Anda di halaman 1dari 4

RESENSI BUKU

“BURUNG-BURUNG MANYAR”
1. IDENTITAS BUKU
a. Judul : Burung-Burung Manyar
b. Nama Pengarang : Y. B. Mangunwijaya
c. Nama Penerbit : Djambatan
d. Tempat dan Tahun terbit : Jakarta, 2000
e. Cetakan : Kesembilan
f. Tebal dan Ukuran Buku : vi, 262 hlm ; 21 cm
g. ISBN : 979-428-358-4

2. PEMBUKAAN RESENSI
Y. B. Mangunwijaya dengan novelnya Burung-Burung Manyar , yang mendapat Hadiah
South East Asia Write Award 1984, Thailand. Novel ini mencoba melihat revolusi Indonesia
dari segi yang obyektif bahkan agak cenderung melihatnya dari segi Belanda, dengan
memasang protagonist orang Indonesia yang anti Republik.

3. JENIS BUKU
Karya fiksi

4. KEUNGGULAN BUKU
Cerita ini memperlihatkan pengetahuan dan pengalaman yang banyak serta pengetahuan
tentang manusia yanga mendalam. Dengan bahasa yang khas, kata-kata majemuk berkadar
tinggi untuk menampilkan sebanyak mungkin makna. Novel ini mengungkapkan kepalsuan
sekaligus jatidiri dan citra pengungkapan manusia. Bahasanya yang hidup mampu membawa
pembaca kedalam pikiran sang tokoh. Cerita ini membuka lembaran sejarah dengan titik
pandang yang hingga kini jarang ditemukan dalam sastra Indonesia.

5. KELEMAHAN BUKU
Isi buku lebih banyak menceritakan pengalaman yang keras dan kasar.

6. NILAI BUKU
Keberanian pengarang mengisahkan konflik jiwa seorang anti republik semasa revolusi, segi
informasinya tentang kehidupan tentara KNIL dan gaya humor pengarang yang kadang-
kadang terselip ejekan yang penuh kejutan.
7. SINOPSIS BUKU

Perwira di medan perang wajib berhitung dan memperhitungkan. Sama juga dengan
kepala divisi komputer kongsi besar. Bahkan seluruh ada perilaku semesta galaksi jelas eksak,
dan pada prinsipnya dapat dihitung. Tetapi berkali-kali manusia, paling tidak aku, Setadawa,
dihadapkan pada sesuatu X mahadalam yang menyejek halus namun murni. Seperti wajah
wajah hangat tersenyum atau berlinang air-mata, yang bertanya: masihkah kau ingin
menghitung? Panjang-lebar mata kanak-kanak dapat diukur, memang, tetapi pancaran
cerlangnya? Dan bobot makna setetes air-mata? Dengan apa itu mau diukur? Jarak perjalanan
Atik dan suaminya ke Mekah-Medinah dapat diukur pula; juga harga tiketnya berapa. Eksak,
jelas, memuaskan seorang doktor dan bekas komandan perang. Tetapi bagaimana harus ku
nilai berita radio yang mewartakan, bahwa pesawat terbang Martinair yang ditumpangi
Atikku dan Jana, pada suatu dini pagi yang khusus terjamah tangan Tuhan, menabrak bukti di
dekat Kolombo, Sri Lanka sana? Tuhan yang memberi. Tuhan yang mengambil. Terpujilah
sesalu nama-Nya yang Kudus.

Aneh, ketika ku dengar berita radio itu dan kubaca peneguhannya dalam telegram
Departemen Perhubungan, aneh sekali, ia sungguh aku heran sendiri, aku tidak terkejut.
Seolah-olah musibah seperti itu secara terselubung dibawah- sadarku sudah juga
“kuperhitungkan” ; tinggal sekarang terkupas. Bagaimana keterangannya aku tidak tau ;
sesuatu yang mendadak ini mengapa tidak terasa mendadak? Aku tidak berteriak, aku tidak
menangis atau mengeluh aku tidak apa-apa selain diam … ya diam. Barangkali bahkan
tersenyum walaupun tipis tentu. Seolah-olah sudah selayaknya lah bila jalan hidupku selalu
harus melalui ketiktercapaian. Tetapi terlonjak juga sebentuk rasa iri pada Atik, si dia yang
sebenarnya dapat dikatakan selalu berhasil; sampai kematiannya pun sebetulnya bernasib
untung: gugur dalam perjalanan ziarah ke Tuhan ; dalam ulah sikap indah , sukarela
mendampingi suami demi kecintaannya dan demipemenuhan harapan terakhir ayah metro.
Dinalar komputer dingin, kematian fisik dalan kecelakaan pesawat terbang yang begitu dasyat
tidak sangat menderita sakit. Pingsan seketika pasti dan selesailah sudah dalam fraksi detik.
Ketimbang kanker ganas misalnya atau invalid tanpa tangan kaki. Yang menderita yang
ditinggalkannya, ketiga anak mereka. Aku bukan pahlawan, tetapi kali inipun aku tak gentar
menderita karena sedikit banyak aku telah di tempa oleh kepahitan dan kegagalan. Dan juga
karena kenanganku pada atik yang teramat indah. Kenangan dapat berbahaya selaku nostalgia
kosong. Akan tetapi kenangan indah dapat hadir selaku kekuatan yang tiada tara. Lagi,
kenanganku pada atik tidak kosong, sebab dalam si kecil-kecil Teto, patmi, dan kris, Atikku
masih hidup segar. Ah ya, Jana. Ternyata sudah betul. Atik kawin denganmu!” Berhitungnya:
misteri hati dengan hati memang disebrang jangkauan matematika si doctor yang kini dengan
ikhlas mengakui kesalahannya.
Tak banyak lagi yang perlu ku ceritakan. Ada saatnya cerita manusia harus
disinambungkan kedalam perjalanan riwayat yang serba diam … dalam keheningan yang
sebenarnya bahkan serba kebak kepenuhan. Ya, memang hati duda sangat sering merasa sepi
sunyi sendirian. Tetapi untunglah Tuhan Yang Mahapemurah masih sudih memberi kesejukan
bagi siang dan petang kurun hidupku ; atas persetujuan keluarga dan atas permintaan ayah
jana , (tidak lama sesudah peristiwa sedih Kolombo beliau pulang ke Rahmatulla), ketiga anak
atik ku angkat jadi anakku. Hadiah yang terindah dari atik dan suaminya ingin ku jaga dan
kuantar ke hari-depan mereka yang sesuai dengan jati diri dan bahasa citra yang sebening
mungkin. Akhirnya toh hari depan haruss mereka tata sendiri kelak, menurut keyakinan
panggilan hidup mereka masing-masing. Aku hanya ingin memberi bekal kenangan yang
seindah mungkin. Tidak lebih dari itu. Aku dulu anak kolong. Sekarang aku masih juga, tetapi
anak kolong Langit. Jujur kukatakan, masih sering dalam kesepian tawar dan sunyi kering
kedudaanku aku bertanya diri : mengapa jalanku harus melalui ketidaktercapaian ? tetapi bila
aku melihat Si Teto kecil, Padmi terutama Kris, sedikit aku dapat menangkap sasmita kupu-
kupu yang memekar dan terbang hanya untuk sebentar lagi. Bahasa citra kupu-kupu atau
kicauan burung berwarta, bahwa segala dedikasih mereka adalah demi si telur-telur
Sahabat-sahabatku, khususnya Jhon Brindly, tak henti menganjurkan, sebaiknya aku
menhgambil istri lagi,. Ketiga anak-anak itulah yang membutuhkan seorang ibu. Kuakui itu
benar. Tetapi Buantana sudah cukup jasahnya, sebagai nenek sekaligus ibu bagi mereka.
kuakui Hanya untuk sementara memang. Ataukah karena aku masih belum berani
mengorbankan citra terakhr yang paling indah dari sejarah hidupku, citra Atik. ? ingin itu
kutanyakan pada burung-burung manyar. Tetapi sekarang sudah jarang kulihat mereka …
TUGAS BAHASA INDONESIA
MEMBUAT RESENSI
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
Anggota Kelompok: - Elisa Pasomba
- Fidelia Bunga Palipangan
- Helpin Pabaru
- Mashyta Bakkarang
- Melsiana Karangan
- Priadi Limbong

TAHUN AJARAN 2016/2017


SMAN 1 SESEAN

Anda mungkin juga menyukai