Anda di halaman 1dari 71



Sepatuku mengalun padu, membelah angin yang
berhembus hendak menarik paksa tubuhku mundur.
Namun, kamu sudah berdiri di depan arah
pandang, tersenyum mesra lebih dari langit yang
begitu pada semesta. Rumput mengayun membelai
kaki-kakimu yang hanya terbalut pelepah kayu.
Beragam suara berteriak di belakang, menitah
untuk ku hentikan langkah. Tidak. Kamu sudah
datang dari antah berantah. Jelas tidak bisa
membiarkanmu, tanpa menemui ujung waktu.
Biarlah jika pantas dihukum gantung, lebih baik
aku dibanding dirimu. Bahkan, senyum itu tak
suah memudar dari permukaan, seakan kamu tahu
tidak pantas untuk ku jadikan abadi lebih lama
lagi. Berakhir. Langkahku terhenti. Sebab tidak
lagi kuasa, aku mengeratkan genggaman pada
tangan besar milikmu lebih-lebih. “Mari singgah
ke Nirwana bersama.” Gelengan kepala itu
mengecewakanku dengan sungguh. “Tunggulah di
sini, biar aku lebih dulu.”

—Kisah Saksi Si Kaki Pelepah Kayu.


“Ayo, pergi ke restoran dekat sana! Aku lapar.”
Pria dengan kaos oblong putih terbalut kemeja
biru muda itu merengek dan merangsek ke
lenganku tanpa rasa malu ketika banyak pasang
mata jelas tertuju pada si pecinta ulung.

Kami tengah menunggu lampu hijau untuk


kendaraan berganti bagi para pejalan yang
hendak menyebrang. Beberapa kali ku lirihkan
kata „sabar‟ dan „sebentar‟. Lagi pun, aku
tidak akan berbelok ke toko sandang yang mewah
selera gadis di zaman ini. Perut kesayanganku
itu jelas lebih penting dari segala kemegahan
yang ada di bumi.

“Lucu bangettt! Kamu bisa turunin level imut


kamu nggak, sih? Kalau aku nggak nahan diri,
bisa aku gigit kamu di tempat ramai gini!”
ujarku yang sukses membuat dia mati kutu dan
berhenti merengek.

Ia tersenyum simpul, “kamu marah, ya?” Melirik


sekilas wajahku demi memastikan apakah guratan
kesal itu benar ada. “Aku bener, kan?”

“Iya, aku marah. Mau aku sumpal mulut sama


perut kamu pake sushi kalau masih rewel.
Lagian, kita udah pacaran lama, dan aku nggak
pernah nolak tiap kali kamu ajak makan empat
kali bahkan lebih setiap hari.” Aku melipat
tangan di depan dada, “bahkan berat badanku
naik terus, sedangkan kamu nggak. Jelas aku
iri. Makanya kalau main ke tempat Gym itu ajak-
ajak, biar nggak makin buntet aku nya. Nanti
lama-lama kita kayak angka sepul—“
Benda dengan permukaan lembut dan agak basah
mendarat mulus di bibir mungilku, terkejut?
JELAS IYA. Sekilas memang, lantas ia mengangkat
wajah. Menempatkan wajahnya begitu dekat dengan
wajahku.

“Sudah mengomelnya? Sayang sekali, aku


menyumpal mulutmu yang cerewet itu lebih dulu.”
Lukisan senyum yang semakin melebar membuat
debaran dan kupu-kupu berterbangan di perut
bagian diafragma. “Aku lebih senang melihatmu
yang seperti angka nol, aku menyukaimu
sebagaimanapun dirimu. Kita sudah lama pacaran
dan kamu belum juga belajar itu.”

Kata-katanya seolah menggantung. “Ayo, sudah


waktunya menyebrang!”
—Cloud Prince.

Birds are flying,


kissed by sun lighting.
Perch in the limpid wings,
who do you they think?
Probably Cloud Prince.

Aku melukis kepulan awan yang menggantung di


bentang biru itu, terfokus tanpa hendak
menolehkan kepala menyorot pada kamu yang
tengah meneguk satu hingga beberapa dalam kotak
susu. Sembari membayangkan bilamana ada
kehidupan lain dalam suatu kerajaan yang
melibatkan awan tebal itu sebagai pijakan.

Kamu—tersenyum simpul.

“Benarkah? Kamu pikir siapa yang akan menjadi


rakyat serta orang penting di sana?”

Teralihkan begitu terkejutkan bagaimana bisa


kamu tahu apa yang selagi aku pikirkan. Aku
menoleh padamu secara paksa, memandangmu yang
masih setia dengan senyum dan kerlingan mata
indah jelas hanya kamu yang punya.

“Entahlah, aku hanya berusaha mengabadikan awan


itu dalam lukisan lusuh yang ku buat. Aku tidak
berpikir apa yang aku bayangkan benar-benar ada
dan nyata. Menurutmu?”

“Mau tahu?”
Satu anggukan lolos.

“Izinkan aku memperkenalkan gadis menawan


penyuka seni yang terduduk di sebelahku sebagai
pemilik hati Pangeran Negeri Awan yang juga
menawan, Kim Jungwoo.”

Mustahil jika kupu-kupu alami di perut bagian


diafragmaku tidak berterbangan ria, naik
semakin ke atas menuju wajah dan menjadikannya
memanas.

“HAHAHAHHA …”

Dengan sopannya kamu tertawa.

“Salam kenal.”

“Salam kenal juga.”


YES, TODAY!
13 AUGUST   

There’s nothing I can do,


except waiting you give me a clue.
All things felt blue,
when you yet come through.
“Shooo!”
My life been vibing good,
that you smiling too.
—Cloud Prince.
JW: - I want to lie on the clouds.
-구름 위에 누워 있고 싶어.
- Aku ingin berbaring di atas awan.

Matamu memandangi awan dengan lekat, bahkan


lebih dari bagaimana kamu menyorot pandangku
nyaris di tiap-tiap kata dan masa. Bersandar
pada kedua tangan yang lurus ke belakang,
mengangkat kakimu santai menjamahi satu persatu
bentuk-bentuk rupawan buntalan putih nan
memesona. Tidak. Aku tidak cemburu padanya,
bagaimana bisa untuk itu?

“Kasur paling nyaman sepertinya hanya di atas


awan.” Aku berujar sepaham.

“Kamu harus ikut denganku jika ingin


merasakannya. Akan aku cari tahu jalan menuju
sana, dengan begitu aku telah mewujudkan
mimpimu dan mimpiku juga.”

Persamaan yang membuat kami justru saling asyik


dengan dunia saban. Menggelar tikar di tengah
rumput lapang, ketika siang menjelang petang
hanya untuk menyapanya tergantung di bentang.
Sesekali aku membaca buku-buku tebal dengan dia
menyetel alunan jazz yang mampu memberinya
tenang.

“Apa?”
“Mimpimu berbaring di atas awan, dan mimpiku
berbaring denganmu di sana, bersebelahan.”

“Sudah jadi kebiasaanmu, ya?”

“Soal apa?”

“Kembali bertanya? Soal tadi, sudah pandai


bermain kata?”

“Jangan ditanya. Sejak pertemuan denganmu dan


awan, otakku sungguh pandai dalam kosa kata.”

Aku menyikut tulang rusuknya, sempurna


menjadikan pria rambut hitam itu mengaduh dan
mengusap bagian yang sakit di sana. Senyuman
miring mematikan itu muncul kembali, membiusku
dalam sekali suntik, seolah tidak lagi ada
pemantik untuk mengembalikan kesadaran diri.

“Terus saja, akan ku curi semua awan itu.


Kemudian akan ku bawa lari mereka menjauh serta
hilang dari jarak pandangmu.”

“Tidak bisa.”

Aku tidak berniat menanyakan „kenapa?‟

“Langkahmu terkunci di sini, sampai kamu mati.”

Jemari telunjuk menghunus dada kirinya dengan


penuh penekanan. Perhatian sempurna beralih
hanya padaku yang masih hanya membuka mata, dia
tampak menyeramkan dan terlihat sekali
perbedaannya.

“Biar saja awan-awan itu pergi dan hilang. Asal


kamu tidak dan jangan.”
Entah ini hanya kebetulan atau tidak. Entah
memang sebelumnya kamu sudah menjadi
astrophilia atau tidak. Entah hanya perasaanku
saja yang salah atau memang benar aku dan kamu
memiliki banyak sama. Aku tetap bersyukur.
Walaupun dari sekian banyak manusia bumi harus
kamu yang terpilih, aku tidak bersedih. Karena
itu kamu, Kim Jungwoo.

Haruskah aku buat kamu masuk ke dalam cerita?


Menjadikanmu tokoh utama paling istimewa
dibandingkan banyak tokoh-tokoh yang kubuat
sebelumnya. Bisakah kamu memberiku izin atas
itu untuk menobatkan dirimu sebagai Pangeran
Negeri Awan, serta memberimu mampu berbaring di
atas gulungan seputih kapas yang turut
membuatku jatuh hati juga? Memberi nyawa
kehidupan bagi jiwamu yang begitu mendamba
singgah dan tinggal di sana sepanjang masa.
Bisakah?
Aku bukan ditakdirkan sebagai Pencipta. Tapi
Pencipta memberiku takdir menulis cerita.
Jikalau tampak mustahil dilihat atas-Nya, maka
biarlah aku memberi jalan untuk keinginanmu
menjadi nyata.
—Seharusnya bersulang, namun yang ada
berteman bayang-bayang belaka.

Ia meletakkan botol anggur di meja. Masih tetap


dengan menjepit sebatang rokok di sela-sela
jemarinya. Mengarahkan kepala ke arah jendela,
menghirup dalam udara dingin kota dari dalam
rumah pangsa. Menggerakkan bola mata menjamah
setiap sudutnya yang tidak lagi mengundang
tanda tanya. Angin malam konstan berhembus,
tidak turut membuat tubuh atas tak
berpakaiannya mengerucut. Sudah biasa. Tidak
lama. Ia tertunduk lesu. Rambut perak nyaris
panjangnya terjatuh, menyembunyikan setengah
wajahnya yang suntuk. Sungguh tidak banyak yang
ia tunggu, hanya kepergian dari sembilu.
Aku melukismu di bawah cahaya.
Mendamba sempurna,
yang ada pada yang nyata.
Enggan peduli pada jarum panjang
mengarah bentuk sudut berapa.
Beradu pandang dengan toreh cat matamu yang
menyorot dalam mataku juga.

Baru cukup tahu untuk sadar,


bahwa aku telah jatuh cinta.
Aku pernah mendengar orang-orang tua dulu
bilang, katanya kupu-kupu tidak memiliki umur
panjang. Mereka ingin menyampaikan kasih
melalui sayap nan indah miliknya pada makhluk
tersayang. Lantas aku menolehkan kepala padamu
serta memberi tatapan yang begitu lekat selagi
kamu tidak menyorot pandangku. Jika saja memang
benar seperti demikian, aku harap kamu bukanlah
salah-satu dari jenis kupu-kupu itu.
Kehilanganmu dalam jangka waktu tidak lama
lagi? Itu adalah salah satu yang begitu
menyakitkan. Kamu bisa saja memberiku kalimat-
kalimat penenang agar tak mengkhawatirkan
bagaimana dunia ke depan. Tetap saja, aku tidak
sedang menggenggam tanganmu ketika langkah
dimulai. Tetap di sini, tetap jadi satu-satunya
yang menatapku lebih dari matahari menatapku.
Tetap hadiahkan senyum manis dan kalimat-
kalimat positif itu hanya padaku. Aku menulis
ini sebab sungguh tidak yakin, dapatkah bunga
hidup tanpa kupu-kupu?

—Kamu dan Kupu-Kupu.


Semula, ia menghentak siku perempuan yang
tengah menelungkupkan wajahnya pada tumpukan
kedua lengan. Mengira semua akan berjalan
dengan mudah. Tiga kali sudah, namun yang ia
dapat hanya angka telur sebongkah. Tidak sampai
hati meninggalkan perempuan itu sebatang kara.
Hanya sebab kegagalan, ia coba memulai, siapa
tahu perempuan itu mampu memutar arahnya
melangkah. Walaupun tidak secepat kilat
pikirannya berubah, si perempuan belum tahu
betul ia dan wataknya.

Hari demi hari silih berganti. Ia setia


melangkahkan kaki, menyisakan si perempuan
seorang diri menguntit dari balik sepi.
Memastikan dengan benar adakah yang bisa ia
cari tahu dari diri si laki-laki. Nyaris,
langkahnya terhenti. Sesaat ia dan netranya
melahap habis masa lalu milik si laki-laki,
tangisnya tersedu-sedu merintik. Tidak sanggup
untuk berdiri lagi, ia berjongkok dan memeluk
lutut kembali. Barulah dalam hitungan detik, si
laki-laki menghampirinya suka hati.

“Ada yang mengganggumu?”

“Kamu memiliki kesamaan dengan diriku yang dulu


juga. Bagaimana bisa?”

Ia melukis senyuman tulus di bibir merah


mudanya. “Tuhan mengirim tugasku kemari.”

“Melalui hal ini?”

“Tidak. Begitu banyak yang aku bawa untuk bisa


bersanding sama rata dengan dirimu.”
“Kamu tidak pantas menangisi dia, Tuhan
mengatakan itu. Banyak hal berharga, termasuk
kamu; dan laki-laki itu hanya terlalu hina
untuk air mata suci yang kamu punya.” Si laki-
laki menghela napas. “Kamu selalu memandikan
dia dengan segala ucap do‟a, menghadiahkannya
kata-kata istimewa yang menjadikan dia seolah
manusia paling berharga. Berbanding terbalik
dari semua yang kamu terima dari dirinya. Jadi,
bisakah berhenti? Aku juga sudah membantumu
memohon erat pada Tuhan supaya Dia mau dengan
lekas menghapus perasaan kuatmu.”

Ia membuka mulutnya lagi. “Entah kenapa, hatiku


ikut terasa sakit ketika melihat orang lain
kesakitan.”

“Begitu juga denganku.”

“Bisakah?” Si laki-laki memberikan penawaran.

“Kamu boleh masuk ke dalam, maaf sekali jika


berantakan. Untuk yang terakhir aku tidak
sempat menata-rapikan karena, laki-laki itu
terlanjur membuatku membenci semua.”

“Tidak, kamu berada di jalanmu. Tetap seperti


itu, ya.”

Ia menautkan jemarinya pada jemari milik si


perempuan, berharap perempuan itu juga menjadi
sekuat dirinya. Menyerobok mata si perempuan
sedalam lautan.

“Kamu hanya perlu mencintai Tuhanmu. Itu sudah


lebih dari cukup.”
—Butterflies and You.

The man named Kim Jungwoo,


has something that being me in
love again.

… but, I still can‟t


respected about “relationship”.
It was hurts me mostly, I yet can forgave.
Gemerutuk tapal kuda beradu dengan jalan
berbatu yang baru beberapa hari lalu rapi
tersusun benar mengundang telinga si perempuan
untuk menajamkan alat dengar dan menolehkan
kepala. Mengira-ngira di lubuk hatinya yang
paling luas, siapa manusia yang hendak tiba di
hadapannya. Ia hanya menoleh sedikit, tidak
sampai hati untuk berani. Langkahnya tentu
enggan untuk berhenti. Baru kemarin malam
mereka membahasnya setelah tragedi di Kastil
Bavari, pria dengan rambut perak itu sudah
memiliki nyali untuk menungggangi kuda putih
kebanggaannya menghampiri ia kembali.

Bukan lagi—ia sudah memperingati.

Dinne, berhenti! Kamu sudah hafal betul suara


tapal kuda Luigi, bukan?

Tidak mengindah untuk mematuhi titah pria yang


walau sekalipun ia dipatutkan untuk tunduk
selalu.

Si Putih!

Benci. Benci sekali ia ketika si pria sudah


menyebutnya dengan panggilan itu. Bukankah
namanya sudah jelas ia beri tahu? Tanpa melawan
lagi, ia berhenti, menarik lalu menghembuskan
napasnya kembali.

Cukup, Pangeran KJ. Setelah pertemuan


keluargaku yang mengundang malu bagi seluruh
rakyat kerajaan ayahmu, kamu masih sempat untuk
mengajakku berbicara lagi?
Suaranya bergetar ketika mengeluarkan segala
keganjalan yang ada dalam hatinya. Dua jalan
keluar yang menurut ia berujung menyesatkan, ia
tidak bisa mengambil itu.

Aku hanya seorang anak hasil dari wanita


pencuci piring yang disetubuhi ayahmu. Kurang
hina apalagi aku untuk terus menyandingkan
namaku di sebelah milikmu ketika kamu
menuliskannya di pasir pantai Bexhill? Bisakah
sudahi saja ini? Tolong, biarkan aku pergi.

KJ menuruni kuda putih tunggangannya yang


selalu menjadi kesukaan, lebih tepatnya karena
memiliki identitas khas kalung mutiara putih
tanpa dosa yang dia dan hanya dia yang beri
pada keduanya. Ia berjalan tanpa keraguan.

Karena—ketika ia menggali mata kekasihnya itu


lebih dalam, bisa dilihat sebuah kejujuran
paling jujur di sana. Sesampainya ia, jemari
yang terpaut lebih besar itu mengamit milik
Dinne.

Siapa yang memberimu izin untuk mengatakan itu?


Bahkan, tanganku ini terasa lebih hina untuk
memberi genggaman selalu pada tanganmu. Tangan
dari anak seorang pria yang berpikir hanya
tentang nafsu dan nafsu saja. Tangan dari anak
seorang pria yang sudah menodai wanita tak
berdosa dan membuatnya mengandung anak dengan
menelantarkannya tanpa belas kasihan. Lihat
padaku, Ne? Sekalipun aku harus membasuh
tanganku dengan air paling suci yang ada di
bumi, itu semua tidak sebanding dengan luka
milik ibu dan dirimu.
Tidak ada jawaban yang berarti dari mulut Si
Putih.

Jangan pernah memintaku untuk memberi jalan


untuk kamu pergi—karena aku sudah mencintaimu
jauh tanpa memikirkan segala banyak
pertimbangan yang semalam Paduka katakan. Will
you stay with me? In this long-thin arm that
always hugged you tight every time. In this
field chest that only mine would you heard the
pulses all the time. Will you?

Air matanya jelas tidak terbendung lagi.

I was said, I would. You knew that, KJ.

Ia bergerak, merengkuh leher milik Sang


Pangeran dengan berjinjit kaki. Meneduhkan
segala bulir kesedihan di pundaknya yang sama
memikul beban. Ia tahu itu.

—Kuda Putih dan Penunggangnya.


—Dari Balik Punggung Itu.

Aku menggerutu, beradu gigi dalam sunyi dari


balik rerumput yang juga ada kamu di situ.
Begitu banyak kekhawatiran yang membabi buta di
kepalaku. Tentu kamu jelas tahu, hanya enggan
untuk mengganggu selagi aku menyibukkannya
sepihak dahulu. Matamu tidak kemana-mana,
menatap hamparan hijau rumput di tanah lapang
dengan punggung yang sengaja dihadapkan padaku.

Berharap dari yang sudah kamu emban, aku bisa


mencontohnya dari punyamu.

Bagaimana jika aku gagal? Bagaimana jika aku


tidak seberhasil dirimu waktu itu?

Kamu sudah melihatku, bukan?

Aku mengangguk, menyahut iya.

Aku juga tidak seberhasil seperti yang kamu


kira. Seperti katamu, masih ada langit di atas
langit. Bahumu harus lebih kokoh dari milikku,
punggungmu harus lebih pantas dilihat dari
belakang dibandingkan dengan punyaku. Kamu
tidak perlu menjadi terlalu sempurna.

Tapi, belajarlah menjadi seperti itu? Benar?

Giliran kamu yang mengangguk.

Gemerutuk dari gigimu akan menjadi kenangan


berharga ketika orang lain banyak mengiramu
berhasil melewati ini dan itu tanpa ketakutan
berlebih disetiap langkah. Memang ada banyak
jalan memutar, tapi lebih banyak lagi jalan
salah yang membuatmu harus mencoba hal baru dan
membantumu belajar penuh. Tidak ada pemikiran
yang dewasa tanpa banyak pengorbanan di
perjalanan. Aku bersyukur tidak mendapat korban
dari orang yang aku sayang. Walaupun itu harus
aku dan mentalku, itu baik-baik saja.

Jadi?

Jalan yang kamu tempuh belum tentu lebih baik


dengan milikku. Penuhnya pemikiran-pemikiran di
kepalamu itu akan sangat membantu, ketika tidak
lagi ada yang dapat diandalkan maka kamu akan
menjadi salah satu dari itu.

Benar-benar dia mengatakan segala sesuatunya


panjang lebar tanpa menoleh sedikitpun ke
belakang.

Aku tidak benar-benar yakin sepenuhnya aku


bisa. Tapi, jika segalanya berada di titik
buta?

Punggungku. Akan menjadi cahaya penuntun


jemarimu untuk kembali ke permukaan. Sama
seperti aku di masa lalu, kamu juga sedang
menuntun banyak jemari tangan. Bukan hanya
nasibmu seorang yang menjadi taruhan, namun
dengan nasib orang lain juga.

Tidak kunjung lega, aku malah semakin mendapat


kekusutan di kepala.
Memimpin dan menuntun itu dua hal yang berbeda.
Kamu bisa menuntun sambil memimpin, tapi tidak
dengan memimpin sambil menuntun.

Dan, lebih baik jika aku ambil „menuntun‟?

Lagi, kamu mengangguk. Walaupun dengan senyum,


tetap aku tidak bisa lihat itu karena kamu
masih enggan menghadapku. Kepalaku kembali
menunduk, memainkan kuku-kuku panjang yang
kerap menjadi sasaran ketika kekhawatiran-
kekhawatiran itu semakin tidak berujung.

Kamu memutar posisi duduk tanpa aku tahu.

But—yes. Of course because you‟re the soulmate


of Kim Jungwoo. Even with that much anxious
filled your head. I bet, you can pass them.

Senyum paling sejuk jika dibandingkan dengan


angin yang berhembus mengenai pipi bagian
kananku sekarang ini. Juga jemarinya yang
menjumput kedua cuping telingaku terlalu gemas.

Aku yakin, dia pasti bisa menyaksikan pupil


mataku yang membesar secara signifikan. Begitu
pula dengan bulir air yang tiba-tiba muncul
membuat mataku tergenang dan membuatnya
berkaca-kaca. Dia semakin gencar mengatakannya.

Matamu begitu indah ketika air-air itu muncul


dan menggenanginya perlahan. Seolah akan ada
bintang jatuh yang membuatku selalu ingin
mengucap harap, semoga Tuhan turut
mengikutsertaiku setiap waktu kamu melangkah.

Do you know, babe? For real, yes. You did.


—Touch Musée du Louvre
with You Beside On.

In the city of affection,


he hold her right hand so close.
Make sure didn‟t let them go.
With those eyes that never escape focused on,
just paying attention to the only make him
fall.

She loves art so.


He loves music though.
Big difference from the youth.
But—he knows,
she was the best art of God do.
—Dancing In The Rain
with You Next to Mine.

Kamu mengamit tanganku, menerjang deras hujan


dari halte yang semula menjadi tempat
persinggahan. Tertawa dengan mulut terbuka
hingga menampilkan indahnya senyum yang satu-
satunya kamu punya. Entah apa yang sedang kamu
tertawakan, apakah wajahku yang kini basah
kuyup dengan mata yang tidak mampu sepenuhnya
terbuka sebab air-air yang bercucuran itu tidak
henti-hentinya menerorku dengan banyak cemburu.
Karena pada detik ini juga berikutnya, hanya
aku seorang yang dapat melihat keindahanmu
secara halus tepat di depan netra.

Jalan besar itu kini tidak sedang banyak


pengendara berlalu-lalang. Rintik hujan yang
semakin bermilyaran turun enggan membuat mereka
meninggalkan rumah atau tempat berteduh yang
aman dan nyaman.

“Baguslah.”

Kamu berhenti melangkah lari, tepat di tengah


jalan besar di bawah lampu jalan yang mengapa
sudah menyala terang padahal belum juga petang.

“APA?”

Gemuruh dari guyuran air yang tak hingga


mengalahkan besarnya suara, baik aku maupun
kamu yang sekarang berdiri menghadapku sembari
berpegang pada tangan kedua-duanya. Lagi-lagi,
kamu tidak mengindahkan sahutan dari pertanyaan
yang susah payah aku berikan. Lagi-lagi juga,
senyuman itu kembali menjadi senjata untukku
mampu merendahkan intensitas sorot mata.

“Aku tidak terlalu menyukai hujan, aku lebih


suka jika awan putih dan langit biru itu
mengelilingi kamu juga aku dalam waktu yang
bersamaan. Tapi, apa kamu mengingat musik itu?”

Kamu menyenandungkannya dengan mata terpejam,


tangan yang semakin mengerat enggan terlepas.
Seolah tengah memanjat do‟a pada Si Pemilik
Dunia, supaya dengan sukacita dan lapang dada
hanya mencatatkan namaku saja di buku takdirmu
selamanya.

Perlahan senyumku mengembang. Kamu


mengingatnya, maka aku juga. Pembicaraan di
perpustakaan beberapa minggu lalu. Bahkan
sepertinya langit bukan sedang menangisi
kesedihan. Kamu melangkah maju, membuat
langkahku bergerak mundur. Bergeser ke kanan,
juga ke kiri menggiringku berdansa sama seperti
yang waktu itu aku ceritakan pada film Romance
Classic kesukaanku.

Aku membenarkan posisi, meletakkan tangan


sebelah kanan di permukaan dada bagian kirimu,
merasakan setiap degup yang muncul sedangkan
sebelahnya mengamit jemari bentangan lengan
kanan yang sebelumnya memang sudah seperti itu.
Tangan kirimu yang lengang beristirahat di
punggungku yang tidak terlalu kurus seperti
milik perempuan-perempuan lain di gedung
kampus.
Kamu tidak juga melempar pandang ke arah lain
ketika suara guntur memanggil. Ketika ia
meneriakkan kedua lawan jenis yang tengah
mengukir kasih di bawah haru tangis untuk
menepi karena ia sendiri tidak akan tega
membiarkan siapapun jatuh sakit. Senyum dengan
deret gigi-gigi itu tidak jua memudar, seolah
amat enggan terlarut oleh arus yang mengalir di
bawah alas kakimu.

“Bisakah biarkan seperti ini sedikit waktu?


Biarkan aku menyaksikan indah senyummu di bawah
hujan yang menghujam bumi dengan segala ucap
maupun tulis harap manusia-manusia puitis.
Menentang ragu atas semesta yang membuat
langkahku tersandung untuk menggapaimu lebih
jauh. Bisakah?”

Now I believe
라랄라랄라라 부르 는 노래
찾고 찾고 찾아 헤매이던 그대와
My, oh my, oh my, oh 내 사랑
Be my only love
걸어 걸어가는 발 걸음마다
기분 좋아 꼭 둘이 서 추는 춤 같아
My, oh my, oh my, oh 내 사랑
Be my only love

Hujan sama sekali enggan menurunkan kapasitas


air yang jatuh, terus mengguyur kami berdua
hingga kuyup sekujur tubuh. Namun, lemparan
senyum-senyum serta tawa ringan itu tidak lepas
dan terus terpaku. Kamu memutar tangan sehingga
membuat tubuhku mengikut dengan anggun.
“You were. Then, do it, J. Bahkan kamu lebih
istimewa dibandingkan hujan yang hari ini
seharusnya kujadikan tokoh utama. They said I
will love you. But—I was.”

Tanpa sadar, kamu dan aku sudah berpikir tidak


ada hari esok dan seterusnya. Dalam waktu itu
di hari hujan yang singkat, kami terpahat abadi
sepanjang masa.
—Pretty Dandelions
and Pretty You.

Aku sama sekali tidak punya kata yang hendak


diutarakan, selain tersenyum hangat selagi
diterpa angin sejuk ketika memandangmu bermain
dengan bunga Dandelion sembari berucap do‟a
sewaktu meniupnya terbang menuju awang. Suara-
suara itu memekakkan. Seringkali kamu
mengatakannya, nyaris di setiap waktu-waktu aku
dan kamu bersama.

Kamu selalu mengatakannya, wajah yang tidak


cukup jelita, proporsi badan yang tidak begitu
sempurna, senyum yang menurutmu tidak
menghabiskan banyak gula di sana. Berbanding
terbalik dengan yang aku punya. Kamu selalu
mengatakan itu. Lalu, bergerak murung. Aku
tidak tahu banyak apa yang harus aku lakukan
ketika menghadapi itu, yang aku lakukan
hanyalah selau diam.

Membiarkanmu memakan habis segala pemikiran-


pemikiran yang muncul mengenai tanggapanku.
Jika saja langit dan penghuninya serta bunga
Dandelion itu bisa berbicara, mereka pasti
sudah ramai memberitahukan besar rahasia itu
padamu. Betapa laki-laki yang kamu anggap
sebagai incaran banyak kaum Hawa, sudah
sepenuhnya menaruh hati pada sebenar-benar
salah satu dari jutaan kaum Hawa yang dia
ingin. Salah satu dari banyaknya malaikat yang
singgah di bumi. Malaikat yang tengah merajut
kembali hatinya yang tercabik. Namun berbalik
mengobati luka salah satu kaum Adam yang
lukanya nyaris pulih.

You‟re pretty though you think you‟re not. I‟m


fully fall into your heart, not your appearance
from any angle.

So, don‟t ever insecure. Because this super


human was in love with you long before you
think time has started.

I love you. I love you, even though other


people can‟t do.

“Ju, kemari!”

“Iya. Memang ternyata aku benar jatuh.”

“H-hah?”

Aku tersenyum lagi kala melihat wajah bingung


itu. “I love you, pretty heart.”

“Universe know, I felt better when I‟m with


you.” Matamu berkca-kaca.

“Wajahku tidak cukup jelita seperti perempuan-


perempuan lain di kota, mengapa kamu tidak
memilih mereka?”

Your smile is the point


Kamu terduduk di hadapanku, selesai menyantap
makanan yang telah dipesan lebih lama dari
durasi ku. Lantas tersenyum, sebenarnya sudah
sedari tadi aku perhatikan itu. Kedua lekuk di
sebelah kanan maupun kiri bibirmu yang terlukis
indah, juga deretan gigi yang beraturan dan
lucu sebab gigi kelinci itu kerap muncul
selalu. Suara-suara di sekitar mendadak sunyi,
sepi, senyap, tidak ada selain warna dirimu
yang sempurna tidak abu-abu. Jaket denim itu
tampak jelas sekali pas dipakai di badanmu.
Entah kamu yang tidak mengatakan apa-apa, entah
memang waktu yang membeku sementara. Sejak
nyaris satu tahun lalu kamu menjumpai aku,
tidak pernah lalai aku menjadi pecandu senyum
itu. Senyum yang kalau saja kamu tahu telah
menyelamatkanku atas izin Tuhan yang hanya
satu. Sebuah genggaman mengamit jemari kanan,
dan tepat di waktu itu, suara-suara di
sekeliling tidak lagi bisu. Apa yang membuatku
begitu pilu? Kamu mengusap kedua sisi pipi,
menghadiahkanku sorot mata cemas dengan napas
berderu. “Apa dia kembali? Masa lalu itu?”
Tentu aku menggeleng keras. Namun, bukannya
mereda, air mataku kurun menderas. Seolah rasa-
rasanya senyum itu tidak bisa menjadi milikku
selamanya. Jika aku bisa jujur, dada sebelah
kiriku kerap terasa nyeri ketika senyum paling
tulus dia munculkan selalu. Seolah aku bukanlah
pemiliknya, seolah aku tidak memiliki hak untuk
memandangnya setiap masa, seolah aku—telah
mencuri dan membawanya lari dari orang lain.
Kalau begitu Tuhan, ciptaan-Mu ini sudah
melakukan tugasnya dengan baik, lantas bisakah
biarkan dia lebih lama lagi mengeratkan
dekapannya? Mengistirahatkan dagunya di atas
bahuku yang katanya sudah dinobatkan sebagai
tempat paling nyaman? I‟m begging You. “I‟m
yours, right?” Aku memandangnya lekat ketika
pelukan itu kembali melonggar, “God said,
you‟re mine.”

—You Smile, I Cry.


you might be ain‟t my side;
but we still look at the
same moon, same stars,
same clouds, same sun
under the same sky.
—warm arm that hugged me tight.
Aku kehilangan kata-kata ketika ketakutan-
ketakutan itu muncul. Aku tahu bahwa aku
seperti itu karena aku terlalu lemah untuk
mampu. Setiap langkah hanya terlihat ringan,
namun berat sekali untuk dibawa berjalan. Air
mata hanya bisa terus turun. Aku tahu apa yang
harus aku lakukan, aku hanya terlalu takut. Ya,
benar memalukan untuk seseorang yang terlihat
kuat seperti aku. Suara-suara menyeramkan itu
bermunculan perlahan, setelah Tuhan berhasil
mengusirnya beberapa bulan yang lalu. Aku pikir
aku sudah cukup, namun yang terlihat memang
hanya yang kelihatan jauh dari apa yang sejauh
ini aku rasa. Dari segala ketakutan-ketakutan
yang aku pikirkan hanyalah bagaimana caranya
agar aku bisa menguatkan diriku seperti aku
yang dulu. Terlalu lama memberi ruang dan
waktu, bukannya mendapat napas yang cukup untuk
mengejar, aku malah semakin tertinggal—semakin
jauh, jauh, lebih jauh.

Sungguh kedua yang aku takutkan adalah aku


terjatuh kembali dalam belenggu rasa sepi tidak
berujung itu. Takut kembali beri kecewa pada
orang tuaku lagi, takut memberi kecewa pada
Tuhanku lagi, takut memberi rasa kecewa yang
semakin besar pada diriku yang dulu. Semua
orang bergerak maju, sedang aku hanya berjalan
di tempat bahkan bergerak mundur. Sesak di
dada, gemetar sekujur badan, mata yang terus
berkeringat. Aku enggan untuk memberi
keringanan pada usaha untuk mengembalikan
tenaga tubuhku, namun ketika dia ku beri
sedikit tekanan yang terjadi adalah rasanya
sesuatu hendak terisak. Aku pikir aku hanya
membutuhkan istirahat panjang, kenyataannya
adalah istirahat panjang itu membuatku hanya
menabung lelah dan lelah. Untuk memaklumi semua
itu tidak akan ada habisnya.

Sudah cukup banyak uluran tangan yang menarikku


keluar dan sanggup kembali menjalani hari. Aku
tidak mungkin menyia-nyiakannya begitu saja.
Walaupun hanya sedikit-sedikit langkah.
Pertanyaannya adalah mengapa ketika tenaga-
tenaga itu dibutuhkan yang terjadi adalah
mereka enggan untuk muncul? Adakah kesalahanku
terhadap sesiapa orang yang tidak aku sadar?
Adakah keburukan dari keluargaku yang
menjadikan aku imbas dari segala hal yang ada?
Padahal waktu itu sempat kembali, namun pandemi
begitu memberi siksa. Tentu tenaga itu
menghilang lagi. Aku tidak mau meminta bantuan
dari siapapun lagi, kecuali Allah. Aku hanya
ingin mencoba bahwa aku masih bisa mengandalkan
diriku sendiri seperti yang sudah sejauh 2019-
2020 awal aku lakukan. Bahwa aku akan kembali
kepada aku yang dulu adalah bukan sekedar
angan-angan saja. Aku juga butuh bukti nyata,
bukti yang bisa aku berikan dari hasil kerja
kerasku sendiri semua.

Aku sangat berterimakasih pada Allah yang telah


mengirimkan banyak bahagia sebelum ini, aku
bersyukur awal tahun ini bisa kujalani dengan
beribu hal-hal baik. Aku harap Allah memberiku
izin untuk kembali menguatkan hati serta
fisikku kala kemarin. Aku ingin berjuang sekali
lagi, tanpa hendak mendengar hal-hal buruk
untuk menghindari segala sesuatu itu kembali
bergentayangan dalam pikiranku.

Aku—masih mau berjuang.

Masih.

.
[the blonde i won‟t forget]

Kamu melepas pengamit jemari dari jemariku,


membiarkanku berjalan sendirian merekam
kegiatanmu yang membuatku selalu gemas setiap
kali melihatnya. Senyum itu, yang saat ini
hanya bisa aku lihat dari layar kamera yang
lensanya tengah menyorot hanya padamu seorang.
Membuat sebuah sunggingan senyum turut muncul
di lengkungan bibirku. Melihatmu yang bermain-
main di antara cipratan air, menatap ke arahku
lantas menyuruh mendekat supaya pakaianku juga
turut basah. Walau dengan keengganan, kamu
tidak sampai memaksa.

Rumput-rumput kehijauan di bawah kebiruan


langit itu seolah tampak ceria berada
dipijakkanmu, mengalun membelai sepatu converse
putih sebagai alas kaki kesukaanmu. Tepat saat
kamu memanggil untuk kesekian kali, aku
meletakkan kamera di tempat yang cocok untuk
menyorot kamu juga aku. Kemudian melangkahkan
kaki, berlari mendekat, menyunggingkan retetan
gigi yang tidak terlalu tersusun rapi. Terjatuh
dalam sambutan rengkuhan di bawah matahari yang
menyala terang. Beradu tatap lalu mulai
bergerak melangkah mundur mengikuti arahmu
membawaku ketika lagu-lagu jazz indah berputar
merdu di ingatanmu juga aku.
I broke all my bones that day I found you
Crying at the lake
Was it something I said to make you
feel like you're a burden?
—maybe in another life, huh?
Terkadang, bayang-bayang itu menghantuiku
selalu. Memintamu bertahan lama di hidup,
padahal kamu hanyalah salah satu tokoh yang
kebetulan meimiliki panggung di waktu
perjalanan hari-hari itu. Melihat senyummu yang
begitu cerah, dengan gigi-gigi yang berderet
rapi, lengkungan bibirmu yang seolah Tuhan
memberikan banyak gula ketika menciptakannya
sebelum itu. Aku ingin mengatakan sebanyak
mungkin bahwa aku mencintaimu karena kamu
adalah orang yang Tuhan kirim untuk memberikan
sedikit keajaiban dari sentuhan jiwamu yang
seolah semula diciptakan menjadi malaikat. Tapi
apalah daya ketika kehidupan berada di mana
letak kita berbeda sangat jauh. Letak negara,
letak agama, letak kasta, keluarga. Aku tidak
mungkin mendambamu sejauh itu. Apa yang sudah
aku lakukan untuk dunia sampai berani-beraninya
meminta kamu menjadi tempat peristirahatan
lelahnya hidup. Menjadikanmu sayap tak kasat
mata yang selalu di sisi ketika semua orang
meninggalkan sedangkan Tuhan dan kamu tidak.
Menyelamatkanku dari banyak kesedihan karena
manusia-manusia jahat itu telah banyak melukai
hatiku. Tapi, Tuhan mengatakan bahwa kamu masih
harus tetap di sini. Aku sungguh
berterimakasih.

Sudah beberapa banyak kali aku berpikir bahwa


semua ini mungkin hanya titik saat ini saja.
Mungkin lain waktu Tuhan akan membawa kamu dan
aku untuk bersatu di kehidupan selanjutnya.
Tidak ada yang benar-benar tahu mengenai
lingkaran hidup. Membawa kamu dan aku pada
peraduan yang benar-benar menjadikan satu
jiwamu dan jiwaku. Menorehkan janji di mana
kamu mengaku akan selalu bersamaku, dan
sebaliknya aku akan selalu di sisimu. Menjalani
sisa hari sebelum kehancuran yang sebenar-benar
tiba. Menjadikanmu raja sejati dalam hati,
menjadikanku ratu dari hatimu seumur hidup.
Jika benar, aku ingin diriku yang selanjutnya
masih mencintaimu dengan caranya yang sama.
Kerap menjadikanmu abadi dalam tulisannya
ketika memori-memori itu hilang, sedangkan
deretan huruf masih terususn rapi dan menyimpan
rapat semuanya.

Atau bahkan kamu sudah pernah menjumpai aku di


kehidupan sebelumnya, mengatakan cinta yang
tidak pernah aku duga kedatangannya. Namun
ketika lain hal mematahkan segala membuat kamu
menjauh dari apapun tentangku. Cerita-ceritamu
tentang awan membuatku selalu terisak,
membayangkan bahwa aku telah menemukan
seseorang yang begitu memiliki kemiripan dengan
diriku persis. Pemilik hati sebersih air yang
belum tersentuh tangan siapapun, membuatku
selalu ingin membasuh wajahku di sana.
Menjadikan air itu hanya terdapat sidik jari
tanganku saja untuk menjadikan hatiku semurni
hatimu juga.
[I Love You So.]

Genting rumah Jiwo yang kokoh itu memang gemar


sekali menjadi rebah bokong juga punggung ia
maupun Dinia yang sesekali diajak duduk di atas
sana untuk bersama menikmati bintang entah
bulan entah hujan entah langit yang hanya
gulita tanpa penerang. Sembari berbincang
ringan, atau bahkan sampai ke topik yang berat
mengenai alam semesta hingga negara-negara di
dunia yang mempunyai konspirasi masing-masing.
Kini, tidak sama dengan malam sebelumnya. Jiwo
menghirup dalam angin malam yang katanya tidak
cukup baik untuk kesehatan paru-paru.

“Boring amat dah jadi jomblo.” Dengan tangan


yang lurus ke belakang menopang badan, kamu
bersuara. Kaos oblong berwarna hijau tua
bergerak gemulai terkena sapuan angin.

“Ya, cari lah. Males amat lo jadi cowok.”

Dinia merasakan kepala laki-laki itu menoleh


garang. “Kok sewot? Bantu cariin dong,”
pintanya.

“Tiba-tiba banget,” ujar perempuan yang masih


belum menggerakkan poros kepala mengarah pada
si lawan bicara.

Lagi-lagi, ia hanya menghela napas. “Hampa, Ya,


tangan gue bisanya genggam angin mulu.”

Dinia terkekeh, nyaris terbahak malah. Tidak ia


sangka sama sekali, sejak memilih untuk
menyudahi hubungannya dengan si mantan, rasa
sepi itu kembali datang menyelimutinya.

“Beneran mau dibantuin? Ayo, langsung sekarang


keliling, nongkrong di alun-alun. Siapa tau ada
yang nyantol.” Bersemangat perempuan itu
mengiyakan tanpa berpikir mengenai apa yang
mengganjal dalam hatinya saat itu juga.

Jiwo mengangguk mantap, bangkit dari duduk


menyusul Dinia yang sudah bangkit lebih dulu.
Keduanya menapaki genting rumah milik si laki-
laki dengan perlahan takut terkena selip dan
berakhir tergelincir. Sesampainya di bawah,
yakni di depan rumah Jiwo. Dinia bersuara,
meminta izin untuknya berganti baju karena
pakaiannya saat itu benar-benar terlihat
seperti gembel.

“Tungguin bentar, gue mau ganti baju.”

“Gausah.”

“Loh? Tega banget lo, nanti gue jadi pusat


perhatian gara-gara gembel begini setelannya
gimana?”

“Nggak bakalan, justru kalo lo pake baju rapi


yang malah jadi pusat perhatian.”

Sepeda motor sederhana yang sudah biasa menjadi


teman seperempat hidupnya, yang menjadi
kenangan di jok motor bahwa dia pernah memadu
kasih dengan si mantan yang berakhir dengan
perselingkuhan. Alhasil ia membenci hubungan
percintaan. Dinia yang menyadarkan itu saat ia
nyaris keluar dari arah kodrat yang seharusnya.
„Elo kalo ada kecewa sama yang namanya cinta,
cukup benci hubungan percintaannya. Gendernya
nggak perlu. Lo masih bisa berdiri di kaki lo
sendiri, Wo. Cobain penuh biar nggak selalu
bergantung sama orang lain. Yang ngecewain lo
cuma beberapa, bukan beribu perempuan di
dunia.‟

Hingga akhirnya Jiwo tersadar dan memilih untuk


selalu datar dan memperlakukan semua perempuan
yang ia temui di hidupnya dengan sama rata.
Terkecuali sang ibunda, dan Dinia yang
notabenenya adalah separuh jiwa mungkin, ya.

“Anjir lo.”

Jiwo terbahak, “udah buruan naik, keburu


kemaleman ntar gue diomelin emak lo bawa lo
ngelayap.”

“Iye.”

Keduanya melaju dengan deru mesin motor yang


tidak terlalu memekakkan telingan seperti milik
kebanyakan remaja di lingkungan tempat tinggal
mereka. Tidak ada obrolan yang berarti selagi
di atas jok motor. Hanya keempat pasang mata
yang selalunya menjuruskan perhatian pada spot
yang terlihat menarik di penglihatan masing-
masing.

Alun-alun tidak cukup jauh, namun entah mengapa


Jiwo yang niatnya mencari tambatan hati baru di
sana malah enggan untuk melajukan mesin
motornya lebih cepat karena ketidaksabaran
hatinya. Membuat Dinia sedikit heran, namun
ketimbang bertanya ia memilih untuk diam dan
menyimak keramaian Sabtu malam hari itu.
Sesampainya di alun-alun, tentu saja Jiwo
memarkirkan motor kesayangannya di parkiran.
Lantas berjalan berdampingan dengan Dinia yang
sebelumnya menyuruh Jiwo untuk jalan lebih
dulu.

Kerumunan memenuhi alun-alun. Kebanyakan yang


membawa gandengan, beberapa juga terlihat
tengah hangout bersama teman-teman
perkumpulannya masing-masing. Jiwo menolah-
nolehkan kepalanya. Mencari siapa tahu ada
perempuan yang mampu mengalahkan egonya
sehingga dia mau kembali membuka kunci hatinya
yang semula entah dia buang ke mana. Dua tahun
setengah, ia hidup dengan lempeng-lempeng saja.
Mendapat ledekan dari teman-teman satu
tongkrongan yang berasumsi bahwa dirinya
berubah menjadi seorang yang menyukai sesame
jenis karena tidak lagi menatap lawan jenis
dengan tatapan ketertarikan. Namun ia memilih
memasang muka tembok saja, toh tidak perlu
diberi tahu pada dunia bahwa cintanya yang
terakhir kali membuatnya trauma separah ini.

Sekitar tiga kali sudah mereka bolak-balik.


Dinia pun turut mencari dan menawarkan mau
pilih yang mana Jiwo. Laki-laki itu selalu
menjawab tidak lain dan tidak bukan, “gue nggak
yakin sama yang itu. Auranya sama kayak
mantan.” Dibalas Dinia dengan helaan napas.

Sampai di titik keduanya benar-benar kelelahan


dan tidak sama sekali membeli jajanan padahal
banyak yang membuka toko atau berdagang di
pinggir jalan. Mereka berhenti di salah satu
toko es krim, memesannya, lalu menepi untuk
duduk dan menyantap sesaat.

“Udah ah, capek gue nyari, Ya.” Jiwo berujar


setelah menghabiskan cone es krim nya.

Dinia menoleh, “terus gimana?”

“Gimana apanya? Percuma lah gue nyari sampe ke


ujung dunia kalo orang yang gue mau cuma
perempuan yang satu-satunya bertahan kalo
trauma gue lagi kumat.”

“Emak lo?” Perempuan itu mengangkat alis.

“Astagfirullahaladzim, bener-bener.”

“Siapaaa?”

“Pura-pura bloon.”

“Nggak. Apaan, sih? Bener gue nggak mudeng.”

“Elo, Dinia. Elo. Gue maunya sama lo.”

Sesuatu seakan meledak di area dada Dinia.


Lelehan eskrim yang dia beli terjatuh ke cone
block alun-alun. Seolah waktu berhenti,
memberinya palang supaya cepat-cepat mengatakan
jawaban. Apakah ia bermimpi? Sedangkan, amat
mustahil rasanya mendengar Jiwo mengatakan hal
sakral itu pada dirinya.

“Hah?”

“Boleh nggak gue jadi separuh jiwa lo, Ya?”


—Tears for Cloud Prince.

Cloud flew to the hills,


clot a lot,
melt into rain,
hits the ground so loud.
“Autumn Opening.” Queen said.
He just stand still front the window,
he ain‟t think nothing.
Why it cried so?

“I‟ll not pretty to make you happy.”


“It‟s just a few months, I love you though.”
—There is No Train Heading
to Heartbreak.

“What are you waiting for?”


Then, she turned her head.
“There are no trains passing for my
destination. Whereas there were many before.”
The man beside her breathed the air in the
platform that feels moist after rain, put his
hands in his coat pocket.

“Is there someone you‟re waiting for?”


He nods, “me and her are next to each other.”
“You mean, who?”
“You knew it, then?”
“There‟s no train that takes you to a wound.”
“Yes.”

That day, I almost fell into a woe.


She‟d mumbled.
But, you came as a savior.
-Unsent Message-

Receiver: JW Kim

Hello, there!
Apa kabar, kak Jungwoo?

Pastikan selalu sehat, ya. Udara lagi dingin-


dinginnya memasuki musim gugur, warnanya merah
jingga yang sedikit muram namun tenang. Pakai
pakaian yang hangat, makan juga jangan lupa
yang banyak. Istirahat jangan kurang. By the
way, ini aku udah kali ke berapa ya ngucapin
“terima kasih”? hehehe, kayanya udah banyak
banget, ya. Dan sekarang aku mau ngucapin lagi
di unsent message yang ku buat sendiri.
Kedatangan kamu benar-benar sama sekali nggak
aku duga. Yang aku kira aku nggak bakal jatuh
ke siapapun lagi di kpop, karena udah cukup aku
ditinggal hanbin.

Ternyata, ada sesuatu yang entah kebetulan atau


memang sudah jalannya, ketika patah hati itu
baru hendak muncul, kamu sudah membawaku
menjauh pergi dan menyeret untuk tidak lama-
lama menunggu. Menunggu apa? Menunggu jawaban
dari manusia yang tidak bisa disebut manusia
karena banyak kata-katanya yang akan melukai
hati yang bagaimana kamu tahu aku sudah amat
banyak menyimpan luka. Aku benar-benar dengan
lapang dada apabila Tuhan hanya menjanjikan
hatiku untuk jatuh hanya padamu, dan aku tahu
betul kamu tidak mungkin bisa aku gapai
sebagaimanapun cara yang aku usahakan. Maka
dari itu, aku bilang lapang dada, karena
mungkin bisa saja kamu melukaiku juga.
Kemungkinan itu bukan suatu hal yang mustahil
bukan? Hanya saja, tanggapanku akan berbeda.
Aku mengenalmu sekilas, sebatas cover saja.
Sedangkan kamu pun tidak mengenal baik aku.
Kamu tahu aku hidup saja tidak, hehhehe. Ketika
aku tahu aku benar jatuh cinta, aku akan
tersadar dengan sendirinya bahwa kamu jelas
bukan ditakdirkan untuk diriku. Apalah aku ini?
Mengejar manusia yang sama kasta denganku saja
tidak dapat-dapat. Apalagi mengejar cintamu,
HAHAHAHHA. Mimpi kali, aku ini.

Kamu udah ngajarin aku banyak hal, tentang


bagaimana memanusiakan manusia, berlaku yang
baik kepada sesama, mencontoh yang lebih baik
suapaya tidak mudah berbangga diri. Banyak hal
baik yang bisa aku tiru dari dirimu. Kamu
dewasa dengan caramu sendiri. Terima kasih
sudah datang tepat waktu. Aku tidak tahu jika
hari itu, detik itu aku tidak menemukan dirimu
sebagai NCT Kim Jungwoo, melainkan staff Kim
Jungwoo, mungkin aku sudah benar-benar mendapat
retakan besar dalam hati. Retakan yang aku
yakin tidak akan pernah hilang jika
dibandingkan dengan yang sekarang.

Aku hanya tidak percaya pada cinta lagi, dan


itu bukan terasa perih, namun benar-benar
benci.
Aku bukannya gagal, aku hanya meletak rasa
sementara selagi yang lain tidak ada yang bisa
dipercaya. Ini sudah jauh beberapa bulan sejak
kejadian itu, dan aku bersyukur dijatuhkan di
tempat teduh yang tepat. Kamu dan aku tidak
saling mengenal, namun koneksi itu cukup baik,
bahkan sangat baik. Jika aku tanyakan siapa
pemenangnya, maka kamu lah jawabannya. Ketika
tidak ada sesiapapun yang mampu memudarkan
„trust issue‟ yang aku punya sedangkan kamu
mampu dengan cekatan. Sebelumnya, aku pun
mempunyai „trust issue‟ terhadap siapapun idol
itu. Namun, persis seperti barusan aku katakan,
NCT dan kamu yang hanya mampu mematahkannya.
Aku juga sama sekali tidak mengerti, dan
bagaimanapun, hanya Tuhanku yang tahu alasan
ini dan itu. Semoga, kalian, kamu, dan aku
tetap selalu bersama di sini, di tempat yang
fana ini. Sepanjang waktu, sepanjang hidupku.

I love you,
of course not more than I love my Allah.

[14 November 2021]


—Jazz Music and Rainy Day.

Aku meletakkan dua cangkir teh hangat di meja


bundar, tepat di sebelah kursi tempat mu duduk
menghadap jendela besar. Menatapi bulir-bulir
hujan yang turun dari langit kelabu. Beruntung
sekali gemuruh tidak sedang mengamuk-amuk. Aku
jalan memutar, menduduki kursi kosong yang
satu. Bersanding di sebelahmu menyaksikan opera
paling menenangkan sedunia. Menghirup napas
hangat di dalam rumah sembari mendengarkan
santai lagu-lagu jazz landai kesukaan kamu dan
aku. Tidak ada pembicaraan yang berarti, hanya
suara hujan di ruangan nyaris kedap suara yang
sedikit mampu menjadi pemecah keheningan. Sudah
biasa, beberapa kali pada waktu-waktu tertentu
kami hanya saling diam menyerap dan
mengumpulkan energi sekitar untuk kembali
berbincang.

Aku menoleh, rambutmu yang telah memutih selalu


menarik perhatianku beberapa tahun terakhir.
Menolak untuk percaya, bahwa aku juga telah
menua. Lebih tepatnya, aku dan kamu menua
bersama. Tidak dengan angan-angan yang ternyata
hanya angin, sebuah kejadian yang tidak pernah
aku duga sebelumnya. Kamu yang memilih aku
untuk menjadi peristirahatan terakhir
perjalanan cinta. Kamu selalu menjawab, “aku
sudah lebih dulu menetapkannya hanya padamu.”
Lantas? Here we are. Menikmati hari tua dengan
buah hati kami yang sukses dan beranjak sukses
melalui caranya masing-masing.
Jarang banyak berbincang, lebih banyak saling
diam dengan hati yang tetap dan selalu saling
bertaut satu sama lain. Selagi aku sibuk
mengagumi pemandangan paling indah di seluruh
alam semesta, sebuah tangan besar lemah nan
dingin itu mengamit tanganku. Mengelus
permukaan yang sudah tidak lagi kencang kulit-
kulitku di sana. Membalas arah pandangku yang
tersorot hanya pada matanya, menyalurkan rasa
dingin yang kini tengah menyelimuti sekujur
tubuhnya. Kemudian, sebuah senyum terukir,
senyum yang masih tampak sama manis sejak awal
kamu menyunggingkan itu.

“Perjalanan selanjutnya, sayangku. Selamanya


tetap genggam tanganku. Janji?”

Dengan suara lirih dan senyum tipis, aku


menyahut, “janji.”

Kami memutar kepala kembali. Dan selagi langit


terus menangis, mata kami perlahan memejam.
Melepas beban dunia bersamaan. Berjalan menuju
tahap kehidupan selanjutnya, di mana kami bukan
lagi memijaki bumi. Melainkan dipijaki bumi.

Selamanya …
sampai kita tua,
sampai jadi debu.

Ku di liang yang satu,


kau di sebelahku.
—Lampu Jalan.

Hutan sungguh gulita,


dengan aku yang buta arah.
Mana sempat memikir gempita?
kaki badan sudah tidak dirasa.

Hampa, bisikku.
Dengan begitu banyak peluh.
Mengumandangkan satu nama begitu pilu.
Mencari jejakmu yang hilang misterius.

Membiarkanku terseok-seok,
nyaris menyimpan ego.
Mengumpati aku yang begitu bodoh,
sebab mencintaimu sama saja menghirup karbon.

Semakin meringis,
udara benar-benar dingin.
Membiru sudah kaki-kaki dan bibir,
mustahil berlari.

“Baby?”
Ya, suaramu bergema.
“Can you hear me?”
Wajahmu begitu benderang.

Walaupun penglihatan kabur,


dan sengau telingaku.
Namun, aku tetap tahu,
mengapa kamu begitu sendu?
—The Moon is Beautiful isn’t It?
This night, before the change of your age. By
shadows light, still sit in my chair. How can I
let them passed away? How can I let them out my
life? How can I left a lot farewell messages?
If the rain erases all memory of you. Still can
run from the love things that I was do. Engrave
all on the universe? Should I do that so
impossible? So as me and world always remember.
Cause the moon you looked is so beautiful in my
eyes. I cried all night, and dived then drowned
deep in your heart. I wish I can take—you and I
to fantasy, in return for saving me. So you can
life happily, without burden you bear. I wish I
could give you Stars, or maybe the Nebula. That
way you wouldn‟t be dark on a lot hard days.
Cause 831, as 224.
—The Moon is Beautiful isn’t It?
This night, before the change of your age.
By shadows light, still sit in my chair.
How can I let them passed away?
How can I let them out my life?
How can I left a lot farewell messages?

If the rain erases all memory of you.


Still can‟t run from the love things
that I was do.
Engrave all on the universe?
Should I do that so impossible?
So as me and world always remember.

Cause the moon you looked is so


beautiful in my eyes.
I cried all night, and dived then
drowned deep in your heart.
I wish I can take—you and I to fantasy,
in return for saving me.

So you can life happily, without


burden you bear.
I wish I could give you Stars,
or maybe the Nebula.
That way you wouldn‟t be dark on
a lot hard days.
Cause 831, as 224.
—Lindap.

Kabut dan sejuk tak jua menepi, pandanganku


sempurna terhalang kelabu. Bahkan kamu tidak
berada di tempatmu berada sebelum itu. Sanubari
pun hampa berlarut. Tanpa sadar berwaktu-waktu
sembilu bersandar pada dermaga yang sudah lebih
dulu pilu. Lentera sama sekali tak tersedia
dalam sendu, menjadikan sekujur badan membiru
tanpa arah tuju. Aku tidak memiliki keinginan
mencari dirimu. Entah, kamu juga tidak hendak
menghampiriku. Seolah badai menjadikan kamu
juga aku buta arah peta dan enggan untuk
kembali berpadu. Tetapi, dibanding kamu, seolah
aku yang terkena timpa berkali lipat jauh lebih
runtuh. Ketika itu, aku tetap masih setia pada
Tuhan yang menghadirkan kamu dalam hidup. Tidak
berharap apapun pada perasaan yang tiba-tiba
terasa hambar dan surut. Gelombang-gelombang
itu tidak henti-henti menghantam kayu-kayu
keropos yang aku bangun tanpa kamu. Dengan tega
menjadikan tubuhku seolah sempurna lumpuh.
Hingga gelombang paling besar pun, aku tidak
jua menyebut namamu untuk meminta dorongan
supaya bisa terus bertahan penuh. Perjalanan
demi perjalanan ku tapaki sendiri dengan peluh.
Biasa aku melihat tegap punggungmu memandu,
hari-hari itu bahkan cahayamu benar-benar
redup. Tidak hendak aku bertanya “mengapa
begitu?”
Ketika kehadiranmu meragu, arah langkahku
benar-benar berubah lesu. Bisakah kamu memberi
sedikit cengkraman pada kakiku supaya ia dapat
lagi berlari laju? Hingga petang itu, dengan
rambut semrawut. Sebuah cahaya berkedip memberi
kejut. Dimulai ragu hingga perasaan itu kembali
datang berangsur. Kamu menghampiriku, memberi
erat peluk, saling terisak di bahu. Beradu
tanya dalam sesak haru, tentang “darimana saja
kamu?” Kamu tidak denganku, mata ini menjadi
buta akan peta-peta hidup. Kedatanganmu selalu
menjadikanku tenang, hangat, semangat, tanpa
pilu. Sekejap kamu mengusir keruh dan keluh.
Seandainya saja bisa, ingin sekali aku
mengatakan bahwa kamu akan selalu menjadi
bagian paling-paling penting dalam sepanjang
sejarah hidupku. Walau suatu saat nanti, akan
ada waktu di mana kamu tidak lagi menuntun.
Hidup akan terus berjalan, dengan atau tidak
denganmu. Dan, aku tidak yakin entah aku bisa
atau tidak tanpamu. Aku hanya ingin semesta
merestui aku dan kamu selalu, Kim Jungwoo.
Sepanjang hidup.
Butir-butir kristal berwarna putih tanpa noda
mulai terlihat dari balik jendela bus tingkat
yang tengah ku singgahi sementara menuju halte
yang biasa ku pijaki sebagai pemberhentian.
Dibaluti jaket tebal sebab memang berita cuaca
sudah mengatakannya sedari pagi. Ditemani rasa
dingin yang sedikit menelusup dan menusuk
membuat tubuhku demi sedikit meringkuk. ketika
jalanan dipenuhi pejalan yang berteduh sebab
tak sama sekali sedia payung, seseorang di
bawah halte biru dengan payung yang terbuka
lebar menarik sorot pandanganku ke arah luar
jendela. Pria tinggi dengan coat coklat dan
celana bahan hitam, menunduk memperhatikan
sesuatu yang ada di sepatunya entah itu apa.
Aku yang sudah tidak mampu memikirkan macam-
macam kembali menyandarkan punggung pada
sandaran kursi yang lembut, memejamkan sekejap
mata terasa pegal ia sebab seharian penuh
menatap layar biru komputer pun ponsel juga.

Menghitung hari, salju semakin tebal. Sesuatu


terjadi beberapa hari belakangan, membuatku
terlarut dalam kegamangan. Tidak ada yang dapat
kujadikan tempat berkeluh kesah, bahkan melihat
salju-salju yang turun pun aku enggan seolah
mereka hanya mendukung kesedihanku. Bus tingkat
sepulang dari kantor seperti biasa kembali
melintasi halte biru. Dia ada di sana, masih
dinaungi payung di saat semua orang berlalu
lalang melintasi jalanan walaupun dengan
keadaan yang persis sepertinya. Apa yang
membuatnya selalu menunggu terus-menerus? Apa
yang membuatnya tidak mulai berlalu ketika
bahkan semua orang dikejar waktu? Perasaan biru
itu bertambah pilu. Bus tingkat terus membawaku
sampai di halte tempat ku berhenti. Dua orang
yang ikut turun bersamaku bercerita ria,
terdengar begitu jelas di telinga.

“Pria dengan payung di halte biru itu, aku tak


pernah lihat ia beranjak dari tempatnya.”

Seorang lainnya menyahut, “benarkah? Sepupuku


mengatakan bahwa ia hanya menunduk ketika
sesuatu yang ia tunggu berlalu di hadapannya.
Sisanya, ia akan berjalan pulang dan kembali
esok hari.”

“Jadi, karena itu? Karena itu, dia tidak pernah


melipat payungnya bahkan ketika halte
meneduhkan tubuhnya?”

Terdengar tuturnya yang mengiyakan dan


mengangguk tanpa ragu. Aku terhenyak mendengar
pernyataan demi pernyataan, batinku mengatakan
keras-keras bahwa bukan aku yang dia tunggu.
Pasti ada orang lain, namun pertanyaan
terbesarku adalah “mengapa hatiku kerap
merasakan getaran lain ketika semakin banyak
tepisan firasat-firasat yang muncul dalam
benak?” Aku kembali menggeleng, dan bersikeras
membujuk hatiku untuk yakin bahwa firasatku
selalu salah dan pria itu tidaklah akan memberi
pengaruh besar.

Semesta. Semesta pasti sudah tahu benar.


Seseorang meruntuhkan hatiku berkeping-keping.
Perih sekali rasanya. Ketika tubuh yang sudah
berpeluh ini pulang sedari tempat bekerja,
ditambah terpukul ia dengan jawaban dari
do‟anya. Kaki-kaki ini membawa ragaku lari
sepenuh dan sejauh-jauhnya. Merampas habis
seluruh napas yang aku punya supaya rasa sakit
di dada terganti dengan tenangnya jiwa di alam
baka. Mataku sempurna setengah terpejam, hanya
melihat jalanan dan pijakan banyak manusia,
mencari celah untuk sampai rumah dari sana.
Ketika ia mulai menggelap dan kabur. Ketika
langkahku mulai di luar kendali, seseorang
membuat kepalaku menubruk dadanya. Menarik
tubuh mungilku ke dalam pelukannya dengan
sebelah tangan. Ia tahu aku begitu kedinginan,
dengan napas yang sulit sekali aku pilih
manakah oksigen untuk ku hirup leluasa.

“Tuhan membawaku kemari untukmu.”

Tangis yang semula aku tahan sekuat tenaga


pecah tak terhingga. Membuat luruh tubuhku
terperosok menduduki timbunan salju sebagai
simbol lara.

“Maafkan aku, ia melukaimu.”

Jadi, Tuhan, yang manakah maksud-Mu dari


jawaban atas do‟aku? Aku sempurna meringkuk di
pelukannya. Belum aku tahu siapa ia, yang pasti
Tuhan begitu baik karena telah mengirimkan
malaikat berwujud manusia yang betapa butuhnya
aku pada sosoknya di saat-saat seperti
demikian.

“Sudah lama aku menantimu. Apa aku tepat


waktu?”

Isakkan yang belum reda, kepalaku memaksa


perlahan mendongak. Mengedip-ngedipkan mata
sebab air mata yang begitu deras menjadikannya
kabur sempurna. Memastikan wajah siapa yang
rela berlutut juga di hadapanku dalam keadaan
begitu tak berdaya. Siapa ia yang rela
merasakan dingin suhu lingkungan padahal
setahuku hari ini sedang pada derajat
tertingginya.

“Payung?” Aku terisak. “Benarkah aku yang kamu


tunggu?”

Anggukan kepalanya kembali membuatku sempurna


menangis keras.

Bergetar pita suaraku, memastikan kata-kata itu


benar-benar sampai kepadanya. “Thank you for
saving me.”

“I‟ll make sure, you always safe with me. Don‟t


ever worry.” Senyumannya tersungging begitu
hangat.

Dear, Ju.
—Art of Heart Contact.
—I Love You Without Knowing.

When the wind blows cold,


I‟ll making sure be by your side.
Every hours,
taking you care even from high.

Will you be gone?


When you choose a bad bridge,
if I let go.
I‟ll be the one who broken so hard.

I put you in my soul,


everythings would be alright.
You just need making happy yours,
and I be a girl who‟s the happiest one.
—beautiful s(u)nsets.
Titik waktu.
Kapalnya berlabuh ketika dermaga begitu riuh,
bahkan ia tidak sempat melirik sejagung pun.
Benarkah dirinya tersandung?
ia enggan untuk tahu-menahu kala itu.
Segala sesuatu terlihat persis beradu-padu,
tidak sempat ia bedakan mana yang abu-abu.

Berlanjut menerus,
waktu menjadikan ia rapuh.
Hingga ia mencabut jangkarnya tanpa kesadaran
penuh.
Membuat layar membawa bahteranya menjauh.
Badai laut, perahu tak mampu berteduh,
hanyalah ia yang meratapi garis cakrawala
begitu sendu.
Dengan denyut nadi berpacu.

Hiruk pikuk berlalu,


baru ia sadar dermaga membiru.
Ketika lagi ia lihat bahteranya berlayar tentu,
ingin ia berenang ke tempatnya diteman pilu.
Namun, tak ada pelampung.
Menunggu adalah usaha paling buntu,
sebab menyebrang pun ia tak mampu.

Sandyakala menyembur,
membuat bahteranya begitu indah di tengah laut.
Akankah ia menang membujuk rayu?
Sang nahkoda yang tidak ia yakin pernah jatuh,
sehingga laut tenang itu dengung seribu ragu.
Akankah semesta mengizinkan ia dan dirinya
kembali merengkuh?
—2 b w u.
there‟s one day, i felt so dead-end to being
yours. there‟re many days i felt you so far
away from my eyes sight. i didn‟t know; which
path should i choose so i can meet you, again.
last march, after my happiest born date;
lastest day i was met you. lastest day i see
your smile while looked at me too. i‟m sorry,
i‟m too shy to say, but i wish you stay. i
wanna do self improvement. however long as i
can be with you. just—wait me up. don‟t ever
look at any other girls. if i really didn‟t
good enough for you, i would be „yeah‟. i still
wanna fix myself harder even hardest. so i can
always be by your side. at least be with you,
forever.
—when the sun goes down.
it isn‟t part of song‟s title from Arctic
Monkeys. this is about you, no. just me.
whoever think of you after sky get darker and
darker. semua orang tahu kamu, namun mengapa
aku semakin meragu. aku maunya tidak begitu.
enggankah kamu memulai segalanya seperti awal
kamu dan aku bertemu. aku senang dengan
tanggapanmu hari itu, namun tidak dengan hari
demi hari berlalu. kamu tidak beranjak menjauh,
melainkan aku lah yang semakin sibuk dengan apa
yang ada dihadapan selalu.
—Sunset Seduction.

ia memandang sekejap matahari yang perlahan


semu, dengan segaris senyum yang nyaris enggan
terlukis. adapun diteman angin semilir beranjak
dari danau menuju daratan luas berseri di balik
punggungnya. ia bahkan belum lagi bersua dengan
tuan yang bersemayam selalu dalam hatinya.
sedang ia sesekali bertanya, apakah yakin ia
dengan pilihan yang selama ini digenggam?
banyak raga berkata, ia sebaik juga seindah
mutiara. seandainya sebaliknya, masihkah ia
menetap pada apa yang kerap ia jadikan selalu
tanpa ragu? tak jarang beradu argumen dengan
akal sehat yang terlalu tega. beribu-ribu macam
bunga di dunia, dan kamu memilih sekuntum
mawar? yang benar terlihat indah namun
berkesempatan besar melukaimu tanpa jeda.
jikalau memang benar yang terjadi demikian,
tetap saja keyakinannya tidak akan berubah. ia
sudah merasakan pedihnya, dan ketika sesuatu
tersebut kembali menimpanya, maka, jadilah ia
tanpa tuan bersahaja. tidak dengannya maka
tidak dengan sesiapapun juga. ujarnya dengan
kepala berantuk-antuk, serta air mata berlinang
penuh. padahal, dalam doa tidak pernah ia
meminta agar si tuan serta merta melukai
hatinya. namun apa daya jika pemilik kedua raga
menghendaki sebuah cerita. dengan alasan supaya
si „ia‟ tidak tengggelam jauh dalam luka.
— McNeil’s Nebula.

a lot stars scattered,


when i looked up to see.
there is you looked at me too.
without uttered a bit word.
you‟re too perfect enough,
without you show me too.
i needed you to know,
that i had a lot story to tell to you.
like yesterdays you did to.

can i be your forever?


till time calls universe to collide each other.
with tighter fingers of ours.
with your head resting on my shoulder.
with my face hiding in your collarbone.
without any anxious crowded.

when the sun goes down,


when the sky get darken.
then you and me slowly faded.
never thought to change my feelings ever.
you asked me to getting stronger,
then, i looked on your shoulder.

you said, “what‟s important that you‟re


relieved, right? there‟s nothing hidden anymore
in your heart.”
then, i answered, “ya. what‟s really important
that you‟re know all of that things. it was
more than enough.”
—Rainytime Sadness.

sadly, you weren‟t born for me.


—Semanggi Daun Empat.

makna itu tersimpan rapat,


tanpa sempat menyerbak merasuk keluar jala.
andai aku tak sama layaknya dirimu,
akan ku sebar beribu seru.
semanggi berdaun empat,
setiap mana kakimu berpijak.

supaya harum tubuhmu diserbu


beruntung tanpa jeda.
menghadiahimu berjuta bahagia tanpa duka
menyelimuti raga serta jiwa.
seandainya.
—berlayarlah.
nestapa beradu padu, dalam rembulan redup yang
tak cukup terangi ruang satu petak nan begitu
gulita. diserta seonggok raga meringkuk merasa
jera akan segala keputusan walau ia melabeli
dirinya tak menyia sempat. menyaksikan nahkoda
menarik jangkar dengan deru dan berat hati. di
hadapannya, lembayung mengguyur sendu. tak juga
merdu melepas pelayaran yang tak masuk dalam
catatan masa esok. ia tak cukup mampu memohon
sang nahkoda tetap berlabuh, menyinarinya
dengan senyum paling indah yang pernah
dilihatnya seumurnya hidup, merajut satu
pertanyaan memastikan keadaannya dengan tulus.
ia tak bisa merawatnya walau sewindu, bunga-
bunga itu berangsur layu, diserta derai
membasahi pelupuk. kembali ia membiru.
—Mr. Loverman.

Mr. Loverman,
black zipper jacket,
it wrap you up tight.
black beanie,
covered your head up.
how cold outside.

Mr. Loverman,
may i ask?
what was brought you up?
what‟ve i done in the past,
then makes you the greatest gift given by god,
on two thousand and twenty one.

Mr. Loverman,
the birth month of us next to each other.
february‟s son,
well, march daughter.
the beginning and the ended sign,
fusion of all astrological.

Mr. Loverman,
had the most precious smile and heart,
had 10 spelling alphabet on his name,
had my thousands of hopes to rise always.
had my millions of my life on his own life.
black zipper jacket wrap you up tight. black
beanie covered your head up. it‟s cold outside.
your light skin and eyes watch me deeply. my
dear, mr. loverman, may i ask? did i ever do
something angelic? what‟ve i done in the past,
so the kindest god gracious brought me to you?
the son of february, had 10 spelling alphabet
on his name. precious smile and heart. unsure
he‟s not a really human.

Anda mungkin juga menyukai