Anda di halaman 1dari 4

RIWAYAT DUKA

Oleh Yolla Miranda


SMP Negeri 1 Kuningan
Juara Lomba enulis cerpen tingkat Provinsi Jawa Barat

SATU: Gemercik Warna Indah


“Peluh datar warna hidupku. Semasa janji tidak berkabut. Perling-perling senja
nyatanya kudapat selalu, tiada satu hampa ataupun kecewa. Kubahagia dengan nuansa ini.
Sungguh, mentari begitu mudahnya berpendar melalui celah jendela yang membias
sempurna.”
Kau tulis kalimat dahsyat berirama itu. Setiap huruf kau ukir dalam catatan harian
yang tak pernah sekali pun berdusta padamu. Kau patut acungkan keempat jempolmu untuk
mewakili rasa syukurmu atas kesetiannya.
Kau silakan kedua tanganmu untuk tempat berdagu. Kau tatap lembayung indah di
atas langit. Begitu indahnya kota Kuningan, meski kerap kali dianggap kecil dan penuh
dengan petuah-petuah palsu. Nyaman nian dirimu, bisa menikmatinya setiap hari, bahkan
selama 13 tahun ini, kau isi dengan kegiatan relaksasi macam itu.
“Rei, kau tak ingin ikut?” tanya ibu dengan nada lembut.
“Tidak, Bu. Aku ingin menikmati goresan warna jelita itu!” tunjukmu, sumringah.
“Kau terlalu hanyut dengan nuansa sore ini, Reina,” belai ibu hangat.
Kau tersipu, walau dalam hati kecilmu merasa risih dengan kedatangannya, karena
berpuluh-puluh kali ibu selalu saja melontarkan gumaman seperti itu.
Kau tatap lebih jauh. Ada kilat cahaya yang berkilau begitu anggun. Kalanya, kau
semakin hanyut, hingga kau tak sadari, helaian buku diarimu bertebaran, mengikuti pusaran
jingga.
DUA: Seantero Mimpi 1
Kau, bocah tengil berkulit eksotik, bergigi putih menawan. Senyummu memancar,
memberikasn sinar berhati lembut.

“Upacara Kiuturu Nandauw(1) sudah pu pace(2) laksanakan. Kelak, kau akan


dicintai orang-orang Komen(3),” lirih seorang pria berpakaian khas Papua.
Dia merengkuhmu dalam pelukannya. Seiring itu, kau diantarnya ke sebuah hutan
savana yang sangat mengerikan.
“Lapor, pohon Kaukurako telah kitong(4) temukan!” seru seorang pria bertubuh
tegap dengan pakaiannya yang terbuat dari serabut kelapa, dan buah labu yang nampaknya
dikeringkan.
Pria yang membawa ragamu tergopoh-gopoh berlari, menghambur kearah
kumpulan pohon berwarna putih.
“Saya harap, kalian merawat pepohonan ini. Tak aka nada tarian ular di suku
Kamoro jika Kaukurako saja tidak ada!” titahnya lugas.
“Sayang, anakku, mari kita melihat pertunjukkan tari ular yang pu pace
persembahkan untukmu, karena sudah satu tahun kau menjadi warga Pigapu.”
Pria itu berjalan, melangkahkan setiap permukaan bumi yang dibalut tanah dan
pasir kasar. Tubuhmu terhuyung, ke depan, belakang, karena begitu lantangnya dia berjalan.
“Ayo, lihatlah!” ajaknya bersemangat.
Dia menari, menampakkan seberapa lentur tubuhnya ditemani dua ekor ular kobra
berbisa. Kau ngeri melihatnya. Andai saja pria itu lepas kendali, kau yakin dia akan mati sia-
sia.
Oh, Tuhan! Benar saja! Semua perkiraan dan pra dugamu ternyata benar, ular itu
melilit lehernya yang berotot dan menyemburkan sebagian bisanya untuk mematikan nyawa
hidupnya.

(1)
Kiuturu Nandauw: upacara adat khas Papua
(2)
pu pace: ayah
(3) Komen: suku asli Papua
1 (4) kitong: kami
Tanpa bergeming, kau diam, terpaku memandang puluhan masyarakat Pigapu
berbondong-bondong membopong jasadnya. Dalam hati kecilmu muncul secercah
penyesalan, karena kau tak sempat memperingatinya, padahal telah ada firasat-firasat buruk
yang menyapa.
TIGA: Seantero Mimpi 2
“Bu, kudu kuat, teu kénging mundur. Abdi aya di dieu, moal ka mana-mana.
Ngado’a, Bu,” tuturmu, penuh harapan yang menggebu.
Kau tersentak, saat tiba-tiba saja kau serasa melayang, mengepakkan sayap dengan
lincah. Sekonyong-konyong, kau temui wanita muda yang terbaring lunglai di atas dipan
mini. Dia meremas-remas dadanya, napasnya terengah-engah, seakan telah berlari sejauh 60
kilometer.
Matamu sayu, mengamatinya dengan pilu. Secepat kilat menyambar, terbesit
bayanganmu agar tergerak dan membawanya ke rumah sakit. Namun kau terbisu, tergagap
dari semua curahan hatimu. Apa daya kau ini? Kau masih saja seboncel ini. Tak ada usaha
yang mampu mewujudkannya.
“Mengapa tak dibawa ke Puskesmas saja, Neng Sumi?” tanya seorang nenek
kepada ibu yang tengah memangkumu.
“Mustahil, Nek. Uang saja kami tak punya,” cetusnya pasrah.
“Puskesmas tak semahal rumah sakit,” elak si nenek.
“Ya, tapi tetap saja pakai uang, bukan begitu?” sambarnya, membalas dengan
ketus.
Matamu seolah meloncat-loncat, dari satu titik ke fokus lain, hingga kau pun
teramat pusing. Tapi, ingin rasanya kau menyetujui perkataan nenek itu.
“Nak…. Ka… kalau ibu per…gi, ki…ta tak bias main pelak cau(5) lagi,” tukas
wanita muda yang sedang mengalami ambang kehidupan.

(5) pelak cau: permainan Sunda, apabila yang kalah, ia harus menjadi
monyet. Yang menang menjadi pisangnya.
Terpaksa pula, kau tersenyum, meski terlihat begitu tawar. Kau tak mengerti apa
yang dimaksudnya. Kau seperti mesin yang digerakkan melalui simbol-simbol biner.
“Ya, Allah!” jerit Ibu Sumi, memecah kebingungan sesaat.
“Innalillahi…. Ya, Allah!” lanjut si nenek dengan air mata yang berderai penuh
duka.
Kau terkesiap. Lagi-lagi suatu penyesalan bergemuruh ria di hatimu. Kau seperti
terombang-ambing. Satu sisi kau sedih, di sisi lain kau menyesal, karena apa yang ada di
benakmu tadi tidak terlaksana. Andai, kau turuti kata hatimu, kiranya ini semua tak akan
terjadi!
Tuhan, seberapa banyak macam andai di dunia? Haruskah kau ucapkan seluruhnya
untuk menenangkan pikiranmu yang sedang galau? Kau terlambat, sungguh telat! Cabang
jiwamu terlalu banyak, waktu berimpit dengan perasaan risau, hingga sulitnya dirimu
memutuskan mana yang terbaik.
EMPAT: Kemurnian Fakta
“Rei, Reina, bangun!”
Ibu mengguncang kedua pundakmu. Pikiranmu masih terbang jauh di sana. Terasa
sulit bagimu untuk mengangkap jiwamu kembali. Kau terhempas, dan masuk kembali ke
dalam jasmanimu yang kaku.
“Tidak!” erangmu kesal.
“Ada apa, Rei?” desak ibu cemas.
Kau menggeleng. Cucuran peluh membasahi punggungmu, dan di anatara
keningmu pun terkandung jentik-jentik keringat tak bersalah.
“Mimpi buruk!” gerammu seraya menggenggam erat ujung bantal yang empuk.
“Tak apa, ceritakanlah pada ibu. Apa pun itu, ibu pasti akan menganggapnya
logis,” tukas ibu sigap.
Perlahan, kau tarik napasmu, dan menghembuskannya hati-hati. Ada satu makna
yang bergelora menyambutmu. Tak ingin lagi kau tahan, karena ini cukup mencabik batinmu
yang resah.

LIMA: Deburan Angin Malam


2 Di seluruh penjuru,
menyikapi hari yang tak pasti
dengan dentingan masa lalu
kau pasti terkubur lini.
Satu makhluk yang bertumpu
mengelakkan denyutan kini.
Kalau bukan mereka yang tugu,
lalu siapa aku ini?
Jalang yang lugu?

Kau sesali dirimu sendiri. Kau pukuli tangan-tangan tak bernoda itu. Kau merintih,
bagai sesambar derita yang kian melengkung. Kau tergelak saat tahu, kau bukan anak
kandung mereka! Kau adalah gadis belia yang terlahir dari dua suku bertentangan. Ras Papua,
dan ras Sunda. Ayahmu berkulit hitam, sementara ibumu kemayu lembut. Mereka
menyembunyikan ini di dalam telapak kakinya yang tak pernah terjamah orang lain. Kau
tersiksa! Kau pikir kemewahan ini adalah untukmu seutuhnya, namun nihil jawabannya!
“Terimakasih untuk semua teka-teki ini. Aku ingin pergi, menemui kedua
orangtuaku. Walaupun sebetulnya aku terlambat, aku tak pernah sadari di mana waktu
berputar, tapi tetap, tekadku bulat!” jelasku sigap.
Mereka berdua termangku, termenung dengan wajah menunduk. Kau tahu?
Mereka sedang menyembunyikan air mata yang mengalir di pelupuk mewahnya.
Kau nampak santai, meski dalam hati kecilmu beringsut menolak, tapi kau
paksakan agar mentalmu siap untuk bertemu kedua orangtuamu, bagaimana pun keadaannya.
Kau diantar dengan mobil Maven bernuansa silver. Di dalam hanya ada kau dan
ayahmu-yang dulu menganggap kau adalah anak kandungnya. Ibu tirimu tak turut serta. Kau
yakin beliau malu menerima kebongkaran jati dirimu.
Kau siap menghadapi lembaran hidupmu yang baru?

ENAM: Waktu yang Memicing


Kau telah terlambat beberapa episode. Kau bukanlah gadis yang dulu diperkirakan
akan sangat beruntung. Selama 13 tahun, kau isi setiap detiknya dengan orang-orang yang
semestinya tak ada dalam otakmu. Kau tak pandai me-manage waktumu, hingga kau tak
sukses melawan lika-liku hidupmu.
Melalui mimpi berlanjut itu, kau temukan suatu makna yang berarti. Kau tahu
fakta yang terjadi. Namun, sering kali kau temukan ukiran hitam berartikan “terlambat”. Kau
terlambat memperingati pria itu-yang ternyata adalah ayah kandungmu. Kedua, kau terdesak
dengan peristiwa wanita muda itu-yang sesungguhnya adalah ibu kandungmu. Betapa banyak
keterlambatan yang selalu menuai kontrovensi? Tak bisakah kau mendongakkan kepalamu
untuk sekadar melihat waktu yang berpacu? Sadarkah kau, bahwa sejujurnya kau belum
mendapatkan secuil kesuksesan? Sampai kapan pun kau merenung dan duduk tepekur jika
tidak memikirkannya!
Di rumah yang sangat minim ini, akhirnya kau temukan jua cinta kasih kedua
orangtuamu. Meski tak sebahagia dan semakmur dulu, tapi kau rasa ini adalah anugerah
terhebat.
Keseharianmu di sudut kota Ciamis sangatlah berbeda. Kemarin, tempat
bernaungmu bermedium luas, tapi kini kecil dan amatlah tidak menarik. Maklum, ayahmu
hanyalah seorang buruh pabrik, sementara ibumu membantu tetangga dengan upah
seikhlasnya.
“Bu, ternyata waktu seperti memicing ke arahku,” katamu gusar.
“Memang apa salahmu pada waktu?”
“Aku selalu terlambat, sehingga aku sendiri pun tak mengerti apa arti dari
kesuksesan itu.”
Ibu membelai rambutmu dengan lembut, kemudian mengecup keningmu.
“Ada satu yang paling terlambat kau sadari, kau tak pernah menghormati
waktumu.”
“Ya, tapi bagaimana caranya?” timpalmu remang.
“Cobalah untuk disiplin. Hidup boleh susah, tapi masa depanmu tak boleh curam.
Kau masih muda, maklum kau mengalami suatu dilema dengan kesuksesanmu, bahkan bisa
dibilang, kemarin kita gagal semua, menutup misteri, dan membiarkan waktu menangis,” jelas
ibu syahdu.
3
TUJUH: Akhir yang Sempurna
Kau tutupi malam dengan rasa khidmat. Kau rubah kebiasaanmu di masa lampau.
Kau tahu arti kesuksesan. Ibu bilang, sukses bukan hanya dalam masalah cita-cita, namun
hidup yang senantiasa kita jalani. Kegagalan tak akan pernah ada, jika hati kita bersorak,
“DISIPLIN!”. Kau akan menggali dan memacu adrenalinmu untuk membuat satu sentuhan
besar bagi kedua orangtuamu.
Hari ini, suatu titik yang menyeringai, kau angkat kedua kakimu untuk mengayuh
sepeda ontelmu. Kau arahkan sasaran ke SMPN 1 Ciamis. Sekolah sederhana, cocok bagi
kalangan menengah ke bawah. Kau nikmati desis-desis keagungan ini. Tak ingin lagi kau
ingat masa lalu, dekade gemilang bagai tongkat sihir, mengabulkan setiap permintaan dengan
cepat.
DENGAN INI KAMI MENYATAKAN, BAHWA ANANDA “REINA MIRSAD
ANUGERAH” DINYATAKAN LOLOS SELEKSI OLIMPIADE IJSO (INTERNATIONAL
JUNIOR SAINS OLYMPIAD) DAN BERHAK MAJU KE TINGKAT INTERNATIONAL
DI BRAZIL.
Begitu sumringahnya dirimu, ketika lembaran kemenangan itu kau baca. IJSO,
olimpiade paling bergengsi di dunia. Kau mencapai puncak kejayaan. Kau lolos seleksi
melawan ratusan siswa di seluruh Indonesia. Sungguh, ini semua adalah ganjaran yang tepat.
Setiap malam kau berkutat dengan buku, tengah malam kau dirikan shalat tahajjud yang
menyejukan. Karena kedisiplinanmu, kau dapat menangkap sebutir kesuksesan. Maka kelak,
kau akan penuhi semua pepatah yang ada pada prasasti Kawali: “Ayama nu pandeuri, pakena
gawe rahayu, pakeun heubeul jaya di buana”. Sebagai generasi muda, kau harus
memperjuangkan bangsa ini, seperti orang-orang terdahulumu.
Ketika waktu merintih, semua kalut. Ketika waktu berteman, semua abaikan,
menganggap waktu hanya sekadar ilusi semata.

Anda mungkin juga menyukai