Anda di halaman 1dari 5

Naznin Suha (21)

(XI IPA 2)

Bocah Pemimpi
Ada sebuah pondok tua yang tersembunyi di dalam hutan.
Kayu-kayunya sudah lapuk. Lantainya berderit-derit dan atapnya terkikis. Disana hiduplah
seorang wanita tua yang sudah sangat ringkih. Keriput di kulitnya yang sekelam malam
seperti garis-garis sungai di pegunungan. Meski begitu, bola matanya yang sudah aus masih
menyimpan gugus-gugus bintang. Wanita tua tersebut suka sekali bercerita. Tiap malam ia
akan menyalakan sebuah lentera minyak di tengah ruangan, dan temaram sinarnya akan
memanggil anak-anak di desa untuk datang sekedar memimpikan kisah-kisahnya.
Diceritakanlah suatu hari olehnya, sebuah kisah lama di suatu tempat nun jauh disana. Anak-
anak mendengarkan dengan khusyuk.
“Dahulu kala, hiduplah seorang bocah lelaki.”
Ia hanyalah anak yatim piatu yang diasuh oleh kakak perempuannya. Kakaknya itu sangatlah
cantik. Rambutnya ikal, dan sama seperti kulitnya, punya warna yang sekelam langit malam.
Bola matanya besar, seakan menyimpan bebintangan dan debu angkasa di dalamnya. Mereka
tinggal berdua di sebuah rumah sederhana. Kehidupan mereka tidak bisa dibilang cukup.
Meski begitu, hal tersebut tidak menjadikan si bocah lantas meringkuk. Ia hanya sanggup
memandang langit-langit kamar yang bocor di salah sudutnya. Jadi ia memimpikan atap
megah mahligai di kerajaan yang-entah-ada-dimana.
Bocah itu punya impian-impian yang membumbung di angkasa.
“Kakak.” ucapnya suatu hari. “Aku mau membaca semua buku yang ada di dunia!”.
Kakaknya kaget, lalu tertawa kecil, “Tidak mungkin. Umur manusia tidak akan cukup untuk
melakukannya.”
Bocah lelaki itu pantang menyerah. Maka datanglah ia ke perpustakaan terbesar di kota.
Siang malam, pagi sore ia berdiam diri di dalamnya tak bosan-bosan. Buku yang ia baca
sudah menumpuk sampai menembus langit-langit. Namun itu masih belum cukup. Ia lelah.
Meski begitu ia selalu percaya kalau mengerjakan sesuatu haruslah sampai akhir. Jadi ia tetap
bertahan.
Tapi seberapa keras ia mencoba, tak habis-habis buku-buku itu rasanya. Rak-rak disana
masih penuh dan 24 jam tidak akan cukup bahkan untuk seperlimanya. Anak itu panik,
teringat akan ucapan kakaknya. Ia tidak mau mati tanpa mencapai sesuatu; meninggalkan apa
yang ia mulai tanpa bisa mengakhirinya. Maka mulailah ia marah. Maka mulailah ia, bocah
lelaki, mengutuk dan mencaci tuhan, mempertanyakan kepantasan-Nya duduk di singgasana.
“Tuhan tidak adil! Kenapa ia jadikan satu hari hanya 24 jam saja! Dia adalah penguasa yang
seharusnya tahu kalau 24 jam itu kurang!” ucapnya membanting sebuah buku ke meja.
“Tidak cukup! Kalau saja aku punya waktu 36 jam atau 48 jam sehari, pasti aku bisa
menyelesaikan buku-buku ini sebelum aku mati!” bentaknya. Kakaknya yang sedari tadi
hanya memperhatikan dari ambang pintu hanya tersenyum, lalu mendekat dan berujar pelan,
“Memang kenapa kalau tidak selesai membaca seluruhnya?” tanyanya sembari mengambil
buku tadi. “Toh, ilmunya tidak akan sia-sia.”
Anak itu menggeleng, “Aku tidak mau mati tanpa mencapai sesuatu. Kalau begitu, aku sama
saja dengan tidak pernah hidup.” Kakaknya nampak berpikir sejenak, lalu, “Kenapa tidak kau
impikan hal lain saja? Bagimu semua impian, selama bisa dicapai, adalah sama kan?”
Sejak itu, buku-buku tersebut perlahan-lahan menghilang, bersama dengan mimpi yang sudah
ia lupakan. Seperti saran sang kakak, ia kini memimpikan hal lain, menginginkan sesuatu.
Bocah lelaki itu ingin memeluk seluruh isi bumi.
Terakhir kali ia sampaikan hal tersebut pada kakaknya, ia jadi lebih kaget dari pada
sebelumnya. Memeluk bumi? Bagaimana bisa? Namun kilatan di mata bocah itu jauh lebih
menyengat dari terik matahari siang ini. Maka dengan berat hati, kakaknya pun berkata,
“Pergilah ke padang rumput.” ucapnya, “Peluklah bumi disana.”
Anak itu menurut. Ia berlari menuju padang rumput yang luas membentang di ceruk-ceruk
bumi. Rerumputan hijau yang setinggi betis terasa sakit saat menucuk kulit, dan sinar
matahari yang berbintik-bintik menyelimuti seluruh pematang ini. Anak itu malah linglung.
Bagaimana cara memeluk bumi?, pikirnya. Tak peduli sebanyak apapun ia menjatuhkan diri
hingga terlentang di tanah, bumi yang sanggup ia rengkuh tak lebih luas dari tubuhnya, dan
bumi yang sanggup ia genggam tak lebih dari telapak tangannya. Bahkan setelah ia
mengelilingi padang rumput itu hingga langit biru mulai luntur dan matahari jadi semerah
darah, bumi masih mustahil untuk sekedar ia sapa.
Malam tiba, dan bocah lelaki itu pulang dengan mata berkaca-kaca dan tubuh berlumuran
tanah. Ia membanting pintu rumah, berteriak, “Pembohong! Katamu aku bisa memeluk bumi
di padang rumput itu! Lihat! Bahkan setelah semua ini pun, aku tetap tak berhasil! Mimpi-
mimpiku tak bisa jadi kenyataan! Kau pembohong!”
Kakaknya bingung, namun hanya bisa menatap bocah lelaki yang sudah kumal tersebut
dengan sorot mata iba. Malang, sungguh malang, pikirnya. Maka disela-sela tangis yang
menggema kala itu, ia berkata, “Kenapa selalu impian yang kamu cari?” tanyanya. “Kamu
sudah dititik seperti ini. Kamu—kamu sudah semenyedihkan ini. Lantas untuk apa?
Memimpikan bintang-bintang sebegitunya, untuk apa?”
Tolong, kalau mimpi-mimpi itu akan membunuhmu, maka, berhentilah.
Kumohon.
Namun, bocah lelaki itu masih terlalu kecil. Setinggi apapun mimpinya, ia tetaplah seorang
bocah yang tak mengerti makna tersirat dibalik mata sendu orang dewasa. “Tidak tahu. Untuk
apa aku tidak tahu.” ucapnya di antara isak tangis. “Bagiku hidup hanyalah soal berbangga
diri. Kalau aku tidak bisa mencapai sesuatu selama aku masih menghembuskan napas ini,
maka, apakah aku pantas disebut hidup?”
Mereka berdua terdiam. Angin di luar sana masih menderu begitu hebat. Jangkrik mengerik
mengiringi orkestra dedaunan. Malam itu tak ada yang tahu apa yang selanjutnya terjadi.
Yang jelas, bocah pemimpi itu tak memimpikan bintang-bintang seperti dulu lagi.
Api di dalam lentera itu berkedip lagi. Bayangan wanita tua tersebut bergoyang sebelum
kemudian kembali tenang, Dari banyaknya anak yang datang malam ini, hanya satu yang
masih setia mendengarkan. Seorang gadis kecil berkulit pucat dan berambut coklat terang.
Matanya yang masih nampak antusias sewarna mega mendung pagi ini. Meski begitu,
tatapannya semanis harum musim semi.
“Apakah itu adalah akhirnya?” Tanya gadis itu.
“Menurutmu bagaimana?”
Gadis kecil itu menggeleng kencang, “Tidak mau! Aku mau akhir yang bahagia!” ucapnya.
Wanita tua tersebut hanya tersenyum kecil. Kerutan di ujung matanya jadi terlihat lebih jelas
di temaram lentera malam ini. “Sayang, kamu harus menerima kenyataan kalau tidak semua
cerita akan berakhir baik.” Ucapnya lembut. Tangannya mengelus rambut gadis kecil itu dan
pandangannya teduh. “Yah, cerita ini memang belum selesai. Tidak mungkin bocah itu akan
berhenti bermimpi. Kau ingat apa yang dia katakan saat kakaknya menyuruhnya demikian?”
Gadis itu mengangguk, “Berhenti bermimpi sama saja dengan mati?”
“Tepat sekali.” Ujar Sang wanita tua sembari mengipasi api dalam lentera. “Bocah itu pada
dasarnya hanyalah seorang pengecut. Ia takut mengalami kegagalan, sebab sesuatu yang
gagal hanya akan menjadi sia-sia. Ia tidak akan berhenti bermimpi, sebab artinya dia akan
mati. Orang yang seperti itu, sanggupkah ia menghadapi kematian seorang diri?” ucapnya
lagi. Intonasinya sedikit naik, meski begitu, suaranya masih mengalun manis.
“Kisahnya belum berakhir.”
Bocah lelaki itu menahan diri. Kemarin ia melihat ombak yang bergulung-gulung, dan
seketika ia ingin mengarungi seluruh lautan itu. Kemarinnya lagi ia merasakan angin
berhembus teramat kencang, dan seketika ia memimpikan untuk menggenggam hembusan
itu. Ia harus menahan diri. Tidak apa. Sungguh, tidak apa-apa. Meski kilat di matanya telah
hilang, meski kecemerlangan dalam suaranya telah sirna, tidak apa apa. Ia hanyalah seorang
pecundang yang takut gagal, dan berhenti bermimpi berarti berhenti untuk gagal. Jadi tidak
apa.
Suatu hari kakaknya menyuruh bocah itu untuk mengumpulkan kayu bakar di hutan. “Jangan
pulang sebelum mendapat 5 lusin kayu.” Ucap kakaknya. Bocah itu menurut. Ia menyusuri
jalan hutan yang terkadang becek terkadang kering, terkadang landai terkadang terjal, hingga
tanpa sadar matahari terbenam dan kayu di tangannya mungkin sudah lebih dari enam lusin.
Bocah itu sadar kalau ia sudah membuang-buang waktu. Peluh di pelipisnya mengucur deras
dan telapak kakinya luka sebab tersayat dahan. Waktu itu bulan dan bintang sudah menghiasi
langit dan angin yang menderu menjadikan dedaunan bergesek.
“Aku harus cepat pulang.” Ucapnya. Jadi ia berlari melewati jalan setapak. Namun, ia berlari
terlalu cepat. Disatu titik kakinya melemah dan napasnya seakan menghilang. Ia berhenti
tepat saat kakinya melangkah keluar dari hutan itu, menarik napas dalam-dalam, berjalan
beberapa langkah sebelum kemudian jatuh terlentang. Ia pikir, mungkin akan sakit. Namun
ternyata begitu punggungnya menyapa gravitasi, yang ia dapati adalah rerumputan hijau
sejauh mata memandang. Tubuhnya seolah tersedot rerumputan dan barulah ia sadar kalau ini
adalah padang rumput tempatnya memeluk bumi pertiwi.

Napasnya tersengal. Matanya berkaca-kaca dan wajahnya memerah. Angin kala itu masih
menderu begitu kencang. Langit malam dilihat dari sudut pandang itu jadi jauh lebih luas,
lebih megah dengan bulan dan bintang yang menghiasinya.
“Aku mau memeluk langit.” Ucap anak itu.
“Aku mau menggapai bintang-bintang.” Ucapnya lagi.
Tidak ada yang mendengar sebanyak apa mimpi yang telah ia ucapkan. Semuanya hilang
bersama hembusan angin malam. Seekor elang terbang melengkung melawan arus angin.
Elang tersebut terbang tinggi, melintasi hutan, lalu kembali lagi mengitari padang. Elang
itu…terbang sangat tinggi, sangat percaya diri. Tidak takut jatuh, tidak takut terbawa angin.
Elang itu terbang, seolah sudah mencapai bulan.
“Aku mau seperti elang itu.” Ucapnya. “Aku mau terbang.”
Setinggi itu, sehebat itu.
Ia tahu kalau mengharapkan hal seperti itu hanyalah percuma. Ia tahu. Dalam hati dia tahu.
Namun sejatinya, ia masih berharap akan kilau yang melayang di angkasa lepas.
Ia adalah pengecut. Lantas kenapa? Kalau pengecut lantas kenapa? Hidup memang
menakutkan. Menjadi hidup berarti menjadi manusia utuh yang gagal dan hancur dan
sembuh. Hidup ini memang menakutkan dan ia takut. Lantas apa masalahnya? Ia takut untuk
hidup, namun dia lebih takut untuk mati.
Ia tidak tahu angin apa yang membawanya saat itu. Yang jelas ia segera bangkit dan berlari
ke rumahnya. Melintasi pematang yang luas, melintasi rumah-rumah yang sudah gelap. Saat
itu kakaknya tengah menunggu di ambang pintu dengan wajah khawatir. “Kamu dari mana
saja?!” teriaknya panik. Anak itu tersengal lagi. Namun kali ini, ia tersenyum lebar.
Kakaknya barangkali kaget, sebab sekilas, kilat dimatanya yang hilang seketika telah
kembali.
“Kakak.” Ucapnya.
“Aku ingin terbang.”
Anak itu menjatuhkan kayu bakar ke lantai. Bicaranya terputus dan napasnya berantakan,
namun matanya masih mengisahkan kilau yang sama. “Aku ingin terbang. Tapi aku tidak
akan mencapainya sendirian. Aku akan menjinakkan seekor elang. Elang itu nantinya akan
terbang sejauh yang dia mau, namun tujuan akhirnya tetaplah aku.”
Kakaknya masih termenung, namun bocah lelaki itu sepertinya tidak peduli. “Aku akan
menjinakkan seekor elang. Elang itu akan jadi milikku. Matanya adalah mataku dan sayapnya
adalah sayapku. Nantinya, seluruh bentang langit yang ia lewati akan menjadi bentang langit
yang aku lewati, dan seluruh ceruk bumi yang ia lihat akan menjadi ceruk bumi yang aku
lihat. Kakak, nyatanya aku adalah pengecut. Dunia ini terlalu luas, dan aku takut untuk
melewatinya sendirian.”
Anak itu benar-benar menjinakkan seekor elang yang dia tangkap beberapa bulan setelahnya.
Elang itu terbang tinggi mengitari bumi pertiwi, namun ia akan tetap kembali.
“Tahun dan tahun berlalu. Bocah itu menjadi seseorang yang mahsyur, dan mimpinya bukan
lagi sekedar memeluk bumi dan membaca seluruh buku. Elang itu juga bertambah tua. Ia tak
sanggup terbang setinggi dulu, dan kepakan sayapnya pun tak lagi semegah dulu.”
Wanita tua itu tersenyum, memperhatikan gadis kecil yang kini ikut tertidur di pangkuannya.
Api di dalam lentera ia padamkan, dan kegelapan malam seketika menyeruak. “Pada
akhirnya, elang itu mati. Tapi bocah lelaki itu tak menyesal. Sebab elang itu telah melintasi
samudra di ujung daratan, telah menyusuri hutan-hutan belantara, telah membentangkan
sayapnya di seluruh jagat. Dan bocah itu, kini, telah menyusuri dunia bersamanya.”
Malam masih panjang. Seekor elang menukik ke dalam hutan, dan angin malam
mengaburkan penampakannya.
Wanita itu mengelus rambut si gadis.
“Tamat.”

Anda mungkin juga menyukai