesuatu, yang sudah lama, sudah lama sekali kau inginkan.

PEREMPUAN TUA : Aku kira, untuk seorang laki-laki perasaan semacam itu
mengerikan mestinya.

PENYAIR : Perwujudan mimpi-mimpiku… dan barangkali akan datang pula harinya


di
mana aku pun akan merasa jemu terhadapmu! Tetapi kalau seorang laki-laki juga
bisa merasa jemu terhadap orang semacam kau, kehidupan sesudah mati itu niscaya
bukan main mengerikannya! Dan betapa tak tertanggungkan hari-hari dan bulan-bulan
yang tak berakhir itu sampai aku mati! Suatu kejemuan yang abadi!

PEREMPUAN TUA : Hentikanlah !... Diamlah!.

PENYAIR : Tidak mungkin.

PEREMPUAN TUA : Ini sudah terlalu gila sekarang. Mengapa kau harus memaksa
dirimu untuk meneruskan sesuatu yang sebenarnya sama sekali tidak kauinginkan?

PENYAIR : Siapa yang bisa mengatakan bahwa aku tidak menginginkan? Aku
merasa
sangat bahagia! Aku merasa, seolah-olah aku sertamerta akan bisa terbang ke
langit, - namun sekaligus dengan itu aku pun merasa bukan kepalang sedihnya.

PEREMPUAN TUA : Engkau terlalu bernafsu.

PENYAIR : Apakah kau betul-betul tidak akan berbuat sesuatu, kalau sudah mulai
menjemukanku?
PEREMPUAN TUA : Aku sama sekali tidak akan mengacuhkannya. Dalam hal itu
akan
segera ada laki-laki lain yang akan mendambkanku selama seratus malam. Keadaan
semacam itu tidak akan membuatku jemu.

PENYAIR : Aku tidak akan peduli, kalau sekarang aku harus segera mati.
Kesempatan seperti ini hanya sekali saja dialami manusia selama hidupnya… Bagiku
peristiwa itu akan kualami malam ini.

PEREMPUAN TUA : Jangan kau mulai lagi beromong-kosong!

PENYAIR : Malam ini atau tidak sama sekali! Tubuhku menggigil, kalau aku
teringat bahwa aku harus melampaui malam ini seperti dahulu. Dengan perempuan-
perempuan
lain. Yang kugauli. Fikiran akan hal itu tidak bisa kutanggungkan!

PEREMPUAN TUA : Tetapi seseorang hidup tidak hanya untuk mati!

PENYAIR : Siapa yang akan mengatakannya? Boleh jadi manusia mati untuk hidup.

PEREMPUAN TUA : Itu Cuma cara mengucapkan semata. Cara mengucapkan yang
teramat
konyol!

PENYAIR : Tolonglah aku. Menurutmu, apa yang harus kulakukan?

PEREMPUAN TUA : Pergilah! Itulah satu-satunya yang bisa kaulakukan.

PENYAIR : Tidak, dengarlah! Beberapa jam lagi bahkan mungkin beberapa menit
lagi
akan datang saatnya yang tiada akan menjadi ada duanya lagi di dunia ini. Di
tengah malam matahari akan terbit. Sebuah kapal dengan layer terkembang penuh
akan mengarungi jalan-jalan. Sejak masa kanak-kanak aku telah bermimpi akan hal
itu. Entah mengapa. Sebuah kapal layar raksasa menderu di tengah-tengah kebun,
pecahan ombaknya gemuruh di antara daun-daun pepohonan, dan di atas segala
gemuruh kapal itu bertengger burung-burung kecil… Dalam mimpi itu aku merasa
begitu bahagia sehingga jatungku berhenti berdetak.

PEREMPUAN TUA : Rupanya engkau terlalu banyak minum!

PENYAIR : Kau tidak percaya? Malam ini juga, beberapa menit lagi sesuatu yang
mustahil akan terjadi.

PEREMPUAN TUA : Hal-hal yang mustahil tidak akan terjadi!

PENYAIR : Aneh… Mukamu…

PEREMPUAN TUA : Beberapa perkataan lagi dan dia harus mati. Aneh sekali?
Mukaku?
Lihatlah! Lihat betapa jelek mukaku jadinya dengan segala kerut itu! Datanglah
lebih dekat, bukalah matamu!

PENYAIR : Kerut-kerut? Kerut-kerut apa?

PEREMPUAN TUA : Lihatlah! Pakaian compang-camping! Baunya busuk! Penuh


dengan
kutu. Dan lihatlah tanganku, betapa menggigilnya tangan itu! Dan betapa panjang
dan kotornya kukuku! Tidak!

PENYAIR : Bau wangi semerbak dari tubuhmu! Warna kukumu bagai putik-putik
seruni!

PEREMPUAN TUA : Dan ini, lihat buah dadaku! Warnanya coklat dan mongering!
Buah
dada seorang perempuan tidak boleh nampak seerti itu! Rabalah! Raba! Hampa dan
layu!

PENYAIR : Alangkah nikmatnya tubuhmu!

PEREMPUAN TUA : Umurku sembilan puluh sembilan tahun! Bangunlah!


Nyalangkan
matamu! Perhatikan aku baik-baik!

PENYAIR : Akhirnya! Akhirnya aku teringat…

PEREMPUAN TUA : Kau ingat?

PENYAIR : Ya,… begitulah. Engkau dulu seorang perempuan tua berumur sembilan
puluh sembilan tahun! Kepalamu penuh kerut-kerut. Matamu berair dan pakaianmu
bau busuk.

PEREMPUAN TUA : Dulu? Tidakkah kau lihat, bahwa aku masih tetap betina tua?

PENYAIR : Aneh! … Matamu sejuk jernih bagaikan mata gadis dua puluh tahun dan
bau wangi yang mempesona terpancar dari pakaianmu. Engkau menjadi muda lagi!

PEREMPUAN TUA : Jangan katakana! Bukankah ku telah memperingatkanmu?


Tidak
tahukah kau apa yang akan terjadi kalau kau mengatakan aku cantik?

PENYAIR : Kalau aku berpendapat bahwa sesuatu cantik, maka aku harus
mengatakannya, sekalipun aku harus mati karenanya.

PEREMPUAN TUA : Gila! Demi Tuhan, janganlah kau berkata lagi! Aku mohon!
Katakan
saja yang lainnya! Bagaimana terusnya, dengan saat yang baru aja kau katakana
tadi.

PENYAIR : Baiklah! Aku akan mengatakannya.


PEREMPUAN TUA : Jangan, jangan, jangan kau lakukan hal itu!

PENYAIR : Saatnya telah tiba! Saat yang sudah kutunggu selama sembilan puluh
sembilan malam, sembilan puluh sembilan tahun yang berkepanjangan.

PEREMPUAN TUA : Matamu menyala-nyala! Jangan kau lakukan! Janganlah kau


mengatakan. Aku mohon!

PENYAIR : Aku harus mengataknnya padamu, Komachi! Engkau cantik! Engkau


perempuan paling cantik di dunia. Dan kecantikanmu tidak akan memudar, sekalipun
sudah seribu tahun.

PEREMPUAN TUA : Jangan katakan! Jangan katakan! Engkau pasti akan menyeal!

PENYAIR : Aku tidak akan menyesal!

PEREMPUAN TUA : Kau gila! Aku melihat tanda kematian telah tercoreng di atas
keningmu.

PENYAIR : Aku tidak mau mati!

PEREMPUAN TUA : Aku telah melakukan segala apa yang aku bisa untuk
melindungimu.

PENYAIR : Kedua tangan dan kakiku telah menjadi dingin… Aku tahu pasti, seratus
tahun lagi kita akan bertemu kembali di sini, di tempat yang sama.

PEREMPUAN TUA : Lagi-lagi menunggu seratus tahun! (Penyair itu jatuh ke tanah
dan meninggal. TIRAI-TIRAI HITAM DI LATAR-BELAKANG serentak bergeser.
PEREMPUAN
TUA itu duduk di atas bangku dan memandang nanap ke depan. Sesudah itu dia mulai
lagi memilih-milih puntung-puntung rokoknya. Selagi dia sibuk dengan itu,
seorang AGEN POLISI muncul. Dia membungkuk di atas mayat penyair itu)

AGEN POLISI : Mabuk. Bedebah… pemabuk-pemabuk! Ayo bangun! Di rumah


binimu
sedang menunggu. Lekas pulang sehingga dia bisa membaringkanmu di atas
sarangnya…
atau mungkinkah dia mati? … Persetan, dia mati! Hai, Mak tua… adakah kau
melihatnya jatuh? Kau melihatnya tadi?

PEREMPUAN TUA : (Menengadah sejenak) Dia terjatuh beberapa waktu yang lalu.

AGEN POLISI : Dia masih hangat.

PEREMPUAN TUA : Itu berarti dia baru saja meninggal.

AGEN POLISI : Ya, aku memang pintar sekali! Aku bertanya kepadamu apakah kau
melihatnya ketika dia jatuh. Jam berapa ketika kau datang ke mari?
PEREMPUAN TUA : Kira-kira setengah jam yang lalu. Dia sudah mabuk dan mulai
gatal tangannya.

AGEN POLISI : Gatal tangannya? Terhadapmu? Jangan melucu!

PEREMPUAN TUA : (Merasa terhina) Apakah itu begitu aneh! Itu Seuatu yang
sangat
wajar!

AGEN POLISI : Oh, kuharap saja kau mampu melindungi dirimu!

PEREMPUAN TUA : Ah, aku tidak apa-apa. Dia Cuma agak menggangu. Untuk
beberapa
saat dia merengek-rengek padaku, dan sesudah itu dia tiba-tiba jatuh,
terjerembab. Aku kira dia telah jatuh tertidur.

AGEN POLISI : Hai! Kalian di sana! Tidak tahukah kalian bahwa di taman ini
kalian tidak boleh tidur? Di sini bukan tempat penampungan orang-orang tak
berumah! Ke sini! Aku perlu beberapa laki-laki untuk membantuku. (DUA ORANG
itu
mengangkat PENYAIR dan menggotongnya pergi dari situ)

PEREMPUAN TUA : (Membungkuk lagi di atas puntung-puntung rokoknya dan


dengan
seksama memilih-milih puntung-puntung rokok itu) Satu ditambah satu, dua… dua
ditambah dua, empat. Satu ditambah satu, dua dan dua ditambah dua, empat….

LAYAR

Diposkan oleh s.jai di 19:29 0 komentar

surat terbuka

Surat Kawan Kepada Para Pengarang


Oleh S.Jai

KAWAN,
Bersiaplah bagi kita, pengarang untuk menggali kuburan sendiri! Lebih dari itu,
nikmati kepedihan menyaksikan karya terbaik bakal menemui ajal karena dibakar di
tungku api!
Pesan ini bukan cuma icapan jempol, bila Rancangan Undang-Undang Tentang
Pornografi lolos diundangkan. Bukan berlebihan bila keadaan luar biasa
mengerikan ini, sebanding dengan saat gaya absurditas novel dan drama berjaya di
Perancis berkat pemantik tragedi perang dunia kedua.
Saat itu filsuf Jean Paul Sartre melempar konsepsi filsafat eksistensialis yang
gemilang, kendati justru dalam lapangan sastra ia tak sebaik penganut-penganutnya:
Albert Camus, Samuel Beckett, Eugene Ionesco, Friedrich Nietzsche. Mereka
melalui karya-karyanya adalah manusia yang menyerupai nabi yang berjuang
membebaskan umat dari gurita zaman modern.
Mereka sastrawan yang mengkritik puncak-puncak nalar yang diboncengi cemburu,
ambisi, serakah, dan berbuah sikap metafisik atau sikap jiwa, yang nampaknya
samar tetapi jelas, jauh tetapi dekat. Suatu sikap yang dalam pandangan mereka
sebetulnya sama sekali sia-sia, tapi perlu meski tak harus berarti penting.
Bahkan hingga paling tersia (pesimis maupun optimis). Bagi mereka yang penting
adalah hidup “indah” menyongsong kematian.
Kehidupan rutin dan mekanis, kebosanan, keterasingan, kecemasan, dari banyak
segi inhuman di dalam diri manusia, tergambar jelas dalam sederet karya,
Caligula, Sampar (Camus), The Waiting for Godot, Endgame (Beckett), Zarathustra
(Nietzsche) dan masih bisa ditambah deretan karya yang boleh dibilang kitabnya
nabi senjakala modern.

Wahai Kawan,
Absurditas adalah gaya hidup untuk “menghibur diri dan bermain dalam tingkat
keseriusan ludic,” dalam kurungan hukum mitos sisiphus mendorong batu besar ke
atas bukit sebelum akhirnya menggelinding lagi ke bawah lembah. Atau sang Dajjal
yang menggergaji besi api neraka, tapi suara adzan mengutuhkannya lagi dari
gigitan gigi gergaji. Kaum penganut absurditas percaya tragedi besar manusia
adalah sadar dirinya sia-sia. Kesadaran menggerakkan eksistensinya, sebergairah
jabang bayi sejak saat kali pertama menyusuri bukit payudara ibu.
Lantas, adakah di masa kini tragedi lebih besar tengah terjadi, setelah setengah
abad lebih absurditas hidup dengan nafas senin-kemis? Jawabnya ada, bahkan luar
biasa banyak jumlahnya. Di negeri yang tanggung menyebut modern ini, bahkan
bukan mustahil bakal mengalami tragedi yang luar biasa dahsyat bagi kemanusiaan
zaman pascamodern, post kolonial, atau posttradisi.Yaitu, bila kelak RUU
Pornografi dan Pornoaksi diberlakukan. Yaitu tragedi yang terbesar dialami hamba-
hamba
kebudayaan, seniman, penyair, pengarang, penari dan perawat tradisi-tradisi
adiluhung. Karena tidak hanya tubuhnya yang terancam tapi juga kebebasannya,
karyanya. Mereka dalam kondisi ketakutan yang mencekam tapi spirit hidupnya
menggeram.
Musti diakui, karya seni, juga sastra, novel, puisi, drama, tari yang
menakjubkan keindahannya tak harus ada seks, bahkan sonder seksualitas. Akan
tetapi hampir bisa dipastikan, setiap karya besar yang berbobot bagi kemanusiaan
senantiasa mengandung erotisme (bukan seksualitas), semacam kegairahan pada
cinta dan hidup, saling mengutuhkan, saling memasuki ruh makluk hidup yang
“terhalang”
batasan tubuh.

Kawan-Kawan,
Namun, RUU Pornografi telah terang-terangan mengamputasi bagian “tubuh”
seniman
dari keutuhannya, kebebasannya, kegairahannya untuk mengutuhkan diri dalam karya
seni. RUU Pornografi akan memproduksi orang-orang menjadi kerdil dan cacat
“tubuh”
dan jiwa. Bagi mereka yang melawan atas dasar spirit neo-absurditas sudah pasti
akan ditebas, dijebloskan tahanan dan karya-karya mereka diberangus.
Erotisme bisa hadir dimana saja, di setiap karya seni yang mengekplorasi
keindahan. Gairah Api Cinta! Birahikan Dunia! Lalu siapa yang tiba-tiba berani
dengan traktat RUU Pornografi menjadi hakim bahwa setiap yang erotisme adalah
pornografi atau pornoaksi. Bagi anda penyair yang menulis sajak cinta, atau
pengarang yang terlalu bergairah ngotot tak sudi menyiapkan kuburan sendiri,
terang bakal ditimbun tanpa ampun.
Cermati, pasal krusial ini: Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat
oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi,
gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk
pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau
pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau
melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat (pasal 1 ayat 1).
Artinya, tidak ada yang bisa dilakukan seniman terhadap erotisme dan tentu saja
tubuh dalam karya terbaik mereka. Sebuah kemustahilan. Apalagi, bagi RUU
Pornografi ada semacam manifesto bahwa pornografi adalah buku, syair lagu, puisi,
gambar, film, foto. Bahwa pornografi adalah saat pikiran hati dan perasaan
meloncat dari ruang pasung. Bahkan biang pornografi dan pornoaksi adalah tubuh
perempuan di depan mata jalang penguasa laki-laki.
Dengan kata lain, ini adalah kebiadaban. Dalam bahasa Einstein mungkin lebih
santun, “Tidak ada kebodohan paling konyol selain mengulang-ulang kesalahan yang
serupa.” Pemasungan imajinasi, interpretasi, persepsi, intuisi, juga pembakaran
buku, pembabatan seniman telah terjadi sejak zaman bahuela. Di sini tak lama
lagi masih akan terjadi. Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil
perampasan (pasal 29 ayat 1)
Ada kalanya, terbayang dalam keadaan suram bukan mustahil muncul karya-karya
seni magnumopus, masterpeace. Namun rupanya sekalipun ada neo-absurditas sangat
sulit hal itu lahir di bawah cekam kerangkeng RUU Pornografi. Absurditas akan
sangat sulit dimaknai, disemangati lagi karena kesia-siaan hidup itu justru ada
di tangan algojo “tuhan“ bernama polisi dan undang-undang. Bukan malaikat
pencabut nyawa Izroil atas perintah Tuhan. Sebuah kesia-siaan yang berlipat
ganda dari keadaan sebenarnya (manusia menjarah wewenang Tuhan). Pilihannya
hanya ada dua “bunuh diri“ atau “dibunuh“. Atau barangkali bukan diantara
keduanya?
Kalau pun ada diantara keduanya, kiranya hanyalah cinta—pada hidup. Semacam
“kecintaan”
pada diri. Sepanjang yakin akan kodratnya, takdirnya, duduk perkaranya, perannya,
misterinya, perkembangan kembara alam pikirannya, bacaan mutakhirnya, lalu hantu
teror semisal RUU Pornografi tadi. Cintalah, yang sanggup menggerakkan
kepengarangan sepanjang masa dalam kondisi apapun.

Wahai, Kawanku, Sahabatku,


Menjadi pengarang, adalah suatu upaya menjaga diri agar tak kehilangan hak milik
sebagai manusia. Semacam cinta yang sesungguhnya, cinta yang berpuasa, cinta
yang menahan diri agar terhindar dari kesepian, kecemasan, apalagi kehilangan.
Cinta yang tidak takut pada jarak, waktu dan tentu saja ruang. Cinta yang bisa
mendengar dan merasakan jerit tangis, luka, bahagia, sampai dasar relung yang
terdalam manusia. Cinta yang sulit diterjemahkan, disingkapkan dengan kata-kata
karena kata tak sanggup menampung kandungan isinya.
Pengarang adalah seorang yang membabtiskan kata itu seperti manusia, juga
seperti partikel, seperti gelombang abstrak. Sebab itu meskipun ia tahu begitu
banyak, jutaan kata-kata, miliaran buku-buku, seperti juga manusia ia tahu
bagaimana harus hidup, menyela dan menyusun pikiran besar. Ia pun tahu, perlu
kerendahatian untuk berjanji—betapa pengarang tak akan tinggal diam saat
menjumpai kenyataan seperti sekarang: Kata sudah demikian kejam menghabisi
manusia. Akibatnya, kematian terjadi dimana-mana. Kecuali bagi siapa saja yang
berani, bersih dan jujur.
Jadi satu-satunya amanah pengarang terletak pada kemuliaan dan kewajibannya
untuk mengingatkan bahwa menghidupkan kata pada karya itu, sama halnya kreasi
Tuhan meniupkan ruh hidup manusia seutuh-utuhnya di semesta. Inilah erotisme.
Maafkan, bukan bermaksud menggambarkan kerja Tuhan dalam wujud manusia.[]

*) Penulis adalah pengarang, sutradara dan pimpinan Komunitas Teater Keluarga.


Kini bekerja sebagai peneliti dan anggota tim advokasi pada Center for Religious
and Community Studies (CeRCS) Surabaya

Diposkan oleh s.jai di 02:41 0 komentar

kliping

KEMISKINAN DAN GURITA ROKOK

SURYA Monday, 13 October 2008


Jawa Timur sebagai penerima terbesar Dana Bagi Hasil (DBH) cukai hasil tembakau,
mungkin bukan rahasia. Tapi Jawa Timur juga gudang angka kemiskinan mungkin
banyak yang tidak percaya. Bagi pembaca awam dua-duanya bisa dipertukarkan, atau
diputarbalikkan. Antara yang bukan rahasia dan yang tidak percaya. Itu sekadar
gambaran saja.

TAHUN ini, sesuai penyampaian Menteri Keuangan, Jawa Timur memperoleh Dana
Bagi
Hasil (Dana Alokasi Cukai Hasil Tembakau) sebesar Rp 135,849 miliar dari seluruh
dana Rp 200 miliar teruntuk lima daerah di negeri ini. Sebagaimana
dipersyaratkan UU No 39 tahun 2007 pasal 66A (1) bahwa bagian hasil cukai dan
hasil tembakau untuk ongkos lima jenis kegiatan: peningkatan kualitas bahan baku,
pembinaan industri rokok, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di
bidang cukai, dan pemberangusan cukai palsu.

Besarannya, 30 persen diberikan kepada pemerintah provinsi, 40 persen kepada


daerah penghasil, dan sisanya 30 persen dibagikan kepada seluruh kabupaten atau
kota (pasal 66A 4) yang ada di Jawa Timur yang tentu saja bukan daerah penghasil.
Tentu saja angka itu di luar dari Dana Alokasi Umum (DAU) yang tiap tahun
diterima daerah juga terlepas dari upeti cukai daerah-daerah yang angkanya
mencapai Rp 43,8 triliun pada tahun 2007.

Tapi benarkah, angka-angka itu kemudian terlepas dari masalah-masalah kesehatan


dan kemiskinan? Kita bisa menguraikan dengan logika yang sederhana dan dengan
sedikit data. Saat ini, orang miskin boleh berbangga karena ternyata penyumbang
cukai rokok terbesar adalah mereka yang disebut Rumah Tangga Miskin (RTM)
mencapai 73,8 persen. Dapat diartikan sebagian besar rumah tangga miskin
mengalokasikan penghasilannya untuk membeli rokok.

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2003-2005 menyebutkan, bahwa konsumsi


rumah
tangga miskin untuk tembakau di baris kedua (12,43 persen), setelah konsumsi
padi-padian (19,30 persen). RTM lebih senang membelanjakan penghasilannya untuk
membeli rokok daripada untuk membeli daging atau susu. Di beberapa keluarga yang
anaknya mengalami gisi buruk, sebagian besar orangtuanya adalah perokok.

Menurut survei Indonesia Forum on Parlianmentarians for Population and


Development (IFPPD), dari 19 juta keluarga miskin di Indonesia 12 juta ayah dari
keluarga miskin ini adalah perokok. Jika sehari rata-rata 10 batang rokok
dihisap maka mereka telah membelanjakan Rp 23 triliun pertahunnya untuk rokok.

Seharusnya, orang miskin tak selamanya berbangga melihat kenyataan seperti ini.
Orang miskin memasok uang ke negara tapi justru makin membuatnya miskin karena
tak bisa menutup alias tak sebanding biaya kesehatan yang ditanggung warga dan
pemerintah.

Bukan Orang Miskin


Pemerintah daerah seyogyanya segera bersiap diri merespons upaya pusat. Dari
keterangan Ketua Pansus RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Harry
Azhar
Aziz, memungkinkan kelak dipetakan kembali gurita rokok sejak dari konsumen,
pengecer, pabrik dan pemerintah sebagai penerima cukai.

Bila mulus, RUU PDRD yang kini digodok dana prosentase 2 persen DBH bisa
mencapai 25 persen dari nominal total cukai yang dihasilkan daerah. Suatu hal
yang bukan mustahil terjadi dalam waktu dekat. Terang saja, ini angin segar bagi
pengaturan dan pembatasan rokok, meski langsung terkait cukai. Poin pentingnya,
tak lain salah satunya karena rendahnya cukai rokok.

Memang sudah seharusnya, sebagai salah satu konsumen dan produsen rokok terbesar
di dunia, pengaturan terhadap penjualan rokok di negeri ini diperketat.
Perlindungan terhadap perokok pasif dan mereka yang berpotensi merokok
seharusnya menjadi perhatian yang lebih serius dari pemerintah, sekalipun nyata-
nyata
hingga saat ini Indonesia satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum
meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FTCT).

Tampaknya, pemerintah sangat sadar bakal menuai habis-habisan konsekuensi dari


“hukum
internasional” rokok--terkait industri rokok, cukai rokok, pembatasan iklan,
promosi, sponsor rokok, distribusi ilegal dansebagainya. Hampir pasti,
pemerintah setidaknya terlihat menebar ketidakpesonaannya karena tidak mampu
melakukan itu semua. Apalagi, mumpung masih banyak yang sudi, bersedia sadar
maupun tidak untuk dikorbankan yaitu orang miskin dan perokok.

Boleh jadi kini yang muncul adalah jalan tengah, kompromi dan tetek mbengek
usaha ketimbang tidak sama sekali. Salah satunya RUU PDRD. Ada dua opsi yang
dilempar Ketua Pansus RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Harry
Azhar
Aziz, pertama daerah diberi kewenangan menaikkan 25 persen cukai rokok atau yang
kedua, mendongkrak pajak melalui kenaikan harga di tingkat pengecer, pedagang,
toko atau supermarket dengan prosentase yang sama.

Harus diakui, rendahnya cukai rokok di Indonesia dan ditunjang murahnya biaya
produksi menyebabkan harga rokok yang sangat murah. Ketika harga rokok bisa
terjangkau oleh semua kalangan termasuk yang paling miskinpun, maka jumlah
perokok akan sangat besar begitu pula jumlah penderita penyakit yang disebabkan
oleh rokok.

S Jai
Penulis adalah pengarang, anggota tim advokasi pada Center for Religious and
Community Studies (CRCS) Surabaya

Gairah Api Cinta

BERCINTA adalah upaya menjaga diri, memahami diri agar tak kehilangan hak milik
sebagai manusia. Dengan cinta yang sesungguhnya, cinta yang berpuasa, cinta yang
menahan diri agar terhindar dari kesepian,kecemasan, dengan cinta yang bisa
mendengar dan merasakan jerit tangis, luka, bahagia, cinta yang sulit
diterjemahkan, disingkap dengan kata-kata karena tak kuasa menampung kandungan
isinya, juga cinta yang tak bisa menemukan titik paling subtil dalam kata.

Mengenai Saya

s.jai

Lahir di Kediri, 4 Pebruari 1972. Menurut Penanggalan Islam-Jawa, mustinya ia


tercatat lahir pada Ahad Kliwon (4 Pebruari 1973) di dekat lereng gunung Kelud.
Tahun 1991 ke Surabaya untuk memperdalam sastra dan budaya tujuh tahun lamanya.
Tujuh tahun pula bergaul dengan komunitas seniman Bengkel Muda Surabaya,
Kelompok Seni Rupa Bermain, Novel pertamanya Tanah Api diterbitkan LkiS
Yogyakarta 2005. Sebelumnya novel Tak Sempat Dikubur dimuat bersambung di
harian
sore Surabaya Post dari Pebruari hingga Mei 2004.

Anda mungkin juga menyukai