Anda di halaman 1dari 184

kumpulan fiksi

@ ngerumpi
by :

-warm-

Ada beberapa bagian cerita disini, semuanya fiksi ya Cerita merah soal darah Cerita gerah soal dunia lain Cerita halah soal cinta-cintaan Cerita khusus tentang nona pendekar Cerita spesial soal KNN Cerita entah yang tak terkategori Begitulah, selamat menikmati,

Smoga,

-warm-

Cerita Merah

Tamu Istimewa
penulis: warm, 12 November 2009 10:58:00 36 Komentar Megang banget +6

Kenapa dadaku berdegup tak karuan begini sih. Nafasku terasa sesak. Aliran darahku terasa terhenti. Bisa-bisanya lelaki itu membuatku seperti ini. Barusan tadi dia menelepon, datang sore nanti. Itu artinya, ah aku jadi malu sendiri membayangkannya. Sentuhan-sentuhan liarnya di sekujur tubuhku, sungguh membuatku melayang. Ketagihan dan tak pernah bisa ingin berkata berhenti. Suara derum mobil di depan, pelan saja. Tapi terasa menyentak di telingaku. Membuat suhu badan mendadak naik beberapa derajat. Tak lama, suara pintu yang ditutup. Lalu suara ketukan pelan di pintu.

Aku berjalan tak karuan, membuka slot kunci. Memutar handel pintu, tersenyum pada sang tamu. Tamu istimewa sore ini. Lalu entah bagaimana, tahu-tahu semua yang membalut tubuh kami, berserakan. berantakan. bertebaran di seluruh penjuru ruang tamu. Sementara dua tubuh yang tadinya terbalut, seperti kehabisan nafas, berbagi keringat. Berpacu. Berteriak tertahan... *** Tangannya masih membelai punggungku yang masih terasa basah. Aku hanya bisa memeluknya. Tak ingin lepas. Karena aku tahu, sebentar lagi kau pasti akan beranjak lagi. **** Suara ketukan pelan itu. Membuatku kaget saja, novel yang barusan kupegang, sampai terlepas. Tapi suara wanita yang mengucap salam di luar pintu, membuat sedikit kecewa. Wanita itu, tamuku kali ini. Mei adalah kenalan baru, baru kenal minggu kmaren. Entah kenapa kami cepat akrab. Seperti sudah pernah kenal sebelumnya.

Penampilannya luarbiasa, sederhana, tapi seperti mengeksploitasi kecantikannya. Warna pastel tampaknya adalah favoritnya, dan tubuh langsingnya sungguh membuat saya iri. Mempersilahkannya duduk disofa biru tua. Lalu membuatkannya minuman ke belakang. Dua gelas sirup mocca pun menemani setoples kecil kue kering di meja itu. Tak lama, kami asik sendiri. Mei menawarkan bisnis kecil-kecilan. Aku jadi tertarik juga. Apalagi katanya keuntunganya lumayan. Hingga aku harus beranjak permisi ke belakang lagi. Teringat akan keran kamar mandi yang tadi sengaja dibuka, mengisi yang baknya barusan dikuras. Duduk lagi di sofa yang tadi juga. Mempersilakan Mei minum. Sore yang lumayan gerah, es batu di gelas pun mencair, bersatu dengan mocca. Setengah gelas langsung tandas. Lalu.. Hey, kenapa dadaku berdegup tak karuan begini sih.

Nafasku terasa sesak. Aliran darahku terasa terhenti. Aku berusaha mempertahankan kesadaranku. Mengingat sesuatu yang aneh. Ya ya, sirup mocca tadi, terasa agak sedikit pahit di lidahku. Aku menatap ke arah Mei. Tawa cerianya, tiba-tiba berubah menjadi senyum, yang begitu sinis. Lalu menatapku penuh kemenangan. Mengambil tas kecilnya di meja. Lalu lewat begitu saja di atas tubuhku yang tergeletak tak berdaya. Mendekatiku. Lalu berbisik di telingaku. "Jangan pernah mimpi bisa merebut lelakiku..." Seiring langkahnya menuju pintu depan. Nafasku berhenti.

don't cry
penulis: warm, 19 November 2009 12:27:22 25 Komentar Megang banget +5

tadi pagi kau mengadu, menangis di pelukku. padahal kau tahu, aku benci sedu sedanmu, sebal dengan air mata yang membasahi pipi indahmu. kau bercerita, tersendat-sendat. lagi-lagi tentang lelaki yang tak bosan menyakitimu, dan tak juga membuat kau bosan kembali padanya cinta, katamu ? cinta macam apa yang membiarkan kekasihnya seperti terajam, saat amarahnya memuncak ? lelaki itu adalah pelindung perempuannya, menjaga agar terus matanya berbinar, bukan malah berlinang..

malam ini. kupastikan kau tidak akan menangis lagi. lelaki yang membuat matamu basah itu. sudah tak akan bisa lagi membuatmu menangis. percayalah, matanya yang membelalak tak percaya, sejenak sebelum terpisah dari badannya.. memastikan itu sore tadi, terpaksa aku menciptakan hujan darah, tepat di depan pintu rumahnya.. dia sudah tak pantas lagi, menjadi lelakimu... jadi, please, jangan menangis lagi ya, dik..

.... Adalah Milik Kita


14 November 2009 08:55:35

Mobil itu terparkir begitu saja, dibawah ketapang liar, di atas tebing yang sedikit menjorok ke laut. Bayangan hitamnya mengarah ke timur, seperti lukisan silhuette yang dramatis, bergerak perlahan seiring mentari yang perlahan karam di ufuk barat lautan. Melengkapi sore yang indah. Selalu saja begitu. Tempat itu, hanya Nys yang tau. Ditemukannya secara tak sengaja, waktu mencari mata air saat ekspedisi susur pantai setahun yang lalu bersama anak-anak mapala kampusnya. Tempatnya tersembunyi, dan dia pun sesekali kembali kesitu, sekedar menikmati langit yang memerah dan hembusan angin yang dia rasa tak pernah berkurang derasnya. Di atas permukaan tebing itu pula, jika dirasa tak ada yang mampu membantunya saat ada masalah, dia sering berteriak semaunya, menangis, mengadu, dan meratap tentang apapun, karena yakin tak pernah ada yang bisa mendengarnya. Beban pun sedikit terasa ringan, setelah ritual itu dilakukannya.

Ombak dibawah tebing, terdengar berirama. Suara burung laut yang sesekali melintas. Gemirisik dedaunan dan perdu di sekitarnya, menciptakan harmoni tersendiri. Sungguh benar-benar sore yang sempurna. Tapi semuanya sangat kontras dengan suasana dibalik hati dua manusia, yang berdiri sambil bersender pada kap sedan itu. Sudah limabelas menit, hanya diisi oleh suara ciptaan alam. Sementara mereka masih hening. Nys menoleh ke samping, menatap Dree. Yang masih berstatus kekasihnya beberapa hari yang lalu. Sengaja dia mengajak ke tempat persembunyiannya itu, tempat pribadinya-katanya, yang tak pernah diberitahukannya pada siapapun. Tak tahan lagi, dengan kebekuan yang tercipta. Menghela nafas. Lalu angkat bicara.. "Dree. Mau sampai kapan begini ? Atau kau benar-benar marah padaku ? " Lelaki yang dipanggilnya Dree itu masih diam sambil menatap matahari yang tenggelam perlahan.

"Aku cuma mau kau berkata langsung. Dan aku mau mendengar langsung, kenapa semua ini harus berakhir. Bukan cuma lewat telepon seperti itu. Dan setelah itu pun, kau tenggelam, tak bisa aku hubungi apalagi ditemui" Secara tak sengaja memang, Nys berpapasan dengan Dree di pintu gerbang kampus tadi siang. Lalu setengah memaksa, mengajaknya masuk mobilnya, lalu membawanya ke tempat yang berjarak sekitar tiga jam dari kampusnya. Sebenarnya dia sudah mendengar isu kedekatan Dree dengan anak baru di jurusannya. Tapi semuanya dianggap cuma sekedar gosip basi tak perlu. Lagian tak pernah ada masalah semenjak mereka memutuskan untuk jalan bersama. Sampai akhirnya, telepon dari Dree memastikan semua itu, dan tanpa alasan yang benar-benar jelas. "Dree..". Kembali suaranya beradu dengan ombak dan hembusan angin. "Ok, Ok. aku minta maaf dengan cara pengecutku kmaren. Aku terlanjur mengkhianatimu. Ya ya semua yang kau dengar dari sahabatmu itu memang benar. Dan aku memang terlalu tolol untuk tidak menyembunyikannya darimu"

Semua seperti muntah, tertumpah begitu saja. "Nah, puas kau sekarang, Nys ?" Gadis itu sedikit tersentak, terdiam, dan berusaha memaksakan senyum, tawar. Meminum isi kaleng minuman yang sedari tadi nganggur digenggamannya. Tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. "Makasih, Dree. Makasih atas penjelasanmu. Aku cukup sadar kok dengan semuanya, kenapa ini sampai terjadi. Cukup klise kalau di ingat-ingat" "Maafkan aku, Nys. Aku tak cukup baik untukmu.." Tiga belas menit kemudian. Matahari benar-benar ditelan gelapnya langit barat. Mereka beranjak ke dalam mobil. Memasang seat belt. Nys memaksa untuk menyetir pulang. Memutar kunci mobil. Mesin menderum perlahan. Menurunkan rem tangan. Memasukkan persneling... Nys memandang pada Dree. "Dree.." Ada hela nafas yang berat terasa. "Ya .. ?" Lelaki itu menoleh. "Maafkan, aku benar-benar tak bisa hidup tanpamu."

Cuma memerlukan waktu beberapa detik, sebelum kaki kanannya menginjak gas penuh. Mobil itu meluncur kencang, melayang di udara sesaat. sebelum gravitasi menariknya deras ke kaki tebing. Deru ombak dan angin lautan yang semakin menggila, menelan semuanya.

Belahlah Dadaku
penulis: warm, 02 November 2009 09:16:16 58 Komentar Biasa +0

Siang di dapur kos. Sibuk sendiri. Memotong-motong sesuatu. Aroma masakan yang tak biasanya, harum ! Bernyanyi-nyanyi, medley. Siang yang sepi. Smua pada pulang kampung. Wiken begini. Lalu tersenyum-senyum sendiri. teringat rayuan gombalmu tadi malam. Saat berduaan di kamar kos. sesaat setelah kita melakukannya lagi. Melakukan apa yang selalu kau inginkan. Setiap kali berdekatan denganku. Setelah semuanya usai. Kau membelai tubuh polos yang masih membasah oleh keringat itu. Lalu berucap pelan padaku. "Percaya nggak, kalau cuma kau seorang di hatiku ?" aku cuma menggeleng-geleng.

"Kalo nggak percaya, nih. Belah dadaku". Sambil tersenyum simpul. Membelai dan memeluk rapat lagi. Aku beranjak, dengan selimut melilit sebagian tubuh. Kau cuma menatap. dan bertanya, kemudian. "Hey, mau kemana ? Masih tengah malam". "Mau membuktikan ucapanmu". Cukup singkat saja rasanya jawaban yang kuberikan. sebentar lalu membuka laci meja. Mengambil cutter. Lalu cepat mendatangimu yang lagi tidur berbalik. Lengah, dan tak sempat berucap satu katapun. Seprai putih yang acak-acakan itu. Skarang berhias eritrositmu. Eksotis. Kau menggeliat. Sekarat. ah, masakanku sebentar lagi matang. Hati plus jantung saus tiram. Ya, hati dan jantungmu. Ada yang mau mencoba ? *menyeringai*

Darah Kita Sama !


penulis: warm, 03 November 2009 23:52:39 53 Komentar Menggoda +4

Dua tahun kita menjalani cerita, berdua. Mengisi hari-hari seperti layaknya orang yang sedang kejatuhan cinta. Mengalami yang indah-indah, menikmati dunia yang penuh warna. Udara yang kita hirup, matahari yang menyinari kita, bumi yang kita pijak, dedaunan yang menyejukkan langkah kita. Semua kita fikir diciptakan khusus buat kita. Gila. ya gila memang. Aku tergila-gila padamu. Entahlah apakah kau gila denganku. Semua berjalan baik-baik saja. Sampai siang tadi, entah bagaimana. Semuanya berakhir begitu saja. Hanya karena alasan simpel. "Darah kita, beda". Katamu. Pelan dan nyaris tak terdengar. Dan sesimpel itulah, hubungan kita benar-benar usai. Ya

Aku tahu maksudmu. Paham sekali. Tradisi sialan yang ada di kampung kita. Mengharuskan adanya batas itu. Tapi kenapa kau, dulu mau menerima ajakanku untuk berjalan bersama ? Sudahlah, yang penting sekarang kau ada di sisiku saat ini. Berdua, disini. Malam ini. Kau terdiam disana. Terikat tak berdaya. Dan aku sekarang, mendekatimu. Untuk membuktikan, bahwa darah kita sama, merah ! Pasti, pistol yang kugenggam kukuh dari tadi, menekan pelan pelipis kirimu. Cuma perlu beberapa detik, sebelum kupejamkan mataku. Menahan nafas dua detik, dan pelatuk pun kutarik. Tak ada sempat teriak dari mulutmu yang juga terikat. Hanya meronta sesaat. Sebelum bersimbah merah. Merah darah yang sama, saat detik berikutnya. Peluru yang tersisa menembus pelipis kananku. Dingin, senyap...

Cinta Sampai Mati ..


penulis: warm, 27 Oktober 2009 12:42:58 18 Komentar Nggemesin +3

Cinta mati harus dijaga sampai mati Jangan sampai ke lain hati Nanti jadinya patah hati Hati-hati menjaga hati....

Masih di siang yang panasnya membakar itu. Lantai lima, area parkir sebuah pertokoan. Masih sepasang manusia. Satu lelaki, satu perempuan. Masih saja terisak. Tapi juga tetap saja diam. Masih saja bertanya, Tentang hal yang itu-itu juga.. Tangisnya mulai reda, lalu bertanya pada lelaki itu.. "Kau benar mencintaiku sepenuh jiwamu ? Sampai mati, katamu ?"

Masih saja tak lelah, lelaki itu menjawabnya. "iya, dan masih saja kau tak percaya ?" Masih saja ada permintaan selanjutnya.. "Aku mau bukti.." Lelaki itu diam sejenak. Lalu mendekat. Melingkarkan tangannya lekat ke tubuh sang wanita. Dan dengan sekali sentakan, tiba-tiba sekali. Kedua tangannya mendorong keras, tubuh perempuan. Yang lalu meluncur deras, dan beton di lantai dasar sudah teramat siap menyambutnya. Tak sempat ada jeritan. Merah pun merebak, memecah, mengalir tak beraturan. Hanya perlu beberapa menit kemudian. Sebelum lelaki itu merentangkan tangannya, menutup matanya. Lalu melemparkan dirinya ke udara bebas, seraya berbisik pelan.. "Aku cinta kau, sampai mati.." Dan beton yang sama, yang sudah memerah, menunggunya. Hening....

Damn Cold Night !!


penulis: warm, 04 November 2009 14:45:26 24 Komentar Megang banget +2

Tak terasa delapan tahun, ya sewindu. Aku mengenal dirimu, mengenal setiap detil tentang dirimu, mencintaimu, menjagamu lebih dari aku menjaga diriku sendiri. Semuanya pun rasanya kuserahkan, kucurahkan padamu. Tak bersisa. Tiada ampun. Hari-demi-hari yang ada, hanya kamu, kamu, kamu dan kamu. No oterh things. Mungkin salahku, yang terlanjur nyaman saat berada di pelukanmu. Terlanjur terbius dengan kesejukkan dan tubuhmu yang membius akan sehatku. Aku terperangkap perasaanku sendiri, perasaan sialan yang seharusnya tak lama-lama boleh ada di lapisan otak. Hanya kesalahan kecil, ya teramat kecil kurasa. Tak sebanding dengan apa yang sudah kita nikmati bersama. Tapi sebutir kerikil dan satu detik itulah, yang harus merenggutku darimu, melenyapkan smua mimpi indah dan menerbitkan hari-hari yang kosong.

Sampai saat ini, tak kutemukan alasan yang jelas. Kau tahu, aku perlu tahu. Aku rupanya harus lebih banyak belajar, untuk melupakanmu. Mengubur kenangan bersamamu. Melupakan suaramu, tatap matamu, dan menghapus semua tentangmu. Hey, kenangan dan memori, lalu semua ingatan tentang kita. Semua juga rasanya harus musnah. Tiada guna lagi. Persetan dengan waktu. Semua yang pernah ada, memang harus tiada. Dan aku benar-benar yakin itu sudah terjadi, kau pasti juga tak akan pernah bisa mengingat-ingatnya, seiring dengan diamnya dirimu...

*dan aku bergegas meninggalkan tepi hutan itu, dimana jasadmu dingin terayun pada salah satu cabang pohon di sisi sungai,.. hari memang sudah gelap....

Saat Pulang Kerja


11 Desember 2009 08:07:05 50 Komentar Megang banget +10

Scene pertama, Seorang lelaki muda, masih pake seragam kantor, terlihat kuyu, seakan dii siang yang panas itu seluruh semangat hidupnya tersedot ke langit. Langkahnya pelan memasuki halaman rumahnya, lalu mengucapkan salam sambil mengetuk pintu, juga dengan pelan. Seorang wanita muda, membukakan pintu sambil membalas salamnya. Tersenyum, walau dengan raut sedikit bingung. Tangannya menjemput tas kerja yang tadi dibawa lelaki muda itu. Lelaki itu langsung duduk begitu saja di lantai ruang tamu, menghela nafas. Memang tidak ada sofa di rumah mungil itu, hanya ada karpet plastik terhampar rapi. 'Ada apa, mas ?' Tanya wanita itu sambil duduk di samping sang lelaki. 'Biasa, soal di kantor, kerjaan yang kukerjakan seminggu penuh itu seperti ga ada artinya, ga ada harganya...'

Dan terus begitu, semua tertumpah begitu saja, dan wanita itu cuma mendengarkan saja dengan sabar, tanpa berusaha menyela ungkapan dan keluhan lelakinya. Setelah semuanya usai tersampaikan, ada sedikit lega di wajahnya, walau masih ada rona tak puas disitu. 'Mas, saya bikinkan kopi dulu ya ?' Tawar si wanita sambil beranjak dan tersenyum. Lelaki itu mengangguk sambil balas tersenyum.. ---------

Scene kedua. Seorang lelaki muda, masih memakai pakaian kantor lengkap, terlihat tak bersemangat, seakan di siang yang panas itu seluruh semangat hidupnya menguap ke udara. Langkahnya pelan memasuki halaman rumahnya, lalu menyalakan bel, juga dengan pelan. Seorang wanita muda, membukakan pintu. Dengan raut sedikit bingung. Tangannya menjemput tas kerja yang tadi dibawa lelaki itu. Lelaki itu masuk ke rumah, dan menghempaskan dirinya ke sofa yang terhampar di permadani ruang tamunya yang luas. 'Ada apa, bang ? Kok kayak ada masalah gitu ? Masalah kantor lagi ya ?' Langsung saya berondongan bertanyaan itu tercecar. 'Iya, kerjaan kemaren, anak buah mas mengacaukan semua rencana, dan...' Belum habis kalimatnya, wanita itu langsung memotong. 'Mas, sih. Kan kemarin udah saya bilang, tugas kayak gituan mestinya gak diserahin ama anak kemaren sore, apalagi itu kan proyek gede. Gimana sih.. belum lagi ...'

Semua ucapan tajam itu, mengalir deras. Lelaki itu menggelengkan kepalanya sejenak, lalu beranjak mengambil tas kerjanya. Mengambil MacBook nya, dan menghantamkannya keras-keras ke mulut wanitanya. Wanita itu terjengkang, lalu terkapar di tengah ruang tamu. Lelaki itu lalu melangkah ke luar rumah. Menyalakan mesin mobilnya, lalu deras menghilang ke jalanan. -----See ? Dua lelaki, dua wanita, di situasi yang sama. Namun beda endingnya. Wanita itu menurut saya, mampu membuat siang yang panas menjadi sejuk, atau malah menjadikan siang menjadi lebih gerah...

Saatnya Pulang, Pak !


penulis: warm, 06 Januari 2010 12:43:10 25 Komentar Menggoda +2

Wanita muda itu, cantik, sexy, berbadan ramping, memakai blouse dengan belahan dada yang teramat rendah. Kulitnya terang, sedikit memerah pipi halusnya. Bertolak belakang dengan raut matanya yang tegas, tak mengenal takut. Sekarang dia duduk, tertunduk-tunduk. Lelaki di hadapannya, tidak menunjukkan wajah yang ramah Aktif menunjuk-nunjuk kesana kemari, tak peduli Dan mengulang-ulang kalimat yang sama sejak lima belas menit yang lalu. "Kan, kmarin sudah saya bilang. Cek dan recheck. Apalagi yang kita tangani ini klien penting, dan tak pernah ada cacat kita di mata perusahaan mereka. Dan sekarang, hanya karena alasan keluargamu, atau apalah. Rusak smua, Kacau"

Tangan lelaki setengah baya itu, spontan mengibaskan segala macam benda yang tadinya tersusun rapi di atas meja kerja lebar itu. Stationery kit beserta tetek bengeknya. Setumpuk map bermacam warna dan ketebalan. Remote Ac dan televisi. Asbak ? Ha, terbayang kan keras kepalanya lelaki yang dtasbihkan menjadi boss tempat dia bekerja. Sudah tahu ada pendingin ruangan, tetap saja nekat merokok. Semua berhamburan tak karuan di atas karpet coklat setebal satu senti itu. Mukanya tambah memerah, dan suaranya makin memekik-mekik, seakan-akan kesalahan benar-benar ada di tangannya, yang sekarang cuma bisa diam di pangkuannya. "Pak !" Sekarang ada nada suaranya, tenang. Wanita itu berdiri. "Ada apa lagi ? Belum cukup apa kata-kata saya ?" Membuang muka malahan. "Laporan saya kemaren, sudah saya cek dan ricek berpuluh kali. Bapak silakan saya cross cek dengan Bagian HRD. Semua data yang saya sampaikan sudah klop.

Semua saya bereskan, sebelum saya ijin pulang kampung sehari, untuk menengok nenek saya yang lagi sakit keras. .." "Lalu, semua kesalahan itu. Siapa yang salah ? Saya ?!" Suara itu menggelegar, naik beberapa oktaf. "Bapak silakan saja tanyakan pada perempuan penjilat, yang saya percayai untuk menyampaikan segala laporan tanggung jawab saya." Lelaki itu terdiam, menyapukan matanya ke arah pemandangan sekitar dari lantai enam kantor mereka di pusat kota itu. "Kamu jangan asal nuduh gitu, dong" Ada hela nafas yang memberat. "Baik, kalo kesalahan tetap dituduhkan pada saya. Saya berhenti sekarang juga, pak" Diam. Wanita itu berdiri, merapikan pakaiannya. Lalu menoleh ke karpet yang berantakan.

Mengambil benda bening berdiameter lima sentimeter. Lalu menghampiri sang bos. Sang mantan bos, mungkin yang lebih tepat sekarang. Lelaki pemarah itu cuma ternganga tak percaya, Saat asbak itu dihantamkannya keras-keras tepat di mukanya. Lelaki itu tersungkur. Tapi tangan halus itu terus memburunya. Menghantam lagi, sekali, dua kali, dan berkali-kali.. Ruangan yang wangi itu, penuh percikan merah.. Saat tak terdengar hela nafas lagi dari hidung yang sudah tak berbentuk itu. Baru dirinya berdiri tegak, merapikan pakaiannya lagi. Melangkah tenang menuju pintu. Menutupnya pelan, lalu menuju lift. Dan pulang ...

Semoga Panjang Umur, Lady


penulis: warm, 02 November 2009 14:44:32 37 Komentar Nggemesin +5

Besok ulangtahunmu. Yang keberapa katamu ? Tenang saja. Aku pasti datang. Walau jelas-jelas aku nggak bakal masuk daftar orang yang harus diundang. Di lorong kelas. Di kantin. Di lapangan upacara. Dimanapun kita kebetulan berpapasan. Wajahmu mendadak seperti melihat hantu. Melihat bayangan tak jelas. Beberapa meter sebelumnya jelas-jelas bercanda ria dengan gengmu. Tapi beberapa sentimeter mendekatiku. Yang ada tatapan sinis. Dan seolah-olah ditujukan pada bayangan di belakangku.

Memangnya salah, kalau aku mengutarakan simpatiku padamu ? Walau langkahku tertatih tidak rapi. Badanku yang terbungkuk saat melangkah, dan segala yang berbeda 180 derajat dengan semua lelaki yang pernah kau tolak itu, Tapi seperti ku bilang. Aku pasti datang. Pesta ulang tahunmu kali ini pasti meriah. Sekali lagi aku merapikan kado spesial untukmu. Gadis idola seisi sekolahan. Tak usahlah kau tanya darimana aku dapat benda istimewa ini. Pokoknya sudah kupastikan. Saat bungkusnya kau buka. Pen yang terkait dengan fragmentation grenade itu pasti ikut tertarik lepas. Dan, Ah, selamat berpesta. Selamat ulang tahun ...

Cerita Gerah

Cerita tentang Kopdar


penulis: warm, 02 Februari 2010 22:39:40 50 Komentar Nggemesin +10

Hari ini, malam nanti, setelah lama cuma bisa bersua via jejaring sosial ataupun ngobrol lewat ketikan di messenger, akhirnya kesampaian juga bertemu dengan kawan, eh kawan ? Ya kawan, teman wanita, tepatnya. Yang begitu akrab di dunia maya. Sejak pesawat landing beberapa saat yang lalu, hatinya sudah tak sabar, ingin berjumpa dengan raut manis yang cuma dikenalnya lewat email yang masuk di inboxnya. Wanita itu katanya tak terbiasa mengumbar privasinya ke publik. Seraut wajah itu pun akhirnya berhasil dia dapatkan setelah percakapan panjang di sela-sela rehat pekerjaannya di malam hari. Siang ini sampai sore, lelaki itu memang harus menunda rasa ingin bertemunya. Pekerjaannya yang menuntut dia datang ke kota inilah penyebabnya. .....

Akhirnya malam pun tiba, setelah meletakkan segala tetek bengek pekerjaannya di hotel. Menyegarkan badan di kamar mandi, lalu siap-siap, rapi-rapi, bertemu dengan sang wanita, janjinya sih ketemuan di cafe, seratus meter dari tempatnya menginap. Telepon genggamnya berbunyi. Mengangkatnya. "Hai.." Nada riang disana menyambutnya. Suara yang sudah dikenalnya. "Hei .. Sudah dimana ?" "Aku sudah di cafe ini,.." "Ok, tunggu ya, bentar aku kesana" Dan kedua kakinya pun melangkah tak sabar. Memasuki temaram cafe, dan matanya refleks menuju sudut kanan, dekat taman kecil di dalam ruangan itu. Seorang wanita, ah gadis tepatnya, yang juga refleks memandang ke arahnya. Lelaki itu tersenyum, sedikit ragu.

"Gadis ?" Mengulurkan tangannya. "Syn.. ?" Senyumnya sumringah, membalas tangan yang terulur itu. "Apakabar ?.." Berbarengan mengucapkan kata itu, lalu tertawa, berbarengan lagi. Lalu satu setengah jam berlalu begitu saja, alunan live musik pun seakan menjadi soundtrack pertemuan dua manusia itu, yang seakan sudah kenal dari kecil. Akrab sekali. Sampai akhirnya. "Syn, udah malam. Kalau nggak keberatan, bisa tolong anterkan aku pulang nggak ?" Lelaki itu mengangguk pasti ke arah gadis yang tampak cantik malam itu. "Ke rumahmu ?" "Nggak, aku menginap di hotel yang sama denganmu, kok" "Hey, kok baru bilang ? Kenapa pakai nginep di hotel segala ?" "Ada urusan kantor yang mengharuskan aku nginep disitu juga, lagian rumahku kan jauh dua jam dari sini.."

Dua pasang kaki itu kemudian melangkah, santai menuju hotel. Sesampainya di lobi, lelaki itu teringat sesuatu. "Kamu nginep di kamar berapa ? Aku anter sekalian ya" "501, ah ya harus dong" Matanya mengerjap. Memasuki lifit, keluar dilantar 5. Lalul menuju kamar paling sudut, mengarah ke jalan raya. Gadis membuka kunci pintunya, berbalik tiba-tiba ke arah lelaki itu. "Syn.." "ya ? " Kaget dia. "Temani aku malam ini, mau nggak " Belum sempat lelaki itu menjawab, tangannya sudah ditarik ke dalam kamar, aroma wangi gadis malah semakin memikatnya, tak kuasa menolak. Pasrah saja. Pintu 501 pun ditutup dari dalam. ............ "Mas.. mas.. !"

Matanya masih berat, berusaha memicingkannya, cahaya dari jendela membuatnya silau. "Gadis.. ?" Berusaha mengenali wajah di hadapannya. Tubuhnya terasa remuk redam. Tapi lamat-lamat dia sadar, bukan gadis yang mempesona itu dihadapannya. dan bukan cuma satu orang, ada tiga orang yang memandangnya, dengan was-was ? Berseragam, pelayan hotel ? Bingung. "Minum dulu, mas. Maaf mas, kami lupa mengingatkan sampeyan. Hotel ini masih berduka, putri tunggal pemilik hotel ini, meninggal karena gantung diri di kamar ini, dua bulan yang lalu, .. " Belum usai pelayan hotel itu bercerita, pandangannya terasa berat, gelap. Pingsan.

B. C. L
penulis: warm, 09 November 2009 22:08:36 57 Komentar Menggoda +8

Menunggu koneksi yang lambat ini seperti kebiasaan saja. Menunggu perubahan perlahan dari GPRS ke EDGE, lalu menunggu lampu modem card berubah menjadi hijau, tandanya 3G aktif lalu menderas ke HSDPA. Menyebalkan ! Sama menyebalkannya dengan pertanyaan orang-orang akhir-akhir ini. Tentang yang itu-itu saja. Kenapa kamu memilih Bunga, apa istimewanya dia ? Lalu, ujung-ujungnya bersambung ke arah itu lagi. Pertanyaan yang berulang lagi. Kenapa kau tinggalkan Citra demi Bunga ? apa kesalahan dan kekurangan dia ? Memangnya aku salah ? Citra nggak punya salah, dan nyaris tidak punya kekurangan. Dia wanita yang sempurna, paling tidak di mata kawan dan keluargaku. Perempuan yang manis, ramah, supel, selalu rapi dan juga sederhana.

Tipe perempuan idamanku sejak SMP. Dan oh ya, pintar, teramat pintar. Tapi tak pernah menampakkan kejeniusannya, kecuali saat Ujianujian di teknik kimia itu memaksanya untuk mengeluarkan semua kesaktiannya :) Tiga tahun, di awali sejak akhir tahun masa SMA. Dan berlanjut saat kuliah. Kebetulan aku dan Citra lulus di Universitas yang sama. Walau jelas di fakultas yang berbeda. aku terdampar di manajemen, pada akhirnya. Semuanya berlallu dengan biasa, dengan indah. Tak pernah terjadi apa-apa. Kami seperti api dan air. Saat aku terbakar oleh hal-hal yang tak jelas. Citra lah yang bisa berubah menjadi air. Memadamkan segala yang seharusnya bisa menghanguskan terik siang sekalipun. Aku memang sedikit emosional, mudah terpantik oleh hal-hal yang remeh sekalipun. Sedikit otoriter dan egois mungkin. Bertolak belakang dengan perempuanku itu. Tapi itu dulu. Beberapa bulan yang lalu. Hingga aku bertemu dengan Bunga. Perempuan semampai, cantik, glamour, dan tak segan mengumbar segala keindahan yang dimilikinya saat berjalan dimanapun.

Entah bagaimana, dan kenapa. Aku bisa dekat dan akrab dengan prempuan sempurna ini. Paling nggak dimataku, begitu. :) Semua yang ditawarkannya, seakan-akan membuka mataku akan sebuah dunia lain. Dunia yang tak pernah kutemui saat bersama-sama Citra, perempuan sederhana itu. Bersama bunga, aku menemukan gairah, energi yang berlebih, dan sgala trik untuk menikmati hidup, saat siang maupun malam hari. Mungkin kalau aku tetaplah api, maka Bunga adalah sumbu dinamit yang siap meledak bersama-sama. Segala panas yang kumiliki seperti tersalurkan saat bersamanya. Jika dulu aku terbiasa menikmati sore hari dengan secangkir teh hangat di beranda kosnya Citra. Sekarang waktu itu tergeser menjadi agak ke tengahnya malam, dan tentunya bukan lagi teh, tapi bermacam jenis air api. Lalu, dosa ? Ah, apapula itu. Tak pernah lagi kuingat lagi kata itu. Semua malam yang kulalui bersama Bunga adalah waktu manis yang harus direguk. Sepanjang waktu adalah sia-sia tanpa keringat dan desahannya di

punggungku. Aku terlampau lupa.. Sampai akhirnya, kata seorang kawan. Ada yang berubah dari diriku. Katanya aku seperti terobsesi dengan sang Bunga. Obsesi yang lain. Tentu saja aku marah. Bisa-bisanya dia bilang begitu. Iri saja, pasti. Kepalan tanganku yang menghantam batok kepalanya, otomatis menghentikan segala racauannya. Tapi tetap saja aku mendengar kasak-kusuk itu. Lalu ada yang mengatakan, aku cuma diperdaya oleh Bunga. Ada yang melihat dia berjalan entah dengan siapa. Saat aku terkapar di kos. Habis letih seharian bersamanya, mengikuti apa saja maunya. Sedikit sadar aku ingat. Apa saja yang dia minta selalu aku penuhi. Tidak perduli kalau aku sudah bisa memanipulasi laporan ke orangtua di kampungku. Praktek inilah, kuliah itulah yang selalu perlu biaya tambahan. Padahal semua untuk Bunga, kekasih baruku itu. Tak ada yang salah, bukan ?

Rasanya juga, kekayaan mereka tak akan berkurang dengan permintaan anak tunggalnya ini. Walau aku juga samar merasa, tak lagi peduli dengan keseharianku. Kuliah juga jadi bullshit, yang penting hadir sekali, lalu selanjutnya ya titip absen saja sebagai pelengkap. Jadwal sehari-hari hanyalah bersenang-senang menikmati dunia, bersamanya. Waktu selalu saja terasa berlalu dengan cepat. Sampai akhirnya. Sahabatku J, makin merasakan ada yang aneh dengan diriku. Hingga pada suatu saat, dia mengajakku berjalan-jala ke suatu kampung. Mendatangi kerabat, katanya. Sekalian menyegarkan diriku yang terlihat letih, tambahnya lagi. Perlu waktu tiga jam, bahkan dengan Scorpio hitamnya J. Hingga akhirnya kami tiba di daerah yang jauh di pinggir pedesaan. Bahkan jalan aspal akhirnya berakhir, menapaki jalan tanah. Sampai akhirnya, tiba di suatu perkampungan. Ah, bukan. Cuma ada satu rumah disitu.

Kalau saja tidak ada semacam pekarangan sederhana itu. Tanpa pagar. Mungkin aku rasa itu cuma semacam pondok penunggu kebun saja. "Tunggu disini, sebentar." Kata J. Lalu sigap dia berjalan ke rumah itu, mengetuknya Dan seorang yang tua. Memicingkan mata, lalu tersenyum sambil menepuk pundaknya J akrab. J seperti membicarakan sesuatu. Dan bapak tua itu cuma mengangguk pelan. Takzim. J lalu berteriak, memanggilku. Akupun turun dari motor. Lalu bersama-sama masuk ke dalam rumah. Rumah sederhana, beratap daun rumbia. Kerangka kayu dan bambu. Dinding dari daun pula. Sederhana tapi kokoh. Tampaknya orangtua itu hidup sendirian saja, kentara dari sempitnya rumah dan cuma ada satu bantal tua di sudut sana. Di sudut satuya, ada tembikar dari tanah liat, kompor sederhana berbahan bakar kayu. Beberapa perangkat makan, yang juga sekedarnya.

"Sebentar" Kata pak tua itu. Beranjak ke belakang. Lalu sebentar kemudian, mendatangi kami, mendekatiku. Dan tiba-tiba, tangannya yangn kokoh itu memegang tangan kananku. Aku pun terperanjat, lalu memberontak. "Apa-apaan ini ? Hey, apa ini, J ?" Aku tiba-tiba menjadi marah, yang juga entah bagaimana dan darimana kekuatanku terasa memuai. Aku meledak. Sampai akhirnya orangtua itu, mengangguk pelan ke arah J. Dan kedua tangan J pun, kukuh memegang diriku. Aku meronta-ronta. Sekilas aku melihat, tangan kiri orangtua itu bergerak cepat ke kiri tubuhnya. Mengambil sebilah pisau kecil, yang tampaknya disiapkannya sejak dia beringsut ke belakang tadi. Akuk meronta. Tapi kekuatan dua orang itu menahanku. Pisau kecil itupun bergerak perlahan. Cepat menuju kepalaku. Aku berteriak, menggila.

Sampai orangtua itu, akhirnya membalas teriakanku dengan geraman. Pisau itu pun berhasil menyentuh dahiku. Sesuatu yang dahsyat terasa menembus, jauh sampai ke belakang kepalaku. Lalu gelap... ____ Entah sudah jam berapa. Tampaknya sudah malam hari. Aku pun membangkitkan kesadaranku, yang rupanya sudah lama tergeletak di lantai kayu. Temaram lampu minyak, mengingatkanku sejenak. Masih berada di rumah di tengah sepi ini rupanya. Di sisi, kanan. Kudengar hela nafas lega. Suara J, terdengar pelan. Disampingnya, orangtua tadi, menatapku, lembut.. "Syukurlah kau pulih, kawan !" Aku seperti tersadar dari sebuah tidur panjang. Seperti mendapatkan sgala kekuatan diriku, yang terampas, entah karena apa.

Cerita panjang J kemudian, seperti membangkitkan segala memoriku. J mengangsurkan sebentuk batu hitam, berbentuk acak, kecil, Sekecil lada. "Kau ingat ini apa " Tanya J. Akupun menggeleng. "Benda inilah yang berhasil ditarik oleh bapak ini dari dahimu. Benda hitam sialan inilah yang merenggut segala kesadaranmu. Sampai melupakan kuliah, menelantarkan sgala proyek kita, sampai kau berkeras mengatakan tidak, sesaat sebelum kau berniat menyematkan sebentuk cincin tanda ikatanmu pada Citra, tiga bulan yang lalu" Aku masih bingung, tak mengerti. "Bunga tidak sungguh-sungguh mencintaimu. Dia cuma memanfaatkan kekuatan kelelakianmu, juga keuanganmu yang tidak pernah menjadi masalah itu. Dan dia berhasil memasuki dirimu, entah kapan dan kenapa. Tapi tak mengapa yang penting, kau sudah pulih. Ilmu hitam itu sudah lenyap, kembali pada pemiliknya" Samar aku teringat, pada suatu malam. yang entah bagaimana, bisa berada dalam satu kamar bersama

Bunga, Setelah semua memuncak, perlahan aku mengingat, saat Bunga, mencium pelan keningku. Dan terasa ada rasa hangat yang aneh menelusup ke dalam kepalaku. Kemudian sesaat setelah itu. Hanya Bunga dan BUnga dan selalu BUnga yang ada di otakku. Sampai malam ini smua terbangkit dari sgala mimpi buruk itu. Cintanya Bunga, Bukan Cinta yang Lumrah...

Cinta Beda Dunia


penulis: warm, 30 November 2009 10:28:40 30 Komentar Menggoda +3

Malam yang hangat seharusnya. Panas malah, semestinya. Selalu begitu saat kau datang. Tapi tidak, untuk malam ini. 'Sudah saatnya aku pergi' katamu. Aku ya diam saja. Berusaha meresapi makna kalimat pendek darimu. 'Aku bukan untukmu' Kau mengatakan itu sambil tertunduk, tak berani menatapku, mungkin. Sudah dua malam kau begini. Membiarkan malam menjadi dingin dan sia-sia. Tak ada lagi sesi berbagi nafsu, sesuatu yang dari dulu tak pernah ada jeda darimu. 'Kataku, tidak. Kamu harus tetap disini.' Sahutku, tegas. Dan tanganmu kugenggam erat, mengelus punggungmu, pelan. 'Kau sudah tahu kan, kita gak bisa selamanya, bersama' Lirih saja suaramu.

'Tidak ada pengecualian kah ? Setahun ini, kau sudah memberikan segalanya buatku. Aku pun terlanjur mencintaimu..' Ah, kata yang tak pernah terucap. Akhirnya terpaksa juga kuberikan padamu. 'Cinta ? Hal absurd itu ? Nggak ada artinya, bukan, buat kita ?' Tanganmu menggeliat, berusaha lepas dari genggamanku. 'Hei, dengarkan aku dulu !' Pegangan kupererat, dirinya kurengkuh. Tapi kau semakin berontak. Kau berdiri, terlalu kuat untuk ditenangkan. Aku berusaha menatap mata indahmu. Yang terpasang sempurna di wajah cantikmu. Wajah yang menyatu dengan tubuh sempurna milikmu. Tubuh sempurna yang tak henti bersatu denganku, setiap waktu. Kau mendesahkan nafasmu, berat. Perlahan balas menatapku. 'Aku pergi' Katamu singkat. Kau berlalu begitu saja kemudian, melangkah menembus pintu depan yang masih tertutup. Lalu berjalan pelan.

Sejenak kau berpaling, menatapku lagi dengan matamu yang memerah. Menunduk lalu berpaling. Tubuhmu pun perlahan samar lalu menghilang, menyatu dengan gelapnya malam. Kau tak akan pernah datang lagi. Dunia kita memang beda, terlampau berbeda..

Malam Jum'at (Kliwon)


penulis: warm, 29 Oktober 2009 21:57:03 36 Komentar Nggemesin +3

Kata siapa malam jum'at itu menakutkan ? Terlebih saat malam terang oleh purnama penuh, dan digandengi dengan tambahan hari pasaran kliwon. Kata siapa malam jum'at, para hantu bermunculan dari alam gaib sebelah sana ? Apalagi saat malam hening seakan memati. Malam ini, yang kebetulan purnama teramat penuh, dan kebetulannya lagi ikutan pas kliwon. Aku malah berhasil menelusup ke kamarmu, kamar yang tak jemu berwangikan apel. Wangi favoritmu. Tapi malam ini, kau begitu pucat. Walau berusaha menampakkan senyummu, yang tak bisa menyamarkan letihmu. Pertemuan kita kali ini pun, hanya diiringi senyap. Padahal waktu baru beranjak tiga menit dari tengah malam. Dan seisi rumah sepertinya sudah tak menghiraukan keberadaan kita berdua.

Tiga belas menit sudah. Aku mulai bosan dengan sgala kesuraman dan kesunyian ini. Akupun menggamitmu, memberi isyarat untuk beranjak. Dan kau pun mengangguk kaku. Lalu melangkah mengikutiku. Ah, bukannya melangkah, melayang tepatnya. Lalu gampang saja, sambil bergandengan tangan, kita seakan berayun menembus tembok rumahmu. Keluar menuju alam kita. Yang tentu beda dengan dunia yang masih kasat mata.

Kau menengok lagi sejenak, ke arah bekas rumah kita, yang habis terbakar tanpa sisa, saat kita tertidur lelap, berpelukan, sebulan yang lalu, saat purnama tiba ..

Lelaki Buaya Darat


penulis: warm, 03 November 2009 08:15:42 37 Komentar Nggemesin +6

Hari apa ini ? Ah, ya hari Selasa. Hari masih dingin. Pagi belum juga mulai. Saatnya ke rumah Juna yang di Kampung Hilir artinya. Sudah rapi-rapi, membawa oleh-oleh sekeranjang. Si Juna itu istriku, yang baru saja kunikahi dua bulan yang lalu. Tapi pekerjaan dan kondisi sekarang ini, yang memaksa untuk tidak bisa berkumpul setiap hari. Bukan, bukan karena pernikahan itu membuat penyesalan. Aku bersyukur, terlalu bersyukur malah. Kembang kampung hilir itu, siapa yang tidak tahu ? Dan aku bisa melihat tatapan-tatapan kecewa bercampur sinis, para lelaki di kampung itu, saat pesta pernikahan kami berlangsung. Tapi mereka mana berani macam-macam. Nyaliku untuk berani melamarnya saja, sudah membuat mereka tidak berani berfikir lebih jauh.

Lagian aku tidak memaksa. Dan calon istriku pun saat itu mengangguk malu-malu, saat kuutarakan maksud kedatanganku di depan orangtuanya. Walau aku tahu ada sorot tidak rela di wajah calon mertua perempuan itu. Mereka masih berharap bisa menjodohkan anak semata wayangnya dengan lelaki kota anak kepala kampung itu rupanya. Ah, aku tak perduli. Padahal selain aku memang tertarik dengan kecantikan alaminya. Bapaknya juga yang seakan menawarkan putrinya sebagai pengganti hutang yang makin menumpuk padaku. Hey, jangan salah. Aku tak pernah memintanya lho. Tapi kalau ditawari begitu, kenapa tidak ? Rejeki kok ditolak. Apa lagi ya yang membuat seisi kampung itu seakan sebal denganku? Ah, apa karena si Juna itu, rela kujadikan isteri ketigaku ? Mereka cuma iri mungkin. Padahal sebenarnya, yang sebenarnya Juna adalah isteri kelima. Apalagi kalau mereka tahu hal itu. Masa cuma karena itu pula, aku mendengar bisik-bisik. Kalau gelar buaya darat sudah disematkan pada diriku. Terserah merekalah, toh aku tidak merugikan siapa-siapa, kan ?

Ah, sudahlah. Hari sudah beranjak pagi. Aku harus siap-siap. Perjalanan dari kampung hulu ke kampung hilir memerlukan waktu yang cukup lama. Dan aku harus memulai ritualku sekali lagi. Untuk bisa keluar dari dalam sungai ini. Memohon pada cahaya matahari pagi, untuk menghilangkan semua sisik di tubuhku, melenyapkan ekorku, merubah deretan taringku. Untuk kemudian menjadi manusia, lelaki seutuhnya. Yang kata Juna sih, tampan dan jantan.

Membayar janji
penulis: warm, 6 hari yang lalu 41 Komentar Nggemesin +10

Wanita itu mengeratkan genggaman tangan pada lelakinya.. "Kamu sudah janji, kan ?" Sambil menatap dalam sepasang mata hitam di hadapannya. "Tentu" Tanpa ragu lelaki itu membalasnya. "Kalau gitu, pejamkan mata, dan jangan berkata apa-apa.." "Ok.." Jawaban singkat itu saja yang diucapnya. Dan hanya satu kata singkat itu pula, yang menjadia satu-satu kata yang sempat ditangkap oleh sepasag telinganya. ................

"Kau pernah berjanji akan memberikan nyawamu, jika tidak menepati janjimu, bukan ?" Lirih saja suaranya. Ada senyum sinis bercampur sedih, saat perlahan mencabut belati yang menghunjam belasan kali ke dada lelakinya. ... tadi pagi, Wanita itu tak sengaja melihat lelakinya dengan perempuan yang dikenalnya, perempuan yang merupakan pasangan sah lelaki yang erat memeluknya, saat itu. .. "ternyata kita sama-sama tidak bisa memegang janji, sayang.." Kembali suara lirih itu terdengar Lalu, berjalan pelan ke sisi tebing jurang itu, menjatuhkan dirinya ke udara bebas yang tidak menahan laju tubuhnya, jatuh remuk di dasar sana. ....

Cerita halah

Rocker Anti Cinta


penulis: warm, 30 Oktober 2009 12:14:51 32 Komentar Nggemesin +4

Halo, perkenalkan. Nama gue J. Cowok, ngakunya rocker. Rambut masih sebahu, piercing di kuping kanan kiri, sedikit tattoo di punggung dan lengan. Jaket kulit, bot kulit, oblong hitam, kadang juga kacamata hitam. Gue juga kata orang-orang, cowok yang gak pedulian dengan cewek. Heh, cewek, masih belum perlu gue. Toh, daripada ntar nyusahin hidup gue yang sudah asik ini. Lagian apa sih pentingnya punya cewek, coba ? Gue gak peduli lah. Apalagi soal cinta. Hell No ! Gue punya band, Broken Spock. Nama yang aneh, kan ? Itu usulan si Gun, si jenius yang bassist itu. Ini lagi di studio, markas tempat latihan, lebih tepatnya. Oh, ya yang lagi sibuk nyetem drum di sudut itu namanya Key. Trus yang serius sendiri dengan Korg-nya itu si Cres, lead gitar.

Gue kebagian megang rhytm dan kpaksa jadi vokal. sekarang sih lagi bosen nyanyi, makanya skarang nekat ngadain audisi kecil-kecilan, buat ngegantiin posisi gue jadi vokal. Dan eh, ternyata ada juga yang dateng, padahla cuma pake pengumuman singkat di web, Ada tiga orang tuh yang sudah duduk anteng di kursi kayu, yang dibikin dari kayu bekas entah kotak apa dulu. Key udah beres. Gun udah siap. Cres mengacungkan jempol kirinya, seperti biasa. Ibanez gue pun kayaknya siap meraung. Sengaja audisi dibikin versi live, langsung aja mereka yang dateng di suruh nyanyiin lagu-lagu bikinan kami tiga tahun ini, yang edar terbatas via web maupun pas manggung dimana aja. Cowok pertama maju, ngambil mik. Tanpa basi-basi mengeluarkan growl-nya. Gila juga. Tapi ah, monoton, kurang improv. Lewati saja. Yang kedua, masih cowok. Yeah, not bad. Tapi, hey, jebolan mana pula ini. Sangat tertata, sepertinya malah nge jazz. Key sudah saja menyayatkan telapak tangan di lehernya. Gak pas ..

Terakhir, Cewek yang sedari tadi tertunduk saja, sambil asik sendiri mengetukngetukkan kakinya di lantai. Cewek dengan rambut bersemu blond diikat sembarangan, berkaos tanpa lengan, dan curdorai coklat. Berjalan pelan ke depan. Menjemput mik. Setelah sebelumnya rekues Bad Heat Over Days, lagu dua tahun yang lalu. Aransemennya yang aneh, dan sangat jarang dibawakan di depan publik. Dan, baru dua bait terlewati, Saat waktu seakan terpaku, membeku. Staccato Key seakan melayang di udara. Fender Cres menyisakan dengungan. Gun mematikan tapping intronya. Rhytm pelan gue terhenti. Kami berpandangan. Menahan nafas. Suara itu. Kami serasa dibangkitkan dari tidur panjang. Suara middle yang langsung meliuk, dan liar menelusup ke tengah melodi, Aransemen yang sudah lama terasa aneh itu, seakan bernyawa.

Lagu yang sebenarnya cuma bercerita tentang siang yang bosan dan kegilaan tingkat tinggi. seakan bertambah dengan lukisan jilatan matahari dan harmonisasi gerakan manusia di saat siang meninggi. Gue seperti mendengarkan suara malaikat dekat memutar di otakku. Bukan, ini lebih bagus dari suara malaikat. Sembilan menit dua belas detik itu, terasa seperti mengendarai sedan terbaru di jalan bebas hambatan. Mengalun cepat tapi membangkitkan adrenalin. Range suara yang dibawakannya dengan gayanya sendiri. Merambah semua batas yang pernah gue dengar. Kadang sambil asik meliuk-liuk, lalu menghentak-hentak. Dan klimaksnya adalah saat cewek itu menunduk dan menyilangkan kakinya, lalu membentangkan kedua tangannya, lepas. Dan lalu bangkit berdiri, dan tersenyum pada kami. pada gue. Indah, keren sekali.. Gue nggak tau. Rasanya nggak salah kalo Gue ingat salah satu bait lirik itu.

i never like this day, and I don't care about you, whoever you are
rasanya, harus gue tambahkan satu baris lagi

Till now, when i look at you ..


Cewek itu, suara malaikat itu baru saja melangkahkan kakinya keluar studio. Tapi gue masih saja, nggak percaya dengan perasaan gue sendiri. Nggak, Tapi gue mengharapkan, Dia datang lagi, besok.. Arghh.. YEahhh !!!

Januari Hari Kesebelas


penulis: warm, 11 Januari 2010 09:22:08 17 Komentar Menggoda +5

Melepaskan pelukmu perlahan. Memandang wajah piasmu, mengusap selajur bening yang perlahan membias di pipi kananmu. Lagi-lagi kau memaksaku untuk menerima pelukmu, mendengar nafasmu yang tersendat di telingaku. Belum ada sepatah katapun darimu, bahkan saat sudah disisiku, di dalam sedan tua yang setia. Menyusuri jalan saja, padahal malam baru saja turun. Tak terasa ya waktu. Lalu kau menoleh, tepat sesaat setelah laju melewati batas kota. "Antar aku pulang.." Aku mengangguk saja. ".. dan temani aku.." Refleks kaki kananku terangkat, menurunkan kecepatan.

".. dan jangan pergi sampai pagi nanti.." Kaki kiriku yang sekarang spontan menginjak pedal rem. Berhenti sejenak di sisi jalan. Memandangmu, menanyakan kepastian dicantik wajahmu. Dan sekilas kecupan di pipi kiriku sebagai jawabnya. Kau sedikit tersipu setelah itu. Tak perlu waktu lama setelah itu, Sedan merah melaju dengan kecepatan penuh, dengan hati yang meledak-ledak. menuju ke utara sudut kota...

Jogja, akhir 2009 ..


penulis: warm, 31 Desember 2009 09:35:22 46 Komentar Nggemesin +6

Lelaki itu berdiri saja di sisi kanan jalan legendaris yang bernama Malioboro. Hari masih pagi memang, jalanan masih sepi, atau sudah sepi tepatnya, setelah kesibukan yang terus bersambung dari siang kemarin. Melangkah lurus menuju perempatan, ah jangn tanya soal arah mata angin dengannya. Dia tak akan pernah mengerti, paling tidak sampai saat ini. Makanya kadang suka terkagum sendiri dengan penghuni daerah istimewa ini yang begitu fasih menunjukkan dimana utara, selatan, timur dan barat. Satu-satunya yang dihafalnya adalah, bahwa dari Malioboro, lurus menyeberangi rel kereta api dari Stasiun Tugu, lalu ke Jalan Mangkubumi sampai Jalan AM Sangaji. Segaris lurus itu saja yang berhasil dia mengerti sampai saat ini. Sisanya dia serahkan pada supir bis kota untuk mengantarkan langkahnya. Sekarang langkahnya terhenti tepat di depan pagar keraton. Berdiri saja, mengamati halaman luas berumput hijau dan berhias pohon beringin tua.

Menghela nafas, lalu berbalik kanan lagi. Berjalan kembali ke arah dimana dia tadi datang. pagi-pagi yang seperti tanpa tujuan. Lalu mengambil telepon genggam butut dari saku kanan celana pendeknya. Menekan nomor teratas dari daftar nomor disitu. Sejenak kemudian terdengar nada sambung. "Hei..." Kering sekali nada suara yang terdengar di seberang sana, mungkin baru bangun tidur. "Besok aku pulang.." Tanpa ada bas basi seperti yang sudah-sudah. "Jemput aku, ya.." Tanpa menunggu balasan ataupun jawaban, dia langsung saja mematikan lagi teleponnya. Tersenyum sekilas. Lalu melangkah lagi. Seperti teringat akan sesuatu, dia menghentikan langkahnya, tepat pada langkah ke sepuluh. Merogoh saku kanannya lagi. 'seindah-indahnya kota ini, tetap belum bisa menyamai nyamannya disisimu' -sentPesan singkat itu terkirim.

Memutar padamu
penulis: warm, 04 Januari 2010 22:22:41 35 Komentar Megang banget +9

Lelaki itu tenang di belakang kemudi. Memasuki gerbang batas luar kota, meluncur pelan saja. Nothing but love memantul-mantul di ruang kabin. Sesekali meningkahi saat memasuki reff. Itu lima menit yang lalu, sebelum matanya melihat layar telepon genggamnya berkedip-kedip di dashboard. Menepikan mobil perlahan, di sisi kiri tentu, tepat di bawah rindang pohon mahoni. Lima belas menit tak terasa, cuma sekedar berbalas pesan singkat. Setelah satu pesan terakhir, memaksakan senyum terbit di bibirnya. Sedan tua itu kembali memasuki jalan raya. Nothing but love mengalun lagi. Tapi otaknya masih terpengaruh percakapan tanpa suara tadi.

Menimbang-nimbang, lalu menjumput telepon genggamnya yang tergeletak di jok kirinya. Tangan kirinya, mengaktifkan headset. Menekan shortcut yang sudah dihapalnya di luar kepala. Mendengarkan nada sambung, lalu ringtone love of my life-nya queen. Cuma perlu tujuh detik, Sebelum suara indah disana menghentikan freddy mercury menyayat. "hey. ada apa lagi ?" Dibiarkannya suara itu menggantung di udara. Menyesap indahnya. Lalu tersenyum, menjawab singkat. "Aku kesana.." Dan empat roda itu pun berputar arah...

...Menunggu
penulis: warm, 18 November 2009 15:59:43 21 Komentar Menggoda +6

Gadis itu gelisah. Mondar mandir di teras. Sudah lima belas menit begitu. Sebentar-sebentar matanya melirik ke ruang tamu, ke arah dinding tengah, dimana jarum jam seperti terlihat makin melambat saja. Hujan yang tiba-tiba turun, menambah kesalnya makin berlapis. 'Jam tujuh, katamu ?' Berusaha tenang, sambil menepiskan air hujan yang sedikit memercik di rok. Ya rok ! Bukan jins seperti yang biasa dia pakai sehari-hari. Dia ingin tampil istimewa malam ini. 'Ra, masuk dulu. nanti masuk angin, dingin tuh' Suara ibunya dari dalam.. 'Bentar. bu' Masih berharap, walau perlahan pupus sendiri, titik sabarnya sudah habis. Masuk ke dalam rumah. Bukannya kembali ke kamarnya yang hangat. Malah duduk, menyelonjorkan kakinya di sofa.

Menunggu hujan reda. Menunggu jemputan tiba. Menunggu.. sampai akhirnya kelopak matanya terasa berat. Sampai akhirnya, dentang dua belas kali membuatnya tersadar. Dan gadis itu masih saja disitu, dengan posisi seperti awal dia memutuskan duduk lalu tertidur disitu. Hanya terasa sedikit aneh, ada sedikit rasa hangat. Masih setengah sadar, mengerjapkan kedua matanya. Dan kedua bola mata itu, terbelalak. Menatap seraut wajah, tersenyum di hadapannya. Menatapnya. Wajah yang sedari tadi ditunggunya. Sebelum dia sempat berucap apa-apa. Wajah lelaki itu mendekat, mencium lembut pipinya.. 'Selamat ulang tahun, ya.. Aku yang pertama ngucapinnya kan ?' Belum lagi lepas rasa terkejutnya. Lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya.

Mengeluarkan seutas cincin. Dan entah bagaimana, tanpa sempat berkata-kata lagi. Tiba-tiba terpasang di jari manisnya. Seperti dalam cerita klasik. Dia mencubit tangannya. Takut smuanya hanya mimpi. Dan, 'aww....' Beneran sakit !

Pembicaraan di Sela Hujan


penulis: warm, 29 November 2009 17:24:53 21 Komentar Menggoda +5

Sore yang gerah. Panas, mungkin lebih tepat. Seporsi besar nila goreng madu yang dipesan, cuma menyisakan potongan mentimun dan bberapa lembar daun kemangi, makin mempertinggi skala suhu pinggir jalan yang tidak begitu ramai. Angin yang berhembus pelan tidak juga membantu. Punggung kaosku, lembab. "Pake tisu tuh, hidung sampe keringetan" Kau terkikik kecil. "Sok tahu ah. Sambalnya enak, sih" Sahutku asal. Kembali lagi ke titik ini. Tempat dimana bisa mendengar suaramu lagi, walau suasananya, 'begitu jauh dari definisi romantis' ucapmu selalu. "Sampai lupa, apakabarmu ?" "Baik, tentu saja" Nada riangmu itu, ah. "Pastinya, teh tawar lagi, kan ?" Tebakku pasti. "Kau tau sendiri, sore sempurna ini, pastilah.. "

Memandang jalan Otista yang begitu-begitu saja. Langit kembali mulai menampakkan mendungnya. "Kau nggak makan ?' Kembali denganmu. "Nggak, masih kenyang. Aku nemani kamu saja.." "Oh ya, gimana tugasnya kmaren ? Masih stuck ?" Mencoba mengalihkan pembicaraan. "Beres, bos. Malah kelebihan semangat, jadinya yang musti prepare buat minggu depan, malah ikutan sudah beres" Selalu begitu, semangatmu seakan tak akan pernah habis. Dalam hal apapun. Itu yang mungkin beda dari kamu. Tiba-tiba saja titik air menjelma menjadi gerimis. Dan tidak perlu waktu semenit, untuk menjelma menjadi hujan yang penuh. Dingin pun menguasai sore yang juga sudah beranjak maghrib. "Pulang dulu, ya. Kamu ?" Aku akhirnya mengambil backpack yang dari tadi cuek sendirian di sisi kursi. Hanya tawa yang tawar, terdengar. "Kau, tahu sendiri. Empat bulan lagi, baru bisa."

Diam sejenak. "Tetap tunggu aku ya.." "Iya, kau juga. Baik-baik ya disana. Love you" "Love you too.." Klik. Dan pembicaraan jarak jauh itu pun harus selesai. Walau aku yakin, kamu juga tak pernah menginginkan terhenti. Jalanan pun harus dijalani, sendiri lagi. Selagi hujan memberikan jedanya.

Cerita nona pendekar

Dia itu Pendekar, kata Mereka


penulis: warm, 01 November 2009 06:51:39 25 Komentar Nggemesin +4

Siapa yang tidak kena mahasiswi semester 3 Farmasi itu ? Cewek jangkung, sexy, cuek, jarang mau berjalan bergerombol. Paling banter dengan cewek berponi lurus, Rei, kawan seangkatannya. Wajah setengah angkuhnya itu, jujur, menunjukkan gurat kecantikan asli negeri ini. Semua kriteria cantik, ada pada dirinya. Mungkin sedikit aneh, kalau biasanya cewek-ceweklewat di depan cowok-cowok yang suka nongkrong di depan pagar kampus. Apalagi kalo kadar beningnya di atas standar, otomatis berhamburan salamsalam kenal iseng bin ajaib dan suitan klasik ke sasaran. Dan hal itu tak berlaku kalo dia lewat. Cowok-cowok seakan tidak melihat barang bagus lewat, seakan tidak ada yang lewat depan mereka. Dia pun tak peduli, melenggang santai. Bukan karena Dia adalah anak tunggal seorang perwira menengah, walaupun itu juga salah satu faktor yang mungkin membuat nggak ada yang mimpi mau bikin janji, apalagi apel di malam minggu, mimpi lah itu !

Kejadian di awal minggu pertama Dia masuk kampus itulah penyebabnya. Saat seorang cowok yang nekat memberi siulan mautnya, tepat beberpa detik sebelum Dia berjalan menuju gerbang masuk. Hanya perlu beberapa detik tambahan, saat berikutnya tubuh cowok itu terjengkang dan terhuyung ke belakang. Uraken gadis itulah penyebabnya. Bukan rahasia lagi kalo di backpacknya itu, selain buku kuliah, juga berisi Dogi kebanggaannya. Pendekar tulen, sungut mereka. Semua cerita tentang kegagahperkasaannya itu, anehnya malah makin membuat aku jatuh hati pada gadis itu. Entah kenapa, Jo malah nyuruh aku pake nyebut sgala saat mutusin ingin mengenalnya lebih jauh. Lah, memangnya kenapa toh ? semua niat itu, akhirnya cuma sekedar mimpi juga. Kesibukan kuliah ditambah praktikum dan lain-lainnya, mengenyampingkan keinginanku, yang kata Jo aneh blas. Sampai suatu sore, saat mendung menghiasi langit. Waktu itu, jadwal tambahan membuat pulang pun rada telat. Saat menyusuri aspal kampus pelan dengan Grand hitam. Sekilas di depan, aku melihat sosok yang kukenal sangat. Si Jangkung Dia. Yang tampaknya sedang menunggu angkot untuk pulang, ah aku sampai tahu kebiasaan sederhananya itu, yang nggak pernah mau di jemput, bahkan oleh ajudan bapaknya sekalipun.

Ada sedikit gelisah tergambar di parasnya. Hey, knapa tidak kutawarkan untuk ikut saja ya .. "Hey, mau pulang ?", Basa-basi yang basi bener, kan ? Tidak menjawab, malah tatapan menyelidik yang kudapatkan. "Mau ikut ? Nggak ada angkot yang bakal lewat deh, soalnya dari siang tadi, smua trayek ke kampus kita, pada demo tuh". Ada sedikit ragu di wajahnya. "Kamu siapa ?". Ah, akhirnya raut bersahabat itu muncul juga' Aku menjulurkan tangan dengan telapak terbuka, ngajak salaman sambil menyebutkan namaku. "Dia !" katanya sambil membalas jabat tanganku, erat dan hangat. "Eh, bener mau nganter aku?", Sekarang senyumnya muncul. "Untuk cewek secantik kamu, knapa harus bilang tidak", balasku, nekat. "Heh, baru kenal berani gombal". Matanya melotot, beh keren sekali, tangannya menonjok bahuku pelan. "Udah, ayo naik." Grand pun menunaikan tugasnya.

Ha, tak terbayangkan kawan, betapa sore yang mendung seakan malah berpulaskan pelangi. Dedaunan pohon yang luruh di kiri jalan, seakan-akan turun ke bumi dan langsung menghijau lagi, menjadi putik-putik baru penerus hidup. Gila aja, gadis yang cuma bisa dikagumi dari jauh, dan kmaren barusan menyadarkan smua mimpi tentangnya. Sekarang duduk tenang di belakang, sebelah tangannya malah memeluk pinggangku malu-malu. Sukur setengah ampun buat pegangan samping jok yang barusan ku lepas kmaren karena sedikit rusak. Sampai tak terasa, berbelok ke kiri, memasuki Rindam. Provost memberi hormat pada kami, ah pada Dia tentunya hehe Memasuki komplek bernuansa hijau tua itu. Tak pernay terbayangkan. Sampai akhirnya Dia menepuk bahuku pelan, sambil berujar. "Stop di depan, bang". Sambil tertawa kecil, lepas. "Ok, neng. Ongkosnya pada pnerbangan perdana ini gratis deh". Dia turun, aku masih berdiri. "Mau masuk dulu". senyum yang tak pernah kulihat selama berpapasan dengannya, seakan diumbar sekarang. "Nggak, makasih. Nanti saja deh besok malam kesini lagi". Sahutku iseng, beneran iseng dan nekat.

"Ya udah, kutunggu ya, besok. Beneran, lho. Ok, deh. Hati-hati dijalan, jek". Sambil tertawa-tawa, dia membalikkan badan. Masuk ke rumah yang pekarangannya menghijau pula. Hey, kawan. Tidak salahkah pendengaranku ? Cewek ban hitam di Kyokushinkai itu. Yang tiada satupun berani menganggunya. Yang iseng masusk di adegan mimpiku sejak beberapa bulan yang laluu. Membolehkanku datang lagi, besok malam ? Besok yang malam minggu ?!! Kalau saja boleh menari dan berjoget bamba rimbamba duridamdidam. Kalau saja tidak teringat tatapan tajam para provost di gardu depan tadi. Ah, sudahlah. Pulang dulu. Hatiku mulai terasa pecah, membuncah. Bintang-bintang bertebaran, burung-burung sgala species bersiul makin semarak. Ahhh.. Nggak sabar nunggu besok. ya besok !! Yihaaa

Pendekar wangi itu, sobat gue


penulis: warm, 01 November 2009 12:06:47 7 Komentar Rating 0

Nama gue Rei. Anak farmasi smester 3. Gue cuma mau cerita tentang sobat gue. Namanya Dia. Cewek cantik, anak Kolonel, ban 3 sekaligus asisten pelatih karate di kampus gue. Apalagi ya yang bisa gue ceritakan. Rasanya segala sesuatu tentang Dia, gue udah tau. Secara cuma gue temennya petantang kesana sini hehe. Enaknya jalan ama Dia, dijamin aman, aman lahir batin. Selain dalam mata kuliah apapun, dia enak bener ngejelasinnya. Heran, dosen aja kayaknya musti belajar ama dia cara ngajar yang enak dan bikin pelajaran mudah masuk otak. Oh ya, kmaren dia sempat cerita. Kalo barusan kenal ama cowok, anak Fisip. Yang nekat nganternya pulang. Katanya anaknya asik. Dan mau dateng malem ini. Heh? Malam minggu? Sinting kali ya tu anak. Ah, jadi penasaran ama anak cowok itu. Ntar nanya Dia ah, senin besok...

Malam Minggu, Akhirnya !!


penulis: warm, 01 November 2009 21:06:36 7 Komentar Nggemesin +1

Siul-siul nggak jelas. Saru antara Black heart inertia dan Begadang. Jo, cuma memandang aneh, tapi tak jua sudut matanya beranjak dari lembaran Kimia terapan jilid entah itu. Seperti sakau saja di dipannya. Euwidih, malem minggu, belajar ! Memandang ulang lagi. Scanning... Kemeja flanel kotak-kotak. Jins biru. Sendal gunung. Jaket jins. Sudah beres. Oh ya, sebentar meraba saku kanan belakang jins. Cukuplah membuat malam minggu bersinar. Ok, memutar-mutar kunci kontak. Pamit dulu ama Jo. "Cabut, bos !", sambil iseng nowel jempol kanannya yang goyanggoyang. "Eh, iya." Males bener ngejawabnya. "Oh iya, hape jangan dimatiin, kali aja ntar aku kemaleman datengnya, biar bisa ngebukain pintu pager" "Iye, iye. Gih pergi sonoh".

Dua roda hitam itu, bergesek dengan aspal yang juga hitam. Sepanjang jalan yang rame. Sabtu malam. Malam minggu. Menagih janji. Udara tidak begitu dingin, rada panas malah. Mungkin mau turun hujan. Rute kmaren sore sekarang berulang. Belok kiri. Lurus. Nanti belok kiri lagi, komplek hijau, yang tentunya warnanya tak jelas kalo malam. Tentu saja aku sudah hapal. Tidak terasa lama waktu untuk sampai di gerbang kompleks itu lagi. Dan tentu harus lapor lagi pada para prajurit berseragam itu. Lalu melenggang masuk, eh motor yang melaju, pelan tentunya. Menuju rumah ketiga di jalur dua itu. Parkir pelan. Memasang stadar motor. Menggantungkan helm berstiker tengkorak di spion kanan. Hey, knapa jantung ini mendadak seakan meletup. Padahal di jalan tadi sudah penuh nyanyian sgala genre lagu. Beranda rumah yang temaram itu. Yang dihuni satu meja dan dua kursi kayu, menghadap ke jalan, seolah menantiku. Ok, sudah di teras, nggak ada bel. Mata ini malah melirik ke garasi

yang terbuka di sebelah kanan. MObil dinas berplat hijau, terparkir disitu. Mengetuk pintu. Memberi salam. Dan ada langkah yang mendekat, dan semakin mendekat. Tiga ekor cicak di atas plafon itu, malah seakan diam membeku menatapku tajam. Argh. Aneh, cicak aja pake difikirin. Menunggu langkah itu sampai di depan pintu. Rasanya lamanya sama dengan sebulan nunggu wesel dari kampung. Lama dan bikin berdebar. Akhirnya, pegangan pintu berputar. Pintu pun terbuka. Aku menutup mata sejenak, berharap cemas yang membuka pintu bukanlah bapaknya Dia.. .....

Pintu itu sudah membuka penuh akhirnya. Dan kekhawatiran ngaco tadi tidak terbukti. Wajah segar itu. Yang bersinar. Memberikan senyum terbaiknya. Ekspresi yang tak akan kau temui saat bertemu Dia di jalan, kawan ! Malam minggu pertama itu berjalan dengan sangat baik, terlampau bagus menurutku. Walau harus menjaga jarak, dan menata tawa. Nggak kepikirian untuk macam-macam. Beh, memangnya mau ngapain ? Cukup satu jam. Satu jam saja aku disitu. Di beranda itu, cuma berdua, ya berdua. Dengan obrolan kesana kemari. Tentang apa saja. Lepas. Tak terasa, sekarang waktunya, pamit. "Udah malam, eh titip salam saja orang rumah". Dia tersenyum tertahan. Memasang helm lagi, memutar gas lagi. "Hey, besok selesai kuliah jam berapa ?"

Persneling dinetralkan lagi. Membuka kaca helm. "Kenapa ?" "Aku pengen nyari buku. Rei gak bisa nemenin. Could you ?.." "Besok ? Just call me !!" Semangat sekali tampaknya, terlalu bersemangat, kawan. Ah, besok ? Dengan dia lagi ? Oh ya, tadi aku sudah mendapatkan nomernya. Nomor telepon tentu. Motor pun melaju. Tak sabar menunggu besok lagi.

Oleh-Oleh Dia
penulis: warm, 05 November 2009 08:19:29 39 Komentar Nggemesin +6

Halaman depan kampus sore itu, lumayan ramai. Masing-masing dengan kegiatannya, untung luasnya mampu menampung segala keramaian itu. Ada sebagian orang yang sibuk mendirikan panggung, ya buat festival musik tahunan anak-anak Sastra, rupanya. Lalu dua tim sepakbola dari Psikologi dan Ekonomi yang sedang mengadakan pertandingan persahabatan di lapangan bola, di kanan samping halaman utama. Aku duduk saja, santai di teras. Sehabis melaksanakan asistensi praktikum Kimia, buat anak-anak baru. Sesekali iseng browsing mobile mencari hal-hal yang kurasa menarik, flanel kotak-kotak coklat, celana gunung, dan backpack abu-abu setia saja menemaniku.

Sesekali aku memandang ke arah barisan aorang berbaju putih-putih longgar, yang sedang mengadakan latihan rutin, tak jauh dari panggung itu. Katanya sihh lagi mengadakan training center, untuk kejuaraan bulan depan. Dan sosok jangkung, yang selalu penuh semangat itu, ada disana, penuh semangat berlatih kata. Ah, indah sekali, semua gerakan yang kau lakukan bersama-sama anggota terpilih lainnya, seperti memperagakan hasil koreografi ritmik maestro sendratari ramayana. Seperti menghapus kesan kaku dan patah dalam setiap gerakan aliran Shotokan. Semua mengalir bebas, dan gerakan tubuhmu makin mempertegas keindahan itu. Ah, ya. Katamu, kau juga diikutkan dalam kelas kumite. Kelas yang kau ikuti, memang seperti tidak mempunyai lawan tanding yang layak bagimu. Tapi, seperti kau bilang, setiap kumite yang kau ikuti bukanlah pembuktian dari tingginya teknik yang kau kuasai, bukan untuk memamerkan kekuatan yang sudah terasah selama bertahun-tahun. Tapi lebih ke melatih sikap waspada, introspeksi akan kekuatan diri

sendiri dan melatih untuk tetap waspada serta terus belajar untuk bisa membaca gerakan lawan. Bijak sekali bukan, kawan ? Setelah melakukan Oshu, kau berjalan, setengah berlari, ke arahku. Tersenyum. "Sudah lama ? ". Wajahmu yang memerah itu, menyempurnakan indahnya dirimu. "Hey, malah bengong !". Kau ikutan duduk di sampingku, sambil merapikan sabuk dan dogimu. "Iya, aku nggak bengong. Cuma tak bisa melupakan jurus sang pendekar saat latihan tadi." Kataku sambil nyengir. "Ah,apaan sih. Gombal !" Kau terkikik. "Eh, aku ke dalam dulu bentar, mau ganti dulu, lengket nih, tunggu bentar ya". Kau berdiri lalu beranjak masuk ke dalam gedung kampus depan. Tujuh menit kemudian, kau keluar dari pintu itu. Sudah rapi, menenteng backpack biru andalanmu. Kaos longgar dan jins yang juga biru, converse canvas, melenggang santai. Iseng menowel pundakku. "Yuk, cabut. Masih mau nganter aku, kan ?". Masih saja menanyakan

hal itu. Berjalan beriringan menuju parkiran. Menuju grand velg bintang lima hitam di barisan ketiga. Menghidupkannya, manual. Electric starternya ngadat lagi eh. Kau menunggu di pintu keluar parkiran, sambil memasang helm, duduk di belakang, menghadap kiri jalan. Motor pun melaju pelan. Keluar pintu gerbang, berhai-hai dengan satpam kampus, belok kiri, lalu jalan lurus. Tapi di belokan kedua, lampu sein kanan berkedip-kedip. "Hey, mau kemana ? Nggak langsung dipulangkan akunya ?" Pura-pura tidak mendengar saja ah. Malah lalu berbelok lagi ke kiri, ke jalan Sriwijaya. Ke kiri lagi, jalan Pangeran, dan tiga ratus meter dari situ, berhenti di depan tempat yang lumayan ramai. Memasang standar motor, menggantungkan helm. Lalu menggamit tanganmu, untuk duduk di salah satu meja persegi. Tempat ini, apa ya namanya. Mau disebut cafe, bukan. Rumah makan, juga bukan. Ah, pokoknya tempat nongkrong lah. Selalu rame, sejak baru dibuka minggu lalu.

Padahal menunya cuma pisang goreng keju dan es krim. Jadi penasaran. Seorang anak muda, bertattoo, mendatangi kami, menyodorkan daftar menu sambil tersenyum. "Mau makan apa ?". Menanyaimu yang asik saja menyapukan pandangan ke sekeliling. Sebelas meja yang ada, sudah terisi semua rupanya. Meja kita, meja ke sebelas. "Sering kesini ?". Tanyamu sambil melihat-lihat daftar menu dari karton berlaminating itu. "Nggak, baru ini. Penasaran, kayaknya seru, makanya sekalian ngajak kamu." "Coba yang ini yuk. Yang ada kata specialnya" "Ok." Beranjak lagi, setelah menuliskan daftar pesanan. Pisang keju special. Black Choco Sundae Special. 2. Hmm, makanan, minuman, dan orang yang spesial. Fikirku. Wajah dihadapanku ini, yang masih saja bersemu merah. Rambutnya yang diikat masih tampak basah. Pesanan yang datang, membangkitkanku dari bayangan dan hayalan-hayalan indah tentangnya. Nantilah dilanjutkan lagi.

Lalu sibuk memainkan sendok, mulai menikmati potongan pertama. Aku menikmatinya, sgala caramu, bahkan cara makanmu saja, selalu berhasil menakjubkanku. "Aduh, sori, laper, lagian enak sih ini". Katamu tersipu sambil mengelap mulutmu sekilas. Tanganmu lalu memutar sendok, sebelum menikmati sundae yang sisi luarnya mulai sedikit melumer. Akupun jadi tak mau kalah. Satu porsi rasanya menjadi terlalu sedikit jadinya. Ajaib, cuma perlu waktu dua puluh menit, smua pesanan kita bisa sama-sama tak bersisa. Ha. "Oh ya, jadinya. Aku pamit ya lusa." Katamu sambil meminum air putih dari gelas super kecil itu. "Berapa hari jadinya di Bandung ?" "Kejuaraannya sih cuma dua hari. Tapi sensei mau smua, kita-kita, sekalian di ikutkan gashuku, katanya. Tapi gak tahu lah, ku bilang besok deh keputusannya" "Ya, udah. Jaga diri dan kondisimu ya. aku tunggu saja kabar darimu, dan jangan lupa... " "Oleh-oleh .." Putusmu cepat, sambil tertawa. "Mau dibawain apa ? Asal jangan minta bungkusin cewek pasundan, ya" Katamu tergelak. "Beneran nawarin oleh-oleh, nih ?"

"Iya lah. Ayo cepet, mau dibawain apa ?" "Aku minta dibawain brownies , eh nggak ding." Aku lalu menatapmu sesaat, lalu memegang tanganmu, perlahan. "Aku cuma mau dibawakan lagi senyum yang dimiliki oleh gadis berkaos biru yang sedang tertawa dihadapanku sekarang ini. Kalau bisa plus bonus kangen, sih." Kau sedikit terperanjat, tawamu spontan terhenti. Lalu, menunduk perlahan. Rona merah di wajahmu, makin kentara. Sore itu, matahari mulai tergelincir ke barat. Langit mulai bersemu jingga. Saat sepasang anak manusia, menikmati waktunya, di atas motor yang melaju pelan, juga ke arah barat. Pelukan gadis di belakangnya, terasa semakin erat.

Tunggu Aku
penulis: warm, 06 November 2009 09:24:48 33 Komentar Nggemesin +10

Padahal baru dua hari. Dua kali dua empat puluh jam. Tapi rasanya ada yang kurang, ada yang terasa kurang lengkap. Seperti pelangi yang kurang satu elemen warna, mungkin. Padahal, bukan sekali ini saja, kan ? Tapi kau tentu tidak tahu. Akan sesuatu yang diberikan oleh Ketua Jurusan tadi siang. Nantilah kau kuberitahu, ya smoga tak ada masalah. Sekarang sudah sore, menjelang maghrib, malah. Rasanya katamu kemaren, untuk kumite wanita, diadakan pas malam hari. Mungkin tak ada salahnya, sekedar mendengar suaramu. Hey, sedang apa kau disana ? Menekan angka delapan di telepon genggam. Ya angka itu untuk shortcut menuju nomormu. Kau sendiri yang iseng memasukkan

nomormu sendiri, lalu memilih nomor itu sebagai jalan pintas untuk menghubungimu. Saat kutanya, kenapa harus angka 8 ? Katamu, angka 8 itu abadi, garis tak terputus. Dan kau tersipu sendiri, saat menyatakan alasan simpelmu itu. Dial pertama, putus dengan sendirinya, setelah nada sambung berupa potongan reffrain november rain, berulang dua kali. Kali itu, nada sambung itu, aku yang memberikannya padamu. Kau juga iseng bertanya kala itu, kenapa harus lagu itu ? Kujawab saja, seandainya ada lagu yang bisa lebih menggambarkan tentang indahmu, mungkin akan kupilih itu. Dan kali itu juga, kembali kau yang bersemu merah. Tersipu lagi. Tak bosan-bosan. Dial kedua, perlu dua puluh detik lagi, sebelum akhirnya ada sahutan di seberang sana. Suaramu ! "Heyy. Aduh maaf, gak denger, tadi lagi di angkot". Ada nada sedikit menyesal. "Nggak apa-apa. Eh, kelayapan kemana sore gini ?"

"Itu, tadi ada temen, ngajak muter-muter kota. Keliling doang, ini lagi ngider di Ciwalk" "Eh, bukannya ntar malem giliranmu, maju ?" "Iya, ini juga bentar lagi balik kok. Lagian deket ini. Oh ya, kamu lagi dimana. ?" "Kenapa ? Kangen ? " Tanyaku iseng. Dan diam sejenak. "Gak usah dijawab aja deh ya". Ada nada riang di suaramu. "Dan , Doain aku ya ? " "Jadinya, pulangnya kapan ?" "Kenapa pake nanya ? Kangen ?" Lalu ketawa kecil, khasmu. "Gak boleh nyontek ah. Jawabannya disamain aja deh, dengan jawabanmu" "Kayaknya jadinya pulang senin deh. Sore. Tadi katanya, hasil kesepakataan gitu" "Oh, ya udah. Oh ya, nginep dimana ?"

"di Buah Batu, kenapa ? Mau kesini ?" Tertawa lagi. "Eh, boleh memang ? Aku susul beneran, nih". "Nggak usah, tunggu aja aku pulang. Jemput ntar ya, ntar aku telpon lagi deh. Eh, ini udah mau nyampe, udah dulu ya.." "Ok, deh. Hati-hati ya. Jaga diri, ntar kujemput. Bye" Dan percakapan pun terhenti. Aku hanya tersenyum sendiri, mengingat tantangan kecilmu untuk kesana, mendatangimu. Ya, nanti sajalah, kukatakan disana. Kalau siang tadi. Aku dipanggil Ketua Jurusan, diberitahu bahwa proposal tim kami, masuk seleksi nasional. Dan itu artinya, besok siang, aku juga diharuskan pergi ke kota dimana kau ada saat ini. Tunggu aku besok. Aku ingin mengejutkanmu..

Malam Minggu Lagi !


penulis: warm, 09 November 2009 08:14:35 20 Komentar Nggemesin +5

Pagi dunia. Pagi kota yang katanya penuh kembang. Tak terasa, sudah dua hari, ah dua setengah hari tepatnya, disini. Sebenarnya suka tanya diri sendiri juga. Buat apalagi ngikutin segala kejuaraan ini ? Toh, smuanya sudah aku dapat, kelas bebas wanita ini, seperti tidak ada regenerasi yang berarti tiga tahun terakhir. Tapi, mungkin ya kepuasan, mungkin ? Menjadi pemenang kadang menjadi candu, eh tapi nggak berlaku si buatku. Simpelnya ya intinya seneng aja ikutan ginian, lagian menyenangkan juga, selalu bisa dapet kenalan baru. Oh, ya. Gimana kabarnya lelaki itu ya ? Berani-beraninya bikin aku kangen. Mudah-mudahan saja habis malam ini, beres. Jadi besok minggu bisa langsung pulang. Sekarang, santa saja ah. Jalan-jalan kaki aja kali ya, muter-muter, sambil cari sarapan. Bubur ayam, mungkin ? Baiklah, saatnya mendinginkan diri.

Tak terasa, malam sudah tiba. Saatnya mengakhiri acara hari ini. Saatnya siap-siap lagi. Sorak sorai itu seperti gelombang. Tiada habisnya, dan tentu saja itu lebih banyak ditujukan untuk tim tuan rumah, yang mendominasi nyaris di semua kelas. Seperti biasa, aku tak pernah perduli. Yang penting tiga menit kumite, berlalu. Lebih cepat lebih baik. Jiyu kumite yang aneh, mungkin. Sistem full-body kumite, menghalalkan sgala macam kihon digunakan dalam setiap kumite. Bahkan tendangan afdol saja kalo diarahkan ke kepala, cuma pukulan langsung saja yang diharamkan, akibatnya jelas sangat fatal. Makanya sensei selaku menekankan pentingnya ibuki, alias latihan pernafasan, selain tentu saja mengasah teknik dan kekuatan. Kadang bagiku, kumite ini jadi lucu. Kata yang dilatih seakan-akan tidak jadi maksimal penggunaannya, malah yang ada muncul kombinasi-kombinasi unik yang spontan tercipta saat kumite berlangsung. Lawan kali ini, the last fight. Singa betina andalan tuan rumah, Cyl, reputasinya dalam prtandingan terdahulu, menarik juga. Nyaris tidak

ada lawan yang tidak dia beri kenang-kenangan, berupa memar dan kadang kulit yang sobek, dalam setiap kumite. Wajahnya cantik, tapi wajahnya begitu datar, tanpa ekspresi. Sikap percaya dirinya, terlihat penuh. Sesaat kemudian. Osu, memberi hormat. Ajimee pun terdengar lantang. Sanchin pun berubah posisi dengan cepat. Pertarungan klasik yang diperlihatkan Cyl, jelas-jelas memaksaku untuk terus bertahan di menit awal. Serangannya tak terputus. Seiken chudannya deras, berpadu dengan maegeri andalannya.. Dan kubiarkan saja, seperti biasa. Menguaras tenaga lawan di awal, adalah keharusan. Baru nanti akhirnya, biasanya agak melemah di pertengahan. Itulah saatnya mawashigeri beraksi. Tunggu saja tendangan melingkar itu mampir di wajahmu.. Tapi, lawan kali ini memang tangguh. Dua menit berlalu, dan ekspresi wajahnya tidak juga berubah.

Lalu, kemudian. Entah kenapa, aku merasakan ada sesuatu. Perasaanku seakan-akan memberi isyarat, menarik wajah dan memfokuskan kedua mataku ke sisi kanan arena pertandingan. Cukup dua detik, saat mataku menangkap raut wajah yang kukenal. Lelaki ber-flanel biru. Yang seakan juga tahu berserobok pandang denganku. dengan konyol malah mengacungkan jari tengah dan telunjuknya padaku.

Kau ada disini ?


Ini bukan mimpi bukan ? Seseorang yang berjanji akan menjemput saat ku pulang nanti. Yang iseng menawarkan diri untuk mendatangiku kesini. Perasaan yang membuncah itu, menjadikan pertahananku terbuka. Yokogerinya Cyl menyentuh mesra rusuk kananku. Telak. Terpaksa mundur sesaat, berusaha menghilangkan ketidakpercayaan bercampur senang luar biasa. Mengatur nafas lagi. Lalu menghabur maju. TIba-tiba semangatku terasa berlipat, ingin segera mengakhiri pertarungan ini.

Sial skali nasib Cyl. berkali-kali akhirnya mawashigeri kirimanku, sampai pada penerimanya. Berkali-kali juga, wajahnya datar akhirnya berubah. Antara bingung dan sedikit cemas. Sampai akhirnya, semuanya akhirnya terhenti. Usai juga akhirnya. Aku membereskan dogi yanng terlihat sangat berantakan. Bersalaman dengan Cyl. Wasit. Osu.. Setengah berlari ke sudut kiri. Mengambil handuk mungil, mengelap wajahku yang basah. Lalu, melirik lagi. menengok ke arah lelaki yang menggoda konyol tadi, di saat yang tidak tepat pula, ugh. Eh, tapi. Dimana ? Tuh, kan. Mengkhayal mungkin. Lagipula mana mungkin dia disini ? Saat fikiranku menduga-duga, bengong sendiri. Sebuah tepukan pelan, mendarat di bahu kananku. Spontan aku menoleh. Kaget Nafasku tercekat. Senyum konyol itu, nyata ada di belakangku. Menyapaku. "Nyari aku ? Nona pendekar ?" Tertawa lebar.

Aku pun menyarangkan uraken ke perutnya pelan. Lalu tertawa, sama-sama. Lupa dengan keramaian sekeliling.

Malam minggu, di sini, berdua ? Aku masih tak percaya ...

Dia, Selasa Sore


penulis: warm, 11 November 2009 21:32:21 21 Komentar Nggemesin +1

Tak terasa sudah selasa lagi. selasa yang sore lagi. Dan sore yang di jalan ini lagi. Padahal baru kmaren, menikmati kota yang katanya penuh kembang itu. Seharian naik turun angkot, smua jurusan kita coba, dan jurusan favorit kita adalah Ledeng, lucu katamu. Sisanya dihabiskan keluar masuk distro, sampai penasaran dengan toko Babe. Sudahlah, mungkin lain waktu aku ceritakan tentang kmarin itu. Sore ini, seperti hari kmari Berdua dengan Dia, menikmati sepanjang jalan pulang ke rumahnya. Gerimis baru saja usai, jalanan tampak agak lengang. Akupun memacu si hitam lumayan cepat.

Terkekeh-kekeh walau beberapa kali Dia menepuk pundakku dari belakang, tanda tak setuju, berbaur dengan takutnya. Jalanan yang basah sehabis disiram hujan, sekali lagi berhasil memukauku. Pantulan cahaya matahari sore, terasa bagai lukisan tak ternilai. Indah, sekali lagi.. Tinggal dua ratus meter lagi. Artinya akan sampai di belokan itu lagi. Rutinitas yang tak juga bikin aku kapok, sungguh. Sampai pertigaan, laju motor dikurangi. Memberi sein ke kanan. Berbelok. Semua terasa biasa saja. Sampai akhirnya, entah bagaimana. Begitu cepat, saat sebuah Kijang hitam. Menghantam dari sebelah kiri. Dan begitu cepat pula, aku, kau ya kita, terlempar. Aku tak mampu mengendalikannya.

Sesaat saja, kijang itu berhenti beberapa meter di depan. Seseorang melongokkan kepalanya lewat jendela samping kemudi. Wajahnya pias, pucat. Tapi, cuma sebentar. Untuk kemudian melesat, melaju kencang. Aku mengusap sesuatu yang mengalir di pelipisku. Telapak tanganku merah, basah. Tapi sesuatu membuatku tersentak. Panik meihat sekeliling. Dan disana, di tepi trotoar. Kau tergeletak, diam. Noda merah, mengalir pelan di kaki kanan dan punggungmu. Helm yang kau pakai, juga telah terlepas, terpental entah kemana. Aku hanya mendengus geram. Sebelum tiba-tiba semua tampak mengabur.

Rumah Sakit
penulis: warm, 12 November 2009 09:47:14 11 Komentar Megang banget +0

Ruangan itu, memang bukan ruangan standar seperti beberapa ruangan di lokal seberang. Ruangan yang rapi, putih bersih dengan ornamen hijau pupus. Ada taman kecil di luar, disamping dua kursi kayu dan satu meja kecil. Di dalamnya Pendingin udara terasa mengalir penuh. Ada ketenangan di situ, mendekati senyap malah. Tepat disisi kiri, ada tempat tidur, dari besi. Ada otomatis buat menaik-turunkan bagian punggung. Di atas tempat tidur itu, berbaring seorang gadis, tak sadar. Nafasnya pelan. Ada gips di kaki kanannya. Ada sedikit memar di keningnya. Di samping kanannya, duduk seorang anak muda, berkaos putih. Memandang wajah perempuannya. Memegang tangan kanannya yang tersambung dengan selang infus. Sesekali membelai anak rambut yang sedikit berantakan.

Entah sudah berapa jam menunggu. Berharap gadisnya bangun. Menatapnya malu-malu seperti biasa. Hari sudah beranjak dari pagi. Smua masih terasa diam. Hening saja yang harus dinikmati. Barusan minggu tadi, berusaha menikmati rasa hilang. Saat Dia dijauhkan oleh jarak darinya. Sekarang alam sadar, yang menjadi batas tak jelas antara mereka berdua. Lelaki itu menarik nafasnya. Berdiri perlahan. Menatap gadisnya, lalu sekali lagi mengecup keningnya. Mengelus jemari tangannya. Berjalan ke arah jendela. Yang menghadap ke arah luar bangunan utama. Bangunan rumah sakit, tempat lelaki itu dirawat dua tahun yang lalu. Jauh sebelum dia mengenal Dia. Dan juga tak pernah ingin Dia tahu tentang itu...

Cerita KNN

Kau akan nyata, nanti !


penulis: warm, 13 Januari 2010 08:51:46 40 Komentar Nggemesin +10

Keluar dari pintu lift, berbelok ke kanan. Memasuki ruang yang diakrabinya selama dua tahun ini. Berjalan santai menuju meja kerja di sudut kiri, dekat jendela yang mengarah ke pemandangan jalan raya. Menaruh backpacknya di filling cabinet, rak paling bawah, setelah sebelumnya mengeluarkan buku organizernya. Agak kuno mungkin, sementara rekan kerjanya sudah sibuk denga PDA masing-masing, dia tetap setia dengan buku catatannya. Yang isinya macam-macam, selain agenda kerja dan poin-poin penting setiap harinya. Dia memang suka menulis, dalam artian sebenarnya. Itu saja alasannya. Menuju meja kerjanya, tidak langsung duduk, tapi menghidupkan cpu-nya yang segera berdesir pelan.

Menatap monitor yang segera saja berkedap kedip meminta username dan password. Sejenak lalu menampilkan homescreen. Dan, ada yang terlihat aneh disitu, ya dimonitor flat tujuhbelas inchi itu. Bukan pemandangan musim gugur berwarna orange favoritnya yang tampak. Tapi tulisan yang tampaknya dibuat tergesa menggunakan paint. Tulisan berwarna merah di atas background putih. Under your backpack, itu yang tertulis. Ditambah simbol X tak sempurna, entah apa maksudnya. Dia mencoba berfikir. Hanya dia yang tau username dan password itu. Bahkan admin pun tak akan tahu kombinasi kata yang sudah melekat di otaknya itu. otomatis seharusnya tak ada yang bisa mengganggu gugat tampilannya sekalipun. Hmm, Kerjaan siapa ini, dalam rangka apaan ? Kejutan hari ulang tahun kah ?

ah sudah lewat dua bulan yang lalu. Lalu tentang apa ini ? sekedar iseng ? Rentetan pertanyaan yang berpendar-pendar di fikirannya, tak terasa membuat waktu bergerak tujuh menit. Akhirnya dia memutuskan untuk tidak menghiraukan kalimat aneh di monitor tadi. Membuka organizernya, melihat-lihat prioritas kerja hari ini. Tak lama monitornya penuh dengan segala varian word processor, tabel, dan program internal kantornya. Hanya dua puluh satu menit kedamaiannya dalam menarikan jemari lentiknya di atas keyboardnya. sebelum matanya sekilas menatap ada gerakan aneh pada bagian atas page wordnya. Ada marquee yang bergerak konstan. Nafasnya tercekat. 'Virus ?' batinnya. Tapi tulisan yag bergerak itu menarik perhatiannya. lamat-lamat dibacanya, dan dia baru sadar, kalau itu adalah tulisan yang sama dengan yagn tertera pada homescreennya.

'Apaan sih ? ' rutuknya. sekarang aktiftasnya terhenti. Berdiri dan melihat sekeliling. Tapi orang-orang masing-masing terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Dia menghela nafas, lalu duduk lagi. Memainkan ballpoinnya di meja, terketuk-ketuk berirama. Seakan-akan mendapatkan sesuatu, dia lalu beranjak. Menuju filling cabinetnya, mengangkat backpacknya perlahan. dan matanya menatap tak percaya. Ada selembar kertas A4 tertempel di bagian belakang ransel kecil itu. Dia menariknya, rupanya ada dobel selotip yang menyatukannya. Pantas saja dia tak merasa ada sesuatu yang aneh saat meletakkannya tadi. Lagi-lagi, Ada tulisan yang diprint rapi, Arial ukuran 14, ...lalu teruskan 3 zaman, kau akan nyata nanti ! ya dua kalimat, delapan kata itu, tertera disitu, jelas. 'apalagi lagi, sih ini ?' Fikirnya.

-KNN penulis: warm, 14 Januari 2010 07:13:45 47 Komentar Nggemesin +7

......Lalu teruskan 3 zaman, kau akan nyata nanti !


Berbagai fikiran berkecamuk saat memegang selembar kertas seberat 70 gram saat masih berukuran satu meter persegi itu. Memejamkan matanya sejenak, lalu melihat lagi ke susunan kalimat yang tertera seperti puisi gila. 'Ah.. kenapa aku baru sadar ?' Gumamnya sendiri saat melihat adanya perbedaan pada beberapa huruf pada tulisan itu. Ada beberapa huruf yang sekilas sama, tapi kalau dilihat dengan seksama, ada beda gradasi warna.

'Mau main-main sama saya, eh ?' tersenyum sendiri dia. Mengambil pensil, lalu menulis ulang huruf-huruf yang sengaja diberi warna biru tua, di bawah deretan kalimat aslinya.
Lalu Teruskan 3 zaman, Kau akan Nyata Nanti ! LT 3 KNN. ? Hmm, Sesimpel itu ternyata

'Lantai tiga sebelah kanan ?' fikirnya bingung. Lantai tiga cuma satu tingkat di bawahnya, dan sisi kanan itu, kalau dari depan adalah ruang data perusahaan. Restricted area. Hanya beberapa orang yang dibolehkan masuk ke ruangan itu, tentu tidak termasuk dirinya. Rasa penasaran yang tak terbendung membuatnya meninggalkan mejanya, sambil tetap memegang kertas berisi tulisan aneh itu. Berjalan cepat, menuju lift. Sesampainya di dalam langsung menekan angka 3, pasti. keluar dari lift, matanya menoleh ke kanan. 'Ah tentu saja, bodoh' rutuknya lagi-lagi. Kalau dari depan, memang sebelah kanan adalah ruang data. Tadi fikirannya sempat ge er, kalau-kalau saja pelaku iseng itu adalah salah satu dari tiga lelaki penguasa ruangan itu. Sebelah kanan, kalau dari tempatnya berpijak sekarang, adalah lorong yang berujung pada jendela yang mengarah ke jalanan. Raut bingung wajahnya, memaksakan mata indahnya membaca ulang petunjuk yang semakin terdengar aneh. Lima menit dirasa cukup, saat dia memaksakan memandang sisi luar gedung kantornya dari jendela di ujung lorong itu.

Lalu memutuskan untuk naik lagi satu lantai, dengan perasaan sedikit kalah. Beberapa jam kemudian, waktu berusaha dibunuhnya dengan membereskan rangkaian urusan HRD yang untungnya belum begitu menumpuk. Walau bayangan tulisan di atas kertas itu masih menarinari di depan matanya. .......... Saat siang, saatnya istirahat. Memutuskan untuk memesan fast food, delivery service. Menutup file-file pekerjaannya. Membuka aplikasi rubah berekor api. Homepagenya dari kmaren-kmaren ya mesin pencari Google. Idolanya. Yang bisa mencari apa yang dia mau. 'aha, knapa tak terfikir kesitu ?' sedikit ragu, mengetik tiga huruf KNN ke form search. Hasil yang ditemukannya ternyata sedikit mengejutkan. Di urutan kedua pencarian ternyata mengarah ke fungsi algoritma. K-Nearest Neighbor.

Klik, dan yang dapat ditangkapnya adalah tentang sebuah metode untuk melakukan klasifikasi terhadap objek berdasarkan data yang jaraknya paling dekat dengan objek tersebut. Dia seperti tersengat, tersentak. Kembali rasa penasarannya meluap. Turun lagi satu lantai, menekan angka 3 di lift lagi dengan tak sabar. Fikirannya memutar balik, mengingat-ingat tentang metode yang digunakannya pada penelitiannya beberapa tahun yang lalu. Sedikit aneh memang, ah banyak anehnya fikirnya. Hanya beberapa orang yang tahu persis metode yang digunakannya itu. Dan dia sedikit lbih baik bisa menyimpulkan maksud petunjuk itu. Keluar dari lift, matanya seakan liar menyusuri sekelilingnya. Saat matanya tertuju pada sisi kiri, barulah dia menyadari sesuatu. Ada satu pintu yang menyerupai, walau tidak persis, tulisan di kertas itu. sebuah pintu berwarna putih dengan tulisan berwarna biru. Yang pernah dia protes suatu ketika, karena kombinasi warnanya yang aneh katanya.

Pintu itu menuju bagian luar yang merupakan tempat parkir di lantai 3. 'Cerdas sekali' fikirnya sebal. Tak menunggu lama, kakinya melangkah tergesa menuju pintu yang tak terkunci itu. Parkiran yang tidak begitu penuh, menyambutnya. Saat matanya mencari-cari. Tiba-tiba saja dari sudut gelap di sisi kanan parkiran itu, menderu sebuah motor, bergerak lurus tepat ke arahnya. Tak bisa berucap, hanya menjerit tertahan sambil refleks menutup matanya. Suara decit ban itu terhenti. Perlahan matanya membuka, dan sebuah motor hitam, berhenti hanya berjarak lima senti dari tubuhnya. Pengemudinya menatap ke arahnya, sepertinya begitu. Wajahnya tertutup seluruhnya oleh Arai fullface.

"Naik.. !" Tiba-tiba saja, suara bariton yang sedikit sengau itu, memerintahnya.

Sendirian saja, nona ?


penulis: warm, 15 Januari 2010 07:22:41 37 Komentar Nggemesin +10

"Naik.. !" Tiba-tiba saja, suara bariton yang sedikit sengau itu, memerintahnya.
Entah kenapa, seperti terbius saja, seperti dihipnotis, tubuhnya sudah berada di atas jok belakang macan 200cc itu. 'Untung hari ini pake kulot' sempat-sempatnya dia berfikir demikian. Dan baru berapa detik duduknya terasa di jok belakang, motor meraung, memaksanya spontan memeluk pengemudi yang entah siapa itu. Motor itu sengaja dibikin tak punya pegangan rupanya. 'Bodoh sekali. bodoh !' Rutuknya pada diri sendiri. Siang hari, terpaksa ikut dengan seseorang, naik motor, entah kemana ? 'Bodoh !!' Rutuknya skali lagi..

Menuruni lantai demi lantai, tanpa mengurangi kecepatannya. Entah bagaimana, bisa-bisanya menerobos pos penjagaan depan, berbarengan dengan sebuah sedan silver yang masuk. Belum sempat portal tertutup, motor menghambur dan berbaur dengan arus lalu lintas siang itu. Pengendara kurang ajar ini, terus saja meliuk-liuk, mencari setiap celah untuk diterobos. Anehnya keberuntungan seperti berada di pihaknya, usahanya seperti direstui Tuhan. Rambut sebahunya entah bagaimana sekarang, habis digempur angin sepanjang jalan. Lima menit berselang, lampur merah di perempatan. Dia sedikit menarik nafas lega, terfikir untuk turun dan lari di padatnya jalan di perempatan. Tapi, lagi-lagi nafasnya harus ditahan, seperti tak peduli dengan maut, lampu merah itu diterobosnya saja. Suara peluit polantas yang jelas terlihat kesal, dianggapnya angin lalu saja. 'Punya nyawa berapa sih ini orang?' Gerutunya panik. Matanya terus dipejamkan, pasrah saja sudah dengan sang pembawanya.

Mungkin sudah dua puluh menit berlalu, saat tiba-tiba terasa kecepatan motor menurun, dan lalu berhenti. "Turun.." Suara yang sama yang menyuruhnya naik saat di area parkir itu, sedikit membentak. Pelan-pelan membuka matanya, lalu turun. Baru saja kakinya menginjak tanah, motor yang membawanya langsung tancap gas, tanpa ada kata-kata lanjutan. "Hei.. !!" Teriakannya ditelan raungan knalpot yang perlahan menjauh. 'Apalagi sih ini.. ?' Pertanyaan itu lagi, terucap di benaknya lagi. Mencoba melihat sekeliling. Mengingat-ingat tempat dia berpijak. Tapi sia-sia saja. Tak ada petunjuk yang bisa dijadikannya patokan. Dua tahun di kota ini, ternyata belum mampu menjadikannya hafal setiap seluk beluk kota kecil ini. Apalagi ini ternyata adalah komplek perumahan yang belum jadi. Tampaknya kolaps karena krisis moneter beberapa tahun lewat,

dan sepertinya developernya tak ada keinginan untuk meneruskan pembangunan. Keteledorannya yang tidak sempat membawa telepon genggam yang tergeletak di meja kerjanya, menambah daftar kekesalannya. Tak bisa ngapa-ngapain. Tak ada jalan lain, dia berjalan saja menuju mulut komplek itu. Kira-kira seratus meter, tak terasa. Baru saja keluar dari pintu gerbang, hening sekitar dikejutkan oleh sebuah minivan hitam, yang tiba-tiba saja datang dari sebelah kanan jalan, Dia mundur sedikit, tapi minivan itu malah menepi, tepat di depannya. Pengemudinya, seorang pemuda tanggung. Memandangnya dengan tatapan aneh. "Mau kemana, bu " 'Huh, ibu ? Aku belum tua, tau' batinnya sebal. Tapi yang terucap, bukan itu.

"Saya boleh numpang sampai jalan raya ?" Sambil berusaha tersenyum. Pengemudi itu cuma mengangguk. Lalu membukakan pintu samping. Minivan berjalan terguncang-guncang, jalanan berkerikil tak beraspal itu penyebabnya. Pengemudi itu juga diam, sama-sama diam. Hanya gemeretak ban yang beradu dengan jalanan penghias siang yang panas itu. Sesampainya di ujung jalan, nafasnya tertarik lega. "Disini aja deh, bang.." Bukannya berhenti atau mengiyakan pintanya. Mobil itu malah berbelok ke kanan, dan melaju kencang. Dia kembali memasang muka bingung. Panik Tapi kemudian, lima ratus di depan, minivan hitam berhenti. Benar-benar berhenti di depan sebuah perhentian bis yang sudah usang. "Disini lebih aman, bu. Nanti naik bis biru yang ke arah kota" seakan tahu apa yang ada dibenaknya, seraya mempersilahkannyan turun.

"Terimakasih, saya.." Belum sempat kata-katanya habis, pengemudi itu menganggukan kepalanya, lalu memutar balik, dan melaju lagi.

Dia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. 'Naik motor entah dengan siapa, lalu turun entah dimana, dan lalu naik mobil sebentar hanya untuk diturunkan di tempat yang tidak ada ramainya sama sekali ?' Merapikan rambutnya seadanya. Lalu duduk di kursi panjang yang catnya sudah pudar. Lama tak terpakai rupanya. Ada beberapa bagian yang sudah berkarat. Penuh coretan spidol dan pilox bermacam rupa. Matanya lalu berusaha menatap ke jalan, berharap bis biru yang dikatakan pengemudi minivan itu, cepat datang. Tapi yang terlihat malah matahari sudah sedikit menggelincir ke arah barat. Sialnya awanpun kompak bergerombol dan berubah warna menjadi gelap. Belum sempat fikirannya memilah-milah arti perjalanan anehnya hari ini terjawab. Matanya terantuk pada semprotan pilox yang masih tampak belum lama. Hanya membentuk dua garis yang saling menyilang. Sebuah huruf X. Cepat otaknya teringat akan pesan pertama. Sebuah pesan yang diakhiri dengan huruf yang sama.

Belum habis otaknya mencerna hubungan semuanya entah bagaimana, tiba-tiba sebuah telapak tangan, memegang bahunya dari belakang. "Sendirian saja, nona ?" sebuah kalimat singkat menyapanya datar. Nafasnya seakan terhenti. ........

(sebalnya, terpaksa disambung lagi dan lagi..)

cerita Entah

Waktu Yang Kau Tak Tahu


penulis: warm, 23 November 2009 16:49:50 65 Komentar Nggemesin +3

Menunggu itu membosankan, katamu. Kataku, nggak. Nggak salah. Perhentian busway Harmoni ini, yang rasanya kian hari kian padat. Mengingatkanku pada waktu yang terus saja berlalu, menguap dan hilang. Rasanya baru beberapa detik yang lalu, kereta malam meninggalkan stasiun Tugu, dan akhirnya menurunkan aku dan siapa saja yang mau turun di Gambir. Mau kemana mereka ya ? Entahlah.. Lalu rasanya, juga baru beberapa detik yang lewat, bis yang membawaku lelap, melintasi jarak antara Gilimanuk dan Ketapang. Sebelum memutuskan berlanjut ke Jogja.

Dan rasanya juga, masih beberapa menit yang lalu. Saat memutuskan meninggalkan hiruk pikuk kota yang tak pernah berhenti sibuk ini. Lalu tiba-tiba kembali lagi ke titik start ini. Bagai memutar saja, pindah antar gang, seperti itulah. Apa yang kucari dari ratusan kilometer yang tertapaki. Ribuan, mungkin. Toh, sebenarnya simpel. Tinggal menekan shortcut menuju nomormu. Lalu call atau sekedar send sms. Hanya untuk sekedar membalas pesan singkat kau, dua minggu yang lalu : 'Kau kemana ?' Dan satu pesan singkat berikutnya : 'Kau dimana ?' Kenapa tak jua, terjawab, juga dua kali panggilan tak terjawab itu ? TransJakarta berwarna oranye itu akhirnya menyadarkanku. Puluhan pasang kaki yang saling menyusur antrian tak sabar.

Malas-malasan, akhirnya memutuskan ikut juga dalam rentetan manusia yang seakan sudah kehabisan stok senyum. Telepon genggam ini, masih kugenggam. Ibu jariku masih tertahan ragu menekan send. Ada satu sms yang menunggu untuk terkirim. Menggantung. 'Aku dekat denganmu, kearahmu' Ok. Ibu jari yang sama bergerak. Bersamaan dengan itu, layar satu inchi itu menghitam. Low batt....

Wanita Ke Empat
penulis: warm, 19 November 2009 09:02:24 29 Komentar Nggemesin +5

Senin sore, tiga hari yang lalu. Berjalan berdua dengannya. Rin. Gadis pendiam yang cenderung posesif. Sepanjang jalan, bersisian, berpegangan tangan lekat. Seperti takut terlepas sedikit maka terlepaskan semuanya. Padahal cuma berkeliling kota, 'menikmati jalan yang basah' katanya. Rin yang cerdas. Selalu menjaga jarak denganku. *** Selasa siang, dua hari yang lalu. Dengan sedan silvernya, mengantarkan si jelita Nie, ke pantai. 'Kangen sama air asin' katanya iseng. Nie yang cantik, lincah, rambutnya selalu tergerai. Anggun, manja dan seperti kata klasik : mempesona siapa saja.

Nie pintar sekali membesarkan hati, mengajak memandang dunianya yang selalu terasa indah. 'Dunia ini hanya boleh milik kita' begitu rayunya, tiap kali erat rebah didada. *** Dan, kemarin bersama Nja, 'panggil saja aku begitu' paksanya. Walau tau aku susah mengeja nama panggilan anehnya itu. Nja yang liar, slalu bersemangat. tapi juga tajam penuh sikap dan keras kepala. yang kadang suka memaksaku untuk menemaninya seharian di kamarnya. segala surga dunia ada padanya, Nja tau caranya memuaskan lelaki. selalu ada trik yang membuat ku berfikir sebagai lelaki terhebat didunia. Tak ada yang pernah ditutup-tutupinya. Nja sangat terbuka, dalam sgala-galanya. Motorku tak pernah letih menjadi saksi perjalananku dengan Nja yang selalu erat memeluk dari belakang. ***

Hari ini, entah bagaimana ketiganya tiba bersamaan didepanku. masing-masing dengan kemauannya. dengan keinginannya, dan tak ada yang mau mengalah. Bergantian mereka memaksaku. Tak ada yang mau mengalah, tumben ketiganya jadi keras kepala. Jadi Nja smua.. Aku tak bisa memilih, sungguh. Godaan Nja, tatapan Rin, dan ajakan Nie. Aku terlanjur mencintai mereka, ketiganya. Walau perlu waktu untuk mendamaikan mereka bertiga. Membiarkan mereka lelah sendiri. Hingga nanti satu persatu menghilang. Dan, saat itulah yang kutunggu. Saat mereka menyatu, menyublim menjadi satu sosok yang paling kucintai.. Rinjani..

Terimakasih, hujan ..
penulis: warm, 29 Oktober 2009 07:21:01 18 Komentar Menggoda +7

When I look into your eyes I can see a love restrained But darlin' when I hold you Don't you know I feel the same.. - GnRSore itu, hujan lagi rajin mengguyur bumi. Deras, basah, dingin. Dan sore itu pula, entah berapa lama sudah. Berbagai cerita, dari tentang buku, lagu, perjalanan, pekerjaan, orang-orang di komplekmu dan hal-hal sepele, yang terus saja mengarus deras. Cuma kita berdua yang ada, masih di waktu yang sore itu. Benar-benar berdua, dan jarak tubuh kita pun, entah bagaimana jalan ceritanya, terus saja semakin mendekat, semakin merapat. Sampai-sampai rasanya kita bisa bertukar nafas.

Dan, entah karena ada orang ketiga berwujud setan. Ataukah karena dingin yang bukannya usai, malah menderas sama sekali. Sampai pada titik itu. Saat refleks wajahmu menoleh ke arahku, dan bisa-bisanya pipi lembutmu, tepat beradu dengan bibirku, yang langsung terhenti Waktu seakan menggantung. Hunjaman milyaran titik air hujan seakan membeku. Tak ada lagi cerita, hilang sudah canda, Dingin sudah serasa menghilang, berganti hangat, yang terus menaikkan derajatnya. Dua aliran nafas kita seakan beradu... Hingga akhirnya, gelegar petir itu, menyentakkan kita, menyentak aku, mengejutkan kamu. Pelukan pun terurai lagi. Kau tertunduk, serba salah. Diam, sambil merapikan smua yang tadi terserak.

Mungkin aku juga naif, mungkin juga munafik. Siapa yang bisa menolak semua keindahan yang barusan tertawarkan darimu ? Tapi, belum saatnya, sayang. Belum...

*walau jujur, hati iblis ini terus saja menginginkan lebih....

Aktifitas Akhir Pekan Lelaki Mapan


25 Oktober 2009 11:01:48

Pagi-pagi yang dimana embun di jalanan sudah mulai menguap, berjalan pelan di halaman dengan telanjang kaki di atas daun yang terhampar segar sambil menyipitkan mata, menuju dekat pintu pagar depan, menjumput bundelan koran langganan yang tergeletak di samping botol susu segar, bukan cuma satu, ada empat harian pagi yang berbeda di ikatan sederhana itu. Membaca-baca sekilas lembaran-lembaran salah satu koran, sementara sisanya dikempit diketiak kanan, berjalan santai menuju terasa belakang lewat selasar samping. Sesekali tangannya iseng mengusap koleksi adenium dan anggrek yang tersusun rapi berselang-seling di atas kolam yang lumayan luas untuk menjamin hidup puluhan koi yang terlihat lincah dengan warna khas putih merahnya. Sampai di teras belakang, langsung saja duduk, lalu menjuntaikan kaki di sisi kolam renang yang baru saja direnovasi minggu kemaren. Mengcipakkkan kaki sambil terus sok serius mencermati halaman tiga koran favoritnya yang tidak lepas dari tangannya.

Cukup lima menit menyegarkan kaki di kolam itu. Beranjak menuju ruang belakang rumah bernuansa biru itu. Naik ke lantai dua, sekilas menyalakan pc disudut kiri, led indikator di lcd 32 inch itu berkedap kedip, dan memori entah berapa giga itu tidak memerlukan waktu yang lama untuk loading. Bagusnya sekarang pc itu otomatis terkoneksi dengan jalur internet pribadi, hingga bila komputer hidup, otomatis jaringan internet tercepat yang pernah dipasangnya pun langsung terhubung. Tapi tidak juga langsung duduk di sofa kulit, pengganti kursi komputer yang sudah pasrah di gudang samping. Sejenak setelah meletakkan koran yang sudah habis tiga-nya dibaca, membuka kulkas di sudut kanan belakang, tepat disamping home theater. Mengambil jus jeruk, menenggaknya sekilas sebelum kembali duduk di depan komputernya. Membuka google, lalu membuka tab baru. Membuka account facebook, login. Lalu membuka tab baru lagi. Mengetik pelan huruf, n, g, e, r, u, m, p, i, titik, c, o, m .. login lagi. Lalu bangkit lagi, mengambil remote, beberapa detik kemudian, alunan piano klasik memenuhi ruang yang perlahan mulai terasa sejuk dengan aliran udara yang sudah difilter itu.

Kembali lagi ke depan pc nya. Membuka tab ketiga, lalu mouse yang berkedap kedip diarahkan ke sudut kanan atas bertuliskan newsroom, lalu mengklik judul tulis artikel. Tak lama waktu yang diperlukannya untuk mengetik judul awal tulisan yang muncul sekilas sehabis menghirup udara pagi tadi ; Aktifitas Akhir Pekan Lelaki Mapan ..

*asli itu tulisan hasil ilusi pagi-pagi yang cerah ini :D

Love Traversing
penulis: warm, 02 November 2009 07:06:39 38 Komentar Megang banget +2

Warming up baru saja usai. Kedua tangannya sekarang diputar-putarkannya tak beraturan, sekedar melemaskan saja. Perlahan memasang harnes, bukan full body harnest, tapi harnes sederhana dari webbing. Pita berbahan nilon yang sekarang dibelitkan dari pinggang, dan melilit erat kedua pahanya. Memasang karabiner, menyiapkan figure eight, lalu memasang kernmantel. Dan sepatu karet khusus panjat kesayangannya, pasti. Matanya menatap ke atas, pada pegangan-pegangan dari resin, yang tersebar dari dasar dinding panjang sampai ke overhang dan berakhir di ujung roof. Terakhir, memasang kantung kecil berisi magnesium karbonat yang terisi setengah di chalk bag yang terikat pada tali prusik.

Sore itu terasa hangat. Tapi keringat sudah terlihat di dahinya. Membuat beberapa helai rambutnya menempel disitu. Kaos hitam ketat, celana pendek jins. Gadis itu memberi isyarat pada belayer yang sudah bersiap. Kernmantel mengencang. Tubuh indah itu, perlahan, merayapi poin demi poin. Sampai akhirnya bergelantungan di overhang, yang entah sudah berapa kali dilewatinya pada latihan-latihan sebelumnya. tapi sore ini, sedikit poin yang tertancap disitu, membuat tenaganya terkuras habis, sampai akhirnya dia berteriak keras " Pull.. !!". Belayer menariknya, dan menurunkannya pelan. Ada sorot kecewa di matanya, sambil kembali menatap ke atas, sambil menyipitkan matanya. Silau matahari di ufuk barat penyebabnya. Menata nafas, mengatur tenaga dan memantapkan strategi, hingga bisa mencapai puncak. Adalah gairah tersendiri baginya. Sambil melemaskan lehernya. Parasnya mulai menimbang-nimbang, kemungkinan untuk melanjutkan latihannya.

Mungkin ada benarnya, kata temannya. Panjat dinding yang ditekuninya, mungkin sekedar pelarian, dan rasa penasaran. Pada lelaki yang demikian mudah memutuskannya, menganggapnya lemah pada pertengkaran pertama sekaligus terakhir. Amarah yang selalu muncul tiap kali mengingat lelaki kurang ajar itu. Semakin menambah adrenalinnya tiap kali berhadapan dengan dinding ataupun tebing. Tangannya mengepal. Dan mengacungkan jempol lagi, pada belayer yang skarang berganti. Langit sudah memerah. Tapi pertarungan menuju puncak harus diakhiri. Now or never ...

Pulang
penulis: warm, 26 Oktober 2009 07:14:39 13 Komentar Nggemesin +3

Siang itu udara agak mendung. Angin pun seperti malas menghembuskan semilirnya. Jalanan juga cukup lengang. Ya, itu cuma jalan kecil di sudut kota yang kecil pula, mungkin tak ada titiknya di peta. Tapi di jalan yang kecil itu pula, sebuah mobil, melintas pelan. Pengemudinya seorang lelaki, yang tampaknya sudah tidak bisa dibilang muda lagi, tapi juga belum masuk kategori tua. Sambil bersiul-siul tak jelas, mengarahkan mobilnya ke depan sebuah rumah sederhana. Rumah yang cuma berjarak sekitar dua ratus meter dari perempatan terakhir yang dilewatinya. Suara berderak pelan, hasil gesekan roda dan batu-batu yang berserakan menghalangi jalan masuk menuju beranda rumah, dan berhenti tepat di bawah pohon ketapang. Menapaki tiga undakan, duduk di salah satu dari sepasang kursi kayu coklat, melepas sepatu dan kaos. Baru lalu berdiri dan mengetuk pintu yang juga bernuansa coklat itu. Pada ketukan ketiga, barulah pintu itu terkuak, pelan.

Ada seraut wajah wanita, tidak begitu cantik, mungkin, tapi segar. Dan, oh, senyumnya yang terkembang itu, menyambut sang lelaki. Yang juga spontan membalas senyumnya, jadi semacam berbalas senyum ? Wanita itu menjemput tangan lelaki itu, menciumnya pelan. "Tumben siang-siang, gak ada kerjaan ?", kakinya melangkah ke arah ruang tengah, mematikan televisi yang masih bertutur tentang gosip-gosip basi. Tidak ada jawaban, cuma, lagi-lagi senyum, sebelum menghenyakkan badannya di sofa yang posisinya tepat di depan televisi. Tiba-tiba saja ada sepasang manusia di atasnya. "Aku lagi masak enak, nih. Tau saja kalau ada makanan, eh, mau makan ? Sekarang ?" Lagi-lagi tak ada jawaban, lelaki itu sekilas membelai anak rambut di dahi wanita itu, mengangkat dagunya perlahan, dan mengecup bibirnya pelan, dan rasanya selembut mungkin. Siang yang mendung itu, tak akan pernah tahu apa-apa kejadian yang ada di sepanjang waktu itu. Siang cuma sebagai saksi. Tiga menit lebih berlalu, sebelum pelukan mereka melonggar. Dan diam yang kembali meraja.

Tapi tak perlu waktu lama, sebelum episode sebelumnya berulang. Lalu berlanjut dengan rintihan dan erangan tertahan, yang bukan lagi di sofa itu lagi, tapi di ruangan di belakangnya. Tiga puluh menit kemudian, mendung tiba-tiba saja hilang, matahari seakan balas dendam, membakar udara siang itu. Sepasang wajah yang memerah itu, masih saja diam. Menatap langit-langit kamar. Aroma citrus sudah samar, tercampur dengan bauran tipis keringat, paduan yang eksotik. Tidak memakan waktu lama, sebelum kening itu dikecupnya, mengacak pelan rambut yang tergerai itu. Lalu beranjak keluar kamar. "Mau kemana ?", pertanyaan singkat itu dilontarkannya sambil memegangi ujung selimut, meremasnya. "Pulang...". Singkat juga jawaban yang diberikannya.

Fikiran lelaki yang datar itu, tiba-tiba saja terarah pada dua jagoan dan istri cantiknya, yang mungkkin menunggu dengan senyum dan kedua tangan yang terkembang, di depan rumahnya, seperti biasa saat dia pulang ....

Shout !
penulis: warm, 20 November 2009 09:49:14 15 Komentar Megang banget +1

Pagi yang yang teramat pagi. Dingin yang terasa teramat dingin. Lelaki itu, melepaskan diri dari sleeping bagnya, masih bertelanjang kaki, membuka bagian depan tenda doom. Menghirup udara pesisir pantai. Duduk di atas hamparan pasir pantai, menatap arah sunrise, memandang bintang timur di langit yang bersih. Masih ada sisa bara, yang tadi malam masih berupa api yang menari-nari. 'Perempuan yang hebat' gumamnya. Mampu membuatnya 'terlontar' sampai di sudut dunia ini. Hey, kenapa malah memikirkannya ? Bukankah jauh dari keriuhan disini, adalah untuk bisa terlepas dari semuanya. Jauh disini, jangankan koneksi internet. Sinyal telepon genggam saja jangan harapkan ada.

Angkutan umum terakhir pun, cuma bisa sampai tiga jam jalan kaki dari situ. Waktu berhenti berputar rasanya di titik itu. 'Kenapa, terlampau sulit mengerti dirimu' Pikirnya, sambil menghirup nafas dalam. Matahari perlahan naik. Dan masih saja dia diam disitu, memejamkan mata. mendengarkan nafasnya sendiri, yang lalu berbaur dengan angin dan 'ah, kenapa seakan kau yang berbisik ?' Perlahan, aroma laut menjadi samar dengan wangi tubuh yang dia hapal. Tak tahan lagi, membuka mata lalu berdiri. Menatap lurus ke arah cakrawala. Berteriak lepas ....... 'Wish you here, now..'

Aku Pasti Datang


16 Desember 2009 13:55:43

....But when the love is gone you're left with nothing but talk -mr.bigHari begitu gerah, langit mendung menjelang hujan. Dan, lalu ada sebelas digit angka tertera di layar telpon genggamku, sesaat berbarengan dengan alunan symphony no.41 menyalak. 'Hey..' Satu suku kata, tanpa arti, tiba-tiba saja seakan menembus dinding gendang telingaku, perlahan menelusup, seakan gulungan aroma mint menghambur ke rongga hidung, dingin tapi juga hangat. 'Hey, juga' Entah bagaimana, spontan saja tercipta segurat senyum. 'Kau kemana saja ? Aku kangen..' Lugas dan to the point, ciri khasmu. Langsung ke titik persoalan tanpa pernah mau mengerti bagaimana persiapan lawan bicaramu.

'Aku ada aja kok' Cuma kalimat pendek tanpa arah yang jelas itu saja yang mampu terucapkan sebagai balasan. 'Sibuknya lagi padat, ya ? Aku juga kirim email kmaren, dan gak dibalas juga, susah menghubungimu, ah..' Ada nada kesal disana, terdengar bias. 'Begitulah, ah email ? Kmaren aku ngecek inbox ga ada apa-apa dan iya beneran ga ada pesan masuk' Dan memang demikian halnya kenyataannya. 'Lalu, sms ku kmaren, gmana kabarnya ?' serangan pertanyaanmu, seperti biasa, malam semakin buas kalo tidak ada jawaban yang memuaskan. Aku mendiamkan saja, tak berusaha menjawab pertanyaan terakhirmu. 'Gini aja deh, ntar malam, ke rumah ya ?' Nada riang suaramu terdengar lagi, dan ada aroma harap di situ. 'Malam ini ? Ok, jam 8 ya aku kesana' Spontan saja aku menjawab undanganmu.

Siapa yang bisa menolak tawa riang, gaya manja, wangi tubuh, daya tarik tubuh dan segala pesona yang melekat pada dirimu. Kau adalah anugerah dunia. Ya, malam ini aku pasti datang. Pasti.. Karena aku tahu pasti, suamimu yang juga rekan kantorku, sedang tugas keluar kota, tadi siang, sampai minggu depan....

Genggam Tanganku
penulis: warm, 03 Maret 2010 10:11:39 16 Komentar Megang banget +5

Mendung baru saja akan mulai menenggelamkan cerahnya hari. Hujan juga sudah bersiap-siap menggantikan peran gelapnya awan. Tapi dua tangan itu masih saling melakat erat, saling menggenggam, lekat. Sudah tigapuluh satu menit cuma diisi oleh hening. Dan baru beberapa detik lalu terpecah oleh suara lirih si wanita. "Kamu, kan sudah janji. terus setia menemaniku ?" "Kau tau sendiri, akan janji yang sudah terlontar dari mulutku, adakah pernah kau lihat aku berpaling dari semua ucapanku ? " Lelaki itu membalas tanya dengan tanya, dan tersenyum. "Tapi, sekarang. Kenapa kau bilang akan pergi ?" Wanita itu makin mengeratkan genggamannya. "Kau tahu, kau adalah nafas bagi hidupku. Aliran darah buat jantungku. Alasan untuk menapaki setiap jalan yang terbentang. Semangat untuk merasakan hangat mentari pagi. Dan kekuatan untuk menjalani hari-hari.

Kau adalah sebagian dari ruh yang ditiupkan-Nya bagiku. Aku tak kan ada kalau kau tiada.." "Tapi.." sebuah sentuhan lembut, menutup bibir wanitanya, yang sekarang mulai basah oleh bening yang perlahan jatuh dari kedua mata indahnya. "Aku pergi sementara saja, nanti juga kita akan bertemu kembali. Kau pasti kutunggu disana.. Jangan menangis, lagi ya ?" Dan, mata lelaki itu pun menutup, pelan.. senyum terulas di wajahnya. dan semua detak pun terhenti. Hujan pun, semakin deras. Menyamarkan tangis yang tertahan, pegangan kedua tangan itu pun, belum jua terlepas. Tak ingin lepas...

Superwoman
penulis: warm, 31 Oktober 2009 18:15:27 11 Komentar Nggemesin +5

Ah, sudah pagi lagi. Pagi yang segar tentunya, saatnya menyegarkan diri, seorang perempuan muda sedang menikmati hangatnya shower di kamar mandi yang lega. Wangi potpourri di tiga sudut, tampaknya membuat lupa diri untuk terus berlama-lama memainkan aliran air yang lembut. Lekuk tubuhnya yang sempurna tampak samar dari balik pintu yang seperti sengaja dibuat dari kaca yang juga tampaksamar. Semuanya basah, wangi, menghapus semua sisa malam yang hangat. Tak lama, pintu kamar mandi terbuka, segaris senyum dari seorang lelaki muda, muncul begitu saja. Dia pun membalasnya, menggoda. Dan pagi pun tak lagi dingin. Berganti perpaduan dua hasrat yang saling menyatu di dalam ruang yang semakin basah itu. Dua puluh menit kemudian. Mengecup pelan pipi lelakinya, menengok swatch merah mungilnya. Lalu merapikan blazer dan scarf coklat muda. Melangkah pelan menuju garasi.

"Telat 3 menit"' rutuknya, sambil senyum dan sedikit menggigit bibir yang terpulas merah tipis. Entah apa yang masih ada dibenaknya. Sedan oranye itu melesat. ..... Siang yang ramai. Sudut kantin Psikologi kampus B. Semua seakan sibuk dengan topiknya masing-masing. Bergerombol, berkelompokkelompok. Tapi di meja paling kanan. Yang memang hanya cukup untuk dua orang, karena juga cuma dilengkapi dua kursi, yang warna warni, kerjaan iseng anak-anak industri. Seorang anak muda, lelaki, kemeja kotak-kotak, setengah kancingnya terbuka, kaos putih, jins. Sesekali menikmati jeruk hangatnya. Tepat duduk berhadapan dengan perempuan, yang tentu saja juga muda, rambut yang bergelombang, rok mini, tank top dengan rompi tipis, cantik, sungguh ..kadang tergelak pelan dengan tangan kanan yang sesekali mengaduk alpukatnya. Tak henti mengoceh tentang psikologi abnormal, psikologi faal sampai urusan kognitif. Apa menariknya coba ? aha, tapi lihat itu, kedua tangan kiri mereka saling berpegangan, saling belai. Dan, kadang saling tatap. Sampai keduanya berdiri, berjalan berdua keluar kantin, -tentu setelah membayar, kan- sambil tak lepas berpegang tangan.

Menuju parkiran di samping fakultas, depan perpustakaan. Motor 200 cc itu pun melaju, meninggalkan debu di aspal yang ditapakinya, dan pelukan sang penumpang dibelakang sang pengendara itu, erat. .... Sore yang hangat. Sudut kota yang nyaman, sejuk oleh pepohonan, ya kembali sudut yang menarik. Di lapangan itu, seorang ibu muda, segar dalam balutan hijau muda, sepertinya usianya baru di awal tigapuluhan, tertawa-tawa kecil, mengejar anak perempuannya, yang seperti tak kehabisan daya, untuk berlari-lari. Sementara, seorang lelaki, suaminya sesekali ikut bergulingan di rerumputan hijau yang terpelihara itu. Mungkin bosan, anak kecil dengan rambut buntut kuda itu, merajuk manja minta digendong bapaknya. Kembali tertawa lepas, diatas bahu lelaki itu, dengan kedua tangan mungil erat di kepalanya. Sang ibu iseng, berpegangan pada kedua bahu lelakinya, bermain keretakeretaan tampaknya. Saat matahari mulai mengakhiri episodenya, menyisakan pendar merah di garis barat bumi. Baru mereka beranjak menuju sisi lapangan. Menuju sepeda tandem. Bergerak.. .....

Seharusnya malam itu senyap. Kerlap-kerlip lampu, temaram suasana, kontras dengan suara yang berdentam kencang, mementahkan gambaran itu. Mungkin ada ratusan orang, berkeringat di tengah sana, meliuk, menghentak, kadang tak sesuai beat. Tapi tak mengapa, semua seperti menikmatinya. Hanya wanita itu saja mungkin, yang tak terbawa suasana. Tetap duduk tak perduli, di meja kecil bundar, lagi-lagi disudut. Tak merasa terganggu, oleh bermacam aroma yang tercampur sesak. Hanya sesekali meneguk pelan Chardonnay, yang entah sudah berapa banyak membakar pelan tenggorokannya. Wajah indahnya mengkilat. Sampainya seorang pria tampan, menggamitnya, mengajak keluar dari sgala keriuhan itu. Memeluk erat pinggang rampingnya, dan berbalas erat pula. .... Tepat tengah malam. Saat bulan tak hadir. Di jalan yang sudah lengang, terpecahkan oleh suara taksi yang berhenti. Seorang wanita muda turun di depan rumah kedua dari pertigaan. Dan seperti menunggu sesuatu, diam di depan pagar.

Sebuah sedan, tak lama berhenti di depan wanita muda itu. Lalu tersenyum pelan, gelombang rambut wanita dengan scarf coklat mudanya pias disapu angin yang tiba-tiba datang. Dan, beberapa detik setelah itu, sebuah motor 200 cc, yang terasa aneh dengan seorang anak muda, perempuan dengan mini skirt. Pun menghentikan derum motornya di depan pagar rumah itu. Tidak berapa lama, pagar besi itu berderit pelan. Seorang ibu muda, yang sore tadi ceria dengan keluarga kecilnya, mendatangi ketiga wanita yang seakan sudah menunggunya di luar sedari tadi. Lalu entah bagaimana, Empat sosok berbeda itu, perlahan mendekat. Memendar, tiga sosok susut perlahan, dan seakan tersedot ke satu titik Lalu menyatu... Ke tubuh ibu muda yang baru saja membuka pintu pagar itu. Wanita itu sejenak berbalik arah. Kembali menapaki jalan kecil berbatu padas yang tersusun rapi. Untuk melelapkan harinya bersama keluarga kecilnya.

Ya, hanya pada pagi hari sampai menjelang malam, dia bias menikmati ke empat peran yang berbeda. sebagai perempuan karir dengan adrenalin tinggi, sebagai mahasiswi aktif, juga wanita muda penikmat dunia malam, sekaligus seorang ibu muda dengan satu anak perempuan yang cerdas. Dan, semuanya harus berakhir, seperti tengah malam sebelumnya. Dia masih tak mau semua berakhir. Dia masih teramat mencintai keempat bagian kehidupannya.

Dan kemampuannya untuk berada di empat pada waktu yang bersamaan, melengkapi kemampuan untuk mencintai ke empat lelaki yang juga sama dicintainya, di waktu yang sama, tempat yang berbeda.

Malam Siapa
penulis: warm, 23 Maret 2010 13:24:57 16 Komentar Nggemesin +5

malam sudah beranjak melampaui batas tengahnya, dinihari tepatnya sudah. sepasang manusia itu masih saja berpelukan erat, menyusuri jalanan yang mulai lengang. lelaki dengan jins dan kaos, si wanita dengan jins dan kaos juga.. sesekali tangannya mengusap rambut sebahu wanita itu, hingga acak-acakan, dan anehnya dibiarkan saja.. sesampai di ujung jalan utama, berbelok menuju jalan kecil di kanan jalan, sepasang langkah itu terus saja berjalan, memasuki lobi penginapan. dan seakan tiba-tiba saja, masuk saja ke 324. dan masih saja erat dalam peluk.

tak lama waktu, hingga kedua tubuh itu terhempas di atas empuknya king size, dan udara dalam ruangan itu menghangat, lalu membara dengan cepat.. ... pagi.. Lamat-lamat matanya terbuka, sedikit menyipitkan mata, lalu memandang sekeliling, rautnya sedikit berubah, merasa ada yang aneh saat memandang tubuhnya yang seperti kepompong, dan terasa rapat tubuh polos di dalamnya, tersentak, lalu perlahan si wanita menoleh ke samping kanannya. dan ada seorang lelaki disitu. spontan dia menjerit. "ka, kamu siapa.. ?!!"

Melupakanmu itu Menyebalkan


penulis: warm, 03 Januari 2010 07:05:13 21 Komentar Nggemesin +2

Seminggu yang lalu, kau minta lupakan semuanya untuk sementara. ' Letih, katamu , Cari udara segar dulu, ucapmu Kenapa hubungan kita terdengar seperti suasana kerja di kantor yang sumpek, sih ? Pakai harus menghindar, cuti, dan lari segala kalau sudah overload ? Atau seperti komputer bututku, yang harus di refresh saat tidak mampu lagi menjalankan program yang perlu memori lebih. Tapi, apapun katamu. Kalau itu membuatmu lebih baik, lebih jernih dan lebih cantik, tentu :) Walaupun aneh di otakku. Aku terpaksa setuju.

Dan sesuai mintamu, untuk juga melupakanmu, seminggu juga melupakan apa-apa tentangmu. Ya aku juga mengangguk saja. Sekarang, aku termangu sendiri. Berdiri sendiri disini. Terpaku tak tau harus gimana. ..... Sudah tiga kali kucoba mengingat-ingat. Tapi selalu saja gagal. Akhirnya aku terpaksa keluar dari sana dengan tangan hampa. Ya, aku lupa memasukkan enam digit nomor pin ATM yang merupakan kombinasi tanggal, bulan dan tahun lahirmu. Terlampau melupakan apa-apa tentangmu, memang menyebalkan. Sangat !!

hari yang siaul


penulis: warm, 06 Februari 2010 08:13:08 12 Komentar Nggemesin +4

mau mandi, ledeng macet mau makan, nasi habis. pas mau masak, gasnya habis. mau nyolok rice cooker, listrik mati. pas keluar mau beli makanan, hujan deras, basah kuyuo deh. pas berteduh, eh truk lewat kena genangan air lumpur, muncrat ke baju & celana. hujan lama, mau pulang. motor macet. mau sms, ngasi tau org rumah, batre drop. grhhhhh tapi, entah bagaimana, lamat2 terlihat payung biru, seorang gadis cantik mendatangi menawarkan diri mengantar pulang saat setuju; sumringah eh orang disamping melarang. "sshhh dia kurang waras, mas huhuhuhu

Hari yang (dikira) siaul


penulis: warm, 06 Februari 2010 11:16:43 12 Komentar Nggemesin +3

Kesialan itu ternyata masih tak bosen menghampiri.


Ok, mending nyegat angkot. Ternyata tak satu pun angkot yang lewat, lagi demo, katanya. Rencana naik ojek, pas meraba saku celana, hah dompet ternyata lupa kebawa. Akhirnya, jalan kaki saja, hujan sudah reda.. 5 kilometer tak mengapa. Baru saja berjalan, sendal nginjek ampas sapi yang buang air besar sembarangan. Lepas sendal, lagi membersihkan, tangan lagi kena beling. Membersihkan darah di tangan, tiba-tiba saja ada anjing menyalak, lalu kejar-kejaran, lari-larian, kuat-kuatan lari.. Pas dipersimpangan, menyeberang jalan, sebuah motor nyelonong, menabrak dengan tepat dan sukses, *pingsan* .................

Tersentak sadar, Ternyata terbaring di samping jalan. Seraut wajah menatap cemas, "Alhamdulillah sadar,, nggak apa-apa, kang ?" Hanya bisa terpana, memandang wajah yang mencemaskannya. Dan wajah yang cemas itu berganti dengan senyum yang indah, "Saya anter pulang, ya kang.." Tak sempat mengangguk ataupun mengiyakan, cuma terpana. Empunya senyum indah itu, adalah perempuan yang berhari-hari bersemayam di skenario mimpi malamnya. Kalau saja semua kesialan tadi tak menimpanya, mungkin tak akan terjadi keindahan sekarang ini. Tiba-tiba saja hari sudah sore, motor itu membelah jalan, membawa dua orang, sepasang manusia yang senyum2 di atasnya -selesai-

Heart Tracker
penulis: warm, 01 Februari 2010 11:59:15 32 Komentar Nggemesin +7

Menyalakan power panel dihadapannya. Tiga belas monitor menyala bersamaan. Sepuluh diantaranya terhubung langsung dengan sepuluh satelit yang berbeda. Dua terhubung dengan semua jaringan yang bisa diakses. Dan satu monitor berhadapan dengannya, Tak lama kedua tangannya sudah bergerak cepat. Login, memasukkan kombinasi password, Lalu mengetik beberapa enkripsi kode, Kursor berkedip pelan, Ruangan dingin itu terasa senyap. Hanya desir pendingin ruangan yang beradu dengan dengung server di belakangnya. Kesepuluh layar monitor di sekelilingnya berkedip, berubah warna. Matanya menatap resah. mengetuk-ngetuk keyboard tak sabar.

Satu window baru terbuka di layarnya. Delapan monitor masih saja bertuliskan kalimat yang sama Object not found.. Sementara sisanya masih saja berhiaskan kata tracking .. Tigapuluh menit berlalu, putus asanya sudah sampai ke leher. Saat mengambil air mineral di sudut ruangan. Satu layar di paling kanan, berhenti berkedip. Object found.. Aha, semangatnya muncul lagi, tangan kanannya sekarang beralih ke tracking pad. memfokuskan pada koordinat yang susah payah dicarinya. Zoom in. Sekarang tampak jelas, satu titik, yang semakin jelas. Berada di lanskap yang tampak tidak aneh di matanya. Satu titik itu terus diperbesar. Hingga terlihat sosok seorang gadis, di pinggir sebuah danau, sendiri.

Terperangah sendiri, Sejenak menyambungkan koneksi dengan pemindai yang menyorot ke pelipisnya. Menyalin data lokasi ke otaknya. Selesai screening, Lelaki itu beranjak, keluar dari ruangan tanpa mematikan semua peralatan yang terus menyala. Memasuki pintu geser, lalu memasuki lift yang mengarah ke atas. Sesampainya di atas, keluar beberapa langkah, untuk kemudian memasuki jetcopter pribadinya. Sejenak matanya menatap ke eye screening, sesaat setelah duduk di cockpit. Cukup dua detik, jetcopter mengangkasa, lalu menuju ke selatan. Ke arah dimana dia tadi menemukan gadisnya. Penyempurnaan segala macam peralatan yang diciptakannya. ternyata terbatas hanya bisa menemukan detak jantung kekasihnya. Tapi tidak pernah berhasil mengetahui apa yang ada di hatinya, apa yang dimauinya, tak pernah bisa terlacak. Dan saat ini hanya satu yang ingin dilakukannya saat dihadapan gadis itu. Memeluknya...

Jejak Nafas ..
penulis: warm, 26 Oktober 2009 11:12:07 4 Komentar Menggoda +0

I cannot take this anymore I'm saying everything I've said before All these words they make no sense I found bliss in ignorance..
Langkah kakinya makin cepat, nafasnya memburu. Kadang sesekali wajahnya menoleh ke belakang, parasnya menyiratkan rasa cemas yang tak pernah terbayangkan. Rambutnya tergerai acak, namun tak mengurangi garis kecantikan yang tergambar di wajahnya yang memerah. Pukul sebelas, di ibukota, dimana manusia masing-masing sibuk dengan apa yang ada di hadapan dan sekelilingnya. Tak ada yang menghiraukan sorot mata ketakutannya, hanya ada beberapa tatap mata menyelidik, sedikit takjub, sebelum kemudian kembali dengan nafas masing-masing. Di sisi trotoar, agak jauh dari atrium, langkahnya menghenti, sejenak. Mengusap bulir keringat di muka. Mendengarkan detak

jantunganya yang sudah tak lagi berima. Malah sekilas dentum One Step Closer yang menganyam di otaknya. Memenuhi rongga telinganya.. Wajahnya menengadah ke langit, seperti mengadu atau entah merutuk, kedua tangannya bertumpu di lututnya, lagi-lagi butir keringat yang luruh. Hanya beberapa detik, nafas bisa ditarik. Inderanya memaksanya untuk menoleh ke arah dmana dia tadi datang. Dan wajahnya terperangah. Tangannya cepat menaikkan backpack hitam yang tadi tergeletak di sampingnya, erat di punggungnya. Lalu, berlari lagi. Lembut wajah beberapa hari yang lalu, kembali tertarik angkuh. Kaos hitamnya seakan sudah lekat ke tubuh rampingnya. Nafas pun kembali memburu..

(mudah-mudahan bersambung...)

Menunggumu dalam Diam


penulis: warm, 03 November 2009 07:25:35 34 Komentar Nggemesin +0

Seperti biasa, pagi ini aku menunggumu disini. Di pinggir jalan ini. Menunggumu muncul dari belokan ujung gang. Waktu kedatanganmu selalu saja pas. Aku sudah hapal. Aku juga hapal warna baju yang kau pakai. Bahkan wangimu pun rasanya sudah tercium dari jarak puluhan meter. Entah berapa lama sudah ku menunggu. Diam saja seperti biasa. Entah aku menikmati atau tidak. Ya. Sejak dua bulan yang lalu. Aku tak pernah mengerti lagi. Kenapa aku harus berdiri menunggumu disini. Yang kutahu aku harus menunggumu. Dan melihatmu lewat didepanku. Lalu membiarkan begitu saja.

Walau kadang aku rasa. Ada raut ketakutan di wajahmu. Saat berpapasan denganku. Yang aku ingat hanyalah. Sepotong memori. Saat tanpa alasan yang jelas kau mencampakkanku. Untuk lalu memutuskan hidup berdua dengan entah siapa. Manalah aku mengingatnya. Aku terus berdiri disini. Seperti pagi kemarin. Berpakaian kotor dan compang camping. Rambut panjang tak beraturan dan badan tak terurus. Ekspresi yang datar. Dan sering jadi olok-olokan anak-anak. Aku tak pernah peduli.

November Moon
penulis: warm, 03 November 2009 12:37:07 9 Komentar Nggemesin +1

November baru saja berada di awalnya. Hujan yang seharusnya ada, malas-malasan untuk menurunkan tetesan airnya. Begitu pun, malam ini. Saat dunia sudah mulai senyap. Manusia-manusia yang sepertinya sudah lelap. Lalu kenapa aku masih disini ? Sendiri, mencoba bersahabat dengan malam. Memandang bulan yang juga memandang ke arahku. Cahayanya sayu. Seharusnya kau ada disini saat ini. Janjimu sehari yang lalu begitu. ah, sudah sebulan yang lalu sebenarnya, rencana untuk kembali kesini kau utarakan. Menunggumu seakan sudah menjadi rutinitas lain di keseharianku. Anehnya, aku menikmatinya saja. Entahlah dengan kau.

Udara tak juga mendingin, malah menghangat. Mata ini tak juga mau berkompromi dengan hati, malah berkomplot dengan otak untuk trus menerus memutar memori bersamamu. Sesaat cahaya bulan meredup. Kuputuskan langkah harus berbalik arah. Menghapus jejak yang tadi mengarah sampai titik ini. Titik dimana aku harus berdiam menghirup udara pekat malam. Cahaya bulan itu seperti membunuhku. Mematikan sorot mataku. Menghentikan laju fikirku. Setelah sejanak aku bisa menghela nafas. Berusaha tidak mempercayai berita di televisi sore tadi.

Pesawat yang seharusnya membawamu hangat ke pelukan. Lenyap entah di koordinat berapa, di perempat perjalanan pulang.

Oedi.....
penulis: warm, 09 Desember 2009 14:46:30 25 Komentar Nggemesin +7

Ratri tersenyum, sudah dua kali lelaki pujaannya mendatanginya di rumahnya, ngobrol kesana kemari. Dari sore hari sampai menjelang magrib. Nggak bosen-bosennya. Siapa yang gak seneng, Oedi itu adalah bahan gosip dan obrolan hangat para cewek sekampusnya. Tinggi, gondrong, Keren tentu, lead gitar band jurusannya, asisten lab. dan juga ketua Mapala kampusnya. Kayak ga ada habisnya kegiatannya semingguan. Tapi siapa sangka, dua minggu yang lalu, tanpa ada hujan nggak ada badai, Oedi minta ijin bertandang ke rumahnya. ya ampun, sopan sekali. Candaan mereka terhenti, saat sebuah sedan parkir di depan garasi samping. Seorang wanita, masih memakai blazer, baru datang dari kantor rupanya. Ya wanita itu adalah ibunya. Ibu yang selalu dibanggakannya, dia

cuma hidup berdua dengan ibunya memang, sejak papanya meninggalkan mereka didunia ini, tiga tahun yang lalu. Ibu yang dia panggil mama, yang tetap terlihat bugar di usianya yang menjelang empat puluh dua. Dosen yang kebetulan dosen mereka berdua di kampus. 'Sore' Ibunya menyapa mereka. 'Sore, tante..' Sopan sekali si Oedi. 'Ibu masuk dulu ya, kalian teruskan saja ngobrol' Seraya tersenyum. Ah ibu yang sangat perhatian ya ? Dan mereka pun kembali bercerita tentang apa saja, kecuali masalah cinta. Satu hal yang kadang membuat Ratri bingung, di satu sisi dia ya jelas suka dikunjungi Oedi. Di sisi lain, cuma sekedar bertemankah ? 'batinnya' -----------Tiga minggu setelah itu. Sabtu malam. Oedi datang, dengan motor 250 cc nya. Dan teras depan kembali harus menjadi saksi pertemuan mereka.

Limabelas menit berlalu, saat tiba-tiba Oedi menatap Ratri, yang ditatap langsung terhenyak, dan tertunduk pelan. Apakah ... ? 'Ratri...' Oedi menatapnya lekat. 'Hmm....' Hanya itu saja yang keluar dari mulutnya, nyaris lirih. 'Aku mau ngomong sama kamu, tapi jangan marah ya..' Kedua tangan Oedi tiba-tiba saja memegang kedua tangan Ratri. Nafas Ratri tercekat. 'Kamu tahu kenapa aku tak lelah menyambangi rumah ini ?' Hanya diam, jawabnya.. 'Aku jatuh cinta, Rat... dan aku tak bisa menyimpannya lagi..' Sekarang Ratri merasa nafasnya hilang. Jiwanya pecah keudara, bertaburan, berbaur dengan bintang-bintang. Senyumnya perlahan merekah. Pegangan tangan itu semakin erat. Dan ada harap yang menunggu dibalaskan disitu.

'Rat...' 'Hmm...' 'Aku minta tolong..' 'Ya ?..' Katakan saja ! 'jerit batinnya tak sabar' 'Aku jatuh hati sejak pertama kali melihat....' Ada hela nafas. Ada detak jantung, denyut nadi yang terasa makin cepat. 'Aku suka pada ibumu... aku jatuh hati padanya' Detak jantung itu seakan terhenti. Hening. Lalu memandang lelaki dihadapannya dengan bingung dan tak percaya. Lalu berlari masuk ke dalam rumah, ada isak tangis tertahan....

Saat Jumpa Dirimu


penulis: warm, 20 November 2009 14:31:23 33 Komentar Menggoda +1

Siapa yang tidak kenal aku ? Tidak ada yang kenal, kan ? Sehari-hari aku adalah pedagang buku, aku suka buku. Membaca adalah dunia ketiga setelah bertualang dan mencoba hal-hal yang baru. Sepanjang siang, kau temui saja aku di los G3. Aku pasti senantiasa melayani pelanggan setiaku. Kadang sampai hapal dengan genre bacaan mereka. Mereka suka blusukan nyari buku dikiosku, karena itu tadi, aku tahu selera mereka, dari yang umum, sampai yang aneh. Dari yang ringan sampai yang berat. Dan aku bisa saja menyediakan buku langka yang tidak akan kautemui di jajaran kios buku lainnya, percaya padaku deh. Tapi, malam hari. Tidak pernah ada yang tahu. Kalau jika aku bersama dua sahabat setiaku, Jimi dan Gaho, lengkap dalam Kijang biru tanpa plat itu, artinya kami siap beraksi. Menguras harta para orang kaya, yang tentu sudah kami survei

sebelumnya. Kami sudah hapal data orang-orang yang baru saja kaya mendadak dan sebagainya, terlebih yang sepertinya dari hasil korupsi. Perubahan di lingkungan sekitar harus kau tangkap, bung. Pintar-pintar saja mengamati kalau sesuatu yang beda terjadi. Seperti bos baru di selatan kota itu. Bisnisnya yang mulanya biasa saja, dalam sebulan bisa berkembang pesat, ternyata benar, hanya karena salah satu kerabatnya terangkat menjadi salah satu petinggi kota ini. Semuanya tiba-tiba seperti bling, berubah dalam sekejap. Dan itulah salah satu sasaran kami, minggu tadi. Semua data terperinci, sudah di genggaman, jadi final touchnya gampang. Aku keras dalam hal perencanaan. Semua detil harus diperhitungkan, kedua rekanku sangat paham akan hal itu. Beraksi saat pemilik harta tak halal itu tidak ada di istananya, adalah pilihan utama. Menghindari darah tumpah, adalah prioritas selanjutnya. Tapi jangan salah, becengnya Jimi dan belati kembar Gaho, siap beraksi kalau sesuatu di luar rencana terjadi. Kalau kau atau kalian fikir, hasil jarahan kami semata-mata hanya untuk ditumpuk, lalu bersenang-senang. Kau salah.

Kami selalu menyisihkan sembilan puluh persen dari semua kegiatan yang dimata orang adalah kejahatan itu, untuk orang yang benarbenar memerlukannya. Menyenangkan rasanya berbagi, membagikan hak orang lain yang memang semestinya dibagikan, bukan dimakan oleh perut iblis yang sering mangaku-aku baik, walau secara tak langsung. Oh ya. Kata mereka, aku masih muda. dan memang begitu nyatanya, usiaku baru menjelang dua puluh tujuh tahun. Para pelangganku yang rata-rata mahasiswa ataupun para bapak yang suka mencarikan buku buat anak-anaknya, sering memperolokku. Katanya sudah saatnya perlu asisten, pendamping wanita katanya. Aku cuma tersenyum, sayangnya perempuan hanyalah urusan kesekian dalam hidupku. Atau kalimat klise yang bisa dipaksakan mungkin adalah ' belum ada yang cocok'. Simpel saja, kan ? Semua berjalan seperti biasanya. Sampai suatu hari, seorang perempuan. Merubah pandanganku tentang ' perempuan'. Entah mataku yang lagi error. Ataukah akibat siang yang begitu panas. Rasanya aku melihat seorang Amber Valletta. jenis perempuan yang

ah,, menggoda mungkin ? Atau megang banget ? lebih tepatnya inspiratif, bagiku eh. Hey, ngaco saja. Mana mungkin seorang Amber, siang-siang gerah gini, blusukan nyari-nyari buku bekas ? Beneran kacau nih. Kusamperin saja ah. 'Nyari apa, nona ?' Eh, tersenyum tu Amber. Argh ember... 'Chlinical Pharmacology-nya PN Bennet ada, bang ?' Matanya asik saja mengamati deretan buku kedokteran di rak kiri depan. Heh, beneran pinter nyari pilihan, dan ya ampun. Bukannya mengambilkan buku yang dimaksud, yang cuma ada satu, tersimpan rapi di deretan belakang. Aku malah asik sendiri mengamati pelangaan baru ini. Tinggi, garis wajah yang tegas, rambut sebahu yang hitam pekat, bukan pirang. Mata yang terkesan acuh dan juga hitam. Jins, kaos longgar dan backpack. Wow. 'Bang, ada nggak ?!' Matanya menatapku, sedikit kesal, dicuekin.

'Eh, ada-ada.. Tunggu sebentar, nona' Lalu, tak sekali itu saja aku melihatnya. Dia benar-benar menjadi pelanggan yang rajin, nyaris tiap minggu, ada saja yang dicarinya. Kalau nggak buku kedokteran, lain waktu menanyakan buku klasik, versi asli. Atau terkadang buku-buku aneh, yang jarang dicari oleh pelanggan lama. Lama kelamaan. Bisa juga ngobrol dengannya. Enak ternyata diajak ngobrol. Soal apa saja, kayaknya dia tahu. Ensiklopedi berjalan, kataku. Oh ya, namanya ternyata adalah .. 'Atta' katamu singkat, saat menyambut uluran tanganku hangat. Hmm. Atta. Kenapa jadi mirip akronim seseorang dalam bayanganku, Amber Valetta ?. Hey, Sungguh suatu kebetulan. Atau keberuntungan ?

Anda mungkin juga menyukai