Anda di halaman 1dari 74

Kumpulan Cerita

KONSPIRASI
CINTA Sabriansyah Dk. Galigo

“Thank’s to: Mama Sumarni. Ngile, Papa Syamsudin. Intani, dan Adikku Alm. Sri
May Liza.”
Special for: Pihak penerbit.
Sekedar Tentang Cinta
PENGANTAR

Apa yang kalian ketahui tentang cinta? Indah? Bahagia? Atau patah hati?
Menurutku, tak sesederhana itu. Selain anugerah terindah yang dihadiahkan Tuhan
kepada kita, cinta adalah sebuah kekuatan besar yang mampu mendorongmu untuk
melakukan apa saja. Termasuk menulis.
Sebagaimana saya. Hanya untuk mengumpulkan berbagai cerita tentang cinta, berbulan-
bulan, khususnya pada malam hari, saya hanya berkutat antara ruang khayal dan laptop. Dari
beberapa naskah saya yang telah terbit, bisa dibilang naskah buku ini yang paling menyita
banyak waktu. Demi menelurkannya sebagai sebuah karya—moga-moga disenangi para
pembaca—saya harus membaca-menonton cerita-cerita tentang cinta. Karena sudah
seharusnya saya menyesuaikannya dengan momen-momen yang terjadi. Masa-masa jatuh
cinta, saat-saat jatuh oleh cinta, ketika cinta berubah rindu yang panjang, ataupun sebuah
penantian panjang oleh cinta.
Di buku ini kamu akan menemukan cerita cinta yang beragam. Mungkin kamu akan
tertarik ke dalam ceritanya, memosisikan dirimu sebagai seorang yang bahagia, atau
sebaliknya. Mungkin kau akan tersenyum, tertawa, terenyuh, atau bahkan menangis—
sebagaimana cinta yang selalu berkonspirasi. Meski begitu, tulisan ini saya tulis sesederhana
mungkin. Namun tetap kuat.
Jika kalian berkenan, saya ingin berpesan. Untuk cinta yang mesti tumbuh di setiap
pemilik hati, berikanlah juga buku ini kepada orang-orang yang kalian cinta. Entah sebagai
hadiah ulang tahun, kado hari jadi, cindera mata, oleh-oleh untuk sahabat yang sama kalian
cintai, atau orang-orang yang kalian benci sekalipun. Biar mereka mengerti, dengan buku ini
kalian sudah berusaha menunjukkan cinta yang kalian punya terhadapnya.
Satu lagi... tidak peduli kau sedang jatuh atau patah hati, cinta akan tetap bertumbuh.
Maka, selamat merenungi dan menikmati indah-kelamnya cinta dalam jiwa yang
berkonspirasi.
Walau kau jatuh berkali-kali oleh cinta, jangan lupa bangkit kembali untuk mencinta!

Sabriansyah DK. Galigo


DAFTAR ISI

1. Jejak Waktu
2. Kau Dan Kegamanganmu
3. Cinta Yang Semestinya
4. Somewhere A Long The Line
5. Esmeralda Suatu Ketika
6. Casual?
7. Kemuning
8. Keping-Keping Waktu
9. Konspirasi Cinta
10. Cinta 1 Dekade
11. Lilin
12. Mey—2002
13. Perihal Hati
1. JEJAK WAKTU

REVOLUSI kognitif terkadang membuat kita congkak. Lupa?

Jangan tanyakan kepada seekor kupu-kupu bersayap lebar tentang ruang kecil bernama
‘kepompong’. Setelah berevolusi. Setelah banyak tahu tentang udara dan sayap yang
dikepakkan, seekor kupu-kupu telah lupa tentang sebuah proses. Metamorfosis sempurna.
Dunia sebesar ranting kayu berselaput yang pernah ia tinggali bermasa-masa, telah ia lupakan
sepenuhnya. Bagaimana gelapnya lingkaran kecil bernama kepompong. Bagaimana ia bisu
dalam bentuk ulat yang menggelikkan orang-orang. Sampai akhirnya ia sampai pada
pemahamannya tentang terbang, sampai akhirnya ia menjadi makhluk berwarna indah yang
digandrungi beragam makhluk, ia buta akan masa dimana ia harus terguling jatuh ke semak
belukar di bawahnya. Ia lupa pada kelopak bunga yang menjadi tempatnya untuk tidur dan
berlindung. Yang ada, kini ia bertransformasi menjadi sosok yang congkak. Terbang, seakan
dapat menyentuh langit. Puas menyesap tandas saripati bebunga.

Waktu kecil dulu, seekor ayam jantan hanyalah sang penakut yang bersembunyi di ketiak
induknya. Sekarang, bahkan induknya sendiri dipatuknya demi sebiji jagung. Jangankan
untuk berbagi, bahkan dadanya pun telah terbusung. Kokoknya angkuh menantang. Sombong
memperlihatkan keperkasaan.

Begitulah! Setiap masa memiliki jejaknya sendiri. Kisah klasik yang terkadang terlupakan
seiring beranjaknya waktu. Seharusnya, meski tak stagnan, bahkan kembali ke masa yang
lalu, kita harus sadar, bahwa jejak masa lalu adalah guru yang mengajarkan kita tentang
pentingnya mengingat. Ilmu yang kita miliki hari ini, tak akan bisa menjabarkan segalanya
dengan sekali sentuh.

Masihkah kita ingat, apa yang dibisikkan seorang janin dalam rahim kepada ibunya ketika ia
haus, ataupun lapar? Akankah kita masih dapat mereka-reka amisnya darah yang mengalir
melalui selang-selang plasenta?

Bersama waktu yang merangkak maju, kita hanya haus akan kepentingan. Ketenaran. Lupa
akan jejak yang pernah membekas sebelum hilang.
Jejak waktu adalah kognisi yang selalu mengajarkan kita tentang kebenaran. Kelembutan.
Hakikat. Bukan kecongkakan!

❦❦❦
2. KAU DAN KEGAMANGANMU

PATAH tumbuh hilang berganti!

Pujangga lama terlalu pandai bermain kata. Menyembunyikan makna dalam metafora.
Membuat sesuatu yang membingungkan terbaca dengan indah. Sebagaimana dibutuhkan;
banyak pelita hanya untuk padam oleh angin. Seperti; mata yang tertutup namun hati tetap
mendengar. Begitulah perasaan yang diungkapkan dengan cara paling samar. Meski terkesan
kompleks, namun tetap indah untuk didengarkan.

Maka, kau meyakini; semua akan indah pada waktunya!

Sampai saat ini, saat di mana malam menjadi tempat paling mungkin untuk kau menepi dan
berkeluh-kesah. Kau, pun, telah pandai bermain kata. Kau tuliskanlah dalam kertasmu; “tidak
ada kematian yang lebih menakutkan daripada cinta”. Dan Kau tersenyum sendiri ketika
membacanya lagi. Begitulah dirimu yang sekarang. Entitas yang mencoba berbicara dengan
sepi, atau sekedar berbisik pada angin yang mendesau pulang; akulah bintang yang biru di
atas sana. bintang yang berbeda dari milyaran bintang lainnya. Bintang yang selalu merasa
sendiri dari sekian banyaknya bias-bias cahya yang berkerlip-senyum di lengkung malam.

Sama sekali kau tak pernah menyalahkan seekor elang yang terbang congkak di payung awan
hanya karena ia lupa akan cangkang rapuh tempat di mana ia pernah berkontemplasi. Kau tak
mau benci kepada angin yang menggugurkan sejuta bebunga. Kau hanya benci pada dirimu
sendiri. Menyalahkan hatimu yang sampai kini masih menyimpan namanya.

Oleh karena itu, bermainlah dalam benakmu sebuah repetisi. Kisah yang membuatmu pongah
berkali-kali. Membuatmu jatuh pada titik keakuan.

Lalu, sekali lagi kau katakan pada remang dan malam; “Kau adalah bulan yang sendiri, aku
adalah bintang yang sendiri, ada baiknya, kita satu dalam sebuah perjalanan panjang!”
lihatlah, betapa kau hanyut pada probabilitas indah yang kau gambar sesaat dalam pikiranmu.

Namun, seindah apapun kau membayangkannya, pada akhirnya kau harus mafhum pada
keadaanmu. Kau harus sadar, bahwa kau tak lebih dari sepenggal jiwa yang butuh untuk
tergenapi. Kenyataannya, kau tak ebih dari sepotong rusuk dalam kembara panjang demi
menemukan siapa yang telah melepaskanmu dulu sekali. Sehingga, ketika kau sadar akan
realitas, basahlah pipimu oleh air mata. Karena, betapapun kau memaksa, kau dan dirinya tak
akan pernah bisa bersama. Nirwana kalian berbeda, kini. Bukan lagi jalan panjang yang
saling mempertemukan. Terlalu menanjak untuk kau daki. Terlalu jauh membentang untuk
kau seberangi. Pun, kau patah oleh keadaan hati. Tumbuh bersama realitas yang
memedihkan. Hilang dalam malam dan kegamangan. Menunggu hari untuk datang, berganti.

Sekali lagi kau sadar, kau hanyalah pelita yang menunggu padam oleh angin. Tanpa pernah
tahu dengan pasti kapankah keindahan itu tiba pada waktunya.

❦❦❦
3. CINTA YANG SEMESTINYA

Cewek itu meneleng ke kanan, membuat rambut ikal blondenya tergerai jatuh menyentuh
bahunya yang setengah “telanjang”.
“Siapa saja yang ingin menjadi pacarku, harus siap untuk diduakan!” bergitu katanya
kepada cowok yang mengajaknya dinner malam ini.
Kulitnya yang putih bersih, lekuk wajah yang cantik dan karismatik, tungkai jenjang
penopang tubuhnya yang eksotis, proporsional. Sepasang mata yang menyihir, hidung
mancung yang menambah kesan cerdas di wajahnya, bibir tipis yang seksi, dan, isi tabungan
yang siap ditarik tunai kapanpun ia butuh. Cukupan mendobrak popularitas seorang Meeca
Anastasia sebagai seorang cewek yang digandrungi cowok se-kampus.
Aska, tidak termasuk. Makanya, ia hanya tersenyum mendengar celoteh Meeca malam
ini. “Aku tidak ingin mencintai seseorang hanya untuk diduakan!”
Mereka tertawa bersamaan. “Kau tidak termasuk!” Meeca menambahkan.
Seorang cewek yang serba bisa, plus satu cowok pendiam yang terkesan kaku.
Kolaborasi unik yang sangat jarang kau temukan dibelahan bumi manapun. Diibaratkan
sebuah magnet, mereka adalah dua kutub yang saling berlainan sisi, namun tetap dalam satu
medan yang sama. Jika diibaratkan cuaca, Meeca adalah kemarau yang mengeringkan,
membuatmu dahaga hanya dengan satu sentuhan, Aska adalah setitik hujan yang
menyejukkan, mengentaskan seluruh dahaga, dan jika ia mau, tanpa kau sadari, diam-diam ia
bisa menghanyutkanmu. Bahkan menenggelamkan. Lain lagi ceritanya kalau mereka
diibaratkan sebagai bulan dan seekor pungguk.
Tapi, sekalipun begitu, tak usah ditanya soal kedekatan. Bertahun-tahun telah terlewat
begitu saja, tanpa pernah sanggup melahirkan secuil sengketapun di antara mereka.
“Kau tahu, banyak cowok yang merasa iri padamu, karena kau bisa dekat denganku!”
Meeca menyesap moccachinonya. “Mereka kira kau adalah pacarku!”
Sekali lagi, Aska tersenyum. “Seharusnya mereka sadar, aku bukanlah tipe cowok yang
mudah jatuh cinta... apalagi padamu!”
“Oh, ya?!”
“Kau, meragukanku?” tantang Aska.
Meeca menatap lamat wajah sahabatnya itu. “Okey... harus aku akui kau adalah cowok
paling konsisten yang pernah aku kenal... jomblo sejak lahir itu kutukan, loh!” Meeca tiba-
tiba mendelik. “Atau jangan-jangan, kamu ho...,”
“Hush! Jangan ngawur kamu!” tepis Aska, cepat. “Aku normal, tau!”
Meeca tersenyum geli, melihat wajah Aska yang merah padam. Sudah menjadi hiburan
tersendiri baginya, menggoda Aska—cowok pendiam yang masih perawan soal cinta.


Di sinilah mereka berada. Meeca yang sibuk dengan teman-teman prianya di taman, Aska
yang menyendiri di sudut lain, namun tetap pada taman yang sama. Meeca yang tertawa lepas
bersama mereka yang lain, Aska yang puas menikmati kesiur angin dalam kelengangan.
Kendati mereka duduk di dua sisi yang berjauhan, mata mereka selalu punya cara tersendiri
untuk saling melirik, diam-diam. Mencuri jeda di sepersekian saat dari kesempatan mereka.
Aska tak pernah protes dengan sikap Meeca yang begitu terbuka kepada teman-teman
prianya. Sahabatnya itu terlalu pandai membiarkan tubuhnya dirangkul bebas oleh orang lain,
tanpa merasa risih sedikitpun. Selalu bisa membuat mereka dimabuk kepayang olehnya.
Seakan semua itu adalah dunia yang ia damba. Dunia yang mengizinkannya bermain-main
dengan hati kebanyakan lelaki. Tanpa pernah peduli pada nama yang mengkhawatirkannya
diam-diam.
Pernah sekali, Aska bertanya kepada Meeca. “Mau sampai kapan kamu bermain-main
dengan perasaanmu sendiri? Tidak adakah satu dari mereka yang bisa membuatmu
menetapkan hati?”
Meeca menggeser lipatan buku yang menghalang wajahnya. Memberi ruang baginya dan
Aska untuk saling berpandangan. Dan, sekali lagi, ketika mata mereka saling menemukan,
ada sesuatu yang menyetrum batin mereka dari dalam. Tanpa kentara.
Sebentar, Meeca tersenyum. “Aku belum menemukan sosok seperti kamu di antara
mereka!” ia menaik-turunkan alisnya. Lagi-lagi menggoda cowok bermata sendu yang
sedang bereselonjor di kursi bantal depannya.
Aska mendesis, kesal. “Kalau begitu, sampai kapanpun, kau tidak akan menemukannya!”
Meeca bisa merasakan, ada sejuk yang menyentuh hatinya dengan lembut. Namun, ia tak
mau peduli dengan semua itu. Meski saat ini mata dan pikirannya menerawang jauh ke diri
Aska.
Tanpa sengaja, mengapunglah kenangan yang selama ini membuatnya lara.
“Aku mau pulang!” katanya.
“Loh, kenapa? Bukannya kamu bilang mau menginap di sini?” Aska langsung duduk,
bingung.
“Iya, tapi sekarang tidak jadi... aku mau pulang saja!” Meeca menarik tasnya.
“Ini udah tengah malam loh, Mi!” Aska mengingatkan. “Kamu ada masalah?”
“Tidak!”
“Terus, kenapa tiba-tiba kamu mau pulang?”
“Aku tidak tau apa alasannya, yang pasti aku mau pulang sekarang!”
“Aku ikut!” kata Aska.
“Tidak usah... aku mau sendiri dulu!” Meeca berlalu begitu saja.
Sejauh itu, Aska hanya bisa mendesah. Heran. Bingung.
Ia ulang lagi semuanya dari awal, ketika mereka di taman kampus sampai Meeca
menawarkan untuk menginap di kamar kosnya. Tidak ada yang salah. Tidak mungkin Meeca
tersinggung hanya karena perkataannya tadi. Lalu apa? Kenapa Meeca bisa berubah
sedemikian anehnya? Ah... Aska benar-benar merasa pongah. Ada rasa takut yang
menyerangnya hai-hati. Takut kalau Meeca marah padanya. Takut kalau Meeca akan
menghindarinya, tanpa ia mengerti apa sebenarnya kesalahannya.
Ia putuskan untuk menelpon Meeca segera. Namun, malang, itu hanya akan menambah
beban di hatinya. Nyatanya, sebanyak apapun ia coba menghubungi Meeca, ia tak juga
mendapatkan jawaban. Maka, terjagalah ia sepanjang malam hanya untuk memikirkan
konklusi atas perubahan sikap Meeca yang tiba-tiba.
Di sisi yang lain—
Meeca menyibukkan diri dalam kamar mandinya. Berharap air yang jatuh menyentuh
kulitnya dapat menenangkannya. Menjadikan desir air yang tumpah dari shawer sebagai
simponi yang mendatangkan harmoni. Cerita usang yang membuatnya jatuh setiap kali.
Wajah yang merubah makna cinta menjadi luka. Rasa sakit yang menitiskan dendam di
hatinya. Sehingga, ia menjadi begitu kejam, mempermainkan perasaan banyak lelaki. Pun
perasaannya sendiri.
Demi mencairkan kenangan yang membatu di hatinya, Meeca sanggup berjam-jam di
kamar mandi. Membiarkan air dan angin malam merambah dingin buku-bukunya. Sehingga
ia menggigil. Demam. Sakit. Jatuh oleh kepongahan yang ia ciptakan sendiri.


“Kamu di mana? Kenapa?” Aska langsung mendesaknya dengan pertanyaan.
Sebentar, Meeca tersenyum. Tubuhnya terasa lemah setelah tadi malam. “Aku di rumah,
Ka!” katanya. “Maaf, semalam tidak mengangkat telponmu.” Suaranya terdengar berat.
“Aku ke sana sekarang!”
Meeca terkekeh lemah, saat panggilan itu langsung terputus. Dari lipatan bantal
tempatnya meringkuk, ia bisa membayangkan bagaimana paniknya Aska. Sahabatnya itu
selalu bisa menghawatirkannya dengan cara paling beda. Lain dari kebanyakan lelaki yang ia
kenal. Membuatnya memutuskan; kalau ada orang yang paling tidak ingin dibuatnya kecewa,
dialah Aska. Sahabat yang selalu ada tanpa harus menginginkan sesuatu berlebih darinya.
Lelaki yang bisa membuatnya tertawa bahagia tanpa menginginkan satu ciuman, atau
sentuhan nakal, darinya.
Hanya berselang beberapa menit, Aska sudah berada di dalam kamar. Meeca menyambut
wajah tegang Aska dengan senyum lemahnya. “Hay.” Katanya, sebelum Aska duduk di tepi
kasur tempatnya berbaring.
“Kamu kenapa sih, Mi, tiba-tiba pergi dan tidak mau kasih kabar?” Aska, mendesah.
Meeca tersenyum sembari memaksa tubuhnya yang lemah untuk duduk bersandar. “Aku
senang liat kamu khawatir kayak begini ke aku.”
“Iya, kamu senang. Tapi, kamu tidak tau kan aku khawatirnya bagaimana? Kamu tidak
tau kan, kalau aku sempat bertanya-tanya apa sebenarnya kesalahanku sampai-sampai kamu
pergi tanpa alasan?” Aska mendesis, kesal. Sementara Meeca diam. Ini kali pertama Aska
berbicara sedikit keras kepadanya. “Ada apa sih, Mi? Kalau aku ada salah, tolong bicarakan,
biar aku tahu apa sebenarnya kesalahanku!” Tambahnya.
“Kamu tidak salah... aku yang salah, sudah bikin kamu hawatir.” Ucap Meeca lemah,
sembari menggamit lengan Aska mendekatinya. Kemudian menyandarkan kepalanya di dada
Aska yang bidang, manja. Kalau sudah begini, Aska tak bisa lagi berkata-kata. Hatinya yang
berdesir dingin, tak memberi kesempatan bagi otaknya untuk merangkai kata yang lain.
Sehingga kesunyian merambat pelan di ruang kamar yang hanya menyisakan desah nafas
mereka, membisik pelan.
Aska terlalu pandai memosisikan dirinya sebagai pendamba. Sebaliknya, Meeca terlalu
pantas untuk menjadi dambaan sesiapa saja. Makanya, sampai detik ini Aska hanya bisa
menyuarakan segala asa tentangnya dan Meeca dalam diamnya. Bersama degup jantungnya
yang berdegup kuat setiap kali Meeca menggamit lengannya. Setiap kali Meeca tersenyum
lembut padanya, atau ketika Meeca mendesaknya manja. Semua itu adalah hal terjauh yang
bisa dilakukan Aska, tanpa pernah bisa menyuarakan semua kebenarannya.
“Menurutmu, cewek seperti apa yang bisa membuatmu jatuh cinta?” tanya Meeca,
menatap wajah Aska yang menerawang kosong ke dinding kamar.
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Aska membalas tatapan Meeca.
“Itu bukan jawaban Aska!” Meeca melenguh.
“Hmm... nyaman!” jawab Aska kemudian. “Ya, dia yang bisa membuat aku nyaman!”
Meeca tersenyum. “Kalau begitu, aku akan mencarikanmu, satu!” katanya.
“Untuk apa?”
“Biar kamu sadar, kalau selama ini ada hal yang terlalu indah untuk kamu
kesampingkan!”
“Maksudmu?”
“Ya, sekali-sekali kau harus berkenalan dengan cinta!”
“Ah, tidak perlu!” tepis Aska.
“Kenapa?”
“Aku takut jatuh!”
Meeca mendesah samar. “Aska!” ia menatap jauh kedalam mata Aska. “Tidak selamanya
jatuh cinta itu menyakitkan!”
Aska mengalihkan pandangannya. Ia tidak pernah mampu beradu tatap dengan Meeca
terlalu lama. “Setidaknya aku sudah melihat hasilnya, di diri kamu!” tegasnya.
Meeca berubah diam. Bungkam seribu bahasa. Apa yang dikatakan sahabatnya terlalu
benar untuk ia debat. Selama ini, rasa sakitnyalah yang membuatnya selalu berlari dari satu
hati ke hati yang lain. Tanpa pernah berani menetapkan pilihan. Ia takut jatuh dan tenggelam
dalam kepedihan yang dijanjikan cinta, untuk kedua kalinya.
“Mau sampai kapan kamu menghukum dirimu sendiri?” kali ini Aska yang bertanya.
Meeca mengernyit. “Maksudmu?” Meeca bangkit dari tempat tidur, meminta kepada
pembantunya untuk membuatkan minuman untuk dia dan Aska. “Aku tidak mengerti apa
yang kau bicarakan!” Meeca beralih duduk di depan cermin, memandangi wajahnya yang
masih pucat dan letih.
Aska bangkit, kemudian duduk di samping Meeca. “Kamu harus sadar, Mi... bermain-
main dengan perasaan itu tidak akan mengobati rasa sakit... semua itu hanya akan melahirkan
kepedihan yang lain di hatimu!”
Meeca mendengus kuat, ia mulai merasa risih dengan perkataan Aska. “Sejak kapan
kamu mengerti soal rasa sakit, sedang jatuh cintapun kamu belum pernah?” balas, Meeca
sengit.
Aska menunduk, ingin sekali ia mengatakan; “Sejak aku mengenalmu!” tapi ia urung.
Keberaniannya terlalu tumpul untuk mengungkapkan kalimat setajam itu kepada Meeca,
sahabatnya yang selalu membuatnya kalah. Jatuh dalam asa yang mencubit batinnya.
“Sudahlah, Ka, kau tak perlu mengguruiku soal perasaanku sendiri. Toh, selama ini kita
berdua nyaman-nyaman saja, tak ada yang merasa terganggu!” tegas Meeca.
Aska mendesah. Meeca memang selalu sensitif jika ada yang mau mencampuri urusan
perasaannya. Buktinya saja kemarin malam, di kamar kosnya, saat Meeca tiba-tiba
meninggalkannya.
Pembantu Meeca membawakan minuman untuk mereka berdua. Melenyapkan
ketegangan yang sempat hadir di antara diskusi mereka.
“Terima kasih, Bi!” ucap Aska kepada pembantu Meeca.
“Kamu sudah makan, Ka?” tanya Meeca.
“Belum!”
“Kalau begitu kita makan dulu.” Meeca menawarkan. “Bi, tolong siapkan makanan ya!”
haturnya.
“Iya, Non.” Jawab pembantunya, kemudian berlalu meninggalkan kamar.
“Oh iya Mi, Om sama Tante, kapan balik dari Singapur?” Aska mengalihkan.
“Hmm... kata Papa, bulan depan!”
“Kalau begitu, bagaimana kalau sabtu depan kita ke puncak?” usul Aska, tiba-tiba.
Meeca berpikir sejenak, “Boleh!” jawabnya. “Saat ini aku memang rindu dengan suasana
puncak!”


Maka, di sinilah mereka. Menyaksikan siluet awan di terpa cahya rembulan. Apalagi ketika
tiupan khas angin puncak menyapu liar kulit tubuh mereka yang saling bersentuhan,
menambah indah suasana malam yang menyisakan tempat untuk mereka duduk berdua.
Meeca menyandarkan kepalanya di bahu Aska, sementara lelaki berkumis tipis itu
membiarkan jantungnya bergerak cepat, mendesaknya hingga sesak. Untuk menyuratkan
keinginan yang dilagukan hatinya dengan merdu, Aska menyulap malam sebagai kalimat
yang begitu indah untuk di dengar. Puitis.
“Kau tau Meeca? Malam adalah rumah bagi tiap kedamaian. Gelapnya selalu bisa
melahirkan senyap yang menentramkan, membuat kita lenyap tersesap imaji. Mimpi.
Memberi ruang paling mungkin untuk kita berkontemplasi. Bernyanyi, atau sekedar berbisik
pada diri kita sendiri. Sehingga dengan hadirnya gemintang dan rembulan, kesunyian dapat
tersulap menjadi rangkain lagu yang harmoni....” Aska terlalu asyik terbuai bisikan batinnya
sendiri, sampai-sampai ia lupa, dengan menyinggung malam dan sunyi artinya dengan
sengaja ia telah menguarkan satu sengketa pada hati di sebelahnya. Memoar luka yang
membuat seseorang itu patah. Jatuh dalam pongah menahun.
Sehingga, ketika Aska menyadarinya, ia hanya akan mendapati diam dari seorang
Meeca. Meeca yang mampu menginfeksi malam indah yang digambarkan Aska itu dengan
isak sendu. Malam pun menjadi keruh. Kesunyian berubah menjadi gejolak. Tak ada
kedamaian seperti yang ia katakan, yang terdengar sayup hanyalah nada-nada minor tentang
kepedihan. Bahkan redupnya cahya rembulan dan gemintang menjadi harmoni dengan
kepiluan Meeca.
Meeca menarik tubuhnya menjauhi Aska yang mematung merutuki kebodohannya. Ingin
sekali Aska pergi ke sudut itu, menemani Meeca menumpahkan segala beban pedihnya, atau
sekedar membelai puncak kepala sahabat yang diam-diam dicintainya itu agar lebih tenang,
namun, lagi-lagi Aska tak cukup tenang untuk berani melakukannya. Ketakutannya sudah
terlanjur memonopoli segala probabilitas di kepalanya. Di sinilah ia membuktikan
kebenarannya; gelar mahasiswa paling jenius dengan IP “malaikat” tak menjamin kau selalu
mampu melakukan semuanya. Mengetahui semuanya. Apalagi soal cinta.
Di antara dua pohon yang menjadi spasi bagi dirinya dan Aska, Meeca meringkuk
bersama kesedihannya. Membiarkan malam dan sunyi semakin membuat tubuhnya bergetar
hebat. Sakit yang merajamnya begitu dalam sudah terlanjur menguasai. Membuat jahitan-
jahitan luka kembali menguak. Berdarah dan kian tergarami.
“Aku mau pulang!” Meeca memutuskan di akhir tangisnya.
“Loh?” Aska berdiri, menghadapkan wajahnya kepada Meeca yang masih tersedu-sedan.
“Kenapa kamu menangis? Apa salahku?” tanyanya kemudian, berpura-pura.
“Kau perlu bertanya lagi, Ka, kau sudah tau segalanya tentangku. Aku rasa kau sudah
cukup mengerti dengan keadaanku... aku ingin meninggalkan tempat ini segera!” Meeca
menegaskan. “Kalau kau masih ingin di sini, biar aku pulang sendiri.”
Sebelum Meeca benar-benar melangkah meninggalkannya pulang, tangkas Aska menarik
tangan Meeca.
“Sampai kapan, Mi? Mau sampai kapan kamu menghukum dirimu sendiri dengan
perasaanmu?” Aska memutar tubuh Meeca, mengencangkan cengkeramannya di bahu gadis
yang masih tersedak-sedak oleh isaknya sendiri itu.
“Kamu tidak akan menemukan ketenangan di hati manapun, jika kau terus-terusan
menjadikan rasa sakitmu sebagai sangkar bagi jiwamu. Sudah sepatutnya kau menjadikan
kenangan itu sebagai jembatan untuk menemukan kebahagiaan.
“Sadar Mi! Buka matamu! Duniamu tak selebar kepedihanmu sendiri. Ada dunia lain di
sekelilingmu... dunia yang sanggup menawarkan kebahagiaan... dunia yang meski selama ini
kau acuhkan namun tetap mempertahankan cintanya yang tulus untukmu....”
“Cukup!” Meeca menyentak, menepis genggaman Aska di bahunya. Berubahlah malam
itu menjadi sebuah pertikaian. “Cukup Ka... cinta yang aku rasakan tak seindah cinta yang
kau ucapkan. Semuanya membuatku muak... lagipula, mengerti apa kau tentang rasa sakit?”
Aska mendengus. Mengumpulkan segala kekuatannya untuk menyuarakan kebenaran.
“Kau salah Mi... justru akulah orang yang paling mengerti tentang rasa sakit... kau pikir
mencintai sseeorang yang tak pernah mau peduli dengan perasaanmu sendiri adalah sesuatu
yang indah? Kau pikir mudah memupuk rasa sendiri?!” Aska setengah membentak.
Kesabarannya hampir sampai pada puncaknya. “Aku sakit Mi! Aku sakit setiap kali
melihatmu jalan bersama cowok lain di kampus... aku sakit setiap kali kau menceritakan
semua tentang mereka tanpa mau menceritakan sesuatu yang indah tentangku....”
“Maksudmu?” sela Meeca.
“Aku mencintaimu, Meeca Anastasia!” tembak Aska langsung. “Aku mencintaimu
meski kau tak pernah peduli... aku mencintaimu meski selama ini kehadiranku hanya kau
anggap sebagai pelipur segala gundahmu....”
Meeca menunduk bisu. Mematung. Ia tak cukup kuat untuk mendebat. Yang pasti,
kalimat Aska barusan berhasil menempatkannya ke titik dilema yang membingungkan.
Gambaran perasaannya ubahnya dua kutub magnet yang saling bertolakan. Satu kenangan
yang selalu membuatnya luka, dan satu kenyataan yang menawarkannya cinta dan
kebahagiaan, meski ia harus mengorbankan ikatan persahabatan.
Aska menarik Meeca masuk dalam dekapannya, kemudian berbisik pelan. “Aku
sahabatmu sejak bertahun-tahun... akulah yang paling mengerti tentang kamu... aku tau kamu
masih mencintai dia... aku mengerti. Aku sudah puas bisa memutuskan belenggu yang
mengekang perasaanku selama ini. Aku tidak butuh mendengar jawabanmu... tapi, aku
mohon, jangan melarangku untuk tetap mencintaimu!” Aska menutup ucapannya.
“Mari kita pulang!” ajak Meeca dengan nada yang jauh lebih lembut dari sebelumnya.

❦❦❦
Catatan : Cinta yang semestinya, tak selalu membutuhkan jawaban—Ya atau Tidak. Karena cinta tak
harus selalu berbalas. Cinta adalah cinta, yang akan tetap bertumbuh pada keadaan dan kenyataan
seperti apapun.
4. SOMEWHERE ALONG THE LINE

PROLOG :

SENYUM yang kau lihat di resto hari ini, di antara kami, adalah lipatan baru yang menutupi
jauhnya cerita. Benar kata pujangga; cinta selalu butuh pengorbanan. Bahkan kematian. Demi
hati yang menggenapi, demi senyum yang melengkung indah, demi dua pasang mata yang
saling menemukan, dan demi genggaman tangan yang takut untuk lepas, hari-hari yang lalu
adalah siluet lain yang gulita. Kelam. Kisah sarkastik yang hampir membuat kami putus asa.
Biar ku kisahkan dengan benar:―


Untuk anak berumur sembilan tahun, sudah sepatutnya aku menemukan kawan. Dan
sahabatku yang paling dekat sejak aku bayi, atau mungkin sejak kami masih dalam kandung,
adalah Rico. Hampir tak ada masa yang aku jalani tanpanya. Sampai-sampai orangtuaku dan
orangtuanya bersepakat; kami adalah sepasang angsa yang selalu beriringan. Sayangnya,
angsa-angsa ini sama-sama lelaki, dan masih sangat gandrung akan wanita. Jadilah kami
sepasang angsa yang bersahabat.
Karena kedekatan kami, orangtua kami pernah menyampaikan perandaian mereka untuk
menjodohkan aku dan Rico seandainya ada salah satu dari kami berjenis kelamin perempuan.
Dan jika itu memang dapat, aku tidak ingin menjadi perempuan. Biarlah Rico yang menjadi
perempuan. Sebab, telah lama aku menyimpan simpati pada seorang wanita. Aku memupuk
rasa itu sendiri tanpa wanita itu tahu. Biarlah kutunggu umurku lebih dewasa dan mumpuni
dulu, baru aku mengatakan perihal perasaanku ini kepadanya.
Di belakang rumah Rico ada taman yang cukup luas. Taman bunga yang dirawat oleh
Tante Agata seorang diri. Di dalam taman itu, ada sekotak kolam berbentuk persegi panjang
dengan ukuran 30 x 18 meter. Di kolam itulah aku dan Rico sering memancing ikan mujair
yang benihnya kami dapat dari empang Pak Desa. Sembari menunggu umpan kami di telan,
biasanya aku dan Rico mengerjakan tugas sekolah. Rico yang kadar otaknya selalu mentok di
peringkat kedua terakhir, selalu mengandalkan seluruh tugas sekolah kepadaku. aku bangga,
sahabatku mempercayaiku. Demi menjaga kepercayaannya, aku kerahkan seluruh
kemampuanku agar tugas-tugas kami selalu mendapat nilai terbaik dari guru.
Tante Agata adalah seorang single mom yang tangguh, lagi jelita. Dengan berkarir
sebagai dosen, ia mampu mencukupi segala kebutuhan hidup Rico. Berbeda dengan aku,
meski aku masih memiliki kedua orangtuaku, aku tidak bisa sebahagia Rico. Orangtuaku
hanya seorang petani, jangankan untuk mewujudkan setiap permintaanku, untuk kebutuhan
sekolahku saja Mama harus mengetuk pintu ke pintu untuk mendapat pinjaman uang.
Selain itu, nikmat lain yang seharusnya disyukuri Rico, ia memiliki seorang Ibu yang
cantik. Sangat cantik. Seluruh warga Desa mengakui itu. seakan penuaan tak berani
bertandang ke wajah dan tubuh Tante Agata. Jika waktu remaja ia dinobatkan sebagai
kembang Desa, sekarang aku menyebutnya Bidadari. Ya, ke-ayu-annya mampu
mengkerdilkan kecantikan putri-putri dalam cerita dongeng; Geisha, Terzina, atau Dewi
Shivagami, sekalipun.
Karena itulah aku mereka-reka dalam ingatanku bagaimana seorang putri yang turun dari
langit meniupkan benihnya ke rahim Ibunya Tante Agata, neneknya Rico, setiap kali aku
hendak tertidur. Aku tidak perlu heran kalau ada lelaki yang menatap Tante Agata tak akan
mau berpaling meski mereka harus jatuh ke dalam selokan sekalipun. Sepasang bola mata
Tante Agata adalah mantra yang mampu menyihir sesiapa saja. Aku mengimani itu.
Beriringan dengan umur kami yang semakin bertambah, satu-persatu perusahaan dengan
Brand ternama mulai merubung Desa. Mendirikan bangunan-bangunan bertingkat nan megah
di punggung tanahnya yang semula hijau.
Siapa sangka, kehadiran bangunan-bangunan proyek dengan arsitektur menjulang itu
mampu menitikkan cita-cita dalam hatiku; “Suatu saat aku akan menjadi seorang arsitek
hebat!” kalimat itu keluar begitu saja, saat aku dan Rico duduk menikmati senja yang pulang
di gazebo bambu, taman belakang rumahnya.


Hampir saja kebersamaanku dan Rico terputus. Waktu itu, kami telah lulus dari sekolah me-
nengah pertama, Rico―seperti yang ku katakan sebelumnya―dianugerahi seorang Ibu yang
siap mewujudkan segala keinginannya, tanpa ada halangan yang berarti akan melanjutkan
sekolahnya ke tingkat menengah. Sedangkan aku, andai saja Tante Agata tidak turut campur,
mungkin bangku sekolah menengah hanya akan menjadi asa yang pupus bagiku.
Setelah Rico mengeluh dan meminta Ibunya membantu keluargaku untuk
melanjutkanku bersamanya, harapanku untuk menjadi seorang arsitektur hebat akhirnya
semakin dekat. Aku dan Rico lanjut di sebuah sekolah masyhur di kota Bandung. Sekolah
yang sejak berpuluh-puluh tahun lalu, selalu menetaskan bibit generasi berbobot. Aku
bahagia, begitupun Rico. Sampai-sampai karena kebahagiaan itu, kami putuskan untuk
mengadakan acara kecil-kecilan di rumahnya. Acara yang segala perlengkapan dan
kebutuhannya dipenuhi oleh Tante Agata, tentunya.
Di sekolah yang sama, aku dan Rico mulai berkompetisi. Rico yang menantangku
pertama kali.
“Kau ingin bertaruh denganku Wira?”
“Bukankah kita tidak dibenarkan bertaruh?”
“Ini lain, aku ingin berkompetisi denganmu... kompetisi yang fair. Sportif!”
“Apa pertaruhannya?”
“Siapa di antara kita yang lebih dulu meraih mimpi kita, dialah pemenangnya!”
“Memangnya, apa mimpimu?”
“Suatu hari nanti, aku akan menginjakkan kaki di Amerika... membawa Ibuku ke sana!”
mata Rico menerawang jauh ke lengkung langit yang terlalu biru hari itu.
“Baiklah, aku sepakat! Kita lihat, siapa di antara kita yang menang... aku yang akan
menjadi arsitektur hebat, kah? Atau kamu dan Amerika-mu itu!” entah apa yang ingin kami
capai di atas sana, kami sama-sama menengadah, menatap lekat punggung langit. Seakan ada
bintang yang bersinar terang di atas sana. bintang yang memanggil kami untuk datang
menjemputnya.
Awalnya aku pikir, tantangan Rico itu hanya bertahan beberapa saat saja. Aku
menganggap itu hanyalah perasaan kompetitif yang muncul sesaat. Tapi ternyata tidak, Rico
benar-benar menunjukkan antusiasmenya. Ia benar-benar ingin berkompetisi denganku.
Hampir setiap malam ia mencari-cari informasi tentang jurusan yang bisa dengan mudah
mengantarkannya ke ranah Amerika. Dan akhirnya, usahanya itu membuahkan hasil. Dari
semua buletin yang di kumpulkannya, rata-rata orang indonesia yang diterima di Amerika
berasal dari jurusan Ekonomi dan Hukum, untuk itulah ia memutuskan memilih IPS sebagai
jurusan yang akan ia ambil kali ini. Sedangkan aku, aku lebih senang dengan mate-matika.
Sebenarnya, aku sudah meminta agar ditempatkan di jurusan yang sama dengan Rico, sejak
dulu kami selalu duduk berdekatan. Tapi, pihak sekolah sudah memutuskan, nila-nilaiku
mengantarkan kami untuk berpisah sementara waktu.
Tidak pernah aku melihat sahabatku ini begitu antusias dengan mata pelajaran, biasanya
akulah yang mendapat bagian mengerjakan tugas-tugasnya, namun kepercayaan itu telah
sampai pada batasnya. Ia lebih mempercayai dirinya sendiri kali ini. Meyakini
kemampuannya sendiri. Hanya sesekali, ketika ia mentok, barulah ia meminta bantuanku.
Demi tidak ingin mengecawakan sahabatku, aku juga melakukan hal yang sama. entah
kenapa aku merasa diriku lebih egois. Takut. Aku tidak ingin kalah darinya. Pokoknya,
apapun yang terjadi, aku harus bisa masuk universitas tekhnik terbaik! kuyakinkan diriku.
Man jadda wajada―Barangsiapa yang bersungguh-sungguh pasti akan sukses. Aku
yakin dengan mantra itu. Mantra yang diajarkan Imam Ali, guru mengaji kami dulu. Mantra
yang selalu mampu memompa semangat kami setiap kali membacanya. Mengingatnya.
Untuk itulah kami menuliskannya besar-besar dengan spidol di dinding kamar kos kami.
Mantra itu membuktikan kehebatannnya, kami memetik hasilnya. Ya, siapa yang
menyangka, seorang Rico yang dulunya hanya berkutat di peringkat terakhir, kini berhasil
meraih tempat teratas di kelasnya karena kesungguhannya. Begitu juga diriku.
Kami benar-benar bangga, di tahun pertama, kami berhasil menempatkan orangtua kami
di bangku terdepan, membelakangi orangtua-orangtua siswa lainnya.
Jika ada orang yang paling bahagia, mungkin akulah orangnya. Hari itu, entah
bagaimana caranya, entah apa penyebabnya. Tante Agata menarikku masuk ke pelukannya.
“Terima kasih, Wira, kamu telah membantu Rico sampai sejauh ini!” begitu yang ia bisikkan
ke telingaku, saat aku di bekapnya erat.
Aku rasakan tubuhku seakan tersesap jauh ke galaksi lain. Nirwana yang berbeda. Alam
materi yang hanya meng-ada-kan aku dan Tante Agata. Berpelukan. Kebahagiaanku benar-
benar tumpah seluruhnya di hari itu. Saat aroma parfum Obsession kesukaannya merebak,
menyusup masuk, menginveksi buku-bukuku sampai ke hati. Aku kenal bau parfumnya,
karena aku adalah orang yang mengaguminya. Sahabat anaknya, yang jauh lebih lama
menaruh simpati padanya. Diam-diam.
Bahkan, walaupun tubuhku telah lepas dari pelukannya, aku masih bisa merasakan
hangat tubuhnya selama berbulan-bulan. Demi mengabadikan momen berharga itu, aku rela
tidak mencuci baju yang kupakai hari itu. aku ingin menyimpannya sebagai kenangan yang
mungkin hangat untuk ku kenang suatu saat nanti.


Selama masa berlibur, seperti biasa sewaktu kami masih anak-anak, hari-hari kami habiskan
di taman belakang rumah Rico. Kami fikir, setelah setahun tidak melihatnya, taman itu tidak
terawat, namun sebaliknya, bukan hanya terawat, koleksi tanamannya bertambah beragam.
bunga-bunganya pun lebih berwarna. Hidup. Apalagi ketika aku membayangkan waktu
penerimaan raport sekolah kemarin. Saat parfum Obsession menginveksi tubuh dan
pikiranku.
“Kawan, ada sesuatu yang sangat penting ingin kubicarakan denganmu!” Tepukan Rico
membuyarkan lamunanku.
“Hah, apa?”
“Tidak perlu kaget begitu!” ujarnya, sembari memetik bunga mawar yang tumbuh segar
di samping gazebo tempat kami berteduh. “Ini hanya soal perasaan!” lanjutnya.
“Maksudmu?”
“Maksudku, aku mulai menyukai seseorang!” terangnya.
“Siapa namanya?”
“Sayangnya aku belum sempat mengenal namanya!”
Keningku mengkerut mendengar ucapannya, “Lalu, bagaimana mungkin kau bisa tahu
kalau kau menyukainya sedangkan namanya saja kau tidak tahu!” aku benar-benar bingung
dengan sikap Rico kali ini.
“Menurutmu, kalau aku sering membayangkan wajahnya, bahkan sampai
memimpikannya, apa itu bukan perasaan cinta?” nada suaranya sedikit menegang.
“Dari mana kau tau teori itu?”
“Yang seperti itu biasa kubaca dalam roman. Di dalam film, adegan seperti itu berarti
cinta!”
Aku berdiri, menepuk sebelah pundaknya, “Hey, Kawan, ini kehidupan nyata... bukan
sinetron!” tegasku, “Kau tidak dapat menyimpulkan sesuatu hanya karena kau pernah melihat
adegannya di film-film, atau dalam ceita romansa!” ingin sekali aku menertawakannya.
Namun saat aku melihat raut wajahnya yang seketika berubah lesu, aku jadi iba. Betapa
bodohnya aku tidak mendukung asumsinya.
Cepat, aku kembali duduk di sampingnya, “Okey, anggap saja kau menyukainya... lalu,
apa yang akan kau lakukan, sedangkan namanya saja kau belum tahu?” aku mencoba
menghiburnya.
“Justru itu aku mengungkapkannya padamu. Belakangan aku mendengar dari Karyo,
kalau dia sejurusan denganmu.” Baru kali itu Rico menatapku dengan tatapan yang dalam.
“Dia anak Mate-matika?”
“Ya, menurut Karyo, kalian sekelas!” Rico semakin bersemangat.
“Siapa namanya?”
“Kalau aku tau namanya, aku tidak akan meminta bantuanmu!”
Aku berfikir keras, mencari-cari sesuatu dalam ingatanku yang mungkin bisa membantu
Rico. Mulai kureka-reka seperti apa ciri gadis yang di idolakan Rico. Satu-satunya clue
hanyalah poster Avril Lavigne di kamar kami. tidak mungkin pula aku harus mencari gadis
yang mirip dengan Avril di kelasku. Setahuku, wajah seluruh siswi di ruanganku berwajah
lokal semua. Tak ada yang indo, atau kebarat-baratan.
“Kau yakin dia sekelas denganku?” tanyaku lagi, lebih memperjelas.
“Ya, Karyo mengatakannya padaku!” jawabnya, serius.
“Kenapa kau tidak menanyakan namanya langsung?”
“Tidak sempat, Wir... lagipula, aku baru melihatnya saat penerimaan raport kemarin. Di-
pintu gerbang, tanpa sengaja aku berpapasan dengannya!”
“Maaf, Ko, aku tidak bisa membantumu sekarang!” aku menggeleng.
Rico ikut menggeleng, “Dasar manusia batu!” umpatnya sembari menoyor kepalaku,
“Aku tidak meminta bantuanmu sekarang... nanti, kalau kita masuk sekolah!” matanya
melotot ke arahku.
“Terus, kenapa kamu menceritakan kepadaku sekarang?” aku protes.
“Supaya kamu bisa menyusun strategi untuk mempertemukan aku dengannya nanti!”
sekali lagi ia menggeleng, entah karena aku memang buta soal urusan cinta, atau cara bicara-
nya yang membingungkan. Entahlah.
“Jadi, bagaimana, kamu ingin membantu, tidak?” tanyanya.
“Apapun yang kamu butuhkan, aku pasti akan menyanggupi!” jawabku mantap.
Wajah Rico berubah sumringah, “Gitu dong... kamu memang the best!” pujinya, sembari
merangkulkan lengannya ke leherku. Membuat aku sedikit tercekik.
Sejak hari itu, Rico mulai merubungku dengan segala kisahnya tentang gadis yang
membuatnya jatuh hanya dengan sekali pandang itu. Gadis yang membuat hari libur kami,
berlalu begitu saja. Penuh dengan kisah absurd tentang cintanya yang sampai saat ini bahkan
belum terwujud. Untuk tahu namanya saja ia belum dapat.
Mengingat sepak terjang Rico dulu sewaktu SMP, gelar playboy “monyet” yang
disandangnya sudah cukup meyakinkan kalau dia adalah satu dari sekian banyak lelaki yang
mampu menakhlukkan anak gadis siapa saja hanya dengan kata-katanya. Tapi kali ini, justru
dialah yang takhluk. Jatuh. Jauh tertelan ke titik terlemahnya. Baru sekarang aku melihat
Rico tergila-gila seperti ini. Membuatku ikut penasaran, gadis seperti apa “si dia” yang
sanggup membuat ke-playboy-an Rico mengerdil. Seakan kejantanannya menciut oleh gadis
itu hanya dengan sekali tatap.
Sudah cukup lelahku setelah melakukan perjalanan jauh untuk sampai ke kos kami.
Namun malang tak dapat ditolak. Demi melihat sahabat karibku bahagia, aku harus ikut
dalam kegilaannya. Obsesi tentang cintanya kepada seorang gadis yang belum ia tahu
namanya.
Jadilah sepanjang malam dia mengajakku mengarang-ngarang strategi untuk menemukan
gadisnya ini. Untuk menyambungkan rasa yang telah ada di hatinya sejak pandang pertama
mereka. Malam itu, matanya benar-benar binar, semangatnya terus terbakar, sementara aku
kalap. Tubuhku semakin landai. Lemah. Butuh istirahat, barang beberapa jam saja. Dan pada
puncaknya, bagaimanapun aku mencoba bertahan, tubuhku harus kalah oleh kantuk yang
menggigit di sepertiga malam terakhir. Aku tak bisa mendengar lagi celotehnya. Entah apa
yang diucapkannya setelahnya, yang pasti aku telah lelap.


Mula-mula, dalam lakon percintaan sahabatku ini, aku dijadikannya jembatan perkenalannya
dengan Mifta―teman sekelasku. Oleh “raja” Rico, aku adalah belibis penyampai pesan
terhadap “ratu”nya. Mulai dari ajakan makan di kantin, sampai tiket nonton di malam
minggu. Dan akhirnya cinta Rico bersambut. Perjuangannya untuk mendapatkan Mifta
seutuhnya, tak mendapat halangan berarti.
Di sinilah masa transisi antara aku dan perasaanku sendiri. Setiap malam minggu. Setiap
kali Rico dengan tega meninggalkanku sendiri di kamar kos, aku mulai bertanya-tanya pada
diriku sendiri, tentang cinta. “Adakah mungkin cinta bertumbuh di antara seorang idola
terhadap yang mengidolakannya?” aku geli membayangkannya. “Mungkin saja!” jawaban
itu membisik di telingaku.
Ya, jika hayalan dan mimpi dapat dikonotasikan dengan cinta, aku mungkin telah jatuh
cinta saat ini. Cinta yang begitu murni. Cinta yang tumbuh diam-diam, tanpa aku sadari.
Sejak lama.
Namun kadang kala aku ragu mendapati realitas. Pantaskah umur yang berpaut terlalu
jauh untuk saling mencinta? Demi menjawab pertanyaan itu, aku mulai membaca novel-
novel romansa milik Rico. Dari sanalah, akhirnya aku mafhum; “Usia bukanlah alasan,
penghalang, bagi cinta untuk bertumbuh.” kata-kata itu aku kutip dari seorang pujangga di
dalam sebuah novel setebal 672 halaman. Novel dengan sampul merah muda. Ada sepasang
hati yang berhimpitan di sana.
Aku sendiri bahagia, ternyata aku juga masih bisa jatuh cinta. Namun, kisah cintaku ini
belum bisa aku ceritakan kepada Rico. Aku tidak ingin dia tahu sekarang. Biarlah perasaanku
ini nanti mengejutkannya di akhir cerita.


Sementara kami sibuk dengan perasaan dan mimpi kami, waktu tetap merangkak pergi
dengan pasti. Tanpa terasa waktu tiga tahun berlalu begitu saja. Hari ini, kami kembali ke
Desa dengan harapan baru. Juga tanda tanya baru. Kemana?
Demi menghargai kelulusan putra semata wayang sekaligus kebahagiaannya, Tante
Agata mengadakan tasyakuran di rumahnya. Orangtuaku yang juga ingin mengadakan hal
yang sama, namun terhalang dana, terpaksa harus ikut nebeng dengan keluarga Rico. Jujur,
sekarang aku sudah lebih punya malu untuk tahu, bahwa Tante Agata hanyalah seorang janda
yang berjuang mencukupi kebutuhan keluarganya sendiri. Sedangkan kami, setidaknya ada
dua orang yang lebih mampu untuk mencukupi kebutuhan di keluargaku. Aku dan Ayahku.
Acara itu benar-benar besar, dua ekor sapi sengaja ditumbalkan untuk mengenyangkan
para warga yang hadir menyesaki tenda trowongan yang terpasang di halaman rumah Rico.
Bukan hanya puluhan. Aku menaksir kurang lebih ratusan warga yang hadir.
Sementara seluruh tamu berjibaku dengan segela rupa makanan. Aku dan Rico, seperti
biasa, lebih memilih nangkring di taman belakang. Menjauh dari keramaian.
Aku merebahkan tubuhku di lantai gazebo. “Setelah ini, kau akan kemana?” tanyaku.
Rico menoleh ke wajahku, melengkungkan senyumnya, “Aku dan Mifta sudah sepakat
untuk masuk ke UNPAD!” aku bisa menduga kebahagiaan di matanya yang binar. “Kalau
kamu, Wir?”
Aku mendengus. Keraguanku masih begitu kuat. Mungkinkah aku bisa melanjutkan
kuliah? “Aku belum tahu, Ko, aku tidak yakin orangtuaku menyanggupi biaya kuliahku!”
berat kalimat itu keluar.
“Kenapa kau tidak coba ikut UMPTN, sama seperti aku dan Mifta? Biaya kuliah
universitas negeri jauh lebih ekonomis. Aku yakin, sedikit-sedikit orangtuamu bisa bantu.
Kalau toh nanti kau ada kendala biaya, kau bisa meminta bantuanku!” Rico menyarankan.
Aku mengangkat tubuhku untuk duduk di sampingnya, “Pak Hambali, ketua jurusanku
juga menyarankan itu. Katanya dia bisa membantu... tapi, sungguh aku ragu... ada ratusan
ribu siswa yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia memperebutkan kursi di jalur itu... aku
tidak yakin aku mampu!”
“Wir!” Rico menepuk bahu kananku, “Kalau aku yang bisa seperti ini karena bantuanmu,
yakin dengan kemampuanku, kenapa kau harus ragu? Kalau kau tidak lulus di jalur UMPTN,
sudah barang pasti aku juga tidak akan lulus... kau jauh lebih pintar dariku... toh, kalau
kemungkinan itu terjadi, kita bisa mencari cara lain bersama-sama!”
Kata-kata Rico mampu membuat semangatku kembali menyala, dia benar; Man jadda
wajada. Tak ada sesuatu halangan pun yang tak dapat dilalui jika kita bersungguh-sungguh.
Tapi, masalahnya kali ini adalah orangtuaku, bagaimana aku harus meyakinkan mereka.
Batinku.
Seperti tahu apa yang aku resahkan, lagi-lagi Rico menawarkan jalan keluar yang aku
butuhkan, “Untuk urusan orangtuamu, aku akan meminta bantuan Ibuku memberi mereka
pemahaman!”
Kegalauanku menguap. Satu-persatu saran logis dari Rico mendepaknya jauh. Akupun
tak lagi begitu risau. Kuyakinkan lagi diriku; apapun yang terjadi aku harus kuliah, aku harus
lulus UMPTN. Aku akan buktikan, materi bukanlah halangan yang berarti demi sebuah cita-
cita.
Sampai malam, aku bertahan di rumah Rico, membantunya dan Tante Agata merapikan
seisi rumah. Di ruang tamu, setelah semua pekerjaan kami selesai, Tante Agata membuatkan
kami dua cangkir kopi dan cake. Saat kami tengah asyik berkisah, ponsel Rico berdering.
Aku bisa menebak panggilan itu dari siapa.
“Mifta, Ko?” tanyaku, saat Rico hendak berdiri. Spontan Rico merapatkan jari telunjuk
ke bibirnya, mengisyaratkan kepadaku untuk tidak membongkar rahasianya. Aku tahu Rico
akan sangat malu, kalau Tante Agata tahu ia sudah memiliki pacar.
Sementara Rico sibuk menelepon, Tante Agata terus mendesakku untuk menceritakan
tentang Mifta dan hubungannya dengan Rico.
“Siapa Mifta?” Ia mendelik curiga, “Pacar Rico?” tebaknya.
Aku mengangguk, sambil tersenyum geli. “Tapi, jangan bilang Rico kalau aku yang
memberitahu!” pintaku.
“Oh, ternyata Rico sudah dewasa sekarang!” senyum khas yang melengkung di wajahnya
itu selalu mampu menyulap malam menjadi kesejukan, aku bisa menatapnya jelas dari sini.
meski kucari-cari, aku tidak menemukan seincipun liapatan keriput di wajahnya. kulitnya
masih terlihat kencang dan bening. Aku yakin, kalau saja Rico sadar dengan kacantikan
Ibunya, ia akan minder mempertemukan Mifta dengannya. Bagiku, tak ada yang menandingi
kecantikan Tante Agata.
“Kamu?”
“Hah?” aku gelagapan saat tiba-tiba matanya menatapku intens.
“Ya, kamu sudah punya pacar, belum?” tanyanya lagi. entah kenapa pertanyaan itu
membuatku sesak. Malu-malu aku menggeleng.
“Kenapa? Masa kamu kalah sama Rico!” tambahnya lagi.
“Memang, harus aku akui, aku tidak sehebat Rico dalam urusan perasaan!” kalimat itu
mengalir begitu saja. Ia pun tertawa. Entah menertawaiku yang sampai sekarang tidak punya
pacar, atau kalimatku yang memang lucu baginya.
“Tan...,” kikuk, aku menyampaikan, “Boleh aku memanggilmu, Agata saja?” ucapku
hati-hati.
Ia mengernyit, mungkin kaget, mungkin juga bingung dengan perkataanku, “Kenapa?”
“Ya, aku tidak tahu apa alasannya... aku hanya merasa nyaman saja.” Kilahku.
“Jadi, selama ini kamu tidak nyaman memanggilku Tante?”
“Bukan begitu... Aku nyaman... tapi....” aku benar-benar gugup. Kikuk. Bingung harus
menjelaskan padanya.
“Buat diri kamu nyaman, Wir!” selanya, sembari menyentuh punggung tanganku.
Tubuhku seakan terangkat saat merasakan sentuhan lembutnya. Mungkin sentuhan itu tidak
berarti baginya, namun, bagiku itu cukup membuat dadaku berdegup kencang.
“Jadi, boleh aku memanggilmu, Agata?” tanyaku, meyakinkan.
Ia mengangguk, “Panggil aku seperti yang kamu mau!” senyum itu kembali melengkung.
Malam itu adalah kebahagiaan yang dalam untuk kedua kali, aku dapat darinya.
Sepanjang perjalanan pulangku ke rumah, kalimat―Panggil aku seperti yang kamu
mau―terus menari dalam benakku. Menggeser logika. Menciptakan kotak kebahagiaan baru
dalam diriku. Hingga membuatku terjaga sepanjang malam.


Waktu memang tak pernah ingin diam hanya untuk menungguku melakukan sesuatu. Ia
melangkah dengan pasti menuju keping-keping baru. Maka, masa-masa beralalu tanpa terasa
pergantiannya. Sehingga aku dan Rico untuk pertama kalinya harus berpisah. Ia dan Mifta
berhasil mewujudkan keinginan mereka untuk lanjut di UNPAD, mengambil Jurusan
Hubungan Internasional bersama. Sedang aku. Aku harus puas melangkah ke tempat yang
jauh. Bogor. Ya, setelah mendapat bimbingan dan nasihat dari Pak Hambali, aku putuskan
untuk menguburkan cita-citaku untuk menjadi seorang Arsitek hebat. Aku harus puas dengan
mimpiku yang baru. Insinyur Pertanian. Gerbang kampus IPB, lebih menjanjikan itu untukku.
Atas bantuan kerabat Pak Hambali, aku bisa mengambil jalur beasiswa di IPB, dengan
catatan, beasiswa itu akan tetap bertahan jika aku konsisten mempertahankan prestasiku.
Demi harapan baru, aku menyanggupinya. Setiap saat, aku menyugesti diriku, bahwa aku
mampu mepertahankan apapun demi harapan baru ini. Cinta.
Ya, cinta yang menurutku dapat terwujud suatu ketika, saat aku bisa mengubah
kehidupan keluargaku. Saat aku tumbuh lebih mapan. Saat aku bisa menunjukkan kepadanya,
kalau aku bisa menghadirkan kebahagiaan yang berlebih di kehidupannya bersamaku nanti.
Dua tahunku di IPB, adalah jembatan awal yang mulai memperlihatkan gerbang-gerbang
kecil kesuksesan. Risetku tentang penggunaan tumbuhan tahi kotok sebagai insektan pengusir
hama padi, berhasil mengantarkan lembar-lembar kontrak beberapa perusahaan yang
bergerak di bidang produksi bahan-bahan insektisida, demi hak paten penemuanku. Aku
sebenarnya ingin memberikannya kepada mereka, namun, aku lebih memilih instansi
pemerintah untuk mengembangkannya. Hasilnya, kementrian pertanian rela mengucurkan
dana untuk setiap proposal riset yang aku tawarkan kepada mereka. Dengan cepat, namaku
mulai di kenal. Bahkan kesuksesan ini sampai ke telinga Rico dan Agata. Semalam mereka
meneleponku, memberikan ucapan selamat atas capaianku. Ada rasa bangga dan bahagia
mencuat seketika.
Meski perlahan aku mampu menyulap keadaan keluarga di Desa, harus kuakui, itu tidak
benar-benar berhasil. Dalam kompetisi yang aku bangun dengan Rico, aku kalah. Kalah total.
Aku tidak bisa membuktikan padanya kalau aku dapat menjadi arsitek hebat. Tapi dia! Tahun
ini ia telah menginjakkan kakinya di ranah Amerika. Setelah mengikuti seleksi pertukaran
pelajar, ia dan Mifta berhasil menembus NYC―New York City—Amerika. Di sana, selain
menjadi mahasiswa, mereka juga mendapat tawaran untuk menjadi koresponden sebuah
media ternama di Indonesia. Aku ikut bangga dengan kesuksesannya, sekaligus iri dengan
perjalanan cintanya yang mulus-mulus saja. Sementara aku, aku hanya bisa puas menyimpan
rasa untuk waktu yang lama.
Sementara Rico bahagia bersama Mifta menghabiskan minggu terakhirnya di Amerika,
setiap waktu luang, aku pulang ke kampung. Menemui keluarga dan lagi yang menjadi
prioritasku, melihat senyum lembut Agata. Saat duduk berdua bersamanya di halaman
belakang, setelah puluhan tahun mengenalnya, aku tidak menemukan sedikitpun tanda-tanda
penuaan di wajahnya. Agata masih seperti dulu. Aku melihatnya sebagai seorang perempuan
yang pantas untuk dicintai oleh siapa saja.
Malam itu, dibalut remangnya malam, aku menyaksikan kebahagiaan di wajahnya ketika
ia mengulang kisah lama aku dan Rico. Ya, aku yang dulu masih kecil dan juga Rico yang
masih suka bermain lumpur. Agata bercerita bagaimana aku dan Rico hampir tenggelam di
empang Pak Desa, dulu. Bagaimana ia pernah menyuapi kami berdua sekaligus. Ia juga
berpendapat kalau waktu itu, waktu aku dan Rico masih kecil dulu, Agata seakan memelihara
dua putera sekaligus.
Mendengar seluruh kisahnya tentang aku dan Rico sewaktu masih kecil dulu, aku
langsung protes. Aku tidak ingin segala persangkaannya itu mengesampingkan perasaanku
padanya. Maka kukatakan padanya;—
“Bukankah setiap manusia akan berevolusi?” kataku.
“Ya, kau benar Wira. Aku tidak pernah menyangka kau dan Rico bisa tumbuh secepat
ini... kalian sudah benar-benar dewasa sekarang.” Katanya, sambil tersenyum ke arahku.
Melihat senyum manisnya itu, ingin sekali aku mengungkapkan perasaanku secepatnya.
Namun, nyaliku menciut, ketika dia mengatakan sesuatu yang membuat hatiku sedikit
tergores.
“Sampai sekarang, aku melihat kau dan Rico sebagai kakak beradik... memang harus aku
akui, kau tumbuh lebih tampan dan gagah dengan kumismu yang sekarang.” Begitu kata
Agata.
Aku diam. Merutuki diriku sendiri. Pongah. Ternyata, sampai saat ini Agata belum juga
menyadari posisiku saat ini. Semua perhatian yang selama ini aku tujukan padanya tanpa
kentara.
Ku tutuplah pertemuan kami malam itu dengan sebuah pertanyaan yang mungkin
membuatnya bingung. Atau diriku sendiri pun begitu.
“Kalau menurutmu, apa mungkin seorang pria sepertiku mencintai seorang Ibu dari
sahabatnya sendiri... Agata?”
Agata tercekat. Kaget dengan pertanyaanku. Tatapannya dalam kepadaku. Aku hanya
mebalasnya dengan senyum, sembari berlalu. Kubiarkan ia bingung oleh pertanyaanku.
Kubiarkan ia menduga, kalau seroang “Ibu” yang kumaksud itu adalah dia.


22 Januari. Aku hapal hari ulang tahunnya. Sehingga, pada malam yang lain, aku
mengajaknya jalan bersama. Semula ia menolak. Enggan jalan bersamaku sebelum mendapat
persetujuan dari Rico yang saat itu masih berbahagia bersama Mifta di Amerika. Tapi aku
meyakinkannya. Kutelepon Rico untuk mendapat persetujuan. Rico mengizinkan. Aku
senang, Agata juga tersenyum lepas.
“Kemana kau akan mengajakku, Wira?” Tanya Agata yang sedang duduk dengan blus
birunya yang cantik.
“Ke suatu tempat yang akan kau ingat, selamanya.” Kataku sambil tersenyum. Ia juga
tersenyum.
Malam itu, aku membawa Agata ke pantai. Menikmati bulan yang bulat sempurna di
sana. Menikmati desir angin yang menyapu tubuh kami, dingin. Aku bisa melihat
kebahagiaannya, saat siluet tubuhnya berlari-lari kecil di pantai yang dibalut remang cahya
rembulan.
Kuterik lengannya mendekati sebuah meja kayu dengan dua kursi yang saling
berhadapan. Betapa kagetnya ia ketika candle yang mengelilingi meja itu mulai kunyalakan
satu-persatu.
“Apa ini, Wira? Candle light dinner? Jangan bilang kau megajakku kencan. Hehehe...,”
selorohnya.
“Duduklah!” haturku.
Agata masih tersenyum-senyum. Kukeluarkan kotak kue dari dalam saku jaketku. Kue
ulang tahun minimalis—muat di kantong. Kubuka kotak kue itu, kutancapkan lilin kecil di
atasnya, lalu kunyalakan.
“Selamat ulang tahun, Agata!” ucapku lirih. Sambil kuyakinkan diriku untuk
mengungkapkan seala kebenarannya malam ini juga.
Entah kenapa aku melihat Agata meneteskan air beinng di matanya. Aku kaget. Takut,
kalau aku melakukan kesalahan.
“Kenapa kamu menangis, Agata?” tanyaku. “Kamu tidak menyukainya?”
“Tidak Wira... aku hanya haru... kamu adalah satu-satunya orang yang selalu mengingat
hari ulang tahunku... bahkan Rico sendiri lupa, kapan hari ulang tahunku.” Ia menyeka ari
bening yang menglir jatuh membasahi pipinya. “Terima kasih, Wira!” ucapnya.
Sesaat, kami biarkan malam itu kembali lengang. Kami biarkan angin yang berkesiur
menjilat siluet tubuh kami dengan puas. Memberi kesempatan bagi lilin-lilin landai itu
menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
Kutatap lamat wajah Agata yang bening malam itu. Sehingga ketika mata kami saling
menemukan, hati kami sama-sama berdesir. Dada kami sesak, menyadari ada sesuatu yang
tumbuh dengan seketika. Sebuah nikmat “maha dahsyat” bernama; cinta.
“Kenapa kau lakukan semua ini kepadaku, Wira?” ucap Agata, hampir berbisik. Ia
mendesah.
“Sudah lama aku menunggu pertanyaan itu darimu Agata.” Aku berusha tersenyum.
“Kau ingat, ketika aku meminta untuk memanggilmu Agata saja?”
Agata menunduk, diam.
Aku berdiri, mengalihkan pandanganku ke laut lepas, agar perasaanku bisa terungkap
lepas juga malam ini.
“Kau tau apa maksud pertanyaanku malam itu di taman belakang rumahmu? Seharusnya
dari awal kau sudah menyadarinya Agata... seharusnya kau yang jauh lebih dewasa
daripadaku bisa menebaknya... semua ini... semua perhatianku terhadapmu.” Aku berhenti
sesat, mendesah kuat, mendorong sesak yang merubung dadaku.
“Apa maksudmu, Wira?” tanyanya.
“Jangan pongah, Agata... kau tau apa maksudku!” Ucapku tegas. “Berpuluh-puluh tahun
aku menacari tahu apa maksud dari perasaanku ini... bertahun-tahun aku dilindapi kegalauan
setiap kali memikirkanmu... sampai datangnya malam ini... malam yang akan menyibak
semua kemelut yang menjadi partisi antara kita berdua.” Aku membalikkan tubuhku,
mendekatinya, kemudian meraih tangannya lembut. “Aku mencintaimu, Agata... aku tau...
mungkin perasaan ini terlihat salah bagi sebagian orang, tapi, aku tidak bisa membohongi
diriku lebih dalam lagi... aku benar-benar mencintaimu Agata! Aku tulus mencintaimu!”
ungkapku, bersama degup jantung yang kian kuat.
Agata diam. Dilepaskannnya genggaman tanganku perlahan. “Ini salah, Wira... kita tidak
bisa....,”
“Kenapa?!” potongku. “Apa karena aku teman kecil Rico? Apa kerana umurku terpaut
begitu jauh?”
“Bukan!” Agata setengah membentak. “Bukan itu alasannya!”
“lalu apa? Apa Agata?” desakku.
Agat kembali tertunduk. Diam. Aku bisa melihat dadanya yang kembang kempis. Aku
bisa mebaca kegamangannya. Sampai akhirnya ia terisak.
“Demi Tuhan, aku mencintaimu Agata! Dan cinta ini akan tetap ada meski sekeras apa
kau menolak!” tegasku.
Agata tidak menjawab. Hanya isakannya yang terdengar olehku. Melihatnya menangis,
aku tidak tega... sungguh aku tidak tega melihat wanita yang aku cintai itu menangis. Lembut
kuseka air mata yang memariti pipinya, sedang aku terus berusaha menahan panas yang ikut
menjalar di mataku.
“Aku tahu, hubungan ini terlihat inses bagi sebagian orang... tapi, sungguh aku tidak bisa
terus-menerus membodohi diriku sendiri dengan menutupi rasa ini terus-menerus... aku tidak
bisa, Agata!” bisikku.
Ia mengangkat wajahnya. Hatiku kembali berdesir, melihat sepasang matanya yang
basah. “Jangan Wira, rasa ini tidak dapat kita teruskan!” katanya kemudian.
“Kenapa?”
“Jujur, aku bahagia mendengar kau mengungkapkan semuanya malam ini... sebab,
sebenarnya aku juga menyimpan rasa yang sama terhadapmu... tapi aku malu. Aku malu
ketika menyadari kau adalah seorang anak yang pernah tertidur di pangkuanku...,” Agata
tidak dapat melanjutkan ucapannya lagi. Bibirnya sudah terlanjur bergetar.
“Tidak Agata... kau salah... itu adalah alasan terbodoh yang pernah kudengar.” Aku
menggeleng samar. “Haruskah kita membohongi perasaan kita sendiri, hanya karena
pendapat orang lain?”
“Kau tidak tahu semua kebenarannya!” tiba-tiba Agata membentak. “Kau tidak tahu
sepenuhnya tentangku, Wira!”
“Aku tahu!” kataku. “Aku tau, kau adalah Ibu dari sahabat kecilku... aku tau, kau adalah
orang yang membantu Ibuku sendiri mengurusiku sejak bayi... aku tau... aku tau semuanya,
Agata!” tukasku.
“Bukan hanya itu....,”
“Lalu apa lagi?!”
“Umurku tidak akan lama lagi.” Ucap Agata, berat.
Mendengarnya, tubuhku seakan bergetar. Tungkaiku melemas. Kurasakan nirwana yang
kupijaki saat itu seketika menciut. Kepedihan yang merubung batinku kian bertambah.
Membuatku sampai pada ranah batasku. Tembok pertahananku runtuh seketika, bersamaan
dengan air bening yang meluruh di pipiku.
“Apa maksudmu, Agata?” suaraku, berat. Lidahku terasa keluh untuk bertanya lebih
banyak.
“Aku mengidap kanker, stadium akhir... umurku tidak lebih lama dari satu bulan lagi.”
Katanya, tenang. Bagaimana ia bisa begitu tenang di saat aku merasakan sakit yang sangat
setelah mendapati ralitasnya.
“Kau bohong! Kau sengaja mengatakan itu, agar aku menjauh, bukan?” aku bersuaha
menepis kenyataannya.
Bermainlah dalam ingatanku kejadian-kejadian beberapa saat yang lalu. Ketika aku
mendapati Agata menangis di taman belakang rumahnya, sambil menatap kertas yang
kemudian disembunyikannya cepat saat aku datang. Dan juga sewaktu aku menemukan tisu
dipenuh bercak darah, di samping tempat tidurnya saat Agata terbaring lemah di atas kasur.
Aku hancur. Malam itu, barulah aku sadar, rasa sakit bisa membuat kau susah bernapas.
Bahkan bisa saja membunuhmu seketika, jika kau tak dapat mengantisipasi.
“Itu benar, Wira... aku juga sama sepertimu... awalnya aku mencoba menolak kenyataan
ini... tapi, sebagaimanapun kita mencoba berlari, realitaslah yang akhirnya akan memberitahu
semua kebenarannya... bahkan, cinta yang tumbuh diantara kita, tidak dapat berbuat lebih!”
“Aku mencintami, Agata!” tak ada kata lain yang dapat kuucapkan selain kalimat itu.
Aku terlalu dalam tenggelam oleh rasa sakitku sendiri.
“Aku tahu, Wira!” ucap Agata, tak ada lagi tangis diwajahnya. Yang ada hanya
ketenangan. Mungkin ia sudah puas, untuk menangis. “Aku tahu kau mencintaiku... aku juga
sama mencintaimu... tapi, kenyataan ini hanya akan menimbulkan luka di hati salah satu dari
kita, seandainya kita tetap memaksa untuk meneruskannya.”
Aku tak sanggup berucap lagi. Malam itu, dimata Agata aku tak lebih dari Wira kecil
dulu. Wira yang menangis di pangkuannya ketika mendapati melan dari Ayah. Wira bertubuh
ceking yang cengeng.
“Pelan-pelan, Wira... aku yakin, jika kita mau, perlahan-lahan kita bisa saling
melupakan.” Agata meraih tanganku. Mencengkeramnya erat. Sementara aku. Aku hanya
bisa menangis. Larut dalam keakuan.


Setelah malam itu, aku tak pernah lagi melihat Agata seceria dulu. Meski ia masih tetap
tersenyum setiap kali, aku tahu ada kepedihan yang melekat dalam batinnya. Begitu juga aku.
Kenyataan bahwa aku harus bisa melepaskannya perlahan selalu membuat batinku terhiris.
Seperti hari itu, setelah aku menjemput Rico dan Mifta di bandara, aku langsung menjenguk
Agata di rumah sakit.
“Kau masih tetap cantik, Agata.” Godaku. Menggenggam jemarinya lembut.
Ia tersenyum, lemah. “Hmm... harus aku akui, kau memang pandai merayu.” Katanya.
“Bagaimana Rico?” tanyanya.
“Dia dan Mifta ada urusan sebentar di kampus... setelah dari sana, katanya mereka akan
langsung ke sini, menjengukmu.”
“Kau sudah mengatakan padanya?”
Aku menggeleng. “Belum!”
Agata mendesah panjang. “Semoga ia bisa menerima kenyataannya.” Ia berharap.
“Aku yakin Rico sudah dewasa untuk bisa menerima semuanya... biar aku yang
menjelaskan.” Kataku. “Kau sudah makan?” tanyaku.
“Belum.” Jawabnya.
“Kalau begitu, sebaiknya kamu makan dulu... biar aku yang menyuapi!”
“Ah tidak usah, biar aku makan sendiri saja!” tolaknya.
Aku menatap wajahnya. “Kau harus terbiasa aku suapi.” Kataku kemudian, sambil
tersenyum.
Hari itu, setelah menyuapi Agata, ia memintaku membacakannya kisah tentang cinta.
“Bacakanlah untukku, biar aku bisa tertidur.” Begitu katanya.
Kubuka buku berisi cerpen tentang cinta itu. Kubacakan kepadanya tentang satu kisah
yang menggugah. Aku tersentuh. Dia pun sama. Sampai akhirnya, benra, Agata tertidur siang
itu, oleh kisah yang aku bacakan. Kuusap lembut puncak kepalanya. Kubisikan kata cinta ke
telinganya, meski aku tau ia tak mendengar. Lalu, hati-hati, kucium keningnya.
Kaget dan kakulah hatiku, ketika melihat Rico dan Mifta sedang memperhatikan
perlakuanku terhadap Agata.
“Heh... sejak kapan kalian di situ?” tanyaku, canggung. Mukaku mulai terasa panas.
Rico menggeleng samar, meletakkan buah yang dibawahnya ke atas meja. Kemudian,
mengambil kursi yang lain untuk duduk di dekatku, bersama Mifta.
Sebentar, Rico menatapku penuh makna. “Kau masih Wira sahabatku, bukan?” tanyanya.
“Kenapa kau berkata begitu?”
“Jangan bilang, dugaanku selama ini benar!” katanya lagi. Matanya menatapku dalam.
Belum pernah aku melihat tatapan itu di wajah Rico.
“Maksud kamu apa, sih, Ko?”
Rico mendelik. “Kamu suka kan sama Mamaku? Maksudku, bukan sebatas sukanya
seorang sahabat terhadap Ibu dari sahabatnya... tapi, sukanya seorang pria normal terhadap
wanita. Benar kan, Wir?” tembaknya langsung.
Aku diam. Menunduk. Ragu harus menjawab apa.
“Jadi benar dugaanku selama ini, kalau kamu, sahabatku sendiri, mencintai mamaku?”
tambahnya. Aku bisa mendengar desahan Rico. “Aku tau Wir... aku tau kamu mencintai
mamaku... sejak dulu aku sudah curiga... tatapanmu setiap kali bertem Mamaku, caramu
menyebut namanya... dan lagi, catatanmu tentang cinta pertamamu yang kutemukan di kamar
kos kita dulu.” Ucap Rico panjang lebar.
Aku tidak bisa mengelak lagi. Rico sudah terlanjur tahu semuanya. “Maaf, Ko, bukannya
aku berniat mengecewakanmu... tapi, sungguh mati aku tidak bisa membohongi perasaanku
sendiri!” Ucapku.
Rico berdiri, menepuk bahuku. “Satu-satunya kekecewaanku padamu, adalah sahabatku
sendiri tidak pernah jujur soal perasaannya kepadaku... padahal, kamu tahu, aku sama Mifta
bisa sedekat ini karena kamu, Wir... lalu, kenapa kau tidak membiarkanku membantumu.”
“Aku takut, Ko... aku takut, kalau kamu marah, ketika mengetahui perasaanku terhadap
Agata.”
“Ya, memang, awalanya aku sempat marah kepadamu... tapi, kian kemari aku mengerti
posisimu... kita sudah cukup dewasa untuk mengerti, Wir!”
“Lalu?” tanyaku.
“Lalu apa?” Rico balas bertanya.
Aku mendesah sebentar. “Sekarang kau sudah tahu perasaanku terhadap Agata... apa kau
setuju?” aku hati-hati di ujung pertanyaanku.
“Tergantung!” kata Rico.
“Maksudmu?”
“Ya, kau tidak bisa hanya mencintai sebelah pihak. Mamaku?”
Aku tersenyum. Akhirnya, setelah sekian lama, rasaku terhadap Agata semakin
mendapat titik cerah. “Agata juga mencintaiku.” Kataku.
Rico kaget. “Hah! Kau sudah mengungkapkan isi hatimu kepadanya?”
“Ya, sewaktu kau masih di Amerika.” Jelasku. “Jadi... kau mersetui hubungan kami?”
“Asal kau tidak memaksaku untuk membanggilmu, Ayah... itu menggelikkan, sungguh!”
“Sesekali kau harus mencobanya!”
Kami tertawa. Bahagia. Begitu juga Agata, ketika aku menjelaskan kepadanya saat ia
terbangun.
“Benar, kau menyetujui hubungan kami, Ko?” tanya Agata.
Rico mengangguk. “Apapun itu, asal aku bisa melihat Mama bahagia!” ucapnya, sembari
mencium kening Agata.
Malam itu kami saru dalam kebahagiaan yang hadir seketika. Begitu juga ketika Rico
mengungkapkan rencananya untuk melamar Mifta segera, setelah hari wisuda mereka.
Tentunya setelah pernikahanku dan Agata—wanita yang kupuja sekian lama.


Waktu berlalu begitu cepat. Waktu sebulan yang dikatakan dokter kepada Agata, menjadi
menahun. Ya, karena sebuah keajaiban kata dokter, Agata bisa bertahan jauh lebih lama dari
perkiraan. Kalau aku bilang; keajaiban itu datang dari sebuah nikmat bernama cinta.
Kebahagiaan.
Sehingga, tak ingin membuang masa lebih lama. Tepat sebulan sebelum hari wisuda, aku
menikahi Agata. Aku ingin ia ikut mendampingiku bersama kedua orangtuaku nanti, di hari
besar itu.
Begitu juga, Rico dan Mifta. Tiga bulan setelah pernikahanku dengan Agata, mereka
menyusul ke pelaminan. Rencananya, setelah sebulan pernikahannya dengan Mifta, ia akan
ke Amerika. Ada tawaran pekerjaan di sana.
Maka, malam itu, merayakan kebahagiaan kami. Aku dan Agata mengajak Rico dan
istrinya makan malam di resto yang dikelola langsung oleh Agata. Aku dan Agata sepakat
menamakan resto itu; Wira & Agata—(Somewhere Along The Line). Sebuah monumen yang
akan selalu mengingatkanku dengan cinta dan Agata, suatu hari nanti.
“Jadi Wira, apa rencanamu setelah ini?” tanya Rico kepadaku. Ketika kami menikmati
secangkir expresso malam itu.
“Hmm... untuk sementara ini, aku ingin semua waktu luangku tercurah khusus untuk
Agata, seorang.” Ucapku. Kutatap wajah Agata yang masih secantik dulu, meski badannya
sedikit kurus. Kugenggam erat jemarinya, seakan tak ingin melepaskannya barang sedetik
pun.
Rico mengangguk-angguk. “Kalau begitu, aku titip Mamaku kepadamu, Wira.” Katanya
kemudian.
“Pasti!” kataku. “Hmm... ngomong-ngomong, kapan kau belajar memanggilku, Ayah?”
godaku.
“Sial kau!” cibirnya.
Kami tertawa. Larut dalam kebahagiaan yang satu. Cinta.


EPILOG :

Setelah dua tahun kebersamaan kami, aku harus merelakan kepergiaan Agata. Membiarkan ia
damai dalam lelapnya yang abadi, setelah ia melahirkan Agata kecil untukku. Anak kami.
Buah cinta kami, yang saat ini kupeluk erat sembari memandang nisan Agata.
Tak dapat kutahan. Air mataku meluruh. Ada kepedihan sekaligus bahagia yang mencuat
bersamaan. Sehingga kubisikkan pada nisannya.
“Terima kasih Agata... terima kasih telah mencintaiku selama ini... terima kasih karena
telah memberikanku seorang teman baru yang tak kalah cantik darimu.” Aku menyeka air
mataku, menatap wajah anakku. “Kau tahu, Agata kecil sudah pandai mengucapkan kata;
Mama.”

❦❦❦
5. ESMERALDA SUATU KETIKA

KENAPA semua harus dipaksa untuk mengimani―detonator kepedihan yang tak terperikan
selalu bernama cinta? Seperti sebuah dogma, tak ada kuasa untuk membantahnya. Karena
memang benar, nampaknya itu sudah menjadi ketentuan. Walau berulang kali kau telah
melewati samsara. Berulang kali terlahir sebagai sosok yang berbeda. Semua peristiwa
karmik yang kita alami selalu saja membenarkan itu. Tak ada yang lebih menyakitkan hati
selain cinta yang kandas!
Bukan hanya itu, cinta tak lagi sekedar repetisi konservatif. Sebagaimanapun kau coba
untuk mempertahankannya, adalah realitas yang paling mungkin untuk menjawabnya.
Melangkah pelan-pelan, menjembatani waktu. Sampai akhirnya datang suatu ketika kau harus
jatuh terjerembab oleh rasa yang kau ciptakan sendiri. Begitulah cinta. Meski kau tak ingin,
terkadang rasa sakit adalah hal yang paling mungkin kau terima.
Hal seperti itulah yang terjadi padanya. Dia. Esmeralda―
Pernah datang kepadanya dua nama menawarkan janji kebahagiaan. Cukup indah untuk
dibayangkan. Atmanya pun tertumbuk pada dilema. Kegamangan dan kebimbangan yang luar
biasa menggigit ia rasakan kala itu. Semestanya seakan mengerucut sebesar kotak
kegalauannya. Sampai akhirnya ia putuskan, memilih satu wajah di antara dua nama yang
menyuarakan sampul keindahan yang sama.
Namanya Joe. Philipe Joe, lengkapnya. Dan Esmeralda lebih senang memanggilnya Joe.
Singkat dan enak diucapkan katanya. Apalagi saat mereka menikmati sunshet di puncak acala
Bourne. Memperehatikan lengkung kemuning di ufuk sana, sepertinya nama itu berarti surga
setiap kali ia menyebutkannya. Tak pernah sekalipun ia menangkap jejak-jejak semu di wajah
itu. Sepasang matanya yang sayu setiap kali menatap, lengkung senyumnya yang dingin, dan
lagi bisik lirihnya yang menyejukkan, semua itu komplit terangkum di wajah tampan nan
gagah, Joe.
Pernah pula mereka menghabiskan hari menikmati jatuhnya bintik-bintik salju untuk
pertama kali. Mengawali musim. Sungguh indah ranah Bourne saat itu. Seakan ada tepung
kristal yang memenuhi hamparannya. Di atap-atap, di pohon Ek dan Maple, atau juga di
tubuh kendaraan yang terparkir di luar ruangan. “Kau lihat Joe? Sungguh salju-salju ini telah
mengkerdilkan musim-musim yang lain.” ucapnya. Esmeralda memang senang pada salju.
Sejak kecil ia begitu. Setiap kali salju datang, ia akan menghabiskan waktunya hampir
seharian di atas salju yang menggunung. Membuat boneka-boneka salju berhidung kaku,
Membuat istana salju, atau bermain Ice Skating, ia tidak pernah takut walaupun tubuhnya
menggigil akibat dingin, seperti yang ia rasakan bersama Joe waktu itu. Untung saja Joe
adalah lelaki perkasa nan setia, diselimutinya tubuh Esmeralda dengan pelukan eratnya,
menghantarkan panas tubuhnya kepada kekasihnya agar tak lagi merasakan kedinginan yang
amat. Sebelum akhirnya dia berbisik; “Ayo kita pulang Honey, saya tidak suka melihat kau
sakit!” begitulah atensi tulus Joe kepada Esmeralda. Dan perlakuan seperti itu pulalah yang
membuat Esmeralda selalu yakin, bahwa dari sekian lelaki yang pernah ia temui dan dekat
dengannya, Joe-lah dewa yang dikirimkan Tuhan padanya untuk menjaganya, melindunginya
dari kejahatan dunia bermata satu.
Empat musim mereka lalui bersama. Sedu-sedannya waktu mereka lewati dengan penuh
kasih dan sayang. Sampai akhirnya di suatu malam yang tenang, di teras Indigo
Place―begitu Esmeralda menyebutkan kediaman peninggalan orangtuanya itu―ia
memangku kedua lengannya dengan perasaan gelisah. Malam ini Joe akan datang
membawakan sesuatu yang spesial untuknya.
Dengan penampilan yang jauh lebih cantik dari sebelumnya, Esmeralda terus menunggu
bersama kegugupannya. Probabilitas yang ia gambarkan terlalu indah, membuatnya
tersenyum sendiri berulang kali, tanpa pernah mau membayangkan seandainya saja badan
Indigo Place yang dipunggunginya itu adalah raksasa yang siap menerkamnya. Menelan
tubuh tipisnya bulat-bulat. Sungguh itu mengerikan. Tapi tidak. Esmeralda tidak berandai-
andai tentang sesuatu yang horor dan buruk malam ini. Yang ia tahu, Joe tidak akan pernah
mengingkari janjinya. Ia mengimani itu.
Lantas, mengawali malam musim semi itu, Joe datang bersama janjinya. Mengikrarkan
kalimat yang begitu suci. Aksara lama yang dinantikannya. Memasangkan cincin bermata
berlian di jari manisnya. Hatinya berdesir, seakan lingkaran putih mengkilat itu adalah lisensi
atas kesempurnaannya sebagai wanita. Lalu, lirih Joe berucap; “I think i wanna marry you!”
meledaklah kegembiraannya. Esmeralda tak lagi dapat menyuarakan apapun. Hatinya telah
mekar bersama jutaan bunga di ranah Bourne. Inilah puncak kebahagiaan. Sebenar-benarnya
surga, tanpa dapat ia gambarkan dalam kata-kata terbaik manapun. Yang ia tahu, hatinya
berbisik padanya; “This is a trully love.” Ya, ia mengakui bahwa inilah sebanr-benarnya
cinta. Saat dua hati berjanji untuk saling menggenapi.
Malam itu mereka habiskan bersama. Bercerita tentang sesuatu yang indah. Cukup yang
indah-indah saja. Mereka tak ingin menimbulkan sobekan luka untuk momen yang bahagia
itu. Apalagi, Joe, ia tak ingin mengorek lagi kisah kelam Esmeralda. Begitu juga sebaliknya,
Esmeralda membuang jauh-jauh perasaannya yang ingin menyentil masalah Joe sewaktu
masih di jalanan. Sewaktu ia masih bergelar, ‘Joe sang pemabuk’. Mereka tak menginginkan
itu. mereka hanya ingin, bagaimana tangan mereka saling bergandengan di sapu bias cahya
gemintang. Mereka hanya ingin, bagaimana nafas mereka bisa saling menjawab. Dan ketika
mata mereka saling menemukan, ada jeda yang mendesir di antara mereka. Dingin. Menjalari
buku-buku diri.
Sampai di situ, perlahan keindahan itu memudar. Hari pentahbisan untuk cinta mereka,
sebagaimana janji Joe malam itu, tak pernah benar-benar ada. Hanya kiasan yang indah di
dengar namun tak dapat digenggam. Seperti kabut. Semuanya menyamar, sebelum akhirnya
benar-benar hilang.
Joe, bersama kata-kata metaforisnya yang merdu, telah benar-benar pergi meninggalkan
Esmeralda. Tak ada lagi surga yang perlu ia gambarkan. Semuanya musnah bersama
kemalangan itu. Kemalangan yang menimpa Joe, telah memaksa keindahan itu
bertransformasi menjadi luka yang dalam. Luka yang mendera batin Esmeralda selama satu
dekade. Hingga hari ini, ketika ia menyaksikan musim semi yang sama di punggung bukit
Bourne.
Nalarnya perlahan mulai mengungkit-ungkit masa-masa itu. Kala Joe masih selalu
bersamanya. Menggenapinya. Saat Joe, belum berubah menjadi sepenggal nama di ukiran
nisan. Sebelum nama yang dianggapnya surga itu berubah menjadi ilusi tanpa tepi. Indah
memang. Bahkan keindahan yang hanya cukup untuk dikenang itu, mampu menyamarkan
realitas akan rasa sakit yang lebih dalam lagi.
Dan benar. Ketika ingatannya tertumbuk pada peristiwa berdarah itu. Kepiluan benar-
benar tak dapat ia tolak. Terlalu terang ingatannya tentang Joe yang tergelepar bersimbah
darah di pangkuannya satu dekade yang lalu, saat minibus yang melaju zig-zag menghantam
tubuh kekasihnya hingga jauh terpental. Bahkan, ia masih ingat bau amis darah yang
menyengat itu keluar dari sisi belakang kepala Joe.
Maka, jatuhlah Esmeralda. Rasa sakitnya begitu kuat menghiris. Luka itu kembali
menganga, melewati batas kepongahannya. Ia mengerang. Bibirnya gemetar. Tak ada kata-
kata yang dapat ia suarakan selain gigi-giginya yang bergemeretak mendapati kepedihan.
Ketika rasa sakit itu memuncak, Esmeralda mengerang. Menghardik alam yang tak
pernah tulus menyuarakan keindahan padanya. Bahkan ia berani membentak. Membentaki
dirinya, membentaki kekasihnya yang meninggalkan janji-janji surgawi. Ataupula Tuhan.
Dari puncak acala itu, Esmeralda menggemakan protesnya terhadap Tuhan. Tuhan yang
menurunkan ujian padanya, yang meski ia sanggup untuk melaluinya, ia tetap jatuh dan
lemah akan rasa sakitnya.
Begitulah kisah Esmeralda suatu ketika. Hampir setiap musim di hari-hari selanjutnya, ia
akan datang kepuncak acala itu untuk mengenang keindahan sewaktu bersama Joe dulu,
sekaligus rasa sakitnya. Hingga akhirnya, ia sampai pada batas takdirnya. Ia sampai pada
kematian yang menjanjikan sebenar-benarnya kedamaian.

❦❦❦
6. CASUAL?

APA yang ada dalam benakmu tentang sesuatu yang sederhana? Casual. Hidup? Atau
kematian? Atau mungkin kau menangkap keduanya sebagai sesuatu yang terlalu sederhana.
Tidak rumit. Tak perlu mencla-mencle. Lalu, bagaimana dengan cinta? apa kau masih bisa
berpikir sederhana? Meski banyak yang mengisahkan tentang kisah-kisah kasual, aku pikir
kamu tidak akan dapat menyederhanakan apa yang aku alami. Aku yakin, kamu tidak akan
dapat!
Untuk kisah panjang yang akan aku ceritakan ini, kau hanya butuh presisi. Sebagaimana
seorang ilmuwan pada objeknya. Sebagaimana udara yang mampu mengisi ruang selubang
jarum pun demi mencapai hakikat dari eksistensinya. Kau hanya butuh itu! karena, jika tidak,
kau akan tenggelam dan hanyut dalam kebingungan. Bimbang yang memilukan.
Aku pernah mendengar cerita tentang “karma” sebuah hukum yang mana apa yang kita
perbuat hari ini akan mendapatkan balasan kemudian hari. Sederhananya ; “Jika kamu
melakukan keburukan, maka keburukan pulalah yang akan kamu tuai!” mengingat cerita ini,
aku menjadi menduga-duga, apa mungkin rasa sakit yang menderaku hari ini adalah akibat
dari kepedihan yang pernah aku timpakan kepada mereka di hari yang lalu? Apa mungkin,
semua rasa sakit ini adalah ijabah dari doa-doa mereka yang pernah aku lukai? Jika benar
seperti itu, maka kiranya kesederhanaan akan selalu berpotensi menjadi sesuatu yang super
rumit, jika kau tidak menjaganya.
Dulu, di mana cerita ini bermula, nafasnya selalu menjadi adisi di tiap ruang gerakku.
Diamnya mampu menginfeksi ruangan lima kali empat yang kami punya. Sebuah kamar
kontrakan kecil di sudut kota jakarta. Hunian tempat kami merubung hari dengan kata-kata
mesra. Kisah-kisah romansa. Seakan hari-hari yang datang dan berlalu pulang, hanya meng-
ada-kan kebahagiaan untuk kami berdua.
Pernah ia mengatakan padaku, “Kau adalah jalanku!” lengannya merengkuh setengah
tubuhku dengan manja.
“Kaulah detonator untuk setiap kebahagiaanku!” balasku sembari mengusap lembut
puncak kepalanya.
“Jika aku menjadi gradasi, kau ingin menjadi apa?” tanyanya, masih tetap manja.
“Aku akan menjadi bias-bias warna pelangi!” kamipun saru dalam harmoni pada malam
yang dingin kala itu. Kubalas rengkuhannya di teras kontrakan kami, sementara kubiarkan
bibir tipisnya menyentuh keningku. Sementara rembulan, mengintip detik-detik harmoni di
antara kami, ikut hanyut dan tersenyum. Aku bisa merasakannya.
“Kau tahu, selama tanganmu masih terus ada dalam genggamanku, tak ada satupun
probabilitas yang dapat membuatku jatuh. Kau adalah tameng bagi segala kepedihan. ruang
dan waktu bagi cinta bertumbuh. Kaulah dogma kebahagiaan yang tak dapat kutolak.”
kalimat metaforis yang sangat indah kudengar malam itu, sebelum kami terlelap ke dalam
mimpi yang sama indah, tentunya.
Demi hari-hari yang kami jalani bersama, tak ada ketakutan yang menggentarkan. Tidak
pula mortalitas. Sebab aku dan dia telah berjanji untuk ada dan tiada bersama. Tak terpisah.
Oleh jarak. Oleh waktu, yang melenggang pulang.
Dari semua sikapnya yang sederhana, ada satu yang membuatku sempat rikuh.
Kebiasaannya menatap wajahku selama tidak lebih dari lima menit sebelum kami tertidur,
karena merasa aneh dan lain, aku menanyakan suatu malam di kamar yang sama. Dunia lima
kali empat tempat kami mengukir mimpi.
“Kenapa setiap kali hendak tertidur kau menatapku selama dan selamat itu?”
Ia tersenyum mendengar pertanyaanku. Kemudian perlahan ia berbisik ke telingaku.
“Biar nanti saat aku tertidur, aku tidak melupakan wajahmu!” lirih.
Dadaku membengkak spontan, memaksaku untuk mendesah di telinganya. Ada rasa
bangga dan kebahagiaan yang dalam mencuat bersamaan. Bagaimana tidak, tak ada seorang
lelakipun yang mampu menolak untuk dicintai gila-gilaan seperti ini. Apalagi itu cintanya
wanita spesial yang tak akan kau temukan duanya di dunia ini. Spesies langka yang menjadi
nikmat paling akbar untukku.
Entah kenapa, semenjak aku dekat dengannya, setidaknya setelah kami tinggal di kamar
yang sama, malam menjadi tempat berhimpunnya segala harmoni. Seakan tak ada waktu
yang paling indah selain malam-malam kami. Sebab, sepanjang hari di luar hari libur, kami
akan sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing. Aku yang bekerja sebagai montir di
sebuah bengkel ketok magic, selalu mendapat bagian memasak, karena jadwal pulangku satu
jam lebih cepat darinya yang bekerja sebagai copy writer. Itu juga kalau ia tidak mengambil
jam lembur. Jika dead line pekerjaannya mendesak, aku harus rela menunggunya hingga jam
dua subuh. Selalu begitu. Untuk menunggunya kembali, aku rela terjaga sampai subuh tiba.
Aku tidak ingin dia marah karena melewatkan bagian lima menitnya menatap wajahku
sebelum terlelap.
Jadwal kami terstruktur, sistematis. Minggu adalah satu hari yang paling kami tunggu.
Sepanjang hari itu kami bisa duduk berdampingan, bergandengan satu kali dua puluh empat
jam. Full time. Tak ada yang mengganggu. Meski di ujung malam, kami seperti takut
genggaman itu harus berakhir lagi setelah pukul tujuh pagi tiba. Kedekatan itu harus berakhir
sementara oleh rutinitas lain. pekerjaan yang aku jelaskan tadi.
“Weekend bulan depan kita ke mana?” tanyanya sembari mengeringkan rambutnya yang
masih basah dengan handuk. Aku paling senang melihat wajahnya setiap kali habis mandi.
seakan aku sedang melihat kecantikan bidadari seperti yang di dongengkan dalam kisah “Jaka
Tarub”.
“Menurutmu, bagian mana lagi dari sudut Nusantara ini yang belum pernah kita
kunjungi?” aku balas bertanya.
“Tabungan kita masih cukup bukan?” ia memastikan.
“Aku pikir begitu!” jawabku, sembari mengaduk masakanku. Cah kangkung dengan
tingkat kematangan sempurna adalah kesukaannya. Aku tak ingin melakukan kesalahan.
“Kemarin, setelah membayar sewa kontrakan, dan keperluan dapur, aku rasa tabungan kita
masih cukup untuk sekedar terbang ke belahan negeri yang lain!” selorohku.
Aku terjingkat saat ia merangkulku dari belakang dengan tiba-tiba, aku tak sempat
mengantisipasi karena serius dengan masakanku. “Bagaimana kalau kita ke Bandung?”
ucapnya girang. Aku tahu, dia akan sangat senang dan bahagia setiap kali menyebut kata
Bandung. Sudah lebih dari lima kali selama hubungan kami ia menawakan kota Bandung
sebagai tempat berlibur. Bukan aku tidak suka dengan kota Bandung sehingga aku selalu
menolak ajakannya ke sana, aku hanya takut. Kegamanganku bertandang setiap kali ia
menyebutkan nama kota yang satu itu.
Aku mengangkat wajan dari kompor, menumpahkan cah kangkungku ke dalam
mangkuk. Kemudian menarik lengannya untuk duduk di depan meja makan. Aku memasang
wajah serius, “Harus ya, Bandung menjadi tempat yang paling kamu impikan untuk kita
kunjungi?” nada suaraku seperti memelas. Bukannya aku tidak niat menuruti kemauannya,
hanya saja aku belum siap menemui orangtuanya. Aku takut, kalau orang tuanya tidak mau
menerima keadaannku yang seorang yatim ini. Tukang montir pula. Tanpa gelar. Sama sekali
tak menawarkan kebahagiaan materi, seperti lelaki pada umumnya yang banyak diidamkan
orangtua kebanyakan untuk putrinya.
“Memang kenapa sih Bas?!” ia memberengut, sembari mengusap punggung tanganku,
“Aku rasa, masa dua tahun hubungan kita sudah cukup buatmu untuk mengenal keluargaku
lebih jauh. Begitupun mereka... sudah menjadi tugasku untuk memperkenalkanmu kepada
keluargaku!” ia mendesah, “Kenapa harus takut sih Bas?” lanjutnya lagi.
“Bukannya takut, aku hanya belum siap!” tukasku.
“Mau sampai kapan baru kamu siap?” wajahnya berubah merah. Aku gentar melihat
percik-percik amarah tergurat di sana, tapi aku juga belum berani mengiyakan ajakannya ke
Bandung.
“Kasih aku waktu.” Ucapku.
“Okey, masih ada satu bulan untuk kamu berpikir!” ketusnya, sembari meninggalkanku
sendiri di dapur. Aku tahu ia marah. Kesal denganku. Aku bisa menduga dari caranya
menghentak-hentakkan kaki.
Aku sudah terbiasa dengan sikapnya yang seperti ini. Aku tahu, setiap kali ia marah, ia
butuh untuk di manja. Maka, kuhampiri dirinya yang sedang memberengut di tepi ranjang.
Hati-hati kudekati dirinya.
“Jangan marah dong Mey... aku nggak bisa liat kamu cemberut kayak gini....” lembut
kubelai rambutnya yang panjang sampai ke bahu, “Aku bukan nggak mau menuruti ajakan
kamu ke Bandung. Aku hanya tidak ingin membuat kamu malu.” Aku usahakan suaraku
selirih mungkin.
“Tapi, mau tunggu sampai kapan sih, Bas?” wajahnya terangkat, menatapku. “Apa, harus
aku mati dulu?”
Aku tercekat, gugup oleh kalimatnya yang terakhir, “Ssttt... jangan ngomong gitu ah!”
kutarik tubuhnya untuk jatuh dalam rengkuhanku, “Aku nggak bisa kehilangan kamu!”
“Ya sudah, bulan depan kita ke Bandung!” desaknya, dengan nada memelas.
“Jangan bulan depan, ya?” tawarku.
“Terus kapan? Pokoknya aku mau tahun ini, titik!”
“Hmm... libur akhir tahun, gimana?” jujur, aku sendiri tidak yakin dengan ucapanku.
Akhir tahun tinggaltiga bulan lagi, aku tidak yakin aku telah siap bertemu keluarganya dalam
tempo sesingkat itu.
“Benerean nih, libur akhir tahun?” wajahnya berubah sumringah, senyumnya kembali
merekah seperti biasanya. Aku mengangguk.
“Makasih ya, Bas!” ia, balas memelukku.
Sehabis makan malam, di dalam kamar, ia langsung menghubungi Ibunya, mengabarkan
kalau akhir tahun kami akan berada di sana. Baru malam itu aku melihat kebahagiaannya
meledak-ledak. Jauh lebih bahagia daripada hari-hari kami sebelumnya. Kebahagiaan yang
tergurat di wajahnya malam ini jauh lebih besar daripada hari di tepi pantai waktu itu. saat
kami memantapkan janji untuk saling mencipta. Saat kami untuk pertama kalinya
mengucapkan ikrar untuk saling menggenapi. Bersama, selamanya, tanpa pretensi.
Untuk sementara, kesederhanaan itu berlanjut. Hari-hari kami jauh lebih berwarna. Kala
malam tiba, kami lebih sering terjaga, sesering ia menceritakan kepadaku kalau ia tidak sabar
menunggu akhir tahun. Hari dimana ia akan membawaku ke Bandung. Menemui
keluarganya. Mendesakku untuk melamarnya.
Di kisi hati yang lain, jauh berbeda dengan hatinya yang berbunga-bunga, aku semakin
gamang. Semakin banyak hari-hari lalu yang kami tinggalkan, semakin besar dan jelas
kegamangan itu kurasakan. Bahkan kegelisahan itu mampu membuatku terjaga sampai
berjam-jam setelah ia tertidur. Mulai berdatanganlah reka-reka probabilitas dalam benakku.
“Mungkinkah kondisiku yang sekarang dapat diterima keluarganya?”
“Aku hanyalah seorang yatim yang tumbuh sendirian, sedangkan keluarganya adalah
kaum noble, nan terpandang. Kasta brahmana....”
Pertanyaan-pertanyaan itu mulai mencuat dalam benakku, satu-persatu mendesakku.
Mengungkit kegamanganku. Tak hanya pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab itu,
sesekalipun aku protes. Entah pada siapa.
“Kenapa cinta terlalu sering kandas dan terlepas oleh tingkat-tingkat kasta? Bukankah
cinta tak perlu materi untuk menumbuhkannya? Bukankah cinta hanya butuh dua hati untuk
saling percaya?” Aku benar-benar pongah.
Aku tahu, tidak seharusnya aku berpikir begitu sementara aku sendiri belum pernah
bertemu orangtua Mey. Tapi, jika aku mengingat lagi kejadian lima tahun silam, sebelum aku
mengenal Mey, aku rasa apa yang aku takutkan akan berlaku kepadaku.
Dulu, aku pernah juga mencintai seorang wanita yang kurang lebih sama dengan Mey.
Sama-sama berasal dari keluarga terpandang. Dan apa yang terjadi? Setelah aku meyakinkan
diriku. Setelah kami berjanji untuk tetap bersama, semuanya harus pupus karena kehendak
orangtuanya. Perjodohan adalah jalan yang dengan sangat terpaksa harus ia pilih demi
kebahagiaan kedua orangtuanya. Di mata mereka, aku bukanlah lelaki yang diharapkan. Aku
hanyalah pecundang. Ya, pecundang yang saat itu hanya bekerja sebagai seorang montir.
Sebab itulah aku gamang setiap kali Mey memintaku untuk menemui orangtuanya.


Maka, siapa yang pernah menduga bahwa waktu dapat menyulap sesuatu yang menakutkan
menjadi sangat menyakitkan? Aku merasakannya. Menjalaninya. Masa transisi tiga bulan
sebelum sampai pada akhir tahun yang semula terasa cepat berputar, bagiku tak lagi berarti.
Satu-persatu karma datang menghampiriku. Membalasku.
Sebagaimana jalan cintaku yang memilukan dulu, oleh Mey, aku kembali merasakannya.
Meski ceritanya berbeda, namun rasanya masih tetap sama. memedihkan.
Tidak usah menunggu akhir tahun untuk semuanya, bulan depan, atas permintaan
Ayahnya yang saat ini sedang sekarat di rumah sakit, Mey harus secepatnya menikah. Ya,
dengan orang yang telah dipilih oleh keluarganya, tentunya. Perjodohan.
Mey, sempat menolak mati-matian. Namun, apa yang dapat ia lakukan, jika orangtuanya
menuntut bakti seorang anak? dengan sangat terpaksa, Mey menuruti orangtuanya.
Kekasihku itu lebih memilih melukai hatinya sendiri daripada harus menentang permintaan
Ayahnya, yang bisa jadi itu adalah permintaan terakhir.
Aku benar-benar jatuh pada lubang keakuan. Tak ada yang dapat aku lakukan, selain
merutuki diriku sendiri. Mulailah perandaian-perandaian bermunculan di benakku.
“Seandainya saja, aku menuruti kemauannya untuk menemui orangtuanya segera,
mungkin tak akan ada hari ini... hari di mana aku jatuh ke titik yang sama untuk kesekian
kalinya!”
“Seandainya saja aku bisa membunuh ketakutanku....
“Seandainya....”
Dan masih banyak “seandainya” lain yang tak lagi berarti. Sebab, aku telah menyaksikan
pernikahannya. Pernikahan yang penuh dengan air mata. Kebahagiaan yang hanya di rasakan
oleh sebagian orang. Kenduri yang menawarkan rasa sakit yang dalam bagi dua jiwa. Aku
dan dia.
Semuanya pupus. menguap, tertelan habis oleh realitas. Tak ada lagi dunia empat kali
lima yang kami punya. Semuanya telah bertransformasi menjadi nirwana yang tak pernah
kami rindukan. Cerita-cerita indah yang pernah kami tahbiskan bersama, kini bertransformasi
sebagai memoar-memoar luka.
Lantas, demi kepedihan yang mengajarkan aku tentang cara mengikhlaskan. Cara untuk
tertawa dalam balutan kepedihan. Cara untuk meyakini, bahwa takdir selalu memiliki
kisahnya sendiri. Sabar. Aku luahkan semuanya dalam kitab sederhana. Kisah romansa yang
tak lagi dirindukan.

❦❦❦
7. KEMUNING

KEINDAHAN?
Aku selalu percaya hal semacam itu ada. Meski ia selalu bersanding dengan keburukan.
Seperti yang kusaksikan pagi ini. Bias kemuning di ufuk timur dari puncak ini, dari atap-atap
rumbia yang coklat, siluet-siluet pohon seperti makhluk-makhluk lain yang tumbuh dan
berkembang dalam bayang-bayang. Langit nusantara yang kemuning setiap kali fajar
menyingsing memang selalu menawarkan estetika yang lain. Meski aku tahu, siluet-siluet
samar yang sama terbungkus embun itu hanyalah kamuflase yang lahir akibat perspektif.
Seperti fatamorgana, ketika kau dekat, ia akan hilang dari ekor pandangmu. Namun, aku tetap
saja menikmatinya setiap kali, saat aku duduk menyendiri di puncak acala yang hijau ini.
Berjam-jam. Cukup dengan lembar-lembar kanvas aku menggoreskan cerita.
Di hari-hari seperti ini, saat langit kemuning di lengkung langit timur, aku menyuarakan
segala yang ingin kukabarkan. Kepada langit yang kemuning itu sendiri, kepada sembilan
ekor kakak tua yang terbang bermanja-manja di udara, kepada pepohon yang beberapa
tangkainya meranggas, kepada angin yang berbisik merdu dalam kesiurnya, dan kepada atap-
atap rumah yang ada di bawah. Atau juga pada diriku sendiri.
Begitulah kiranya aku meluahkan keresahanku.
Aku tak peduli dengan rinai yang merintk sepagi ini. Oleh kanopi pohon beringin yang
lebat dan rindang, cukup aku berlindung. Bernaung di bawahnya, agar aku bebas
mengguratkan mata penaku. Menitipkan isi hatiku pada lembar-lembar putihnya, tanpa takut
basah dan robek. Apalagi sudah aku persiapkan dua potong roti tawar di dalam ranselku
sebagai bekal sampai siang nanti.
Memang susah menggambarkan problema ini dengan deret aksara. Kadang penaku
berhenti sesaat. Memberi jeda untuk pikiranku menangkap majas-majas metaforis yang pas.
Menempatkan aforisme dengan tepat. Supaya, sekalipun berarti duka, kesannya masih tetap
indah. Agar ketika aku membacanya di hari yang lain, aku tak akan bosan. Tak lagi
merasakan sakit yang dalam.
Sesekali, ketika penaku terpaksa berhenti untuk saat yang lama, aku segarkan lagi hati
dan pikirku dengan petikan merdu dawai gitarku. Bermain dengan nada-nada mayor.
Memekikkan dengking nadanya di ujung, sehingga terdengar merdu. Sempurna. Pun
harmoni. Dengan begitu, kotak-kotak inspirasi yang baru akan hadir dalam ruang kepalaku.
Dan ketika ilham itu datang, aku tak akan melepaskannya, hilang.
Seperti aroma chamomile yang di balut secangkir Obsession Drink, aku mabuk dan
landai dalam ceritaku sendiri. Baunya mekar dan membekas.
Maka hari ini, di bawah kanopi beringin yang memayungi, di deret langit yang
menawarkan pola-pola fraktus pada gradasinya, wajahmu hadir menguasai. Anggap saja
‘Kemuning’―begitu aku menyebutmu dalam tulisanku untuk sementara. Mengundang
benakku untuk menuliskan tentangmu. Tentang kita dan rasa. Menyentuh naluri dengan
hangatnya. Apalagi senyum itu. Sungguh aku begitu terpana melihat lengkung bibirmu yang
tipis dan menukik seperti bulan sabit. Hmm... aku ingin menyentuhnya dengan nyata dari
sini.
Aku tuliskan pula kisah di awal pertemuan kita. Hari itu, hujan mengguyur basah semua
apa yang dijatuhinya. Terpaksa kita berteduh di sebuah halte yang sama basah. Seandainya
tak beratap, mungkin sekujur tubuh kita ikut kuyub. Sepanjang hujan itu terus menitik, tak
ada satu patah katapun yang membantu kita untuk saling menegur-sapa. Hanya senyum yang
melengkung samar setiap kali bertatapan. Senyum yang tak tertakar apa maknanya. Yang
jelas, perasaanku terasa hangat. Jadilah kita sepasang remaja yang diam di balut desir hujan
yang kentara. Dan, itu lucu menurutku.
Tak pernah terpikirkan kalau peristiwa di halte itu adalah awal dari pertemuan yang
panjang. Cerita yang membentang lama. Ya, begitulah kiranya aku mengiaskannya. Sampai
sekarang, aku masih selalu ingat wajahmu yang sendu dan diam waktu itu. waktu seragam
kita masih sebatas putih-merah. Waktu umur kita masih terlalu belia untuk mafhum akan
perasaan yang saat ini menjadi dilema. Kegamangan yang luar biasa. Melebihi kegelisahan
akan waktu yang melenggang pulang.
Aku tak pernah menduga, kian kemari wajahmu yang ku kenal bertahun-tahun lalu di
bawah guyur hujan dan senyum hangat itu bisa berubah menjadi rindu dalam batinku. Bisa
menjadi rasa sakit yang nyata setiap kali kau menjauh. Bisa menjadi kesejukan yang
sempurna saat kita sama dekat. Sungguh, aku tak pernah memikirkannya. Yang aku tahu, hari
itu, aku simpati oleh diam dan sepasang mata sayumu.
Saat hujan berhenti menitik, waktu itu, ingin sekali aku memberikan senyum terbaik
yang aku punya sebelum akhirnya kau melangkah meninggalkan aku sendiri di halte itu
sendiri. Ingin sekali aku menyebutkan namaku. Menanyakan namamu. Tempatmu. Dan
seandainya saat itu aku sudah dapat menafsirkan dirimu akan menjadi rindu bagi batinku, aku
akan katakan yang sebenarnya. Kebenaran yang kurasakan saat ini tentangmu. Namun
sayang, takdir dan waktu belum memberiku pemahaman lebih tentang itu. sehingga dari halte
itu, aku hanya bisa menatap lepas punggung tubuhmu. Rambut panjangmu kuperhatikan
terurai sampai ke punggung. Sampai akhirnya kau hilang di balik pintu gerbang sekolah.
Lantas kutinggalkan halte itu bersama bayang-bayang dirimu beberapa menit yang lalu
menuju gerbang sekolah yang lain.
Kiranya tak ada rindu yang begitu memanggil seperti yang aku rasakan kali ini. Ketika
sepasang burung darah bersayap merah bercumbu mesra di reranting pohon cempaka di
depan tempatku duduk bersandar. Depan pohon beringin tentunya. Setidaknya aku bisa
melihat bagaimana mereka berlompat-lompat dan bercengkerama mesra dari jarak beberapa
meter ini. Jujur, aku iri pada mereka yang berkicau, menyuarakan kebahagiaan mereka yang
saling menggenapi. Sedangkan aku di sini sendiri. Mengintip wajah ayumu dalam ilusi yang
kuhadirkan sendiri.
Kemarin, kudapati dirimu termenung di depan teras yang sama. kutebak-tebak apa
makna di balik tatapan kosongmu itu. Mengapa kau mendesah. Dan ketika kau menunduk,
aku pastikan sendiri kau juga sama sepertiku. Terkurung dalam dilema. Aku tahu itu, meski
sebenarnya hatiku selalu sakit setiap kali menebak kebenarannya. Apalagi itu tentangmu!
Dan... dia.
Pernah juga, kutuliskan tentangmu di suatu malam yang hening. Begini ceritanya ; Dari
kursi kayu di halaman aku puas menatap lepas siluet awan yang mengedar di atas hamparan
laut yang tak lagi biru itu. Hitam. Menggulita. Hanya sebagian yang biru saat bias-bias
menyapu lembut beberapa sisinya. Akupun tenggelam dalam teduhnya.
Sepasang kelelawar mengitari pepohon mangga yang rindang memayungiku. Mengepul
hidup dari buahnya yang ranum. Berkaik-kaik, menyuarakan kebahagiaan. Seperti aku, di
antara sekuel-sekuel sepi dalam senyapnya malam, menikmati kebahagiaanku.
Aku hanya butuh jeda untuk menepi. Sebagaimana malam yang datang bersama hening.
Kesiur angin begitu merdu membisiki. Akupun hanyut dalam tembang-kembang kecapi
yang kulagukan sendiri. Tembang yang pernah mengangkatku ke atas panggung kehormatan
di puncak acara pagelaran seni budaya, dua tahun silam. Kubiarkan ilham itu lahir dan
harmoni bersama sentuhan lengang yang terbingkai dalam satu kotak kebahagiaan.
Sepertinya buih-buih rindu mulai menemukan tempatnya untuk bertumbuh. Di sini dalam
atmaku yang mulai mengerti senyum. Dingin.
Entah ia sama merasakannya, kubiarkan netraku menjilat kosong siluet langit. Bersama
rembulan dan tebar gemintang, dia tak gelap seperti biasa saat aku bertanya. Jauh lebih terang
dan menenangkan. Apalagi di atas sana, sepasang gagak malam berkoak-koak mengabarkan
pesannya, tiga kali mereka berkoak. Hitungan ganjil yang memberi pertanda baik bagi
pendengarnya. Begitu kepercayaan yang kubawa dari leluhurku. Aku tersenyum. Yakin,
pesan itu untuk hatiku.
Aku baru sadar, bahwa melodi dapat menjadi ibarat pengguncang jiwa. Iramanya yang
merdu, jauh lebih menyentak daripada seruan genderang. Tak hanya sekedar timbre atau
deretan frekuensi amplitudo. Nada-nada itu mampu menjadi noktah bagi jiwaku yang kosong.
Seperti degup jantungku saat ini, iramanya begitu kuat, menghentak namun tetap menjaga
konsistensistensinya ; harmoni. Apalagi saat kugambarkan cerita kami di teras pagi, saat mata
kami saling menemukan, seketika wajahnya membias jelas di sudut bacaku. Di manapun.
Kemanapun aku menoleh.
Lantas, bersama melodi dari tiga dawai kecapi, kukisahkan tentang indahnya jiwa yang
moksa. Bukan sekedar mantra Asmaradana. Dalam heningpun aku dapat meraup
kebahagiaan. Merangkul malam sebagai potongan sajak yang merdu. Menggamit bulan
sebagai bait-bait yang murni dan tahbis. Sehingga malam ini aku tak peduli. Keindahan ini
terlalu nikmat untuk cepat tersudahi. Tak ingin aku melepas. Ingin selama-lamanya ada di
sana, seandainya waktu dapat stagnan. Hilang-lenyap bersamanya, pun aku mau.
Dibungkus sejuk sapuan gita, kukais-kais makna yang ada. Bermetafora bersama
purnama yang bulat sempurna. Merangkai-rangkai kidung yang mendeskripsikan rindu
sebagai sebuah keindahan yang tak tertakar. Meski tercatat, tak sepenggalan mampu
terungkap dengan benar. Sebab, apa yang kurasakan malam ini pada balutan heningnya,
adalah rahasia antara aku, dia, dan diriNya. Tak habis meski berulang kali ku
mengungkapkannya. Tak tereja meski kutuliskan. Dan tak terlihat meski sering kulukiskan.
Itulah kebahagiaanku tentang rindu.
Bicara tentang rindu. Aku mendeskripsikannya sebagai dia. Wajahnya, senyumnya, tutur
lembutnya, dan lagi... pipinya yang selalu merona. Ah... sungguh sebuah keindahan. Meski
sebenarnya aku ragu, ia akan berkata sama kepadaku. Aku ragu akan kasta yang menjadi
rentang langkah antara kami berdua. Mempartisi. Tapi... sungguh, apa yang kunikmati malam
ini tak dapat sudah walau rangkaian probabilitas itu menggertak sesekali. sungguh, aku tak
ingin lepas dari lekat rinduku sendiri. Bukankah cinta hanya butuh satu hati?
Maka, di bawah terik yang masih tetap kemuning, aku menyaksikan bunga-bunga
matahari liar yang juga kemuning di tepi jurang acala ini. Mekar, bergerak kelopaknya
mengikuti arah matahari. Kuperandaikanlah dirimu seperti bunga yang kemuning itu. meski
sosokmu jelas dan indah, aku ragu, takut untuk menyentuhmu. Jatuh ke dalam jurang yang
terjal, bisa menjanjikan kematian.
Karena waktu semakin mendesakku untuk kembali, sebagaimana perjanjianku dengan
puncak bukit yang hijau ini. Sebelum menutup lembar albumku, kusudahi kisah yang kutulis
hari ini; tentangmu, tentang kita dalam cinta yang kemuning.

❦❦❦
8. KEPING KEPING WAKTU

SAMPAI di situ, ia masih tetap gamang dan ragu. Berkali-kali ia membolak-balikkan kertas
ungu di tangannya, namun ia masih tetap barada dalam kebimbangannya. Bukan apa-apa,
sebenarnya kegamangan itu diusung oleh hatinya sendiri. Kebimbangan yang meng-
hampirinya setiap kali. Padahal ia tahu, di ruang yang melengkung ini, waktu tak akan pernah
stagnan hanya untuk menunggu seorang Firaz menelepon. Detik akan merangkak menjadi
menit, berubah menjadi jam, dan menguap berganti hari. Seharusnya ia menyadari, konsep
holistis nirwana yang ia diami sampai saat ini.
Entah sudah kali keberapa Firaz bolak-balik antara teras dan ruang tamu, membawa
kertas ungu itu di genggamannya. Sesekali menghidupkan ponselnya, kemudian diam
memandangi lamat layar putih itu. Sesaat, jempolnya mulai mengetik deretan angka yang
tertulis di atas kertas ungu, dan ketika ia sampai pada angka kedelapan, ia kembali
menghapus angka-angka yang telah ia ketik sebelumnya, lantas menjatuhkan diri di atas sofa
sambil mendesah pelan.
Hari ini, sudah berjam-jam ia melakukan kegiatan absurd itu. Sampai-sampai ia lupa
untuk menenggak kopi yang ia buat sejak berjam-jam lalu.
Siapa sangka, pria setangguh Firaz harus jatuh pada titik kepongahan hanya karena
sederet angka dan nama. Ada takjub dan takut mencuat sekaligus. Menggoda nalarnya untuk
mencari-cari probabilitas yang akan terjadi selanjutnya, mengantisispasi, setelah detonator
berbentuk kotak dengan simbol melengkung berwarna hijau ia tekan nanti. Apakah ia harus
berpura-pura menjadi seperti dulu, atau berlaku sebagaimana ia sekarang. Yang pasti, ada
sesuatu yang menghirisnya dari dalam. Menggigit. Membuat mata dan tubuhnya berubah
kaku bersamaan. Bahkan tenggorokannya memahit.
Kembali ia menggerakkan jempolnya mengetik angka-angka yang berderet rapi di bawah
nama yang ia kenal. Membuatnya sadar, adakalanya ruang dan waktu yang melengkung
menghianati konsep gravitasinya. Lihat saja, bagaimana jemari Firaz begitu berat hanya
untuk menekan tombol-tombol mungil di badan ponsel, seakan jemari dan ponselnya adalah
dua kutub magnet yang saling berlawanan. Saling tolak-menolak. Berat.
Di antara usahanya menekan angka-angka itu, kembali keping-keping waktu yang telah
ia lewati menyesakai ingatannya. Memori yang terlalu berharga untuk ia buang. Kenangan
yang terlalu indah untuk ia kenang. Tapi, seindah-indahnya kekisah itu bagi Firaz, adalah
kepedihan yang ia rasakan setiap kali mengingatnya. Menelan entitas dirinya bulat-bulat
menuju masa bertahun-tahun yang lalu. Masa di mana nama itu masih ada untuk menggamit
lengannya lembut. Nama yang pernah mengajarkannya tentang kebahagiaan sekaligus
kepedihan.
Sekali lagi Firaz mengeja nama yang tertera di kertas ungu itu―Rindu Nacita―me-
mastikan kalau ia tidak salah memilih nama. Maka, sampailah ia pada suatu hari di taman
yang penuh bebunga―
“Raz, kamu tahu apa arti kepedihan yang sebenarnya?” tanya Nacita saat mereka duduk
begitu dekat.
“Hmm... arti kepedihan... ya, sakit!” jawab Firaz sekenanya.
“Kamu salah!”
“Terus, menurut kamu apa?”
“Bagiku, tidak ada kepedihan melebihi saat kamu berhenti mencintaiku!” goda Nacita
sambil tertawa-tawa lepas. Sementara Firaz merasa tercekat oleh candaan itu. Kata ‘Berhenti
mencintai’ yang diucapkan Nacita menggelitik perasaannya.
Meski begitu, Firaz masih mampu mencubit lembut pipi Nacita. “Sejak kapan kamu jadi
tukang gombal?”
“Sejak aku dan kamu menjadi kita!” tambahnya lagi.
“Yee....”
Meski menggelikan, tapi itu cukup membuat hati Firaz bahagia. Wanitanya selalu
mampu membuatnya tersenyum.
Di mata gadis-gadis lain, Firaz adalah idola sekelas artis papan atas. Bagaimana tidak,
selain dianugerahi wajah yang tampan, tubuh tegap yang atletis, ditambah lagi, selain cerdas
Firaz juga berasal dari kasta brahma. Kalangan elite yang menjanjikan kepuasan materil.
Sudah pasti dimata mereka yang lebih mengimani materi, melihat Firaz, sebagai malaikat
pemegang kunci swarga loka.
Berbeda dengan saudara sekaumnya yang lain, Nacita tidak begitu mengidolakan Firaz.
Kagum akan kecerdasannya, itu benar, tapi ia tidak bakal sampai berteriak-teriak histeris
memanggil nama Firaz setiap kali berpapasan dengannya. Nacita tidak seperti itu. Itulah yang
membuat Firaz penasaran. Menurut Firaz, Nacita adalah spesies langka. Bukan tipe wanita
yang gampang tertipu oleh penampilan. Bahkan Firaz pernah berpendapat ‘Nacita adalah
penyihir paling menakutkan dalam dunia perasaan. Dengan hanya tersenyum saja, ia mampu
membuatmu jatuh dan tenggelam olehnya!’ ‘Diamnya Nacita adalah sihir yang
menyejukkan.’ dan masih banyak lagi dongeng-dongeng tentang Nacita yang sering
diungkapkan Firaz kepada teman-temannya.
Kian kemari, tekad Firaz untuk bisa memiliki Nacita semakin besar. Atensi yang berlebih
ia tunjukkan hampir setiap saat untuk Nacita. Ia rela membuang waktunya sebanyak 24 kali 7
hari hanya untuk membantu Nacita mengemas barang dan merapikan kos. Menghadiahkan
Nacita laptop yang harganya berjuta-juta demi menunjukkan keseriusannya. Bahkan ia rela
bertransformasi sebagai bodyguard ulung saat ada pria lain yang menyakiti Nacita, hanya
untuk menunjukkan kalau ia mampu membela dan menjaga Nacita dalam situasi dan kondisi
apapun.
Mirisnya, meski sudah menunjukkan hampir semua potensi yang ia punya, Nacita belum
juga membuka hati untuknya. Bahkan untuk sekedar memuji usahanya. Atau sekedar
mengatakan “Kamu adalah lelaki paling baik di muka bumi.” Nacita tidak pernah
mengatakan itu. Hanya sekedar; “Terima kasih sudah jadi teman yang baik!”. Itu saja.
Hubungan mereka untuk waktu yang lama masih setakat pertemanan. Bodohnya lagi,
meski ia telah lama menaruh hati terhadap Nacita, sama sekali Firaz tidak memiliki
keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya. Kejantanannya sebagai lelaki, mengerdil. Ciut.
Padahal, ia sudah mendapat gelar sang penakhluk wanita sejak SMA.
Pesan-pesan samar yang selalu ditunjukkan Firaz melalui perhatiannya terhadap Nacita,
tidak terbaca sama sekali oleh Nacita. Malahan Nacita memperkenalkan seorang lelaki
kepadanya. Lelaki yang memandang Nacita sama dengan cara pandangnya. Perhatiannya
kepada Nacita pun begitu sarat makna. Jujur, Firaz cermburu, meski menurut keterangan
Nacita, lelaki yang biasa disapa Rio itu adalah teman sekampung dan juga satu SMA
dengannya. Ia tidak ingin membiarkan spesies langka yang mungkin bisa jadi alat
eksperimennya demi menemukan obat sakit hati itu lebih memilih menetapkan hati pada
pertemanan yang lebih lama. Lebih dahulu ada sebelum dirinya. Teman sekampung dan se-
SMA ,itu sudah cukup.
Bermainlah dalam benak Firaz segala probabilitas aneh. Ia menduga-duga kalau Rio
adalah mantan pacar Nacita. Atau mungkin masih pacaran, hanya saja hubungan mereka
sedikit merenggang. Dan masih banyak versi-versi aneh lainnya. Tidak ingin kegalauannya
berlarut-larut hanya karena pertanyaan-pertanyaan itu, Firaz memberanikan diri bertanya
kepada Nacita tentang Rio.
“Hmm... Cit....” Firaz ragu-ragu. Mengantisipasi.
“Ya!” Nacita tetap sibuk dengan laptop di depannya.
“Rio itu... mantan kamu ya?”
“Memangnya kenapa kalau mantan?”
“Jadi benar, kalau Rio itu mantan kamu?” nada ucapan Firaz sedikit meninggi. Menguik.
Mirip suara petikan terakhir dalam melodi seorang gitaris ulung.
“Yang bilang siapa?” Nacita begitu santai, tidak memperhatikan raut wajah Firaz yang
berubah merah.
“Tadi, kamu bilang begitu!”
“Kan, aku cuman nanya, kalau rio mantan aku memangnya kenapa!”
“Jadi, Rio itu bukan mantan kamu?”
Nacita memutar posisi duduknya menghadap Firaz yang duduk di sofa belakangnya.
“Memangnya ada apa sih, Raz? tumben kamu nanya hal-hal aneh begini. Kamu cemburu
sama Rio?”
Firaz tercekat. Perkataan terakhir Nacita, menembaknya tepat. Membuatnya gugup dan
canggung. “Ah, untuk apa juga aku cemburu!” kilahnya.
“Ya sudah kalau begitu!” ucap Nacita, santai.
“Sudah apanya?” kening Firaz mengkerut.
“Apa pentingnya sih Raz, nanya yang begitu-begituan? Kamu jadi aneh deh hari ini!”
Firaz diam, tidak tahu lagi harus berkata apa. Ia kalah oleh Nacita yang terlalu pandai
bersikap tenang. Ada sedikit penyesalan dalam hatinya, seharusnya ia bisa jujur kepada
Nacita, kalau ia cemburu. Dengan begitu, percakapan mereka tidak akan menggantung dan
menambah kegalauannya.
Maka, sampai umur kebersamaan mereka telah genap setahun, Firaz tidak sanggup lagi
menutupi perasaannya. Seakan ada ribuan suara di dalam hati dan kepalanya terus meneriaki.
Membentuk simpul kuat yang terus menekannya. Mendesaknya, untuk mengungkapkan isi
hatinya kepada Nacita.
Berhari-hari Firaz jatuh oleh kegalauannya sendiri. Dilema, antara menuruti desakan
hatinya, atau menunggu Nacita menyadari perasaannya. Tapi, ia juga takut, jika nanti dalam
proses menunggunya, Nacita malah menjadi milik orang lain. Rio. Ya, Rio! Bisa saja,
pemuda itu menyalibnya lebih dulu.
Ah, Firaz mengacak-acak rambutnya di dalam kamar yang menjadi tempatnya
mengurung diri selama beberapa hari terakhir ini.
“Aku harus mengatakan kebenarannya sekarang, sebelum semuanya terlambat!” begitu
Firaz membisiki dirinya.
Antara bimbang dan ragu, Firaz mendekati ponselnya di atas meja kamarnya. Berniat
menghubungi Nacita, mengungkapkan segala rasa yang mengganggunya satu tahun
belakangan, dari sini. Dari jarak yang hanya dihubungkan oleh benda mungil seukuran
genggaman dan menara-menara telkom.
Belum lagi Firaz menyentuh ponselnya, benda itu lebih dulu berdering. Pelan ia meraih
ponsel dari atas meja, memperhatikan lamat nama pemanggil yang tertulis di layarnya. Firaz
seperti terengah setelah mengetahui nama yang meneleponnya malam ini. Nacita.
Menyebutkan sepenggal nama belakang itu di hatinya, perasaan Firaz berubah gugup. Detak
jantungnya memburu.
Firaz berdehem sejenak, mengantisipasi sesuatu yang mencekat tenggorokannya.
Rupanya, selama beberapa hari Firaz tidak pernah mncul di kos Nacita, membuat wanita itu
merasa lain. Khawatir. Seperti ada yang hilang dari detik harinya.
“Hai, Raz!” suara itu masih konsisten pada kelembutannya, “Kamu ke mana saja
beberapa hari belakangan ini? Kamu sakit ya? Atau jangan-jangan kamu sudah punya tempat
lain yang lebih baik dari tempatku!” Nacita langsung mendesak Firaz dengan pertanyaan-
pertanyaan itu.
Firaz tidak menjawab. Ia memilih diam, daripada Nacita mengetahui kegugupannya dari
seberang sini.
“Halo, Raz. Kamu kok diam sih? malas ya bicara sama aku?” nada suara itu perlahan
surut. Pelan. Sepertinya ia mendapati sesuatu yang mematahkan atensinya. Diamnya Firaz
mungkin?
Firaz menarik nafas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Menghimpun
seluruh kekuatan dan keberaniannya pada ujung lidahnya, agar tak lagi keluh untuk berkata-
kata. “Bukannya aku malas bicara sama kamu, Cit... hanya saja aku bingung.” Ucap Firaz
dengan nada pelan.
“Bingung kenapa?”
“Ya, bingung Cit... aku nggak tahu harus memupuk perasaanku yang mana terhadapmu.
Aku selalu sadar kalau kamu menganggapku sebatas teman, tidak lebih... tapi, aku juga sadar
akan perasaanku sendiri, kalau aku tidak bisa melihat kamu hanya sekedar teman... hatiku
ingin lebih Cit... aku care sama kamu! aku suka sama kamu... tidak mungkin aku harus terus
berpura-pura menjadi teman terbaik di sampingmu, sementara hatiku menginginkan lebih. Itu
sakit, Cit!” kalimat itu keluar begitu licin. Dingin. Membuat mereka yang berdiri di antara
dua sisi yang jauh, seketika diam. Beku. Hanya desah nafas mereka sesekali kentara dari
speaker ponsel.
“Maaf, kalau aku lancang... maaf kalau aku merusak kepercayaanmu sebagai teman...
inilah realitasnya, aku rasa kamu juga mafhum, bahwa cinta adalah desakan yang tak
mungkin dapat ditolak oleh siapapun... oleh apapun!” lanjut Firaz, sementara Nacita masih
memilih diam.
Ruangan itu kembali hening. Seakan kesunyian dan malam menelan mereka ke kisi
ruang dan waktu yang lain. Menelantarkan mereka berdua di taman dilema yang mencekik
dan menggelisahkan. Bahkan gelap hanya menyisakan siluet-siluet fraktal tak terbaca, tak
mampu melerai gejolak di antara batin mereka yang beradu. Maka kebisuanpun mengundang
dingin yang merangkak pelan menjalari buku tubuh mereka.
Setelah sekian saat diam, Nacita akhirnya bersuara. “Aku pernah merasakan rasa sakit
yang lahir akibat perasaan subjektif bernama cinta ini... dan, itu benar-benar tak terperikan.”
Nacita menghentikan ucapannya kemudian mendesah, “Aku tidak ingin rasa sakit itu
berulang di kehidupanku, dan aku juga tidak mau kamu merasakannya Raz!” di ujung
ucapannya, nada suara Nacita melemah. Jelas ada ketakutan akan kekecawaaan yang dalam
menggaris di hatinya seketika.
“Cit... kita tidak perlu menakut-nakuti diri kita dengan sesuatu yang belum pasti terjadi.
Rasa sakit, kepedihan, kekecewaan, adalah konsekuensi mutlak dalam sebuah percintaan. kita
tidak perlu takut menghadapinya, yang seharusnya kita pikirkan adalah cara untuk
mengantisipasi agar semua itu tidak terjadi. Dan, aku janji kamu tidak akan mendapatkan
semua itu dariku!” mantap, Firaz mengungkapkannya.
Nacita diam, kali ini ia benar-benar kehabisan kata-kata. Apa yang dikatakan Firaz
benar. Selama ini ia terlalu takut akan hal-hal yang belum pasti terjadi, sehingga ia melihat
cinta sebagai sesuatu yang menyeramkan. Untuk itulah ia memilih menutup diri dari segala
macam simpati. Padahal, sejak awal keakrabannya dengan Firaz, rasa yang sama juga
bertumbuh di hatinya. Tapi semuanya berhasil ia tenggelamkan karena ketakutannya.
“Kamu yakin kamu tidak apa-apa kalau suatu hari nanti aku nyakitin hati kamu?” Nacita
terdengar hati-hati mengucapkan pertanyaannya.
Firaz terkekeh sebentar, “Cit... setiap tindakan itu pasti ada resikonya, dan apa yang aku
putuskan malam ini, aku telah siap menanggung besar-kecil resikonya! Jadi, kamu tidak perlu
khawatir soal itu. Aku adalah lelaki yang kebal akan rasa sakit!” seloroh Firaz. Meski begitu,
ada ketakutan tersendiri mencubit perasaan Firaz setelah ia menyadari maksud ucapannya
barusan.
Setelah malam itu, mereka meresmikan hubungan mereka di sebuah resto yang khusus di
sediakan untu orang-orang bahagia seperti mereka. Maraklah pembicaraan tentang mereka
berdua di kampus. Banyak versi yang beredar tentang status hubungan mereka. mulai dari
gelar ‘Romeo dan Juliette’, sampai ‘Sang pangeran dan cintanya gadis kampung’, dan masih
banyak kasak-kusuk aneh lainnya.
Meski tidak sedikit yang membicarakan miring hubungan mereka, Firaz dan Nacita
bersikap tak acuh, mereka lebih memilih berjalan sembari bergandengan tangan,
mempertontonkan kemesraan kepada jiwa-jiwa yang iri terhadap hubungan mereka.
Untuk sementara, bagi mereka berdua, seluruh simpul kebahagiaan yang dikandung alam
raya begitu lama, berhimpun pada satu kebahagiaan saja. Hubungan mereka. “Cinta yang tak
akan pernah sudah!” begitu kata Firaz kepada Nacita suatu kali.
Berliburlah mereka kesebuah bukit yang ditumbuhi ratusan gugus bebunga. Menikmati
segala warna dalam rona mekarnya, harum yang saru dalam ranumnya kasih mereka. Indah
dan memabukkan, memang. Sampai-sampai Firaz yang sore itu tengah menikmati senja yang
lembayung bersama kekasihnya di bawah pohon meranti bunga yang rindang, ber-ultimatum
dengan gagah dan lantang, seperti seorang demonstran yang tengah membacakan manifesto.
“Coba kau dengar alam, seandainya takdir menjadi penghalang untuk aku dan Nacita
bersatu, maka, cintaku akan menjadi pedang yang sanggup menebas keangkuhanmu!” Firaz
berteriak sekuat tenaga. Rasa bangga mencuat seketika dari dalam dadanya. Apalagi
menyaksikan kekasihnya tersenyum kepadanya.
“Apa iya, kamu sekeras itu mencintaiku?” tanya Nacita setelah Firaz kembali duduk di
sampingnya.
“Ya, kenapa tidak! aku sudah memutuskan, kamulah pelabuhan terakhir bagi cintaku
bertambat. Tak ada lagi yang lain!” jawabnya mantap.
“Kamu yakin, kalau kita tidak akan terpisah suatu hari nanti?” Nacita mendelik, menatap
intens wajah kekasihnya.
Firaz diam. Hatinya berubah kecut mendengar ucapan Nacita barusan. Ada ketakutan
yang menjalar begitu cepat di hati sekaligus benaknya. “Kenapa kamu berkata begitu?” suara
Firaz berubah layu.
“Bukan apa-apa Raz, aku tidak berniat menyinggung perasaanmu. Aku hanya ingin
kamu berpikir lebih jauh... takdir adalah sebuah probabilitas yang tak mungkin dapat kamu
tentang jika ia telah sampai padamu, pada kita! Cinta yang kita genggam hari ini, hanyalah
kerikil kecil bagi langkah-langkah takdir. Dengan menjembatani waktu, takdir bisa saja
membuat genggaman iu terlepas, ataupun semakin erat. Jadi, sudah seharusnya kita tidak
hanya berpikir tentang kebahagiaan semata, ada cerita lain yang membuntuti setiap
kebahagiaan itu dari belakang!” ungkap Nacita panjang lebar. Terdengar membingungkan
memang, tapi, itu justru membuat kedewasaan berpikir Nacita semakin kentara.
“Kamu ragu ya, sama aku?”
“Tidak!” cepat Nacita menjawab, “Sedikitpun aku tidak pernah meragukan ketulusanmu
padaku, aku tahu siapa kamu, aku jauh mengenal kamu lebih dari siapapun! Aku tahu Firaz
tidak akan mungkin melukaiku!” tegasnya.
Firaz memutar posisi duduknya, membalas intens tatapan Nacita. Pelan dan lembut
tangan Firaz membekap wajah kekasihnya itu, “Kalau memang percaya sama aku... aku
minta kamu jangan lagi mengungkapkan hal-hal aneh tentang hubungan kita. Aku takut... aku
takut kalau suatu hari aku harus kehilangan kamu, Cit!” lirih suara Firaz membekukan Nacita
dengan seketika. Tatapan mata itu terlalu kuat menyiratkan kesungguhan dan ketulusannya.
Membuat Nacita semakin jatuh dalam hening, ia bergeming, sehingga Firaz menarik
tubuhnya kedalam kehangatan. Pelukan, yang membuat detak jantung mereka saling
menemukan.
Lantas, demi Firaz yang rela menyudahi masa lajang hanya untuk mempersuntingnya,
Nacita harus menolak, setelah menghadapi dilema yang panjang antara cinta dan cita-cita,
Nacita memilih pergi meninggalkan setumpuk kisah indahnya bersama Firaz bertahun-tahun
lalu. Tak ada yang lebih penting dari seorang Nacita selain kebanggaan keluarganya. Bahkan
cintanya sendiri.
Maka, sampailah Firaz pada kenyataan ; tak ada yang lebih menyakitkan selain
mencintai seorang wanita yang lebih memilih mencicil gelar daripada cinta yang tulus. Ia
jatuh. Tersedot masuk kedalam lubang gelap yang ia ciptakan sendiri. Bahkan sampai saat
ini. Saat masa 5 tahun telah berlalu. Setelah kabar pernikahan Nacita―mantan
kekasihnya―dengan Rio sampai ketelinganya. Memang, mereka adalah pasangan yang
serasi. Rio dengan gelar kependidikannya yang seabrek, mendampingi Nacita yang berhasil
membawa kebanggaan keluarganya dari ranah Eropa. Kanada. Di sana Nacita menerima
gelar doktor-nya.
“Aku memang tidak akan pernah pantas untuknya!” keputusasaan itu telah sampai
kepada Firaz. Membumbung. Membekukan segala imajinasi tentang kebahagiaannya suatu
hari dalam bingkai realitas. Inilah entitas dirinya yang harus ia terima. Kepedihan mutlak.
Tak mungkin ia tolak.
Lantas, dari ruang tamunya, Firaz meninggalkan ponselnya dan kertas ungu berisi nomor
kontak dan nama Nacita. Ia putuskan untuk lebih percaya pada realitas. Tak ada lagi kekisah
indah antara ia dan Nacita. Tak ada lagi kebahagiaan sebagaimana di puncak bukit yang
penuh bebunga lima tahun silam. Semuanya ia tenggelamkan ke kedalaman kritis hatinya.
Tidak ada gunanya mengorek cerita yang hanya menelurkan luka. Sudah lebih baik
baginya menjadikan keping-keping waktu itu sebagai sekedar sejarah. Hanya untuk dikenang.
Tidak lebih!

❦❦❦
9. KONSPIRASI CINTA

KAU tersenyum seramah yang kau mampu. Meski tetap saja ada diam. Malu-malu. Ia
melirikmu di sudut paling belakang ruang kelas satu. Dia yang kau lirik dalam detik waktumu
setiap kali. Mencuri pandang. Dan dia hanya menunduk, lagi-lagi diam. Sepertinya ia tertarik
oleh kiat lakumu. Meski kau sedang mengisyaratkan sesuatu. Padanya. Pada meja dan kursi.
Pada dinding yang sama bisu. Kau ingin menyuratkan dengan tinta kertasmu. Yang kau
bilang sesuatu kala itu. Sesuatu yang tumbuh dalam titik lembutmu tanpa pretensi. Sejuk,
dingin, merangkak perlahan namun sebegitu pastinya, hingga kau tetap menatapnya sampai
detik ini. Detik dimana kau masih tersenyum lembut tanpa kau tau.
Di waktu yang lain. Ya, anggap saja saat itu masih terlalu pagi. Di ruangan kelas yang
sama. ruang kelas yang sebagian dindingnya baret oleh coretan-coretan tanda
pembangkangan dari mereka yang lainnya. Kau coba memberanikan diri untuk menyapanya.
Mula-mula kau himpun seluruh keberanianmu. kau kerjap-kerjapkan matamu. Berdehem
sebentar, mengusir sekat yang menggantung di tenggorokanmu. Kau tepikan dulu untuk
sementara segala malu. Ke-egois-an yang tanpa sadar selalu ada di tiap hati. Apalagi wanita
sepertimu! Meski kau mau, kau tak berani mangkat dari bangkumu yang rapat menempel di
dinding kanan ruang kelas yang perlahan sesak itu.
“Boleh pinjam pulpen?” jelas, kau ragu-ragu dalam ucapmu. Lantas dia hanya tersenyum
seperlunya. Memberimu pulpen hitam snowman miliknya. Kau merasa benda itu berharga
meski harganya tak seberapa di kios fotokopi depan sekolah. Sekitar 1000 rupiah, mungkin.
kau genggam benda bermata tumpul itu lekat. Kau tersenyum simpu pada dirimu sendiri.
Sebab kau tau, pesan-pesan waktu selalu memberi pola pada perjalanan seseorang. Termasuk
kamu. Dia. Dan rasa dalam hatimu, yang saat ini belum bisa kau sebut apa.
Seperti partikel-partikel kosmis dalam ruang dan waktu yang melengkung—katanya! Di
dalam gugus nirwana yang menyempit sebesar kandi perasaanmu padanya. Rasanya kau tak
pernah ingin melewati proses samsara seperti ini. Kondisi tumimbal yang diam dan meragu.
Menyimpan aksara yang sangat ingin kau ungkapkan [Aku mencintamu!]―jika saja kau
mampu.
Terlukalah hatimu, tanpa pernah tahu akan jawabnya. Oleh karena keakuanmu sendiri,
atau pula nasihat teman-temanmu yang berbau pongah saat kau katakan.
“Aku ingin mengatakan semuanya padanya!”
“Tidak pantas seorang wanita mengungkapkan isi hatinya kepada lelaki, meskipun kau
mau! Malu-maluin!” begitu kata mereka―teman-teman yang mengaku dekat denganmu.
“Jangan! Terlalu murahan kau dimatanya, nanti!”
“Tapi, aku tidak bisa memendam problema ini sendiri, Ce! Sakit rasanya!”
“Sabar. Daripada kau jatuh malu suatu hari nanti, ada baiknya kau sabar dan menunggu
sampai ia mafhum dan peka!” Begitu percakapanmu dengan Trisna suatu sore di teras
rumahmu.
Lalu kau larut dalam pertentangan dua sisi jiwamu. Dilema antara keinginan dan
keraguan. Sehingga kau desahkan pada suatu malam; “Ah, ini sebuah konspirasi!”


Maka kau semakin gamang dan ringkih kian kemari. Saat dimana tegur-kenal kalian semakin
banyak terlewat bersama rasa yang terpendam.
Padahal di tiap lima waktu yang pulang, kau sertakan namanya dalam sujud munajatmu.
Kau benamkan jiwamu dalam asa untuk bersama. Dengannya. Dia yang meng-adisi ruang
suci atmamu. Berharap ia tersentuh oleh lembut do’amu di atas gelar sajadah yang basah oleh
air bening matamu. Kau menangis, belum pernah kau melaksanakan kewajibanmu sebagai
hambaNya se-khusyuk itu. Mungkin memang benar, hati selalu menjadi kotak yang
menyuarakan kebenaran dalam diri setiap insan. Menciptakan harmoni. Bahkan dalam
munajat kepada sang Maha.
Dan, ketika masa kian berganti. Menyelimuti sekelumit langkah ayumu. Hari berganti
minggu, minggu menjadi Bulan. Ya bulan. Seingatmu, sudah enam bulan kalian saling
mengenal. Dan sudah enam bulan kurang 27 hari―yaitu hari libur―kalian duduk berjam-jam
di ruang kelas yang sama. Namun, tetap saja penggalan waktu itu belum bisa menumbangkan
kebutaan keangkuhan rasa, salah-satu dari kalian. Kepekaan. Seakan mempartisi kebenaran
yang kau pendam. Dan tembok itu terlalu kokoh untuk kau hancurkan. Terlalu tinggi untuk
kau lompati.
Kebodohan itu untuk sementara kau sebut malu. Atau dia menyebutnya; ke-egois-an.
Pernah kau tegur ia suatu hari saat waktu istirahat tiba karena kelakuannya. Kau
melihatnya―dalam tempo satu semester―telah bertranspormasi menjadi entitas yang lain.
Sikap diam lembutnya menipis tersaput tingkah nakalnya. Dan kau nyatakan keberatanmu
padanya. Sebuah protes atas ketidaksukaanmu akan perilakunya, tepatnya.
“Da. Yoda!―bukan nama sebenarnya―Boleh kita bicara sebentar?”
“Yap, mau ngomong apa?” Dia tersenyum ramah seperti biasa. Ekspresi wajar yang ia
berikan setiap kali teman-teman sekelasmu menyapanya.
“Jujur, aku tidak senang liat kamu yang sekarang! Belakangan ini aku lihat, tingkahmu
berubah 180 derajat. Dari Yoda yang pendiam nan lembut, menjadi seorang pemberontak
seperti sekarang! Sungguh, aku lebih suka kamu yang dulu!” sengaja kau tekankan kata
‘sungguh’ dalam ucapanmu demi mempertegas maksudmu. Dan, dia, untuk kesekian kalinya
hanya tersenyum dingin.
“Setiap orang itu perlu proses dalam menjalani hari-harinya. Diriku yang sekarang,
adalah hasil dari proses itu. Tenang saja, aku tidak akan melewati batasku!” lantas ia berlalu
meninggalkanmu sendiri di kelas. Sedingin senyumnya, ia melangkah ke luar.


LALU?
Kau pernah ber-andai-andai, untuk tatap yang menghunus dingin selanjutnya. Dalam
probabilitas itu, kau lihat dia benar-benar ber-evolusi menjadi sosok yang jauh berbeda. Jauh
meninggalkan perangainya yang dulu. Titik dimana kau selalu tersenyum takjub setiap kali
memperhatikannya. Sosoknya telah jauh meninggalkan titik itu. Jauh, bersama waktu yang
tak pernah benar-benar stagnan.
Berhari-hari kau memberengut kesal setiap kali melihatnya bertingkah tak seperti yang
kau mau. Dan setiap kali begitu, kau paksakan dirimu mengubur desah hatimu sendiri. Kesah
yang selalu ada olehnya. Maka, setiap kali ia datang menggodamu, setiap kali menjahilimu
dengan towelan nakalnya, kau berpura-pura marah. Entah apa sebabnya kepura-puraan itu,
kau pun bingung sendiri.
“Apaan sih... aku tidak suka dengan caramu!” kau mengumpat. Meski setelah umpatan
itu, kau takut kalau ia benar-benar menjauh.
“Kamu kelihatan manis kalau sedang marah....” godanya. Dan kau diam. Sentuhan itu,
lembut tersesap ke dalam liang-liang dirimu. Ketika ia memunggungimu, kau tersipu.
Mesem-mesem sendiri. Lalu, ketika kau sadar akan dirimu yang tergerak tanpa kau sadari,
kau rutuki lagi dirimu. “Ah Bodoh!”
Maka, demi sengketa yang kau ciptakan sendiri. Antara kekaguman dan kebencianmu,
ada rindu yang bermukim diam dalam hatimu. Sepertinya benar, cintamu yang terpendam ini
adalah hasil dari hati yang berkomplot untuk menjatuhkanmu. Membuatmu gamang bersama
rasa yang hanya bisa untuk kau reka, tanpa dapat kau sentuh.
Kau lekatkan The pinky headsetmu ke telinga. Membenamkan diri dalam rayu-rayu nada
yang harmoni. Kau sesekali bersenandung, mengikuti tempo lagu yang kau dengarkan. Meski
kau tak pernah peduli dengan beragam genre musik yang ada. Yang kau tau, apapun jenisnya,
asal itu enak dan menyentuh, kau akan suka. Kau setel volume Handphonemu keras-keras,
agar musik sepenuhnya menguasaimu. Memilikimu. Atau mungkin kau ingin saru dengan
apa yang kau dengarkan. Demi sebuah esensi. Demi setiap ekspresi yang terbungkus dalam
tiap lariknya. Sebagaimana larik cinta dalam nada mayor sempurna,kau pejamkan matamu.
Menggapai-kapai keheningan batinmu di tengah deru-sesaknya celoteh-celoteh mereka. Dan
kau pun tenggelam.
Lalu, jika musik adalah bentuk komunikasi terapeutik? Tanpa harus menjadi dogmatis.
Pada bekap pejammu, kau hadirkan lagi dirinya. Tersenyum lembut di sana. menyentuh
jemarimu, lembut. Sampailah kau pada perandai-andaian yang buta. Bahkan kau rela tersesap
olehnya. Khayalmu. Demi keberadaannya, seperti yang selalu kau harapkan. Sehingga kau
akan terbangun dari lamunanmu, baru ketika Guru mata pelajaran kedua menegurmu.
Mengira kau begadang semalaman.
“Kau tidur?”
Tergagaplah kau. Menggeleng kaget. Sekaligus dongkol, karena baru saja kau akan
sampai pada puncak keindahan dalam proses kontemplasimu pagi ini. Makhluk bermata
sendu dengan kumis melengkung sepanjang atas bibirnya itu menguapkan semua keindahan
yang coba kau rangkai di sana.
Sekarang sudah dua jam berlalu. Kurang dari tiga menit lagi, denting bell akan berbunyi,
namun wajahmu masih terlipat kusut. Dua jam berlalu, dan kau masih dongkol pada guru
yang mengajarimu tentang kebenaran, hanya gara-gara sebuah khayalan yang kau sendiri
mafhum bahwa itu hanyalah ilusi? Tidak nyata? Oh, betapa rasa telah menjungkalkan
sebagian besar ke-warasanmu. Apa mungkin karena ia buta? Aku rasa tidak! dia adalah mata
yang selalu melihat meski kau terpejam.


Sekarang, saat malam menawarkan kelengangan. Kau sandarkan badanmu ke dinding teras.
Sejak dulu kau selalu begitu. Menyelonjorkan kakimu di tatakan dua kursi yang sengaja kau
susun hanya untuk saat-saat seperti ini. Kau meneleng agak ke kanan, membuat setengah
rambut hitammu ikut miring kebahu kananmu.
Kau buka lagi catatan-catatan itu. Catatan satu semester yang lalu. Kau lekatkan matamu
pada deretan eja yang kau sebut―surat. Pada lembar-lembar putih bergaris-garis, yang
hampir seluruh badannya penuh noda tintamu, kau tersenyum. Merasa lucu. Kadang juga kau
haru. Atau pipimu bersemu merah menyadari sesuatu pada surat yang tak akan pernah
mungkin berbalas itu. Sebab, sebenarnya surat itu hanya kau khususkan untuk dirimu.
Sampai kau tenggelam, hanyut, terbawa arus emosimu sendiri.
Kau putuskan untuk menghibur dirimu dengan embaca lagi pesan-pesan medsos yang
terlewat. Ada lebih dari sejuta orang yang menyukai status ber-caption―Konspirasi Cinta.
Menyakitkan, menenggelamkan sekaligus membahagiakan... sebagaimana rindu....
Mereka mungkin tersentuh oleh apa yang kau tulis di sana. Terculik masuk dalam
nirwana yang coba kau gambarkan di ruang sempit itu. Seperti bulan dan gugus gemintang
yang kau catutkan di dalamnya. Mungkin juga karena mereka sama merindunya dengan
dirimu. Entahlah. Bisa saja, mereka hanya ikut iseng menekan simbol hati di bawah gambar
ber-caption, itu.
Sebenarnya kau sendiri geli membaca tulisanmu di sana. Sejak kapan aku panda menulis
sesuatu tentang cinta? Begitu pertanyaanmu pada dirimu sendiri. Sehingga, malam itu juga
kau putuskan untuk mengabadikan dua kata karismatik—Konspirasi dan Cinta—di dinding
kamarmu.


Takdir memang tak pernah memberi jarak yang terlalu jauh di antara kalian berdua. Meski
kau coba menepikan diri di sudut sekolah yang paling tersembunyi, demi menenangkan
fikiranmu, ia bisa menemukanmu. Entah bagaimana caranya. Kau sendiri heran, bagaimana
bisa dia menemukanmu begitu saja.
“Apa yang kau lakukan di sini?” begitu kau bertanya pertama kali.
“Mencarimu!” katanya, sembari duduk di sampingmu. Tanpa jarak. Tanpa tembok besar
yang mempartisi, sampai-sampai tangan kalian sempat bersentuhan. Dan itu membuat degup
jantung kalian sama memburunya.
“Bagaimana kau bisa menemukanku?” kau bertanya sekali lagi.
“Tak ada yang bisa bersembunyi, dari hati... meski suaranya samar, hatilah yang paling
tahu akan segalanya... bahkan, untuk menemukan pasangannya!” begitu katanya.
Kau diam. Tak sanggup lagi menjawab apa. Kalimatnya yang sederhana, sudah terlanjur
membuat seluruh tubuhmu bergetar samar. Kegugupanmu hadir seketika setelah hatimu
tersentuh sejuk yang dalam.
“Kau benar!” katanya, kemudian.
“Maksudmu?”
“Ya, kau benar... selama ini cinta sedang berkonspirasi di antara kita... mula-mula
menawarkan malu, kemudian menjadi ego, sehingga kita buta akan rasa yang hadir setiap kali
di antara hati kita berdua.” Ia mendesah sebentar. Kau tetap diam, berusaha mencerna kalimat
metaforisnya yang tak mudah untuk kau cerna, namun indah. “Kau benar, selama ini alam
dan batin kita selalu menyurati kita tentang sebuah kebenaran. Sebuah relaitas nikmat yang
tak seharusnya kita menutup mata padanya. Cinta... dialah cinta, yang kau pikir sedang
berkonspirasi.” Ungkapnya panjang lebar.
Keningmu mengkerut, masih belum bisa mencerna makna kalimatnya yang panjang.
“Jujur, kata-katamu terdengar indah dan membuatku gugup... tapi, aku tidak paham, artinya
sama sekali!”
Dia tersenyum, menatap lamat wajahmu, sehingga hatimu kembali berdesir. Menyuplai
dingin ke seluruh tubuhmu. “Sederhana.” Katanya. “Artinya sangat sederhana.” Pelan-pelan
ia meraih jemarimu yang mulai berkeringat. “Sesederhana; aku mencintaimu!”
Jatuhlah kau dalam kebahagiaan dan kekikukan yang muncul bersamaan. Kau tersenyum
lembut kepadanya. Mengangguk samar. Menjawab ungkapannya dengan bahasa paling benar.
“Aku mencintaimu!”


Ketika cinta sedang berkonspirasi, sadarlah, ia hanya ingin menyuratimu. Memberikanmu
pertanda, bahwa; dia telah hadir di antara kau dan dia. Dia ada untuk menunjukkanmu satu
kebenaran. Nikmat. Karunia Tuhan yang tak seharusnya kau tolak. Satu bukti kebesaranNya
bernama—Cinta.
Ketika surat-surat cinta telah sampai kepadamu, kau akan mengerti betapa indahnya
malam dalam bekap kerinduan. Betapa merdunya bisik angin yang berlalu pulang. Betapa
lembutnya sentuhan cahya rembulan dalam dilema tanda tanya.
Ketika cinta berkonspirasi, kau akan mampu menjadikan alam dan isinya sebagai sajak-
sajak yang indah. Bermetafora. Bersenandung. Dalam senyum, dalam kegamangan, dalam
rasa, pada hati.

❦❦❦
10. CINTA 1 DEKADE

HARUS kuakui, namamu adalah detonator bagi rindu yang hadir setiap kali. Nama yang
kadang kusebut ‘Kau’. Kadang pula kupanggil ‘Dia’. Atau, lebih jauh lagi aku pernah
menjadikanmu ‘Aku’. Sehingga, setiap kali kau hadir dalam ilusi yang kugambar sendiri, aku
ingin Aku, Kau, menjadi Kita.
1 dekade. Ya, sepuluh tahun, lamanya aku memendam cinta sendiri. Tanpa pernah kau
tahu, tanpa pernah kau mau peduli untuk tahu. Dan jika angka sepuluh belum cukup bagimu,
maka sebentar lagi kau akan mendengar jumlah yang lebih banyak. Begini—jika satu tahun
berjumlah 12 bulan, kemudian dikalikan tiga puluh, maka kau akan mendapatkan angka; 360.
Sebanyak itulah hari-hariku memikirkan tentangmu. Akan lebih fantastis lagi, jika dihitung
dalam skala detik. Kira-kira, jika kau pandai ber-mate-matika, kau akan mendapatkan angka
ini; 31.104.000 detik—kalau tidak percaya, silahkan hitung sendiri. Jika angka itu
dirupiahkan, mungkin akan cukup membeli sebuah sepeda motor sporti. Dan kalau angka itu
dihitung ke skala nano, kau akan menemukan kata ini—unlimited.
Kau lihat, betapa hebatnya aku menanggung rindu selama ini, karenamu? Tak terhingga.

Pertemuan! Perkenalan kita begitu singkat, sesingkat masa tiga tahun saat kita SMA dulu.
Saat kita duduk di kelas yang sama, sekian lamanya. Memang sesekali kita bertegur sapa,
bercanda bersama, saling melempar senyum. Atau, kadang mata kita saling menemukan.
Memberi jeda untuk hati yang berdesir merdu. Tapi, sedetikpun aku tak memiliki keberanian
untuk mengatakan; aku suka kamu!
Setelah tiga tahun yang terasa singkat itu, mulai tumbuh-lah penyesalan dihatiku.
Penyasalan, kenapa aku tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkan isi hatiku padamu.
Biar kau tahu, biar kau rasa—seperti kata Iwan Fals—cinta ini milik kita.
Namun, apalah arti penyesalan jika hanya akan mengundang rindu yang memedihkan?

Kadang hidup memang perlu repetisi. Entah sebagai penguji. Atau mungkin pengingat,
bahwa masa itu pernah ada. Detik panjang kebersamaan kita. Hingga akhirnya aku sampai
pada realitas yang memilukan. Mencintai tanpa dicintai.
Pernah aku larut dalam kepura-puraan. Berpura-pura untuk mencintai sosok yang lain,
berharap aku bisa menggantikan sosokmu dalam hati dan benakku. Berharap kepura-puraan
itu dapat mengusir pedih yang bermukim di diriku. Namun, lagi-lagi aku harus mafhum; satu
kepura-puraan hanya akan menghadirkan rasa yang juga pura-pura. Tidak sepenuhnya. Tidak
pula setulusnya. Dan... itu sakit!
Kutenggelamkanlah diriku dalam ingatanku tentangmu. Tentang kebersamaan kita dalam
masa yang singkat.

Akhirnya, aku sampai pada detik ini. Detik di mana aku menulis segalanya tentang rindu,
cinta, dan aku, padamu. Aku harap, jika pesan ini telah sampai padamu, kau bisa mafhum
akan cinta yang kupendam selama satu dekade ini. Cinta seorang pujangga terhadap sosok
yang tak mau tahu akan cintanya.
Sebuah pengakuan rasa kepada wanita bernama; DIAN.

❦❦❦
11. LILIN

JADILAH seperti lilin yang rela hancur demi memberi terang pada kegelapan!

Aku tidak pernah setuju dengan ungkapan itu! Sekali lagi, aku tidak!

Aku tidak ingin menjadi lilin yang harus hancur hanya untuk menerangimu. Aku hanya ingin
menjadi penerangmu sekalipun kau harus hancur. Aku tidak ingin menjadi lilin yang hanya
memberi terang sesaat. Aku ingin menjadi terang yang kekal dan abadi untukmu. Aku tak
ingin seperti lilin yang terlupakan secepat sinar terakhirnya. Sebab akulah cahaya yang akan
selalu ada untuk menyinarimu. Aku tak ingin seperti lilin yang harus berakhir pada lelehan-
beku. Aku hanya ingin menjadi waktu yang melelehkan sekaligus membekukanmu. Aku tak
ingin sebagai lilin yang hanya mampu memberimu keremangan. Sebab, akulah terang yang
menguarkan segala kebenaran.

Aku tak ingin menjadi lilin yang hangat-nyalanya hanya sebatas sumbu. Akulah
kengahangatan yang tumbuh tanpa batas.

Jika lilin hanya dapat menawarkan kenyamanan sesaat, aku hadir mendamaikanmu untuk
selamanya.

❦❦❦
12. MEY—2002

SIAPA yang menduga, keterlambatan akan terasa sesakit ini. Ya, kadang aku melihatnya
sebagai sebuah keterlambatan. Dan, itu menyakitkan.
Namanya; Mey. Sri Mey Liza—di dunia maya, teman-temannya biasa menyapanya;
Ukhty Myesha—yang lahir ke bumi pada tahun 2002—sedikit keras kepala. Setelah melewati
proses panjang, setelah sembilan bulan mengisap jempol di perut Mama yang membuncit
sebesar bola basket—atau lebih—akhirnya, Mamaku berhasil membuatnya menangis di lantai
papan kamar, rumah om-ku.
Dulu, aku sempat bertanya-tanya, kenapa ia harus menangis. Bukankah, dunia yang
terbuka adalah hal yang didambakan oleh setiap janin yang meringkuk di kamar rahim? Jika
memang begitu, kenapa ia harus menangis sedemikian sedihnya. Ah, mungkin saja ia kaget
merasakan udara yang seketika menyaput kulit merahnya yang basah. Atau, mungkin ia
kaget, ketika debu yang menempel di lantai papan kamar menusuk kulit tipisnya. Entahlah.
Kian kemari, bersama dengan entitas dirinya yang kian bertransformasi menjadi Mey
yang lain. Mey yang lebih cantik dengan rambut terkepang dua. Ia semakin terbiasa dengan
dunia. Dunia yang jauh lebih panas dari darah di rahim Mama. Dunia yang jauh lebih dingin
dari semestanya di alam kandung. Sampai akhirnya, Mey yang telah menginjak masa remaja,
mulai menghadirkan cita-cita di benaknya. ‘Aku ingin menjadi perawat!’ begitu katanya
kepada Mama dan Bapak saat ia telah selesai dengan segala urusannya di Sekolah Menengah
Pertama (SMP), depan rumah kami.
Mama dan Bapak yang gandrung melihat putrinya menjadi lebih baik daripada mereka.
Tanpa terpaksa, menuruti kemauan Mey. Sempat mereka meminta usul kepadaku, karena aku
adalah kakaknya. ‘bagaimana?’ aku pun setuju. Bukan apa-apa, lucu juga rasanya
membayangkan aku yang sangat takut dengan jarum suntik memiliki adik seorang perawat.
Namun, semua itu hanyalah sebuah pengantar bagi cerita yang lain. Paragraf pembuka.
Lead. Atau apalah namanya. Yang pasti, pada kenyataannya, Mey yang dulu aku kenal kian
berubah. Realitas inilah yang akhirnya kusebut dengan sebuah “keterlambatan”.
Aku adalah seorang kakak yang hyper protective, Mey adalah adik yang super-aktif. Jika
ia sanggup dikelilingi teman cewek dan cowok di sekolahnya, aku yang introvert, hanya bisa
mengunci diri dalam kamarku seharian. Bukan aku tidak setuju melihatnya dekat dengan
teman-teman cowoknya atau keluar rumah menghadiri pesta bersama teman ceweknya, hanya
saja aku khawatir kalau saja terjadi apa-apa, padanya. Sehingga, aku selalu tegas. Ketegasan
yang memberi kesan keras di matanya. Sampai-sampai ia takut setengah mati, bahkan untuk
sekedar menatap mataku yang menggertaknya setiap kali.
Jadilah aku dan Mey mulai menciptakan sekat-sekat tipis di antara kami. Partisi yang
lebih halus dari angin, namun tetap memberi jarak. Aku yang selalu menatapnya tajam. Dia
yang selalu kecut-tertunduk setiap kali aku mengatakan; ‘Jangan!’
Di saat kakak-kakak yang lain mampu bercanda tawa dengan adik perempuannya. Aku
tidak. Di saat kakak yang lain berani memeluk lembut dan mencium kening adiknya. Aku
tidak. Mey hanya bisa mendamba kedekatan seperti itu dalam sebuah drama yang ditonton
atau dibacanya. Aku terlalu bodoh untuk dapat mafhum apa yang didambakan adik
perempuanku terhadap kakaknya.
Sampai akhirnya aku menyentuh simpul kesadaranku. Sesuatu yang mencuat, terlambat.
Kini Mey yang kukenal benar-benar telah ber-evolusi. Jika dulu ia sanggup tertawa dan
berceloteh panjang lebar, sekarang aku hanya bisa mendengarnya mendesis atau memekik.
Jika dulu aku sering melihatnya berlarian dan menari-nari, kini aku hanya bisa menatapnya
landai di atas ranjang. Ketika dulu aku sering melihatnya tertawa atau sekedar tersenum
kepadaku, kini aku hanya bisa melihatnya menangis. Berteriak pilu, melawan rasa sakit yang
menjalari sekujur tubuhnya. Tak ada lagi wajah riangnya yang menggurat setiap kali ia
mengatakan; ‘Suatu hari nanti, aku akan menjadi seorang perawat yang dicintai banyak
orang!’ semua keindahan itu menguap. Tak ada lagi yang tersisa, selain erangan pedih yang
mengundang penyesalan di batinku. Keadaan yang menjungkirkan keceriaan di wajah Mama
dan Bapakku. Bahkan, sering kurasakan ruang kamarku adalah penjara yang merutukku
penuh kesalahan.
Sudah lebih dari delapan bulan ia terbaring, ketika aku menuliskan ini. Bahkan waktu
sebanyak itu mampu mengikis tubuhnya yang berisi, menjadi kurus dan ringkih. Daging-
daging yang melekuk indah setiap kali ia menari, kini hanya menyisakan tulang terbungkus
kulit.
Aku rindu Mey yang dulu. Adik perempuanku yang selalu merajuk ketika aku
melarangnya keluar bersama teman-temannya. Aku rindu Mey yang dulu. Adik perempuanku
yang selalu bersenandung setiap kali aku memintanya untuk membuatkanku secangkir kopi.
Aku rindu Mey yang menyodorkan buku-buku tugasnya kepadaku. Aku rindu Mey kecil
yang harus kumarahi karena seharian berlarian di bawah hujan. Aku rindu Mey yang
memanggilku ‘Kakak’. Aku ingin Mey yang merajuk manja kepada Bapak dan Mama setiap
kali menginginkan sesuatu. Aku rindu adik perempuanku yang dulu.
Seandainya waktu dapat berputar kembali, aku ingin menjadi kakak yang layak baginya,
Kakak yang didambakannya. Kakak yang ada dalam drama yang ditonton atau dibacanya.
Kakak yang sanggup mengusap puncak kepalanya sembari menasihati.
Namun sayang, seberapapun kuat aku berharap, pada kenyataannya, waktu tak akan
pernah stagnan. Apalagi untuk kembali ke jalur yang pernah dilaluinya.
Maka, bersama segala realitas. Waktu jualah yang menunjukkan semua kebenarannya.
Tepat pada tanggal 06 Oktober 2019 kemarin—bersamaan dengan saat aku menuliskan
kumpulan cerita ini—aku harus puas menerima kenyataannya. Pada akhirnya Mey terebebas
dari penyakit yang berbulan-bulan di deritanya. Ia telah bebas dari segala yang berbau
duniawi, bahkan waktu. Tak akan ada lagi pekikan pedih. Tak akan ada lagi terdengar
erangan sakitnya. Karena, mortalitas telah mengantarkannya pada sebuah keabadian yang
pasti akan menjelang tiap-tiap yang bernyawa.
Kepada Mey yang lahir di tahun 2002, aku ingin kau tenang dalam lelap abadimu.
Kepada Adik perempuanku yang keras kepala, maaf, kakak terlambat memahami semuanya.

❦❦❦
—Untuk Mey, yang mengajarkanku betapa pedihnya sebuah penyesalan.—
13. PERIHAL HATI

HATI adalah konstelasi paling rumit yang dititipkan Sang Maha pada hambaNya.

Bagiamana tidak? Ketika hatimu telah menentukan pilihannya, kau akan menemukan realitas
yang semula muskil menjadi begitu mungkin untuk kau lakukan. Apalagi itu berbicara soal
perasaan. Cinta. Setelah kalimat—Aku menyukainya!—menggema dalam batinmu, di titik
itulah hatimu mulai mengajakmu berkonspirasi. Mula-mula melancarkan propaganda dalam
bentuk rayuan-gombal, kemudian, ketika mangsamu lengah dan kau berhasil meletakkannya
dalam genggamanmu, hatimu akan tertawa sambil berbisik; “oleh dan karena apapun, jangan
pernah kau melepaskannya!” lalu, setelah hatimu mulai merasakan bosan, dia akan
mengajarkanmu cara paling sadis untuk membuat orang lain menangis. Sesakit kata “putus”
yang kau berikan kepadanya di akhir.

Bukan hanya itu saja, ada saat di mana hatimu mampu menyulapmu menjadi manusia paling
egois yang pernah ada. Demi keinginannya—hati—untuk mendapatkan cinta, tidak peduli
seorang itu telah bahagia dengan kekasihnya, kau akan menumbangkan kebahagiaan di antara
mereka begitu saja. Meski dengan cara paling nafik sekalipun. Tanpa mau bertanya dulu pada
dirimu sendiri, apakah kau mencintainya dengan tulus dan bersungguh-sungguh atau hanya
sekedar meraih kepuasan.

Lihatlah, betapa hati begitu pandai menjebakmu dalam situasi yang kompleks.

Namun, jangan berburuk sangka dulu kepada hatimu, karena, akan ada masanya ia
mengajarimu tentang kebenaran. Karma. Sakit akan cinta yang terkhianati. Pedih oleh rasa
yang tak berbalas. Sampai akhirnya kau dapat menyentuh titik simpul kesadaranmu.

Karena hati yang membisikimu dengan jelas setiap kali, punya rencana sendiri yang tak akan
dapat kau tebak dengan pasti.

❦❦❦
“Terima kasih kepada kalian yang mau mengadopsi buku saya.”
—Sampai jumpa lagi di karya saya selanjutnya!—
TENTANG PENULIS

Sabriansyah Dk. Galigo—nama asliku sih Sabriansyah saja! Yang selanjutnya itu, Hmm...
biar lebih meyakinkan mungkin!—Lahir di Tolitoli pada Tahun 1995. Sama seperti kalian,
lahir tanpa Baju dan Celana. Penulis pernah bersekolah di; SDN I Buga Desa Buga, SMPN 2
Ogodeide, SMKN 1 Tolitoli, dan Kuliah?—sempat kuliah tapi mandek di tengah jalan.

Tidak pernah berharap untuk menjadi orang yang Spesial. Bisa terbang, atau semacamnya.
Menurut kalian, untuk seorang Remaja pengangguran sekaligus pemimpi dan penderita
insomnia berat, kira-kira apa yang bisa ia lakukan? Yap, tepat! Hancur sehancur-hancurnya—
seperti lagu hehehe.

Sejak awal menulis, sampai saat ini, alhamdulillah beberapa tulisanku telah terbit. Sebut saja;
101 Sajak Melanggar Nalar (2018), Anomaly―Dia! (2018), Sihir (2018), dan yang terbaru
Twenty Four Hour’s (2019)—kalau ada yang berminat untuk mengoleksi karya-karyaku
sebelumnya, silahkan hubungi saya langsung (kontak WA ada di bawah).

Selain menulis, kegiatan lainku Musik—di pinggir-pinggir jalan buat ngehibur orang
sekampung. Dan Imbalannya sendal jepit kena muka. Kadang-kadang juga Balok—begitulah.
Selain keduanya, kegiatan sehari-hariku, bertani, mentok-mentok paling Tidur. terbang
menuju Syndrome of Dream.

Kalau ada yang niat berinteraksi denganku,—kalau nggak mau, ya nggak usah dipaksain!—
kalian bisa menemuiku di :

WA : 0822-9058-2697

Facebook : Recto Verso

IG : Recto Verso (@rectov776)

E-mail : Sabriansyahdkgaligo10@gmail.com
BLURB/SINOPSIS

HATI adalah konstelasi paling rumit yang dititipkan Sang Maha pada hambaNya.

Bagiamana tidak? Ketika hatimu telah menentukan pilihannya, kau akan menemukan realitas
yang semula muskil menjadi begitu mungkin untuk kau lakukan. Apalagi itu berbicara soal
perasaan. Cinta. Setelah kalimat—Aku menyukainya!—menggema dalam batinmu, di titik
itulah hatimu mulai mengajakmu berkonspirasi. Mula-mula melancarkan propaganda dalam
bentuk rayuan-gombal, kemudian, ketika mangsamu lengah dan kau berhasil meletakkannya
dalam genggamanmu, hatimu akan tertawa sambil berbisik; “oleh dan karena apapun, jangan
pernah kau melepaskannya!” lalu, setelah hatimu mulai merasakan bosan, dia akan
mengajarkanmu cara paling sadis untuk membuat orang lain menangis. Sesakit kata “putus”
yang kau berikan kepadanya di akhir.

—Sabriansyah Dk. Galigo—

Anda mungkin juga menyukai