Anda di halaman 1dari 19

希望の詩

Kibo no Uta
Chingky
Gadis di Pinggir Jalan

Sekali lagi hujan tidak pernah mendengar curhatan seseorang, namun


alangkah bodohnya seseorang malah dengan nyaman menyandarkan segala
persoalan hidupnya pada hujan. Tak bisa dimengerti, pun aneh kiranya, tapi
itulah nyatanya.
Hujan baru saja berhenti beberapa saat lalu. Andai tujuh rupa pelangi
bisa nampak pada malam hari, mungkin bisa menjadi pelipur lara para
pujangga atau manusia-manusia yang sedang duduk berduka dan merenungi
nasib di pinggir jalan kota. Tiadalah pemandangan lain yang nampak di mata.
Begitu membosankan dan menyedihkan. Melihat makhluk-makhluk malang
yang letih dengan pengabdian hidup dan melawan nasib yang keras.
Itulah kota yang penuh kenangan. Segala gerak-gerik halus
makhluknya terekam oleh gemilang lampu-lampu kota. Sementara telinga
masih setia mendengar lantunan syair-syair hujan dari zaman kuno.
Penghuni kota ini tidak pernah tidur dari petuah lama guru-guru mereka.
Sehingga tidaklah heran orang-orang itu sangat berbudi luhur walau
waktu merangkak bebas gemulai menuju zaman manusia-manusia mesin.
Sungguh, suatu hal yang tak terlupa di Kota Kenangan.
Ini hari pertama bulan November. Kota basah berselimut hujan nyaris
tiap hari. Hujan yang tiada pernah membawa cerah pada batin beberapa
orang. Mereka yang dirundung nestapa berjalan dan terlukai di pinggir
jalan. Mereka yang ditimpa durian runtuh berpesta pora bersama manusia-
manusia penting di istana kota. Meski nasib bagai langit dan bumi, namun tiada
pembatas bagi mereka, setipis apa pun itu.
Namun, seperti kata orang-orang bijak, segala sesuatu tak semuanya
bisa diusaikan dengan materi belaka. Sebabnya suatu kemalangan tidak hanya
menimpa raga manusia, namun terkadang pula malah lebih menimpa keadaan
jiwa batinnya.
Demikianlah kehidupan itu. Suatu perkara yang hanya bisa dilewati
dengan perjuangan dan keikhlasan. Terkadang menjadi sangat sulit 'pabila
seseorang telah merasa berada pada titik nadir hidupnya. Tak terkecuali
bagi gadis cantik yang menyeret kaki di pinggir jalan kota. Kakinya yang
telanjang dan putih pualam dirasa laksana besi berton-ton yang begitu sulit
diangkat oleh si empunya. Ratusan warna lampu kota menyinari wajah
jelitanya. Gerimis jatuh lembut di kulit pipinya yang sehalus sutra. Langit
gelap sekonyong-konyong tersenyum kala tampaklah wajah gadis itu.
Kendatipun manusia tidak pernah melihat cantiknya bidadari, namun paras
gadis itu tiada pula terkatakan eloknya. Tidaklah salah bila orang-orang
menyebut kecantikan laksana kecantikan putri dari negeri-negeri fantasi.
Kain tudung kepalanya melambai lembut, bermain-main dengan angin musim
hujan.
Ah, apalah arti sebuah kecantikan untuk sebuah kehidupan yang sudah
terlalu letih dengan pengabdian. Dunia begitu membuka mata pun terpesona
dengan keelokan anak perawan dari kota kenangan ini. Manusia-manusia di
sana pun dengan syair termahsyurnya memuji keindahan yang ditampakkan
Tuhan di pelupuk mata mereka. Duhai, dengan kata apakah bisa gambarkan
elok parasnya.
Gadis itu mengerling pada penjuru kota. Matanya cemerlang
mengalahkan gemerlapnya lampu kota. Sungguh elok tanah kelahirannya,
meski tiada pernah mengerti deritanya. Cukuplah sebagai tempat mengadu
pada Yang Kuasa dan menanti maut menjemput.
Duhai, mengapalah aku terlahir bila begini jadinya? Tiadalah Dikau memberi
derita melebihi kepatutan pada sahaya sepertiku. Adakah diriku mampu menanggung
segala persoalan hidup?
Renungan nestapa selalu mengalir dari hatinya. Kota gemilang dan
langit pekat masih tersenyum, tak mengerti isi batin dan pikirannya. Segala
kesedihannya ibarat sebuah rahasia yang tak seorang pun pantas tahu.
Semua harus ia tanggung sendiri. Dilawannya keadaan batin dan segala
kesusahan.
Laki-laki muda berwajah gagah nan perkasa bak ksatria kerajaan
mahsyur perlahan mendekati gadis itu. Pandangan lelaki itu teduh dan
penuh kasih. Gurat wajahnya begitu tegas. Aura kejantanan terpancar dari
dirinya. Tampak pula di matanya cahaya iba setiap kali melihat si gadis.
Sewaktu-waktu ia membatin, sungguh gadis ini cantiknya tiada terkata,
namun duka hatinya jua tiada terkira. Laki-laki muda itu berhenti, berdiri
beberapa meter dari gadis itu. Seolah tak sudi mengganggu, dia menunduk
dalam, terdiam, menunggu gadis itu usai dengan pikirannya.
"Wahai, mengapakah usiaku sampai pada hari ini? Tiadakah baiknya aku
mati saja?" Tahu-tahu gadis itu bersuara di tengah gerimis dan gemerlap
lampu-lampu kota. Lututnya melemas, ingin sekali duduk berleha-leha di
sana, namun ia menguatkan diri untuk kukuh berdiri. Dijadikannya segala
beban sebagai kekuatan, walau dirasa menjadi perkara yang mahasulit.
"Tegakah dikau meminta kematian, sementara mereka yang telah
tertidur dalam pusara memohon akan kehidupan kembali?" Alangkah pemuda
itu berjerih menahan gejolak hati kala menjawab pertanyaan si gadis. Ia
risau setiap waktu, mengandaikan bagaimana kiranya gadis itu mengakhiri
segala dukanya. Ia takut 'pabila segala perkara buruk terjadi. Kiranya ia
manusia yang tak sepintar orang-orang dulu dalam memberi petuah hidup
pada mereka yang hilang asa. Hanya bisa ketakutan akan nasib seseorang yang
dikasihi.
"Aku tidaklah mengerti maksud dari segala kehidupan. Tidak pula
mampu melawan nasibku sendiri. Bagaimanapun jalannya harus kuterima,
suka tak suka."
"Sebab siapakah kau sudi hidup di dunia ini? Bila kau hidup untuk
manusia dan melayani manusia pula, maka kau tidak akan pernah paham
hidupmu sendiri. Bila kau hidup untuk Yang Kuasa dan melayaninya, maka
segala hal yang bisa dirasa dan diraba perasaan manusia tiadalah berarti
lagi." Ah, betapa bodoh nasihatnya. Ia tak yakin yang terucap bisa merambah
dan bertunas di hati gadis yang sepanjang waktu bersusah payah menarik
kembali secuil harapan.
"Bagaimanakah kutamatkan kemalangan yang menimpaku? Alangkah
terasa usai sudah segala perkara duniawi bagi diriku." Matanya yang legam
cemerlang menunduk menatap kaki tanpa alas yang tertiban cahaya lampu.
Laki-laki muda itu masih berdiri beberapa meter darinya. Tulus betul
menjaga kesucian dan kemurniannya.
Laki-laki itu, yang tak ia tahu apakah dialah manusia yang akan
menamatkan keperawanannya. Lelaki penuh kasih dan tulus menyembah
Tuhan-nya. Lelaki yang dipilihkan orangtuanya. Tak sanggup ia menolak,
pula tak memiliki alasan untuk menolak. Kiranya lelaki inilah yang amat
paham segenap ceritanya. Dan sewaktu-waktu mampu menampik segala
gundah gulananya.
"Lewatilah dengan penuh keikhlasan, Adik. Betapa pun hidup itu kosong
tanpa perjuangan, kedukaan, dan segenap rasa sakit."
Gadis itu kembali menyeret langkah. Tampaknya sudah lelah
mendengar segala petuah yang tidak pernah berjaya menyentuh hatinya.
Nestapa yang menimbunnya dirasa terlalu kuat untuk sekadar diruntuhkan
oleh kata-kata. "Aku mau pulang," ucapnya lemah ditelan suara angin. Kaki
mungilnya yang tanpa alas menapak pinggir jalan kota. Lampu-lampu
menerangi, seolah menyambut ia pulang ke rumah.
Laki-laki muda itu mengikutinya dari belakang. Sesekali menatap
lambaian kain penutup kepala gadis itu.
Kemanakah waktu akan membawa mereka? Segala persoalan batin yang
tiada usai dan tak berjaya dilawan. Masa pahit yang dilalui di waktu dulu
telah membawa kebinasaan di masa sekarang. Entah kapan terakhir kali
wajah jelita itu tersenyum.
Telah berselang satu tahun perempuan malang yang tiada tahu
asalnya pergi meninggalkan dunia. Saat-saat bentala nestapa gadis jelita itu
dibuka.
Kotak Kenangan

Begitu tangannya membuka kotak kecil berwarna kecoklatan yang telah


disimpannya laksana peti harta karun dari laut dalam, rekaman kenangan itu tanpa
permisi melatis atmanya dengan menyedihkan. Disingkapnya sehelai kain sutra
bercorak bunga sakura setelah membuka penutup kotak itu. Dari balik kain itu
tampaklah benda-benda sederhana yang harganya tiada terkata lagi.
Bukanlah karena benda-benda itu seberinda dengan emas, berlian, atau logam
mulia lainnya, melainkan sebab riwayat dan ingatan-ingatan si tuannya. Tampak di
mata tiada istimewa kotak itu. Tak lebihnya sebuah barang rongsokan yang hampir
tiap sisinya telah puih dimakan waktu.
Dia terduduk menunduk pilu di kamar sepetak. Cahaya fajar malu-malu
menembus celah atap kamar, untuk kesekian kali menyuar lemas wajah jelita itu.
Ditatapnya berlembar-lembar foto, pernak-pernik ibadat, juga kemilau perhiasan hari
besar. Dengan satu buliran air mata, hatinya tersengut-sengut teringat akan kisah-
kisah lama bersama sahib dari masa lalu.
Oh, telah lapuk kamar sepetak itu, namun segenap riwayatnya tiada pernah
habis. Masih sangat baru. Dan akan selamanya baru. Wajah sahib perempuannya amat
penuh harapan. Binar mata perempuan remaja di lembaran-lembaran foto itu nampak
mengharapkan belas kasih dari dunia. Parasnya begitu cemerlang. Paras yang tak bisa
lagi tampak di mata karena telah tertimbun tanah subur kota.
Ditutupnya perlahan kotak itu seperti semula, lantas menyimpannya baik-baik
di meja kecil sudut kamar. Ia berlanjut melangkah ke ruangan lain yang dipenuhi
buku. Tiada heran kawannya ini amat bijak dan berbudi luhur sebab banyaknya ilmu
yang telah dia reguk semasa hidupnya. Kapankah kiranya ia bisa seperti itu. Hidupnya
yang malang dirasa terlalu mengekang.
Salah satu buku yang sampulnya bercorak bunga lavender tak pernah gagal
menarik perhatiannya. Syair-syair kenangan terhimpun indah dan abadi di sana.
Tulisannya indah rapi, meski di setiap lembar selanjutnya berubah laksana tulisan
anak kecil yang baru masuk sekolah. Segenap kisahnya begitu terngiang. Bagaimana
segalanya berjalan dan kemudian berakhir menyedihkan.
Ia melangkah keluar dari rumah sederhana itu sambil mendekap sayang buku
puisi dan membawanya ke suatu tempat. Hangat kamar sepetak bertukar dengan
dingin udara kota di pagi hari. Sudah jam sembilan pagi, saatnya pergi ke rumah
madrasah tercinta. Rumah yang dipenuhi kelugasan para penghuninya. Tempatnya
berbagi segala riwayat masa lalu dan melahirkan para calon cendikiawan. Tiap kali
berpijak pada lantai rumah itu, jauh dalam batin ia selalu berhajat segala yang
mengalir dari bibirnya mampu menyentuh interpretasi anak-anak ajarnya.
Tak pernah ia berharap bisa menjadi guru terkaya atau guru terhebat yang
diakui dunia, cukuplah menjadi pribadi yang berguna untuk masa depan anak-anak
didiknya.
"Bu Qamira!"
Sampai di sana, wajah-wajah lucu itu berteriak riang dan berhambur
memeluknya. Seakan melepas segala beban dan masalah sesiapa saja. Oh, siapakah
yang mampu menangis di tempat berseri seperti ini. Tiadalah alasan untuk menangis
usai melihat wajah-wajah cemerlang itu.
Anak-anak madrasah duduk melingkar di taman, siap mereguk segala disiplin
yang akan disampaikan guru mereka.
Lepas semua beban dan deritanya seketika. Qamira duduk di antara mereka,
masih mendekap erat buku puisi tadi. Mengerling dan tersenyum sesaat pada wajah-
wajah manis itu.
"Adakah Ibu ingin menceritakan segala semesta dan penciptaannya hari ini?"
Salah seorang murid bertanya. Senyumnya lebar hingga memperlihatkan giginya yang
ompong.
"Tidak, kiranya kalian sudah paham tentang alam semesta yang telah
berminggu-minggu kita telaah. Hari ini, Ibu hanya akan membacakan puisi-puisi
dalam buku ini." Qamira mengangkat dan membiarkan murid-muridnya melihat
sampul buku tua itu. "Dan juga akan menjelaskan semua maksudnya. Ibu harap kalian
akan mengerti dengan segenap yang Ibu sampaikan," lanjutnya lantas membuka
halaman pertama buku itu.
"Wahai, Ibu. Tidaklah engkau membaca sesuatu yang tiada harga dan gunanya.
Daku tiadalah pernah mengira engkau membaca berderet-deret tulisan ringan seperti
puisi-puisi di genggamanmu sekarang ini." Murid paling dewasa, perempuan
berambut pirang dikucir kuda seakan menahannya membaca puisi pertama. Qamira
mengangkat kepala, memalingkan mata dari lembaran pertama buku itu.
"Harga juga guna dari segala sesuatu ditentukan oleh pikiran manusia itu
sendiri. Setiap manusia memiliki pikiran yang berbeda dalam memberi label harga
pada suatu hal, entah itu sastra, seni, matematika, anatomi, biologi, perbintangan, dan
ilmu ataupun benda berbentuk lainnya. Andaikan kau hendak menilai segala benda di
muka bumi ini, maka pahamilah terlebih dahulu lantas dengan sendirinya akan
nampak esensi benda itu di kepala dan matamu. Bila kiranya engkau tak mampu
menahaminya, maka ketahuilah, bukanlah benda itu yang tiada harganya, namun
ilmumu belum dapat menyamai pencipta benda itu."
Perempuan berkucir kuda itu menunduk sambil mengangguk perlahan. Ia tidak
membuka mulut lagi setelahnya.
"Bahkan benda yang nampak sederhana sekalipun bisa amat mahal. Barangkali
benarkah begitu, Ibu?" Salah seorang murid kembali bertanya.
"Benar, karena itulah orang-orang mengatakan bahwa jangan menilai entitas
dari yang nampak di mata. Karena yang terpenting dari setiap materi adalah yang
terkandung di dalamnya. Hanya manusia-manusia yang terlalu lugu yang senantiasa
menarik inti suatu hal hanya dari apa yang dilihatnya. Lazimnya mereka tak mau
akalnya kelam-kabut sehingga dalam sesingkat-singkatnya waktu melantas menilai
begitu saja. Dan hanya manusia-manusia sabar, mereka yang ahli, dan memberatkan
akal budi yang bisa senantiasa menilai dengan penilaian yang tepat."
"Siapakah gerangan yang menulis puisi-puisi sederhana itu sehingga begitu
mahalnya untuk Ibu?" Murid bergigi ompong kembali bertanya. Gurat wajahnya
berubah serius dan penuh rasa ingin tahu.
Qamira tertunduk pilu. Inilah pertama kalinya ia bermuram durja di tempat
cerah ini. Tidak peduli lagi anak-anaknya melihat wajah dukanya. Mungkin selama
ini dia telah salah. Seceria apa pun madrasah ini, atau bagaimanapun manisnya wajah
anak-anak itu, tetap tak ada penawar paling mujarab bila telah teringat pada
perempuan penyair ini.
Sekonyong-konyong hatinya tertiban kedukaan yang telah ribuan kali
menghukum dirinya yang tiada pernah ikhlas. Beban yang sungguh berat itu kembali
bergelayut di pundaknya. Bayangan-bayangan kesedihan menari di pelupuk matanya.
Sepanjang hidup ia telah berjerih memberatkan akal budi demi meraih
kebahagiaan seperti yang selalu dikatakan gurunya semasa ia masih kanak-kanak.
Sekalian ilmu telah ia reguk hingga ke negeri-negeri seberang yang menurut tutur
banyak orang, negeri-negeri itu hanya menjadi mimpi untuk manusia-manusia dulu.
Namun, apalah gunanya semua itu bila ia tak mampu membawa seluruh
perasaan dan berusaha untuk ikhlas. Ia dikalahkan oleh dirinya sendiri. Dijatuhkan
pula oleh segala kedukaan di masa lalu.
"Penulis buku ini adalah seorang hamba yang memimpikan kebahagiaan
sederhana. Perempuan jelita yang hidupnya telah lengkap karena dipenuhi perjuangan
dan keikhlasan. Kesempurnaan yang tidak berbentuk di samping sesuatu yang
berbentuk. Keutuhan sebuah perasaan di samping tubuh yang gemilang. Dia adalah
lambang kesempurnaan dari sebuah ciptaan."
InilahSecarik Kisah Anak
Manusia

Anak-anak serta para remaja pengagum kepandaian berlalu lalang di halaman


madrasah. Kaus mereka warna-warni mengalahkan pelangi. Senyum mereka manis menampik
kegetiran dan langit hitam. Ransel besar berisi buku-buku tebal tersandang di punggung
kukuh mereka. Buku-buku yang macam alat tempur saja. Selalu dibawa ke mana-mana.
Selalu sedia demi mengisi luang. Dengan ramah, mereka saling menyapa sebelum masuk ke
kelas masing-masing. Menyalami tangan guru-guru.
Betapa masyhur madrasah tempat mereka mencari kemahiran, semasyhur akal budi
mereka. Gedungnya berwarna putih bersih, amat mulus, sejengkal pun tak ada keretakan.
Gedung itu memiliki tiga lantai, lantai paling bawah adalah kelas untuk anak-anak, lantai
kedua untuk para remaja, dan lantai ketiga untuk kalangan dewasa. Dari setiap lantai atau
tingkatannya terdapat masing-masing 20 ruang kelas, 10 perpustakaan, 20 laboratorium, dan
10 kamar mandi. Tidak ada aturan berpakaian bagi murid ataupun guru. Mereka bebas
mengenakan pakaian sesukanya asalkan santun.
Pintu-pintu gedung madrasah itu menjulang tinggi dan megah, dicat warna biru
muda, dan tiap sisinya dilapisi emas murni. Jendela-jendelanya amat bersih dan bening hingga
seperti tidak memiliki kaca saja. Segala perlengkapan siap sedia, lengkap, tak kekurangan
sama sekali.
Namun, demikianlah para cendekiawan itu, mereka tetaplah menjadi manusia yang
bersahaja, tidak sombong bagaimanapun megahnya sekolah mereka. Psinsip mereka, tidaklah
penting yang nampak di mata, sebab segala nilai hanya ada pada pribadi dan jiwa setiap
manusia. Adalah suatu hal yang memalukan bagi mereka bila satu hari saja tak memahami
sececah ilmu. Barangkali hidup akan seperti tiada guna.
Beberapa dari mereka menoleh dan menunduk sebentar seraya tersenyum pada Qamira
dan anak-anaknya yang duduk melingkar di taman madrasah. Itulah bagian menyenangkan
dari madrasah ini.
"Bolehkah kami mengetahui siapa hamba yang memimpikan kebahagiaan sederhana itu,
Ibu? Bagaimanakah ia memperelok sebuah kesederhanaan menjadi kemegahan sejati?"
Pertanyaan itu tetap saja berlanjut entah berapa lama pun ia terdiam, menunduk,
tidak menjawab. Perkara semacam ini selalu menjadi alasan Qamira untuk menenangkan hati
yang kembali luruh. Sejak dulu, ia merasa baik-baik saja kalau pun dunia tahu segala
kedukaannya atas perempuan itu, namun barangkali merasa tak sampai hati rasanya bila
sekalian diketahui anak-anaknya.
Sekarang anak-anaknya telah mempertanyakan semuanya, itu pun karena dia sendiri
yang membawa buku puisi itu kemari. Dan mungkin sudah tidak ada pilihan lagi, mungkin
memang ada baiknya ia menceritakan perihal perempuan itu, perihal sahabat terbaiknya di
masa dulu. Semoga saja anak-anaknya mampu mengambil banyak pelajaran dari hal ini.
"Tak ada hal yang istimewa dari perempuan yang menulis puisi-puisi di buku tua ini."
Qamira sekali lagi mengangkat buku itu, memperlihatkan sampulnya. "Dia sama seperti yang
lain, ciptaan Tuhan yang berbentuk. Ia dilahirkan sebagai anak manusia, dengan tubuh dan
akal yang sempurna. Dia hanya anak perawan yang mencintai segala keindahan dan
kesederhanaan. Dia amat menjaga lisan serta perangainya terhadap manusia lain. Dia
memiliki keinginan untuk memahami dunia dengan caranya sendiri. Sungguh, bila dalam
sepotong hari kalian bertemu dengannya, menatap wajah dan senyumnya, kalian akan
mendapati bahwa memang tak ada yang begitu istimewa dari perempuan ini."
"Apakah hingga detik ini ia tidak jua begitu istimewa dan lain daripada manusia lain di
luar sana?" Murid bergigi ompong bertanya kembali.
"Ya, katakanlah begitu. Ia tidak lebih dari manusia lain, bahkan barangkali manusia
lain yang lebih daripada dia. Ia tidak mengenal harta benda sejak kecil ketika yang lain
dimanjakan dengan kegemilangan semacam emas dan berlian. Sebab ia menganggap dirinya
sendiri sudah termasuk perhiasan. Ia juga tidak pernah merasakan kasih sayang orangtua
ketika yang lain menikmati hidup bersama orang-orang yang menyayangi mereka.
"Perempuan ini hidup sendiri, belajar sendiri, dan dewasa sendiri. Sepanjang waktu ia
menjadi pengembara kehidupan, mencari guru, menyuap ilmu, baik itu ilmu kebatinan maupun
ilmu mantik. Perempuan ini terlahir sebagai anak manusia, maka ia pun mencari jati diri
sebagai manusia. Membentuk prinsipnya sendiri. Menentukan tujuannya sendiri.
"Perempuan ini mencintai kedamaian dan keheningan. Ia menemukan seluruh dunia dari
rasa sepi yang melingkupi. Karena itu, kepandaian dan kemandirian telah tertanam dalam
dirinya. Barangkali orang-orang malah menganggapnya sombong dan aneh, namun selama
apa yang ia lakukan senantiasa bernilai untuk dirinya sendiri dan orang lain, maka apa pun
yang dikatakan orang tentang dirinya tidaklah penting lagi.
"Dalam penilaiannya, tiada orang yang lebih tahu segala sesuatu tentang orang lain
kecuali Tuhan dan pemilik badan itu sendiri. Maka tidaklah baik kiranya jika seseorang
bersusah hati karena penilaian orang lain.
"Seperti itulah sederhananya perempuan ini, yang terlahir sebagai manusia, tanpa
keluarga, harta, maupun kasih sayang siapa-siapa."
Qamira menatap murid-muridnya satu per satu. Mereka terdiam, takzim menyimak,
laksana mendengar cerita-cerita epos kuno dari para leluhur. Kiranya mereka menyadari
bahwa kisah perempuan penulis puisi itu tak akan kalah dengan kisah-kisah kepahlawanan
para raja dan ksatria, atau sirah tentang manusia-manusia mulia.
Riwayat hidup perempuan itu barangkali menjadi cerita masyhur di atas segala kisah
panjang yang melegenda. Tampaknya menjadi suatu kerugian bila tidak mendengar dan
memahami perempuan itu juga sekalian budi luhurnya.
Mata anak-anak itu bercahaya laksana pelangi. Warna-warna terang yang
bertaburan, melembut dan melemas, lantas menumpah dan pecah di udara. Cahaya itu
adalah cahaya keingintahuan. Gambaran singkat tentang perempuan penyair itu telah
menggugah jiwa mereka, jiwa yang haus akan dorongan atau motivasi bagi mereka sendiri.
Tampak sekali mereka ingin tahu banyak hal. Mereka ingin tahu kelanjutannya. Bukan
sekadar tentang kelahiran atau sederhananya perempuan itu, namun juga seluruh jalan
hidup dan cara pikirnya dalam memaknai segala perkara. Barangkali untuk saat ini
perempuan itu menjadi pujaan baru yang elok bagi mereka. Barangkali bisa menjadi salah
satu teladan yang mereka cintai.
"Wahai Ibu, gambarkanlah rupa perempuan itu pada kami." Murid bergigi ompong
berucap lagi, dia yang paling ingin tahu, dan tak memberikan kesempatan pada teman-
temannya untuk bertanya.
Qamira menghela napas dan menarik seulas senyum. Anak yang satu ini memang yang
paling bercahaya dan paling bernafsu untuk menyelami segala hal dan kisah-kisah menarik
yang bisa menata hidupnya.
Hari ini, untuk kali pertama ia tak dirundung duka ketika harus menceritakan kisah
itu. Perasaan anak-anaknya begitu mengalir. Mereka akan belajar dan barangkali
mendapatkan banyak hal dari kisah itu.
"Rupa perempuan itu amat lembut dan penuh kasih. Dia remaja yang santun dan selalu
berbual mesra. Rambutnya tipis sepundak dan berwarna cokelat kekuningan seperti cahaya
senja yang lembut. Matanya hitam pekat dan jernih laksana air sungai yang baru mengalir
pada awal-awal bumi kita tercipta, begitu murni dan belum tersentuh sebutir debu.
Bibirnya merah muda seperti bunga tulip yang baru merekah. Kulitnya halus laksana sutra.
Tubuhnya semampai menawan layaknya putri dari negeri fantasi.
"Ia sempurna sebagai manusia. Siapa pun yang bisa menilai dari sisi yang berbeda, maka ia
akan melihat bahwa perempuan ini adalah sesempurna sebuah ciptaan yang berbentuk.
Bolehlah kau anggap ia sebagai lambang kecantikan perempuan pada zamannya. Sebab tak
sekadar raga yang sempurna, namun juga disertai hati yang tulus penuh cinta. Sulit sekali
mencari perempuan seperti dia, seakan ia tiada duanya lagi.
"Bila kalian menatap matanya, kalian akan melihat tujuh rupa pelangi yang menawan.
Warna-warna yang memiliki esensinya sendiri. Kalian bisa melihat ketenangan, bisa
kedamaian, bisa kecerian, bisa keberanian, bahkan pancaran kasih sayang. Satu kehidupan
tergambar sempurna dari pelangi di pelupuk matanya. Pelangi itu berbinar lembut
bercampur dengan cahaya matahari. Memberi kemewahan pada mereka yang menyukai
keindahan. Warnanya menyebar di udara, melayang bebas, kemudian berpecah di atmosfer
seperti festival kembang api. Hingga kupu-kupu bersayap indah pun dibuat berpesta ria.
"Bila kalian mendengar tiap tutur katanya, maka kalian seakan kembali pada zaman
manusia-manusia mulia yang pandai atas segala perkara duniawi maupun akhirat. Sungguh,
setiap perkataan perempuan ini tiada yang sia-sia. Setiap yang keluar dari bibirnya senantiasa
membawa kebaikan dan sekalian ilmu. Dia adalah guru kehidupan. Guru yang amat
sederhana hidup dan hartanya, namun kaya dalam hal pengetahuan. Kata-katanya lembut
membuai, membentuk kisah setiap orang, selalu berbuah pikiran-pikiran bijak, dan menyulam
rapi masa depan yang penuh cahaya.
"Adapun perangainya adalah sebaik-baik perangai manusia. Dia mengutamakan akal
budi daripada nafsu atau keinginan yang sementara belaka. Ia juga lebih mengutamakan
orang lain daripada dirinya sendiri. Karena menurutnya, dengan mengutamakan orang lain,
maka ia telah mengutamakan kebaikan dan menekan tabiat egoisme. Jika kalian merasakan
pelukan dan kasih sayangnya, maka kalian seolah merasakan pelukan ibu kalian sendiri.
Meski masih muda, tapi ia sangat mampu menjadi ibu dari ibu.
"Perempuan ini bukan hanya lambang kelembutan, lambang kecantikan, dan lambang
kebaikan, tapi ia adalah sesempurna seorang perempuan. Dengan segenap perangai, tutur
kata, rupa, dan pengetahuan."
Rumput melambai-lambai tertiup angin. Qamira tersenyum manis melihat sinar takjub
dari mata anak-anaknya. Beberapa dari mereka mematung tak berkata-kata, terlalu
penasaran, terlalu ingin belajar banyak, juga tanpa berucap meminta Qamira melanjutkan
ceritanya. Mereka amat ingin mendengar kisah lengkapnya serta segala ilmu dan nilai dalam
kisah itu. Kisah yang bukan mengada-ngada, rekaan, juga bukan dilebih-lebihkan.
"Bagaimana dengan hakikat dan tujuan hidup perempuan itu?" Kali ini murid lain
bertanya, murid berambut pirang yang dikucir dua.
"Hakikat dan tujuannya adalah sebenar-benar sebuah kehidupan." Qamira
melanjutkan, meletakkan buku puisi di pangkuan. "Prinsipnya adalah memberi nilai pada
dirinya sendiri. Nilai seperti apa? Nilai yang didapat ketika dirinya berguna bagi orang lain.
Semakin banyak kebaikannya, semakin tinggi nilai dirinya sebagai manusia. Dia tidak
mengharapkan materi dari semua yang ia lakukan. Selama itu membawa kebaikan untuk
orang lain, maka itu sudah cukup baginya, itu sudah menunjukkan kalau dia sudah bernilai
sebagai manusia. Dan memang, itulah tujuan kita terlahir, menjadi berguna untuk yang lain,
dan yang lain pun akan berguna untuk kita.
"Ibarat kalian menjadi seorang pengrajin kayu, jika kalian berprinsip segala yang
kalian ciptakan dari kayu itu bisa berguna untuk orang lain, maka kalian tidak akan
mengutamakan hal lain semacam uang. Sehingga jika kalian mendapati seseorang
membutuhkan benda yang kalian buat, sementara ia tidak memiliki uang untuk membelinya,
maka kalian tidak akan berpikir panjang untuk memberikannya secara cuma-cuma, sebab
sejak awal tujuan yang kalian tetapkan adalah agar benda-benda itu bisa berguna bagi
orang lain, bukan sekadar menghasilkan kekayaan untuk diri sendiri.
"Sedangkan, mereka yang membeli hasil kerja kerasmu itu juga sudah pasti memiliki
prinsip yang sama denganmu. Mereka ingin berguna untukmu, mendukung karyamu, dan
menghargai jerih payahmu. Dan itulah yang dinamakan rezeki, sesuatu yang datang dari
mana saja, biasanya lewat orang-orang yang paham betul hakikat kehidupan.
"Duhai, kiranya seperti itu pula tujuan Tuhan menciptakan kita, bumi, atau
kehidupan lain di dunia ini. Kita yang awalnya hanya segumpal debu dan sepotong tulang
rusuk yang kemudian diberi nyawa dan bentuk yang sempurna, lantas ditetapkan suatu
tujuan agar berguna bagi sesama, bisa pada manusia, bisa pada hewan, bisa pada tumbuhan,
bisa juga pada alam.
"Tujuan dan prinsip semacam inilah yang menjadi pokok penting bagi perempuan ini. Ia
menjadi salah satu manusia yang berjaya memegang teguh hakikat dan tujuannya terlahir
ke bumi. Hingga akhir hayat pun, ia masih ingin bernilai bagi kehidupan lain dengan menulis
bait-bait puisi ini."
Angin membelai lembut kulit dan pakaian mereka. Cahaya keingintahuan itu semakin
memancar di mata anak-anak. Betapa pun gambaran rupa yang mereka dengar telah
membuat kagum hati. Sebuah kecantikan yang entah kenapa dirasa mengalahkan kecantikan
bidadari. Kecantikan seorang manusia perawan yang penuh kasih, manusia yang memiliki
prinsip hidup, tujuan, pengetahuan, dan kebaikan. Kecantikan yang diciptakan bukan hanya
sebagai pemikat ciptaan lain yang berjiwa dan bernafsu.

Manusia Paling Bersahaja

Di kala wirang silap tempat


Binasa badan lantaran tamak
Tidaklah umat sudi menderma pusaka
Hingga bertunaslah congkak dalam dada
Duhai, bukan main mujurnya jiwa prasaja
Jiwa yang tiada berpenyakit atma

Halaman pertama buku puisi terbuka, Qamira membacakan enam bait puisi
di sana, anak-anak mendengarkan. Itulah puisi pertama. Singkat. Berkias. Bermakna.
Anak-anak memutar imajinasi dan kepandaian mereka. Berlomba memahami puisi
pertama menurut pemikiran mereka. Namun, agaknya puisi itu terlalu sederhana
sehingga tidak butuh waktu yang terlalu lama untuk mereka memahaminya.
"Ibu yakin kalian pasti mengerti. Ini perihal sederhana. Beruntungnya menjadi
manusia yang bersahaja."
"Apakah berarti sesederhana itu pula memahami sebuah kesederhanaan?" Murid
paling dewasa melepas ikat rambutnya, dia merasa kedinginan.
"Ya, sederhana itu mudah dipahami, namun sukar 'tuk dijalani jika kalian
berada di tengah orang-orang yang besar cakap serta yang menganggap tolak ukur
dari suatu kemuliaan adalah harta benda. Orang-orang seperti ini menjadikan kasta
sebagai aturan hidupnya. Mereka juga tidak akan enggan menistakan siapa saja yang
hidupnya amat bersahaja, sekalipun di satu waktu orang itu amat bijak. Sederhana
senantiasa membawa kebaikan, dan kebaikan juga menjadi jalan untuk menggapai
kesederhanaan. Untuk sampai pada suatu kesederhanaan, adakalanya membutuhkan
jalan yang kompleks, di mana kompleksitas itu dipenuhi oleh kebaikan, tidak ada
manipulasi atau cara instan seperti yang biasa dilakukan orang-orang untuk mencapai
tujuannya. Misalnya saja dalam hidup ini kalian sekadar ingin bersekolah atau belajar
tanpa mengharap suatu hal yang lebih. Ya, itu salah satu contoh sebuah sederhana.
Namun untuk menggapai maupun menjalaninya, kalian membutuhkan kemauan,
kecerdasan, keselarasan, kerja keras, pendirian yang teguh, dan yang paling penting
adalah kesabaran. Sebab akan selalu ada orang-orang yang gelarnya,
kemasyhurannya, maupun namanya yang jauh lebih tinggi dan dihormati, pasti akan
memandang hina kesederhanaanmu. Di saat itulah kau dihadapkan pada dua pilihan,
memilih untuk tetap menjalani kesederhanaanmu dengan apa yang kau punya, atau
mulai bernafsu menggapai perkara kemewahan dan ketenaran dengan melakukan
berbagai cara, tak peduli apakah itu dibenarkan atau tidak.
"Memang setiap manusia itu ambisius, selalu tidak puas dengan apa yang dia
miliki. Namun mereka yang bersahaja tidak akan membenarkan semua jalan untuk
bisa mencapai tujuan selanjutnya. Mereka yang bersahaja selalu mengikuti waktu, ke
mana waktu akan membawa nasib mereka, selama itu adalah suatu kebaikan, maka
mereka akan menerimanya. Hidup mereka mengalir lembut seperti air. Setiap
hambatan tidaklah terasa berat karena cara yang mereka tempuh adalah kebaikan.
"Perempuan penulis puisi ini telah merasakan suatu kesederhanaan sejak ia
lahir, lantas ketika ia beranjak dewasa ia pun menuai kebaikan dari
kesederhanaannya. Sejak kecil ia tak mengenal kemewahan atau harta benda. Bagi
dirinya, bisa makan, beribadah, belajar, dan menolong orang pun sudah sangat cukup.
Tidak ada keinginan untuk mencapai hal lebih perihal duniawi. Namun demikian pun
ia bersahaja perkara harta, di satu sisi perempuan ini amat rakus akan pengetahuan.
Seperti yang Ibu katakan tadi, sederhana selalu membawa kebaikan, dan kebaikan
menjadi jalan untuk menggapai kesederhanaan. Pengetahuan selalu membawa
kebaikan, dan kebaikan menjadi jalan untuk menggapai segala pengetahuan.
"Perempuan ini telah menjadi manusia paling bersahaja. Dia telah berhasil
menjalani setiap esensi hidup. Bertahan dari segala hinaan dan teguh demi kebaikan.
Ia lahir di sebuah rumah kecil, hidup sendiri, dan tak tahu siapa gerangan malaikat
jauh yang telah membantunya. Ia menjalani semuanya dengan penerimaan,
kenyamanan, dan kesyukuran. Itulah kesederhanaan. Suatu hal di mana kamu berjalan
sepanjang perjalanan hidup dengan segala sesuatu yang kau butuhkan, bukan yang
sekadar kau inginkan. Sederhana itu membawa kenyamanan dan kebahagiaan yang
abadi, sedangkan kemewahan hanya membawa kenikmatan yang fana, yang akan
hilang setelah kau bosan. Perempuan ini sederhana dalam berbagai sisi, baik
penampilan, pikiran, maupun hubungan.
"Sederhana dalam penampilan adalah ketika kau mengutamakan kenyamanan
diri, bukan penilaian orang lain. Mereka yang selalu mengikuti segala macam corak
eksternal dari setiap zaman tidak akan pernah puas dengan apa yang mereka dapatkan.
Sebab akan selalu ada hal baru yang membuat mereka dengan sudi membuang hal
lama, lantas menjadikannya sebagai barang-barang tak berguna. Tanpa mereka sadari,
mereka telah merugikan diri sendiri.
"Namun, ini tidaklah berlaku untuk mereka yang sederhana. Sebab mereka
pandai menghargai semua hal yang mereka miliki, termasuk segala corak pakaian
yang mungkin tidak lagi diminati. Sedikit pun mereka tidak merugi akibat nafsu dan
ambisi. Meski terkadang mendapat hinaan karena tak selaras dengan yang lain, itu
bukanlah masalah besar bagi mereka. Karena seperti yang Ibu katakan tadi, salah satu
pokok dari kesederhanaan adalah kesabaran, dan di sinilah kesabaran itu berlaku.
Kesabaran dalam menghadapi hinaan dan semacamnya.
"Yang kedua, sederhana dalam pikiran. Sederhana dalam pikiran adalah
penyelarasan antara nalar dengan keadaan. Keadaan sendiri adalah peristiwa atau
situasi yang terjadi pada kita, orang lain, atau semua yang berjalan di muka bumi.
Segala hal tidak pernah lepas dari keadaan. Bahkan ketika kehidupan menjadi mati,
keadaan tetaplah berlaku, hanya saja aktivitas di dalamnya berhenti. Aktivitas sendiri
merupakan mutlak milik manusia dan semua makhluk di alam semesta, bahkan alam
semesta pun punya aktivitasnya sendiri. Sementara itu, keadaan merupakan sesuatu
yang berlaku pada setiap waktu, tidak dapat diubah, dan berjalan sesuai kehendak
Yang Kuasa. Keadaan ada sebagai ruang untuk aktivasi, dan aktivitas ada sebagai
perwujudan dari pikiran.
"Keadaan tak bisa menyesuaikan diri dengan aktivitas atau pikiran manusia, tapi
pikiran atau aktivitas itu sendiri bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Keadaan
adalah salah satu kompleksitas, di mana di setiap waktunya akan berbeda-beda.
Karena itu, alangkah pentingnya berpikir sederhana dalam setiap waktu agar mampu
menyelaraskannya dengan keadaan. Ada sebagian orang yang lebih suka berpikir
rumit. Hal ini tidak sepenuhnya salah jika memang keadaan yang menimpanya tak
bisa diselesaikan dengan cara yang sederhana. Poin pentingnya, berpikir dan
beraktivitas terhadap keadaan sesuai porsinya, tanpa ada pikiran atau aktivitas
tambahan yang tidak diperlukan. Berpikir sederhana untuk keadaan yang rumit hanya
akan menyisakan hal-hal yang belum dijangkau pikiran, dan akhirnya tak bisa sampai
pada titik penyelesaian. Sedangkan, berpikir rumit untuk keadaan yang sederhana
hanya akan membuang-buang waktu, sebab terlalu banyak memikirkan dan
melakukan sesuatu yang sebetulnya tidak perlu.
"Yang terakhir, sederhana dalam hubungan. Sederhana dalam hubungan adalah
penerimaan dan pemahaman akan sesuatu yang berada di luar diri. Setiap yang hidup
pasti menjalani sebuah hubungan, bukan hanya hubungan sesama manusia, namun
bisa juga hubungan dengan semesta atau lingkungan. Kesederhanaan dalam suatu
hubungan adalah sifat keterbukaan satu sama lain. Seseorang akan menerima,
menghargai, dan bersikap apa adanya terhadap orang lain, tidak ada sedikit pun
kepura-puraan. Karena mereka tahu bahwa hanya dengan sikap apa adanya, kebaikan
dalam suatu hubungan pasti bisa dicapai.
"Dalam setiap hubungan, seseorang harus memahami apa yang ia jalani itu.
Pentingnya memahami sebuah hubungan dimaksudkan agar setiap orang tidak
membeda-bedakan antara hubungan satu dengan yang lain. Hal ini juga membuat kita
untuk belajar menghargai orang lain. Bahagia dan berbagi kesedihan bersamanya.
Karena dari hal itulah perasaan solidaritas tumbuh sehingga kita paham bahwa kita
bagian dari kelompok yang disatukan oleh ikatan bersama.
"Anak-anakku, kesederhanaan bukanlah kemiskinan atau kemelaratan. Justru
kesederhanaan adalah kunci hidup bahagia. Orang yang sederhana tidak akan pernah
merugi dalam hidupnya, sebab mereka menjunjung suatu kebaikan, bukan keindahan.
Mereka berjalan di muka bumi hanya dengan barang bawaan yang dibutuhkan.
Kesederhanaan adalah seni menata hidup agar lebih rapi, terampil, dan teratur."

Kelopak Bunga Biru di Dada


Perempuan Perawan

"Ingatkah engkau bagaimana dia dilahirkan?"


Langit pagi yang hangat menaungi pembicaraan dua remaja yang baru usai
dengan kegiatan kampus. Menikmati segelas es cappucino sambil terduduk rileks di
bangku panjang taman kampus. Aroma musim semi menguar, memeluk, dan
memanjakan suasana. Angin berhembus pelan, namun mampu membuat bunga-bunga
gugur dari tangkainya, jatuh membelai helaian rambut, hingga akhirnya terbujur di
tanah.
Sungguh, suasana yang paling dirindukan. Kemurnian dan kehangatan musim
semi selalu menjadi selimut manis untuk para remaja. Menjadi penenang setelah
bergelut dengan segala aktvitas kampus. Taman kampus memang menjadi tempat
terbaik untuk bercerita, berkeluh kesah, membuka riwayat-riwayat lama, menikmati
secangkir sejarah, bertukar hati, atau juga membicarakan hal-hal filosofis. Taman itu
amat elok, berbentuk lingkaran, dikelilingi bunga-bunga nemophila yang lebat,
rerumputannya bersih dan sangat hijau, terdapat pancuran air dengan patung Dewi
Aphrodite yang dipahat begitu detail oleh para seniman, terbuat dari emas murni yang
jika terpapar sinar matahari patung itu berkilau cantik dengan cahaya kekuningannya.
Semburat kecantikan sang dewi menjadi pokok utama dan tumpuan keindahan taman,
bercahaya dan suci seperti buih lautan di mana dari sanalah Dewi Aphrodite terlahir.
Taman itu megah dan mahsyur seperti kota Atlantis. Tersusun rapi, elok, dan
kenyamanan terhampar sempurna untuk siapa saja.
Dua remaja itu, yang satu perempuan, yang satu laki-laki sedang sibuk
menelaah sebuah buku tebal di pangkuan si perempuan. Buku itu berwarna cokelat
kekuningan, sampulnya sudah usang, dan sebagian kertasnya berubah warna karena
terkena air. Itu buku catatan riwayat. Mereka sedang membicarakan masa silam milik
seseorang.
"Aku ingat hari ketika dia lahir." Si perempuan membelai salah satu halaman
buku itu, halaman yang sudah berubah warna karena dulu pernah terkena secangkir
kopi hangat. Ia ingat secarik peristiwa itu, tentang bagaimana secangkir kopi pahit
tumpah di atas lembaran buku tua.
"Engkau masih ingat tentang sekelopak bunga biru di dadanya?"
"Ya, ibuku bilang itu tanda yang istimewa. Sekelopak bunga biru di dada
kirinya menjadi pancaran atau lambang tentang bagaimana ia menjalani hidupnya
kelak. Aku tidak tahu mengapa ibuku berpikir begitu."
"Adakah dia pernah mensyarahkan tentang bunga itu padamu?"
"Ya, mari bicara perihal ketenangan!" Perempuan itu menutup buku tua di
pangkuannya. Ia menengadah menatap langit biru, sebiru bunga nemophila di
sekeliling taman dan bunga di dada perempuan yang sedang mereka bicarakan.
Mereka menyuguhkan sejarah masa lalu, tentang perempuan suci dengan bunga biru
di dadanya. Perempuan perawan yang terlahir dengan tanda seperti sekelopak bunga
biru di dada kirinya. Ketika hari ia lahir, orang-orang terperangah dengan tanda di
dadanya. Sebagian dari mereka menganggapnya hanya sebuah luka lebam, namun
aneh rasanya jika bayi yang baru lahir tiba-tiba mendapat luka lebam, lebih dari itu,
bentuk tanda itu terlalu sempurna mirip sekelopak bunga yang baru gugur. Sebagian
lagi dari mereka menganggapnya sebagai tanda istimewa pembawa keberuntungan,
termasuk si ibu dari bayi. Karena itulah, hingga perempuan itu beranjak dewasa,
ibunya menolak untuk menghilangkan tanda itu. Setiap kali perempuan itu berendam
di kolam susu belakang rumah mereka, hanya mengenakan kemban yang menyatu
dengan celana, sekelopak bunga biru itu terlihat berkilauan di payudara bagian
atasnya yang menyembul.
"Aku berusia lima tahun ketika dia lahir. Kala itu, cahaya memancar dari wajah
ibuku, tidak terlihat sama sekali gurat ketakutan menjelang bersalin seperti halnya
wanita-wanita lain di rumah sakit itu. Ibuku seakan tahu anak yang ia lahirkan akan
diberkati dengan hal istimewa yang tidak dimiliki bayi-bayi lainnya di belahan bumi
mana pun. Kamar rumah sakit itu laksana kastil intan baginya, begitu nyaman dan
penuh kedamaian. Aku tidak yakin ibu merasakan hal yang sama ketika
melahirkanku. Ibu seakan siap menyambut pusaka yang sudah ia tunggu-tunggu
sepanjang hidupnya.
"Hari itu dia lahir. Kulitnya putih mengilap, bersih, dan suci. Para perawat jelita
di sana menjadi tiada arti di samping bayi itu. Mereka dengan sayang mengusap
kulitnya yang sehalus sutra, lantas terpesona melihat tanda bunga biru di dada kirinya.
Tanda itu menyatu sempurna dengan kulitnya. Dan bayi itu sekejap saja sudah jadi
buah bibir seisi rumah sakit. Orang-orang datang menjenguknya, ingin melihat tanda
istimewa itu, entah kerabat kami atau orang yang tak kami kenal sekalipun.
"Ibuku bilang bahwa putri kecilnya adalah pembawa keberuntungan, jalan
hidupnya kelak penuh dengan ketenangan, sebagaimana warna biru kelopak bunga itu
yang melambangkan ketenangan dan kedamaian."
"Dan kau mengatakan bahwa dia sendiri yang mensyarahkan tentang arti
ketenangan itu padamu."

Anda mungkin juga menyukai