"Hai namaku Aleyya aku menulis surat ini untuk sang mentari yang selalu
menyinari hari-hariku. Dia laki-laki yang membawa perubahan besar dalam hidupku, dia
selalu membuat semua orang tersenyum dan tertawa dengan leluconnya yang tidak masuk
akal. Padahal dia sendiri menderita karena penyakitnya."
"Menurutku dia orang yang kuat, bersikap seolah semuanya baik-baik saja padahal
sebenarnya tidak, aku selalu menyesal kala mengingat kenapa aku baru tahu kalau dia
mempunyai beban berat yang dia tanggung berdua dengan ibunya setelah dia pergi. Dia
yang selalu membuatku dan semua orang tertawa sampai lupa kalau Tuhan tidak
memberinya umur panjang. Dia selalu membuatku bahagia hanya dengan hal-hal kecil
yang dilakukannya. Aku selalu tersenyum saat mengingatnya lalu.... menangis......... "
"Sekarang, akan kuceritakan siapa laki-laki itu. Bernostalgia sedikit mungkin tidak
masalah, aku pun tak bermaksud melupakannya sama sekali.
Walaupun pedih..... Akan kuceritakan dia Lee Haechan laki-laki yang membawa
hangat bulan Juni bersamanya....."
Ini tentang Lee Haechan, laki-laki yang lahir di pagi sebuah hari di bulan Juni.
Kalian tahu matahari? matahari yang begitu terik? yang sinarnya kadang terobsesi
untuk memeluk bumi? itu Haechan yang ku bicarakan.
Haechan itu seperti.. kembang api di akhir hari sebuah tahun, meletup letup
bagaikan perayaan terbesar di dunia. Jiwanya tak pernah larut, hujan bulan juni pun tak
bisa menghentikan nya. Dia seakan terus menari, seperti matahari di bulan Juni, menyinari
siapapun di dekat nya. Haechan itu juga seperti buku dongeng tua yang sudah abadi
ceritanya, yang ibu bacakan sebelum tidur. Membawa kebahagiaan dan senyuman sebelum
sebuah mimpi teranimasi.
Dia juga sebuah kehangatan dan keamanan.Kehangatan yang ingin terus ku
genggam sampai aku pergi dari bumi, keamanan yang kumohon tuhan agar selalu
menghadirkan nya untukku. Haechan itu, laki laki manis yang akan mengetuk pintu rumah
ku di tanggal aku lahir, membawa kantung berwarna coklat berisi jaket milik nya.
Begini ucapnya, Selamat ulang tahun! aku tidak punya uang untuk membeli hal hal
kesukaan mu karena kamu menyukai banyak hal. Tapi jaket ini kuberikan, karena aku tau
ini satu dari banyak hal yang kamu sukai.”
Kami berdua akan tertawa atas itu, kebodohan dan tawa yang seakan bersifat abadi,
lucunya kukira itu semua akan selalu ada setiap tahun di tanggal lahir ku. Di hari ulang
tahunku setahun kemudian kami membuat kalender bersama.
“kita membuat ini agar kau tidak lagi lupa soal hari senin, dan tanggal lahir ku
harus kau beri bulatan merah!” begitu ucapnya.
Haechan bukan laki-laki romantis yang selalu terkesima akan ambisiku untuk
mengarungi dunia. Ku ceritakan dia soal suhu air terjun niagara, ku ceritakan dia soal
warna coklat daun musim gugur di belahan eropa, ku ceritakan dia soal warna-warni
sebuah negara. Dia hanya akan tersenyum mengolok, memberitahu bahwa dia bosan. Tak
henti kugoyang tangannya, lalu aku akan berkata dengan sorot mata yang berkilat-kilat.
”Haechan! kamu harus menemaniku untuk membuktikan semua itu! aku tidak mau
mengejar mimpi ku hanya untuk seorang diri!.”
Lalu dia akan memutar bola matanya malas, dan mengalihkan pembicaraan soal
sang ibu yang memarahi nya karena dia bermain komputer terlalu malam. Entah, rasa nya
nyaman, aman. Seperti bertaruh dengan dunia, apa kami akan benar abadi? sebagai dua
manusia yang saling membutuhkan? aku selalu ingin berteriak kepada semesta sampai di
ujung tenggorokanku,
“Semesta! tengok senyumnya! tengok baiknya! tengok hangatnya! janjikan sebuah
‘abadi’ bagi kami ya?”
Saat itu aku merasa semesta tersenyum, seperti anak kecil mendapat gulali di
karnaval musim dingin. Rasanya, dia begitu abadi. Seperti hangat nya bulan juni. Tapi,
perlahan lahan, aku belajar bahwa, tak semua bulan juni itu benar-benar hangat. Tak lama
berita biru datang bagaikan rapor merah di ujian naik kelas, tak ada yang mau, tak ada
yang menanti. Seperti cahaya kamera, yang menyala hanya untuk sebuah memori, sekejap
lalu pergi.
Haechan pergi. Pergi seolah dibungkus takdir, terhapus jejak-jejaknya dalam suatu
pagi. Inginku panggilkan detektif di komik lucu yang terpajang si toko buku itu untuk
mencarinya. Seperti seorang pesiar, berbulan bulan kabar nya berhalang biru besar nya
bumi, tak ditemui. Sampai suatu sore, kotak pos merahku terisi sebuah amplop besar
berwarna putih, bertuliskan alamatku dan sebuh alamat asing. Ku buka segel palsu yang
tak pernah menjajikan sebuah jaminan benar terjaga itu lalu yang kudapat hanya dua
amplop kecil lainnya yang lebih kecil, berisi foto-foto haechan di tempat tidur putih.
Selang memeluk tubuh nya, seperti menghalangi nya untuk bersinar. Lalu foto
kami berdua, dengan coretan spidol bertulis “6, 6, selamat ulang tahun!”
“Ah, ulangtahun nya beberapa tahun lalu.” gumamku.
Kubuka segel amplop terakhir yang masih aman isi nya. Tak ada lagi foto-foto,
hanya sebuah kertas, dengan tulisan tangan, tulisan tangan Haechan lebih tepat nya. Hatiku
terusik geli dengan bayangan seorang Lee Haechan menulis sebuah surat dengan tangan.
“Untuk bumi yang selalu ingin ku sinari,”
Dengan itu, air mataku jatuh.
Untuk bumi yang ingin ku sinari. Ah, sebenarnya aku tidak tau apakah surat ini
akan sampai padamu tepat di hari ulang tahun mu atau tidak. Tapi yang penting, selamat
ulang tahun untuk kesekian kali :)
Aku turut sedih tidak bisa berdiri menepuk tangan berkali kali, sampai telingamu
seakan mau tuli, disamping jajaran orang orang tersayang mu melafalkan lagu sakral itu
bersamamu. Apa kabar? Kamu mungkin sudah menerima foto foto aneh ku dengan
pakaian putih milik rumah sakit. Aku akan kalah berperang dengan tubuhku sendiri, aku
akan pergi sebentar lagi :D
Tolong, jangan menangis, kumohon. Mungkin saat kertas ini sampai di ibu jarimu,
tanda nya aku sudah benar pergi. Aku minta maaf ya, tolong, jangan menangis. Jangan
biarkan kertas ini basah, ini mahal. Tanyakan ibuku soal hal detail atas tubuhku, aku
kadang enggan mengetahui nya, terlalu menyeramkan. Ya begitu lah, semesta. Selalu ada
yang pergi, tak ada yang abadi. dan tak semua yang pergi di akan bisa kembali. Sudah ah,
balik ke topik awal.
Apa kabar? Sudah berapa hari, berapa minggu? Setelah kepergianku? Apa kamu
masih menghitungnya? Apa kamu masih mencoret kalender yang kita punya bersama?
Aku yakin, di umurmu yang baru ini, banyak mimpi-mimpi yang sudah kamu capai
sendiri. Mimpi-mimpi yang dulu kamu ceritakan kepadaku, menggantungnya tinggi tinggi
mengajak tanganku untuk ikut. Tapi seandainya kau tau, bahwa hari itu hatiku menggeleng
pelan, aku tidak akan bisa ada di dalam bagian cerita mu dalam meraih itu semua. Saat kita
bertemu kembali, ceritakan aku. Ceritakan aku, tentang mimpi mimpi mu itu. Ceritakan
aku, seberapa dingin nya air terjun raksasa itu? seberapa dingin nya negeri diatas air itu?
ceritakan aku. Ceritakan, soal hari harimu tanpa aku. Saat kita bertemu kembali, ceritakan
cerita-cerita yang membuatmu berdegup tapi lenyap ketika kau sadari bahwa aku tak ada
disana lagi. Aku merindukanmu, sangat.
Walaupun aku menulis ini sebelum aku benar-benar pergi, aku tau, bahwa saat kau
membaca ini, aku juga sedang menangis. Semoga air matamu, air mata rindu, bukan air
mata sedih. Jangan bersedih, aku benci. Aku tidak mau, kepergianku menjadi alasanmu
untuk menangis. Masih banyak hari-hari yang perlu kau coret, yang perlu kau lewati.
Masih banyak mimpi-mimpi yang belum kau raih, tempat tempat yang belum kau
injak.Kamu akan terus melaju, layaknya kereta yang kita selalu tumpangi di bulan
desember, apa kabar kursi abu yang dulu pernah menjadi saksi tumpah nya teh milikmu
saat kau tertawa akan leluconku? Aku akan menggengam itu semua dalam kepergianku,
mengalahkan rasa takut untuk benar menghilang. Dan, kamu perlu tau, aku
merindukanmu, selalu.
Kamu tidak perlu khawatir, tuhan pasti akan menjaga ku dengan baik, semoga
tuhan juga memelukmu di hari hari abu mu saat aku tidak lagi bisa melakukan itu
untukmu. Aku tau ini semua terkesan menggelikan, tapi aku hanya ingin kau ingat dan kau
genggam tanpa perlu ada nya wujud ku. Jaga diri, tolong, jaga dirimu untuk aku, sampai
kamu menemukan yang akan menjaga mu. Salam rindu, jangan menangis karena kau
terlihat bodoh saat menangis. Dari Haechan, si matahari, si hangat bulan juni. Ya, apapun
kau menyebut ku. Ayo bertemu lagi, tapi nanti, jangan ikut mati, ya? Dadah, aku
mencintaimu, selalu. Astaga, itu terlalu menggelikan. ya tapi benar, aku akan merindukan
mu.