Anda di halaman 1dari 5

Kejutan

Malam tahun baru. Tepat hari ini, suatu malam yang diyakini oleh semua umat
manusia sebagai malam yang paling istimewa akhirnya kembali, setelah tiga ratus enam puluh
lima hari pergi begitu saja sembari menorehkan rasa kecewa.

Di bawah sinar bulan yang malu-malu menampakan diri dan satu-dua bintang yang
mengelip mencari perhatian, kami berjalan pelan menembus kabut tipis yang menyelimuti
ladang luas ini. Ya, hanya kami berdua, aku dan dia, seorang laki-laki yang selama beberapa
bulan terakhir bersedia menjadi sandaranku, penuntun arahku berjalan dan pendengar semua
ceritaku yang tak terlalu penting.

Telapak tanganku sejak tadi telah mengatup di atas wajahnya, berusaha menyembunyikan


bola matanya dari hamparan 10 hektar ini. Ilalang yang menghalangi langkah kami kiranya
menjadi sebuah tantangan demi menggapai hadiah istimewa yang telah menunggu di pinggir
jalan sana.

"Satu ... Dua ... Ti ... Ga!! Kejutan!!!"

Matanya terbuka.

Diam. Ia benar-benar diam, tetapi otot-otot di sudut-sudut mulutnya saling tarik-menarik,


mencetak sebuah simpul di atas wajah tampannya. Sejenak ia menoleh ke arahku.

Seketika tubuh mungilku ditariknya hingga jatuh ke dekap pelukannya. Napas hangatnya
mendesir di tengkuk leherku, seketika jantung ini berpacu lebih cepat, apalagi ketika tiga
kalimat sederhana itu keluar dari muutnya, merambat pelan dan mengetuk gendang telinga
dengan begitu lembut, "I love you." Seketika dekapannya terlepas, digantikan oleh belaian
hangat disetiap helai rambut panjangku. Wajahnya yang berjarak satu jengkal menampakan
senyum kecil yang menggaris di wajahnya, "makasih, ya." Sebuah kecupan bersarang di
keningku.

"Aku juga punya kejutan buat kamu. Kejutan istimewa yang gak bakal kamu lupain." Sekali
lagi tangannya membelai rambutku, membelai begitu lembut hingga ke belakang leher.

Mata kami saling beradu. Di sini, hamparan kosong luas dengan jarak beberapa jengkal dari
satelit alami bumi, dua pasang bola mata seakan saling berkomunikasi tanpa menunggu
instruksi pemiliknya.
Aku menahan tangan besar yang terus menjamah kulit, "ayo kita buktiin, seistimewa apa
hadiah kamu sampai aku gak bisa lupain."

"Kamu yang nyetir," ucapku sambil menampakan kunci kontak di depan wajahnya.

Enam puluh menit berlalu, pusat kota telah jauh tertinggal di belakang sana. Perlahan deretan
rumah warga berganti menjadi pepohonan rindang yang entah apa namanya. Sepanjang
perjalanan kami tak banyak bicara. Bola mata kami yang saling menatap seakan sudah cukup
mengisi kekosongan pada ruang mobil yang tak terlalu besar ini.

Sejak tadi aku terus memutar otak, berusaha menebak sesuatu yang telah menunggu di depan
sana. Jujur ada satu pengharapan yang telah lama bersarang di dalam benak, sebuah
pengharapan yang terus kutunggu pengabulannya.

"Sampai." Mobil ini berhenti di tengah kepungan pohon-pohon besar.

Gelap. Lampu mobil telah mati, tak lagi menyorot rumah kayu kecil yang berjarak beberapa
meter di depan.

Aku menelan ludah. Sejenak bibirku merekah, membayangkan sesuatu yang akan terjadi di
dalam sana. Apakah sesuatu yang selama ini kuimpikan akan terjadi? Sesuatu yang sering
dianggap oleh remaja seumuranku sebagai definisi sesungguhnya dari rasa nikmat. Jika
perkiraanku tepat, maka apa yang ia katakan benar adanya, aku tak akan melupakan kejutan
ini. Kejutan terbaik selama aku menginjak usia remaja.

"Ayo sayang. Jangan ngelamun aja," ucapnya sambil mengecup pipi kiriku.

Aku tak banyak bicara dan segera membuntut di belakang punggungnya. Aku masih tak
percaya, hari yang kutunggu akhirnya tiba di pergantian tahun ini.

"Klek ... Klek ...." Pintu rumah ini terbuka.

Gelap. Hanya segaris sinar rembulan yang berani menyusup masuk ke dalam sepetak ruangan
ini.

"Silakan sayang. Kejutannya udah nunggu di dalem." Ia mengulurkan tangan, membiarkanku


masuk lebih dulu. Kakiku melangkah ragu ke dalam rumah.

Gelap. Benar-benar gelap. Tak ada satu pun yang tampak oleh penglihatanku.

Berjarak satu langkah, ia sudah berada tepat di belakangku.


"Brekkk!!! Klek ... Klek ...."

Pintu rumah tertutup.

"Gha ...." Aku merintih pelan.

"Ssttttt."

"Satu ... Dua ... Ti ... Ga!! Kejutan!!!"

Lampu menyala.

Seketika napasku terhela begitu panjang dengan bola mata yang nyaris mencuat keluar.
Tanganku bergetar hebat. Lututku lemas. Jantungku berdegup begitu kencang. Keringat
dingin mengucur deras dari dalam pori-pori kulit. Semua rasa itu muncul begitu sinar lampu
jatuh dan terpantul di atas lempengan besi yang diasah dengan tajam. Dua buah gergaji besi,
sebilah pedang panjang, dan berbagai jenis pisau diletakan berjejer di atas meja kayu, berada
tepat di samping dipan yang ujungnya dililit oleh rantai besi.

Kakiku melangkah mundur.

"Sayang, kamu mau kemana?" Ia menahanku. Senyum lebar mengembang jelas di atas
wajahnya. Perlahan jari-jari besarnya menjamah pipiku. Perlahan, sangat perlahan hingga aku
bisa merasakan darah yang mendesir di setiap jarinya.

Napasku menderu kencang.

"Kamu tahu kan kalo aku sayang sama kamu?" Ia menyibakkan rambut panjangku ke
belakang bahu, "aku juga tahu kalo kamu sayang banget sama aku, buktinya kamu mau beliin
aku mobil keluaran terbaru. Makasih ya sayang." Jarinya kembali mengusap ujung bibirku.

"Buat bales semua kebaikan kamu, sekaligus ngebuktiin kalo aku juga sayang sama kamu, di
malam yang istimewa ini aku udah siapin sesuatu yang sangat istimewa. Aku mau kamu tutup
mata." Ia membenamkam wajahnya ke balik leherku, dan kembali mengembuskan napas
hangatnya.

Aku memberontak. Apa daya, seketika tubuh mungilku terangkat dan digantungkannya di
pundak. Aku tak bisa apa-apa. Sekuat tenaga tanganku yang menggantung ke bawah terus
memukul punggungnya. Seakan tak merasakan sesuatu, badan kekarnya terus berjalan
mendekat ke arah dipan dan membaringkan tubuhku di atas sana.
"Kamu kenapa, sayang? Jangan kasar-kasar, dong." Sekali lagi pipiku dibelai oleh jari
besarnya.

Sontak kudorong tubuh besar itu dan merangkak ke sudut ruangan. "Mundur kamu!!!
Mundur!!!" teriakku sambil memeluk lutut.

Seolah tak peduli, ia tetap mendekat.

"Pergi!!! Pergi!!! Kamu jahat!!! Kenapa kamu kayak gini?!!! Kenapa kamu tega sama aku?!!!
Pergi!!!" Aku menjerit dengan tangan dan kaki yang terus memukul ke sana kemari.

"Ssttttt." Tubuh besarnya menindih, menahan kaki dan tanganku, "tenang sayang, aku cuma
mau buktiin rasa sayang aku ke kamu, kok."

"Tok ... Tok ... Tok ...." Pintu rumah ini diketuk dari luar.

"Ahh ... Kamu teriak-teriak, sih. Orang-orang jadi keganggu, deh. Tunggu bentar, ya, aku
temuin orang itu dulu," ucapnya seraya berjalan menjauh dariku, "ohh iya, aku sengaja gak
nge-iket badan kamu, soalnya aku percaya kalo kamu itu perempuan baik. Kamu gak akan
macem-macem, kan?"

"Maaf ya, sayang. Kamu jadi harus nunggu lama, deh." Tubuh kekarnya kembali mendekat
dengan sebuah bungkusan besar yang dibopong di depan dada.

Beberapa langkah di depanku, bungkusan itu dijatuhkannya ke lantai. Ia tak lagi mendekat,
hanya saja senyum lebarnya tergantikan oleh tatapan mengerikan yang mengintimidasi, "itu
apa yang di ballik badan kamu?"

Diam. Aku tak menjawab.

"Laura!!! Kamu nyembunyiin apa?!!!"

Aku menunduk, tak berani menatap matanya.

"Hey!!!! Aku ngomong sama kamu!!!!" Ia berteriak. Begitu kerasnya hingga telingaku
berdenging.

Aku memeluk lutut begitu erat.

Seketika tubuh besarnya berlari dan mendorongku hingga tersungkur ke lantai. "Ini apa?!!!"
Ia mengacungkan pisau belati yang kusembunyikan di balik badan.
"Kamu berani ngumpetin sesuatu dari aku?!! Kurang ajar!!!!" Dalam sekejap, pisau belati itu
menancap di mata kiriku.

Ya, aku tahu. Selama ini aku terlalu mengagung-agungkan malam tahun baru dengan
menganggapnya sebagai malam yang paling istimewa, dan kini aku telah sadar bahwa
sejatinya malam tahun baru yang istimewa hanyalah sebuah omong kosong yang dibuat oleh
mereka yang kekurangan kerjaan. Jujur aku lega sudah mengetahui kenyataan ini. Tapi
sayang, semua itu sudah terlambat.

Anda mungkin juga menyukai