(1)
Kiuturu Nandauw: upacara adat khas Papua
(2)
pu pace: ayah
(3) Komen: suku asli Papua
1 (4) kitong: kami
Tanpa bergeming, kau diam, terpaku memandang puluhan masyarakat Pigapu
berbondong-bondong membopong jasadnya. Dalam hati kecilmu muncul secercah
penyesalan, karena kau tak sempat memperingatinya, padahal telah ada firasat-firasat buruk
yang menyapa.
TIGA: Seantero Mimpi 2
“Bu, kudu kuat, teu kénging mundur. Abdi aya di dieu, moal ka mana-mana.
Ngado’a, Bu,” tuturmu, penuh harapan yang menggebu.
Kau tersentak, saat tiba-tiba saja kau serasa melayang, mengepakkan sayap dengan
lincah. Sekonyong-konyong, kau temui wanita muda yang terbaring lunglai di atas dipan
mini. Dia meremas-remas dadanya, napasnya terengah-engah, seakan telah berlari sejauh 60
kilometer.
Matamu sayu, mengamatinya dengan pilu. Secepat kilat menyambar, terbesit
bayanganmu agar tergerak dan membawanya ke rumah sakit. Namun kau terbisu, tergagap
dari semua curahan hatimu. Apa daya kau ini? Kau masih saja seboncel ini. Tak ada usaha
yang mampu mewujudkannya.
“Mengapa tak dibawa ke Puskesmas saja, Neng Sumi?” tanya seorang nenek
kepada ibu yang tengah memangkumu.
“Mustahil, Nek. Uang saja kami tak punya,” cetusnya pasrah.
“Puskesmas tak semahal rumah sakit,” elak si nenek.
“Ya, tapi tetap saja pakai uang, bukan begitu?” sambarnya, membalas dengan
ketus.
Matamu seolah meloncat-loncat, dari satu titik ke fokus lain, hingga kau pun
teramat pusing. Tapi, ingin rasanya kau menyetujui perkataan nenek itu.
“Nak…. Ka… kalau ibu per…gi, ki…ta tak bias main pelak cau(5) lagi,” tukas
wanita muda yang sedang mengalami ambang kehidupan.
(5) pelak cau: permainan Sunda, apabila yang kalah, ia harus menjadi
monyet. Yang menang menjadi pisangnya.
Terpaksa pula, kau tersenyum, meski terlihat begitu tawar. Kau tak mengerti apa
yang dimaksudnya. Kau seperti mesin yang digerakkan melalui simbol-simbol biner.
“Ya, Allah!” jerit Ibu Sumi, memecah kebingungan sesaat.
“Innalillahi…. Ya, Allah!” lanjut si nenek dengan air mata yang berderai penuh
duka.
Kau terkesiap. Lagi-lagi suatu penyesalan bergemuruh ria di hatimu. Kau seperti
terombang-ambing. Satu sisi kau sedih, di sisi lain kau menyesal, karena apa yang ada di
benakmu tadi tidak terlaksana. Andai, kau turuti kata hatimu, kiranya ini semua tak akan
terjadi!
Tuhan, seberapa banyak macam andai di dunia? Haruskah kau ucapkan seluruhnya
untuk menenangkan pikiranmu yang sedang galau? Kau terlambat, sungguh telat! Cabang
jiwamu terlalu banyak, waktu berimpit dengan perasaan risau, hingga sulitnya dirimu
memutuskan mana yang terbaik.
EMPAT: Kemurnian Fakta
“Rei, Reina, bangun!”
Ibu mengguncang kedua pundakmu. Pikiranmu masih terbang jauh di sana. Terasa
sulit bagimu untuk mengangkap jiwamu kembali. Kau terhempas, dan masuk kembali ke
dalam jasmanimu yang kaku.
“Tidak!” erangmu kesal.
“Ada apa, Rei?” desak ibu cemas.
Kau menggeleng. Cucuran peluh membasahi punggungmu, dan di anatara
keningmu pun terkandung jentik-jentik keringat tak bersalah.
“Mimpi buruk!” gerammu seraya menggenggam erat ujung bantal yang empuk.
“Tak apa, ceritakanlah pada ibu. Apa pun itu, ibu pasti akan menganggapnya
logis,” tukas ibu sigap.
Perlahan, kau tarik napasmu, dan menghembuskannya hati-hati. Ada satu makna
yang bergelora menyambutmu. Tak ingin lagi kau tahan, karena ini cukup mencabik batinmu
yang resah.
Kau sesali dirimu sendiri. Kau pukuli tangan-tangan tak bernoda itu. Kau merintih,
bagai sesambar derita yang kian melengkung. Kau tergelak saat tahu, kau bukan anak
kandung mereka! Kau adalah gadis belia yang terlahir dari dua suku bertentangan. Ras Papua,
dan ras Sunda. Ayahmu berkulit hitam, sementara ibumu kemayu lembut. Mereka
menyembunyikan ini di dalam telapak kakinya yang tak pernah terjamah orang lain. Kau
tersiksa! Kau pikir kemewahan ini adalah untukmu seutuhnya, namun nihil jawabannya!
“Terimakasih untuk semua teka-teki ini. Aku ingin pergi, menemui kedua
orangtuaku. Walaupun sebetulnya aku terlambat, aku tak pernah sadari di mana waktu
berputar, tapi tetap, tekadku bulat!” jelasku sigap.
Mereka berdua termangku, termenung dengan wajah menunduk. Kau tahu?
Mereka sedang menyembunyikan air mata yang mengalir di pelupuk mewahnya.
Kau nampak santai, meski dalam hati kecilmu beringsut menolak, tapi kau
paksakan agar mentalmu siap untuk bertemu kedua orangtuamu, bagaimana pun keadaannya.
Kau diantar dengan mobil Maven bernuansa silver. Di dalam hanya ada kau dan
ayahmu-yang dulu menganggap kau adalah anak kandungnya. Ibu tirimu tak turut serta. Kau
yakin beliau malu menerima kebongkaran jati dirimu.
Kau siap menghadapi lembaran hidupmu yang baru?