Anda di halaman 1dari 9

Teks Hikayat

HIKAYAT “IBNU HASAN”

Syahdan, zaman dahulu kala, ada seorang kaya hartawan, bernama Syekh Hasan, banyak harta banyak uang,
terkenal kesetiap negeri, merupakan orang terkaya, bertempat tinggal du negeri Bagdad, yang terkenal kemana-
mana, sebagai kota yang paling ramai saat itu. Syekh Hasan sangat bijaksana, mengasihi fakir miskin, menyayangi
yang kekurangan, menasehati yang berikiran sempit, mengingatkan orang yang bodoh, diajari ilmu yang baik,
walaupun harus mengeluarkan biaya, berupa pakaian atau uang, karena itu banyak pengikutnya.

Syekh Hasan saudagar yang kaya raya, memiliki seorang anak, laki-laki yang sangat tampan, pendiam, dan
baik budi, berusia sekitar tujuh tahun. Ibnu Hasan namanya. Ibnu Hasan sedang lucu-lucuya, semua orang senang
melihatnya, apalagi orang tuanya, namun demikian anak itu, tidak sombong, perilakunya kalem, walaupun
hidupnya dimanjakan, tidak kekurangan sandang, namun Ibnu Hasan sama suka bersolek, karena itulah kedua
orang tuanya sangat menyayanginya. Ayahnya berfikir,”Alangkah salahnya aku, menyayangi diluar batas, tanpa
pertimbangan, bagaimana kalau akhirnya, dimirkai Allah Yang Agung, aku pasti durhaka, tak dapat mendidik
anak, mengkaji ilmu yang bermanfaat.”

Dipanggilnya putranya. Anak itu segera mendatanginya, diusap-usapnya putranya sambil dinasihati, bahwa Ia
harus mengaji, katanya “Sekarang saatnya anakku, sebenarnya aku kuatir, tapi, pergilah ke Mesir, carilah jalan
menuju keutamaan.” Ibnu Hasan menjawab,”Ayah jangan ragu-ragu, jangankan jalan menuju kemuliaan, jalan
kematianpun hamba jalani, semua kehendak orang tua, akan hamba turuti, tidak akan ku tolak, siang malam hanya
perintah Ayah Ibu yang hamba nantikan.”

Singkat cerita, Ibnu Hasan yang akan berangkat kepesantren, berpisah dengan kedua orangtuanya, hatinya
sangat sedih, ibunya tidak tahan menangis terisak-isak, harus berpisah dengan putranya, yang masih sangat kecil,
belum cukup usia. “Kelak, apabila ananda sudah sampai, ketempat merantau, pandai-pandailah menjaga diri,
karena jauh dari orang tua, harus tahu ilmunya hidup, jangan keras kepala, angkuh dan menyombongkan diri,
merasa lebih dari yang lain, merasa diri orang kaya lalu menghina sesama. Kalau begitu perbuatanmu, hidupmu
tidak akan senangkaena dimusuhi semua orang, tidak akan ada yang mau menolong, kalau celaka tidak akan
diperhatikan, berada dirantau orang, kalau judes akan mendapatkan kesusahan, hati-hatilah menjaga diri jangan
menganggap enteng segala hal.” Ibnu Hasan menjawab dengan takzim,”Apa yang Ibu katakan, akan selalu kuingat
dan kucatat dalam hati, doakanah aku agar selamat, semoga jangan sampai menempuh jalan yang salah, pesan Ibu
akan kuperhatikan, siang dan malam.”

Singkat cerita Ibnu Hasan sudah berangkat dikawal dua pengasuhnya sejak kecil, Mairin dan Mairun,mereka
berangkat berjalan kaki, Mairun memikul semua perbekalan dan pakaian, sementara Mairin mengikuti dari
belakang, sesekali menggantikan tugas Mairun. Perasaan sedih prihatin, kehujanan, kepanasan, selama perjalanan
yang makan waktu berhari-hari namun akhirnya sampai juga dipusat kota Negara Mesir, dengan selamat berkat
do’a Ayah dan Ibunda, selanjutnya, segera Ian menemui seorang alim ulama, terus berguru padanya. Pada suatu
hari, saatba’da zuhur, Ibnu Hasan sedang di jalan, bertemu seseorang bernama Saleh, yang baru pulang dari
sekalah, Ibnu Hasan menyapa,”Anda pulang dari mana?”

Saleh menjawab dengan sopan,”Saya pulang sekolah.” Ibnu Hasan bertanya lagi,” Sekolah itu apa? Coba
jelaskan padaku!” yang ditanya menjawab,”Apakah anda belum tahu?” “sekolah itu tempat ilmu, tepatnya tempat
belajar, berhitung, menulis, mengeja, belajar tatakrama, sopan santun terhadap yang lebih tua dan yang lebih
muda, dan terhadap sesama, harus sesuai dengan aturan.” Begitu Ibnu Hasan mendengar penjelasan tersebut,
betapa girang hatinya, di segera pulang, menghadap kyai dan meminta izinya, untuk belajar disekolah, guna
mencari ilmu. Sekarang katakan padaku apa yang sebenarnya kamu harapkan.”

Kyai berkata demikian, tujuan untuk menguji muridnya, apakah betul-betul ingin mencari ilmu atau hanya
alasan supaya mendapat pujian. Ibnu Hasan menunduk, menjawab agak malu,”Hamba ingin menjelaskan mengapa
hamba besusah payah tanpa mengenal lelah, mencari ilmu. Memang sangkaan orang begitu karena ayahku kaya
raya, tidak kekurangan uang, ternaknyapun banyak, hamba tidak usah bekerja, karena tidak akan kekurangan.
Namun, pendapat hamba tidak demikian, akan sangat memalukan seandainya ayah sudah tiada, sudah menunggal
dunia, semua hartanya jatuh ketangan hamba.
Tapi, ternyata tidak terurus karena saya tidak teliti akhirnya harta itu habis, bukan bertambah. Distulah terlihat
ternyata kalau hamba ini bodoh. Bukan bertambah mashur, asalnya anak orang kaya, harus menjadi buruh.
Begitulah pendapat saya karena modal sudah ada saya hanya tinggal melanjutkan. Pangkat anakpun begitu pula,
walaupun tidak melebihiorang tua, paling tidak harus sama dengan orang tua, dan tidak akan melakukan, apalagi
kalau lebih miskin, ibaratnya anak seorang patih.” Maka, yakinlah kyai itu akan bauk muridnya.

Teks cerpen
"Sandal Jepit Merah" Karya S.Rais

Senja memerah. Langit sajdikan semburat jingga yang berkobar di batas horison. Sesaat lagi malam akan
menebarkan keremangan yang membaur bersama napas kesunyian. Perlahan, alam mulai melepaskan diri dari
jeratan hari. Seakan jemu menimbun lelah, bumi mulai meredupkan kehidupannya. Aroma sepi mulai menyebar ke
setiap celah uadara. Berbondng-bondong angin malam mulai menjalankan tugasnya menyelimuti semesta hitam.
Malam pun menetes.

Di salah satu sudut remang, seseorang perempuan tua berselonjor diatas sebuah bangku bambu. Dipijatnya
urat-urat kaki yang menegang akibat rutinitas melelahkan sehari ini. Kulit-kulit keriputnya seakan   bicara tentang
lelah yang telah menggunung seperti tumpukan samaph yang ada di belakang gubuk reyotnya. Matanya layu dan
redup. Sepasang mata itu digendong kantung mata kehitaman yang makin melebar. Sesekali di kedipkan dalam-
dalam, sebagai cara untuk memperjelas apa yang menghampar di hadapannya. Tetapi percuma saja. Matanya telah
tua setua perjalanan kepedihannya yang menahun, dari perempuan itu tak mampu lagi menikmati tarian kunang-
kunang yang muncul sebagai teman dalam pekat malamnya.

Sepasang Sandal jepit tipis berwarna merah tergeetak begitu saja dibawah bangku bambu. Sandal itu
dihinggapi lubang disana-sini. Tak hanya itu, sandal tua itu pun dihinggapi bercak bercak kecoklatan. Seperti darah
yang mengering.Ya,darah! Bahkan diatas permukaan salah satu sandal itu msih terdapat darah segar. Darah itu
bermuncrat dari kakinya. Di kakinya masih terdapat serpihan pecahan kaca yang belum sempat dibersihkan.
Pecahan kaca yang tadinya telah  bercampur dengan darah merah, darah yang terus menumpuk diatas sandal jepit
merahnya.

Lima Tahun berlalu setelah Mamat mengawini perumpuan itu di usia belia, lima belas tahun.mSebagai
anak yatim piatu sebatang kara, perempuan itu tak mungkin menolak lmaran Mamat, lelaki yang berumur dua
puluh lia yang begitu sayang padanya. Dengan berbekal keterampilan, di bidang bangunan Mamat mampu
membiayai hidupnya dan menyewa sepetak kamar di pggir kota. Kebahagiannya semakin lengkap setelah dari
rahimnya lahir seorang anak sehat walaupun pada saat itu usianya baru enam belas.

Anak laki-laki itu di namainya Zaenal Muttaqin yang tumbuh sebagai anak yang pintar, cerdas, dan pandai
bernyanyi. Tak teritung do’a dan harapan yang diajukan pada Sang Pencipta demi kesuksesan masa depan anaknya
itu. Dalam pelukan mimpi, sering kali ia melihat anknya tumbuh menjadi lelaki tampan, terkadang menjdai
dokter,olahragawan,bahkan presiden. Mimpi-mimpi itulah yang menjadi motivasi untuk selalu bersemangat
menjalani hidup meski dililit beban sesulit apapun.

Tetapi mimpi-mimpi itu harus mati dilandas hari. Disuatu senja yang memerah, burung gagak bertengger
di atap kamar kontrakannya. Berbondong-bondong para tetangga mendatanginya yang sedang memasak agar-agar
untuk pangeran kecilnya. Pak RT memimpin rombongan sambil menggendong Zaenal mungil yang baru saja
berusia 4 tahun itu. Tubuh bocah itu kuyup. Matanya terpejam bagai putri tidur. Tangannya
menggelantunglemas.Tak ada naas. Langit merah mulai menghitam setelah keriuhan dihantam lantunan Adzan.
Air mta membanjir Zaenal mungil telah pergi dijemput malam. Sungai yang tenang di pinggir kampung terlalu
dalam untuk direnanginya tadi siang. Saat ditemukan tubuhnya telah mengembang bagai perahu. Di pinggir
sungai, sepasang sandal jepit mungil berwarna merah darah kesayangan Zaenal mungil terbujur bisu.
***

Empat puluh hari setelah kematian zaenal mungil kesayangannya, perempuan itu selalu melangkah dalam
mata kosong diatas sepasang sandal jepit merah. Hidupnya seakan usai begitu saja setelah cahaya hatinya pergi
dicuri takdir. Tak ada lagi cahaya di dalam hidupnya tak terkecuali suami yang selama ini dicintainya sepenuh hati.
Kematian Zaenal mungil telah menimbun kebencian di benak mamat masih terngiang di telinga perempuan itu
ketika mamat mencacinya habis habisan stelah tau bahwa bah hatinya pergi mendahului.

“Berengsek! Istri macem apa kamu? Ceroboh! tak bisa menjaga anak!”
“Ampun kang! Saya akui saya memang ceroboh, tetapi ini semua sudah menjadi takdir-Nya. Terimalah kang. Saya
ibunya, saya lebih sedih ketimbang akang. Ma’afkan saya kang!” “Pergi kamu!” Perempuan itu memeluk kaki
suaminya sambil menangis hebat penuh penyesalan. Tetapi tak ada ampun dari Mamat. Perempuan itu di
tendangnya. Kepalanya membentu dinding tubuhnya tersungkur diatas sandal jepit merahnya. Setelh itu ia tak
ingat apa-apa lagi. Sandal jepit merahnya kini dibasahi air matanya.

Alangkah terkejutnya perempuan itu setelah tau bahwa suaminya berniat untuk mengawini wanita lain, ia
hanya pasrah, berharap kabar itu tidak benar adanya. Dan kalaupun benar-benar terjadi, ia hanya berharap
suaminya mau memaafkan dan tetap mencintainya seperti  lima tahu yang lalu. Tetapi harapannya kembali usang.
Suatu hari ketika perempuan yang telah diusir suaminya itu bermaksud kembali ke kontrakannya, kamar penuh
kenangan itu kosong tak ada yang tau kemana perginya sang suami harapannya. Ia hanya mendengar kabar bahwa
suaminya akan tinggal di desa  asal istri barunya, entah dimana. Seketika hatinya seakan dibanjiri darah. Darah
merah semerah sandal jepitnya. Ia gamang menentukan kelanjutan langkahnya. Ia hanya melangkah menentukan
helai-demi helai angin yang sirna setelah menypanya. Ia berjalan menyusuri kehidupan di dialasi sepasang sendal
jepit merah. Entah harus kemana lagi.

***

Berpuluh puluh tahun lamanya perempuan itu hidup bergantung pada siang dan malam. Ia hanya
gelandangan tanpa tujuan yang hidup dari belas kasihan orang yang lalu lalang di depan tempat duduknya. Pernah,
suatu ketika ia mendapatkan pekerjaan sebagai seorang pembantu rumah tangga. Tetapi bukan sebuah keluarga
yang diurusinya, melainkan sebuah tempat jual  narkoba. Bertahun tahun ia hidupa di dunia hitam yang
dikutukinya dalam hati. Baginya tak ada jalan lin. Hidup tanpa ijazah pendidikan formal bagai mendaki gunung
tanpa kaki. Mungkin keajaiban Tuhan pulalah yang telah menghantarkannya pada pekerjaan saat ini.   Berkali-kali
majikannya sebagai bandar narkoba, menwarinya sebagai pengedar barang haram tersebut sekaligus sebagi wanita
tuna susila. Tetapi, ia bersikeras walau sebagai pembantu gajinya sangat kecil. Ia tidak tertarik sedikitpun pada
penghasilan yang lumayan besar seperti yang didapat oleh perempuan cantik yang sering berkumpul dirumah
majikannya itu.

Lama-Lama ia tidak tahan juga,apalagi setelah sang majikannya memaksa untuk mengikuti keinginannya,
yaitu menjadikannya seorang wanita tuna susila. Ia bertahan dengan pendiriannya dan pergi meninggalkan istana
yang penuh dosa itu. Dengan uang yang dikumpulkannya, ia membeli sebuah gebuk reyot yang ada di sekitar
tempat pembuangan sampah di kota lain. Disitulah ia memulai kehidupan barunya sebagai seorang pemungut paku
bekas yang tersembunyi di tumppukan sampah yang menggunung. Dan itu berlalu begitu saja, berpuluh-puluh
tahun lamnya.

***

Malam  msih menyajikan aroma kesunyian di sekitar gubuk reyot itu. Bulan pucat memandanginya dari
balik bayang awan hitam. Lampu tempel di dinding kini telah dihinggapi jelaga seiring dengan malam yang
semakin tua. Perempuan itu membasuh kaki kotornya dengan air dingin. Luka-luka mengering di telapak kakinya
bagai prasasti yang menceritakan kepedihan hidupnya selama ini, selama puluhan tahun. Seiring dengan
pergantian waktu, sandal jepit merahnya yang dulu telah berkali kali diganti dengan sandal jepit merah baru. Kini
sandal jepit merahnya telah banyak di hinggapi lubang dan bercakdarah karena tusukan beling dan paku berkarat,
dan ia harus menggantinya dengan sandal jepit merah yang baru.

Sumber : bandung post, 19-25 juli 2005


LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK

LKPD 1 (kelompok)
Nama/No :

Kelas :

KD 3.4 Membandingkan nilai-nilai dan kebahasaan cerita rakyat (hikayat) dan cerpen

Soal!

1. Identifikasikanlah nilai-nilai (nilai budaya, nilai sosial, nilai moral, nilai keagamaan, dan nilai
pendidikan) beserta bukti yang terdapat pada teks cerita rakyat (hikayat) “ Ibnu Hasan” dan teks
cerpen “ Sandal Jepit Merah”!
2. Klasifiksikan persamaan nilai-nilai (nilai budaya, nilai sosial, nilai moral, nilai keagamaan, dan nilai
pendidikan) beserta bukti yang terdapat pada teks cerita rakyat (hikayat) “ Ibnu Hasan” dan teks
cerpen “ Sandal Jepit Merah”!
3. Klasifikasikan perbedaan nilai-nilai (nilai budaya, nilai sosial, nilai moral, nilai keagamaan, dan nilai
pendidikan)beserta bukti pada teks cerita rakyat (hikayat) “ Ibnu Hasan” dan teks cerpen “ Sandal
Jepit Merah”!
4. Simpulkanlah persamaan dan perbedaan nilai-nilai (nilai budaya, nilai sosial, nilai moral, nilai
keagamaan, dan nilai pendidikan) dari kedua teks tersebut!

No Aspek Cerita Rakyat (Hikayat) Cerita Pendek

1. Identifikasi nilai Nilai sosial: ada seorang kaya hartawan, Nilai budaya(dalam cerpen Sandal
budaya, nilai bernama Syekh Hasan, banyak harta Jepit Merah" tersebut masyarakat
sosial, nilai banyak uang, terkenal kesetiap negeri, yang digambarkan adalah
moral, nilai merupakan orang terkaya, bertempat sekelompokorang yang tinggal di
keagamaan, dan tinggal du negeri Bagdad, yang terkenal kawasan pinggiran kota. Mereka
nilai pendidikan kemana-mana, sebagai kota yang paling tergolong ke dalam strata sosial
dan buktinya ramai saat itu. Syekh Hasan sangat menengah ke bawah)
bijaksana, mengasihi fakir miskin,
Dengan berbekal keterampilan, di
menyayangi yang kekurangan, menasehati
bidang bangunan Mamat mampu
yang berikiran sempit, mengingatkan orang
membiayai hidupnya dan menyewa
yang bodoh, diajari ilmu yang baik,
sepetak kamar di pggir kota.
walaupun harus mengeluarkan biaya,
Kebahagiannya semakin lengkap
berupa pakaian atau uang, karena itu
setelah dari rahimnya lahir seorang
banyak pengikutnya.
anak sehat walaupun pada saat itu
usianya baru enam belas.
Nilai keagamaan Nilai Sosial

Syekh Hasan sangat bijaksana, mengasihi Bertahun tahun ia hidupa di dunia


fakir miskin, menyayangi yang hitam yang dikutukinya dalam hati.
kekurangan, menasehati yang berikiran Baginya tak ada jalan lin. Hidup
sempit, mengingatkan orang yang bodoh, tanpa ijazah pendidikan formal
diajari ilmu yang baik, walaupun harus bagai mendaki gunung tanpa kaki.
mengeluarkan biaya, berupa pakaian atau Mungkin keajaiban Tuhan pulalah
uang, karena itu banyak pengikutnya yang telah menghantarkannya pada
pekerjaan saat ini. Berkali-kali
Nilai Moral (Menaati nasihat orang
majikannya sebagai bandar
tua)Sekarang saatnya anakku, sebenarnya
narkoba, menwarinya sebagai
aku kuatir, tapi, pergilah ke Mesir, carilah
pengedar barang haram tersebut
jalan menuju keutamaan.” Ibnu Hasan
sekaligus sebagi wanita tuna susila.
menjawab,”Ayah jangan ragu-ragu,
jangankan jalan menuju kemuliaan, jalan Nilai Moral: Berkali-kali
kematianpun hamba jalani, semua majikannya sebagai bandar
kehendak orang tua, akan hamba turuti, narkoba, menwarinya sebagai
tidak akan ku tolak, siang malam hanya pengedar barang haram tersebut
perintah Ayah Ibu yang hamba nantikan.” sekaligus sebagi wanita tuna susila.
Tetapi, ia bersikeras walau sebagai
Nilai pendidikan (Ibnu Hasan yang tulus
pembantu gajinya sangat kecil. Ia
niatnya untuk belajar) alasan ibnu Hasan
tidak tertarik sedikitpun pada
ingin mencari ilmu disekolah walaupun ia
penghasilan yang lumayan besar
sudah berkecukupan adalah, supaya kelak
seperti yang didapat oleh
bisa meneruskan kesuksesan
perempuan cantik yang sering
ayahnya,pangkat anakpun begitu pula,
berkumpul dirumah majikannya itu.
walaupun tidak melebihi orang tua, paling
tidak harus sama dengan orang tua, dan Lama-Lama ia tidak tahan
tidak akan melakukan, apalagi kalau lebih juga,apalagi setelah sang
miskin, ibaratnya anak seorang patih bagi majikannya memaksa untuk
orangtua nya mengikuti keinginannya, yaitu
menjadikannya seorang wanita tuna
Nilai budaya (Ayah yang menginginkan
susila. Ia bertahan dengan
pendidikan untuk anaknya)Ayahnya
pendiriannya dan pergi
berfikir,”Alangkah salahnya aku,
meninggalkan istana yang penuh
menyayangi diluar batas, tanpa
dosa itu
pertimbangan, bagaimana kalau akhirnya,
dimirkai Allah Yang Agung, aku pasti Nilai keagamaan
durhaka, tak dapat mendidik anak,
Tak teritung do’a dan harapan yang
mengkaji ilmu yang bermanfaat.”
diajukan pada Sang Pencipta demi
Dipanggilnya putranya. Anak itu segera kesuksesan masa depan anaknya
mendatanginya, diusap-usapnya putranya itu.
sambil dinasihati, bahwa Ia harus mengaj
Nilai Pendidikan wanita tersebut
masih menjunjung tinggi moralnya
dengan menolak sebagai pengedar
narkoba dan menolak untuk
menjadi wanita tuna susila, dengan
mengikuti pendiriannya, wanita
tersebut pergi dan mencari
pekerjaan lain yang halal

2. Persamaan -Teks hikayat dan teks cerpen sama-sama memiliki nilai moral :

Nilai moral hikayat : (Menaati nasihat orang tua)Sekarang saatnya anakku,


sebenarnya aku kuatir, tapi, pergilah ke Mesir, carilah jalan menuju keutamaan.”
Ibnu Hasan menjawab,”Ayah jangan ragu-ragu, jangankan jalan menuju
kemuliaan, jalan kematianpun hamba jalani, semua kehendak orang tua, akan
hamba turuti, tidak akan ku tolak, siang malam hanya perintah Ayah Ibu yang
hamba nantikan.”

Nilai moral cerpen : Berkali-kali majikannya sebagai bandar narkoba,


menwarinya sebagai pengedar barang haram tersebut sekaligus sebagi wanita tuna
susila. Tetapi, ia bersikeras walau sebagai pembantu gajinya sangat kecil. Ia tidak
tertarik sedikitpun pada penghasilan yang lumayan besar seperti yang didapat oleh
perempuan cantik yang sering berkumpul dirumah majikannya itu.

Lama-Lama ia tidak tahan juga,apalagi setelah sang majikannya memaksa untuk


mengikuti keinginannya, yaitu menjadikannya seorang wanita tuna susila. Ia
bertahan dengan pendiriannya dan pergi meninggalkan istana yang penuh dosa itu

- Teks hikayat dan teks cerpen sama-sama memiliki nilai sosial :

Nilai sosial hikayat : ada seorang kaya hartawan, bernama Syekh Hasan, banyak
harta banyak uang, terkenal kesetiap negeri, merupakan orang terkaya, bertempat
tinggal du negeri Bagdad, yang terkenal kemana-mana, sebagai kota yang paling
ramai saat itu. Syekh Hasan sangat bijaksana, mengasihi fakir miskin,
menyayangi yang kekurangan, menasehati yang berikiran sempit, mengingatkan
orang yang bodoh, diajari ilmu yang baik, walaupun harus mengeluarkan biaya,
berupa pakaian atau uang, karena itu banyak pengikutnya.

Nilai Sosial Cerpen : Bertahun tahun ia hidupa di dunia hitam yang dikutukinya
dalam hati. Baginya tak ada jalan lin. Hidup tanpa ijazah pendidikan formal bagai
mendaki gunung tanpa kaki. Mungkin keajaiban Tuhan pulalah yang telah
menghantarkannya pada pekerjaan saat ini. Berkali-kali majikannya sebagai
bandar narkoba, menwarinya sebagai pengedar barang haram tersebut sekaligus
sebagi wanita tuna susila.

- Teks hikayat dan teks cerpen sama-sama memiliki nilai budaya :

Nilai budaya hikayat : (Ayah yang menginginkan pendidikan untuk


anaknya)Ayahnya berfikir,”Alangkah salahnya aku, menyayangi diluar batas,
tanpa pertimbangan, bagaimana kalau akhirnya, dimirkai Allah Yang Agung, aku
pasti durhaka, tak dapat mendidik anak, mengkaji ilmu yang bermanfaat.”

Dipanggilnya putranya. Anak itu segera mendatanginya, diusap-usapnya putranya


sambil dinasihati, bahwa Ia harus mengaji.

Nilai budaya cerpen : (dalam cerpen Sandal Jepit Merah" tersebut masyarakat
yang digambarkan adalah sekelompokorang yang tinggal di kawasan pinggiran
kota. Mereka tergolong ke dalam strata sosial menengah ke bawah)

Dengan berbekal keterampilan, di bidang bangunan Mamat mampu membiayai


hidupnya dan menyewa sepetak kamar di pggir kota. Kebahagiannya semakin
lengkap setelah dari rahimnya lahir seorang anak sehat walaupun pada saat itu
usianya baru enam belas.
- Teks hikayat dan teks cerpen sama-sama memiliki nilai pendidikan :

Nilai pendidikan hikayat : (Ibnu Hasan yang tulus niatnya untuk belajar) alasan
ibnu Hasan ingin mencari ilmu disekolah walaupun ia sudah berkecukupan
adalah, supaya kelak bisa meneruskan kesuksesan ayahnya,pangkat anakpun
begitu pula, walaupun tidak melebihi orang tua, paling tidak harus sama dengan
orang tua, dan tidak akan melakukan, apalagi kalau lebih miskin, ibaratnya anak
seorang patih bagi orangtua nya.

Nilai pendidikan cerpen : wanita tersebut masih menjunjung tinggi moralnya


dengan menolak sebagai pengedar narkoba dan menolak untuk menjadi wanita
tuna susila, dengan mengikuti pendiriannya, wanita tersebut pergi dan mencari
pekerjaan lain yang halal.

- Teks hikayat dan teks cerpen sama-sama memiliki nilai keagamaan :

Nilai keagamaan hikayat : Syekh Hasan sangat bijaksana, mengasihi fakir


miskin, menyayangi yang kekurangan, menasehati yang berikiran sempit,
mengingatkan orang yang bodoh, diajari ilmu yang baik, walaupun harus
mengeluarkan biaya, berupa pakaian atau uang, karena itu banyak pengikutnya.

Nilai keagamaan cerpen : Tak teritung do’a dan harapan yang diajukan pada
Sang Pencipta demi kesuksesan masa depan anaknya itu.

3. Perbedaan

4. Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai