Anda di halaman 1dari 2

Katanya Selamanya

Dokter memberitahu bahwa antidepresan yang ia resepkan mungkin memiliki efek


samping sedikit meredupan ingatanku. Beberapa hari yang lalu aku mulai menyadari bahwa
ingatanku menjadi semakin kabur. Memori-memori dan wajah-wajah menjadi samar di
benakku.
Malam itu, aku termenung dengan rasa kebingungan yang tak terlupakan. Satu pil
obatku baru saja aku minum. Banyak hal yang harus aku kerjakan untuk rapat esok lusa.
Langkahku ragu-ragu menuju meja di kamarku. Banyak foto-foto masa lalu berserakan.
Wajah-wajah yang seharusnya aku kenal menjadi begitu asing. Ah! Bagaimana bisa aku
melupakan ini semua? Aku meremas-remas otakku, mencoba membangkitkan ingatan yang
tergantung di tepi kesadaranku.
Aku berhenti pada secarik kanvas. Aku yakin itu lukisan yang aku buat. Setiap sapuan
kuasnya, aku tahu bahwa cinta itu seharusnya kukenal. Lukisan itu terasa sangat asing
bagiku, namun terasa intim. “Sejak kapan aku melukis ini? Apakah ini baru saja diletakkan di
kamarku?” Aku bergumam. Terlihat seperti siluet seorang laki-laki dengan latar belakang
yang tenggelam dalam romantisme senja. Aku yakin sangat mengenal tempat ini. Ini terlihat
seperti aku mencoba melukis hamparan rumput dengan sebuah bangku kayu. Ah! Sepertinya
aku pernah mengunjungi tempat ini. Suara tawa yang hilang, senyum yang lenyap—semua
itu seperti bayangan yang tak dapat dipegang. Aku mencoba meresapi lukisan yang dibuat
dalam kanvas itu. Ini bukan sekedar gambaran pemandangan saja, melainkan sebuah kisah
yang harusnya aku kenal. Tanganku bergetar mengelus lukisan. Aku yakin, aku sudah
berusaha sekuat tenaga untuk mengingatnya. Namun, aku tidak bisa.
“Siapa?” Gumamku sekali lagi.
Ah, ya sudahlah. Aku tidak mau menguras energiku untuk memikirkan hal ini. Lagian
aku belum mengerjakan apapun malam ini. Tenggat laporan proyek terbaru dipercepat.
Meskipun begitu, sebenarnya aku tengah berkelahi dengan segala hal di pikiranku. Angin
sepoi-sepoi menyelimutiku dan tanpa sadar aku tertidur di depan laptop yang menyala.
Saat itu, aku masuk ke dalam dunia mimpi. Pepohonan rindang dan bunga berwarna-
warni tersebar di sekitarnya. Seorang laki-laki yang duduk di salah satu bangku terseyum
lebar ke arahku. “Ayo, duduklah.” Ajaknya ramah. Aku duduk di sebelahnya, menikmati
suasana saat itu. Kami tertawa bersama, saling bertukar cerita, dan melupakan segala beban
dan keletihan yang ada. Perasaanku sangat nyaman dan tenang saat itu. “Istirahatlah, pasti
sangat melelahkan.” Katanya.
Aku terbangun dari tidurku. Tanpa sadar, air mata mengalir di pipiku. Aku tersentak
dan menyeka air mata itu dengan cepat, bertanya-tanya, “Mengapa aku menangis? Apakah
aku merindukan orang itu?” Tidak ada yang bisa kuingat, tapi ada perasaan getir di dalam
hatiku. Alih-alih melanjutkan laporanku yang masih kontinyu, aku malah salah fokus
memandangi lukisan itu lagi. Aneh rasanya, seperti ada sesuatu yang hilang tanpa aku sadari.
Entah mengapa, aku menangis lagi. Aku benci lukisan itu. Beribu-ribu pertanyaan di
kepalaku tak bisa terjawab. Aku merasa kesal tidak bisa mengingat apapun. Sebenarnya ada
apa dengan lukisan ini. Refleks, aku melempar kanvas itu ke lantai hingga jatuh terbalik.
Namun, sesuatu terlihat di belakangnya. Aku menundukkan diri dan mengambil kanvas itu
kembali sambil tersedu-sedu menyelami tangisku. Terdapat sebuah tulisan yang tertera di
belakang kanvas.

Desember bukan hanya tentang hujan yang jatuh,


Tetapi tentang aku menorehkan perasaanku saat itu,
Barangkali cinta adalah kamu,
Selamanya aku ingin hidup denganmu.
Sajak ini, aku buat untuk perayaan aku mencintaimu.
— Heksa, 23 Desember 2019.

“Bangs*t!”
Bagaimana aku melupakan Heksa secepat itu? Air mataku tambah deras. Tangis ini
benar-benar mengungkapkan kerinduan dalam hatiku. Entah mengapa aku merasa sudah tidak
pernah berbicara dengannya dalam waktu yang cukup lama. Nyatanya aku masih berdiri di
sini dengan perasaan yang sama kepada Heksa. “Ya Tuhan, aku benar-benar merindukannya,
dimana dia sekarang?”
Tiba-tiba handphone-ku berdering. Ada panggilan video dari Moza, sahabat baikku.
Aku menyeka air mataku dan segera menerima panggilan videonya.
“Hai, apakah kamu belum tidur?” Sapanya.
“Tidak, aku akan menyelesaikan laporanku malam ini.” Jawabku dengan suara khas
seusai menangis.
“Ada apa? Apakah ada yang salah?” Tanya Moza.
Aku berguming sejenak. Lalu tanpa sadar aku membanjiri pipiku dengan air mata lagi. Aku
tidak bohong, aku benar-benar rindu. Aku menceritakan semuanya kepada Moza. Dirasa,
Moza akan bisa menenangkan diriku saat ini. Aku menumpahkan semua yang ku alami
malam ini, dari A sampai Z. Ia sungguh mendengarkan ceritaku sampai akhir.
“Bagaimana bisa aku lupa secepat itu? Saat dia menjadi alasanku untuk tetap bertahan
4 tahun yang lalu. Aku selalu melukis semua kebahagiaanku dengan Heksa di kanvas.
Berharap itu akan menjadi memori yang indah. Moza, andai kamu tahu, aku benar-benar
merindukannya sekarang.” Kataku sambil terisak-isak.
“Iya, aku tahu perasaanmu saat ini. Aku tahu pasti kamu sangat ingin bertemu
dengannya. Menumpahkan segala lelahmu di pundaknya. Memang, rindu itu tidak ada
obatnya. Kamu harus merelakan dan menerima kenyataan bahwa ia sudah pergi. Kirimkan
doa untuk Heksa. Besok kita ziarah ke makamnya, ya?”

Anda mungkin juga menyukai