NIM : 022.08233.0802
Dosen Pengampu : Aam Saeful Alam M.Ag
Mata Kuliah : Ulumul Qur’an
Kelas : PIAUD 1B
JAWABAN
1. Pengertian Tafsir
Tafsir diambil dari kata fassara – yupassiru – tafsiran yang berarti keterangan,
penjelasan atau uraian. Secara istilah, tafsir berarti menjelaskan makna ayat al-qur’an,
keadaan kisah dan sebab turunya ayat tersebut dengan lafal yang menunjukkan kepada
makna Zahir.
PengertianPengertian Tafsir Menurut beberapa ahli:
1. Menurut al-Jurjani, tafsir adalah menjelaskan makna ayat keadaannya, kisahnya, dan
sebab yang karenanya ayat diturunkan, dengan lafadz yang menunjukkan kepadanya
dengan jelas sekali.
2. Menurut az-Zarkazyi, tafsir ialah suatu pengetahuan yang dapat dipahamkan kibullah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan maksud maksudnya,
mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmahnya.
3. Menurut al-Kilbyi, tafsir ialah mensyarahkan al-qur’an, menerangkan maknanya dan
menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya
ataupun dengan najwahnya.
4. Menurut Syeikh Thorir, tafsir ialah mensyarahkan lafad yang sukar difahamkan oleh
dengan uraian yang menjelaskan maksud dengan menyebut muradhifnya atau yang
mendekatinya atau ia mempunyai petunjuk kepadanya melaui suatu jalan.
Pengertian Ta’wil
Kata ta’wīl berasal dari kata al-awl, yang berarti kembali (ar-rujǔ’) atau dari kata
alma’ǎl yang artinya tempat kembali (al-mashīr) dan al-aqībah yang berarti kesudahan.
Ada yang menduga bahwa kata ini berasal dari kata al-iyǎlah yang berarti mengatur (al-
siyasah).
Secara istilah, ta’wil berarti memalingkan suatu lafal dari makna zahir kepada
makna yang tidak zahir yang juga dikandung oleh lafal tersebut, jika kemungkinan
makna itu sesuai dengan al-kitab dan sunnah.
Pengertian Ta’wil Menurut Istilah :
1. Al-Jurjani: ialah memalingkan lafad dari makna yang dhahir kepada makna yang
muhami, apabila makna yang mu’yamil tidak berlawanan dengan al-quran dan as-
sunnah.
2. Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa : “Sesungguhnya takwil itu dalah
ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazh yang bersifat probabilitas yang
didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan
oleh lafazh zahir.”
3. Menurut Wahab Khalaf : takwil yaitu memalingkan lafazh dari zahirnya, karena
adanya dalil.
4. Menurut Abu Zahra : takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zahir
kepada makna yang lain, tetapi bukan zahirnya.
Pengertian Terjemah
Kata terjemah berasal dari bahasa arab “tarjama” yang berarti menafsirkan dan
menerangkan dengan bahasa yang lain (fassara wa syaraha bi lisanin akhar), kemudian
kemasukan “ta’ marbutah” menjadi al-tarjamatun yang artinya pemindahan atau
penyalinan dari suatu bahasa ke bahasa lain.
Pengertian Terjemah Menurut Istilah:
1. Terjamah Harfiyah : memindahkan kata-kata dari suatu bahasa yang sinonim dengan
bahasa yang lain yang susunan kata yag diterjemahkan sesui dengan kata-kata yang
menerjemahkan, dengan syarat tertib bahasanya.
2. Terjemah Tafsiriah atau Maknawiyah : menjelaskan maksud kaliamat (pembicaraan)
dengan bahasa yang lain tanpa keterikatan dengan tertib kalimat aslinya atau tanpa
memerhatikan susunannya.
2. Pembagian Tafsir
1. Tafsir Bil Ma’tsur
Tafsir bi al-ma’tsur adalah cara menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an,
menafsirkan ayat Al Qur’an dengan sunnah, menafsirkan ayat al-Qur’an dengan
pendapat para sahabat, atau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para
tabi’in.
a. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Misalnya dalam surat Al-Hajj yat 30 :
… …
“Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang
diterangkan
kepadamu keharamannya…”.
Kalimat ‘diterangkan kepadamu’ (illa ma yutla ‘alaikum) ditafsirkan dengan surat
al-Maidah ayat 3 :
…
4. Tafsir bisa dikatakan merupakan produk budaya yang lahir dari proses dialektika antara
penafsir dengan realitas budaya di satu pihak dan dialognya dengan Al-Qur’an di pihak
lain. Dalam konteks tafsir Sunda dan jawa, latar budaya kiranya cukup berpengaruh
terhadap penafsir dan karyanya. Meski umumnya didominasi deskripsi wacana Qur’ani,
tetapi tak sedikit nuansa budaya Sunda pun turut mewarnai. Keterpengaruhannya
terutama berkaitan erat dengan unsur bahasa. Sebagai ciri utama etnis, bahasa
merepresentasikan budaya. Ia mengekspresikan, membentuk dan menyimbolkan realitas
budaya.Bahasa bagi orang Sunda, menjadi media artikulasi simbol nilai budaya dan
pandangan hidupnya. Karenanya bahasa Sunda dan bahasa jawa ketika digunakan sebagai
instrumen penafsiran, tidak saja mempermudah pemahaman atas Al-Qur’an,
menghidupkan bahasa Sunda dan bahasa Jawa dapat memperluas fungsi sosialnya, tetapi
sekaligus juga memuluskan jalan bagi masuknya pengaruh nuansa budaya Sunda dan
budaya jawa kearifannya ke dalam karya tafsir.
a. Dalam tafsir Sunda, tatakrama bahasa misalnya tampak pada terjemah QS. Thaha
[20]: 92-93:
Ngadawuh Nabi Musa, Hei Nabi Harun naon anu ngahalangan anjeun, waktu ningali
anjeun ka Bani Israil sasar kupur kabeh. Kana hanteu nurutkeun anjeun ka kaula.
Naha make nyulayaan anjeun kana parentah kaula.”Musa nyarita (ka Harun dina
nalika dongkapna ti gunung Thur): “He Harun! Naon nu janten pamengan ka anjeun
nalika anjeun ningali ka maranehna parantos sarasab (malusyrik)”. “Bet ngantep
henteu tumut kana conto kang rai (dina ambek karana Alloh sareng merangan
jalmijalmi nu kupur ka Mantenna)?, atanapi memang kang raka ngahaja doraka kana
parentahan kang rai?”Musa nyarita, “He Harun naon nu ngahalangan ka anjeun,
waktu anjeun mireungeuh maranehna geus sarasab?(Nepi ka) anjeun henteu nurut ka
kaula? Naha anjeun ngahaja wangkelang kana parentah kaula?”41Musa nyarita:
“Yeuh Harun, naon nu jadi halangan pikeun hidep basa hidep ngajeueung kasasar
lampah? Ku naon teu nurut ka kami? Naha hidep geus ngalawan kana parentah
kami?”
Ayat tersebut berbicara tentang Nabi Musa yang menegur kakaknya, Nabi Harun,
sepulangnya dari gunung Thursina. Musa marah karena kaum Bani Israil yang
ditinggalkan dan dititipkan pada Harun selama 40 hari itu malah melakukan
kemusyrikan dengan menyembah anak sapi.
b. Hal ini misalnya dapat ditemukan ketika ia menjelaskan kalimat rabb al-‘ālamīn
dalam Surah al-Fātiḥah/1.
Tegese kang amengerani ing wong alam kabeh. Utawa kang ngeratoni,utawa kang
mulasara…ing kawulane kabeh. Tur kang persifatan jalāl lan fersifatan jamāl. Tegese
setuhune Allah iku kang mulasara ing ruhane kelawan den paringi piro-piro
kemulyaan lan kang mulasara ing taqwane abidin kelawan den tetepi piro-piro hukum
syariat, lan kang mulasara ing atine wong kang muttaqin kelawan den tetepi adabe
tarīqah lan mulasara ing atine muḥibbīn kelawan den tetepi piro-piro anwārul
ḥaqīqah. Lan iya Allah iku Zat kang mertela’aken saben-saben perkoro kabeh
kelawan hukume minal ‘azali ilal abadi. Atawa asma rabb iku netepaken ing
nyembadani pendungan kaulane kerono Allah wus perintah ing kawulane kabeh
kapureh dungo lan saguh nyembadani.
Maksud kata rabb adalah Allah yang memerintah, menguasai, dan merawat semua
hamba-Nya. Ia mempunyai sifat jalāl dan jamāl. Allah adalah Zat yang merawat
ruhani para hamba dengan memberikan beragam kemuliaan, merawat ketakwaan
mereka dengan menganugerahinya kesetiaan menjalani hukum syariat, menjaga hati
para muttaqin dengan menganugerahinya kesetiaan pada adab tarekat, dan menjaga
hati para pecinta Tuhan dengan menganugerahinya kesetiaan dalam berpegang pada
anwārul ḥaqīqah. Allah adalah Zat yang menjelaskan segala suatu dengan sistem
aturan sejak zaman‘azali hingga zaman abadi. Nama rabb di sini meneguhkan bahwa
Ia akan mengabulkan doa para hamba-Nya, karena ia telah bertitah kepada para
hamba-Nya agar berdoa kepada-Nya, dan Ia akan mengabulkannya.
5. a. Menurut Muhammad Husain al-Dzahabi dalam kitab Tafsi>r al-Mufassiru>n
dijelaskan sikap mental bagi mufassir:
1) Tidak ceroboh dalam menjelaskan al-Qur’an tanpa menguasai bahasa Arab, dasar-
dasar syariat, dan ilmu-ilmu yang dibutuhkan dalam penajfsiran;
2) Tidak melampaui batas dalam menafsiri ayat yang menjadi hak prerogatif Allah.
Seperti menafsirkan ayat-ayat mutashabiha>t yang hanya Allah-lah yang tahu;
3) Tidak menafsirkan dengan mengikuti hawa nafsu dan persangkaan baik yang
muncul dari dirinya sendiri;
4) Tidak memantapkan tafsir dengan madzhab yang rusak;
5) Tidak boleh potong kompas dengan mengatakan yang dimaksud Allah adalah ini
dan itu tanpa dalil yang kuat. Hal ini dilarang syara’.
b. Menurut pendapat saya tentang Tafsir isyari adalah salah satu jenis tafsir yang
dalam memberikan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an kental dengan takwil, aspek-aspek
esoterik dan isyarat-isyarat yang terkandung dalam teks ayat-ayat Al-Qur’an. Terlepas
dari kontroversi yang terjadi dalam mengomentari jenis tafsir ini, yang jelas tafsir
isyari adalah merupakan bentuk dari kontribusi dari ulama dalam memperkaya
pembendaharaan literatur tafsir yang sekaligus juga memperluas pemahaman tentang
makna Al-Qur’an. Ala kulli hal tafsir isyari telah memberi warna yang khas dalam
diskursus tafsir dari masa ke masa. Sebagaimana aliran tafsir lainnya yang berpaling
untuk dikembangkan, tafsir isyari pun berkemungkinan bagi upaya pengembangannya
untuk masa kini dan masa mendatang.Tentu saja perhatikan terhadap rambu-rambu
penafsiran supaya termasuk tafsir isyari al-maqbul bukan tafsir isyari almardud.
Berbeda dengan tafsir bi al-ma’sur dan tafsir bi ar-ra’yi yang kebenaran (termasuk
pengembangannya) relatif mudah untuk diukur penerapan kriteria kebenaran tafsir
isyari sangatlah sulit. Ini terjadi karena sumbernya lebih mengandalkan hati atau
intuisi yang juga sangat sulit untuk dibedakan dari kemungkinan terkontaminasi
dengan hawa nafsu yang keliru.