“Bangs*t!”
Bagaimana aku melupakan Heksa secepat itu? Air mataku tambah deras. Tangis ini
benar-benar mengungkapkan kerinduan dalam hatiku. Entah mengapa aku merasa sudah tidak
pernah berbicara dengannya dalam waktu yang cukup lama. Nyatanya aku masih berdiri di
sini dengan perasaan yang sama kepada Heksa. “Ya Tuhan, aku benar-benar merindukannya,
dimana dia sekarang?”
Tiba-tiba handphone-ku berdering. Ada panggilan video dari Moza, sahabat baikku.
Aku menyeka air mataku dan segera menerima panggilan videonya.
“Hai, apakah kamu belum tidur?” Sapanya.
“Tidak, aku akan menyelesaikan laporanku malam ini.” Jawabku dengan suara khas
seusai menangis.
“Ada apa? Apakah ada yang salah?” Tanya Moza.
Aku berguming sejenak. Lalu tanpa sadar aku membanjiri pipiku dengan air mata lagi. Aku
tidak bohong, aku benar-benar rindu. Aku menceritakan semuanya kepada Moza. Dirasa,
Moza akan bisa menenangkan diriku saat ini. Aku menumpahkan semua yang ku alami
malam ini, dari A sampai Z. Ia sungguh mendengarkan ceritaku sampai akhir.
“Bagaimana bisa aku lupa secepat itu? Saat dia menjadi alasanku untuk tetap bertahan
4 tahun yang lalu. Aku selalu melukis semua kebahagiaanku dengan Heksa di kanvas.
Berharap itu akan menjadi memori yang indah. Moza, andai kamu tahu, aku benar-benar
merindukannya sekarang.” Kataku sambil terisak-isak.
“Iya, aku tahu perasaanmu saat ini. Aku tahu pasti kamu sangat ingin bertemu
dengannya. Menumpahkan segala lelahmu di pundaknya. Memang, rindu itu tidak ada
obatnya. Kamu harus merelakan dan menerima kenyataan bahwa ia sudah pergi. Kirimkan
doa untuk Heksa. Besok kita ziarah ke makamnya, ya?”