Anda di halaman 1dari 404

Princess and the Beast

Nagara Kusuma tidak suka posisinya sebagai anak


semata wayang digeser karena kehadiran Kinara
Angelina. Segala upaya dilakukan Nagara untuk
menyingkirkan adik angkatnya. Anehnya saat dia berhasil,
Nagara justru tak merasa senang sama sekali.

***

Nagara Kusuma, pemuda berusia 22 tahun yang terbiasa


hidup sebagai anak semata wayang. Terbiasa diberi
perhatian penuh dan selalu dituruti semua keinginannya.
Namun, kejayaannya tersebut harus kandas seketika,
saat kedua orang tuanya secara tiba-tiba mengadopsi
anak dari antah berantah, seorang Kinara Angelina
berusia 17 tahun. Gadis muda, dengan latar belakang
yang cukup gelap karena orangtuanya yang sakit jiwa.

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang


PROLOG

Dalam sebuah ruangan yang didominasi oleh kaca,


seorang lelaki berperawakan tinggi dengan punggung
lebar terlihat tengah tenggelam dalam lamunan. Dengan
segelas kopi yang mulai dingin di tangannya, ia berdiri
mematung di hadapan jendela. Menatap kosong gedung-
gedung pencakar langit yang menjadi pemandangannya
sehari-hari.

Kembali ia menyesap minumannya. Memikirkan cara apa


lagi yang harus dilakukannya untuk menemukan gadis
itu.2

Sebuah ketukan pada pintu membuat lamunannya enyah.


Tanpa sudi berbalik badan, lelaki itu berseru singkat.
"Masuk," titahnya, tegas.1

"Ini data yang Pak Naga butuhkan."

Dahinya mengernyit. "Data ap—" Sedetik kemudian


kedua matanya terbeliak. Segera ia menoleh dari balik
bahu, menatap orang kepercayaannya dengan
pandangan penuh harap. "Berhasil?"

Senyum lelaki bernama Naga tersebut perlahan terbit di


wajah dinginnya. Seraya meletakkan cangkir di atas meja
kerjanya, sorot mata tajamnya mengarah pada satu objek.
Pigura seorang gadis dengan balutan dress biru langit
model baby doll, bando kuping kelinci berwarna putih, dan
rambut hitam sekelam malam yang panjang dan sangat
lurus.1

"Found you, Kitten," bisik lelaki itu, riang.31

Tanpa diketahui, jalannya untuk mendapatkan kembali


apa yang telah hilang tidaklah mudah. Bahkan uang
sebanyak apa pun tidak mampu mengabulkan permintaan
satu-satunya saat ini. Ia harus menjilat air liur yang
diludahkannya sekitar 6 tahun lalu. Sesuatu yang tidak
pernah ia bayangkan.
BAB I | Cermin

Rambut lurus nan panjang sepinggang tersebut disisir


dengan mudah tanpa kendala. Jemari kurus yang tampak
pucat dan nyaris memperlihatkan struktur tulangnya,
masih tetap asyik memainkan helai demi helai.
Pandangannya kosong. Senyumnya begitu lebar seolah
akan menyentuh telinga.44

"Selesai," bisik wanita itu lantas mengalihkan


perhatiannya pada pantulan cermin seraya membungkuk.
Menyejajarkan kepalanya dengan sosok yang teramat ia
sayangi. "Cantik. Selalu cantik. Anak Mama, cantik."

Senyumnya sontak memudar saat tidak ada jawaban.


Layaknya kepala boneka yang sudah usang, kepalanya
menoleh kaku. Menatap profil wajah yang kini memucat,
persis seperti dirinya.

"Kenapa, Sayang?"

Deru napas beraroma kurang sedap menerpa pipi gadis


yang kini terduduk mematung di depan meja rias usang.
Sosok jelita itu tampak tidak berani sedikit pun melirik
sang ibu yang telah belasan tahun merawatnya.6

"Kok nggak dijawab? Kamu udah nggak suka Mama puji


ya?"

Takut-takut, gadis itu melirik. Sedetik kemudian, ia


menyesal telah membalas tatapan tersebut karena
sedetik kemudian, tidak hanya rupanya yang
menyeramkan, sifatnya pun menjadi buas seperti hewan
liar.3

Gadis itu meringis kesakitan. Ia hanya bisa menangis dan


menangis saat ibunya menarik rambut panjangnya ke
ranjang seperti peliharaan. Sebelum ibunya, ia berucap
seperti biasa. Sebuah kalimat yang selalu terulang akhir-
akhir ini. Terlebih, saat gadis itu menyadari bahwa ada
yang salah dalam kehidupannya.

"Jadilah anak baik! Jadilah anak baik!"15

Hingga pintu kamarnya tertutup keras, gadis itu hanya


bisa meratapi semua ini dalam nelangsa.

***

"Yuhuuu, Naga darling! Mami mau pergi dulu ya."15


Nagara Kusuma, yang pada saat itu sedang tengkurap di
atas tempat tidur sambil bertelanjang dada dan
membiarkan selimut tersibak hingga pinggulnya, hanya
bergumam samar untuk merespons seruan Maminya.

Naga pikir, maminya yang paling berisik tapi juga paling


disayangnya itu telah berlalu dari kamarnya, tapi ternyata
tidak. Beberapa menit kemudian, Naga justru merasakan
lengannya ditarik-tarik.

"Aduh, Mamiii. Naga masih ngantuk," erangnya dengan


suara sangat serak. Keira—sang mami—bahkan yakin
jika beberapa burung betina yang terbang melintas di luar
sana pasti akan langsung jatuh hati mendengarnya.

"Oh boy! Ini udah siang, Naga. Kuliah nggak kamu?!"


pekik Keira, gemas. Wanita itu sempat berpikir jika Naga
akan mewarisi sifat dari papinya, Raka. Rajin, telaten, dan
selalu bisa diandalkan. Tapi nahas, Naga justru sangat
mirip dengan Keira yang paling senang sibuk nggak
ngapa-ngapain.

"Naga mau bolos aja ya, Mi?" Dengan sebelah mata—


karena salah satunya masih terlalu lengket untuk
terbuka—Naga menoleh menatap maminya, memohon
agar permintaan absurd tersebut dikabulkan. "Hari ini
mata kuliahnya cuma Motivasi Usaha. Dosennya baik."

"Astaga, Naga!" Keira menggeleng-geleng tidak percaya.


"Nama mata kuliahnya aja udah Motivasi, masa kamu
nggak ada termotivasinya sedikit buat jadi pengusaha?!
Contoh dong Papi kamu, Om Ben, Opa Eddy!"9

Alis tebal Naga yang tidak sempurna bertaut. "Katanya


Mami janji mau ngebebasin Naga jadi apa aja kelak?"
protesnya, mengungkit janji mami akan masa depannya.

Sesungguhnya, Naga bukan tidak berbakat dalam dunia


tersebut, pemuda itu bahkan telah melihat peluang bisnis
sejak ia duduk di bangku sekolah dasar. Melihat teman-
temannya menyukai cokelat, diam-diam Naga menjual
cokelat yang diberikan Opa Eddy dari luar negeri dengan
harga lebih mahal. Ia bahkan senang mengutak-
atik website dan menghasilkan dollar dari Google sebagai
uang jajan tambahan ketika usianya masih 13 tahun.3

Naga suka uang. Uang yang banyak membuatnya


merasa jadi berkuasa. Namun, tetap saja. Naga seperti
manusia pada umumnya. Hilang minat justru ketika
disuruh. Wajar saja jika ia sering berkilah. Belum lagi, ia
memang suka bermanja ria dengan sang mami
khususnya. Jadilah, masa depannya terkesan suram.23

"Ya tapi bukan pemalas!" Dengan sekali sentak, Keira


menarik Naga kuat-kuat hingga tubuhnya yang besar itu
terjatuh ke lantai. Hal yang sanggup membuat Naga
terkejut karena tenaga maminya yang ternyata super
sekali.

"Duh, Mamiii!" rengek Naga seperti bocah. Tidak


menyadari bahwa usianya sudah mencapai 22 tahun.
"Sakiiit."

"Halah! Dicakar kucing aja kamu nggak ngeluh." Keira


mengibaskan tangannya. "Udah buruan mandi, Mami dan
Papi tungguin kamu aja."

"Huh?"

"Kita bareng." Kemudian wanita itu mengerling skeptis


pada Naga yang kini terduduk di lantai. Membuat posisi
sang mami terlihat semakin tinggi karena heels yang
menghiasi kakinya. "Biar kamu nggak kabur!"

Naga hanya dapat mengembuskan napas saat maminya


berlalu. Dan begitu pintu tertutup, langsung saja ia
menuruti perintah ibu negara dengan melangkah lesu ke
kamar mandi pribadinya.

Sambil menyikat gigi di depan wastafel, Naga


memandangi dirinya dalam pantulan cermin. Mengamati
setiap luka yang tercipta di wajahnya yang dulu
sempurna, tanpa cela.

Kedua mata Naga mulai menelusuri tiap inci


penampilannya. Alis kanan yang terbelah oleh parut
sepanjang kurang lebih 2 senti dari bawah dahi hingga
pada tulang alis. Tulang pipi kanan yang juga memiliki
parut lebih panjang. Tulang hidung yang sedikit bengkok
pada batangnya. Juga terdapat luka bekas jatuh di
dagunya yang membuat kulit pada bagian tersebut
tampak menyerupai bercak permanen.9

Naga terkekeh mengingat kebohongan yang ia berikan


pada keluarganya mengenai sumber luka-luka tersebut.
Ada yang dia bilang karena cakaran kucing, anjing,
sampai jatuh dari motor. Padahal semua itu diterimanya
karena ia beradu kekuatan dengan orang-orang yang
mencari masalah dengannya.
Namun, satu hal yang tidak ia sangka. Entah mengapa
kekurangan tersebut justru semakin menjadikan Nagara
Kusuma sebagai idola para gadis di kampus. Belum lagi
tubuh menjulang dan berototnya yang seperti berhasil
membuat para perempuan—tanpa melihat usia, kesulitan
menelan ludah tiap melihatnya.

Mungkin kebanyakan kaum Hawa zaman sekarang


memegang prinsip seperti salah satu quotes dari Ian
Mcshane yang berbunyi "The bad boy always more
fun". Sekalipun tampilan Naga jauh dari kata selayaknya
pemuda baik-baik, tidak masalah bagi mereka karena
justru itulah yang menjadi daya tarik.

Dirasa sudah cukup bersih, napasnya pun telah terasa


segar, Naga mulai beralih membasuh wajah dan rutinitas
mandi selanjutnya.

***

Usai menurunkan Naga tepat di depan gerbang kampus,


mobil sedan mewah tersebut kembali berlalu, melaju
membelah jalan raya.

Di dalamnya, sepasang suami istri tampak berbincang


sesekali bersenda gurau. Usia yang tidak lagi muda
bukan alasan untuk enggan bermesraan. Meski begitu,
sang wanita tetap merasa ada yang kurang.

Kelengkapan. Ya, dalam hidupnya kini, Nagalah yang


menjadi pelangi dunianya. Berjalan-jalan berdua dengan
Raka memanglah menyenangkan bagi Keira, tapi
alangkah bahagianya bila Naga juga turut ikut ke mana
pun Keira pergi.

Sayang, bukan hanya jadwal kuliah yang menjadi


penghalang, kalaupun tidak ada kelas, pemuda itu juga
tetap tidak akan mau menjadi "nyamuk" kedua orang
tuanya yang kerap memiliki dunia sendiri.1

Hal tersebut membuat Keira kerap berpikir ingin punya


anak lagi, tapi tidak mungkin! Usianya tidak lagi muda.
Raka, suaminya pun sudah alot. Semua akibat rezeki
berupa Nagara-nya yang cukup lama ia dapat setelah
menikah.

Ciiit ... BRUK! Mobil direm mendadak membuat kedua


penumpang di dalamnya terkejut.

"OH MY GOD!" Keira sontak mendekap dadanya yang


berdebar kencang. Wajahnya mendadak pucat pasi
mendapati pemandangan di depannya. "Papi hati-hati
dong!" pekik wanita itu.

Raka tidak membalas. Pria itu bergegas membuka sabuk


pengamannya dan turun dari mobil. Dengan langkah
menderap, Raka tampak menghampiri seorang gadis
yang kini berjongkok dengan kepala menunduk sambil
menutup telinganya rapat-rapat.

Keira yang ikut penasaran akan keadaan gadis malang


tersebut pun segera menyusul. "Ya ampun, ya
ampun. Are you okay, Honey?"

"Dia nggak mau ngomong."

Ucapan Raka mau tidak mau membuat Keira mengernyit.


Terlebih saat ia menyadari bahwa tubuh yang meringkuk
itu sedikit gemetar.

"Kinara ... Mama datang, Sayang!"

Suara yang terdengar dari kejauhan tersebut lantas


membuat gadis itu bangkit dan bergegas
menyembunyikan diri di balik tubuh besar Raka. Tanpa
sepatah kata, tindakanya itulah yang membuat Keira
berpikir gadis ini ketakutan. Gadis ini merasa tidak aman.
Karena sosok Raka sepertinya dipercaya oleh gadis
bernama Kinara itu, Keira memberi isyarat pada Raka
untuk menuntun Kinara masuk ke dalam mobil. Raka
menurut tanpa pikir panjang. Untunglah, Kinara tidak
mengeluarkan penolakan sedikit pun.

Usai keduanya masuk ke dalam mobil, Keira menyusul. Ia


lantas menyuruh Raka untuk cepat berlalu dari sana.

Dari pantulan spion tengah mobil suaminya, Keira melihat


sosok mengerikan itu muncul saat mobil mereka sudah
mulai mengambil jarak. Sesosok wanita dengan rambut
kusut, pakaian lusuh, serta tubuh kurus kering kini
mengamati sedan hitam yang belum menghilang dari
pandangannya.28

Tapi bukan hanya itu yang membuat Keira bergidik ngeri.


Keira melihat—meskipun tidak begitu jelas— wanita
tersebut tampak mengunyah sesuatu dalam mulut
kemudian melepehkannya di atas sendok besi sambil
menyeringai lebar. Terlalu lebar hingga Keira sempat
mengira kalau mulutnya robek.

Begitu Raka membelokkan kendaraannya, Keira pun


menghela napas lega. Helaan yang membuat suaminya
menoleh dan mengeluarkan pertanyaan penuh perhatian.
Meyakinkan bila istrinya baik-baik saja.

Keira hanya mengangguk samar. Tanpa memedulikan


ekspresi Raka yang masih belum puas akan jawabannya,
ia menoleh dari balik bahu. Memandangi Kinara yang
tengah terduduk di belakang Raka sambil memuntir
jemarinya di atas pangkuan.

"Pi, mampir dulu ke butik," titah Keira pada sang suami


tanpa mengalihkan pandangan dari gadis penuh misteri
tersebut.
BAB II | Rumah

"Namanya Kinara Angelina. Usia 17 tahun ..."

Yatim piatu yang dibesarkan dalam panti asuhan Harapan


Anak sejak lahir. Ia lantas diadopsi secara ilegal oleh
pasangan Armojo sejak usia 3 tahun.

Margie, ibu angkat Kinara ternyata belum menikah. Data


yang diserahkannya sebagai syarat dan ketentuan pada
pihak panti ternyata tidak sah. Lelaki yang menemani
Margie saat mendatangi Panti Asuhan adalah orang
bayaran. Ia telah ditinggal oleh calon suaminya sebelum
pernikahan karena selingkuhannya. Margie yang
kesepian pun "mengambil" Kinara yang paling kecil
supaya waktu kebersamaan mereka lebih lama.2

Margie yang enggan ditinggal kembali, tidak merawat


Kinara dengan sebagaimana harusnya. Margie merawat
anaknya seperti bayi mungil yang tidak tahu apa pun
tentang dunia. Bayi mungil yang polos. Bayi mungil yang
tidak akan bisa ke mana-mana tanpa didampingi.
6 bulan masa percobaan untuk Margie menjadi orang tua,
ternyata tidak dilakukannya dengan baik. Wanita itu
bahkan meninggalkan segalanya dengan pindah ke
rumah yang sepi akan tetangga, termasuk membuang
ponselnya agar tidak dapat dilacak.8

Margie takut jika Kinara tumbuh besar, bayi mungilnya


akan pergi. Entah meninggalkannya dengan sengaja atau
karena takdir. Margie ingin Kinara selalu menetap
bersamanya, sekalipun dengan memperlakukan seorang
gadis selayaknya balita. Boneka yang bisa dimainkan
semaunya. Ia bahkan tidak membiarkan Kinara sekolah,
apalagi memiliki teman.29

Di usianya yang sudah memasuki masa dewasa awal,


Kinara bertingkah laku seperti anak kecil karena tidak
pernah bersosialisasi. Ia dikurung dalam penjara yang
dibuat Margie. Kinara tidak pernah dilatih menjadi
"manusia" pada umumnya.

Begitulah sekiranya informasi yang Raka dapatkan dari


orang kepercayaan saat tengah menunggu Keira
memilihkan banyak baju untuk Kinara. Cepat dan tepat.
Pria itu memang langsung menghubungi kaki tangannya
melalui ponsel ketika masih dalam perjalanan menuju
butik.

Usai membelanjakan banyak pakaian untuk Kinara, mobil


sedan hitam milik Raka memasuki pekarangan rumahnya
yang begitu luas.

Raka tersenyum melihat betapa senangnya sang istri saat


ini. Sejak dulu, Keira memang menginginkan dua orang
anak. Sepasang, laki-laki dan perempuan. Tapi apa boleh
buat. Ia sudah sangat bersyukur diberikan rezeki berupa
Naga seorang.

Dan mengetahui informasi tentang Kinara, juga betapa


tidak inginnya Keira jika gadis itu sampai kembali ke
tangan Margie, mereka pun sepakat untuk mengadopsi
secara legal mengingat usia Kinara yang belum
memasuki 18 tahun.

Margie cerdik, tapi kekuasaan Kusuma tidak bisa


dipermainkan olehnya. Dengan kata lain, Kinara akan
aman bersama mereka.

Dari balik jendela mobil, kedua mata Kinara melebar


menatap berbagai tanaman indah di sana. Terdapat pula
air mancur dengan patung dewa Yunani yang begitu
besar dan artistik, berdiri kokoh tepat di pertengahan
halaman.

Sampai Keira menuntunnya ke hadapan pintu utama yang


terbuka otomatis. Senyum Kinara mengembang. Belum
apa-apa, ia sudah menyukai semua ini. Dugaannya
selama ini benar. Dunia memang seindah itu.

"Nah, ini rumah kamu nanti," ucap Keira seraya


merangkul bahu Kinara ke sofa ruang tamu. Saat itu juga
ia menyadari betapa kurusnya Kinara. Tinggi tubuhnya
juga hanya sejajar dengan telinga Keira yang sedang
tidak mengenakan heels. "Gimana? Suka?"

Mengulum senyum, Kinara mengangguk kecil. Tidak


hanya mengagumi arsitektur serta interior bangunan, aura
hangat yang menguar dari rumah ini pun terasa begitu
nyaman untuk Kinara.

Tatapan Kinara beralih pada dinding kaca yang


memperlihatkan kolam renang dari kejauhan. Sepasang
mata bundarnya kembali berbinar melihat objek-objek
penuh warna yang mengagumkan.

Selama hidup, tinggal dalam rumah kumuh yang sebagian


besarnya terbuat dari kayu. Baik lantai yang berisik ketika
dipijak, pintu yang berderit kencang, hingga perabotan
yang telah rapuh. Setiap sudut pun dipenuhi sarang laba-
laba. Tidak ada jendela kaca yang memperlihatkan langit
secara jelas. Tidak ada pintu yang terbuka lebih dari 5
detik. Pengap dan panas. Kinara pikir, hal tersebut adalah
normal. Tapi ternyata, ia memang tumbuh di tempat yang
pantas disebut "mengerikan".

Satu-satunya "warna" yang dapat dilihatnya, terdapat


pada baju-baju yang ia kenakan. Dress selutut khas anak-
anak yang berbeda warna setiap harinya. Meski begitu,
tetap tampak lusuh dan tidak cerah abadi karena pudar
seiring waktu.

Seolah mengetahui isi kepala Kinara, Keira meraih jemari


yang bertaut di atas pangkuan gadis itu dan
menangkupnya. "Jangan khawatir, prosesnya nggak
lama. Soon, kamu akan jadi bagian dari kami," tegas
Keira lantas melirik Raka yang juga melemparkan
senyuman.

***

"Untuk sementara kamu tinggal di sini dulu ya." Kemudian


pandangan Raka beralih pada wanita paruh baya yang
selama beberapa hari bertugas mengurus dan membantu
Kinara "mengenal" dunia. "Kalau ada apa-apa, bisa
langsung hubungi saya."

"Baik, Tuan."

Kinara melihat wanita itu membungkuk sedikit pada Raka.


Seperti itik yang mengikuti induk, Kinara pun melakukan
hal serupa dan membuat pria di hadapannya tertawa
karena kepolosannya.17

"Oke, saya pamit dulu."

Sebelum sosoknya benar-benar menghilang dari balik


pintu apartemen, Raka kembali menoleh pada Kinara.

Ya, pada akhirnya ia menyewa apartemen sementara


untuk Kinara selagi ia mengurus pengangkatan anak
secara resmi. Baik Keira maupun Raka hanya ingin
Kinara tinggal dengan mereka setelah semua telah "jelas"
statusnya.

Kinara ...

Gadis itu tampak ceria meskipun Raka menemukan


memar di beberapa bagian tubuhnya seperti pergelangan
tangan dan kaki. Tanpa disengaja, istrinya bahkan juga
menyadari terdapat pitak di kepala Kinara. Meski begitu,
senyum Kinara bahkan sangat lebar seolah tidak memiliki
beban sama sekali. Dengan mudahnya ia merasa
nyaman pada Keira dan Raka. Padahal, dunia penuh
warnanya telah direnggut paksa oleh takdir.

Benar-benar gadis polos. Dan Raka tidak akan


membiarkan gadis malang tersebut meneruskan masa
kelamnya. Dengan cepat, ia akan mengurusi segala
tentang Kinara Angelina.3

***

Ruang meja makan kini dihiasi oleh denting peralatan


makan yang saling beradu. Jika Naga hanya fokus
dengan makan malamnya, tidak dengan kedua orang
tuanya yang kini saling melirik. Bingung apa yang harus
mereka basa-basikan dulu agar Naga tidak begitu terkejut
dengan fakta yang akan disampaikan.

"Naga, Papi mau ngomong."

Pada akhirnya, Raka bersuara. Ia dapat melihat dahi


anaknya berkerut menatap papi, lalu maminya secara
bergantian. "Apa nih? Biasanya Papi kalau mau ngomong
tinggal ngomong." Kecurigaan mulai menguasai pemuda
itu.

Raka menghela napas. Ia meletakkan peralatan


makannya terlebih dulu dan menatap Naga lekat-lekat.
"Papi dan Mami udah sepakat."1

Sebelah alis Naga yang tidak sempurna karena adanya


parut, menukik. "Sepakat?"

"Kamu akan punya adik."

Naga berdecak. Sedikit kasar, ia membanting sendok dan


garpu di tangan. Menimbulkan bunyi yang cukup keras.
"Mi, Pi, yang benar aja dong. Naga udah umur segini,
masa mau punya debay!"13

"Debay?"

"Dede bayi," ketus Naga, memandang wajah sang ayah


dengan tatapan meragukan. Yang benar saja! Bagaimana
papinya tersebut selalu dibilang budak cinta pada
maminya seperti apa kata orang-orang kalau bahasa
seorang Keira saja ia tidak tahu?!

"Oh." Raka terkekeh. "Kamu salah sangka, Naga. Ucapan


Papi bukan ke arah sana."
"Maksudnya?"

"Maksudnya itu, Papi udah letoy." Keira memutar bola


matanya. "Jadi, kami berniat mengadopsi anak. Buat
nemanin kamu."56

Naga mendengus saat maminya turut bersuara. Sudah


dapat ditebak, bahwa keinginan ini berasal dari mereka
berdua. Bukan hanya mami ataupun papinya.

Dulu, mereka sering senang bercanda soal itu. Menggoda


Naga—yang jelas-jelas tidak menginginkan adik—dengan
gurauan bertema "asyiknya punya anggota baru" dalam
keluarga mereka. Namun, Naga tidak menyangka bila
ketakutannya tersebut akan terjadi.

Naga, yang sudah terbiasa dimanja dan bermanja ria


dalam istana ini, tidak dapat membayangkan jika dirinya
harus membagi perhatian, kasih sayang, serta segalanya
yang sudah mutlak tercipta untuknya.

"Naga nggak butuh teman." Bibir Naga menipis sebelum


akhirnya bangkit dan meninggalkan meja makan. Tidak
peduli panggilan Raka, bahkan makanannya yang belum
habis.
Bab III | Boneka

Naga melempar ranselnya asal, menimbulkan suara


berdebum yang cukup mengejutkan kedua orang di dalam
ruangan bernuansa merah dan hitam tersebut.

Tiger, pemuda bernama asli Tigor yang hobinya menjadi


mahasiswa abadi itu lantas mengerling tajam pada Naga.
"Jangan ngagetin dong, elah! Kalau tato burung rajawali
gue mencong gimana?!" gerutunya, kesal.26

"Nggak apa-apa, Tai. Siapa tahu entar jadi mirip burung


bapak lo," gurau Bingbong, pemuda bertubuh gempal
yang jago melukis. Ia sampai dipercayakan Tiger untuk
berkarya di atas kulitnya supaya terlihat lebih sangar dan
ditakuti.12

Sudut bibir Tiger berkedut mendengarnya. "Berapa kali


gue bilang, jangan panggil Tai!"11

"Kan, lo sendiri yang mau dipanggil Tiger, biar kayak


singa."3
"Harimau, goblok!" Tiger berdecak. "Panggil gue "Ger"!
Yang lebih macho dikit. Lagian kalau mau panggil dua
huruf awal, pronounce-nya itu Tay, bukan Tai!"

Baru Bingbong ingin membalas, suara Naga membuat


kedua pasang mata tertuju pada sosok itu. "Hah?
Maksudnya?"

Naga berdecak. "Masa nggak ngerti Bahasa manusia?


Habis dia, gue!" ulang pemuda itu seraya menunjuk Tiger
yang tengah terlentang di atas kursi khusus untuk
dibuatkan tato oleh Bingbong pada bagian lengan atas.

Kening Tiger berkerut dalam. "Nggak salah lo?"

Bukan rahasia lagi bila Naga tidak suka dengan tato dan
membuat kulitnya ternoda. Namun, kali ini berbeda.
Pikiran Naga sedang butuh dialihkan. Dan satu-satunya
cara untuk hal tersebut adalah dengan membuat dirinya
sakit. Karena teman-temannya tidak mungkin
melayangkan pukulan padanya sekalipun Naga yang
meminta, maka pemuda itu putuskan untuk membuat tato
pada beberapa bagian tubuhnya. Meskipun ia tidak yakin
bila hal tersebut akan berhasil.6
Karena ia adalah Nagara Kusuma. Luka yang perlu dijahit
saja baginya seperti digigit semut, apalagi ditato.

Naga hanya mengangkat bahu membalasnya. Ia benar-


benar sedang tidak bersemangat. Semua ini tentu saja
bermula dari kabar mengerikan yang dilontarkan sang
papi. Bahkan hingga detik ini, Naga masih merajuk pada
kedua orang tuanya. Berharap mereka akan
membatalkan niat yang membuat Naga merasa tidak
nyaman.

***

Sudah seminggu setelah kabar mengerikan tersebut


didengarnya, tapi hingga detik ini sosok itu tidak muncul.
Makhluk yang ia benci bahkan sebelum mereka
dipertemukan.

Mungkinkah papi dan mami mengabulkan permintaannya


secara diam-diam?

Namun, dugaan yang teramat membahagiakan itu


tidaklah bertahan lama. Karena esoknya, Naga harus
menghadapi kenyataan pahit.
Sepulang dari kampus, dengan semangat Naga meniti
anak tangga, berlari-lari kecil menuju kamarnya. Sore ini,
ia berjanji pada Tiger dan Bingbong untuk menemani
mereka nongkrong sekaligus mentraktir keduanya, karena
perasaan Naga yang kelewat senang. Bagaimana tidak?
Ia akan selamanya menjadi anak semata wayang.
Perhatian-perhatian orang tuanya akan selalu fokus
tertuju pada Nagara seorang. Oleh karenanya, Naga ingin
merayakan hal ini bersama para sahabat secara kecil-
kecilan.

Nahas, semua tidak sesuai rencana. Tuhan berkehendak


lain.

Baru langkah Naga berpijak di lantai 2, pintu utama sudah


terbuka secara otomatis dan memperlihatkan tiga orang
sekaligus.

Dari atas, Naga bisa mengamati wajah-wajah yang


berbinar dengan jelas. Pemuda itu mendengus kasar
melihat jemari sang mami membelai lembut kepala sosok
polos di sampingnya.

Di lantai dasar, Kina—mulai sekarang, begitulah


panggilannya—mengamati interior rumah lagi-lagi dengan
takjub seolah ia baru pertama kali berkunjung. Bagi gadis
itu, bangunan modern seperti ini lebih pantas disebut
sebagai istana kerajaan. Meskipun gambarannya berbeda
dengan visualisasi dalam buku dongeng lusuhnya dulu,
semua yang ada di dalam kediaman barunya seolah
mampu menghidupi seluruh rakyat. Begitu luas, begitu
mutakhir, begitu mewah, tanpa melupakan kehangatan.

KAMU AKAN MENYUKAI INI

MAS DUDA (END)

3.1M282K
JANGAN LUPA FOLLOW AKUN SAYA. DAN CERITA INI SEDIKIT
MENGANDUNG ADEGAN DEWASA� UPDATE SESUAI MOOD. Judul
awal: BUNDAAA ____ Dia Diana, kesayangan Baby Alvan dan om-o...

Dominic With The Baby Girl

5.2M487K
Series ke 3 dari Abraham's family. Dominic putra Abraham. Pria dingin
serta kaku yang baru merasakan cinta. Keysha Amelia. Wanita dengan
sejuta luka namun tetap tegar...

After We Divorce

1.4M149K
Trigger warning: suicidal thought, toxic parenting, harsh words, etc. Aleena
diam-diam mengajukan perceraian dan menyembunyikan kehamilannya
agar dapat pergi sejauh mung...

ARHAN

5M442K
[TAMAT] [COMPLETED] Sebelum baca follow dulu ya! Ariel Xaviero
Mostwanted SMA Angkasa, ia terpilih sebagai ketua Geng Motor bernama
Black Wolf. Terkenal akan kenakalan...

DEAN & HARA [ END ]

1.1M76.2K
[ Setelah membaca jangan lupa vote. ] Bianca Hara Violetika tidak akan
pernah menyangka, akan menikah dengan seorang laki-laki yang bernama
Dean Dario Garfield ,yang mem...

ALFAREZ [TERBIT]

1.4M55.8K
(SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS) NOVEL TERSEDIA DI MARKET
PLACE SHOPEE JAKSAMEDIA Ini adalah kisah seorang gadis bernama
Adhara Zefanya Claire. Gadis dengan trauma masa la...

Pelukan pada boneka perempuan dengan baju cokelat


motif polkadot itu mengerat. Kina ingin Mikku—nama yang
ia berikan untuk bonekanya—turut merasakan
kebahagiaan yang terpancar pada debaran di dadanya.

Benda lucu tersebut merupakan hadiah dari Raka untuk


menemaninya tidur di apartemen, sebelum pindah ke
rumah barunya yang resmi. Mengetahui bahwa Kina tidak
bisa tidur tanpa boneka di sampingnya, Raka langsung
menyuruh seseorang membeli apa yang Kina inginkan.
Dari peristiwa itu juga, Raka mengetahui beberapa
informasi tambahan yang cukup mengejutkan, terlontar
dari bibir sang pengasuh.
"Apa-apaan nih?"

Semua benak yang sedang sibuk akan pemikiran sendiri,


lantas dienyahkan oleh sambutan dingin oleh Naga.

Berjarak cukup jauh dari tempat mereka berpijak, Kina


mendapati seorang laki-laki tengah menyandarkan kedua
sikunya pada kaca transparan yang terhubung ke tangga.
Postur menjulang dan besar pemuda itu mampu membuat
pagar di hadapannya tampak begitu pendek meskipun
Kina yakin bila tinggi benda pipih tersebut sanggup
menelan perutnya.

"Oh, Naga udah pulang." Raka menampilkan senyuman


terbaiknya seolah tidak ada apa pun yang terjadi di antara
mereka. "Sini turun, Naga. Kenalin anggota baru keluarga
kita."

Menyaksikan hal tersebut, Kina sontak mengulas senyum.


Ramah, tangan gadis itu melambai kecil pada Naga yang
kini mulai menuruni anak tangga.

Meski dari kejauhan, entah mengapa jantung Kina


berdebar melihat sosok tersebut menuruni anak tangga.
Dengan tatapan tajam yang lurus tertuju pada Kina, Naga
melangkah tanpa tersandung sedikit pun. Kedua
tangannya yang saat ini mengenakan kaus lengan
pendek, memperlihatkan urat-urat di tangannya,
tenggelam dalam saku celana kanan dan kirinya. Rambut
yang berantakan, tampak basah oleh keringat. Ransel
hitam di salah satu bahunya, tidak tersampir dengan
sempurna. Hal-hal kecil yang ternyata disukai kedua mata
Kina saat melihatnya.

Kina meneguk ludah saat pemuda itu telah turun, berdiri


di hadapannya tanpa mengubah ekspresi. Datar. Tidak
ada kehangatan sedikit pun di wajah tampan yang
ternyata ...

Sedikit membuatnya bergidik ngeri dari jarak dekat.

Naga mendengus saat Kina langsung menunduk usai


mengamatinya. Apalagi kalau bukan parut di wajah Naga
yang membuat gadis itu takut? Belum lagi auranya yang
begitu mengintimidasi. Mungkinkah makhluk kecil ini
beranggapan bahwa seorang Naga akan menjadi saudara
yang menyenangkan? Jangan harap.

Kalau orang lain yang melakukannya, mungkin Naga


akan tersinggung. Tapi gadis ini membuat Naga semakin
ingin mendekati wajahnya agar sosok itu menggigil
ketakutan. Lihatlah, kedua tangan yang ukurannya
mungkin dua kali lebih kecil dari Naga tersebut tampak
mengeratkan dekapannya pada boneka. Dahi Naga
mengernyit samar. Sepertinya Kina bukanlah bocah SMP
apalagi SD. Meskipun pakaian yang dikenakannya cukup
tertutup, Naga yakin tubuh mungil tersebut memiliki
bagian-bagian tubuh wanita dewasa yang sudah
terbentuk. Lantas, mengapa responsnya seperti balita
yang tengah diancam akan tidur sendiri usai bermimpi
buruk?

Naga menelusuri sosok Kina tanpa menggerakkan


kepalanya sedikit pun. Dari ujung rambut hitam nan
lurusnya yang dihiasi bando renda putih, hingga ujung flat
shoes putih dengan hiasan pita yang menghiasi sepasang
kaki kurus itu. Semua tampak baru. Terlebih baju yang
dikenakan Kina
sekarang. Dress selutut berbahan chiffon berwarna biru
langit yang memiliki lengan pendek berbentuk balon.
Pakaian yang bagus. Terlalu bagus untuk Kina. Naga
berasumsi, pasti sang mami memesannya secara khusus
di butik langganan.2
Penilaian tersebut semakin membuat Kina merasa
menciut di tempatnya. Gadis itu memang tidak tahu apa
yang ada di pikiran pemuda di hadapannya, tapi
sepasang mata tajam tersebut berhasil menjadikan dirinya
seperti seekor mangsa.

Menyadari Kina merasa tidak nyaman, Keira yang berada


di samping gadis itu lantas merangkul kedua bahu
rapuhnya dan bergurau, "Nggak apa-apa, Kina. Mukanya
doang yang seram kayak Security, tapi hatinya Hello
Kitty."

Naga memutar mata saat mami papinya tertawa.


Berusaha menenangkan gadis bernama Kina meskipun
dengan kalimat jenaka yang sama sekali tidak lucu di
pendengarannya.

"Iya, Kina. Dia sekarang abang kamu, keluarga kamu


juga. Jadi, nggak perlu takut ya." Raka menambahkan.
Pria itu tersenyum lega saat punggung Kina yang
sebelumnya tampak menegang, kini jauh lebih rileks. "Oh
iya, namanya Naga. Panggil aja Bang Naga. Dan Naga,
ini Kina." Raka beralih pada Naga yang masih menatap
tajam Kina seolah sorot matanya mampu melubangi dahi
adik angkatnya itu.
"Nama lengkapnya Kinara Angelina." Keira tersenyum
lebar pada Naga hingga kerutan halus pada ujung
matanya sedikit terlihat. Tampak sangat bangga
memperkenalkan Kina seolah nama gadis itu memiliki
makna yang besar bagi kehidupan.

Dan Naga benar, memang begitulah nyatanya.

"Kinara. Nara. Nama Papi dan Om Ben juga ada


Naranya." Keira terkikik geli. "Kebetulan yang manis ya?"6

Naga berdecak keras. Sesuatu yang membuat Kina agak


terlonjak di tempat. "Kenapa dulu nggak namain aku
Naraga? Biar Mami nggak butuh anak ini!" Dagu Naga
bergedik, menunjuk Kina. Bibirnya pun menipis saat
menukas. Naga benar-benar membenci makhluk di
hadapannya tersebut.19

"Naga," tegur Raka, tapi pemuda itu tidak mengacuhkan.1

Tanpa menggubris panggilan maminya, Naga berlalu ke


dalam kamarnya dengan langkah terburu-buru. Ia ingin
tidur. Tidak peduli pada kenyataan bahwa Tiger dan
Bingbong sedang antusias menunggunya di tempat yang
telah dijanjikan. Naga berharap, semua ini hanya bagian
dari mimpi. Dan begitu terbangun, sosok itu telah tiada.
Bab IV | Wilayah

Suasana makan malam kini berbeda. Jelas saja karena


kehadiran makhluk yang sama sekali tidak diharapkannya
tersebut!1

Bisa saja ia mogok makan, tapi papi dan maminya pasti


tidak akan membiarkan Kina makan seorang diri. Alhasil,
nanti dirinya juga yang dikalahkan keadaan. Oleh
karenanya, ia harus ikut bergabung—mau tidak mau—
demi memenangkan perhatian kedua orang tuanya.
Setidaknya, tidak melulu pada gadis itu!4

Naga mengerling pada Kina yang duduk di seberangnya.


Seharusnya Naga bersyukur jika Kina tidak berada di
dekatnya mengingat meja makan Kusuma sangatlah luas.
Tapi tidak bisa! Karena di samping gadis itu, duduklah
maminya yang kini tampak antusias menuangkan nasi
beserta lauk pauknya di atas piring Kina.

Menu hari ini sangat lengkap. Tanda bahwa kedua orang


tua Naga begitu antusias dalam merayakan hari pertama
mereka bersama anggota keluarga yang baru. Dari ikan
bakar hingga udang saus tiram—makanan kesukaan
Naga, semua tersaji indah di meja makan.

Sekadar informasi bahwa Naga mampu melahap udang


dengan tidak membuang kulitnya. Dari kepala hingga
buntut yang kerap dibuang oleh orang lain, Naga
menelannya tanpa terkecuali. Itulah mengapa juru masak
di kediaman Kusuma membiarkan penampilan udang
tetap utuh sekalipun papi dan maminya harus "bekerja
dua kali" untuk mengupas sebelum menikmatinya.40

Tanpa disadarinya, hal tersebut membuat Kina dalam


bahaya.

"Uhuk ... uhuk!"

Kina terbatuk-batuk saat gadis itu berusaha mengikuti


Naga alih-alih kedua orang tuanya. Melihat abangnya
yang menikmati udang tanpa repot mengurusi kulitnya,
Kina pun meniru. Sayangnya, ia lupa akan
kelemahannya. Belum sempat makanan di mulutnya
benar-benar halus, Kina sudah menelannya.

Panik menggerogoti Keira. Suatu tindakan yang membuat


Naga mendengus sebal karena dirasa maminya begitu
berlebihan.
"Ya ampun! Minum, minum," ucap maminya sambil
menyodorkan gelas, mendekat ke bibir Kina.

Naga berdecak. "Paling cuma keselak biasa." Untuk apa


pula dikhawatirkan sedemikian rupa? Tersedak dikit saja
sudah bikin heboh! Lanjut batinnya, kesal.

Tidak ada yang menggubris. Baik mami, bahkan papinya


pun turun tangan. Sibuk menepuk-nepuk punggung Kina
dengan lembut.

Seriously? Naga sangat cemburu melihatnya! Bagaimana


mungkin reaksi mereka seperti itu pada anak angkat
dibanding anak kandungnya sendiri?! Jika Naga yang
tersedak, papinya pasti hanya menyuruhnya untuk makan
pelan-pelan!22

Namun, perasaan tersebut hadir karena Naga tidak


mengetahui kenyataannya. Bahwa Kina pernah
dibesarkan dengan cara yang sangat berbeda dan jauh
dari kata normal, hingga mengejutkan Raka dan Keira.
Fakta bahwa Kina tidak lancar mengunyah makanan.

Gadis itu terbiasa menelan makanan dan mendorong


segala yang sulit ditelan dengan meneguk air putih. Kina
yang malang. Selama hidupnya, ia tidak diajarkan
mengunyah. Bukan tidak bisa, hanya saja tidak terbiasa.

Seorang Kinara Angelina terbiasa memakan makanan


yang telah dihaluskan seperti bubur bayi. Yang paling
sukar dipahami adalah kenyataan bahwa Kina sering
"dikunyahi" oleh Margie. Ya, gadis itu kerap dipaksa
memakan makanan yang sudah Margie "haluskan"
menggunakan mulut wanita tersebut.6

Untunglah selama tinggal di apartemen untuk sementara,


pengasuh anak handal yang Raka hadirkan untuk
menemani Kina, melakukan tugasnya dengan sangat
baik. Mengajarkan banyak hal tentang apa yang
"seharusnya" dan "tidak seharusnya" gadis seusia Kina
lakukan. Termasuk melatih Kina untuk terbiasa
mengunyah makanannya sampai halus sebelum ditelan.

Untungnya lagi, Kina termasuk gadis pintar. Sang


pengasuh tidak dibuat kerepotan sama sekali karena
membuat Kina "paham" tidaklah sulit. Hanya butuh waktu
lebih lama untuk menyempurnakan Kina dalam menjadi
seorang gadis seutuhnya.
Saat batuk Kina sudah mereda, Naga bisa melihat bahu
sang papi yang lebih rileks, serta air muka maminya yang
tidak lagi cemas. Seandainya Naga tahu kebenaran di
balik perasaan "takut" kedua orang tuanya barusan,
mungkin kebencian pemuda itu pada Kina tidak semakin
menumpuk dalam momen makan malam ini.

"Naga mau nambah nggak, darling?"

Gerakan Naga terhenti. Sendok emas yang akan masuk


ke mulutnya, sontak menggantung di udara. Jemarinya
yang tadi begitu erat menggenggam tangkai, kini sedikit
mengendur. Naga tersenyum mendengar pertanyaan dari
sang mami. Akhirnya, perhatian pun tertuju pada pemuda
itu.8

"Nggak, Mi. Cukup." Naga menjawab apa adanya. Akan


tetapi, senyum manis di wajahnya memudar seiring Keira
kembali bersuara. Kali ini lebih ceria dan lebih antusias.
Kedua mata maminya bahkan berbinar menatap Kina di
sampingnya.1

"Kalau Kina mau nambah? Nambah ya, biar sehat. Mau


Mami ambilin lagi?"
Diam-diam Naga berdecih. Piring gadis itu bahkan masih
sangat penuh karena cara makannya yang lamban seperti
siput! Padahal porsi makannya dua kali lebih sedikit
daripada porsi Naga.

Kina menggeleng dan tersenyum. Kali ini bukan hanya


mengulum seperti biasa, tapi juga menampilkan rentetan
giginya yang ternyata tidak rapi! Gigi seri dan taringnya
yang mungil tampak maju mundur seperti
balapan MotoGP! Pada gigi bawah, Naga bahkan hanya
melihat satu gigi seri lateral.35

Pantas lambat dalam mengunyah. Giginya saja kurang!28

Lagi, nilai minus dari Naga untuk gadis itu. Bagaimana


mungkin mami dan papinya mengadopsi anak seperti ini?
Dengan kekuasaan orang tuanya yang bahkan mungkin
bisa membeli panti asuhan sekaligus, bukan tidak
mungkin bila mereka "bisa" memilih yang terbaik.1

Naga memang tidak setuju dengan ide memiliki adik.


Sampai kapan pun. Tapi kalau terpaksa, haruskah yang
bentuknya seperti ini?! Bahkan
rangkaian skincare dan makeup maminya lebih tertata
daripada gigi-gigi kecil itu. Hmm, Naga jadi penasaran.
Mungkinkah Kina masih memakai Kodomo untuk
menyikat giginya? Biar tidak berbaris rapi, gigi Kina cukup
putih seperti anak kecil yang belum mengenal kopi dan
teh, minuman yang dapat menyebabkan gigi menjadi
kuning.1

"Naga?"

Pemuda itu mengerjap. Ia tidak menyadari jika dirinya


sibuk melamun dan memikirkan gigi Kina. "Ya, Pi?"
respons Naga seraya meletakkan sendok garpunya di
atas piring. Bahkan ia juga baru tahu kalau piringnya telah
bersih.1

"Kamu, kan, udah selesai makannya. Boleh ke atas


duluan ..."

Baru Naga akan mengangguk, ucapan papi selanjutnya


mengejutkan pemuda itu.

"... sama Kina. Dia udah kenyang kayaknya. Jadi,


langsung aja istirahat."

"Hah?"
Raka tersenyum. Mengabaikan kerutan di dahi anaknya,
tanda tidak menyukai ide tersebut. "Kamar Kina di lantai 3
juga. Sama kayak kamu."

Naga berdecak. Ini sudah keterlaluan! Lantai 3 adalah


miliknya seorang! Dan ia benar-benar tidak suka bila
diganggu gugat!

Dalam istana Kusuma, lantai 3 adalah tempat yang paling


membuat Naga nyaman. Selain letak ruang kamarnya,
terdapat pula ruang home theatre, ruang
bermain billiard dengan mini bar di dalamnya, hingga
ruang studio Naga—di mana komputer, game console,
sampai beberapa alat musik seperti keyboard piano dan
gitar listrik tersedia—yang dinamakan sebagai "Dragon's
Fire Lab".15

Memang, terdapat dua ruang kamar di lantai tersebut.


Tapi tetap saja Naga tidak mengira bila papinya akan
menempatkan Kina berada dalam wilayah Naga! Masih
banyak kamar kosong di kediaman Kusuma yang megah
ini. Papinya pemilik Sky Lounge, restoran bintang 5 yang
kini telah memiliki banyak cabang, tersebar di berbagai
kota Indonesia bahkan luar. Kelas internasional.
Bukan hal mustahil bagi seorang Naraka Kusuma
membangun rumahnya menjadi 10 lantai sekaligus.
Memisahkan Naga yang jelas-jelas tidak welcome dengan
kehadiran Kina. Namun, sepertinya semua ini adalah
unsur kesengajaan. Lantai 1 bahkan lebih cocok untuk
Kina. Ruang kamarnya benar-benar didesain khusus
seperti ruangan khusus tamu alias tidak terlalu besar. Di
lantai itu juga tersedia perpustakaan, dekat dengan dapur
utama, serta kolam renang pada halaman belakang.
Tidak begitu buruk, kan? Karena memang segalanya
tersedia di sini.

Tapi mengapa harus puncak teratas? Lantai 3 yang


merupakan territory Nagara Kusuma? Semua orang tahu
itu.3

Naga mendengus. "Nggak salah dengar, Pi? Dia tidur


dekat Naga?!" sewotnya, tidak senang.

"Secara teknis, nggak dekat, Naga. Lagian, kamar kamu


luas. Yang paling luas di rumah ini malah."2

Maminya manggut-manggut, setuju. "Tenang aja,


Naga darling. Kalian, kan, beda kamar. Nggak bobo
dekat-dekat dong," gurau Keira, lantas terkikik geli.
"Papi dan Mami tahu maksud Naga," tukasnya, melirik
Raka dan Keira secara bergantian. "Satu lantai aja Naga
nggak mau, gimana berseberangan kamar! Naga nggak
sudi dekat-dekat sama dia." Telunjuk panjang pemuda itu
mengarah pada Kina yang kini menunduk dalam. Sedih
bukan main mendengarnya. Dalam hati, ia berharap bila
istana ini bukanlah kamuflase dari rumah mengerikan
yang sebelumnya ia tempati.1

"Naga." Sang papi menghela napas. Tetap telaten


menghadapi anaknya yang keras kepala. Intonasinya
tetap rendah meskipun terdengar lebih tegas dan tak
terbantahkan kali ini. "Antarin Kina ke kamarnya.
Naik lift aja. Biar nggak capek."8

Naga menatap papinya dengan tatapan tidak percaya.


Selama ini, keinginan Naga selalu dituruti. Termasuk
dengan membuat lantai 3 menjadi hak milik tanpa tertulis.
Tapi ...

Pemuda itu mengerling tajam pada Kina yang berada di


seberang meja. Dalam beberapa menit, bukan hanya
meja yang menjadi pembatas mereka, tetapi juga pintu
juga ruang lorong yang luasnya tidak seberapa.
Rahang Naga terkatup rapat. Kesal, ia bangkit dari tempat
dan mulai melangkah meninggalkan semua orang.
Namun, belum sempat sosoknya menghilang di balik
dinding pembatas ruang, kepalanya menoleh dari balik
bahu. Dengan bibir menipis, Naga melirik Kina yang
tertangkap basah tengah mengamatinya.

"Ikut nggak?"

Sontak, Kina mengangguk kecil. Usai mencium pipi kedua


orang tua barunya—yang membuat Naga memutar mata,
gadis itu berlari-lari kecil menyusul Naga. Gadis itu
tampak senang sekali saat Naga mengajaknya. Diam-
diam, Naga tersenyum sinis. Dia pikir, Naga adalah abang
idaman? Jangan harap.

Begitu sosok kedua anaknya telah menghilang dari


pandangan, baik Raka maupun Keira tersenyum puas.
Bab V | "Kitten"

Kina berusaha menyamai langkah kecilnya dengan


langkah besar Naga. Gadis itu bahkan tidak bisa
menikmati dengan jelas pemandangan indah akan interior
lantai 3 rumah barunya. Jangankan menoleh sedikit,
mengedip sekali saja ia sudah tertinggal jauh oleh Naga.1

Begitu Naga memperlambat langkahnya di depan salah


satu pintu, Kina tersenyum. Ia berpikir jika ruangan
tersebut adalah kamarnya dan Naga hendak
menunjukkan padanya, sebagaimana yang kedua orang
tuanya lakukan sore tadi.

Memang, sejak kedatangan Kina secara resmi di rumah


ini beberapa jam lalu, ia belum diperlihatkan sama sekali
akan kamar khusus untuknya. Selama berjam-jam, ia
asyik mengamati tukang kebun memotong rumput, para
ART (asisten rumah tangga) yang terlihat membersihkan
seluruh sudut bangunan megah ini, serta Keira dan para
juru masak yang sibuk menguasai dapur. Hal yang
menyenangkan bagi Kina melihat keadaan rumah begitu
"hidup".
Oleh karenanya, Kina belum sempat beristirahat.
Lagipula, sepanjang sejarah seorang Kinara Angelina
dipenuhi dengan "istirahat" seperti bayi yang tidak bisa
melakukan apa pun, membuat Kina ingin menikmati hal
lain yang ternyata sangat berbeda dengan dunianya.

Tapi kali ini, sudah waktunya untuk beristirahat. Sudah


malam. Dan Kina siap untuk merasakan kamar yang
menurut maminya didekorasi secantik mungkin supaya
Kina betah tinggal di sini. Tidak menyeramkan. Tidak
dipenuhi sarang laba-laba. Yang terpenting,
pencahayaannya tidaklah redup agar Kina jauh dari
bayangan masa lalu.

Senyum manis di wajah polos Kina lantas menguap saat


Naga menutup pintu tanpa membiarkan gadis itu masuk
ke dalam. Kina mengerjap-ngerjap, mencoba memahami
apa yang sedang terjadi.

Dengan kepala meneleng menatap pintu seolah benda


tersebut bisa menjawab pertanyaan di benaknya, Kina
hanya bergeming di depan kamar ...

Naga.
Kina terlonjak saat pintu kembali terbuka dengan kasar,
lantas memunculkan sosok Naga yang begitu besar di
hadapannya. Tubuh serta tatapan yang mengintimidasi
tersebut sanggup membuat tubuh mungil Kina merasa
semakin kecil saking takutnya.

"Ngapain masih di sini?"

Suara itu begitu tajam. Gigi Naga yang tersusun rapi


bahkan tetap terkatup rapat saat bertanya. Kina tahu,
dirinya lagi-lagi membuat Naga kesal. Entah karena apa.

Kina menunduk. Kedua tangannya saling meremas di


depan perutnya. Ia tidak ingin membuat Naga semakin
marah karena hal itu pasti menakutkan. Yang Kina tidak
tahu, responsnya saat inilah yang justru memicu
kekesalan pada diri Naga.

"Kenapa nggak jawab?" Alis Naga yang terbelah oleh


parut pun menukik. "Takut?"

Lugu, Kina hanya mengangguk. Meskipun tidak mampu


membalas tatapan Naga, sosok tersebut seolah mampu
menghipnotis Kina hanya dengan lisan.
Lagi, alih-alih tersinggung, Naga justru semakin merasa
puas melihat Kina mampu dikontrol olehnya. Dengan
begini akan menjadi lebih mudah baginya untuk
menciptakan neraka kecil untuk si gadis manis bernama
...

Rrrr ... siapa nama gadis ini? Mengapa Naga lupa? Ah,
tidak penting!

"Kenapa? Seram?"

Kina sontak melangkah mundur saat Naga mendekat.


Sandal berbulu putih yang dikenakannya sampai hampir
terlepas saking ngerinya.

Sampai punggung Kina membentur pintu di belakangnya.


Sebelum kepala gadis itu menyusul dan mencium
kerasnya dahan, telapak tangan Naga segera mencegah.
Menjadi pembatas di antaranya.12

Tanpa basa-basi, Naga membuka handle pintu dengan


tangan lain yang terbebas begitu Kina sudah berdiri tegak
kembali. Sebelum ia menjauhkan melepaskan tangan
besarnya dari kepala sang adik, dagunya memiliki bekas
luka pun mengedik, menunjuk kamar bernuansa putih dan
biru muda dengan lantai kayu berwarna abu-abu muda.
Dekorasi yang mengandung estetika serta kesan damai.

"Kamar lo."

Naga lalu memutar tubuhnya, siap berlalu. Namun, belum


sempat ia mengambil langkah, ia kembali mengerling
pada Kina dari balik bahu yang lebar.

"Jangan masuk ke kamar gue tanpa izin. Jangan sentuh


apa pun di ruangan lain lantai ini karenanya semuanya
milik gue. Jadilah anak manis yang nggak ngerepotin ..."

Tubuh Kina membeku. Seketika kilas balik akan masa lalu


yang mengerikan pun kembali menghantuinya.3

Jadilah anak baik. Jadilah anak baik.1

"... dan yang terpenting, ssst!" Wajah pucat pasi itu


semakin membuat Naga merasa memegang kuasa.
Perlahan, pemuda itu menempelkan telunjuknya di bibir
dengan sebelah mata menyipit. Lirih, ia melanjutkan
kalimat otoriternya, "Jangan berisik ..." Seringai pun
muncul. "Kitten."

***
Naga menghempaskan dirinya di atas ranjang. Menatap
kosong langit-langit kamar dengan menjadikan sebelah
lengannya sebagai bantal.

Papinya tidak salah, ruangan Naga memang sangat luas,


lebih besar daripada milik Kina. Sekalipun gadis itu
berteriak, Naga tidak akan terusik.

Ah, itu berlebihan. Ruangan mereka bukanlah home


theatre yang kedap akan suara. Tapi setidaknya, sosok
Kina yang penakut tidak mungkin akan mengusiknya.
Terlebih setelah ia memberi peringatan secara langsung
dan eksklusif akan peraturan di territory Naga barusan.

Seraya membayangkan wajah polos Kina muncul di


langit-langit kamarnya, Naga membentuk pistol dengan
jemarinya dan membuat gerakan menembak pada dahi
gadis itu. Jika kedua orang tuanya berpikir, membiarkan
seekor anak kucing berada dalam satu wilayah dengan
sang raja hutan merupakan cara terbaik untuk membuat
mereka dekat...6

Salah. Keputusan yang salah besar.1

"Damn you, Kitten. How can I stop you from making my


life harder, hmm?" bisiknya dengan bibir menipis.2
Tidak jauh darinya, Kina meringkuk seperti janin di atas
ranjang seraya memeluk Mikku erat-erat. Kitten. Sekali
lagi suara berat itu terngiang dalam benaknya. Kalau saja
tatapan Naga tidak sarat akan permusuhan, mungkin Kina
akan menyukai panggilan tersebut. Karena entah
mengapa, jantungnya berdebar saat Naga memiliki nama
unik untuknya.

Namun, situasinya berbeda. Naga membencinya.

Mungkinkah yang mami dan papi katakan benar adanya?


Naga hanya keras di luar, tapi lembut di dalam.

Ya, kedua orang tuanya sempat berkata demikian saat


Naga meninggalkan ruang tamu istana Kusuma usai
"perkenalan" antara mereka terjadi. Mami Keira bahkan
meyakinkan Kina jika Naga tidak akan berbuat kasar
sekalipun ekspresi pemuda itu selalu terlihat marah tiap
kali melihat Kina. Sang mami mengatakan pada Kina
bahwa mencairkan es di hati Naga merupakan tugasnya,
bukan orang lain.

Kina lantas terduduk karena pemikiran tersebut. Seraya


menatap Mikku yang ia dudukan di atas pangkuannya,
Kina menegaskan pada diri sendiri. "Bang Naga baik. Iya,
kan, Mikku?"

Kina menggoyangkan bonekanya ke depan dan belakang,


membuat Mikku seakan meresponsnya dengan anggukan
antusias. Dengan senyum terkulum manis, Kina memeluk
Mikku kembali lantas merebahkan tubuhnya di atas kasur
yang sangat luas nan empuk.

Besok ia akan menghadapi hari yang panjang. Tidak,


bukan hanya besok. Melainkan tanpa batas. Setidaknya,
sampai ia berhasil membuat Naga memandangnya
sebagai seorang adik.
Bab VI | Pagi

Naga terbangun saat matahari sudah mulai tinggi.


Sebelum memutuskan bangkit dari ranjang, terlebih dulu
Naga memastikan bahwa hari ini adalah hari Sabtu.

Pemuda itu mendesah lega. Hari tanpa kuliah merupakan


hal yang selalu dinanti setiap minggunya.

Semangat, Naga meninggalkan tempat tidur dan


bergegas melangkah ke kamar mandi pribadinya untuk
membersihkan diri. Aneh memang, ketika libur seperti ini
Naga justru hampir tidak pernah malas melakukannya.
Tapi mengapa setiap "harus" pergi ke kampus, bahu
Naga selalu terasa berat menjalaninya?

Tidak membutuhkan waktu lama bagi Naga untuk mandi


dan bersiap-siap menjalani hari. To do list-nya Sabtu ini
adalah sarapan, bermain Playstation 2-3 jam—agar
keadaan perut tidak begitu penuh—untuk dilanjutkan
berolahraga di ruang Gym yang juga terletak di lantai
dasar istana Kusuma.2
Naga melirik jam meja digital di atas nakas. Ia lantas
tersenyum mendapati dirinya telah "rapi" sebelum angka
kedua dalam barisan berubah menjadi angka 7. Masih
sangat pagi. Maminya pasti akan bangga mengetahui
Naga sudah turun ke bawah untuk sarapan tanpa perlu
merepotkan wanita itu dengan membangunkannya seperti
biasa.

Dengan hati riang, Naga menghampiri pintu kamar.


Bersiap keluar dari ruangan bernuansa hitam dan abu-
abu tersebut. Namun, baru ia sempat membuka pintu
kokoh di hadapannya, tubuhnya mematung. Jangankan
mengambil langkah, mengambil napas saja ia seolah
lupa!

Sosok itu, berdiri di depan pintu kamarnya sendiri yang


berhadapan dengan milik Naga. Dengan dress baby
doll lengan pendek berwarna merah muda yang
panjangnya tidak sampai lutut, tersenyum menyambut
Naga dengan boneka dalam pelukannya.

Sinting! Bagaimana Naga bisa melupakan keberadaan


hantu cilik satu ini?!13
Naga mendengus keras saat Kitten hanya tersenyum
manis sambil memandangi Naga. Bagi pemuda itu,
senyumnya sangat jelek dan membuat Naga ingin
meludah ke sembarang arah. Yang Naga tidak tahu,
senyuman itu Kina lakukan tanpa disadari oleh gadis itu
sendiri.6

Menyambut pagi sang abang dengan berdiri di depan


pintu kamarnya sendiri, memang gadis itu niat lakukan.
Namun, Kina tidak menyangka bila jantungnya melompat
kegirangan saat sosok maskulin tersebut muncul. Dengan
kaus putih polos yang berbahan cukup tipis hingga
memperlihatkan bentuk badannya yang membuat Kina
salah tingkah, rambut Naga juga tampak sedikit
berantakan dan basah. Yang paling tidak bisa ditoleransi
adalah aroma yang menguar dari tubuh itu. Sangat
harum. Membuat Kina berpikir jika ia akan selalu betah
berada di samping Naga.

"Ngapain di situ?"

Lamunan Kina buyar. Gadis itu mengerjap-ngerjap


menatap Naga yang sinis padanya.
Naga berdecak saat Kina hanya terdiam seperti gadis
dungu. "Nggak ngerti Bahasa manusia? Nggak
sekolah, huh?"

Ketajaman di setiap kata yang terucap membuat Kina


menunduk alih-alih menjawab. Kedua lengannya sontak
memeluk Mikku dengan semakin erat. Hal yang
sepertinya akan terbiasa Naga lihat ketika anak kucing di
hadapannya tengah ketakutan.

Kina memang tidak sekolah, tapi kata papi Raka, ia tidak


perlu malu mengakuinya. Sekolah memang sangat
penting, hanya saja waktu tidak bisa diputar balik.

Dulu, Kina teramat mengagumi Margie. Baginya,


mamanya tersebut tidak hanya seorang ibu, tetapi ayah,
teman, dan seorang guru baginya. Kina memang tidak
sekolah karena Margie membohonginya tentang
kekejaman dunia yang tidak akan bisa Kina jalani.
Namun, Margie tidak benar-benar tak peduli padanya.

Kina yang selalu mau tahu, Margie berikan banyak buku


untuknya "belajar". Margie juga mengajarinya membaca,
berhitung, dan hal lain yang membuat Kina semakin
mengagumi wanita itu. Meski begitu, tetap saja Margie
tidak lupa memberi peringatan pada Kina bahwa dunia
tidak seperti apa yang dituang dalam tulisan. Bumi dan
seisinya sangat jahat. Kina yang sedari kecil didoktrin
pengertian sedemikian rupa pun akhirnya takut untuk
menatap dunia walau hati berkata lain.17

Tidak bersekolah bukan berarti menjadikan Kina anak


yang picik. Hanya saja, Kina tidak pandai bersosialisasi.

Sampai usianya beranjak 15 tahun. Margie yang saat itu


tengah lalai meninggalkan Kina dengan keadaan ruang
kamarnya yang tidak terkunci, membuat Kina diam-diam
masuk ke dalam ruang terlarang. Di sana Kina mengutak-
atik apa pun yang membuatnya penasaran dan tidak
sengaja menemukan remot TV. Saat itulah ia mendapati
kenyataan bahwa dunia tidak seperti yang Margie
katakan. Rekaman tentang bumi dan manusianya yang
terpampang pada layar televisi berukuran 14 inch tersebut
tidaklah semengerikan bayangannya yang "dibentuk"
Margie.

Detik itu juga Kina mulai berontak. Alih-alih membuahkan


hasil, reaksi Kina justru membuat Margie murka. Kina
diancam jika sampai berniat keluar dari "kandang". Setiap
Kina menolak untuk memakan makanan dari mulut
Margie, setiap Kina enggan tersenyum saat Margie
menyisir rambutnya, setiap Kina menimbulkan suara saat
ada "tamu" tak diundang yang datang, Margie akan
menyiksanya.

Sampai di usianya yang ke 17 tahun, Kina merasa sudah


lelah. Ia seperti boneka yang siap diperlakukan seperti
apa pun oleh Margie. Ia berpikir, takdirnya mungkin
memang untuk melayani wanita itu. Menjadi "balita"
seumur hidupnya.

Namun, Tuhan berkehendak lain. Kina diberikan


kesempatan untuk melarikan diri dan di sinilah ia
sekarang. Bersama keluarga yang jauh lebih pantas
disebut keluarga. Bersama keluarga yang sempurna bagi
Kina. Keluarga yang memberi Kina kenyamanan dan
kasih sayang tanpa pamrih. Setidaknya, begitulah mami
dan papinya.

Seandainya saja Naga mengetahui alasan Kina menjadi


bagian dari keluarga pemuda itu, mungkinkah keadaan
yang berubah ini akan lebih mudah diterima Naga? Tapi
tidak, Kina tetap teguh dalam pendirian bila ia tidak ingin
Naga tahu. Cukup mami dan papinya yang mengetahui
masa lalu Kinara Angelina.
Gadis itu tidak ingin membawa keterpurukan yang pernah
dilalui pada masa kini dan juga masa depannya. Ia sudah
memiliki keluarga baru. Ia adalah Kina sekarang. Dan
kedua orang tuanya pun sepakat untuk tidak membahas
yang dulu-dulu ke siapa pun. Mereka juga berjanji untuk
tidak "menghukum" Margie karena bagaimanapun, wanita
itulah yang membesarkan Kina meskipun dengan cara
yang salah.3

Kesal karena Kina tidak menggubris pertanyaannya,


Naga lantas mengikis jarak. Diapitnya dagu lancip Kina
dengan jemarinya, upaya agar membuat tatapan
keduanya bertemu.

"Ngomong. Punya mulut, kan?" tukas Naga. Gemas, ibu


jarinya yang masih berada di dagu Kina naik ke bibir
bawah gadis itu dan menjawilnya. Menjadikan objek
lembab tersebut melenting singkat. "Dipakai," lanjutnya
dengan intonasi yang semakin rendah.

Semakin terdengar sangat membingungkan bagi Kina


karena suara berat Naga mendebarkan dadanya.

Tidak ingin menjadi adik durhaka, Kina membuka mulut


saat jemari Naga telah terlepas. Lengan kokoh nan
berotot itu telah menggantung di sisi tubuhnya sedangkan
yang lainnya tenggelam di saku celana. Namun, baru
Kina akan bersuara, suara mami disusul sosoknya yang
sudah rapi dan selalu menawan di usianya tersebut,
muncul di ujung lorong.

"Yuhuuu, anak-anakku udah bangun ternyata." Keira


menepuk tangannya lantas mendekap dada. "Naga
tumben bangun pagi, udah rapi dan wangi gini. Pasti
karena dibangunin sama Kina ya?" Wanita itu terkekeh
begitu dirinya telah berada di samping Kina, alih-alih
Naga.

Perut Naga serasa diremas. Mulas sekali rasanya.


Bagaimana mungkin maminya menyangka bila "anak
pungut" inilah alasan dari kesiapan seorang Naga di pagi
hari? Memangnya siapa gadis ini sampai mampu
berdampak besar untuk Naga? Jangankan Kina, maminya
saja kerap kewalahan membangunkan Naga.4

"Naga bangun sendiri."

"Oh iya?" Keira manggut-manggut. "Bagus, bagus. Berarti


keberadaan Kina buat kamu semangat ya, sampai bisa
bangun sendiri."
Sebelah mata Naga berkedut memandangi maminya
yang terkikik geli sambil merangkul Kina. Apa-apaan ini?
Apa menomorduakan anak kandung merupakan hal
lumrah bahkan wajib hukumnya dalam "Kusuma"? Dulu,
papinya yang dianggap "mantu" oleh Oma Soraya. Kini,
Nagalah yang dianggap "anak angkat" oleh mami Keira.6

"Nggak ada hubungannya sama dia!" tegas Naga dengan


tatapan lurus dan tajam mengarah pada Kina.

"Mami bercanda, Naga darling. Jangan marah-marah,


nanti cepat keriput. Lihat noh, si papi awet muda karena
penyabar orangnya." Keira mengusap-usap lengan Naga
sampai pemuda itu terlihat menghela napas dan
sepasang bahunya yang lebar tampak lebih rileks.
"Anyways, Mami sama Papi mau pergi hari ini. Kalian
sarapan di bawah berdua ya. Jangan ribut."2

Sebelah alis Naga yang terbelah oleh parut pun menukik.


"Pergi? Ke mana?"1

"Kencan dong." Wanita itu mengedipkan sebelah matanya


pada Naga, centil. Khas seorang Keira yang tidak
berubah sejak usia muda.
"Nge-date pagi-pagi?" Naga menatap maminya, skeptis.
Perasaannya mengatakan bila kedua orang tuanya hanya
beralasan untuk meninggalkan Naga dan Kina.

Naga tertawa dalam hati akan pemikiran tersebut. Jika


memang benar adanya, jangan harap Kina akan "aman"
karena Naga juga pasti akan meninggalkan gadis itu.
Membiarkan si anak kucing seorang diri di rumah. Tanpa
teman. Tanpa keluarga. Selama beberapa jam, bahkan
mungkin setengah hari.1

Seperti apa yang seharusnya sang Kitten rasakan.

"Nge-date, kan, boleh kapan aja. Masa harus malam?


Emang Mami sama Papi mau ngeronda?" balas Keira,
jenaka. "Nah, mumpung ini hari Sabtu, kamu
lagi free, temanin Kina seharian ya? Biar dia nggak
bosan," pinta wanita itu pada Naga.

"Nggak bisa." Naga bersedekap. "Naga juga ada janji


sama teman."

Diam-diam Naga tersenyum puas mendapati senyum di


wajah sang mami hilang. Tapi bukan Keira namanya jika
kalah. Suami saja bisa ditaklukan, apalagi anak yang
harus hormat pada orang tua?
"Ajak Kina."

"Hah?"

"Mami tahu kamu nggak budek."3

Naga tercengang. "Mi, Naga mau ketemu teman-teman


Naga lho. Mami tahu, kan, mereka kayak apa? Tiger
sama Bingbong tuh bukan anak baik-baik." Ia berusaha
keras memperburuk pandangan Keira akan teman-
temannya agar Kina tidak diberikan izin untuk bergabung
dan merusak segalanya!

"Tapi, kan, ada kamu. Anak Mami."

Keira tidak mengatakan bahwa Naga adalah anak baik-


baik, tapi "anak mami" yang merupakan gambaran bahwa
Naga merupakan sosok yang tumbuh dengan pengertian
apa itu "tanggung jawab".

Ya, Keira dan Raka tahu bahwa semua luka yang


didapatkan Naga bukanlah karena cakaran kucing atau
kecelakaan yang tidak disengaja. Semua itu tercipta
karena alasan. Dan Keira paham, jika Naga
melakukannya semata bukan untuk memberontak
melainkan mempertahankan apa yang memang
seharusnya.

Meskipun caranya cukup liar, Naga bukan


pemuda rebel yang menyusahkan apalagi sampai
membawa-bawa nama "Kusuma". Dia adalah the bad boy
who every girl wants.

Bahu Naga terkulai lesu. Pada akhirnya ia mengalah.


Naga terlanjur dibuat lemah dengan ucapan Keira
barusan. Sang mami begitu memercayainya.

"Fine."

Senyum wanita yang melahirkannya tersebut lantas


mengembang. Keira mencium pipi Naga sekilas upaya
berterima kasih, lantas menoleh pada Kina dan
mengusap kepalanya.

"Kina nanti jalan-jalan sama Bang Naga, ya? Suka, kan?"

Tidak kalah lebar, senyum gadis itu terulas. Saking


antusiasnya, Kina manggut-manggut kencang sampai
Naga takut kepalanya akan copot.
Naga mendengus sinis. Sepertinya, panggilan "Kitten"
memang sangat cocok untuk gadis itu. Kecil, rapuh, dan
siap mengikuti ke manapun Naga pergi. Merepotkan!+

Damn you, Kitty!


Bab VII | Atmosfer

oleh Junieloo Follow


Bagikan



Begitu mereka selesai sarapan, Kina mengekori Naga


penuh semangat. Di garasi Kusuma yang sangat luas,
Kina sempat teralihkan karena terperangah pada
kemegahan tempat itu. Dua mobil sedan—tidak termasuk
mobil papi Raka yang digunakan untuk kencan pagi ini—
dan dua mobil SUV berbaris menyerong dengan rapi.
Tidak hanya yang beroda empat, kendaraan beroda dua
pun banyak variasinya. Ada yang model vespa, sport,
naked, hingga motor matic biasa.+

Langkah Naga kemudian berhenti di depan salah satu


mobil sedan berwarna silver yang sangat mengilap
dan glowing sampai Kina sendiri bisa bercermin
pada body kendaraan mewah tersebut.
Fun fact, Maserati GranTurismo itu Naga dapatkan karena
ia sangat menyukai game "Grand Theft Auto" atau yang
biasa dikenal GTA. Dalam permainannya, Naga suka
sekali mencuri mobil tersebut dari pengendara yang
melewatinya. Ia bahkan rela dikejar polisi hingga harus
mencemplungkan diri ke laut. Membiarkan avatarnya
menahan napas di dalam air sampai bintang kuning—
tanda akan dirinya yang semakin diincar—berkurang dan
hilang perlahan.

Meskipun terkadang nyawalah taruhannya, Naga tidak


kapok mencuri mobil favoritnya.1

Sampai Opa Eddy menawarkan Naga untuk meminta


sendiri hadiahnya yang saat itu usianya telah genap 20
tahun. Naga yang memang sudah bosan mengendarai
Kawasaki Ninja miliknya pun meminta mobil kecintaan
sang kakek. Eddy pun menyetujui tanpa syarat. Selain
lebih aman untuk Naga—mengingat pemuda itu pernah
jatuh dari motor hingga menciptakan luka pada dagu,
cucunya juga pasti akan lebih semangat berangkat kuliah.

Benar, semangat. Tapi hanya di awal saja.7


Naga sudah akan masuk ke dalam saat ia melihat Kina
masih bergeming di depan mobilnya. "Ngapain bengong?
Masuk!" titahnya yang langsung direspons oleh gadis itu.

Kina, dengan polosnya berlari kecil ke pintu belakang


tatkala Naga sudah duduk pada bangku kemudi.
Mendapati hal tersebut, Naga pun lantas menoleh ke balik
bahunya dan melemparkan tatapan sengit. "Lo anggap
gue supir?"

Kedua mata bundar Kina mengerjap. Ia benar-benar


bingung apa kesalahannya kali ini. Terbiasa naik mobil
dengan kedua orang tua barunya, tentu saja membuat
Kina berpikir bahwa posisinya saat ini adalah yang paling
tepat.

"Pindah." Merasa tidak digubris ucapannya oleh Kina,


Naga pun sewot, "Buruan!"

"P-pindah?" cicit Kina seraya menatap Naga dari balik


bulu mata.

Sebelah alis Naga yang tidak sempurna menukik. Ini


adalah pertama kalinya pemuda itu mendengar suara
Kina. Persis sekali dengan anak kucing yang baru lahir 2
minggu. Jauh berbeda dengan suara Naga yang
menggelegar, seperti singa yang mengaum.

Benar-benar tidak salah memanggil gadis itu sebagai


"Kitten". Padahal, awal mula munculnya panggilan
tersebut dalam benak Naga adalah karena pemuda itu
lupa nama Kina. Hanya dua huruf depannya saja. Ki.
Tidak mungkin kan namanya Kiky? Itu sih merek buku
tulis!

"Iya, pindah." Naga mengedikkan dagu ke bangku


samping kemudi. "Sini, cepat!"

Bergegas Kina menuruti perintah Naga. Meskipun interior


sedan tersebut cukup asing, untunglah pintu mobil Naga
tidak jauh berbeda dengan papinya sehingga tidak
membingungkan Kina untuk turun tanpa kesulitan.

Sudut bibir Naga tertarik saat Kina sudah duduk manis di


sebelahnya. "Seat belt."

"Iya?"

Naga berdecak. Kemudian ia menunjukkan sabuk


pengaman yang telah terpasang pada dirinya dengan
gemas. "Dipakai ininya!"1
"Oh?" Kina manggut-manggut hingga rambut panjangnya
berayun. Tapi hingga tiga menit kemudian, urusan gadis
itu tidak kunjung selesai. Kina sampai mau menangis
rasanya dipelototi oleh Naga. Alhasil, kepalanya pun
otomatis menunduk dengan sangat dalam.

Kina benar, Naga memang dongkol bukan main. Oleh


karenanya, segera saja ia melepas sabuk pengamannya
sendiri dan mencondongkan badan pada Kina. Membantu
gadis itu menyelesaikan "urusannya" yang sangat mudah
bagi Naga. Suatu hal yang Naga tidak sadari, tindakan
tersebut membuat jantung Kina berdebar. Belum lagi saat
puncak hidung mungilnya tidak sengaja bersentuhkan
dengan kaus Naga yang menguarkan aroma segar.
Membuat Kina lagi-lagi tidak mengerti mengapa ia
menyukai perasaan yang timbul saat ini.12

Kina menghela napas saat tubuh Naga telah menjauh


darinya dan kembali pada posisi semula. Ia bahkan baru
menyadari bila dirinya menahan napas hingga wajahnya
sedikit memerah.

Gadis itu pikir, jantungnya sudah diizinkan oleh Naga


untuk berdetak normal. Tapi ternyata tidak!
Tanpa diduga, Naga melakukan sesuatu yang membuat
Kina semakin bingung, terlebih pada dirinya sendiri.
Pemuda itu tiba-tiba saja melepaskan kaus yang melekat
pada tubuhnya dan melempar asal kain putih malang
tersebut ke belakangnya. Saat itu pula Kina menyadari
keberadaan tato "naga" hitam yang memanjang ke bawah
pada bahu belakang kiri Naga.8

Kina lantas membuang pandangan saat wajahnya kali ini


benar-benar terasa matang. Atmosfer di dalam mobil
semakin terasa panas. Menyadari bahwa Kina sedang
malu-malu, Naga hanya mendengus dan tidak ambil
pusing. Asumsinya, ternyata gadis itu sama seperti betina
lain pada umumnya. Menyukai tubuh Naga yang
terbentuk sempurna.3

Apakah Kina juga tergiur untuk menyentuh otot perut


serta bicepsnya? Naga berdecih atas pemikiran tersebut.
Jangan harap! Tegas Naga dalam hati pada Kina
meskipun yang bersangkutan tidak dapat mendengarnya.3

"K-kok lepas baju?" Kina menelan ludah, susah payah. Ia


sampai tidak mau menatap Naga karena kondisi pemuda
itu.
"Gerah," jawab Naga apa adanya sambil memasang
kembali seat belt-nya. Membiarkan kulitnya dan serat
sabuk saling bergesek secara langsung tanpa
penghalang.21

Naga bukan makhluk primitif. Ia tahu, ia bisa saja


membuat interior mobilnya menjadi lebih dingin dengan
memaksimalkan kinerja AC di mobilnya. Akan tetapi, ia
masih waras untuk tidak membuat Kina menggigil.
Terlebih baju yang dikenakan gadis itu hanya tidak
menutupi seluruh kakinya.

Kina mencengkram tali sabuk pengaman dengan erat. Ia


merutuk dalam hati karena menuruti Naga untuk tidak
membawa Mikku. Padahal, dalam situasi seperti ini, Kina
sangat membutuhkan bonekanya untuk ia peluk. "N-nanti,
k-kedinginan ..."

Naga memberi kerlingan tajam padanya. "Diam atau


nggak usah ikut?" ucap pemuda itu dengan bibir menipis
serta rahang terkatup rapat.

"K-kata Mami, aku ikut ..."1


"Ya udah, diam!" Naga berdecak keras. Ia mungkin bukan
orang yang telaten seperti papinya, tapi dengan Kina,
kesabaran pemuda itu benar-benar terbatas!

Kina lagi-lagi menunduk. Ia takut. Tapi mengapa


perasaan itu tidak membuatnya ingin turun dari mobil dan
berhenti berurusan dengan Nagara Kusuma? Sesuatu
dalam dirinya mengatakan bahwa Naga tidak jahat. Naga
adalah abang yang baik. Seorang kakak yang berperan
melindungi Kina sebagaimana yang mami dan papinya
katakan.

Mengalah, Kina memilih diam. Ia hanya memainkan


jemari di pangkuannya saat Naga mulai menyetir dan
membelah jalan raya dengan kendaraannya.

Kina harus jadi adik yang penurut agar Naga tidak


semakin benci dengannya.5

***

Tapi tidak lagi.

Pemikiran tersebut lantas ditebas oleh Kina saat mobil


Naga berhenti di depan sebuah bangunan tak terpakai
yang tampak menyeramkan. Mirip dengan kondisi rumah
masa lalunya.

Kina meyakinkan dirinya bahwa tidak ada Margie di sana.


Lagipula, ada Naga yang akan melindunginya. Sesuai
janji pemuda itu pada mami dan papi.

Begitu Naga telah turun dari mobil—usai memakai


kembali kausnya, Kina pun bergegas menyusul. Dua laki-
laki dengan penampilan berbeda yang awalnya
menyambut Naga, lantas berhenti menyapa. Terkejut
dengan kehadiran Kina yang kini menyembunyikan
setengah badannya di belakang tubuh besar sang abang.

"Caelah, udah ganti gebetan aja lo!"

Tiger berdecak kagum. Seorang Nagara memang jagonya


mendapatkan gebetan, tapi tidak pernah sampai ke tahap
"berpacaran". Ya, karena semua itu dilakukan Naga
hanya untuk mengisi kebosanan. Tapi kali ini rasanya
berbeda. Gadis yang dibawa Naga sekarang tidak seperti
yang sebelum-sebelumnya. Tidak seksi, tidak cantik, tidak
cukup menggoda. Gadis ini lebih polos, apa adanya,
manis, dan dada juga bokongnya pun tepos.24
"Bukan gebetan." Naga menarik lengan Kina agar gadis
itu berdiri di sampingnya. Mengenalkan sosoknya dengan
jelas pada kedua temannya. "Dia adik gue.
Namanya Kitt ..." Naga berdeham samar upaya meralat,
"Kina." Ia bersyukur, telah mengingat nama Kina
mengingat paginya sudah diisi oleh suara sang mami
yang menyebut-nyebut nama gadis itu.

Meskipun begitu, lidah Naga sudah terbiasa dengan


panggilan darinya sendiri untuk Kina.
Lagipula, "Kitten" lebih cocok untuknya.

Bingbong yang sedang mengunyah donat cokelat hingga


pipi chubby-nya itu makin menggembung pun lantas
menyemburkan isi mulutnya pada wajah Tiger di
dekatnya.

"Brengsek lo, Bong!"

Bingbong tidak menghiraukan umpatan Tiger. Ia sibuk


mencerna ucapan Naga yang terdengar sangat mustahil.
Bukan rahasia lagi bila Naga sangat manja pada
maminya dan tidak pernah menginginkan adik. Lantas,
apa yang baru saja didengarnya adalah sebuah lelucon?
Langsung saja pemuda bertubuh gempal tersebut
memeriksa ponselnya. Bukan tanggal 1 April. Bukan
waktunya untuk merayakan April Mop. Berarti ....

Seakan bisa membaca pikiran Bingbong, Naga


mendengus. "Nggak ada pengulangan," tukas pemuda itu
sambil menyerahkan Kina pada teman-temannya. "Nih,
ajak main. Gue muak."2

Tiger dan Bingbong sontak berpandangan. Mereka bisa


melihat dengan jelas luka di balik kilat kedua mata Kina
yang kini menunduk dalam di hadapan mereka.

Naga, Tiger, dan Bingbong memang memiliki tinggi yang


sedikit tidak wajar. Hal tersebut merupakan anugerah bagi
mereka karena mampu membuat lawan, bahkan orang
biasa pun terintimidasi hanya dengan berdiri di dekat
mereka. Namun, dengan Kina, kondisinya sedikit
berbeda. Tiger dan Bingbong sampai harus menekuk
lutut, merendahkan diri keduanya agar bisa sejajar
dengan Kina—yang juga lebih pendek dan kurus dari
kebanyakan gadis seusianya. Mereka tidak ingin Kina
yang sudah disakiti oleh lisan Naga, semakin tidak
nyaman berada di sini.
Biar bagaimanapun, Tiger dan Bingbong adalah
lelaki gentleman. Perempuan, apalagi yang berstatus
sebagai adik salah satu sahabatnya, bukanlah musuh
mereka. Sudah sepantasnya diperlakukan sebaik
mungkin.4

"Halo, Kina." Tiger tersenyum manis sambil mengulurkan


tangan setelah wajahnya telah bersih dari jigong serta
serpihan donat Bingbong. "Namaku Tiger. Kamu?"7

Bingbong langsung melempar donat yang tersisa di


tangannya pada Tiger yang lagi-lagi mengumpat, dongkol
karena perbuatannya. "Lagian, ada gila-gilanya
pertanyaan lo. Jelas-jelas namanya Kina, Tai!"1

Tidak disangka-sangka, tawa kecil Kina meluncur keluar


begitu saja dari bibirnya.

Naga yang telah duduk di kursi "ruang tamu" basecamp-


nya pun kembali mengangkat alis. Persis responsnya saat
mendengar suara Kina pertama kali.

Tawa Kina seketika membuat Tiger dan Bingbong saling


melirik. Kali ini dengan makna berbeda. Mereka ternyata
cukup terhibur saat Kina merasa senang. Karena itu,
Tiger balas melempar donatnya pada wajah Bingbong
yang kini mengaduh. Membuat Kina lagi-lagi terkikik geli.
Entah mengapa, pertengkaran mereka tidak membuat
Kina takut meskipun badan mereka besar-besar.

"Kina kalau mau lihat Akang Tiger sama Bang Bingbong


ribut, sering-sering main ke sini ya?" ucap Tiger, genit.5

"Apa-apaan lo minta dipanggil "akang"?! Yeuuu, nggak


cocok!" Bingbong menoleh pada Kina kembali usai
menghardik Tiger. "Panggil dia "Bang Tiger" aja ya, Dek
Kina yang manis. Kalau perlu, Bang Tigor aja sekalian.
Nama asli."4

"Rese lo, Kingkong!"

"Body swimming, Tai! Gue videoin masukin TikTok nih


biar lo viral dengan aksi kejahatan!"

"Shaming, goblok!" Tiger berdecak sebelum akhirnya


mengakui kesalahannya. "Ya udah, maaf! Lo nyebelin
sih!"2

"Ngaca, anjir!"

Tiger tidak menanggapi perkataan Bingbong lebih lanjut.


Perhatiannya kembali pada Kina yang kini mulai
memamerkan senyum malu-malunya. Manis, sangat
manis. Jantung Tiger sampai berdebar melihatnya. "Kina
mau es bubble nggak? Bang Bingbong beliin ya?"
pemuda itu menawarkan.4

"Kok gue, Tai?" protes Bingbong.2

"Mau nggak? Manis kok minumannya. Kayak kamu."


Tiger tidak memedulikan Bingbong yang perut buncitnya
kini seolah akan meledak saking dongkolnya.1

"Mau, mau."

Kina menyengir lebar saking antusias. Di sanalah Tiger


dan Bingbong sanggup dibuat melongo karena baru
menyadari bahwa gigi gadis itu sanggup mengusik
pemandangan seorang perfectionist.43

Tidak seperti mereka yang sibuk memikirkan gigi Kina,


gadis itu sedang senang bukan main karena sekarang ia
memiliki teman. Yang terpenting, sepertinya Kina tidak
harus menjadi adik penurut. Karena yang berada di
pihaknya sangatlah banyak. Dan Naga, tidak akan berani
macam-macam dengannya.
Bab VIII | Pantulan

"Kina lucu ya? Kayak bocah. Gemesin." Tiger terkekeh


sambil bergabung bersama Naga. Meletakkan bokongnya
di kursi seberang.

Perhatian Naga yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya,


lantas terarah pada Tiger. "Nggak usah baik-baik lo sama
dia. Entar kesenangan tuh anak!"6

"Lah, kenapa emang?" Tiger mendengus. "Segitu


cemburunya lo sama Kina?"

Tiger bersyukur Kina sekarang lagi dibawa Bingbong


untuk membeli es bubble sehingga gadis itu tidak perlu
mendengarkan ucapan-ucapan menyakitkan dari Naga
tentangnya.1

"Lo anak terakhir di keluarga lo. Mana ngerti sih?" sewot


Naga.

"Hmm, benar juga." Tiger mengusap-usap dagunya


seraya menerawang. "Gue nggak akan paham posisi
seorang kakak, apalagi anak tunggal," sindirnya,
membuat rahang Naga sontak terkatup dan mengeras.3
"Jangan mancing!"1

"Lagian sih!" Tiger berdecak. "Jangan berlagak jadi


korban deh! Lo kira enak jadi adik?"

"Seenggaknya lo lebih diperhatiin."

"Lo ngomong seakan udah bertahun-tahun jadi kakak!"


Tiger berdecih.

"Nggak perlu waktu lama buat ngebenci sesuatu yang


seharusnya nggak ada." Bibir Naga menipis.

"Kenapa lo sebenci itu, dah? Kina kayaknya bukan adik


yang nggak ada akhlaknya." Tiger berusaha membela
gadis lugu yang tidak bersalah tersebut. Ia jadi berpikir,
apakah Kina bahagia hidup dengan Naga? Karena
sesungguhnya, Tiger sangat tahu bagaimana rasanya
ketika hanya orang tua yang berada di pihaknya. Tidak
dengan saudara sendiri.

Naga menggigit pipi bagian dalamnya sambil memberi


jeda sejenak. Kemudian, ia pun menceritakan bagaimana
keadaan istana Kusuma setelah anak kucing itu hadir.
Naga kemudian mendesah frustrasi, "Belum apa-apa dia
udah selalu dapat pembelaan."
"Lo kira enak digituin?" Tiger menggeleng-geleng. "Tiap
kali abang gue kena semprot, dia malah marahnya ke gue
padahal gue nggak tahu apa-apa. Terus pas bokap
nyokap lagi manjain gue, dia juga slek sama gue. Ujung-
ujungnya, gue sering dijauhin karena dia merasa bokap
nyokap gue nggak adil.5

"Nggak enak hidup begitu, Bro. Saudara yang harusnya


bisa jadi teman di rumah, justru malah jadi musuh paling
dekat. Apalagi pas bokap nyokap ngebeliin gue sesuatu,
dia langsung iri! Padahal, dari dulu gue selalu pakai apa
pun bekas dia! Gue pernah punya barang baru. Mainan,
pakaian, bahkan sampai handphone dan motor pun bekas
dia."25

Tiger mengibas tangan saat ia menyadari dirinya telah


mencurahkan isi hati yang selama ini terpendam. "Ah
udahlah, gue malah menye-menye gini. Intinya, cuma
pengin bilang kalau sudut pandang lo nggak sepenuhnya
benar. Iri boleh, dengki jangan. Kasihan adik lo."1

Baru Naga ingin membalas Tiger dengan kalimat,


"Jangan ikut campur urusan gue!" Tiba-tiba saja suara
lain ikut bergabung. Bingbong dan Kina di sampingnya
telah kembali. Gadis itu tampak begitu bahagia meminum
minuman yang dibelikan Bingbong.

"Wih, lagi ajang adu nasib nih!" Bingbong tertawa. Ia


membimbing Kina bergabung dengan mereka.
Mendudukkan gadis itu di kursi samping Naga dan
membiarkan dirinya menempati kursi sebelah Tiger. Hal
tersebut tentu saja membuat Naga kesal. Ia lemparkan
kerlingan tajam pada Bingbong yang tampak tidak peduli
akan protesnya. "Udahlah, pada bersyukur aja. Terlepas
dari anak keberapa kalian, seenggaknya lo pada lahir ke
dunia dengan kondisi cakep."

Sebelah alis Naga menukik. Tidak mengerti ke mana arah


pembicaraan Bingbong.

"Posisi gue sebagai anak tengah. Jadi pihak yang


disuruh-suruh sama kakak pernah, jadi pihak yang
disalahin karena adik pun pernah. Tapi semua itu nggak
seberapa sama fakta kalau kakak gue pintar dan adik
gue good looking. Anak mereka kayak cuma dua orang.
Bokap nyokap gue selalu fokus ke pertama dan terakhir.
Alasannya, karena yang pertama butuh arahan untuk
masa depan, yang terakhir butuh perhatian. Seolah-olah
anak kedua yang paling mandiri. Padahal ..." Bingbong
menghela napas. "Gue bukan mandiri, gue cuma terpaksa
mandiri."4

Kina yang merasakan kesedihan di wajah Bingbong


lantas berhenti menyeruput bubble-nya. Entah mengapa,
Kina merasa bersalah jika terlihat bahagia sendiri dalam
atmosfer yang mulai membiru.

"Belum lagi fisik gue yang begini, selalu di-bully sama


saudara bahkan orang tua gue sendiri. Mereka nyuruh
gue buat diet mulu, Man! Padahal kondisi begini bukan
kemauan gue. Seberapa pun gue makan, tetap aja gue
begini. Kalau nggak makan terus sakit, ujung-ujungnya
gue yang dianggap ngerepotin." Bingbong tersenyum
getir. "Percaya deh, kalian tuh lebih beruntung dari gue.
Terutama elo, Ga." Pandangannya beralih pada Naga.
"Jangan khawatir. Kasih sayang mami papi lo masih sama
menurut gue. Cuma sekarang, harus dibagi jadi lebih adil
aja. Seenggaknya, elo selalu anak kandungnya mereka
sampai kapan pun. Nggak kayak gue yang diperlakukan
kayak anak angkat."28

Tiger mengangguk. "Benar banget. Lo juga harus


bersyukur, Ga, Kina jadi saudara yang nggak banyak
tingkah like I said before. Disuruh ngelindungin dia ya
wajar, tapi gue jamin Kina nggak bakal bikin lo kerepotan.
Karena pada dasarnya, elo emang cowok yang tanggung
jawab."

Naga memutar mata. Melihat mereka semua memberi


wejangan untuk memudarkan kebencian pada Kina, justru
semakin membuat emosi negatif dalam dadanya terhadap
Kina tumbuh pesat!5

Di pandangan Naga, Kina tidak seharusnya mengambil


lahan Naga. Bagaimanapun, sejak awal keberadaan
gadis itu sudah salah di matanya. Dan Naga, tidak akan
sudi mendengarkan omongan orang yang tidak memihak
padanya.

Diam-diam Naga melirik profil wajah Kina yang tengah


menatap sedih Bingbong di hadapannya. Otaknya tengah
memutar ide, apa yang perlu dilakukannya agar sosok ini
menghilang dari kehidupan Nagara Kusuma? Karena
sampai kapan pun, anak angkat tidak jelas begini tidak
bisa dibandingkan dengan anak kandung seperti dirinya!23

***

"Gimana pergi sama Bang Naganya, asyik?"


Kina manggut-manggut seraya mengulum senyum
menjawab pertanyaan sang mami. Ia lantas memandangi
Naga yang sibuk dengan makanannya di seberang, tidak
berniat sedikit pun meliriknya.

"Teman Bang Naga nakal-nakal nggak? Kalau iya, bilang


aja. Biar Bang Naga yang urus," ujar Keira seolah-olah
yang patut diwaspadai untuk Kina bukanlah anaknya
sendiri.

Dan pemikiran itu hadir di kepala Naga yang diam-diam


mendengus. Seandainya orang tuanya tahu bahwa
mereka justru menyukai Kina, mungkin orangtuanya akan
mengundang teman-teman Naga untuk makan malam
istimewa.

"Kayaknya nggak. Kina kelihatan happy soalnya." Raka


tersenyum hangat. "Kalau senang, biar nanti Papi suruh
Bang Naga sering-sering ajak Kina main ya?"

Kina menyengir lebar. Lagi-lagi menunjukkan giginya


yang membuat sudut bibir Naga berkedut, mengulas
senyum sinis. Masih tidak habis pikir dengan bentuk
makhluk yang kini turut menyandang nama Kusuma.24

Kitten sialan!4
Naga benar-benar tidak peduli dengan apa yang
Bingbong dan Tiger katakan. Kebenciannya pada si anak
kucing semakin lama semakin menumpuk, siap
dimuntahkan! Lihatlah, bahkan kedua orang tuanya kini
tidak satu pun ada yang melirik ke arahnya. Semua
pandangan di meja makan tertuju pada sosok mungil
tersebut.

Naga iri. Naga cemburu! Biasanya, selalu ia yang menjadi


sorotan di mana pun keluarga kecilnya tengah berkumpul.
Naga tidak suka posisinya mendadak digeser oleh Kina!
Naga tidak suka perhatian yang didapatkan untuknya
terbagi!19

Seraya mengunyah, pemuda itu memutar sendok di


tangan kanannya. Tanpa disadari genggamannya
semakin mencengkeram benda berwarna emas tersebut
hingga buku-buku jemarinya memutih. Pantulan dirinya
yang terbalik pada bagian cekung sendok juga samar-
samar tampak menyeramkan.

Apa yang harus ia lakukan untuk menyingkirkan gadis ini?


Ya, lagi-lagi pikirannya mengarah ke sana. Naga sudah
tidak peduli bila ia menjadi jahat sekalipun. Menjadi naga
yang berbahaya untuk kitten karena api di mulutnya.
Sejak awal, dirinya memang bukan abang yang baik.
Dirinya tidak sudi melindungi, menjaga, dan membuat
Kina hidup bagai Princess. Ia tidak akan pernah berkenan
dipercayakan oleh kedua orang tuanya untuk—hold on!

Kunyahan pada mulutnya melambat. Tiba-tiba saja


sebuah ide muncul dalam benaknya. Kepercayaan. That's
it! Naga butuh kepercayaan orang tuanya.

Naga menyeringai seraya memoles barisan gigi atas


dengan ujung lidahnya. Kini tatapannya tertuju pada Kina
yang sibuk diajak berbicara dengan kedua orang tuanya.

Tanpa mengalihkan pandangan, Naga meraih gelasnya


dan menenggak habis air minumnya dengan sekali
tandas. "Ah," desah pemuda itu, saat cairan dingin
berhasil membersihkan tenggorokannya. Bahkan hingga
ia meletakkan tabung kaca tersebut ke atas meja dan
kembali menyuap makanannya, tatapannya tidak kunjung
berpindah. Sudut bibirnya pun tetap tertarik membentuk
senyuman miring.

Matanya menyipit. Biarlah gadis itu mengambil setengah


dari dunia Naga sekarang. Sampai waktunya telah tiba,
Naga akan merampas seluruhnya tanpa tersisa.5
Dang! Look what you made me do, Kitten.
Bab IX | Pemandangan

oleh Junieloo Follow


Apakah ini mimpi? Kina tahu betul bahwa ia tidak lagi
berada dalam bunga tidur. Ia bahkan telah rapi
dengan dress selutut putih dan flat shoes berwarna
senada, membalut cantik tubuh mungilnya. Namun,
mengapa rasanya pemandangan di depannya terasa
mustahil?

Kina mengerjap-ngerjap. Berusaha mencerna apa yang


sedang ia hadapi.

"Kok ngelamun?"

Gadis itu meneguk ludah. Tidak ada lagi suara ketus dan
bibir yang menipis saat berucap. Alih-alih menebar aura
permusuhan seperti biasa, sosok tersebut justru
mengulas senyum super ramah di wajahnya yang garang.

"Kamu nggak mau balas salam Abang, Kitten?"17


"P-pagi, Abang," balas Kina cepat, tidak mau mengambil
risiko Naga yang tenang kembali meledak setiap kali
berada di dekatnya.

"Naganya mana?"3

"Huh?"

"Iya, nama Abangnya."

"O-oh." Kina tersenyum kikuk. "Pagi, B-Bang Naga,"


cicitnya, ragu.

"Gitu dong." Naga terkekeh. Tawa yang entah mengapa


sangat Kina sukai. "Kamu udah siap, kan? Ayo kita turun
bareng."4

"Eh?" Kina menelengkan kepalanya. "K-ke mana, Bang


Naga?"

"Sarapan." Naga tersenyum manis kali ini. Tindakan yang


membuat ketampanannya terpancar sempurna bagi Kina
sendiri. "Yuk. Lewat tangga aja ya?"13

Kina mematung sejenak saat Naga mengulurkan lengan


kokohnya yang berurat dan berotot itu. Tanpa sadar,
senyum simpul pun terukir di wajahnya. Meskipun
geraknya malu-malu, tapi Kina tetap menyambut Naga
dengan antusias. Dan saat tangan besar Naga telah
menggenggam hangat jemari mungil Kina, keduanya pun
melangkah berdampingan.

Jantung Kina berdebar. Ternyata beginilah rasanya


berada di sisi Naga. Sangat aman dan seperti terlindungi.
Tapi tidak dengan Naga ....

Diam-diam Naga menyeringai sinis. Makhluk di


sampingnya begitu lugu. Anak kucing itu bahkan tidak
menaruh curiga sama sekali akan perubahan sikap Naga
yang terlalu mendadak terhadapnya. Hal tersebut tentu
saja membuat Naga senang karena awal permainannya
berjalan dengan mulus.7

Saat menuruni tangga, Naga membalas senyum Kina


saat tatapan mereka tidak sengaja bertemu. Cengiran
lebar gadis itu membuat Naga tergoda untuk muntah di
tempat. Kalau bisa malah ia ingin menyelesaikan
segalanya sekarang. Meremukkan tangan kecil Kina
dalam kuasanya dalam sekejap. Namun, tidak. Binatang
liar dalam jiwa pemuda itu belum saatnya diperkenalkan
pada anak kucing ini. Biarlah Kina menikmati dulu sisi
baik sang Naga sampai waktunya telah tiba.5
Begitu mereka telah mencapai lantai dasar, keduanya
langsung disambut oleh sosok mami yang menatap Naga
dengan sebelah mata menyipit.

"Ei, ei, ei. Ada apa ini? Kok tiba-tiba akur?" Pandangan
wanita itu kemudian terarah pada jemari anak-anaknya
yang saling bertautan. "Mami ngelewatin sesuatu ya?"

"Naga pikir Mami bakalan senang." Bahu Naga merosot.


Genggamannya pada Kina nyaris terlepas saking
lesunya.

"Senang dong! Siapa yang nggak suka lihat anak-anak


Mami akur?" Keira mendekap dadanya, dramatis.
"Akhirnya, Naganya Mami udah jinak. Mami bahagia deh
kalau Naga udah bisa nerima Kina."1

Senyum Naga kembali mengembang. Sandiwara kecil


yang dimainkannya ternyata sanggup memanipulasi
semua orang, tanpa terkecuali. Ya, semoga begitu.
Semoga papinya juga memercayai Naga. "Iya, Mi. Mulai
dari sekarang, Naga bakal anggap Kina sebagai adik.
Naga bakal memperlakukan dia kayak Princess. Naga
bakal ikutin kemauan Mami dan Papi."
"Iya, Naga. Mami percaya. Mami emang yakin kalau
sebenarnya kamu udah nerima Kina dari awal. Buktinya,
kamu jadi lebih sering bangun pagi. Kayaknya kamu lebih
semangat menyambut hari kalau ada adik ya? Hemat
energi deh Mami." Keira terkikik geli. "Ya udah yuk,
sayang-sayangku, kita langsung ke ruang makan. Papi
udah nungguin. Dia pasti senang bukan main kalau tahu
ini."

***

Gulita telah menghiasi langit sejak dua jam lalu. Di luar


pun juga sedang gerimis. Namun, sosok yang ditunggu-
tunggu Kina tidak kunjung datang.

Kina mendekap setoples cookies di pangkuannya. Tidak


pernah menyangka bila ditinggal kuliah oleh Naga begitu
terasa membosankan. Saking bingungnya di rumah
seorang diri—mengingat mami papinya juga sedang
pergi, entah ke mana—Kina sampai meminta juru masak
kediaman Kusuma untuk membantunya membuat kue
kering—yang katanya—menjadi favorit Naga.
Gadis itu bersyukur karena dirinya bukan membuat
makanan yang harus dicicip saat masih hangat. Kalau
tidak, mungkin rasanya nanti tidak akan lagi istimewa.

Ya, nanti. Saat Naga mencobanya. Karena pendapat


pemuda itulah yang saat ini paling berharga baginya.

Dari balik jendela besar kamarnya, Kina melihat sedan


Naga memasuki pekarangan rumah. Senyumnya pun
mengembang. Akan tetapi, tidak bertahan lama.

Meskipun dari kejauhan, Kina bisa melihat dengan jelas


bahwa Naga tidak baik-baik saja. Bahu tegapnya tampak
merosot. Jalannya pun sedikit pincang.1

Apakah abangnya baik-baik saja?

Kina menggigit bibirnya saat perasaan khawatir


mendadak sangat menghantui. Haruskah ia bertanya
langsung? Atau tidak perlu karena hal tersebut akan
mengganggu abangnya? Siapa tahu Naga ingin langsung
beristirahat, bukan?

Menghela napas berat, Kina baru menyadari saat itu juga


bahwa lamunannya cukup menyita waktu. Tiba-tiba saja
jarum panjang pada jam dinding yang berada di kamarnya
sudah akan melalui 3 angka sekaligus. Terlalu
mempertimbangkan sehingga tidak ada tindakan.

Naga pasti sudah masuk ke kamarnya untuk beristirahat.


Tidak ada kesempatan buat Kina
menyerahkan cookies cokelat buatannya pada pemuda
itu. Pada akhirnya, gadis itu pun kembali termangu di
pinggir ranjang. Ia berniat untuk mengurungkan niatnya
dan bergegas tidur berhubung kedua matanya juga sudah
terasa berat.

Tapi tidak.

Penuh rasa yakin, Kina bangkit lagi dari tempatnya dan


mulai melangkah keluar kamar. Baginya, cookies ini
adalah hutangnya pada Naga. Tidak tenang rasanya bila
masih berada di tangan Kina hingga matahari muncul
esok pagi.1

Berdiri di depan kamar Naga, Kina memberanikan diri


mengetuk pintu Naga dengan pelan. Sampai ketukan
ketiga kali, pemilik ruangan tidak kunjung menyahut.

"Jangan masuk ke kamar gue tanpa izin."


Kina masih mengingat jelas peraturan yang Naga buat
untuknya. Meskipun Kina sempat berpikir untuk tidak
menjadi adik penurut, tapi kondisinya kini berbeda. Naga
sudah baik padanya. Beberapa hari terakhir, Naga
bahkan selalu menetap di rumah saat senggang hanya
untuk menemani Kina yang sendirian.

Namun, sepertinya hari ini pengecualian. Kina harus


terpaksa melanggar peraturan tidak tertulis tersebut demi
kenyamanan hati dan tidurnya nanti.

Perlahan Kina membuka pintu yang tidak terkunci itu.


Peraturan dari sang mami, khusus buat Naga, untuk
berjaga-jaga. Jika sewaktu-waktu ada gempa bumi,
Naga—yang tidurnya terkadang seperti "kebo" alias susah
dibangunkan—bisa dengan mudah diselamatkan.

Begitu kepala Kina menyembul dari celah pintu yang tidak


terbuka seutuhnya, sepasang matanya langsung
disuguhkan oleh pemandangan indah yang sepertinya
harus dibiasakan mulai dari sekarang.

Kina meneguk ludah saat punggung telanjang Naga


langsung menjadi fokus indra penglihatannya. Kedua
kakinya mendadak terasa lemas di tempat, entah karena
apa. Kina tidak paham. Ia tidak mengerti perasaan ini.
Yang pasti ...

Gadis itu tidak keberatan sama sekali untuk


mengamatinya lebih lama.

Posisi Naga yang tengkurap dengan bertelanjang dada


memacu jantung Kina berdebar lebih cepat. Bagaimana
mungkin ada bagian selain wajah dari manusia yang
sanggup menarik perhatian manusia lain? Jangankan
punggung, ujung rambut hingga lengan pemuda bernama
Nagara Kusuma sepertinya memiliki pengaruh yang
sangat besar dalam memanjakan pemandangan.2

Kina memukul keningnya sendiri dengan tangan yang


terbebas dari toples saat pikiran aneh itu mengotori isi
kepalanya. Entah mengapa ia bisa memikirkan hal absurd
tersebut. Entah mengapa berada di samping Naga
membangkitkan sesuatu dalam dirinya yang terasa begitu
asing.

"Like what you see, Kitten?"3

Dan toples di tangan Kina terlepas.


Bab X | Cookies

Toples yang terbuat dari kaca itu terbelah menjadi


beberapa bagian di lantai, membuat seluruh kue kering
yang ada di dalamnya turut berhamburan.1

Sementara Kina mematung, Naga mendengus seraya


memutar mata. Ia memang belum sepenuhnya tidur alias
masih "berusaha" untuk tenggelam dalam mimpi saat derit
pintu kamarnya membuat pemuda itu sontak terjaga. Dari
pantulan background hitam jam digitalnya yang berada di
atas nakas, Naga mengamati Kina yang diam-diam
tampak tergiur dengan bentuk tubuhnya.

Senyum miring pun terulas. Tanpa bisa dicegah, Naga


pun tergelitik untuk menggoda Kina dan membuat gadis
itu salah tingkah karena telah tertangkap basah.

Akan tetapi, Naga melupakan sesuatu. Sebuah fakta


bahwa Kina adalah gadis yang menyebalkan. Bermain-
main dengan si anak kucing sama saja dengan
merepotkan diri sendiri. Seperti sekarang ini misalnya.
Kina yang takut Naga akan memarahinya, terburu-buru
berjongkok dengan tidak lupa merapatkan kedua kakinya.
Tidak mengizinkan semut-semut yang mulai berdatangan
untuk mencuri serpihan cookies, juga mengintip celana
dalamnya.

"Jangan disentuh," tegas Naga saat jemari Kina baru


akan memunguti beling-beling. Segera pemuda itu
bangkit dan melangkah mendekat—usai terlebih dulu
memanggil Bibi melalui telepon intercom. Saat itulah Kina
menyadari bahwa penglihatannya beberapa saat lalu
tidaklah keliru. Naga memang sedikit pincang. Namun, ia
tidak dapat melihat apa penyebabnya karena Naga
memakai celana training abu-abu yang membungkus
pinggul hingga atas mata kakinya.

Begitu posisinya telah berada di depan Kina—dengan


area tempat toples cookies tadi berhamburan sebagai
pemisah mereka, Naga bersimpuh dan mulai memunguti
seluruh kue kering tersebut. Dirasa tangan besarnya tidak
cukup, Naga juga meraih kedua tangan Kina dengan
tangannya yang terbebas dari cookies, lantas menjadikan
sepasang telapak tangan mungilnya menjadi wadah
sementara.
Bertepatan dengan seluruh cookies yang berhasil
diselamatkan, dua dari delapan Asisten Rumah Tangga
istana Kusuma tampak telah berdiri di depan pintu kamar
Naga, siap membereskan kekacauan yang diciptakan
Kina menggunakan alat-alat kebersihan yang dibawa
mereka.

Kina segera menyingkir saat kedua bibinya meminta izin


untuk membersihkan lantai. Entah mengapa, alih-alih
menggeser posisinya, ia justru melompati area tersebut
dan membuat dirinya kini berdiri di dekat Naga tanpa
celah. Untung saja refleks Naga cukup gesit. Sebelah
tangannya langsung sigap menahan Kina yang akan
limbung karena pendaratan yang tidak seimbang.4

Hal tersebut tentu saja membuat jantung Kina semakin


berdebar. Terlebih saat kulit Naga yang hangat
bersentuhan dengan helai gaunnya yang agak tipis
meskipun tidak terawang.

Kedua tangan Kina yang masih menampung cookies pun


mulai berkeringat. Ia hanya berharap jika rasa kuenya
nanti tidak menjadi asin. Setidaknya, jangan membuat
pendapat Naga berubah terhadap mahakaryanya.1
Ya, seolah Naga akan memujinya.

Fuh!

Kina mengerjap-ngerjap saat Naga meniup wajahnya.


Gadis itu tidak sadar jika dirinya lagi-lagi larut dalam
lamunan. Mengetahui jika kini tinggallah mereka berdua
yang berada di dalam kamar Naga, Kina sontak menarik
diri dengan melangkah mundur.

"M-maaf, Bang Naga," cicit Kina seraya menunduk dalam.

Rasanya Naga ingin menyentil kening sempit itu karena


tidak membiarkannya tenang setelah apa yang ia lalui hari
ini. Namun, ia tidak bisa melakukan hal tersebut kalau
ingin permainannya tetap berjalan dengan mulus.

Bagaikan malaikat tanpa sayap, Naga tersenyum. "Nggak


apa-apa. Abang nggak marah kok," dustanya. Padahal,
dadanya sudah memburu seolah siap mengeluarkan api
dari mulutnya.2

Ucapan manis tersebut membuat Kina mendongak pada


Naga dan menatapnya penuh binar. Merasa tersipu, Kina
mengulum senyum seraya mengulurkan kedua
tangannya. "I-ini cookies, buat Bang Naga."
Naga mengernyit. Apa pendengarannya tidak salah? Kue
kering yang mungkin sudah terpapar oleh bakteri di lantai
itu ternyata untuk dirinya. Sialan! Kalau begini, Naga tidak
perlu susah-susah memungut! Biarkan saja kue tersebut
disapu bersih oleh kedua bibinya beberapa saat lalu agar
Naga punya alasan untuk tidak memakannya.5

Ia pikir, cookies ini milik Kina. Jadi, dirinya tidak peduli bila
gadis itu akan sakit perut sekalipun!

"Hmm, Abang udah kenyang." Naga berkilah. Mendadak


bingung bagaimana cara menolak tanpa menyakiti
perasaan orang lain karena ia terbiasa berbicara apa
adanya.

Bukannya senang karena Kina tidak memaksa, Naga


justru merasa bersalah saat raut kecewa menghiasi wajah
mungil tersebut. Tidak, ini bukan semata karena Kina
seorang. Naga merasa bersalah pada dirinya sendiri.
Bagaimana kalau sandiwaranya yang lalu-lalu menjadi
percuma hanya karena insiden ini? Naga harus membuat
Kina nyaman dengannya. Alhasil, mau tidak mau, ia
kembali menampik gengsi.6
Baru Kina akan menarik kembali tangannya, Naga
menahannya. Ia lantas memindahkan seluruh cookies di
tangannya juga Kina ke dalam toples baru yang ternyata
telah diserahkan bibi pada Naga sebelum wanita itu
pamit.

Begitu seluruhnya telah masuk, alih-alih menutup wadah


transparan tersebut, Naga justru memasukkan tangannya
ke dalam. Mengambil satu cookies dan langsung
menggigitnya di depan Kina tanpa ragu.

Untungnya Naga tidak terlalu jahat. Saat memungutinya,


ia terlebih dulu memastikan tidak ada satu pun serpihan
kaca pada kue-kue tersebut. Kalau tidak, mungkin ia akan
kena karma secara instan.3

Rasanya lumayan, tapi tidak untuk dikonsumsi dalam


jumlah banyak. Cookies ini terlalu manis! Terlebih, ia
mencicipnya seraya melihat senyum lugu pada wajah si
anak kucing. Tambah manis. Manis yang membuatnya
mual!5

"E-enak nggak, Bang Naga?" tanya Kina, harap-harap


cemas. Ia takut jika Naga tidak menyukai kue buatannya.
Ia takut, usahanya untuk membuat diri sendiri semakin
pantas menjadi seorang adik dari Nagara Kusuma adalah
sia-sia.

"Enak. Makasih ya," jawab Naga, tidak sepenuhnya


berbohong.

Senyum Kina langsung mengembang lima jari. Kali ini


tidak lagi tampak malu-malu, tapi antusias. Giginya yang
tidak rapi, kontan menjadi pemandangan absurd bagi
Naga yang sejak tadi tidak mengalihkan pandangan
sedikit pun.

Kina tidak membalas apa-apa. Gadis itu hanya manggut-


manggut hingga rambutnya berayun keras. Sampai
tindakan selanjutnya mengejutkan Naga...

Pemuda itu mematung saat Kina mengikis jarak dan


berjinjit hanya untuk mengusap sudut bibirnya dari
serpihan kue. Jemari kecil nan lentiknya yang ternyata
sangat lembut itu, entah mengapa membuat darah di
dalam tubuhnya berdesir hebat.27

Merasa aneh pada dirinya sendiri, Naga seketika


memalingkan wajah. Membuat tumit Kina yang sempat
melayang, mendarat cepat karena terkejut.
Apakah dirinya melakukan kesalahan? Tanya batin Kina.
Sesungguhnya gadis itu hanya meniru apa yang sering
mami Keira lakukan padanya ketika sedang makan. Kina
pikir, hal tersebut adalah bentuk perhatian yang wajar.
Namun, mengapa bang Naganya seperti tidak senang?1

Naga meringis samar saat ia mendapati ekspresi bahagia


Kina berganti mendung dalam sekejap karena
perbuatannya. Tidak ingin Kina berpikir aneh-aneh, Naga
pun kembali mengikuti alur permainannya sendiri.

"Maaf. Bibir Abang lagi nyeri." Naga menunjuk luka di


sudut bibirnya yang memang nyata adanya di sana. Tapi
soal rasa "nyeri" sama sekali tidak benar. Pemuda itu
telah akrab dengan memar dan darah.

Kina terperangah. Bagaimana mungkin ia baru menyadari


keberadaan luka abangnya yang jelas-jelas sangat kasat
mata? Cemas, Kina menelengkan kepala. Menatap Naga
dengan mata membulat. "B-Bang Naga sakit?"

Sudut bibir Naga yang tidak dihiasi luka pun tertarik.


"Nggak. Cuma luka sedikit."

Tahu jika abangnya membutuhkan pertolongan, Kina


bergegas keluar dari kamar Naga dan menuju kamarnya.
Masih di tempat, Naga mengernyit mengamati pintu di
mana sosok Kina menghilang dalam hitungan detik. Apa
yang akan dilakukan gadis itu? Semoga tidak macam-
macam! Batin Naga, waswas. Ia hanya ingin tidur tenang
malam ini!

Tidak sampai lima menit, Kina kembali dengan sebuah


plester di tangannya. Entah terlalu naif atau memang
bodoh, gadis itu menyerahkan benda tersebut pada Naga
untuk menutupi luka pada sudut bibir yang tidak
seberapa, terlebih bagi Naga sendiri.

Bagaimana mungkin Naga harus memakai plester


bergambar Olaf—manusia salju dalam film animasi
berjudul "Frozen"—untuk dipamerkan secara tidak
langsung pada dunia? Bisa jatuh harga dirinya! Lagipula,
plester itu terlalu besar untuk luka yang kecil. Dan
mungkin bisa menyulitkan Naga untuk tersenyum bahkan
berbicara.12

Tapi kejutan tidak hanya berakhir di Kina. Karena ucapan


Naga selanjutnya, lebih menggetarkan bumi dan seisinya
dibanding tindakan Kina.
"Kenapa nggak kamu yang pasangin?" goda Naga,
bukannya menolak. Pemuda itu lalu membungkuk sedikit,
menyejajarkan wajah mereka lantas mengetuk-ngetuk pipi
bawahnya dengan telunjuk. "Sini, tempelin ke Abang."22

Dada Kina berdebar. Gadis itu tidak berharap Naga akan


melakukannya. Cukup menerima apa yang diberi, tidak
lebih. Tidak sampai membuat jantung di dalam tubuhnya
berpacu lebih cepat.

Namun, Kina tidak menolak.

Lagi-lagi, senyum yang terkulum kembali menghiasi wajah


Kina. Terlebih saat ia telah berhasil menutupi luka
abangnya dengan sosok Olaf yang tengah tersenyum.

Katakanlah Naga gila. Sentuhan ibu jari Kina beberapa


menit lalu, sanggup membuat Naga ingin merasakannya
kembali. Tidak hanya kelembutan, kulit gadis itu juga
memberikan kehangatan. Sesuatu yang Naga hanya bisa
temukan di rumah.

Mungkinkah tubuhnya telah berkhianat pada sang hati?


Naga membenci gadis ini, meskipun tidak dipungkiri
bahwa keadaan pun mendukung Kina untuk tetap tinggal
karena kediaman ini ...
Layak untuknya.

"Thank you, Kitten," bisiknya begitu Kina


selesai mengobatinya.
Bab XI | Sembunyi

Mami papinya belum pulang. Sepertinya, mereka


menginap di rumah nenek Sinta—orang tua dari wanita
yang melahirkannya. Kemarin ia memang mendengar
bahwa Sinta sedang sakit.4

Naga mengoyak sandwich-nya, kesal. Bagaimana tidak


demikian? Sejak duduk di bangku SMA, ia sering sekali
ditinggal pergi dengan alasan "tidak baik bolos sekolah".
Sekarang pun begitu, bahkan lebih parah. Terlebih,
karena hadirnya Kina. Mereka seolah-olah bersikap tidak
akan membuat Naga kesepian karena sudah memiliki
adik.

Cih! Pemikiran apa itu! Ditinggal seorang diri saja Naga


enggan, bagaimana dengan ditinggal berdua bersama
orang yang ia benci? Alih-alih merasa "ditemani", Naga
justru merasa terbebani karena harus-wajib-kudu-mesti
menjaga anak kucing tersebut!4

Omong-omong soal Kitten, gadis itu tidak menampakkan


batang hidungnya pagi ini. Tidak di depan pintu, tidak juga
di meja makan. Naga yang sedang tidak mood dalam
menjalankan permainannya pun bersyukur, ia tidak perlu
mengawali harinya dengan bersandiwara. Ia juga telah
menyiapkan alasan ketika nanti Kina muncul dan
melihatnya sudah sarapan sendiri tanpa mengajak sang
adik seperti biasa. Ya, bilang saja Naga sedang buru-
buru! Clear.

Namun, hingga Naga menyelesaikan satu dari dua potong


roti isi berbentuk segitiga miliknya, sosok lugu tersebut
tidak kunjung muncul.

Kerutan lantas menghiasi dahi Naga. Bukankah beberapa


menit lalu, salah satu bibinya naik ke lantai 3 untuk
membangunkan gadis itu? Naga memang sempat
menguping pembicaraan sang bibi di telepon dengan
seseorang di seberang yang diduga olehnya adalah papi
Raka. Tapi mengapa sampai lima belas menit kemudian,
Kina dan bibi tidak juga turun?

Naga tidak sadar, rasa penasaran membuat gerakan


mengunyahnya melambat. Dari sudut mata, pemuda itu
tidak sekalipun berhenti mengamati tangga istana
Kusuma di kejauhan.1
Lalu bibi pun kembali. Wanita itu terlihat menuruni tangga
dengan tergesa-gesa. Wajahnya panik. Dan yang paling
membuat Naga bingung adalah arah berlarinya yang
ternyata menghampiri Naga.

"Den, tolong, Den."

Sepasang alis Naga bertaut hingga membentuk garis


yang cukup dalam pada pangkal hidungnya. "Kenapa?"
tanyanya. Mau tidak mau, kecemasan pun turut
menyelimutinya. Bagaimana jika terjadi apa-apa dengan
Kina? Jangan salah paham. Naga hanya tidak ingin
disalahkan oleh kedua orang tuanya dan membuat
kepercayaan mereka pada Naga jadi retak.8

Tidak, belum saatnya untuk menjadi diri sendiri sekarang.

"Non Kina—"

Sebelum bibi sempat menyelesaikan penjelasannya,


Naga bergegas bangkit dan menaiki lift untuk mencapai
lantai teratas dengan segera. Belum lagi langkah Naga
yang cukup besar, membuatnya tidak perlu membuang
banyak waktu untuk sampai ke depan kamar Kina.1

Dikunci.1
Naga sekali lagi berusaha membuka pintu hingga
genggamannya pada kenop semakin kuat dan kasar.
Namun, hasilnya tetap sama. Pintu benar-benar terkunci
dari dalam.

Bukankah maminya juga melarang Kina untuk mengunci


pintu pada saat-saat tertentu? Bagaimana mungkin gadis
ini melanggar peraturan ibu negara dengan gampangnya,
padahal tinggal selama satu bulan pun belum ada!1

"Kitten?" panggil Naga seraya mengetuk-ngetuk daun


pintu, nyaris menggedor. Ya, kalau biasanya hanya
dengan buku-buku jemari, kini telapak tangannya lah
yang bertugas. Hal tersebut cukup menimbulkan suara
yang lebih keras. "Buka pintunya," titah pemuda itu, mulai
terpancing emosi.

"..."

Masih tidak ada suara. Meskipun Naga belum mengenal


Kina sepenuhnya, tapi ia tahu persis jika sosok lugu
tersebut tidak akan mengabaikannya seperti ini.

"Den ..." Naga menoleh saat bibi menyusulnya seraya


membawa telepon wireless di tangan. "Kata Nyonya,
didobrak aja pintunya, Den. Nyonya sama Tuan lagi di
jalan mau pulang, cuma macet banget katanya."

"Mami nyuruh aku yang dobrak?" Naga mengerling tajam,


tidak senang.6

Bibi manggut-manggut. "He-eh. Badan Den Naga besar


katanya. Kalau Pak Budi sama Pak Asep kasihan, Den.
Sudah uzur. Badannya pun kerempeng-kerempeng kayak
kertas orji. Jangankan ngedobrak, kalau jalan aja kayak
ketiup angin, Den."3

Naga berdecak. Dari sekian banyak petugas keamanan di


kediamannya, mengapa kedua tukang kebun yang justru
bibi bahas?!

Bisa saja Naga mengabaikan bibi dan tetap membiarkan


orang lain yang melakukannya. Tapi sebuah ide bagus
tiba-tiba saja muncul di benaknya. Bukankah ini
merupakan kesempatan yang bagus untuk Naga? Kalau
nanti bibinya menceritakan bagaimana Naga dan jiwa
pahlawannya menolong Kina, pasti kepercayaan mami
padanya akan semakin bertambah.

Dan permainan pun akan cepat selesai.


DUGH! DUGH!

Naga mulai berusaha mendobrak papan tebal tersebut


dengan bahu kirinya. Butuh waktu lama bagi pemuda itu
untuk berhasil. Untunglah seluruh pintu kamar kediaman
Kusuma tidak aneh-aneh. Kalau saja persis seperti pintu
kerja sang papi ataupun pintu perpustakaan yang
bergaya sliding door, mungkin akan lebih sulit.

Pemuda itu sedikit terhuyung ke depan ketika pintu


berhasil terbuka secara paksa. Begitu tubuhnya telah
berdiri tegap, pandangannya menyisir mencari sosok Kina
yang tidak ada di mana pun.

Hanya ada isak tangis yang sangat lirih.

Naga berjongkok dengan sebelah lutut menyentuh lantai


saat ia telah menemukan sumber suara itu. Di bawah
ranjang, tepat di kolong tempat tidur yang cukup luas
untuk postur mungil gadis itu, Kina tampak meringkuk
dalam hingga kedua lututnya nyaris menyentuh dagu.
Sepasang matanya yang basah terpejam erat. Bahunya
pun tampak berguncang kecil.2

Mau tidak mau, Naga iba melihatnya. Apa anak kucing ini
mengalami mimpi buruk?1
"Kitten?" panggil Naga sekali lagi dengan badan
membungkuk dan kepala meneleng. Kali ini lebih
menyerupai bisikan. "You good?"1

Kina masih enggan membuka mata. Bukannya tenang,


Kina malah semakin terisak. Sial! Naga mendadak
tersinggung karena reaksi gadis itu.

Naga berdeham. Berusaha memperlembut suaranya yang


sangat berat meskipun hal tersebut rasanya mustahil.

"Kitten? Hey, ini Abang ..." Pemuda itu meringis saat Kina
lagi-lagi tidak mengindahkan kehadirannya dengan baik.
"Pusss?"

It works.10

Aneh, benar-benar aneh! Apa Kina sungguh merupakan


jelmaan hewan berkaki empat itu? Selain tingkahnya yang
persis dengan anak kucing, ternyata si "Kitten" juga
merespons cepat panggilan yang biasanya orang
gunakan untuk memanggil makhluk menggemaskan
tersebut.4

Namun, di pendengaran Kina, bukan persoalan panggilan


Naga. Melainkan bagaimana intonasi pemuda itu saat
mengucapkan kata "pus" yang ternyata sangat lembut
dan manis. Sanggup menyadarkan Kina dari bayang-
bayang masa lalu.2

"B-Bang Naga?"

Naga tersenyum teduh mendengar lirihan Kina. "Iya, ini


Bang Naga. Are you ok, Kitten?"

Lemah, Kina menggeleng. "A-aku takut," cicitnya.


Wajahnya tampak pucat sekalipun Naga hanya samar-
samar menyadarinya, mengingat di mana posisi Kina
sekarang.

Hati-hati, Naga mengulurkan tangannya. "Keluar yuk?


Cerita sama Abang."

Kina ragu menyambutnya. Tampaknya gadis itu masih


dihantui oleh bayang-bayang mimpi buruknya yang
mendadak memicu rasa keingintahuan seorang Naga.

"It's oke, Kitten. I'm here." Naga tidak lelah meyakinkan


Kina walaupun kesabaran pemuda itu terbatas. "Bang
Naga bakal lindungin kamu dari hal-hal jahat, oke?"

Mendengar janji yang terdengar tulus pun seketika Kina


merasa aman. Perlahan, sebelah tangannya menyambut
telapak tangan Naga yang besar dalam genggamnya dan
membiarkan sang abang membawanya dalam
rengkuhan.1

Bibi, yang sejak tadi diam-diam menemplok di kusen pintu


bak cicak, sontak berjengit saat Naga justru
mendudukkan adiknya di pangkuan sambil mengusap-
usap rambutnya..

Naga yang masih dalam posisinya, berusaha mengulik


mimpi yang membuat Kina begitu takut. Akan tetapi, gadis
itu tampaknya enggan bercerita. Karena hal tersebut bisa
saja membongkar segalanya tentang Kinara Angelina.
Dan ia enggan membuat masa lalu mencemari masa
depannya.

Entahlah, Kina hanya tidak ingin. Untungnya Naga


menghargai keputusannya. Hak Kina untuk bercerita atau
menutupi. Lagipula, Naga tidak terlalu peduli. Ia hanya
penasaran semata.2

Baik Naga maupun Kina tidak ada yang menyadari bila


bibi sudah menjauh dari TKP untuk melaporkan
segalanya pada sang nyonya. Membuat wanita yang
sejak tadi gelisah dalam perjalanan karena terjebak macet
dengan suaminya, tersenyum lega.

"Naga udah terbiasa jadi Abang sekarang," ucap Keira.1

Raka tersenyum simpul mendengarnya. "Semoga."

"Kok semoga sih, Pi?" Wanita itu tampak mengerutkan


dahi, tidak senang mendengarnya.

"Entah." Raka mengedikkan bahu. "Hidup sama kamu


ngebuat aku hatam bagaimana kalau orang lagi pura-
pura."31

Bukan hanya pria itu, Keira pun sesungguhnya


merasakan. Selain karena merupakan drama queen pada
masanya, ia juga memiliki feeling sebagai seorang ibu
terhadap anak. Namun, alih-alih menyuarakannya seperti
Raka, Keira tidak menanggapi hal-hal negatif tersebut. Ia
yakin, semua akan baik-baik saja pada akhirnya. Bahkan,
lebih baik dari dugaan.3

Keira menyeringai. Kisahnya dengan Raka dulu juga


berawal dari keterpaksaan demi sesuatu yang ia inginkan.
Namun, tidak disangka bila lambat laun, kebutuhannya
justru berganti. Bukan lagi berupa materi atau benda,
melainkan lelaki itu sendiri.

Semua karena "terbiasa". Dan Keira berharap, dengan


"pura-pura"-nya Naga, pemuda itu terbiasa untuk selalu
berpura-pura sampai dirinya sendiri sulit membedakan
mana kepura-puraan dan mana yang sungguhan. Keira
percaya diri akan masa depan keluarga kecilnya yang
akan menjadi keluarga bahagia dengan kedua anaknya.4

"We'll see!" gumam Keira, mantap.


Bab XII | Ice Cream

Kina tidak ingin ditinggal!

Naga diam-diam memutar mata saat Kina—lagi-lagi—


menggeleng kuat seraya memeluk leher abangnya tatkala
pemuda itu hendak bangkit. Sekali lagi Naga melirik arloji
di pergelangan tangan. Kelasnya akan dimulai sebentar
lagi tapi Kina tidak bisa diajak kompromi!

Damn you, little Kitty! Umpat batin Naga, kesal. Kalau saja
hari ini tidak ada kuis mendadak yang telah diumumkan
minggu lalu oleh dosen, mungkin Naga akan mengalah.
Mengulur sedikit waktu atau bahkan membolos sekalian.3

Naga memang bukan mahasiswa teladan, ia juga kerap


melewati kelas yang tengah berlangsung dengan
nongkrong di kantin maupun tidur di sudut perpustakaan.
Namun, melewatkan kuis yang diadakan beliau—yang
sekaligus merupakan dekan fakultasnya—sama saja cari
mati! Susulannya itu lho, ribet banget! Kalau dosen lain
sudah memusingkan, ini bakal lebih penat lagi.
Pada akhirnya, Naga mengembuskan napas, berat.
Nasib. Salahnya juga segala janji-janji akan selalu
melindungi gadis itu. Sialan! Lain kali, Naga akan lebih
berhati-hati dalam berucap pada Kina yang selalu
menelan mentah-mentah setiap ucapannya.

"Ya udah, ikut Abang aja."

Kina mengerjap-ngerjap menatap Naga dengan kedua


mata berbinar. "Ikut?"

Naga mengangguk samar. "Kuliah Abang soalnya nggak


bisa ditinggal."

Bibir Kina mencebik, lucu. Entah mengapa Naga ingin


menjawilnya. Ya, jika sudah tidak waras. "A-aku juga
nggak mau ditinggal Bang Naga."2

"Iya, makanya Kitten ikut Bang Naga ya?" Naga


tersenyum saat Kina mengangguk ragu. "Tapi jangan
nakal di sana nanti. Terus kalau ada yang ngajak ngobrol,
diam aja. Jangan dianggap. Abang cuma sebentar."1

Naga tidak berbohong. Jadwalnya hari ini memang hanya


mata kuliah yang diajarkan dekannya tersebut. Itu pun
hanya 2 SKS (Satuan Kredit Semester) yang artinya
hanya membutuhkan 1 jam 40 menit untuk meninggalkan
Kina sendirian nanti. Belum lagi kenyataan bahwa hari ini
murni kuis saja—menurut informasi yang didapatkan
ketua di grup chat angkatannya. Bisa jadi lebih singkat
dari dugaan.1

"B-Bang Naga mau ninggalin aku nanti?" tanya Kina. Dari


balik bulu matanya yang lurus, Naga mendapati kilat
khawatir di baliknya.

"Iya, tapi beneran nggak lama. Abang masih bisa


dijangkau." Naga meringis karena ucapannya
sendiri. Man! Bagaimana cara menjelaskannya sih?! Ia
memang berencana menaruh Kina di ruang tunggu lantai
fakultasnya nanti, tapi bukan berarti meninggalkannya
karena jarak mereka akan masih sangat dekat! Tidak
mungkin, kan, Naga harus membawa si Kitten masuk juga
ke dalam kelas? "Mau ikut nggak? Kalau nggak—"

"Mau!" Kina manggut-manggut kencang. "T-tapi ..."

"Tapi?" Gigi Naga terkatup tanpa sadar saking gemasnya.

"A-aku belum mandi."


Naga sebenarnya tahu itu. Terlihat dari rambut Kina yang
masih kusut. Pakaiannya pun masih sama dengan yang
semalam Naga lihat. Belum lagi, sedikit bau asem yang
menguar dari ketiak gadis itu meski tidak terlalu
mengganggu.19

"Ya udah mandi." Naga bangkit dari posisinya, diikuti oleh


Kina yang kini tidak memberikan penolakan. "Abang
tunggu di sini, buat jagain monster yang mau masuk,"
ucap pemuda itu seraya terduduk di pinggir ranjang
adiknya. Diam-diam ia terkekeh sendiri akan
pemikirannya. Bagaimana mungkin Naga benar-benar
memperlakukan gadis remaja ini layaknya anak-anak?
Dan mengapa pula segalanya terasa cocok?

Bukan tanpa alasan Naga mengucapkan hal tersebut.


Selain karena ketakutan Kina beberapa saat lalu yang
Naga duga karena gadis itu bermimpi akan sesuatu yang
menyeramkan, Naga juga semakin tergiur untuk
mempercepat pertumbuhan kepercayaan Kina padanya.
Dengan bersikap dan bermulut manis seperti ini, Kina
pasti akan menganggap Naga sebagai pahlawan
hidupnya. Tak tersisa sedikit pun pemikiran tentang Naga
yang membencinya. Yang ada hanya Naga, sosok yang
pantas dipanggil sebagai "abang".2

Naga kemudian mengernyit saat Kina bergeming di


tempat. Sebelah alisnya yang memiliki parut, sontak
menukik. "Kok malah bengong?" Seringainya lantas
muncul. "Mau Abang temanin juga ke dalam, hmm?"5

Sesungguhnya, Kina ingin mengusir Naga. Sejak menjadi


bagian dari Kusuma, ia terbiasa berganti pakaian di
depan lemari langsung yang memiliki cermin full
body pada pintunya. Bukan di kamar mandi langsung,
apalagi saat kondisi tubuhnya belum benar-benar kering.
Ya, tidak seperti kamar Naga yang memiliki akses walk in
closet, kamar Kina sangat sederhana sekalipun juga
terdapat kamar mandi pribadi.

Itulah mengapa Kina hanya bergeming. Di satu sisi, ia


tidak enak hati mengusir Naga. Di sisi lain, Kina harus
melakukannya meskipun sejak tadi tidak terucap sepatah
kata pun.

Sampai Naga mengucapkan kalimat yang membuat


wajahnya terasa matang seketika. Alih-alih Naga, justru
Kina lah yang melarikan diri. Bergegas, gadis itu
memasuki kamar mandi. Langkah kecilnya yang sedikit
berlari membuat Naga gemas melihatnya.

Gemas ingin mendorong.21

Naga mendengus begitu Kina telah menghilang di balik


pintu. Suara air mengalir pun sudah samar-samar
terdengar.

Apa yang gadis itu pikirkan? Naga bersungguh-sungguh


dalam ucapannya? Cih! Apa adiknya tersebut benar-
benar mengira bahwa dirinya sendiri menarik sampai
Naga sudi mengamatinya? Pathetic.

Acuh tak acuh, Naga meninggalkan tempat. Cukup


beralasan jika dirinya butuh ke toilet bila nanti Kina
mendapatinya sudah tidak lagi ada untuk menunggu.
Namun, keberuntungan memang sedang berada di pihak
Naga. Karena sesungguhnya—usai menyelesaikan
aktivitas mandinya—gadis itu merasa lega saat mendapati
sang abang telah keluar dari ruangan.

***

Sambil menikmati ice cream stick yang dibelikan Naga


sebelum pemuda itu berlalu, Kina menunduk dalam demi
menghindari beberapa pasang mata yang masih tertuju
padanya.

Beberapa menit yang lalu, ia mendapat tatapan sinis dari


banyak mahasiswi hanya karena Naga tidak lepas
menggandeng tangannya. Yang semua orang tahu, Naga
adalah anak tunggal. Lantas, siapakah gadis yang
dibawanya ke kampus itu? Mustahil pacar! Perawakan
serta penampilan sosok tersebut sangat jauh dari tipe
ideal seorang Nagara Kusuma. Terlalu lugu, terlalu tepos,
terlalu kurus, dan terlalu aneh untuk menjadi pendamping
Naga.5

Sampai Naga meninggalkannya di ruang tunggu yang


dekat dengan lift sekaligus lorong di mana kelas Naga
berada. Perempuan-perempuan sebaya abangnya,
langsung saja semakin berani melemparkan kerlingan
tajam hingga Kina merasa gelisa dalam duduknya.
Batinnya berharap, semoga Naga diberi kemudahan
dalam mengerjakan kuis hingga dapat dengan segera
menemui Kina kembali.

"Halo."
Kina mendongak seraya mengerjap-ngerjap saat sebuah
tangan yang mulus dan wangi terulur ke arahnya.
Lidahnya mendadak kelu. Apa yang harus dilakukannya?
Naga telah melarang Kina untuk tidak menggubris siapa
pun yang ingin berbicara dengannya.

Namun, akhirnya Kina melanggar peraturan tersebut.


Perempuan yang menghampirinya terkesan baik karena
mengulaskan senyuman ramah. Kina pun tidak enak
untuk mengabaikannya.

"H-halo," cicit gadis itu tanpa menerima tangan yang


terulur karena tangan kanannya sudah kotor akibat
lelehan es krim. Batin Kina berharap semoga perempuan
tersebut mengerti.

Dan benar saja, sosok dengan rambut bergelombang


cokelat kemerahan tersebut masih tetap tersenyum
sembari menarik kembali tangannya. Memahami kondisi
Kina. "Aku Bunga, teman seangkatan Naga. Boleh tahu
kamu siapa?"

"A-aku Kina." Gadis itu mengulum senyum dengan pipi


merona. Mendadak ia merasa malu untuk
memperkenalkan diri. Semua karena kecantikan
perempuan bernama Bunga tersebut. "Adik Bang Naga,"
lanjutnya.

Seluruh mata yang mengamati pun terkejut. Kina bahkan


baru menyadari bila ia dan Bunga menjadi tontonan
publik, khususnya mahasiswi.

"Naga punya adik?" Bunga tercengang. Meski begitu, baik


dirinya dan beberapa pengagum Naga seketika merasa
lega. Gadis absurd bernama Kina itu bukanlah saingan
mereka.1

Baru Kina akan mengangguk, suara Naga menggelegar di


lorong. Dengan langkah besar, pemuda itu menghampiri
Kina. Rahangnya terkatup sangat rapat, tanda jika Naga
sedang siap mengeluarkan api dari mulutnya.

Kina menunduk dalam. Takut sekali. Ia tidak ingin


dimarahi abangnya di depan umum. Namun,
kenyataannya sangat mengejutkan. Mangsa sang Naga
bukanlah dirinya, melainkan Bunga.

"Jangan ganggu dia," tukas Naga, menatap sengit Bunga.


"Lho, kenapa? Gue cuma mau ngobrol sama dia, apa itu
salah?" Bunga mengedikkan dagu ke arah Kina yang kini
berdiri di belakang Naga.

This bitch! Umpat Naga, samar. Bunga benar-benar


mempertaruhkan harga diri sebagai perempuan. Di saat
banyak yang menyukai gadis itu, ia justru menaruh hati
pada Naga yang sama sekali tidak pernah melibatkan
perasaan ketika dekat dengan kaum Hawa mana pun,
termasuk Bunga sendiri.2

Sudah dua semester berlalu, Bunga masih juga tidak


selesai dengan Naga. Sedangkan Naga, tidak pernah
menganggap Bunga sebagai bagian dalam kisah
percintaannya. Sheesh!

"Hidup lo lempeng banget kayaknya, sampai harus cari


masalah sama gue." Sebelah mata Naga berkedut. "Gue
nggak suka diusik!"

"Ngusik gimana sih, Naga sayang?" Bunga terkekeh.


"Kami semua di sini pengin kenalan baik-baik aja kok
sama adik lo."2

Adik.
Naga menyisir pandangan. Sekarang tidak hanya
mahasiswi, tetapi mahasiswa beserta cleaning
service yang bertugas di lantai 7 tersebut pun tampak
membentuk lingkaran tidak sempurna. Menjadikan
ketiganya sebagai tontonan gratis. Sialan!3

Tapi bukan itu yang membuat Naga gerah! Mengetahui


semua orang telah mengetahui fakta bahwa posisi
Nagara Kusuma bergeser dan terbagi dua di istananya,
membuat Naga mendadak gengsi mengakui! Naga pikir
dirinya siap memperkenalkan Kina sebagai adik di
hadapan dunia sebagai risiko karena telah membawa
gadis itu ke kampusnya, ternyata ia salah. Hatinya tetap
tercubit tiap kali diingatkan oleh kenyataan jika ia bukan
lagi satu-satunya pewaris Kusuma.

"Dia bukan adik gue."

Terdengar semua orang terperangah. Bahkan Kina


sekalipun. Di belakang Naga, gadis itu tampak menggigit
bibirnya, berusaha keras menahan tangis. Ia sampai tidak
peduli dengan es krimnya yang terus menerus mencair
dan mengotori dress model baby doll merah muda
selututnya.
Seharusnya Kina tidak melanggar peraturan! Seharusnya
Kina diam saja saat ada yang mengajaknya berbicara.
Seharusnya ia tidak membuat Naga kesal. Beginilah
akibatnya. Tidak diakui oleh Naga, entah mengapa
membuat hatinya terasa begitu sakit.

Sampai kemudian tangan besar itu merampas sebelah


tangan Kina dari batang es krim dan menautkan jemari
keduanya.

"She's my girl," aku Naga dengan suara yang sangat


rendah.49

Usai membawa punggung tangan kotor Kina pada


bibirnya untuk dikecup ringan, Naga berlalu seraya
menuntun lembut gadis di sampingnya. Adegan yang
sanggup membuat semua orang kebingungan dengan
apa yang sebenarnya terjadi. Tidak dipungkiri juga,
sebagian besar di antara mereka dibuat patah hati dalam
sekejap.
Bab XIII | Superman

Terduduk di mobilnya, Naga meringis jijik saat menatap


pantulan wajahnya pada spion tengah. Karena acting-nya
beberapa menit lalu, ia harus merasakan lengket di bibir.
Bahkan noda es krim cokelat Kina pun ikut menghiasi pipi
pemuda itu.

Sekalipun kesal, Naga tidak menyesal dengan


keputusannya. Biarlah semua orang tahu tentang
kebohongan yang ia buat. Selain hatinya merasa damai,
hal tersebut juga mampu menguntungkannya.
Setidaknya, membuat Kina dibenci oleh para penggemar
Naga.

Diam-diam Naga menyeringai sinis akan pemikirannya,


sebelum memutuskan untuk kembali bersandiwara.5

Pemuda itu menoleh ke samping, mendapati Kina telah


duduk manis dengan sabuk pengaman yang melekat
sempurna di badannya. Kina sudah mandiri. Naga senang
karena ia tidak harus dekat-dekat dengan gadis dungu
tersebut hanya untuk membantu memasangkan seat belt.
"Udah?" tanyanya, basa-basi.

Kina mengangguk. Begitu Naga mulai melajukan mobil,


sudut matanya tidak henti mengamati profil pemuda yang
tengah fokus menyetir itu.

Sungguh, Kina benar-benar penasaran. Mengapa Naga


mengakuinya sebagai pacar alih-alih adik? Dan mengapa
juga Kina merasa senang dengan hal tersebut? Terlebih,
saat Naga memberi kecupan pada punggung tangannya.4

Di pangkuan, Kina mengusap daerah bekas bibir Naga


dengan ibu jarinya. Bukankah "pacar" memiliki arti...

"Mami mau pacaran dulu sama Papi."

Ingatan akan maminya yang pergi berduaan dengan sang


papi pun membuat jantungnya berdegup cepat,
menimbulkan debaran di dada yang entah mengapa Kina
sukai. Apakah ini wajar?

"Kita ketemu Tiger dan Bingbong dulu ya."

Kina yang masih asyik dengan lamunannya, tidak


menyadari bila dahi Naga berkerut dalam. Tidak suka bila
dirinya diabaikan. Terlebih oleh gadis itu!
"Kitten?"

Berhasil. Kina sontak memusatkan perhatian pada Naga


yang masih meluruskan pandangannya ke depan. "I-iya?"
Ia berdeham saat suaranya nyaris tidak terdengar. Terlalu
gugup. Terlalu aneh pada dirinya sendiri. Mendengar
nama "Kitten" meluncur dari bibir Naga yang cukup berisi
dan berbelah, dengan intonasi yang sangat rendah
hingga terdengar sedikit serak di saat Kina tengah
memikirkan sosok itu, membuat kepak lembut sayap
kupu-kupu seketika menguasai perutnya.1

"Kita main dulu. Bang Bingbong sama Bang Tiger kangen


sama Kitten katanya."6

"Oh?" Kina tersenyum simpul mendengar nama-nama itu


disebut. "Tapi Mami sama Papi bukannya udah pulang?"

"Kamu nggak mau ikut Abang?" Sebelah alis Naga


terangkat. Menoleh pada Kina sekilas. "Tumben,"
lanjutnya berbisik. Meski begitu, hatinya tengah bersorak
riang karena Kina tampaknya ingin dipulangkan saja.

Namun, anak kucing tetaplah anak kucing.1


Kina menggeleng kuat. Cengiran lebar muncul di wajah
polosnya. "Nggak kok. Aku mau ikut Bang Naga."

"Yakin? Kalau Mami nungguin gimana?" Naga masih


berharap Kina akan mempertimbangkan. Tapi memang
nasibnya selalu buruk jika dihadapi dengan gadis ini. Kina
justru semakin yakin untuk membuntuti abangnya ke
mana pun Naga pergi.1

"Selama aku sama Bang Naga, Mami pasti nggak


masalah." Kina lantas tersenyum malu-malu. Semburat
merah muda kini menghiasi pipi putihnya yang selalu
tampak pucat. "Ada Bang Naga yang bakal lindungin
aku."

Batin Naga mendengus. Ya, nikmati saja semua


sandiwara ini sampai tidak ada lagi rasa tidak percaya
pada sosok Naga yang tersisa.

Naga akan merespons saat beberapa


motor sport menghalangi jalan mobilnya. Memang, Naga
tengah enggan melewati jalanan yang biasa dilalui demi
menghindari kemacetan yang tertera jelas pada
aplikasi maps ponselnya. Tapi ia sama sekali tidak
menduga bila keputusannya tersebut akan membawa
bencana.

Shit! Kina sedang bersamanya! Dan Naga tidak mungkin


tidak peduli.

Sekalipun telah mengenakan seat belt, badan Kina tetap


terhuyung ke depan saat Naga menginjak rem mendadak.
Menandakan bahwa kejadian tersebut benar-benar di luar
dugaan.

Kina terkejut saat salah satu di antara pemotor itu turun


dari kendaraan roda duanya dan langsung menggebrak
kencang kap mobil Naga. Sebelum Kina sempat bersuara,
Naga terlebih dulu menegaskan padanya untuk tetap
duduk manis di dalam mobil sementara sang abang
keluar untuk menghadapi orang-orang menyeramkan
tersebut.

Sepeninggal Naga, handphonenya yang ternyata


tertinggal di mobil pun berdering. Nama Bingbong tertera
pada layar. Bergegas, Kina mengangkatnya. Untunglah
ponsel yang pernah diberikan papi Raka untuknya—yang
kebetulan tidak pernah Kina bawa ke mana pun dan
hanya tersimpan manis di laci nakas—juga keluaran
dari brand yang sama dengan milik Naga. Jadi, ia tidak
terlalu bingung saat menggunakannya.

Bedanya, benda pipih yang sekarang ini tengah berada di


tangannya terlihat lebih mewah dan bezel less. Kina
bahkan tidak melihat satu pun tombol luar pada body alat
komunikasi modern itu.

"Bro, kok lama? Di man—"

"B-Bang Bingbong?"8

"Lho?" Bingbong tampak memberi jeda sejenak di


seberang. Mungkin sedikit terkejut mendapati suara Kina
lah yang justru menguasai pendengarannya. "Kina ya?
Bisa kasih hapenya ke Bang Naga?"

Sesungguhnya, Bingbong masih belum mencerna apa


yang terjadi. Pasalnya, Naga paling anti bila barang
pribadinya disentuh oleh orang lain. Terlebih, ketika Kina
lah orangnya. Lantas, apa ia melewatkan sesuatu?

"B-Bang Naganya lagi mau berantem," cicit Kina, takut.


Suaranya yang kecil dan halus, semakin nyaris tidak
terdengar saking gemetar.

"Hah?"
"A-ada orang-orang jahat," ujarnya, polos.

"Jahat? Ng ... ciri-cirinya gimana, Kina?"

Kina menggeleng meskipun Bingbong tidak dapat


melihatnya. "Pakai motor besar-besar. Bajunya hitam-
hitam. Seram," jelasnya, mendeskripsikan sambil bergidik
ngeri.

Meskipun Naga juga tidak kalah menyeramkannya saat


pertama kali mereka bertemu, bagi Kina abangnya jauh
lebih baik. Setidaknya, masih ada rasa nyaman dari aura
yang Naga keluarkan. Sedangkan geng motor tersebut
hanya menguarkan amarah seakan tidak terdapat
"ampunan" di seluruh pasang mata mereka.

Di tempat lain, Bingbong berdecak. Tidak salah lagi,


pikirnya. Ini pasti ulah kelompok preman bau kencur yang
tempo lalu berhadapan dengan Naga. Sang ketua juga
yang membuat kaki Naga menjadi pincang sementara
karena tendangannya yang cukup kuat.

Memang, mereka sempat berkelahi karena masalah


kekuasaan. Pasalnya, geng idiot beranggotakan enam
orang tersebut tidak tahu diri dengan menjadikan jalan di
area perumahan sebagai kawasan balap liar. Meski
letaknya di gang besar yang rumah-rumahnya masih
belum berpenghuni, tetap saja kehadiran mereka cukup
meresahkan warga setempat. Sayangnya tidak satu pun
yang berani menentang. Terlalu takut karena diancam
oleh sang "jagoan".

Naga yang tidak sengaja mendengar cerita dari seorang


teman di kampus—yang ternyata pernah mendapat
perlakuan tidak baik, bahkan nyaris diserempet secara
sengaja—pun lantas bertindak. Dibantu Bingbong juga
Tiger, ketiganya berhasil melawan mereka satu per-satu
walau harus terluka.

Sudah biasa. Semua orang tahu bahwa mengalahkan


Naga adalah hal yang mustahil. Pemuda itu memang
tidak pernah mengikuti latihan bela diri, tapi "kalah" tidak
pernah ada dalam kamusnya. Prinsip Naga adalah tetap
bangkit sebelum mati. Gugur dalam keadaan hormat
selalu jadi yang terdepan.1

Namun, hari ini mereka melihat peluang emas. Saat


tengah memata-matai Naga, mereka mendapati
kenyataan menyenangkan. Ya, gadis itu. Sosok yang
sudah pasti bisa berguna dalam situasi sekarang.
Terlebih, tidak ada lagi kedua pawang yang tengah
bersamanya.

"Kina di mobil, kan?" Bingbong memastikan.

"I-iya. Disuruh B-Bang Naga duduk manis."1

"Bagus, bagus. Jangan turun ya? Bang Bingbong sama


Bang Tiger datang bentar lagi," tegas Bingbong. Tidak
perlu meminta Kina membagikan lokasi karena
sebelumnya Naga sudah memberi tahu jalur yang akan
dilewati. Benar, bentuk peraturan tidak tertulis dalam
persahabatannya. Harus saling mengabari agar terhindar
dari kejadian yang tak diinginkan.

Sambungan diputus oleh Bingbong sebelum Kina


merespons kembali. Sesuai dengan yang abang-
abangnya katakan, Kina harus tetap duduk di mobil
meskipun gelisah. Ia sampai tidak sadar telah meremas
ponsel Naga di pangkuan.

Sampai kekhawatirannya terbukti. Mereka mulai


berkelahi. Satu lawan enam. Terlihat Naga sangat mahir
dalam menjatuhkan lawan. Sampai pemuda itu sedikit
lengah.
Pukulan demi pukulan mengenai Naga. Mereka
mengeroyok Naga tanpa jeda dengan dua orang
memegangi lengannya, membuat Naga tidak memiliki
kesempatan untuk berkelit.

Merasa tidak berdaya dan membutuhkan pertolongan,


Kina segera membuka pintu yang sebelumnya
diperintahkan Naga untuk tetap dalam keadaan terkunci
sampai pemuda itu sendiri yang mengizinkannya untuk
terbuka. Kemudian gadis itu berteriak, "Berhenti!"2

Sementara Naga semakin kesal karena Kina justru


memperburuk keadaan, sang ketua geng motor tersebut
justru menyeringai senang. Rencananya untuk
melemahkan Naga berhasil. Ia bisa menculik gadis itu dan
membawanya sebagai jaminan, sampai Naga berlutut dan
melakukan permintaan maaf.

Dan keduanya salah.

Kina tidak melemahkan Naga. Gadis itu justru membuat


jiwa binatang buas dalam diri Naga termotivasi untuk
membantai habis segala yang berurusan dengannya.
Terbukti saat sang ketua akan menyentuh Kina yang
merapatkan punggung pada sisi mobil, Naga langsung
mengamuk dan mengeluarkan seluruh tenaga. Pemuda
itu juga mengeluarkan geraman yang persis seperti
auman sang raja hutan.36

Hingga mereka kewalahan menghadapi Naga yang


membabi buta menerjang, lalu menyerah dengan
sendirinya.

Begitu para rivalnya telah kabur, Naga terduduk lemas di


kap mobil. Brengsek! Umpat batinnya. Ia tidak lagi mau
membawa Kina melewati jalan kecil nan sepi tanpa
kehidupan seperti lokasinya sekarang. Atau mungkin lebih
tepatnya...

Ia tidak akan lagi membawa Kina bersamanya.

Naga berjengit terkejut saat sebuah sentuhan lembut


mendarat di tulang pipinya yang memar. Pemuda itu
lantas mendengus mendapati Kina telah berdiri di
hadapannya, melemparkan tatapan cemas.

"B-Bang Naga nggak apa-apa?" tanya Kina, bodoh.

Dingin, Naga membalas perhatian tersebut.


"Kelihatannya?" balasnya, sewot tanpa dapat dicegah.1
Kina meneguk ludah susah payah. Wajar bila Naga
marah. Tapi Kina tidak sedikit pun tercubit mendengarnya
karena apa yang telah Naga lakukan barusan sudah
dapat menebus seluruh kesakitan. Jika Naga memakinya
lebih menusuk, Kina juga tidak masalah. Sang abang
telah menjadi pahlawannya hari ini. Kina merasa
berhutang nyawa pada sosok pelindung tanpa jubah
tersebut. Her Superman.

Kemudian dua motor besar Tiger dan Bingbong tampak


mendekat dari kejauhan. Baru kali ini Naga merasa lemah
menghadapi para pecundang seorang diri. Biasanya,
Naga selalu tidak peduli dengan jumlah mereka. Hanya
saja, saat itu ia benar-benar berharap kedua sahabatnya
akan datang tepat waktu. Ia khawatir Kina akan
melakukan hal dungu yang membuat Naga akan repot
nantinya.

Benar saja. Kitten sialan!2

Bertepatan dengan motor Tiger dan Bingbong yang telah


berhenti di sisi mobil Naga, pemuda itu bangkit dari
posisinya.
"Mana mereka? Mana?!" bentak Tiger pada diri sendiri
seolah embusan anginlah yang menjadi musuhnya.7

Tanpa memedulikan kekhawatiran yang sarat di wajah


semua orang, serta tanda tanya di dua kepala makhluk-
makhluk berbadan besar itu, Naga masuk ke dalam mobil
tanpa sepatah kata. Diikuti oleh Kina setelah beberapa
saat.
Bab XIV | The Time

"Ei, ei, ei, kok Mami sama Papinya duduk di sini nggak
dianggap?"2

Naga sedang tidak peduli, terlebih wajahnya sedang


dipenuhi oleh lebam. Selain sedang malas menjelaskan
apa yang terjadi pada kedua orang tuanya, Naga tidak
ingin membuat maminya cemas.

Dahi Keira berkerut dalam mendapati Naga tetap


melengos pergi melewati dirinya dan Raka yang sudah
duduk manis di ruang tamu demi menyambut kehadiran
anak-anaknya. Tadinya ia begitu antusias. Bagaimana
tidak? Bibi melaporkan padanya bahwa Naga membawa
Kina ke kampus yang artinya pemuda itu sudah
sepenuhnya bersikap seperti abang tidak hanya di depan
mereka.

Namun, mengapa ia justru disuguhi oleh pemandangan


yang tidak menyenangkan? Naga bahkan enggan
menoleh sedikit pun ke arah orang tuanya. Sikapnya
seperti sengaja menghindar.
Kemudian sosok Kina muncul. Gadis itu berlari-lari kecil
mengekori Naga dan tampak belum menyadari jika dirinya
tengah diamati. Fokus Kina tertuju lurus pada punggung
lebar Naga yang mulai meniti anak tangga.

Baru Keira akan bangkit dari posisinya untuk mengecek


secara langsung apa yang terjadi, suaminya mencegah.
Pria itu menyarankan sang istri untuk memberi ruang
pada anak-anak yang sedang tidak ingin diganggu.

Di tempat lain, Naga tahu Kina sedang mengikutinya


seperti anak kucing. Tapi saat ini ia benar-benar sedang
malas bersandiwara. Oleh karena itu, sesampainya di
kamar, Naga langsung menutup pintu dan menguncinya.
Membiarkan Kina hanya dapat termangu di depan
ruangan abangnya.1

Kina mengerjap saat samar-samar ia mendengar suara


meringis di dalam. Jantungnya pun berdebar khawatir.
Bang Naganya sedang kesakitan. Dan sebagai adik yang
baik, Kina harus menolongnya. Hanya saja, bagaimana
caranya?

Bertepatan dengan kebingungan yang sarat di wajah


Kina, seorang bibi yang sedang bertugas membersihkan
area lantai 3 pun muncul. Segera saja Kina bertanya apa
yang harus ia lakukan untuk Naga. Tidak perlu waktu
lama untuk asisten lainnya membawakan gadis itu
sebaskom air hangat dan handuk kecil. Bibi bilang, hal
sederhana tersebutlah yang biasanya nyonya lakukan
untuk menyembuhkan luka den Naga.

Kina menarik napas dalam-dalam begitu ia telah kembali


berhadapan dengan pintu kamar Naga. Karena kedua
tangannya yang tengah memegang baskom, gadis itu pun
memutuskan untuk memanggil abangnya alih-alih
mengetuk pintu.

"B-Bang Naga?"

Tidak ada jawaban. Hal tersebut membuat Kina sempat


ragu melanjutkan niatannya. Namun, ia memilih bertahan.

"Bang Naga?" Kina berdeham kecil saat Naga lagi-lagi


tidak merespons. "Abang???"11

Masih sama. Hanya keheningan yang membalas. Alhasil,


dengan bahu merosot, Kina memutuskan untuk berbalik
badan dan meninggalkan tempat.
Tapi takdir tengah mempermudah keadaan. Suara derit
pintu terdengar sebelum Kina benar-benar memutar
tubuhnya. Senyumnya langsung mengembang melihat
wajah Naga yang menatapnya sangat datar. Nyaris
dingin. Persis seperti mereka pertama kali bertemu.

"Segitu aja udah nyerah?"

Senyum Kina langsung menguap. Kepala gadis itu


meneleng, menatap abangnya tidak mengerti. "Huh?"

"Mau ngapain?" tanya Naga, tidak mengindahkan


kebingungan di wajah polos itu. Ia rasa tidak perlu
menjelaskan apa-apa akan maksud ucapannya karena
percuma, gadis ini tidak akan mengerti.

Diam-diam Naga mendengus. Menyebalkan! Sangat


menyebalkan! Naga mendadak tidak tahu apa
kemauannya sendiri. Di satu sisi ia tidak ingin diganggu
oleh si anak kucing yang membuatnya terjerat dalam
berbagai masalah. Di sisi lain Naga kesal karena "usaha"
Kina dalam menebus kesalahannya tidaklah seserius itu!9

"A-aku mau ..." Kina mengangkat baskom di kedua


tangannya lebih tinggi seraya melanjutkan, "ngobatin
Abang. Kata Bibi, Mami juga begini kalau Bang Naga
luka."

Sebelah alis Naga menukik mendengarnya. Kesempatan


yang bagus! Pikirnya. Bagaimana tidak? Ia bisa berpura-
pura berteriak pada Kina dengan alasan "sakit" ketika
gadis itu mengobati lukanya nanti. Kapan lagi
berkesempatan untuk membentak si anak kucing ini?6

Menyeringai, Naga membuka pintu kamar lebar-lebar dan


memiringkan posisi, memberikan ruang lebih lebar bagi
Kina untuk masuk. Sayangnya, tubuh Naga terlalu besar.
Karena enggan menyingkir, siku Kina yang masih
menekuk pun menggesek perut pemuda itu tanpa
sengaja. Sentuhan yang begitu lembut sampai Naga
merasakan sesuatu yang aneh bergejolak di dada.20

Naga segera menyusul Kina yang telah lebih dulu duduk


di pinggir ranjang. Ia sempat ingin mengurungkan niat
untuk melanjutkan ide ini karena mendadak dirinya
meragu, tapi Naga tetap membiarkan Kina mengompres
lebam-lebam pada tubuhnya. Pemuda itu bahkan nekat
membuka kaus yang dikenakannya di hadapan Kina
dengan alasan agar sang adik angkat lebih mudah
mengobati luka pada bagian perut.
Aneh, rasanya sungguh aneh! Niatan untuk berteriak dan
membentak Kina sudah menguap tak bersisa, entah
mengapa. Jangankan begitu, rasa nyeri yang sempat
membuatnya meringis pun sontak terasa sembuh.11

Kina sangat fokus dalam mengompres luka-luka


abangnya—saking enggan bertindak gegabah—sampai
tidak menyadari jika pandangan Naga tidak pernah luput
darinya sedetik pun.

Naga memejamkan kedua mata saat hangatnya handuk


disertai ujung jemari Kina menyentuh lembut kulit
perutnya. Terdapat sensasi yang sangat absurd. Saking
absurdnya, Naga membenci perasaan ini.13

Kemudian kedua matanya terbeliak. Sial! Benar-benar


sialan! Sebuah pemikiran yang sedang bercokol dalam
pemikirannya kali ini sangat tidak bisa ia terima. Tidak
bisa dirinya percaya. Dan mustahil terjadi.5

Gadis ini berbahaya. Anak kucing ini bukan hanya


berhasil merebut hati mami papi tapi juga Nagara
Kusuma.

Rahang Naga terkatup rapat. Di atas pangkuan, tangan


kirinya mengepal tanpa Kina ketahui. Dengan sebelah
mata menyipit, kilat kebencian semakin menguasai
pandangan. Naga harus menyingkirkannya sesegera
mungkin sebelum ia berubah pikiran. Sebelum
permainannya selama ini berakhir sia-sia.1

Ya, waktunya telah tiba. Sudah saatnya posisi pemuda itu


kembali jaya tanpa adanya pesaing.
Bab XV | Gelang

Tapi bagaimana caranya?!1

Naga menyugar rambutnya frustrasi karena hingga tiga


hari kemudian, ia tidak kunjung menemukan rencana
yang tepat. Mendadak otaknya terasa buntu!

Dengan bahu merosot lesu, Naga menyuapkan buah


stroberi sambil terduduk di stool bar table di dapur.
Sebagian besar penerangan pada ruangan istana
Kusuma telah redup, menandakan seluruh penghuninya
telah terlelap. Ya, terkecuali dirinya. Dan ini semua gara-
gara si anak kucing!

"Ganteng?"2

Pemuda itu sedikit tersentak di tempat, terkejut mendapati


sang mami yang tiba-tiba muncul dari kegelapan. Mana
gaun tidur dan jubah satinnya tersebut berwarna putih!
Naga nyaris berpikir jika maminya adalah Sadako.21

"Mami!" gerutu Naga seraya mengusap dadanya. "Kaget,


Naga."4
"Kok belum tidur?" tanya Keira sambil melangkah ke arah
kulkas untuk mengambil minuman. "Kebangun atau nggak
bisa bobo, darling?"1

Naga menghela napas. Andaikan sang mami berada di


pihaknya, pemuda itu pasti sudah bermanjaan pada Keira
dan berkeluh kesah soal Kina. Sayangnya, sejak awal
mami papinya lah pihak yang menentang kebencian Naga
pada gadis lugu nan merepotkan itu. "Nggak bisa tidur,
Mi," jawabnya, tidak sepenuhnya berbohong.

"Mmh ..." gumam Keira saat dirinya tengah meneguk air,


langsung dari bibir botol. Terlalu malas mengambil gelas.
"aaah! Emang tadi siang udah bobo?"

Naga menggeleng. Ia memang sibuk memikirkan apa


yang harus dilakukan hingga waktu istirahatnya seolah
tersita. "Naga mungkin cuma kepikiran tugas, Mi. Minggu
depan, kan, udah UAS," kilahnya.1

"Hmm, begitu." Keira manggut-manggut memahami


kondisi sang anak. Ujian memang mengerikan. Sekalipun
bisa melaluinya—dan ia yakin, Naga pun juga sama—
rasa deg-degan tetaplah ada. Bahkan kerap muncul dari
jauh-jauh hari dan menghilang pas hari-H. "Mau Mami
temanin?"

Senyum tipis muncul di wajah Naga. Sudah berapa lama


ia tidak mendengar hal tersebut? Sejak Kina hadir,
perhatian mami dan papinya terasa sepenuhnya tertuju
pada gadis itu. Naga merindukan momen ini.1

Tanpa ragu, Naga mengangguk semangat hingga


rambutnya berayun. "Mau, Mi. Kalau Mami masih lama
bangunnya."1

Wanita itu terkikik geli mendengarnya. "Mami lagi nggak


bisa tidur juga nih. Cuma bukan karena kepikiran sesuatu,
tapi karena lagi senang banget." Antusias, sang mami
duduk pada stool di samping anaknya, lalu memamerkan
gelang berwarna perak dengan mata berlian-berlian
mungil melingkari sisi. "Dibeliin Papi sebagai hadiah ulang
tahun pernikahan kemarin."1

Naga turut bahagia mendengarnya. "Pasti mahal."

"Iya dong." Maminya menyengir lebar hingga kerutan


pada ujung matanya samar-samar terlihat. Hal yang
membuat wanita itu kerap insecure dan mengomeli
cermin yang terlalu jujur memantulkan refleksi! "Tebak
harganya berapa?"2

Naga menggeleng. Selain tidak tahu, ia malas menebak-


nebak karena kalau sudah begini sih biasanya selalu
salah prediksi. Namun, Naga mengira bahwa harga
gelang itu tidak lebih dari dua puluh juta. Karena benda
imut begitu, mana mungkin lebih mahal dari dugaan, kan?

Salah, Naga salah besar!

"Tiga ratus ribu..."

"Oh, tumben—"

"... dollar."

"UHUK, UHUK!" Naga langsung tersedak oleh ludahnya


sendiri. Ia hanya mampu menatap horor maminya yang
kini benar-benar tidak berhenti tersenyum. "Mami
bercanda? Itu bahkan lebih mahal dari mobil Naga!"

"Ya terus?" Keira mengibaskan tangan. "Ini keren tahu."

"Mirip kayak kawat biasa," respons Naga, skeptis.

"Aduh, my dragon, ini tuh unik lho bentuknya. Lihat nih,


lihat. Ada ukiran-ukiran detailnya yang nggak asal."
Senyum Keira mendadak masam. "Lagian kenapa sih?
Uang si Papi tuh nggak akan habis."6

Naga percaya, tapi tetap saja ia terkejut mendapati harga


gelang seperti itu. Apa dirinya saja yang norak? Jangan-
jangan ada yang lebih mahal? Benar-benar gila! Gelang
seperti itu, kan, tidak berguna. Hanya menjadi penghias.
Setidaknya, bagi Naga sendiri.2

Wait a minute!

Tiba-tiba saja Naga mendapatkan sebuah


ide. Dang! Ternyata keputusan sang mami untuk membeli
gelang dengan harga tidak masuk akal itu cukup
menolongnya.

Seringai kecil pun menghiasi wajah buas tersebut.3

***

Kina mengucak matanya saat kediaman Kusuma sudah


ricuh di pagi buta. Sambil memeluk Mikku, Kina keluar
dari kamarnya dengan kening berkerut. Pasalnya, semua
orang kini tengah berkumpul di lantai 3. Ada mami, papi,
abang Naga, bahkan para bibi.
Dari kejauhan, beberapa keamanan istana tampak tengah
menggeledah setiap ruang. Namun, hingga hampir satu
setengah jam berlalu, tidak seorang pun dapat
menemukan apa yang dicari.

"Mami, Papi, Abang Naga? Lagi apa pagi-pagi?"

Pertanyaan lugu tersebut membuat seluruh kepala


menoleh pada Kina dan membuat gadis itu sontak
mengulas senyum. Sayangnya, tatapan mereka berbeda.
Ada yang melemparkan tatapan curiga, ada yang
melemparkan tatapan tidak percaya, ada pula yang
melemparkan tatapan dingin.19

Kina mengerjap-ngerjap. Apa dirinya melakukan


kesalahan?1

Sampai kemudian mami Keira menghampirinya. Wanita


itu tanpa basa-basi langsung meminta izin untuk
memeriksa kamar Kina karena ingin mencari sesuatu.
Wajahnya tampak panik. Lebih pucat dari semua orang
yang ada di sana. Tentu saja Kina memperbolehkan.
Selain tidak memiliki alasan untuk melarang, ia juga tidak
menduga sama sekali jika anggukannya barusan menjadi
malapetaka untuk diri sendiri.
Keira sempat ingin menampik kebenaran saat gelang
berharga dan begitu berarti baginya berada di bawah
bantal Kina. Ia yakin, semua ini adalah kesalahpahaman.
Tapi belum sempat dirinya meyakinkan semua orang bila
mungkin wanita itu sendirilah yang keliru dan tidak
sengaja menjatuhkan gelang di kamar Kina, sudah
banyak saksi mata yang melihat buktinya.6

"Ya Gusti, beneran Non Kina yang ngambil?"

"Duh, Non. Nggak nyangka banget kalau sifat aslinya


begitu."

"Pantas. Padahal bertahun-tahun kami kerja, belum ada


kejadian seperti ini."

"Cukup!" Para bibi yang tengah menyudutkan Kina pun


langsung dihentikan oleh Naga. Bak malaikat tanpa
sayap, pemuda itu menghampiri Kina dan merangkul
bahunya. "Naga yakin ada yang keliru di sini. Kina nggak
mungkin ngelakuin hal itu! Mami dan Papi harusnya lebih
percaya sama Kina!" lanjut Naga, membela adiknya.57

Helaan napas papi yang berat lantas menghiasi


keheningan yang sempat tercipta. "Kita tetap harus
bertindak tegas."
Kuasa lengannya pada Kina semakin mengerat. Nyaris
seperti setengah memeluk. "Papi mau ngapain? Jangan
main hakim sendiri!"

"Papi nggak akan begitu, Naga. Justru Papi pengin


selesaikan semua baik-baik." Pria itu lantas mengulurkan
tangannya pada Kina. Raka juga tidak ingin percaya, tapi
bukti sudah diterima oleh mata kepala sendiri. Ia tahu
betul bahwa semua ini adalah kesengajaan. "Ayo, Kina.
Ikut Papi sebentar ya."9

Ragu menerima tangan yang selalu hangat untuknya


tersebut, Kina mendongak pada Naga, meminta
persetujuan pada abangnya akan apa yang harus ia
lakukan karena kini hanya Naga yang berpihak padanya.
Yang percaya dan ingin melindunginya.

Naga pun mengangguk. Dengan berat hati, ia lepaskan


rangkulannya pada Kina.

Seraya digiring semua orang sekaligus mereka


meninggalkan tempat, Kina menoleh dari balik bahunya.
Memberi pandangan nanar pada Naga yang hanya
bergeming di tempat. Tanpa seluruh benak ketahui,
bahwa insiden terencana ini telah membawa Naga pada
keberhasilan.11

Terencana? Tentu!

Naga terkekeh saat semua orang telah berlalu dan


menghilang. Dengan seringai, pemuda itu menutup pintu
kamar Kina. "Goodbye, Kitten," bisiknya pada kayu pipih
yang bergeming.1

Ringan. Sangat ringan. Begitulah rasa bahunya saat ini.


Tanpa beban. Tanpa sandiwara. Tanpa si anak kucing!

Naga menghempaskan tubuhnya di atas ranjang


sekembalinya pemuda itu ke kamar. Menyenangkan
bukan ketika semua orang percaya padanya?

Benar, tujuan Naga memang demikian. Membuatnya


tampak membela Kina dan berpihak pada gadis itu
sehingga tidak akan ada asumsi yang mengarah padanya
mengenai "pencurian" ini karena Naga sudah menerima
Kina. Mereka pasti berpikir jika Naga tidak akan
melakukan hal demikian pada adiknya sendiri.

Cih! Adik? Tidak sudi.4


Tak kuasa menahan gembira, Naga bergegas bangkit dan
meraih kunci mobilnya. Tidak peduli akan fakta kalau ia
belum mandi, bahkan masih dengan kaus tidurnya. Ia
ingin sekali merayakan kebebasan ini bersama Bingbong
dan Tiger.

Naga tahu, mereka akan murka bila pemuda itu


menceritakan alasan bahagianya di pagi buta. Tentu saja
Naga tidak bodoh. Ia akan merangkai cerita bahwa dirinya
juga sama-sama terkejut seperti para penghuni rumah.
Dan tujuannya ke basecamp bukan untuk perayaan,
melainkan ingin dihibur oleh kedua sahabatnya.

Bingbong dan Tiger akan percaya. Naga yakin itu.


Terlebih saat mendapati dirinya "nyaris tumbang" tempo
lalu demi melindungi Kina.2

Sempurna.
Bab XVI | Pigura

oleh Junieloo Follow


Lelaki itu meletakkan jas hitamnya asal pada punggung
kursi, lantas membuka dua kancing teratas kemejanya.
Sekalipun di luar sana hujan, suhu di ruangannya pun
sudah cukup rendah, ia tetap merasa gelisah.

Sialan! Benar-benar sialan! Bisa-bisanya seluruh data


yang diterimanya adalah palsu, tidak terkecuali!

Sambil mendesah frustrasi, lelaki itu menghempaskan


tubuhnya pada kursi kerja. Sepasang kaki jenjangnya
dibiarkan terjulur menyilang pada pinggiran meja. Kedua
sikunya bertumpu di atas lengan kursi dengan sebelah
tangannya memijit pelipis.

Penat, begitulah yang ia rasakan sekarang. Bagaimana


tidak? Dirinya kembali gagal dalam mendapatkan apa
yang bertahun-tahun dicarinya. Ia pikir, kedatangan
sekretarisnya beberapa saat lalu telah menjadi akhir dari
kekosongan hidup Naga. Namun, siapa sangka jika
jawabannya kembali sama seperti yang sebelum-
sebelumnya?

Seluruh informan yang ditemui orang kepercayaannya


ternyata gadungan! Mereka manipulatif. Seluruh informasi
yang diberikan tidak menyentuh "kebenaran" sama sekali.
Mungkinkah ini karma karena dirinya juga memanipulasi
semua orang dulu demi menyingkirkan "dia"?11

Siapa lagi?

Gadis tersebut seolah memiliki kekuatan magis untuk


menghilang seenaknya. Entah kaki tangan Naga yang
bodoh dalam melakukan tugasnya sampai kerap tidak
becus, atau sosok itulah yang justru terlalu kuat hingga
sulit ditemukan.

Naga mengusap wajahnya gusar. Pandangannya tiba-tiba


mengarah pada pigura yang selalu menghiasi meja
kerjanya sejak lama. Sampai kapan ia harus mencari?
Sampai kapan ia harus menjalani kehidupan dengan rasa
bersalah?11

"Forgive me," bisiknya pada sosok berbalut gaun baby


doll berwarna biru langit dengan bando kuping kelinci
yang menghiasi kepalanya.
Hanya itu yang ingin Naga ucapkan. Hanya permintaan
maaf yang ingin Naga sampaikan. Karena dirinya telah
menghancurkan masa depan gadis tak berdosa. Karena
dirinya telah membuat kesalahan yang sangat fatal.12

Sudut bibirnya tertarik saat sekelebat memori hinggap di


benak. Naga masih mengingat persis pertemuan terakhir
mereka. Ujung dari segala sandiwara yang dibuat lelaki itu
sendiri.

Usai mendapatkan perhiasan berharga tersebut, Naga


bergegas menemui Kina. Sementara di saku celananya
terdapat gelang milik sang mami, kedua tangannya justru
memegang bando kuping kelinci yang ia sengaja beli
untuk Kina.

Ya, sengaja. Agar dirinya punya alasan masuk ke dalam


kamar gadis itu.1

Tidak butuh waktu lama untuk Kina membuka pintu saat


Naga telah berdiri di depan dan memanggil lembut
namanya. Tidak sedikit pun ada kecurigaan di wajah
polos itu. Alih-alih demikian, Kina justru tersenyum lebar
menyambut abangnya.

"Hai. Udah mau tidur?" tanya Naga, basa-basi.


Kina menggeleng. Sesungguhnya beberapa saat lalu, ia
sudah merasa mengantuk. Wajar saja, sekarang sudah
memasuki pukul 23:00 WIB. Namun, melihat Naga di
hadapannya kini sontak membuat seluruh bagian dalam
tubuhnya mendadak segar bugar. "Belum. Aku nggak bisa
tidur," kilah Kina lantas mengulum senyum.

"Oh iya? Abang juga."1

Kina mengerjap-ngerjap. "B-Bang Naga lagi mikirin Abang


juga?"

"Hmm?" Sebelah alis Naga yang dihiasi parut—yang


entah mengapa membuatnya semakin hari semakin
menarik untuk Kina—meninggi. "Kamu mikirin Abang?"

Kina langsung menunduk dengan pipi merona. Ia bingung


harus merespons apa. Lidahnya tiba-tiba terasa kelu.
Pikirannya pun buntu. Terlebih, saat suara Naga
mendadak terdengar begitu rendah dan sedikit serak.

Apakah abangnya tersebut tidak sadar jika perlakuannya


cukup berbahaya untuk jantung sang adik angkatnya ini?

"Kitten? Abangnya nggak dibolehin masuk?"


"Eh?" Kina langsung tersadar bahwa keduanya masih
berdiri di ambang pintu. Segera saja ia mempersilakan
Naga masuk dan bergabung dengan lelaki itu, terduduk
pada pinggir ranjang. "Abang nggak tidur?" tanya Kina,
yang langsung membuatnya salah tingkah sendiri karena
jawaban Naga.

"Kan, tadi Abang bilang nggak bisa tidur. Cuma bedanya


bukan mikirin Abang sendiri, tapi kamu." Naga
memamerkan senyum memesonanya. Jangankan
manusia, semut pun mungkin akan terbuai dengan sosok
tersebut saking manisnya. "Oh iya, ini untuk kamu. Tadi di
kampus ada anak dosen yang pakai bando kayak gini,
terus Abang keingat kamu. Jadi, Abang beliin deh."

Bukan perhiasan. Bukan pula barang mahal. Akan tetapi,


dampaknya sanggup membuat dunia Kina berhenti
berotasi seketika.

Kedua mata Kina menatap bando lucu tersebut dengan


sangat berbinar. "I-ini, buat a-aku?"

"Iya. Bando manis, untuk gadis manis."

Kina mengulum senyum seraya meraih bando berwarna


putih terbagus yang pernah dilihatnya. "Kelinci," gumam
gadis itu bukan tanpa alasan. Karena dirinya pikir, Naga
akan memberikannya bando kuping kucing.

Seakan mengetahui isi kepala Kina, Naga meringis kecil.


"Ng ... tadi Abang cari yang kucing nggak ada. Lagipula,
yang kelinci juga cocok sama kamu. Imut."3

Tidak kuasa dibuat terbang oleh kata-kata Naga, Kina


segera mengenakan bando tersebut dan meminta
pendapat pada abangnya. "Bagus?"

"Bagus." Naga menyeringai. "Kalau nggak percaya, kamu


cek aja di cermin."

Tanpa curiga, Kina bergegas bangkit menghampiri full


body mirror yang ada pada lemarinya. Saat asyik
mematut diri dan memuji-muji kelucuan bando tersebut,
Naga bergegas melaksanakan aksinya. Kina yang tengah
memunggungi, tidak sadar bila Naga sama sekali tak
menaruh perhatian padanya.

Selesai.

Begitu gelang maminya telah tersembunyi di bawah


bantal Kina dengan sempurna, Naga segera berbalik
badan, menghadap sang adik yang masih
memunggunginya. Gadis itu tampak senang bukan main
sampai terlihat enggan menjauhi cermin.

Naga semakin puas. Selera gadis itu memang murah.


Naga tidak perlu bersusah payah mengeluarkan banyak
biaya hanya untuk menyanjung Kina. Cukup dengan kata-
kata manis dan benda-benda aneh seperti bando kelinci
tersebut.

Ya, tersenyumlah sampailah sampai enggan tersenyum


lagi. Batin Naga saat pantulan diri Kina dalam cermin
tidak kunjung meluputkan senyum. Karena besok adalah
akhir dari segalanya.

"Kitten?"

Dengan cepat, Kina berbalik badan. Suara berat itu


seolah dapat menghipnotis Kina dalam kondisi apa pun.
"Iya, Abang Naga?"

Kemudian Naga mengeluarkan ponselnya dari saku


celana. "Sini, Abang fotoin."

"Huh?"

"Buat kenang-kenangan. Kamu lagi lucu soalnya."24


Tanpa curiga, Kina menghampiri Naga. Tanpa firasat
buruk, Kina tersenyum pada Naga. Tanpa memikirkan hal
aneh, Kina menatap Naga layaknya ksatria. Tanpa gadis
itu sendiri sadari bahwa kepolosannya membawa Naga
pada kepuasan sepihak.

Benar, "kenang-kenangan". Sebab setelah semua ini


berakhir, Naga akan selalu menyimpan foto tersebut
dalam ponselnya dan menjadikannya sebagai suatu
kebanggaan. Sebuah penghargaan karena telah berhasil
meraih apa yang seharusnya tetap dan selalu menjadi
miliknya.7

Ketika seluruh rencana berhasil tanpa kecurigaan dari


orang-orang sekitar—khususnya mami dan papi, Naga
merasa ketenangan telah ia gapai. Namun, segalanya
sekejap berubah pada malam itu. Malam di mana
maminya tiba-tiba menemui Naga yang sedang bermalas-
malas ria di tempat tidur dan berbicara empat mata.

Keira datang bukan tanpa alasan. Bukan untuk sengaja


mengusik jam istirahat anaknya, tetapi untuk menemukan
kejelasan dari pengakuan Naga sendiri.
Benar, wanita itu dan suaminya tahu persis bahwa bukan
Kina pelakunya. Gadis polos tersebut dijebak. Baik Keira
maupun Raka pun tahu persis siapa yang berbuat
demikian karena hanya merekalah yang tidak termakan
tipuan Naga.

Hanya saja, naluri seorang ibu dalam dirinya


menginginkan Naga menjadi laki-laki yang bertanggung
jawab. Laki-laki yang bijaksana. Laki-laki yang mau
mengakui kesalahannya. Pemuda itu boleh sekali
melakukan baku hantam dengan kelompok lainnya seperti
biasa, tapi memanipulasi dan membodohi semua orang
bukanlah hal yang bisa dimaklumi.

Tanpa basa-basi, Keira—yang saat itu telah lengkap


dengan gaun tidurnya—menyandarkan bahunya pada
kusen pintu seraya bertanya. Ia sengaja menciptakan
jarak untuk Naga yang kini terduduk di ranjangnya agar
anak semata wayangnya tersebut tidak merasa
terintimidasi.

"Kamu yang lakuin itu ke Kina?"

"Maksud Mami?" tanya Naga, pura-pura tidak memahami.


Pangkal hidungnya berkerut sangat dalam seakan
pemuda itu tidak tahu menahu akan apa yang dibicarakan
maminya.

Ia sudah sangat yakin bahwa seluruh bukti yang merekam


segala rencananya malam itu, telah ia basmi. Bahkan,
seorang bibi yang tidak sengaja melihat aksinya saat
tengah mengendap-endap memasuki kamar orang tuanya
pun telah Naga janjikan macam-macam agar tidak
melaporkannya. Lantas, mengapa ia tetap menjadi
tersangka di mata maminya? Mungkinkah bibinya tersebut
yang membocorkan segalanya karena kasihan pada
Kina?1

"Mami tahu Naga ngerti maksud Mami." Keira


mengembuskan napas sambil menyilangkan kedua
tangannya di atas perut. "Sekali lagi Mami tanya, kamu
yang ngelakuin itu sama Kina?"

"Mami nuduh Naga?" Kemudian pemuda itu mendengus.


"Naga nggak mungkin ngelakuin hal itu. Mami tahu
sendiri, Naga udah nerima Kina sebagai adik. Buat apa
Naga ngelakuin hal sepicik itu?"
"Iya, picik." Keira manggut-manggut. "Kamu sadar
ternyata kalau itu hal yang sangat Mami dan Papi nggak
pernah duga bakal muncul dari kamu, Naga."

Rahang Naga terkatup rapat mendengarnya. "Mami


kenapa yakin banget Naga yang ngelakuin hal itu?
Kenapa Mami nggak pernah mikir kalau selama ini
kebaikan Kina mungkin cuma kedok?"

"Ucapan kamu itu ngebuat Mami semakin yakin kalau


kepura-puraan kamu selama ini nggak kunjung ada
perubahan baik." Keira menggeleng-geleng. "Mami pikir,
dengan ngebiarin kamu asyik mainin peran sebagai
abang buat Kina, bakal jadi kebiasaan bagi kamu."

Naga tertegun. Sialan! Ini bukan tentang "bukti" semata,


tapi sudah menyangkut perasaan orang tua. Kalau begini,
Naga tidak bisa mengelak lagi.2

"Naga?" panggil Keira saat anaknya hanya bergeming di


tempat. "Mami—"

"Iya, itu semua ulah Naga."

Seharusnya Keira sudah siap mendengarnya. Namun,


hati wanita itu tetap tercubit mendapati Naga tumbuh
menjadi sosok yang dibumbui akal bulus. Kina yang
malang. Entah bagaimana rasanya jika harus keluar dari
kendang harimau, masuk mulut buaya. Usaha Keira
dalam menciptakan keluarga sesungguhnya untuk Kina,
tidak pernah tergapai.1

Worst.

"Kenapa, Naga? Kamu masih cemburu sama Kina? Kamu


iri sama dia?" Keira menatap Naga sedih, kecewa, serta
bingung yang bercampur aduk. "Apa Mami harus ceritain
semuanya tentang Kina supaya hati kamu terbuka buat
dia?"

Naga berdecih. "Nggak tertarik," gumamnya, benar-benar


tidak peduli.

"Kamu harus tahu kalau hidup Kina sebelumnya jauh dari


kata baik-baik aja ...." Keira mulai bercerita meskipun
Naga tampak acuh tak acuh. Ia tidak lagi peduli akan
janjinya pada Kina untuk tidak menceritakan ini pada
Naga demi mendapatkan hidup tanpa bayang-bayang
masa lalu. Sebuah "keluarga" tidak lagi ada untuk gadis
malang tersebut.
Dan kisah penuh menyakitkan pun keluar dari mulut
Keira, membuat tenggorokan Naga mengering seketika.

Keira tersenyum pilu saat Naga hanya membatu di


tempat. Bahu lebar itu menegang, pertanda bahwa Naga
benar-benar terkejut dengan apa yang selama ini Kina
lalui.

"Mami minta maaf kalau nggak cerita ini ke kamu


sebelumnya. Mami dan Papi cuma pengin ngehargain
keputusan Kina buat ngelupain yang dulu-dulu."2

"Mami nggak bercanda?" bisik Naga, masih sulit


mencerna.

"Apa untungnya Mami ngada-ngada dalam kondisi begini,


Naga?" Keira tertawa getir. "Mami tahu, kamu cemburu
sama dia, tapi satu hal yang harus kamu tahu kalau Mami
dan Papi nggak pernah sedikit pun berniat nggak adil.
Kalaupun kamu merasa begitu, Mami minta maaf,
mungkin Mami sama Papi nggak sadar."8

"N-Naga—"

"Tapi kamu tenang aja, kamu udah nggak akan ngelihat


Kina lagi."
Naga terkesiap. "M-maksudnya?"

"Seperti yang selama ini kamu harapin, Naga. Kina nggak


akan muncul di hadapan kamu lagi dan buat kamu risau."

"K-Kina ..." Naga menelan ludah sejenak sebelum


melanjutkan, "nggak dihukum, kan, Mi?"

"Dia nggak salah, Naga. Bukan dia yang lagi dihukum."

Fakta itu tidak dapat ditampik. Naga memang sedang


dihukum, saat ini juga. Ia telah melakukan kesalahan
besar. Ia telah menjebak gadis tidak bersalah, gadis tidak
berdosa, gadis yang terlalu lugu untuk menghadapi sisi
binatang pada diri Nagara Kusuma.

"T-terus, Kina-nya di mana?" Entah mengapa Naga


penasaran. Bila Keira memberi tahu, mungkin pemuda itu
akan segera pergi menemui Kina dan berlutut upaya
meminta maaf. Sayangnya, jawaban sang mami sama
sekali tidak memuaskan. Sama sekali tidak melegakan.

"Yang pasti jauh dari kamu, Naga. Cuma tenang aja, Papi
sama Mami udah ngirim Kina ke tempat yang layak. Dia
nggak akan lagi muncul di hadapan kamu," tegas Keira
lantas bersiap berbalik badan dan menutup pintu yang
terbeliak lebar.6

Namun, sebelum tertutup rapat, Keira kembali


mengucapkan sesuatu yang sulit ditangkap oleh Naga
karena sangat lirih. Nyaris seperti tiupan angin semata.

"Biarin Kina tenang. Kamu terlalu berbahaya buat dia."

Sejak saat itu, Naga bertekad untuk mencarinya. Akan


tetapi, tidak sedikit pun ia berkesempatan untuk
mendapatkan informasi tentang gadis bernama Kinara
Angelina meski dirinya telah sukses dan memiliki
beberapa orang kepercayaan yang mampu
membantunya.1

Takdir seolah tidak jera dalam menghalau niatan baiknya.


Naga dihukum hingga bertahun-tahun lamanya.1

Dan kini, ia rasa telah cukup. Pemuda itu telah menyesal.


Pemuda itu telah terkukung dalam hidup penuh resah.
Naga hanya ingin menebus kesalahannya. Naga hanya
ingin menjadikan penderitaan Kina sebagai bahagia.12

Mungkinkah? Tentu. Bukan Nagara Kusuma namanya jika


mudah menyerah. Jika ia bisa menyingkirkan Kina dulu,
maka dirinya juga mampu mendatangkan gadis itu
kembali padanya. Pasti.
Bab XVII | Krisan

Bunyi hak rendah pantofel hitamnya memenuhi lorong


saat ia melangkah. Naga memasuki gedung yang
didominasi oleh warna putih tersebut dengan perasaan
riang. Di tangannya terdapat sebuah bouquet
chrysant berwarna putih.

Buket ini Naga pesan khusus dari florist yang cukup


ternama. Sekalipun harganya mencapai delapan ratus
ribu untuk 20 tangkai, itu bukan masalah bagi Naga
karena buatannya sangat memuaskan. Cantik. Satu kata
yang keluar dari mulutnya saat menerima bunga itu.

Bukan tanpa alasan Naga memilih krisan putih sebagai


kedatangannya kembali hari ini. Krisan memiliki makna
yang salah satunya merupakan "umur panjang". Putih
melambangkan kesucian. Sedangkan 20 adalah tanggal
lahir seseorang yang ingin ditemuinya. Naga berharap,
dengan memberikan krisan putih terus menerus setiap
dirinya berkunjung, orang yang dituju akan lekas sembuh
dan panjang umur sehingga mampu bertemu tanggal 20
Mei setiap tahunnya.9
Sesampainya Naga di depan pintu, ia segera memasuki
ruangan usai memastikan ruangan sedang sepi dari balik
kaca. Senyumnya lantas merekah begitu tatapan mereka
bertemu.

"Bunga lagi?"

Naga terkekeh. "Simbol doa. Biar lo cepat sembuh dan


panjang umur."

Bingbong tersenyum masam. Seberapa pun Naga


bersikukuh bahwa bunga tersebut akan melambangkan
kehidupannya, Bingbong tetap tidak bisa mengelak
takdir.17

"Jangan terlalu berharap, Ga. Gue udah capek."

Naga meletakkan buket bunga tersebut di atas kabinet


sisi tempat tidur tanpa menghiraukan ucapan Bingbong.
Telinga Naga memang selalu mendadak tuli ketika
Bingbong terdengar pasrah dengan keadaan. Seolah
tidak ada kesempatan untuk melawan takdir.

Kanker lambung. Penyakit brengsek itulah yang


menggerogoti tubuh Bingbong. Untuk seukuran
sahabatnya yang dulu bugar dan gempal, kini tempak
seperti kurang gizi. Pipinya yang selalu chubby, kini
tampak sangat tirus.

Semua berawal dari permasalahan keluarga. Bingbong


yang selalu mendapat hinaan akan fisiknya pun bertekad
untuk melakukan diet ketat. Mereka bilang, semua orang
di sekitarnya berkata bahwa bentuk tubuhnya lah yang
membuat perempuan enggan melirik. Sayangnya, diet
yang ia lakukan sangatlah bersinggungan dengan
kebenaran. Saking tertekannya, Bingbong tidak peduli
dirinya sakit. Sering naiknya asam lambung, ia biarkan
demi mendapat tubuh ideal. Demi diterima oleh keluarga.

Hingga tubuhnya tidak dapat menoleransi kembali.


Bingbong drop. Dan di sinilah lelaki itu sekarang.
Berminggu-minggu menjalani pengobatan tanpa seorang
pun yang peduli. Keluarganya? Entahlah. Naga masih
ragu jika Bingbong memiliki keluarga selain dirinya dan
Tiger.

Ah, andaikan Tiger masih di Indonesia bersama mereka,


Bingbong pasti akan lebih semangat menjalani hidup
demi para sahabatnya. Sayang, nasib Tiger kurang lebih
seperti Bingbong. Ia terpaksa harus bekerja di negeri
orang demi membuktikan pada abangnya bahwa laki-laki
itu sanggup dan bukan adik yang hanya merepotkan.

Impian Tiger sejak lama memang ingin membanggakan


sekaligus mengubah pandangan sang kakak
terhadapnya. Mendengar hal itu, Naga dan Bingbong pun
hanya bisa merelakan kepergian Tiger.

Memang, banyak yang berubah sejak 6 tahun terakhir.


Naga pikir keadaan persahabatan mereka akan sama
hingga tua nanti. Sedih rasanya saat harus dipisah oleh
jarak dan keadaan.1

Melihat ketidakpedulian Naga akan sikap pesimisnya,


Bingbong berusaha memecahkan keheningan kembali
dengan pembahasan yang selalu bisa mencuri perhatian
seorang Nagara. "Omong-omong, gimana soal Kina?
Udah ketemu?"

Gerak Naga terhenti. Lesu, lelaki itu menggeleng seraya


terduduk di kursi samping ranjang. "Belum. Data yang gue
terima minggu kemarin lagi-lagi palsu."1

Bingbong menatap Naga dengan penuh iba. Sahabatnya


itu memang sekejam monster, tapi itu dulu. Kini Naga
telah berubah. Mereka telah berubah.
Sejak kepergian Kina, Naga tidak lagi menjadi buas.
Lelaki itu bahkan menemui berbagai musuhnya dan
meminta maaf. Menyingkirkan gengsi dan ego. Ia pikir,
dengan begitu Tuhan akan memaafkannya. Dengan
menjadi lebih baik, takdir akan membawanya pada ujung
penderitaan. Namun, hukuman masih tetap setia
berlanjut.2

Hingga kini, entah sampai kapan.

"Gue yakin Kina udah maafin lo. Dia anak baik," ucap
Bingbong tanpa keraguan sedikit pun.

Ya, Naga telah menceritakan segalanya dulu pada kedua


sahabatnya terkait apa yang benar-benar terjadi. Fakta
bahwa sesungguhnya hal yang menyebabkan Kina
"tersingkir" dari istana Kusuma adalah karena perbuatan
Naga. Ia telah berbuat licik pada gadis lugu tak berdosa
itu.

Bingbong dan Tiger tentu murka mendengarnya. Namun,


tidak sekalipun kepalan mereka melayang pada wajah
Naga. Karena seberapa kuat dan seberapa banyak
pukulan yang mendarat pada Naga, tidak akan mengubah
keadaan. Padahal, Naga sangat berharap ia akan babak
belur di tangan mereka. Naga sangat berharap ia
meringis kesakitan.

Selama ini dirinya selalu dihadapkan dengan luka fisik


yang terlihat dan dapat disembuhkan. Lalu Kina
membuatnya berbeda. Gadis itu menciptakan luka di hati
yang tidak mampu dipamerkan pada dunia. Luka yang
tersembunyi di lubuk hati yang membuatnya lemah seiring
waktu akibat tidak kunjung sembuh.1

"Gue nggak cuma butuh maaf." Naga mengembuskan


napas. "Gue harus pastiin dia bahagia."

Bingbong manggut-manggut. "Gue ngerti posisi lo,


ngerasa bersalah itu nggak enak. Tapi gimana kalau
seandainya Kina udah bahagia?"

Sebagai sahabat yang peduli, Bingbong hanya tidak ingin


Naga salah langkah. Ia takut Naga keliru nantinya. Jikalau
memang takdir terus menerus menghalau usaha Naga
untuk mengetahui keberadaan Kina, bukankah itu
pertanda bahwa mungkin Naga harus merelakan
segalanya? Mungkin saja Tuhan secara tidak langsung
memberi peringatan pada Naga jika Kina telah memiliki
kehidupannya sendiri. Menjauh dan tidak muncul di
hadapan Kina adalah pilihan yang benar.

"Gue nggak bermaksud bikin lo putus asa. Gue cuma


mau bilang, kadang kita harus menyerah. Bukan karena
kita nggak mampu, tapi karena ada pihak yang mungkin
berharap kita berhenti sebab begitu lebih baik. Untuk kita,
dan mereka," ujar Bingbong, sekaligus memantapkan diri
sendiri.13

"Lo tenang aja. Gue janji, kalau Kina emang udah


bahagia, gue akan berhenti muncul di kehidupan dia detik
itu juga." Naga meraih tangan Bingbong yang terbebas
dari infus dan menggenggamnya hangat. "Tapi kalau
belum, jangan larang gue buat ciptain keluarga yang
bahagia untuk dia. Oke?"6

Bingbong tertawa kecil. "Kalimat lo kayak lagi bahas


pujaan hati."1

Naga hanya tersenyum simpul. Ia juga tidak tahu


mengapa berucap demikian. Ia belum tahu bagaimana
perasaan sesungguhnya pada Kina. Yang jelas, sejak
kepergian gadis malang tersebut, Naga sudah tidak
berhasrat untuk menjalin hubungan dengan siapa pun
walau hanya main-main. Namun, Naga pikir mati rasa
yang dialaminya murni karena rasa bersalah. Ternyata
lebih dari sekadar itu.

Kina turut mengisi ruang di hati.13

Dan pencarian Naga pada Kina sekaligus ingin


membuktikan kebenaran akan perasaannya. Kejar atau
lepas, itu urusan nanti. Utamanya saat ini adalah
mengetahui di mana Kina berada.
Bab XVIII | Ensiklopedia

Secangkir kopi hangat diletakkan manis oleh jemari


mungil nan lentik.

Laki-laki di hadapannya tersenyum hingga kedua


matanya menyipit. Eye smile yang lucu. "Makasih,"
ucapnya tanpa melepaskan pandangan dari wajah sang
pemilik rumah.

"Ini cuma kopi," balas gadis itu, heran.

Elang, nama lelaki dengan perawakan jangkung dan agak


kurus tersebut selalu kelihatan bahagia tiap kali ia
membuatkan sesuatu untuknya meski sederhana.
Jangankan kopi, air putih pun bisa menyenangkannya
asal yang memberikannya adalah orang yang sama.

"Apa pun yang kamu sediain, selalu jadi spesial, Kina."


Kemudian Elang menepuk-nepuk sisi sofa sebelah kirinya
yang kosong. "Sini duduk. Mas ada sesuatu buat kamu."44

Pipi gadis bernama Kina itu merona. Malu-malu, ia


bergabung bersama Elang, laki-laki yang selalu bisa
membuatnya merasa nyaman karena ketulusan. Sosok
berambut cokelat gelap model the shadow perm, kulit
cerah, hidung mancung yang cukup tajam, juga mata sipit
berwarna hitam tapi memiliki sorot yang hangat membuat
penampilannya kurang cocok dengan namanya.

Setidaknya itu menurut Kina sendiri. Kalau boleh dibilang,


Cendrawasih lebih cocok disandang oleh lelaki di sisinya
saat ini karena sangat indah.

Segera, Elang membuka bingkisan yang ia bawa dan


menyerahkan isinya pada Kina. "Ini buat kamu. Tadi
nggak sengaja lihat ini pas lagi iseng ke toko buku."

Lagi-lagi Kina tersentuh akan perlakuan Elang. Seraya


menerima buku ensiklopedia berjudul "Monster
Mengerikan dari Dunia Mitos dan Fiksi" dengan kedua
tangannya, gadis itu mengulum senyum. Senang, sangat
senang ketika ada yang memberinya hadiah sederhana
seperti ini. "Makasih, Mas Elang. Pasti aku baca!"
antusias Kina lantas mendekap buku tersebut di dada.1

Gemas karena respons Kina, tangan Elang terulur untuk


mengacak pelan rambut gadis itu. "Sama-sama, anak
ajaib."1

Bibir Kina sontak mencebik. "Kok anak ajaib?"


"Jangan salah paham, itu pujian kok." Elang terkekeh.
"Habisnya kamu unik. Di saat banyak cewek seumuran
kamu sukanya koleksi novel atau komik, kamu justru
demen buku-buku ensiklopedia tentang monster-monster
nyeremin gitu. Emangnya nggak takut mimpi buruk?"

"Nggak dong!" Kina menyengir lebar. "Aku justru senang


kalau didatangin monster-monster itu dalam mimpi."3

"Aku bilang juga apa. Kamu unik. Padahal, kalau takut,


aku siap jadi pelindung kamu."

Kina terkikik geli. "Mas Elang, kan, burung. Mana bisa


lawan monster kayak begini?" godanya, usil.9

"Hey, kamu belum tahu aja kalau Mas ini rajanya para
elang. Jangankan monster, dunia bisa Mas taklukin!"
gurau Elang, mengikuti alur pembicaraan Kina.3

"Ah, yang benar?"

"Serius."

"Iya deh, percaya banget aku mah." Kina manggut-


manggut. "Omong-omong, Mas, aku besok pindah lagi ke
cabang yang di Jakarta."

Elang mengernyit. "Lho, balik lagi?"


"Betul."

"Hmm ...." Elang berdeham samar. "Orang itu masih nyari


kamu?"

Kina menghela napas, lelah. "Sayangnya begitu. Entah


kapan berhenti."1

"Kina, Mas mau tanya boleh?"

"Iya?"

"Apa dia berbahaya?" tanya Elang, sangat hati-hati.


"Maaf, bukan Mas mau ikut campur. Tapi seandainya
kamu terganggu, Mas pasti bisa bantu."3

"Mas Elang tenang aja. Kan, masih ada Papi aku yang
urus. Papi aku nggak akan biarin orang itu nemuin
keberadaan aku. Itulah kenapa, aku dipindah-pindahin."
Mau tidak mau sudut bibir Kina tertarik mengingat
kebaikan orang tua angkatnya yang sampai kini masih
peduli. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan,
bagaimana kehidupannya tanpa hadirnya pasangan
Kusuma.

Peristiwa 6 tahun lalu, di mana Kina sangat terkejut


mendapati dirinya dituduh oleh seseorang yang teramat ia
percaya. Seseorang yang ia sangat kagumi. Seseorang
yang selalu menjadi pahlawan baginya.

Nahas, semua itu hanya kamuflase. Kebencian yang


mendarah daging membuat sang monster menusuk
makhluk tak bersalah dari belakang hingga merasakan
luka terdalam.3

Untunglah, pasangan Kusuma memihak padanya


sekalipun ia harus keluar dari istana megah itu. Bukan
karena ingin mengusir, justru sebaliknya. Mereka ingin
mengamankan Kina dari kejahatan.

Ke mana pun monster itu mencarinya, ia berhasil


disembunyikan. Mungkin sekarang "bahayanya" Kina
tersebut telah memiliki kuasa hingga bisa dengan mudah
menemukan Kina. Meski kenyataannya tidak segampang
itu, karena yang berpihak padanya lebih berwenang. Papi
Raka benar-benar menepati janji pada Kina dengan selalu
mengawasi sang monster agar tidak lagi menghantui
kehidupannya.

Selama beberapa tahun Kina belajar menjadi "orang


dewasa" yang harus mandiri demi bertahan dalam
kerasnya dunia. Meski dengan bantuan sang papi—lagi
dan lagi—Kina cukup dikatakan sukses dalam
beradaptasi. Ia bahkan juga mampu memenuhi
kebutuhan hingga keinginannya dari jerih payah sendiri
sekarang. Seperti kontrakan sederhana yang ia tinggali
kini contohnya. Salah satu pencapaian yang tidak
menggunakan bantuan Kusuma sepeser pun. Ya, hasil
dari menjadi pelayan di restoran bintang lima ternama
yang tidak lain merupakan milik ayah angkatnya tersebut.9

Sky Lounge, di sanalah ia bertemu dengan Elang


Nirwana. Seorang chef yang diam-diam menaruh hati
pada Kina, pelayan yang sangat cekatan dalam bekerja.
Parasnya yang cantik dan natural, menambah daya tarik
gadis bernama lengkap Kinara Angelina. Belum lagi saat
pertama kali bertemu, gadis itu masih mengenakan behel.
Menjadikannya pemilik senyum termanis yang pernah
Elang lihat.

Namun, kisah cintanya tidak semulus itu karena kerap


dipisahkan jarak. Baru berapa bulan pendekatan, Kina
sudah dipindahkan bos besar ke cabang lain, kemudian
balik lagi, lalu pindah lagi. Hal yang membuat Elang
termasuk beberapa pekerja, khususnya di restoran pusat
yang berada di Jakarta, bingung pada awalnya.
Untunglah papi Raka mampu menutup mulut semua
kepala yang bertanya-tanya dengan kenaikan gaji.
Kecuali Elang, yang mendapatkan informasi khusus dari
Kina langsung walau tidak benar-benar terbuka.1

"Enak ya jadi Papi kamu. Hal mustahil pun jadi mungkin


banget kalau sama beliau," puji Elang sungguh-sungguh.
Menjadi bos besar memang bisa mempermudah
kehidupan.

"Mas Elang juga enak. Jadi chef, kan, pekerjaan yang


wow! Seenggaknya, bukan pelayan kayak aku."

"Yang penting pekerjaan itu mulia. Pelayan juga hebat


lho, nggak semua orang punya kesabaran ekstra buat
ngelayanin customer yang suka rewel."3

"Tapi nggak kayak Mas Elang yang nyuruh-nyuruh koki.


Aku malah yang disuruh-suruh."

Sesungguhnya, Kina sama sekali tidak masalah menjadi


pelayan. Justru dirinya sendirilah yang menginginkan
posisi tersebut saat papinya menawarkan pekerjaan.
Menurut Kina, dirinya yang tidak punya ijazah dan tidak
pernah bersekolah secara resmi, merasa adil karena
ditempatkan pada tugas yang ia mumpuni. Benar yang
Elang katakan, menjadi pelayan memang pekerjaan
mulia. Semua pekerjaan yang tidak merugikan diri sendiri
maupun orang lain adalah baik.

Lantas mengapa dirinya berucap demikian? Entahlah.


Kina hanya merasa teduh jika Elang sudah mengeluarkan
kalimat-kalimat yang menenangkannya. Karena itulah
dirinya mungkin tidak sengaja "memancing" Elang dengan
membanding-bandingkan mereka.

"Bukan disuruh, Kina, tapi bekerja sama."

"Bahasa halusnya, kan?"

Elang tertawa. Tindakan itu membuat pandangannya


tidak sengaja mengarah pada jam dinding di ruang tamu
kecil rumah Kina. "Astaga, udah mau jam 11 ternyata."
Lalu ia meringis, tidak enak hati. "Maaf ya, Kina. Arloji
Mas ketinggalan, jadi nggak ingat waktu."

"Nggak apa-apa kok. Terus Mas Elang mau pulang ya?"

"Iya dong. Nggak baik bertamu malam-malam. Nggak


enak juga sama tetangga kalau ada yang lihat." Sebelum
lelaki itu bangkit, terlebih dulu ia menenggak habis kopi
yang ternyata telah dingin. "Ahh ... kopi terenak ini."9
Refleks, Kina meninju pelan lengan Elang dengan
kepalannya yang tidak seberapa. "Pembual. Kopi
seorang chef pasti lebih nggak ada duanya."

"Kamu ini, terlalu meninggikan profesi Mas." Elang


berdecak seraya menggeleng-geleng. "Mas, kan, bukan
barista."

"Sama aja, di dapur."

"Iya, ya udah." Elang akhirnya mengalah agar tidak


semakin mengulur waktu. Selain karena alasan yang
barusan ia sebutkan, lelaki itu juga enggan membuat jam
istirahat Kina tersita lebih banyak. "Kalau gitu, selamat
malam ya, Kina. Jangan lupa kunci pintu dan cek kompor
sebelum tidur."3

Kepala Kina otomatis berayun ke atas dan ke


bawah. "Yes, Chef."1

"Panggil Mas Elang aja."

Kina terkekeh. Elang memang tidak suka jika dirinya


memanggil lelaki itu dengan sebutan "chef". Menurut
Elang sendiri, hal tersebut seakan memberikan jarak bagi
mereka berdua.
"Iya deh, Mas Elang."

Eye smile lelaki itu kembali terbit di wajah


tampannya. "Bye," pamit Elang lantas berjalan keluar.12

"Bye!" balas Kina, disusul dengan pintu yang tertutup.

Tidak lama kemudian, gadis itu mendengar deru mobil


Elang perlahan menjauh. Bergegas, Kina pergi ke dalam
kamarnya dan membuka plastik bening nan tipis yang
membungkus buku di tangannya. Tidak butuh waktu lama
untuk melakukannya, karena beberapa detik kemudian,
buku itu telah bergabung bersama ensiklopedia lainnya di
atas ambalan.

Kina tersenyum saat koleksinya bertambah. Ini sudah


malam, Kina berjanji akan membacanya besok selepas
bekerja.

Menambah wawasan tentang makhluk mitologi dari


beberapa kepercayaan yang dikenal dengan sebutan
"naga".
Bab XIX | Gugur

Pagi itu Naga dibangunkan dengan dering ponsel dari


panggilan yang tidak pernah diharapkan. Rumah sakit di
mana Bingbong dirawat tiba-tiba saja menelepon dan
memberi kabar buruk. Terburuk.9

Naga yang sulit percaya—ralat, tidak akan percaya—pun


bergegas mendatangi Bingbong, berniat memastikan
sendiri bahwa sahabatnya tersebut hanya
melakukan prank konyol padanya. Karena jika iya, sama
sekali tidak lucu!

Tanpa peduli pesan singkat dari sekretaris Yan yang


mengingatkannya bahwa ada meeting dua jam lagi, mobil
Naga bergegas meluncur membelah jalanan luas.
Beberapa kali ia terjebak kemacetan di perempatan yang
membuatnya refleks memukul roda kemudi.

Dadanya berdebar tidak nyaman. Hatinya sangat gelisah.


Tidak, ia tidak ingin kehilangan lagi! Batinnya memaksa,
entah pada siapa.
Nahas, sesampainya di sana, jawaban yang Naga terima
sangat bertolak belakang dengan keinginannya. Keluarga
Bingbong telah berkumpul menangisi kepulangan
sahabatnya tersebut. Dan Naga, hanya bisa berlutut.
Meluruh di lantai bersamaan dengan air matanya saking
tak percaya.42

Tidak masuk akal! Belum ada genap seminggu ia


menemui Bingbong tempo lalu, hari ini Naga sudah
kehilangannya.1

Bahu Naga merosot. Kedua telapak tangannya bertumpu


di atas paha dengan napas tersengal-sengal. Apakah
Bingbong telah mengkhianatinya? Berbohong padanya
untuk tetap berjuang melawan penyakit sialan itu?

"Kadang kita harus menyerah. Bukan karena kita nggak


mampu, tapi karena ada pihak yang mungkin berharap
kita berhenti sebab begitu lebih baik. Untuk kita, dan
mereka."12

Naga tersentak saat ucapan Bingbong di pertemuan


terakhir mereka kembali terngiang dalam benak. Kontan
rahangnya mengeras. Dengan mata yang memerah
karena tangis, ditatapnya tajam orang-orang yang kini
tampak terisak di depan ruangan Bingbong.

Semua ini karena mereka. Kalau saja lebih peduli dengan


Bingbong, sahabatnya pasti masih ada di sini.

Bingbong menyerah. Bukan karena dia tidak mampu


melawan penyakitnya, tapi karena ada pihak yang
mungkin berharap lelaki itu untuk berhenti.

Hidup dengan tidak adanya dukungan bukan hal sepele.


Orang sehat pun akan jatuh sakit ketika menerimanya.5

Naga mengusap wajahnya sekaligus menyingkirkan air


mata. Dengan bahu yang sudah kembali tegap, ia berdiri
dan mengeluarkan benda pipih dari dalam saku celana.
Tanpa meluputkan pandangan dari keluarga mendiang
sahabatnya, Naga menempelkan ponsel pada telinganya
upaya menghubungi sekretaris Yan.

"Muat berita di media sosial soal kabar Bingbong. Saya


mau lihat seberapa kuat mereka menghadapi hukuman
sosial."

Tanpa menunggu sekretaris Yan merespons terlebih dulu


di seberang, Naga segera memutuskan sambungan.
Senyuman sinis pun tampak di wajah buasnya. Biarlah
masyarakat yang membalas perbuatan mereka. Biarlah
dunia yang menghakimi mereka. Agar keluarga itu tahu
bagaimana pahitnya dirisak.

Naga tidak peduli jika mereka telah menyesal. Tidak mau


peduli jika air mata mereka sungguhan. Sama sepertinya
yang harus dihukum meskipun telah menyadari
kesalahannya. Karena penyesalan dan hukuman adalah
dua konteks yang berbeda.

Bingbong mungkin tidak mampu melakukannya semasa


hidup, maka Nagalah yang akan melaksanakan
dendamnya. We'll see.3

***

"Iyaaa, sebentar."

Kina langsung tersenyum lebar begitu papinya muncul di


depan pintu. "Papiii! Kok ke sini nggak bilang-bilang dulu
sama aku? Tumben." Kemudian lehernya terjulur-julur
sambil berjinjit, mencari sosok lain di belakang pria itu.
"Mami mana?"
"Cuma Papi, Kina. Mami lagi sibuk ngehibur Bang Naga di
rumah."

"Ngehibur?"

Raka hanya tersenyum. "Boleh Papi masuk dulu?"

"Oh iya!" Kina langsung menyingkir saat ia menyadari


bahwa keduanya masih berada di ambang pintu. "Silakan,
Pi. Mau minum apa?"

"Nggak usah repot, Kina. Papi cuma mau ngabarin


sesuatu."

"Oh?" Mau tidak mau, Kina penasaran. Ini pasti tentang


Naga. Pikirnya menerka dengan tepat. "Bang Naga lagi
sedih kah?" tanya gadis itu tatkala papinya telah duduk
terlebih dulu pada salah satu sofa ruang tamu kecilnya,
lalu disusul oleh Kina sendiri di seberang.

"Bingbong ..."

"Bang Bingbong?"

Papinya mengangguk. "Iya, kita lagi bahas Bingbong yang


sama."

"Kenapa, Pi? Bang Bingbong baik-baik aja, kan?"


Tiba-tiba saja jantung Kina berdegup cepat. Menurut
informasi tentang Bingbong yang terakhir kali diterimanya
dari papi juga, lelaki itu mengidap sakit parah. Dan fakta
jika Naga selalu ada untuk sahabatnya tersebut pun Kina
tahu. Hanya saja, semuanya sudah cukup lama. Kina
tidak lagi update soal Bingbong karena memang yang ia
butuhkan hanya lokasi-lokasi terlarang untuk dirinya
kunjungi. Di mana pun Naga berada, di situ Kina tidak
boleh hadir.

"Bingbong udah berpulang, Kina. Tepat kemarin pagi."1

Kina tercengang. "A-apa?"

Raka mengembuskan napas, berat. "Iya. Bingbong udah


nggak ada. Abang Naga udah benar-benar dihukum."9

Dada Kina terasa sesak mendengarnya. Ia membenci


Naga, monster buas yang meluluh lantakkan
kepercayaannya pada lelaki itu sendiri. Namun, bukankah
dengan menghukum Naga selama bertahun-tahun seperti
ini membuat dirinya tidak jauh berbeda dengan sosok
tersebut?5

Lalu, apa Kina siap untuk melepas segala perisainya


selama ini?
Gadis itu menghirup oksigen dalam-dalam sebelum
akhirnya membuangnya perlahan seraya meyakinkan diri.
"Papi ..."

"Ya?"

Kina berdeham kecil sebelum melanjutkan, "Kalau begitu,


mulai detik ini Papi nggak perlu repot pindah-pindahin aku
lagi. Biarin juga sekretaris Bang Naga ngelakuin tugas
yang seharusnya."

Raka terkejut mendengarnya. Punggungnya yang tadi


bersandar sampai maju dan menegang. "Kamu yakin,
Kina? Kamu udah nggak takut sama Bang Naga?"
Mendadak pria itu berharap kepala Kina akan berayun ke
atas dan ke bawah. Sebaliknya, kepala itu malah
menggeleng.

"Masih. Cuma aku ngerasa kalau kehilangan yang Bang


Naga alamin itu adalah sinyal dari Tuhan buat aku
ngehadapin semuanya sendiri sekarang," ujar Kina, apa
adanya. Lagipula ia sudah mempelajari banyak hal
tentang monster.1

Kina memang sudah khatam akan informasi makhluk


mitologi yang dikenal sebagai naga. Berbagai daerah
dengan kepercayaan masing-masing Kina hafal di luar
kepala. Akan tetapi, ia selalu merasa tidak pernah siap
untuk menghadapi Naga yang asli selama ini. Meskipun
sosok tersebut berwujud tanpa sayap, tanpa taring, dan
tanpa api yang keluar dari mulutnya, lelaki itu sepuluh kali
lipat lebih menyeramkan dibanding hewan mistis yang
Kina pelajari.

Dan sekarang mungkin adalah waktu yang tepat untuk


keluar dari persembunyian. Waktunya untuk
mengayunkan pedang serta menjinakkan sang naga bila
perlu.7

Papi tersenyum. Walaupun keinginannya tidak terkabul,


setidaknya Kina telah jujur dan mau berusaha. Bukankah
itu adalah makna dari kata "pemberani" sesungguhnya?
Bukan tentang ketidakhadiran rasa takut, tapi ketika mau
melawan ketakutan tersebut.1

"Papi bangga sama Kina. Kamu adalah bukti untuk dunia


kalau kualitas seseorang nggak bisa diukur dari masa
lalu." Raka sangat senang Kina tumbuh menjadi gadis
yang perlahan mandiri. Masa lalu yang buruk tidak
menjadi alasan bagi Kina untuk terus berkembang,
khususnya dengan kehidupannya bersama Margie dulu.
Sebagai orang tua, ia merasa berhasil. Begitu juga
dengan istrinya yang pasti akan terharu mengetahui hal
ini.3

"Berkat Papi dan Mami." Senyum lebar Kina terbit dan


menjalar hingga pada kedua matanya. Tidak pernah lupa
akan fakta jika segala kemudahan yang mengalir di
sekitarnya, terjadi karena kepedulian besar dari pasangan
Kusuma.

"Memang dasarnya kamu anak baik dan hebat."


Kemudian Raka bangkit dari tempatnya saat dirasa
urusannya telah selesai, lantas diikuti oleh Kina. "Ya
udah, kalau begitu Papi pamit pulang ya. Tapi jangan
lupa, walaupun mulai detik ini kita punya kesepakatan
baru, kamu tetap boleh minta tolong ke Papi atau Mami,
oke? Nggak usah ragu."1

Kina manggut-manggut. "Iya, Pi. Nanti kalau aku ngerasa


terancam, aku langsung telepon Papi." Gadis itu
mengacungkan jempolnya, mantap.1

Raka ingin membalas bahwa satu-satunya ancaman yang


ada saat ini justru bukan karena kemunculan Naga pada
hidup Kina, melainkan sebaliknya...1
Kehilangan Kina dalam hidup Naga.

Hanya saja, Kina tidak akan percaya itu. Raka pun tidak
memaksa. Biarlah pelan-pelan gadis itu memahaminya
sendiri. Alhasil, sang papi pun hanya bisa tersenyum
simpul membalasnya.
Bab XX | Kunci

Setibanya di bandara Soekarno Hatta, lelaki itu bergegas


menghampiri taksi dan menunjukkan alamat pada sang
supir akan tempat tujuannya.3

Dalam perjalanan, Tiger segera merogoh ponsel dalam


saku kemejanya upaya mengirimkan pesan pada Naga.

Tiger:
Bro, on my way. See ya there!1

Tidak lama balasan dari Naga pun masuk. Sahabatnya itu


menawarkan Tiger untuk istirahat terlebih dulu mengingat
perjalanan yang ia tempuh tidaklah dekat. Namun, Tiger
memilih mengabaikan saran itu. Tiger ingin bergegas
menemui peristirahatan terakhir Bingbong.4

Sesampainya, Tiger menyuruh supir taksinya untuk


menunggu di pelataran parkir dengan iming-iming akan
diberikan tips besar. Ia tidak ingin repot dengan
membawa serta kopernya turun.
Dengan langkah panjang, Tiger sudah sampai di depan
tugu lokasi yang Naga bagikan. Namun, sosok
sahabatnya tidak dapat ia temukan di mana pun.

Alih-alih Naga, Tiger justru melihat sosok lain. Seorang


gadis dengan selendang hitam dan sunglasses berwarna
senada yang menutupi sebagian wajahnya, sedang
bersembunyi di balik batang pohon yang ukurannya dua
kali lebih besar dari tubuh ramping itu.6

Curiga akan gelagatnya, perhatian Tiger pun jadi


mengikuti arah pandang sang gadis. Dan betapa
terkejutnya ia menyadari bahwa Nagalah yang sedang
sosok itu amati.

Posisi sang gadis yang tengah memunggungi Tiger


membuat ia tidak menyadari bila ada seseorang yang
ingin menghampirinya. Namun, sebelum lelaki itu sempat
menggapainya, ponsel dalam tas tangan mininya bergetar
menandakan panggilan masuk.1

Tiger kesal bukan main saat gadis itu bergegas pergi


sebelum ia membawa "sang penguntit" pada sahabatnya.
Tapi kekesalannya tidak bertahan lama setelah sesuatu
yang berkilau tertangkap oleh sudut matanya.
Di bawah pohon, tempat di mana gadis itu berdiri
sebelumnya, sebuah kunci rumah dengan gantungan
berbentuk inisial nama tergeletak tak berdaya di atas
rerumputan serta daun-daun kering yang berjatuhan.
Tiger tersentak saat menyadari bahwa huruf tersebut
sangat tidak asing.

K.

Mungkinkah? Benaknya langsung tertuju pada seseorang.

Rasanya Tiger ingin mengejar gadis itu hanya untuk


memastikan, tapi terik matahari yang semakin menyengat
membuat ia tidak tega jika harus membuat Naga
menunggu lama. Jadilah, ia simpan dulu kunci tersebut
dalam kantung celana.1

Tiger bergegas menghampiri Naga yang tengah


bersimpuh di samping makam Bingbong.

"Ga." Tiger menepuk ringan bahu Naga lantas mengikuti


posisi sahabatnya. "Sori, baru bisa datang."

Naga tersenyum memaklumi. "Nggak apa-apa."


Tiger mengembuskan napas, berat. "Gue ngerasa
bersalah banget karena nggak ada di samping Bingbong
saat dia lagi butuh dukungan."

"Tenang aja, Bingbong paham kok kondisi lo. Gue pun


begitu. Makanya, selagi gue sempat, gue selalu datang
sekaligus ngewakilin elo."

"Thanks, Bro." Tiger benar-benar terharu mendengarnya.


"Semoga Bingbong kita tenang di sana," lanjutnya saat
pandangan telah beralih pada batu nisan.5

Banyu Baskoro.14

Tiger tersenyum getir mengingat kenangan dulu, ketika


pertama kali mereka bertemu dengan Bingbong. Lelaki
bertubuh gempal yang suka mengonsumsi donat itu
memperkenalkan diri sebagai "Bingbong" yang tidak lain
merupakan karakter binatang abstrak, berbadan bulat
dengan belalai gajah dan buntut kucing dalam film
animasi berjudul Inside Out.14

Awalnya mereka tertawa mendengar fakta di balik nama


panggilan sahabatnya tersebut. Namun, alih-alih
tersinggung, Bingbong justru merasa lega. Ia tidak lagi
perlu khawatir jika ada orang yang menghinanya sebagai
"gajah" atau to the point "gendut" di belakang. Dengan
memanggil "Bingbong" padanya, dunia akan tahu bahwa
lelaki itu sadar betul akan bentuk tubuhnya sehingga tidak
perlu lagi "disentil" dengan hinaan lainnya.1

Nama Bingbong juga dipilih oleh lelaki bernama asli


Banyu tersebut karena inisial mereka sama-sama "BB".
Selain itu, Bing Bong dalam cerita tidaklah buruk. Karakter
tersebut berperan sebagai tokoh tritagonis dan berenergi
positif, mirip sepertinya. Dengan kata lain, Banyu atau
Bingbong ingin sekaligus menegaskan pada dunia secara
tidak tertulis bahwa pribadi yang baik tidak dapat dinilai
dari "penampilan".16

Saat itu Naga dan Tiger hanya bisa bergeming. Mereka


belum tahu alasan pasti mengapa Bingbong sampai
berlaku demikian hingga Kina hadir, memancing
Bingbong untuk turut bergabung bersama kedua
temannya dalam "mengadu nasib".

"Harus tenang," tegas Naga. "Gue udah kasih pelajaran


buat keluarganya."

"Keluarga." Tiger berdecih. "Jangankan disebut keluarga,


disebut manusia aja nggak pantas rasanya."2
Naga hanya manggut-manggut. Ia setuju. Sama halnya
dengan Tiger, ia sempat tidak percaya jika ada keluarga
yang sebegitunya. Ternyata, permasalahan Bingbong
tidaklah sesederhana yang diceritakan sahabatnya
tersebut. Lebih pelik. Lebih menguras emosi.

Hanya karena bentuk tubuh, seseorang bisa dianggap


hina. Padahal, orang yang menganggap seseorang hina
adalah orang yang paling hina menurut Naga.17

Penampilan tidak pernah salah. Yang salah adalah orang-


orang yang sibuk mengurusi orang lain.10

Bukan kemauan kita untuk menjadi "buruk" di mata


mereka. Bukan kewajiban kita pula untuk memanjakan
mata mereka. Yang paling penting, bukan kehendak kita
untuk lahir dengan bentuk yang telah diberikan oleh
Tuhan.

Jika mereka ingin protes, lakukanlah terhadap diri sendiri.


Mengapa harus merasa "terganggu" dengan wujud orang
lain?

Naga pun tertegun. Pemikiran tersebut membuat ia jadi


merasa bersalah pada Kina. Ia benar-benar pernah
melakukannya. Pernah menjadi pelaku
yang menilai penampilan orang lain. Meskipun Naga
yakin jika hal tersebut muncul karena ia sudah membenci
kehadiran Kina di kehidupannya, tetap saja membawa-
bawa fisik untuk dikomentari bukanlah sesuatu yang
dapat dibenarkan.

Naga sungguh-sungguh menyesal.

"Ga?"

"Hmm?"

"Lo nggak apa-apa gue tinggal?" Tiger meringis. "Gue


nggak bisa lama-lama di Indo. Banyak kerjaan di sana.
Abang gue bakal skeptis sama kemampuan gue kalau
sampai gue lengah sedikit aja."1

Naga terkekeh. "Kayak anak kecil aja gue."

Tiger berdecak. "Gue serius."

"Udah mau kepala tiga kita. Masa iya gue bakal


ngerengek karena lo tinggal pergi."

"Siapa tahu. Gue cuma nggak pengin lo ngerasa lagi-lagi


kehilangan."
Naga tertegun mendengarnya. Ia memang merasa
demikian, tapi Naga tidak mau egois. Tiger punya
kewajiban dan tanggung jawabnya sendiri. "It's okay. Gue
janji bakal secepatnya nemuin yang hilang pertama biar
nggak cari-cari lo."2

"Sial!" Mau tidak mau, Tiger tertawa. "Gue dibutuhin kalau


lo lagi sepi doang ya. Tai!" guraunya, diakhiri dengan
umpatan. Lupa jika dirinya tengah berada di tempat
keramat. Sedetik kemudian ia pun langsung menampar
pelan bibirnya yang nakal.1

"Nama lo."2

Tawa Tiger mengeras, membuat beberapa peziarah di


makam yang lain sampai menoleh sejenak karena
terkejut. "Gue jadi ingat Bingbong lagi, kan. Cuma dia
yang manggil gue "Tai". Emang ajaib tuh anak."
Kemudian Tiger kembali memukul bibirnya. "Duh,
ngomong kotor lagi gue!" sesal lelaki itu.1

Naga hanya tersenyum geli meresponsnya.1

***

budidoraemon: Ada ya keluarga kayak gini ck1


ronaldo_riff: Kasihan Bingbong. Keluarganya sampah
semua

siapahayo: Jangankan ortu, abang gue aja kalau guenya


dihina bakal dibelain abis-abisan kok. Lah ini, malah
keluarga sendiri yang jahat

feyy_bieber: Ternyata "keadilan sosial bagi seluruh


rakyat good looking" itu juga berlaku dalam sebuah
keluarga ya. Gila! Semoga Bingbong tenang di alam sana

rosie_posie: Nyokapnya teman arisan nyokap gue lol.


Gue kira anaknya cuma dua, ternyata Bingbong nggak
pernah dianggap. Parah sih! �4

intannns: Padahal Bingbong manis dan lucu. Kenapa


dianggap aib sih? Kayak keluarganya pada cakep aja.
Perasaan kakak adiknya juga B aja. Imutan Bingbong
malah!2

roti_sobek_oppa: Sumpah gue pernah ketemu


nyokapnya di tukang sayur! Dia emang bangga-banggain
anaknya, tapi cuma dua jir. Tahunya Bingbong nggak
dianggap �Rest In Peace Bingbong!
apaajalah: Bagi akun abang adeknya dong. Mau
silahturahmi nih gua!

Naga tidak henti menggulir layar ponselnya. Dari atas ke


bawah. Dari bawah, ke atas lagi. Postingan tentang
Bingbong di akun gosip paling terkenal itu mendapat
respons yang sesuai ekspetasi.5

Puas? Sangat!1

Kenyataan bahwa akun Instagram kakak dan adiknya


yang sekarang bahkan diubah dalam private mode oleh
mereka, tidak menghentikan netizen untuk terus
menyerang. Dengan second sampai third account yang
dimiliki, mereka memfollow hanya untuk memberikan
kalimat-kalimat menyentil lewat direct message kedua
"saudara" Bingbong tersebut.2

Ahh, seandainya orang tua dan keluarga besar Bingbong


lain yang pernah menghina sahabatnya itu juga punya
media sosial, pasti akunnya sudah banjir akan hujatan.

Mission completed.
Naga baru akan menghempaskan ponselnya ke sofa
yang terletak di ruangannya dengan perasaan lega saat
pesan masuk dari Tiger muncul pada layar.

Tiger:
Ga, jam 2 pesawat gue take off.8

Naga:
Oke. Tunggu.1

Tanpa mengulur waktu lebih lama, lelaki itu bergegas


meninggalkan kantor.
Bab XXI | Puzzle

Akhirnya permasalahan selesai. Kina pun menghela


napas lega saat handle pintu yang baru telah terpasang
sempurna.

Gadis itu tersenyum manis pada laki-laki yang


membantunya. "Makasih ya, Mas Elang. Aku nggak tahu
deh kalau nggak ada Mas Elang gimana."1

Elang lantas menepuk-nepuk tangannya seraya bangkit


dari posisi usai membereskan toolkit terlebih dulu. "Sama-
sama, Kina. Mas senang bisa berguna buat kamu. Cuma
Mas mau kasih saran, lain kali mungkin harus lebih hati-
hati. Untung pintu kamu ada kunci selot dari dalam."1

Kina manggut-manggut. "Iya, pasti. Aku kapok tidur nggak


nyaman semalam."

Meskipun ada kunci selot dari dalam, Kina tetap waswas


jika keadaan pintu yang rusak handle-nya akan
mengundang penjahat untuk masuk.1
Kemarin ia panik bukan main saat menyadari bahwa
kuncinya tidak ada di dalam tas. Kina yang saat itu telah
sampai di rumah, langsung balik lagi ke tempat
pemakaman Bingbong. Nahas, benda tersebut tidak ada
di mana pun. Bahkan sang petugas yang turut membantu
mencari pun tidak menemukannya.4

Kina frustrasi, tapi ia tidak bisa mengadu pada papi


maupun maminya. Karena jika iya, kedua orang tua
angkatnya pasti akan langsung mencarikan tempat tinggal
baru alih-alih menyelesaikan masalah kecil ini.1

Bukan apa-apa, sewaktu Kina meminta tolong sang papi


mencarikan kontrakan yang mungil dan sederhana
untuknya tinggali saja, pria itu malah mencarikan
kontrakan mewah sampai ginjal Kina serasa tercubit
mendengar tagihan perbulannya. Gadis itu pun
menjelaskan bahwa niat ia mengontrak rumah justru
karena ingin mandiri dan meminimalisir
ketergantuangannya pada kekuasaan Kusuma.1

Alhasil, pikirannya yang sedang buntu pun hanya memiliki


ide untuk membukanya dengan apa saja karena langit
juga sudah gelap. Dibantu dengan bapak-bapak yang
tidak lain merupakan tetangganya, Kina dapat masuk
kembali ke dalam rumah meskipun kenop pintunya jadi
tidak lagi berfungsi. Untung saja di dalamnya masih
memiliki kunci selot.1

Paginya Elang menghubungi tatkala Kina sedang


kebingungan. Bagaimana tidak? Pukul 11:00 WIB ia
harus sudah sampai di restoran, tapi hingga jarum pendek
jamnya bertengger pada angka 9, Kina belum juga tahu
apa yang perlu dilakukan. Terlalu panik.1

Lantas laki-laki itu dengan mudah menolong Kina karena


kepala dinginnya yang selalu menyimpan solusi. Dan di
sinilah Elang sekarang, selesai membantu Kina
memecahkan masalah gadis itu.2

"Kalau boleh Mas tahu, emang kamu ke mana kemarin,


Kina? Tumben sampai kehilangan kunci gitu."1

Pertanyaan Elang tiba-tiba saja membuat Kina—untuk


pertama kalinya—enggan merespons lelaki itu. Namun,
tidak mungkin. Elang telah baik padanya. Kina hanya
perlu menjawab demi menghargainya. Elang juga tidak
akan mengulik lebih dalam pasti akan kebenaran yang
terjadi sesungguhnya.1
Ia memang bertujuan untuk berkunjung ke peristirahatan
terakhir Bingbong kemarin. Murni karena dirinya ingin
memberi doa untuk salah seorang yang telah baik
padanya di masa lalu. Namun, Kina sama sekali tidak
menyangka bila Naga juga ada di sana. Karena itu ia
segera bersembunyi, mengamati kapan sekiranya Naga
akan selesai. Sayangnya, panggilan dari operator cukup
mengganggu. Mau tidak mau, Kina mengangkatnya
meskipun ujung-ujungnya menolak penawaran yang
disampaikan. Ia menyingkir dari tempatnya dan
memutuskan untuk pulang sekalian, berniat kembali di
hari lain tanpa menyadari kalau ada yang tertinggal.1

"Habis ke pasar, Mas," dalihnya, singkat.1

Elang manggut-manggut. "Pantas nggak ketemu. Pasar,


kan, luas."

Diam-diam Kina bersyukur karena pilihan untuknya


beralasan cukup masuk akal untuk Elang. Tidak ingin
membahas lebih jauh, gadis itu hanya tersenyum kikuk.1

"Ya udah kalau gitu, mumpung Mas di sini, kita berangkat


bareng aja yuk?" Elang melirik arloji di pergelangan
kirinya. "Udah mau jam setengah 11 juga nih."1
"Boleh, kalau nggak ngerepotin," balas Kina apa adanya.
Sebenarnya ia sangat bersedia. Siapa yang tidak ingin
hemat ongkos? Tapi berhubung pagi ini Elang telah
direpotkan olehnya, Kina hanya perlu merasa tahu diri
dengan berbasa-basi demikian.1

Eye smile Elang pun muncul. "Kamu nggak pernah


ngerepotin, Kina."7

***

Tiger:
Ga, jam 2 pesawat gue take off.2

Tiger mengirim pesan tersebut seraya menempatkan diri


pada salah satu bangku di ruang tunggu. Ia sengaja
datang lebih-lebih awal dari jam keberangkatannya
karena ingin berbicara banyak hal dulu dengan Naga. Apa
lagi kalau bukan benda yang ditemuinya kemarin?2

Tidak lama kemudian, balasan dari Naga pun muncul


pada notifikasi ponselnya.1

Naga:

Oke. Tunggu.1
Sembari menunggu, Tiger mengeluarkan kunci dengan
gantungan berinisial "K" tersebut dari saku kemejanya.
Terlalu asyik membahas Bingbong dan kenangan mereka
bertiga kemarin, membuat ia lupa untuk memberikannya
pada seseorang yang dirasa lebih berhak.2

Entah mengapa ia begitu yakin jika benda di tangannya


saat ini bukanlah kunci biasa, melainkan kunci untuk
membuka seluruh pintu yang menyimpan jawaban.
Terlebih dengan kehadiran sosok itu.1

Tiger memang tidak diizinkan takdir untuk mengintip


wajahnya dan memastikan kebenaran sesegera mungkin,
tapi Tiger memiliki firasat bahwa dugaannya tidak akan
meleset jauh.

Semua ini terlalu kebetulan untuk dijadikan keliru. Naga


sedang mencari. Dan gadis itu tampak menghindari
Naga.1

Seraya menimang-nimang kunci tersebut, Tiger


tenggelam dalam lamunan. Tiba-tiba saja ia terpikirkan
akan nasib Kina selama ini. Bagaimana cara gadis lugu
dan murni seperti itu mampu bertahan hidup dalam
kerasnya dunia? Tiger menduga, Kina mungkin telah
menemukan keluarga yang baru. Keluarga yang lebih
cocok dengannya. Jika benar, Tiger akan turut
berbahagia untuk Kina. Akan tetapi, tidak untuk Naga
yang mungkin akan kecewa.

"Hey, sori telat."

Kepala Tiger kontan menoleh. Naga sudah terduduk di


samping dengan peluh menguasai dahinya. Bisa
dipastikan jika lelaki itu sehabis berlari. "Capek banget
kelihatannya. Habis maraton lo?"

Naga berdecak. "Gue takut nggak keburu. Tadi lumayan


macet soalnya."1

"Selow. Gue sengaja nge-chat kecepatan tadi buat


perkiraan kalau-kalau macet." Tiger tersenyum. "Oh, iya.
Ini, ambil." Lelaki itu menyerahkan kunci di tangannya
pada Naga tanpa basa-basi.

Naga yang bingung, tentu saja berjengit. "Hah?"1

"Ambil anjir!" Tiger meraih tangan Naga dan meletakkan


kunci tersebut pada telapak sahabatnya secara paksa.
"Gue nemu itu kemarin, di pemakaman Bingbong."1
"Astaga!" terkejut, Naga melemparkan kunci tersebut ke
arah Tiger dan tidak sengaja mengenai bibir lelaki itu.
"Apa-apaan lo ngasih kunci pemakaman?!"28

"Anjrit, goblok!" Tiger meringis pedih akibat bibirnya yang


terasa membengkak karena benturan benda yang cukup
tajam. "Lo lihat dulu dong, ini kunci gantungannya inisial
K!"1

Sebelah alis Naga menukik. "Terus?"1

"Goblok! Capek banget gue."5

"Apaan sih, Tai. Nggak paham gue."2

"Lo, kan, lagi nyari seseorang. Dan kebetulan Tuhan lagi


baik buat ngasih elo petunjuk."1

Naga justru mendengus geli akan teori absurd tersebut.


"Lo aneh. Di dunia ini yang inisialnya K bukan cuma dia
doang. Nyokap gue pun ...." Kerongkongan Naga
mendadak kering tatkala menyadari suatu hal. Tidak
sanggup melanjutkan ucapannya.1

Gantungan kunci tersebut tampak familier.1

Memanfaatkan kebisuan Naga, Tiger pun menjelaskan


keadaan sesungguhnya kemarin usai memberikan
kembali kunci tersebut. Di mana ada seorang gadis yang
bersembunyi di balik pohon dengan gelagat
mencurigakan. Tatapannya tertuju lurus pada Naga, salah
satu alasan yang juga membuat Tiger menduga bahwa
sosok itu "mengenal" sahabatnya ini.1

Punggung Naga menegang. Ibu jarinya meraba huruf K


berwarna perak yang berukuran kurang lebih setengah
dari kelingking lelaki itu.

Ini adalah bandul kalung maminya. Kalung yang dulu


kerap dipakai wanita itu karena pernah menjadi perhiasan
favoritnya.

"K" untuk Keira, bukan Kina.2

Suara Tiger pun perlahan terasa menghilang seiring


kepalan Naga pada kunci tersebut menguat.

***

BUGH!

Sekretaris Yan langsung tersungkur dibuatnya. Segera


saja lelaki itu bangkit kembali dan memberanikan diri
menghadap Naga yang masih menunjukkan kemarahan.
Ekspresinya benar-benar seperti ingin membunuh
seseorang. Untungnya sekretaris Yan tidak gentar karena
dirinya sudah terbiasa.

"Maaf, Pak. Saya minta maaf," ucap Yan bersungguh-


sungguh sambil membungkuk 90 derajat.

"Sejak kapan?"

"..."

"SEJAK KAPAN?!"

Sekali lagi Yan membungkuk. Kali ini lebih dalam hingga


wajahnya sejajar dengan lutut. "Dua tahun terakhir, Pak.
Sejak Pak Naga memimpin Persona Group ini."1

Persona Group adalah perusahaan yang menaungi


sejumlah stasiun televisi swasta nasional. Dibangun oleh
Eddy Kusuma yang tidak lain merupakan opanya sendiri.

Begitu lulus kuliah, Naga langsung direkrut oleh Eddy


sebagai general manager di sana. Sang kakek memang
berniat mewarisi perusahaan tersebut untuk cucunya
sejak lama—mengingat anaknya, Raka, memilih untuk
menetap pada jalan pilihannya sendiri. Namun, Naga
ternyata cukup bijak. Ia menolak saat ditunjuk langsung
menjadi CEO (Chief Executive Officer). Ia ingin terlebih
dulu beradaptasi sekaligus belajar untuk menjadi orang
yang memahami "sulitnya" mencapai sesuatu seperti
teman-temannya kebanyakan.

Sampai perlahan kedudukannya naik menjadi direktur dan


akhirnya ia merasa "pantas" mendapatkan posisi yang
sejak lama memang telah disediakan untuknya. Eddy pun
dengan senang hati menyingkir dari kursi dan
memercayakan segalanya pada Naga.

Naga mendengus. Ujung lidahnya mengitari gigi bagian


atas dari ujung ke ujung. "Jadi, selama ini kamu
ngebodohin saya, hmm? Apa Papi saya kasih kamu
bayaran tiga kali lipat?"

Sekretaris Yan hanya menunduk dan bergeming. Telapak


tangan yang menggantung di kedua sisi tubuhnya, mulai
berkeringat. Ia tahu, hal ini suatu saat nanti pasti akan
terjadi. Tapi Yan sama sekali tidak menduga bila
waktunya adalah hari ini. "Maafkan saya, Pak."

Kemudian hal tidak diinginkan pun terjadi. Selembar cek


bernilai tiga kali lipat gaji sekretaris Yan dilemparkan
Naga di depan wajah "mantan" orang kepercayaannya
tersebut. "Ambil. Saya nggak mau lihat muka kamu lagi."
Terkejut, sekretaris Yan langsung berlutut. "Nggak, Pak.
Saya mohon, jangan pecat saya. Saya udah nggak ada
hubungan lagi sama Tuan Raka, Pak. Saya janji, saya
akan bantu Pak Naga dengan jujur kali ini."

"Dua tahun kamu ikut memanipulasi saya, gimana saya


bisa percaya sama kamu?!"

"Saya janji, saya akan bawa Pak Naga bertemu sama


Nona Kina. Demi Tuhan, Pak. Saya berjanji, asal Pak
Naga nggak pecat saya." Kedua telapak tangannya saling
menempel di bawah hidung. Menandakan bahwa lelaki itu
tidak main-main dalam ucapannya.

Nama Kina seolah menjadi magnet yang menarik rasa


penasaran Naga. "Kamu tahu keberadaan Kina?"

Sekretaris Yan menggeleng. "Nggak, Pak. Selama ini


saya cuma disuruh Tuan Raka untuk ngelapor aktivitas
Pak Naga. Ke mana Pak Naga pergi, dan di mana Pak
Naga lagi berada. Saya sama sekali nggak tahu
keberadaan Nona Kina, tapi saya bisa mempermudah
tujuan Pak Naga sekarang."

Kening Naga mengernyit dalam. "Apa yang ngebuat kamu


bisa ngomong begitu?"
"Karena Tuan Raka udah ngebebasin Pak Naga. Nona
Kina nggak lagi menghindar, Pak. Saya jamin itu."

Dan senyum Naga terulas menyadari keping demi


keping puzzle kini perlahan terkumpul menjadi satu
kesatuan.
Bab XXII | Kucing

"Lho, kok Mami dilewatin gitu aja?"

Langkah Naga terhenti, tapi dirinya enggan menoleh.

Sikap Naga yang memunggunginya seperti itu, tentu saja


membuat sang mami heran. Seraya meletakkan ponsel di
atas coffee table ruang tamu, Keira bangkit dari sofa.
Menghampiri anaknya yang tetap bergeming. "Kok
pulang-pulang lesu? Ada masalah di kantor?"

"..."

"Naga? You okay, darling?"

"Itu yang Mami tanyain setelah bertahun-tahun


ngebodohin Naga?"1

Keira terkejut akan respons Naga yang sangat dingin. Ia


menduga jika Naga telah mengetahui segalanya. Meski
begitu, Keira tetap bertanya untuk sekadar memastikan,
"Maksud kamu?"1

Naga melirik maminya dari balik bahu. "Naga yakin Mami


tahu maksud Naga." Kemudian ia mengeluarkan kunci
rumah dengan gantungan berinisial huruf "K" yang sangat
familiar di mata Keira. "Mami tahu, kan, ini punya siapa?"

Keira mengembuskan napas. "Mami dan Papi minta maaf,


Naga. Kami nggak ada maksud buat nyembunyiin semua
dari kamu selama itu." Wanita itu kemudian menyilangkan
kedua lengannya di atas perut. "Mami bakal lanjut jelasin
kalau kamu ngehadap Mami sekarang."

Tanpa pikir panjang, Naga pun melakukan perintahnya.


Bersiap mendengarkan apa yang terjadi dari
sesungguhnya dari sudut pandang Keira.1

"Semua ini memang rencana Mami dan Papi. Kami


sepakat buat ngejauhin kamu dari Kina. Tapi sebenarnya
cuma sementara. Cuma sampai kamu berubah jadi lebih
baik—"

"Naga nggak pernah jahat. Naga realistis," tukas lelaki itu,


memotong ucapan maminya. "Apa Mami pernah bayangin
rasanya ada di posisi Naga saat itu? Naga biasa dimanja
Mami dan Papi. Naga biasa jadi satu-satunya anak di sini.
Naga biasa diutamain. Terus muncul Kina dari antah
berantah, masuk ke rumah ini dan jadi anak Mami Papi
juga, tanpa persetujuan Naga."17
"Kamu tahu alasannya."

"Tapi waktu itu Naga nggak tahu, Mi!" Naga mendengus.


"Yang Naga tahu tentang Kina itu nothing. Nggak ada
seorang pun yang terbuka sama Naga soal Kina. Lalu,
semua itu salah Naga?

"Naga tahu Naga salah. Naga udah berusaha buat


berubah. Tapi kenapa hukuman nggak kunjung selesai?
Mami tahu betapa menderitanya Naga hidup dalam rasa
bersalah? Mami tahu gimana kecewanya Naga pas tahu
kalau orang kepercayaan Naga ternyata ngekhianatin
Naga diam-diam?" Naga membasahi bibirnya yang tiba-
tiba mengering. "Sedih tahu, Mi. Tiap hari Naga cerita ke
Mami proses Naga dalam nyari Kina, ternyata Mami dan
Papi sendiri yang jadi penghalang."13

Setitik air mata terjatuh. Keira tidak kuat mendengar


penderitaan Naga lebih jauh. Ia benar-benar tidak
menyadari jika kebaikannya selama ini pada Kina,
membuat ia melupakan bahagia anak kandungnya
sendiri.

"Maafin Mami, Naga." Keira berjinjit, memeluk bahu lebar


Naga yang kini menunduk. Menyandarkan dagunya pada
bahu sang mami. "Mami terlalu fokus sama kebahagiaan
Kina karena masa lalunya yang Mami yakin, suatu saat
nanti, ketika kamu jadi orang tua, kamu nggak akan
sanggup dengarnya."

Naga hanya mengangguk kecil membalasnya.

Seraya menarik diri, wanita itu melontarkan pertanyaan


yang selalu diinginkan Naga keluar dari mulut kedua
orang tuanya. Dulu. "Kamu butuh bantuan Mami?"

Tapi tidak lagi.

Tersenyum, Naga menggeleng samar. "Ini urusan Naga,


Mi. Mami cukup diam aja dan jangan halangin Naga
lagi."2

Keira terkekeh. "Pasti. Papi juga udah ngebebasin Kina."

"I know."

***

"Pesanan sudah lengkap ya. Selamat menikmati!"

Seraya mendekap nampan di dada, Kina membungkuk


sekilas. Gadis itu selalu antusias dalam melakukan
pekerjaannya. Tidak heran bila semua orang—dari
pekerja hingga pelanggan—menyukainya. Energi positif
yang menguar dari sosok jelita tersebut seolah mampu
menjadi salah satu alasan Sky Lounge semakin ramai.

Kina yang cekatan dan sangat ramah membuatnya cukup


terkenal di kalangan para mahasiswi hingga kelompok
wanita sosial lain yang pernah nongkrong di sana.
Beberapa kali, mereka bahkan pernah menanyai di mana
Kina saat ia sedang tidak bekerja di restoran pusat.

Selain kualitas hidangan, service yang baik juga sangat


berpengaruh dalam suksesnya sebuah usaha. Dan
keputusan untuk mempekerjakan Kina sama sekali tidak
pernah sang papi sesali.

Tidak jauh dari tempat Kina memberi pelayanan terbaik,


sepasang mata tampak tidak luput memandanginya. Sang
target belum menyadari keberadaannya karena keadaan
restoran yang cukup ramai hari ini. Terlebih, ia sedang
sengaja memakai masker hitam dan topi berwarna
senada yang menyembunyikan sebagian wajahnya.

Sudut bibir Naga tertarik saat Kina menyunggingkan


senyum lebarnya pada salah satu pelanggan. Tidak ada
lagi gigi yang membuat Naga pusing melihatnya. Yang
tersisa hanya sosok gadis yang sangat rupawan.

Rambut lurus yang kini tampak sedikit bergelombang,


polesan make up tipis yang membuat wajah tampak
segar, serta penampilan yang lebih dewasa. Sekalipun
terbalut oleh seragam pelayan, Naga bisa melihat
perubahan yang cukup signifikan pada beberapa anggota
yang menonjolkan sisi "wanita" seorang Kina.

Pinggul dan dada yang cukup seksi. Minus, bokong itu


tetap tepos.56

Naga terkekeh sendiri karena pemikirannya. "Still my


Kitten," gumam lelaki itu, gemas. Semakin tidak sabar
untuk memulai Kembali apa yang pernah berhenti.9

Begitu Kina tengah lapang, Naga terburu-buru


mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk
mendatanginya sebelum gadis itu sempat berlalu dan
menghilang dari pandangan.

Kina yang tidak curiga sama sekali, tentu saja dengan


semangat menghampirinya dan siap melayani. Ia bahkan
tidak berpikir aneh-aneh tatkala mendapati kenyataan jika
dirinyalah yang justru dipanggil alih-alih pelayan lain yang
berada lebih dekat dengan lelaki itu.

Sesampainya di sisi meja, Kina segera mengeluarkan


iPad untuk bersiap mencatat pesanan usai terlebih dulu
membungkuk sekilas. Hal yang selalu ia lakukan pada
setiap pelanggan, tanpa terkecuali.

"Saya pengin menu rekomendasi di sini."

Belum sempat Kina membuka mulut, lelaki itu telah


membekukannya. Bukan, bukan karena permintaan yang
sangat sederhana dan tentunya Kina sering dengar dari
pelanggan lain, tapi...

Suara itu. Suara yang mengingatkannya pada sosok di


masa lalu. Bedanya, milik lelaki ini lebih berat dua kali
lipat.1

Menyadari kebisuan yang diciptakan Kina, Naga


tersenyum miring. Apa pun yang gadis itu pikirkan, Naga
yakin bila terdapat sosoknya di dalam benak tersebut.
Dirinya 6 tahun yang lalu.

"Remember me?"
Kina mengerjap dari lamunannya mendapati pertanyaan
tersebut dilontarkan lelaki itu. "Maaf?"1

"Still don't get it, do you?"

Menjawab kebingungan yang semakin sarat di wajah


Kina, Naga membuka segala penyamarannya. Sesuatu
yang sangat berhasil membuat Kina tercengang. Tanpa
dapat dicegah, jantungnya berdebar kencang. Kelenjar
keringat di telapak tangannya mendadak memproduksi
berlebih. Ini bukan kekaguman, tapi sebaliknya.2

Rasanya Kina ingin segera kabur dan bersembunyi di


balik siapa pun yang siap melindungi. Namun, mengingat
ramainya restoran kini membuat ide itu terasa sangat
buruk. Ia tidak ingin menciptakan kegaduhan dan
membuat pelanggan terusik karena permasalahan
pribadi.

Mencoba tenang, Kina mengambil napas dalam-dalam


seolah persediaan oksigen di bumi akan habis. Tidak, ia
pasti bisa melalui ini. Lagipula, ia telah khatam tentang
makhluk mitologi yang dikenal masyarakat sebagai "naga"
dari berbagai belahan dunia. Dan Naga yang ini, pasti
bukan pengecualian. Kina pasti mampu menanganinya.
Mencari titik lemah dan melawan. Batinnya sibuk
meyakinkan diri sendiri.

Profesional, Kina menyunggingkan senyum ramah.


Sebaik mungkin ia menjelaskan beberapa menu terbaik
serta santapan yang menjadi favorit para pelanggan.

Naga sedikit tertegun karenanya. Ia berharap Kina akan


gugup dan membuatnya kembali ingin menggoda gadis
itu upaya mengulur waktu lebih lama. Tapi tidak. Kina
tidak seperti yang ia bayangkan.

Gadis itu dengan lekas mengganti kecemasan menjadi


sikap percaya diri. Entah itu tipuan belaka atau memang
benar adanya, Naga cukup dibuat ragu untuk melanjutkan
permainannya saat ini. Belum lagi senyumnya yang
hangat, tidak menjalar pada sorot kedua matanya yang
dingin.

Apakah dirinya akan kembali dipersulit dalam


mendapatkan gadis ini?

"... Jadi, bagaimana?"

Naga berdeham ketika Kina memergokinya sedang tidak


fokus mendengarkan gadis itu. Sama seperti dirinya
beberapa saat lalu, Kina juga menduga bahwa Naga
tengah memikirkannya. Bedanya, Kina sama sekali tidak
senang. "Pesanin aja apa yang menurut kamu enak kalau
gitu," responsnya cepat. Terlalu cepat karena salah
tingkah.

Kina hanya mengangguk dan mencatat pesanan sebelum


akhirnya berlalu. Meninggalkan Naga yang termenung
sambil menatap punggung yang perlahan mengecil dari
pandangan tersebut.

Damn! Belum apa-apa, Naga sudah pesimis. Sikap kukuh


dari Kina padanya barusan membuat lubuk hati Naga
tercubit. Ia tidak senang diperlakukan seperti orang asing,
terlebih oleh gadis itu. Naga lebih ingin melihat Kina
beremosi tiap kali berada di dekatnya, sekalipun hal
tersebut negatif.

Naga menyugar rambutnya, kasar. Ia sudah lelah dengan


segala hukuman, haruskah—lagi-lagi—dirinya dihadapi
oleh rintangan?

Naga selalu percaya bahwa kesulitan terkadang


diciptakan oleh Tuhan dengan dua alasan; "jangan
menyerah karena usaha tinggal sedikit lagi" atau
"menyerahlah karena hal tersebut bukan untuk
kita". But when it comes to his kitten, Naga merasa jika
perjalanannya masih sangat jauh dan menyerah bukanlah
jawaban.

Gerah pada diri sendiri, Naga bergegas mengeluarkan


sepuluh lembar uang seratus ribu di atas meja beserta
kunci rumah Kina lalu pergi dari sana. Ia berjanji akan
kembali besok atau lusa, saat rencana yang lebih mantap
telah terbentuk. Dengan begitu, ia akan siap
menghadapi kitten yang telah tumbuh menjadi kucing.
Bab XXIII | Perban

oleh Junieloo Follow


Kina mengamati kuncinya yang ditinggalkan oleh Naga.
Kunci yang membuat lelaki itu bisa membuka pintu dunia
Kina yang sebelumnya telah tertutup rapat.

Tok... tok...

Ketukan pintu rumahnya membuat lamunan Kina enyah.


Dengan segera ia menyembunyikan kunci tersebut
kembali pada tas mungilnya dan bergegas menyambut
sang tamu.

"Iya, tunggu," ucap Kina kembali saat ketukan terulang. Ia


memang sudah menunggunya. Seseorang yang gadis itu
nantikan.

"Hai."

Kemudian senyum Kina mengembang begitu pintu telah


terbuka lebar, menampilkan sosok yang tampan serta
memiliki aura menyenangkan. "Mas Elang, akhirnya
datang juga."2
Mendengarnya, Elang terkekeh. "Duh, jadi kesenangan
aku. Kamu kayak nggak sabar kita ketemu."

Kina tersenyum. "Emang. Aku udah lapar soalnya."

"Oalah, kirain nunggu Mas, tahunya nunggu


makanannya." Elang pura-pura kecewa. Meski bukan
dirinya, tapi tetap saja bagian dalam dirinya yang
dirindukan gadis itu. Apalagi kalau bukan keahliannya
dalam membuat makanan lezat? "Nih, kamu tuang ya.
Mas di sini jadi tamu, tinggal nikmatin sajian."

"Yes, Chef!" Kina meraih bingkisan yang diserahkan


Elang dengan antusias. "Ayo kita ke dapur," lanjutnya
seraya berbalik badan.

Mengekori Kina, Elang terduduk di bangku meja makan


bundar yang memiliki 3 kursi. Menurut informasi yang ia
dapat dari Kina, jumlah ganjil tersebut memang disengaja.
Semata untuk menjamu kedua orang tua angkat gadis itu
bila mereka datang.

"Hmm, harum banget ayam panggangnya. Mas Elang


emang yang terbaik!" puji Kina sambil menaruh paha dan
dada ayam terpisah di atas dua piring berisi seporsi nasi.
Jika di Sky Lounge disajikan dengan mashed potato, Kina
dan Elang justru memilih menyantap ayam tersebut
bersama nasi. Belum makan namanya kalau tidak pakai
nasi. Setidaknya, itulah menurut mereka.6

Elang hanya tersenyum geli mendengarnya. Ia sangat


senang mendengar Kina mengaguminya. Elang merasa
tersanjung hanya dengan menjadi apa adanya. Kejujuran
gadis itu bahkan terkadang membuat Elang berpikiran jika
ia dan Kina berjodoh, ia berjanji akan selalu menyediakan
makanan terlezat yang pernah kekasihnya santap.20

Omong-omong soal "kekasih" barusan, sesungguhnya


Elang dan Kina tidak memiliki status hubungan apa pun.
Namun, baik Elang maupun Kina sama-sama bersikap
seolah saling memiliki sejak pendekatan terjadi. Elang
yang cuek pada perempuan lain, membuat Kina merasa
"status" tidaklah penting. Dan Kina yang terlalu naif
dengan lawan jenis selain dirinya, membuat Elang tidak
perlu khawatir akan hubungan mereka.7

Begitu Kina telah bergabung bersama Elang di meja


makan, keduanya pun menyantap dengan sesekali
bersenda gurau. Sebuah "kencan" sederhana yang sudah
menjadi ciri khas mereka. Tidak ada makan romantis di
restoran bintang lima. Tidak ada hal yang mewah kecuali
cita rasa istimewa dari masakan Elang sendiri.4

Di tempat yang tidak jauh, tampak mobil sedan yang


sedang berhenti tanpa mematikan mesin. Niat sang
empunya untuk turun, lantas batal begitu saja melihat
kendaraan roda empat lainnya yang terparkir di depan
pagar mungil rumah tujuannya.

Perlahan, ia menurunkan jendela. Mengamati lebih jelas


dengan sebelah mata menyipit.

Mobil SUV warna putih yang asing. Bukan milik Naraka


Kusuma, ia yakin sepenuhnya itu. Dan mengingat postur
tubuh Kina, rasanya tidak mungkin bila gadis itu yang
mengendarainya. Naga bahkan ragu bila ujung jempol
kaki Kina akan sampai pada pedal gas.8

Sialan! Mengapa Naga tiba-tiba merasa gelisah hanya


karena mobil itu.

Naga ingin sekali menunggu mereka keluar dari rumah,


memastikan bahwa kekhawatirannya tidaklah terbukti.
Namun, gang kontrakan Kina sangat sempit! Everest putih
itu saja harus merapatkan bodi sampingnya dengan
saluran air di depan pagar kontrakan Kina. Mau tidak
mau, Naga harus menyingkir dan mengalah saat ada
mobil lain yang akan menggunakan jalan.

***

Kina merenggangkan kedua tangan saat ototnya terasa


pegal. Seharian bersama Elang membuat Kina banyak
terbantu. Ya, mereka memang sedang libur. Hal tersebut
pun keduanya manfaatkan dengan menghabiskan waktu
bersama.

Lelaki itu tidak hanya datang untuk bertamu, tetapi juga


membantu Kina mencuci piring, membereskan barang
yang tidak pada tempatnya, bahkan membantu Kina
menjemur selimut, seprai, termasuk sarung bantal serta
gulingnya. Setelahnya, mereka hanya berbincang,
menonton acara televisi tentang kontes memasak, dan
melakukan hal menyenangkan lain yang sederhana. Kina
merasa menjadi seorang ratu dalam sehari karena Elang.8

Tapi karena itu juga, Kina justru merasa pegal! Aneh.


Benar-benar aneh. Banyak kerjaan jadi pegal. Tidak kerja
apa-apa malah semakin pegal.1
Pipi Kina bersemu mengingat kelihaian Elang dalam
berurusan dengan hal rumah tangga. Lelaki itu adalah
wujud sejati dari "husband material".5

Kina melirik jam dinding di rumahnya. Masih ada waktu 1


jam untuk dirinya membeli minyak angin di minimarket
sebelum toko tersebut tutup. Udara malam ini sangat
menusuk dan ia ingin terlelap dalam keadaan tetap
hangat. Belum lagi hidungnya yang mulai
meler! Ugh. Tidur Kina pasti tidak akan nyenyak jika indra
pernapasannya mampet!

Segera saja Kina meraih sweater tebalnya dan payung


lipat mungilnya. Untuk berjaga-jaga, jika nanti hujan turun
karena langit mulai bergemuruh pelan.

Usai mengunci pintu, Kina mulai melangkahkan kakinya di


jalan yang sepi. Tidak heran, karena kontrakannya berada
di perumahan yang didominasi oleh keluarga yang
memang jarang keluar rumah. Meski begitu, ada sisi
baiknya. Apalagi kalau bukan terhindar dari gunjingan
orang-orang? Kalau Elang menginap di rumahnya,
mereka juga tidak ada peduli. Sayangnya, Elang lah yang
peduli. Sekalipun ada badai, laki-laki itu akan tetap
pulang. Kina tahu, semua semata demi menjaga
keduanya dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Sesampainya Kina di minimarket yang berada di


seberang gang perumahan, gadis itu langsung bergegas
mencari apa yang ingin dibelinya. Suhu ruangan yang
sangat rendah, ditambah cuaca di luar, membuat Kina
ingin cepat-cepat menyelesaikan urusannya di sana.
Akan tetapi, takdir mempersulit.

Kina tertegun saat ia mendengar sekelompok pemuda


dengan topeng rajut hitam menyeruak masuk ke dalam
minimarket. Dua dari mereka merampas seluruh uang
yang berada di meja kasir dan seorang lagi menodongkan
senjata tajam pada salah satu karyawan yang juga tengah
bertugas. Membuat beberapa kawannya yang ingin
membantu hanya dapat bergeming takut di tempat.

Kina menggigit bibirnya. Ia menyaksikan semua itu dari


balik persembunyiannya. Ia berharap, hanya uang yang
ketiga perampok itu inginkan. Karena jika ada yang
terluka, Kina tidak akan siap menahan untuk tidak
memekik. Dan mungkin hal tersebut akan menjadikan ia
sebagai target selanjutnya.
Kina mendekap mulutnya dan perlahan melangkah
mundur tanpa suara saat salah seorang dari mereka
berjalan ke lorong ketiga di mana Kina berada sekarang.
Jantung Kina berdebar kuat. Ingin rasanya melawan.
Tangannya yang sedang memegang payung lipat, bersiap
untuk menghantam kepala sang penjahat.

Dan takdir memang penuh akan kejutan.

Belum sempat kehadiran Kina diketahui, seseorang telah


membuat tubuh itu tersungkur. Gadis itu terkejut
mengetahui siapa yang menolongnya. Atau lebih tepat,
menolong semua orang yang berada di minimarket saat
ini dengan tangan kosong.

Naga.

Perkelahian semakin menjadi. Lelaki itu tampak mulai


kewalahan menghindari mata pisau yang dilayangkan
sang lawan. Terlebih saat kedua perampok yang lain,
turut mengeroyoknya.2

Kina menjerit saat lengan Naga berhasil tersayat oleh


pisau. Darah segar pun mulai mewarnai lantai putih
minimarket.
Kina tidak bisa membantu dalam keadaan Naga yang
mulai melemah. Yang ada nanti, ia malah semakin
menyusahkan Naga seperti yang Kina tangkap di film-film
action kebanyakan. Namun, Kina juga tidak bisa tinggal
diam. Apalagi ketika Naga sudah terjatuh di lantai akibat
tendangan keras di perutnya. Kina benar-benar frustrasi!

Sampai mobil patroli datang. Dua dari mereka telah


dibekuk, sedangkan yang satunya berhasil meloloskan
diri. Pihak polisi berjanji untuk menindaklanjuti kasus ini
usai berterima kasih pada Naga yang hanya bisa
menyandarkan pinggulnya lemah di pinggir freezer ice
cream.

Begitu polisi menghilang, Naga langsung mengalihkan


pandangan pada sosok yang menjadi tujuannya.1

Tatapan mereka bertemu. "You okay?"2

Bagai terhipnotis, Kina mengangguk kaku.

***

Kina menuntun Naga untuk duduk di sofanya dengan hati-


hati. Ya, pada akhirnya ia membawa lelaki itu ke rumah.
Meski niatnya hanya berbasa-basi menawarkan untuk
mengobati luka, sepertinya Kina tidak akan tega mengusir
Naga dalam kondisi begini.

Lihatlah, Naga yang kini jauh berbeda. Kalau yang dulu


bisa dengan mudah berkelahi dan sangat akrab dengan
luka fisik, sekarang Naga tampak tidak sehebat itu. Naga
melemah.

Apa karena sudah mulai menua?53

"Sebentar, aku ambilin kotak P3K dulu."

Tanpa menunggu persetujuan Naga, Kina segera


melakukannya. Tidak butuh waktu lama bagi dirinya
kembali dengan sebuah kotak berwarna putih transparan.

Naga memandangi profil Kina yang sibuk mengobati luka


di tangannya. Sudut bibir lelaki itu tertarik mendapati
kenyataan bahwa sakit fisik yang dialaminya kini tidak
seberapa dibanding melihat Kina dalam bahaya beberapa
saat lalu. Bahkan, dengan hadirnya gadis itu di sini, saat
ini, di sisinya, membuat Naga merasa cukup terobati.
Bukan hanya luka yang terlihat, tapi juga luka di hati
bertahun-tahun lamanya.3

"Kamu ngapain keluar malam-malam?"


Suara Naga yang memang sudah berat, ditambah
kondisinya yang sedang melemah sekarang, membuat
Kina semakin merinding mendengarnya. Saking
rendahnya.2

"Mau beli minyak angin," jawab Kina, apa adanya.

Naga tersenyum. Ia merasa terlempar ke masa lalu di


mana ia bisa berbincang kecil seperti ini dengan Kina.
Bedanya, kini tanpa adanya sandiwara. "Lain kali, jangan
keluar rumah malam-malam. Untung ada Abang, kalau
nggak gimana?"18

Abang.

Gerakan Kina terhenti. Mungkinkah lelaki itu masih


menganggap dirinya sebagai beban? Apakah Naga takut
jika kembali disalahkan bila terjadi sesuatu yang buruk
pada dirinya? "Aku nggak berharap ditolong Bang Naga,"
cicit gadis itu, dingin.6

Naga tertegun. Meski ia tidak berharap ucapan


tersebutlah yang keluar dari bibir mungil Kina, Naga tetap
menerimanya sebagai hal yang bukan masalah. Ia tidak
ingin mengubah kehangatan di antara keduanya menjadi
rasa tidak nyaman.
Naga tertawa kecil. "Bukannya, seharusnya kamu
berterima kasih sama Abang, Kitten?"3

Kina mengernyit dalam. Ia tidak suka dengan panggilan


itu! Dirinya bukan lagi seseorang yang akan mengikuti
Naga ke mana pun. Bukan lagi seekor anak kucing yang
naif dan mudah dibodohi.

"Jangan panggil aku begitu!" tukas Kina, kesal. "Aku udah


dewasa."

Alih-alih terpancing, Naga justru tergelitik untuk


menggodanya lebih lanjut. "Oh iya? You're still the same
kitty for me."

Rahang Kina terkatup. Hidungnya berkerut samar.


Bagaimana caranya menunjukkan pada lelaki ini bahwa
dirinya tersinggung? Responsnya justru tampak sangat
menggemaskan di mata Naga. Benar-benar seperti
kucing yang sedang mengamuk. Alias, tidak ada seram-
seramnya.8

Merasa tidak ada gunanya membalas Naga, Kina


menekan luka yang sedang dibalutnya dengan perban
hingga membuat lelaki itu meringis.
"Oops! Maaf, sengaja," ucap Kina, acuh tak acuh. Senang
bisa menghadapi Naga yang satu ini.

Yang Kina tidak tahu, Naga juga menyukai cengkeraman


yang dilakukan Kina barusan. Hal tersebut seolah mampu
menebus kesalahannya dulu meskipun tidak seberapa.
Bahkan jika Kina memukulinya saat ini pun Naga siap
menerimanya.

"Lagi," pinta Naga sambil memejamkan kedua matanya


dengan kepala bersandar.

Kina terkejut. Apa Naga mendadak gila? Baru saja lelaki


itu meminta Kina menyakitinya kembali? Benar-benar
tidak waras!

"Maksudnya?"

"Tekan kuat-kuat kalau kamu ngerasa penderitaan Abang


selama ini belum cukup. Kasih Abang rasa sakit yang bisa
dilihat kayak gini aja." Kemudian sepasang matanya
terbuka. Seraya menunjuk dadanya dengan tangan yang
terbebas dari Kina, ditatapnya gadis itu, sangat teduh.
Sanggup mengunci lawan bicara dalam geming. "Jangan
di sini lagi. Susah ngobatinnya."
Bab XXIV | Kopi

Katakanlah Kina gila karena telah membuat keputusan


yang tidak masuk akal! Bisa-bisanya ia rela tidur di sofa
ruang tamu demi kenyamanan Naga.3

Kina mendengus sambil menarik selimut hingga menutupi


wajahnya. Ia benci menjadi orang yang penuh belas
kasih, tapi jika tidak melakukannya, Kina sendiri yang
pasti akan gelisah dalam tidurnya karena Naga—dengan
kondisinya yang sedang terluka—ia biarkan tidur pada
tempat yang bahkan panjangnya tidak mampu
menampung tinggi lelaki itu.1

Berusaha untuk tidak mempermasalahkan di mana dirinya


tidur sekarang, Kina memaksa kedua matanya terpejam.
Namun, tidak bisa! Momen yang terjadi beberapa menit
lalu masih senantiasa terngiang di benak.

"Jangan di sini. Susah ngobatinnya."


Kina tertegun. Terdapat kilat luka di balik kedua mata
Naga. Luka yang jauh lebih dalam dari sayatan pisau
pada lengan lelaki itu. Tapi ini salah! Bukankah
seharusnya Kina yang berkata demikian?

"Aku nggak pernah nyakitin Abang," tegas Kina. Batinnya


menggerutu kesal. Apakah Naga masih belum mau
mengakui kesalahannya setelah sekian lama?

"Masa?"

Kina hanya mengerling tajam. Respons Naga sangat-


sangat menyebalkan.

"Kalau emang gitu, kenapa cuma Abang yang sakit?


Kamu nggak?"2

Dahi Kina berkerut dalam mendengarnya. Tidak ingin


dirinya disudutkan sebagai pelaku kejahatan, keberanian
gadis itu dalam melawan Naga semakin tumbuh. "Jangan
pernah bersikap seolah aku yang salah. Aku lebih dulu
sakit hati sampai akhirnya lama-kelamaan berubah jadi
benci," tukas Kina dengan bibir menipis.7

Lidah Naga mendadak kelu. Ia pun berdeham kecil upaya


membasahi tenggorokan yang mendadak terasa kering.
"Sebenci itu kamu sama Abang sampai ngehasut Mami
dan Papi sekaligus? Kamu tahu nggak, betapa
kecewanya Abang pas tahu kalian semua ngebodohin
Abang?"

"Abang pantas dapatin itu."

Naga mendengus. Mengeluarkan tawa mengejek karena


kalimat tersebut. "Pernah nggak kamu mikir kalau di
posisi Abang itu nggak gampang? Status Abang sebagai
anak tunggal sejak dua puluh dua tahun lamanya, tiba-
tiba harus berbagi sama kamu. Belum lagi, Abang nggak
tahu apa-apa soal masa lalu kamu waktu itu. Susah buat
nerima kamu gitu aja!"9

Hati Kina berdenyut nyeri mendapati kenyataan bahwa


dugaannya memang benar. Kedatangan Naga kembali
dalam hidupnya semata hanya karena rasa bersalah
lelaki itu.1

Alih-alih mengutarakan kekecewaannya, Kina justru


mengucapkan sesuatu yang membuat Naga tidak dapat
lagi berkutik.

"Berbuat kebaikan nggak harus dengan alasan, Bang


Naga. Aku cuma pengin dianggap adik tanpa perlu Abang
tahu kebenarannya. Aku cuma mau diperlakuin sebagai
adik tanpa ada rasa bersalah atau kasihan di hati Abang.
Aku cuma pengin hidup di lembar yang baru tanpa
adanya masa lalu sedikit pun." Lalu Kina tersenyum getir
menatap Naga yang membatu. "Aku pernah berharap,
perlakuan manis Bang Naga semata karena memang
Bang Naga itu Abang yang baik. Tapi ternyata aku salah.
Mungkinkah aku bakal salah lagi kali ini?"6

Hening. Kina berhasil memadamkan semburan api dari


mulut sang naga. Perlahan, ia bangkit usai terlebih dulu
membereskan peralatan P3Knya.

"Jangan dipikirin, aku udah maafin Abang. Oh iya, Bang


Naga boleh tidur di sini kalau mau. Asal besok pagi, aku
harap Bang Naga udah pergi. Ini permohonan." Kina
tersenyum simpul. "Aku beresin dulu ya kamarnya buat
Abang. Sebentar," ujar gadis itu sebelum akhirnya berlalu
dari hadapan Naga.

Seekor nyamuk yang hinggap di pipi membuat Kina


sontak menampar diri sendiri. Saat itulah lamunannya
turut buyar.
Lagi, Kina menggerutu. Seandainya saja ruangan yang
tersedia satu lagi tidak beralih fungsi menjadi "gudang", ia
pasti sudah tidur nyenyak di dalam kamar.

KAMU AKAN MENYUKAI INI

MAS DUDA (END)

3.1M282K
JANGAN LUPA FOLLOW AKUN SAYA. DAN CERITA INI SEDIKIT
MENGANDUNG ADEGAN DEWASA� UPDATE SESUAI MOOD. Judul
awal: BUNDAAA ____ Dia Diana, kesayangan Baby Alvan dan om-o...

Dominic With The Baby Girl

5.2M487K
Series ke 3 dari Abraham's family. Dominic putra Abraham. Pria dingin
serta kaku yang baru merasakan cinta. Keysha Amelia. Wanita dengan
sejuta luka namun tetap tegar...
After We Divorce

1.4M149K
Trigger warning: suicidal thought, toxic parenting, harsh words, etc. Aleena
diam-diam mengajukan perceraian dan menyembunyikan kehamilannya
agar dapat pergi sejauh mung...

ARHAN

5M442K
[TAMAT] [COMPLETED] Sebelum baca follow dulu ya! Ariel Xaviero
Mostwanted SMA Angkasa, ia terpilih sebagai ketua Geng Motor bernama
Black Wolf. Terkenal akan kenakalan...

DEAN & HARA [ END ]

1.1M76.2K
[ Setelah membaca jangan lupa vote. ] Bianca Hara Violetika tidak akan
pernah menyangka, akan menikah dengan seorang laki-laki yang bernama
Dean Dario Garfield ,yang mem...

ALFAREZ [TERBIT]
1.4M55.8K
(SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS) NOVEL TERSEDIA DI MARKET
PLACE SHOPEE JAKSAMEDIA Ini adalah kisah seorang gadis bernama
Adhara Zefanya Claire. Gadis dengan trauma masa la...

Kina mengembuskan napas. Nggak apa-apa, nggak apa-


apa. Batinnya menyemangati diri. Hanya malam ini.
Hanya perlu menunggu matahari kembali terbit untuk
mengakhiri semua ini. Esok Naga akan pergi. Menghilang
dari dunia Kina kembali karena tidak lagi hidup dengan
perasaan bersalah. Kina telah memaafkannya. Dan
semestinya, Naga memahami itu.2

Dengan hati yang telah tenang, Kina berhasil tenggelam


dalam mimpi. Sekalipun selimutnya cukup melindungi ia
dari gigitan nyamuk-nyamuk nakal, tapi cuaca dingin yang
tercipta akibat hujan lebat di luar sana tidak mampu
ditampik oleh kain yang kurang tebal tersebut.

Dari celah pintu, Naga mengamati Kina yang tidur dengan


sedikit menggigil. Perlahan, tubuhnya meringkuk seperti
janin, tanda bahwa udara yang cukup rendah kini mampu
mengusik ketenangan gadis itu.

Naga menoleh dari balik bahu, melirik ambalan yang


dipenuhi oleh koleksi buku ensiklopedia milik Kina.
Benda-benda yang membuat darah Naga berdesir hebat
ketika menyentuhnya.

Kina masih menganggapnya ada. Sesosok naga tidak


pernah lepas dari kehidupan si anak kucing.2

Naga akan pergi begitu gulita telah berganti cerah,


sebagaimana janjinya pada Kina. Tapi tidak untuk
selamanya. Karena sekuat apa pun semburan api
miliknya, seberapa pun ia mampu menghanguskan
segala yang ada, seburuk apa pun dirinya di mata dunia,
Naga tetap memiliki kehangatan yang orang lain tidak
miliki.3

Dan Kina perlu tahu itu.4

Naga membuktikannya segera. Dengan langkah yang


sangat hati-hati, dihampirinya sang adik yang tertidur
pulas. Perlahan dan tanpa membangunkan sang putri
sedetik pun, Naga menyempilkan tubuh besarnya di
samping Kina. Memaksakan tubuh besarnya untuk turut
bergabung pada sofa yang tidak mendadak terkesan
sangat sempit dan pendek!21

Seraya memiringkan tubuh menghadap Kina, Naga


mendekap gadis itu dengan sebelah tangannya yang juga
dijadikan bantalan oleh kepala Kina. Sedangkan tangan
yang lain, ia gantungkan ke atas hingga menyentuh
bagian belakang sofa, sekaligus bentuk antisipasi agar
tidak terjatuh.

Naga tersenyum saat tubuh Kina yang terhimpit olehnya


dan punggung kursi tidak lagi menggigil. Kehangatan
perlahan menjalar pada Kina tanpa gadis itu sendiri
sadari. Selimut tipis di antara mereka bahkan sudah
tersibak hingga pada lutut, tapi rasa nyaman tetap ada
mengaliri Kina.

Naga tahu, perlakuan manisnya ini belum seberapa untuk


membalas apa yang ia lakukan dulu. Namun, dirinya
berjanji. Terlebih pada diri sendiri bahwa ini bukanlah
sandiwara. Kekhawatiran Kina tentang dirinya yang
datang hanya karena rasa bersalah maupun belas kasih
tidaklah terbukti.

Naga menyayanginya.17

***

Kina terbangun dengan raut kebingungan menghiasi


wajahnya. Diraihnya selimut yang kini sudah tergeletak
tidak berdaya di lantai. Bagaimana bisa ia tidur nyenyak
dan begitu pulas tanpa memakai selimut? Jangankan
terjatuh begini, selimutnya tersibak lebar hingga membuat
dingin menusuk anggota tubuhnya saja, Kina sudah
langsung terbangun. Tapi ini...

Aneh.

Tidak ingin ambil pusing, Kina hanya mengedikkan bahu


sekilas dan bergegas membereskan sofa. Berniat
mengembalikan bantal serta selimut kembali ke dalam
ranjang di kamar.

Tidak ada siapa pun. Begitulah yang Kina temukan dalam


ruangan pribadinya. Gadis itu mengembuskan napas lega
mengetahui Naga telah pergi. Lelaki itu mengindahkan
permohonannya semalam.

Dan semoga untuk selamanya, tambah batinnya.

Saat Kina sedang membereskan ranjang, sebuah ketukan


pada pintu lantas menghentikan kegiatannya. Gadis itu
melirik jam dinding di kamarnya dan terbeliak. Tidak
menyangka bila jarum pendek nyaris bertengger di angka
sembilan!

Apa semalam ia meminum obat tidur? Sepertinya tidak.


"Iya, sebentar," sahut Kina pada seseorang di balik pintu
seraya melangkah lebar-lebar. "Lho, Mas Elang datang
lagi?" sapanya, begitu pintu telah terbuka separuh.

Elang tersenyum. "Iya. Mas mau ajak kamu berangkat


bareng. Mau ya?"

Kina terkikik geli mendengarnya. "Kayak anak kecil yang


lagi ngajak temannya main aja Mas Elang ini."

Kemudian lelaki itu meringis kecil sambil menggaruk


kepalanya yang tidak gatal sama sekali. "Habis, kamu
selalu nolak kalau Mas ajak bareng."

"Nggak selalu. Aku cuma nggak mau ngerepotin aja."


Kina memberi pemahaman.

"Nggak pernah repot." Elang menampilkan eye smilenya.1

"Akunya yang nggak enak."

"Iya deh iya." Pada akhirnya Elang mengalah. "Ya udah,


besok Mas nggak datang lagi. Tapi kalau main sepulang
kerja tetap boleh, kan?"

"Kalau itu aku kapan pernah larang?" Kina tersenyum


manis. "Datang aja, Mas Elang. Aku senang kalau ada
teman di rumah. Apalagi kalau dibawain makanan," gurau
gadis itu yang langsung direspons tawa oleh Elang.

"Iya, nanti Mas masakin lagi ya." Elang berjanji pada Kina
dan dirinya sendiri. Memang hal tersebutlah yang lelaki itu
sukai. Terlebih, jika Kina sudah memujinya.2

"Ya udah masuk dulu, Mas. Mau sarapan bareng


sekalian?"

"Boleh. Kamu ada bahan apa?"

Kali ini Kina yang meringis. "Nggak ada. Di luar aja kali
ya? Makan bubur ayam. Mau nggak, Mas?"

"Asal makannya sama kamu, oke aja."1

Kina langsung berbalik badan. Menyembunyikan


semburat merah di kedua pipinya yang muncul akibat
ucapan tersebut. "Ng ... oke. Kalau mau minum, ambil aja
di dapur ya, Mas. Aku langsung siap-siap biar nanti kita
sarapannya nggak buru-buru."1

Elang belum sempat membalas, Kina sudah terlebih dulu


berlalu. Sesuai izin sang empunya rumah, Elang
melangkahkan kaki ke dapur. Ia sama sekali tidak merasa
haus, tapi meminum kopi sembari menunggu Kina selesai
sepertinya bukan ide buruk.

Sesampainya Elang pantry yang sangat minimalis dan


sederhana itu, ia langsung disuguhkan dengan
pemandangan yang janggal.

Jemari Elang meraih mug di atas counter dengan


sepasang alis bertaut membentuk kerutan pada pangkal
hidungnya. Cairan kopi tampak mengisi seperempat
bagian dalam cangkir tersebut. Hal yang sangat aneh
ditemuinya pagi ini karena Kina bukanlah penikmat kopi.
Gadis itu pun hanya menyediakan kopi sachet karena
Elang menyukainya dan memang hanya untuk Elang.

Positive thinking. Mungkin saja ini bekas papi Kina,


bukan?

Menyadari kebodohannya barusan, Elang terkekeh.


Bagaimana mungkin ia bisa lupa jika bukan hanya dirinya
yang kerap berkunjung ke rumah ini? Kina memiliki papi
angkat yang tidak lain adalah bos besarnya sendiri.1

Sebelum membuatkan kopi untuk diri sendiri, terlebih dulu


Elang mencuci cangkir tersebut upaya membantu
meringankan pekerjaan rumah Kina walau tidak
seberapa. Tidak butuh waktu lama baginya
menyelesaikan segala urusan di dapur kecil itu. Tanpa
mengetahui kalau kisahnya tidak lagi sama mulai detik ini,
Elang melangkah ringan ke arah sofa dan duduk di sana.6

Ya, tanpa menyadari bahwa "Kusuma" yang dipikirkannya


beberapa saat lalu adalah Kusuma yang berbeda, dan
kalau tempatnya menunggu Kina saat ini merupakan
tempat yang menjadi saksi bisu momen kehangatan di
antara gadis pujaannya dengan makhluk yang tak
tertandingi.
Bab XXV | Scrunchie

Pagi itu kepulangan Naga langsung disambut oleh sang


mami. Tidak ada raut khawatir di wajah yang tidak lagi
muda tersebut. Alih-alih begitu, Keira justru tersenyum
sumringah. Pikir Naga, maminya mungkin telah diberi
kabar oleh sekretaris Yan bahwa ia baik-baik saja.

Semalam, saat Naga sedang mengamati rumah Kina dari


kejauhan, dirinya justru mendapati gadis itu keluar dari
tempat tinggalnya. Entah apa yang Kina ingin lakukan,
tapi hati Naga tergerak untuk membuntutinya secara
diam-diam.

Naga bersyukur akan keputusannya tadi malam untuk


membiarkan sekretaris Yan menyetir mobilnya. Selain
karena bisa meninggalkan mobil dengan aman, sekretaris
Yan sangat berguna dalam membantu Naga melawan
para perampok. Berkat jasanya, ketiga bandit tersebut kini
berhasil dihukum oleh yang berwenang. Ya, salah
satunya yang sempat kabur semalam telah ditangkap dan
bergabung Kembali Bersama kawanannya dalam jeruji
besi.
"Welcome home, My dragon! Udah makan belum anak
Mami?" tanya Keira sambil meraih tangan Naga yang
terbebas dari perban dan bergelayut manja di sana.3

"Belum, Mi. Baru ngopi."

Mendengarnya, Keira mengulaskan senyuman


menggoda. "Uuuh, baik juga Kina sama kamu. Mami kira,
kamu bakalan diusir, eh tahunya malah disuruh nginap.
Dibuatin kopi pula."1

Naga tersenyum masam. Seandainya saja Keira tahu


bahwa dugaannya benar, Naga memang diusir. Bahkan
selamanya dari kehidupan Kina. Tapi Naga tidak
mengutarakannya. Biarlah kedua orang tuanya berpikir
jika Naga bukan lagi "pengusik" bagi adiknya. Biarlah
mereka berpikir kalau Kina telah menerima Naga kembali
dalam hidup gadis itu.

"Iya, Mi. Kina udah maafin Naga," ucapnya, tidak


sepenuhnya berbohong.

Respons singkat itu ternyata cukup memuaskan Keira.


Pikiran akan anak-anaknya yang kembali akur membuat
jiwa keibuan dalam dirinya tersentuh. "Ya udah, yuk
makan mumpung masih hangat. Mami sama Papi udah
tadi. Tapi tenang, menu favorit kamu nggak kami sentuh
sama sekali."

"Ng ... dibekalin aja bisa nggak, Mi?" tolak lelaki itu, halus.
"Naga mau mandi, terus langsung ke kantor."

Sang mami yang mendengarnya pun cemberut. "Kamu ini


sibuk amat deh. Perasaan Opa Eddy dulu nggak gitu-gitu
amat. Selalu ada buat keluarganya."

"Yah, Mami jangan ngambek dong. Mami, kan, tahu Naga


kerja biar nggak kepikiran—"

"Kepikiran apa lagi? Kina, kan, udah maafin kamu." Keira


semakin sewot.

"Nggak sesederhana itu, Mi." Naga mengembuskan


napas. "Nanti kalau waktunya udah tepat, Naga pasti
cerita ke Mami. Oke, my queen?"

***

Elang Nirwana.7

Naga membaca dengan saksama berkas di tangannya.


Tidak ada yang spesial dari lelaki itu selain memiliki
kelebihan di bidang masak-memasak. Latar belakang
yang sangat biasa dan kehidupan yang sederhana
sekalipun ia bisa membeli apartemen termewah berkat
gajinya sebagai chef di Sky Lounge.

Still. Seseorang bernama Elang tersebut bukanlah


tandingan Naga.17

Sudut bibir Naga tertarik akibat pemikirannya sendiri


barusan. Bagaimana mungkin naga dapat dikalahkan oleh
elang? Naga memiliki segalanya yang Elang miliki, tapi
tidak sebaliknya. Cakar yang tajam, sayap yang lebar,
serta mata yang tajam. Naga memang tidak memiliki
paruh tajam yang melengkung seperti elang untuk
mengoyak mangsa. Namun, ia memiliki hal yang jauh
lebih besar daripada mencabik-cabik santapannya.16

Membakar hidup-hidup.6

Senang mengetahui saingannya tidaklah sebanding,


Naga melempar berkas tersebut dengan asal.
Membiarkan sekretaris Yan memunguti dengan sigap
lembaran yang terjatuh ke lantai.

"Elang," sinis Naga. Lelaki itu lantas mendengus geli,


menyepelekan sang rival. "Dia bukan siapa-siapa
ternyata."23
***

Naga tidak menepati janjinya!

Kina kembali mengintip ke balik tirai, memastikan bahwa


mobil Naga telah berlalu. Lantas ia menghela napas lega,
tapi tidak sepenuhnya karena Kina tahu...

Masih ada hari esok dan seterusnya.

Kina menggigit kuku telunjuknya. Apa yang harus ia


lakukan untuk mengusir monster itu? Kina benar-benar
tidak lagi ingin berurusan dengan sang Naga, sedikit pun!

Kemudian ponsel di atas sofa ruang tamunya bergetar.


Nama Elang pun tertera pada layer. Tanpa mengulur
waktu, Kina bergegas mengangkatnya. Ia bahkan tidak
menyadari jika tindakannya terlalu terburu-buru hingga
deru napas yang memburu terdengar hingga seberang.

"H-hai, Mas!" sapa Kina, cepat.

"Halo? Kina, kamu nggak apa-apa?"

Pertanyaan penuh perhatian itu pun lantas membuat


napas Kina sedikit menenang. "Nggak apa-apa kok, Mas.
Ada apa?"
"Oh. Kirain kenapa. Kamu kayak ngos-ngosan gitu
soalnya tadi." Elang tersenyum di sana, meskipun Kina
tidak dapat melihatnya. "Ini, kunciran kamu ketinggalan di
mobil aku. Besok aku jemput lagi berarti."

Mau tidak mau Kina terkekeh mendengarnya.


"Kesempatan ya, Mas."

Elang tertawa renyah. "Bukan. Ini namanya pertanda


kalau takdir semakin antusias nyatuin kita."13

Kedua pipi Kina sontak bersemu. "Mas emang dari mana?


Kok baru pulang?"

"Hmm? Baru pulang?"

"Iya. Itu, baru nemu kuncir rambut aku."

"Oalah." Terdengar embusan napas berat di


seberang. "Sebenarnya udah dari tadi. Begitu aku antar
kamu pulang, aku juga langsung pulang kayak biasa. Tapi
tadi ada kejadian nggak terduga."1

Jantung Kina berdebar mendengar nada suara Elang


berubah menjadi sendu. "Mas nggak apa-apa?"

"Mas nggak apa-apa, Kina. Yang kenapa-napa tadi


penghuni apartemen sebelah Mas. Anaknya kesedak pas
lagi makan dan nggak bisa napas. Ibunya panik banget
tadi. Jadi, Mas bantu sebisa Mas dengan nawarin
kendaraan buat ke rumah sakit." Elang berdeham
samar. "Mas tiba-tiba ingat kamu di perjalanan. Terus
kehadiran kuncir rambut ini semakin ngebuat Mas pengin
nelfon kamu." Elang
memainkan scrunchie mini berwarna olive milik Kina
dengan jemarinya.

"Ingat aku?"

Elang mengangguk. "Ibunya masih seumuran kamu.


Masih terlalu muda buat hidup keras begitu."

"Keras?"

"Dia pernah dihamili pacarnya dulu. Terus menikah sama


orang yang salah dan ngalamin KDRT, lalu cerai dan
harus ngehidupin anaknya seorang diri." Elang langsung
berdeham. "Ah, maaf. Nggak seharusnya Mas ngumbar
keburukan orang lain."18

"Mas?"

"Ya?"
"Mas suka sama perempuan itu?" tanya Kina tanpa basa-
basi.

"Kamu ngomong apa sih, Kina?" tanya Elang, geli.


Merasa terhibur dengan ucapan Kina barusan. "Aku cuma
berempati sama dia, terutama anaknya. Semua penghuni
di lantai Mas tinggal pun perhatian kok sama dia."3

Bibir Kina mencebik. "Maaf, Mas, aku sempat nggak


nyaman dengarnya."

"Iya. Makanya tadi Mas minta maaf—"

"Bukan tentang kehidupan dia, tapi soal ... Mas ceritain


perempuan lain." Kina menggigit bibir bawahnya. "Ada
yang nggak enak di hati dengarnya."14

"Oh? Maaf, Kina. Mas nggak sengaja. Next time, Mas


nggak akan bahas lagi ya."

Kina tidak menjawab. Benaknya sibuk memikirkan ide


yang tiba-tiba terlintas. Ide gila yang dirasa akan mampu
mengakhiri semua ini. Menutup seluruh jalan bercabang
yang bisa Naga lalui maupun lawan jenis mana pun yang
hendak masuk dalam kehidupan Elang.

"Kina? Kamu masih di sana? Kok diam?"


Kina menelan ludah. "Iya, Mas. Aku masih di sini kok. Aku
...."

"Iya? Kenapa, Kina?"

"Aku ... aku mau ...."

"Mau apa? Kunciran rambut kamu? Besok—"

"Bukan. Itu buat Mas aja. Aku masih banyak kok." Kina
bersungguh-sungguh. Karena ada yang lebih penting dari
sekadar ikat rambut baginya saat ini.

"Gitu?" Elang tidak kuasa menyembunyikan senyumnya.


Untunglah saat ini ia sudah berada di apartemennya.
Tidak akan nada seorang pun yang mampu melihat
kegilaannya akibat hal kecil ini. "Makasih. Mas jadiin
gantungan mobil aja kali ya? Kalau jadi gelang ini terlalu
feminin."

"He-eh, terserah." Kina menciptakan jeda sekilas.


Mendadak ia ragu, tapi tidak menghentikan lidahnya
untuk berucap. "Mas?"

"Iya, Kina? Kamu mau ngomong apa?"

"Ayo kita nikah."


Bab XXVI | Naga

oleh Junieloo Follow


Kina terbangun karena suara ketukan pintu. Irama yang
berbeda. Kina tahu betul kalau Elang tidak pernah
mengetuk pintunya seperti orang yang tidak sabaran
begitu. Terlebih papi dan maminya. Lantas, siapa
gerangan yang bertamu itu?

Siapa lagi?

Perlahan, Kina bangkit dari ranjang. Berusaha sebisa


mungkin untuk melangkah dengan sangat hati-hati seolah
lantai rumahnya terbuat dari kayu yang mudah berderit
ketika dipijak.

"Kitten, buka pintunya. Abang mau ngomong."6

Gerak Kina terhenti, menciptakan jarak satu meter dari


pintu. "B-Bang Naga mau apa lagi? Abang, kan, janji mau
pergi!" pekiknya.
"Abang nggak bisa. Abang udah janji mau bahagiain
kamu." Sekali lagi Naga mengetuk pintu. Kali ini terkesan
lebih lemah. "Buka, Kina."1

Kina. Untuk pertama kalinya—setidaknya seingat gadis


itu—Naga memanggilnya dengan nama asli. Hal yang
selalu Elang lakukan, tapi ditangkap berbeda oleh
jantungnya. Sama-sama berdebar. Hanya saja, suara
Elang membuatnya senang. Dan suara Naga
membuatnya ... entah. Kina tidak dapat mengartikannya. 5

Campur aduk!

"Aku bahagia kok." Sepasang tangan Kina yang


menggantung di kedua sisi tubuhnya, mengepal kuat.
"Kalau tanpa Bang Naga."16

Hening.

Kina jadi mengira bila ucapannya berhasil mengusir


Naga. Namun, mengapa dirinya justru tidak merasa lega?
Mengapa ia sulit memahami keinginannya sendiri?

Gadis itu ingin memastikan bahwa Naga memang sudah


pergi. Terlebih, untuk jawaban pada hatinya sendiri. Tapi
baru saja Kina membuka kenop pintu, kayu pipih tersebut
langsung terbeliak dan mendorongnya ke belakang.
Sebelum tubuh Kina membentur kerasnya lantai, lengan
kokoh sang Naga selalu siap melindunginya.1

Naga merasakan darahnya berdesir saat Kina berada


dalam kuasanya pun lalu menariknya pada dekapan
sesungguhnya. Dikecupnya puncak kepala gadis itu
dengan penuh kehangatan. Membiarkan aroma buah-
buahan yang segar dan manis membelai lembut ke dalam
indra pernapasannya.1

"I have missed you," bisik Naga sambil memejamkan


kedua mata. 7

Kina yang merasa bimbang dalam posisinya, refleks


mendorong Naga dan memberi keduanya jarak kembali.
"Pergi, Bang Naga."

Naga mendengus. Apakah Kina berusaha denial terhadap


dirinya sendiri? Rengkuhan yang erat barusan membuat
Naga dapat ikut merasakan detak jantung Kina yang
berdegup cepat karenanya. Naga tahu, masih ada
harapan namanya kembali terukir di hati Kina.10

"Nggak. Abang nggak mau pergi. Abang mau pastiin


kalau kamu hidup bahagia," tukasnya.
Katakanlah Naga egois. Naga ingin Kina bahagia
bersamanya. Hanya saja, jika ditelaah lebih dalam lagi,
Naga tidak sepenuhnya memikirkan diri sendiri. Naga
tahu bahwa Kina keliru. Naga takut jika dirinya benar-
benar menuruti permintaan Kina untuk pergi, gadis itu
sendiri yang akan menyesal.5

"Aku udah bahagia! Aku udah punya abang yang lain!


Bang Naga nggak perlu repot."14

Naga seperti disambar petir saat itu juga. Otot bibirnya


seakan mati rasa untuk berucap. Hanya satu kalimat yang
ada di benaknya kini. Satu kalimat yang dirasa cukup
membuat Kina akan mempertimbangkan kehadirannya.

"Abang sayang kamu, Kina. Abang janji udah berubah. Ini


bukan lagi soal Abang cuma kasihan sama kamu. Ini soal
..." Naga memberi jeda sejenak dan berdeham samar.
"kamu udah jadi bagian dalam hidup Abang."

Tidak ingin peduli, Kina kembali mendorong Naga.


Tenaganya memang tidak seberapa, tapi Naga yang
sedang lemah untuknya lantas berhasil dibuat mundur
beberapa langkah hingga keduanya kini berpijak di lantai
beranda kecil rumah Kina.
"Pergi, Bang Naga. Aku mohon," pinta Kina, lagi-lagi
mendorong Naga, saking frustrasinya.

"Sebenci itu kamu sama Abang?" Naga tersenyum getir


melihatnya. Kemudian lelaki itu manggut-manggut. "Oke,
Abang bakal pergi. Tapi besok, Abang akan ke sini lagi
dan terus ke sini, sampai kamu biarin Abang jadi sumber
bahagia kamu lagi," ujarnya, tak terbantah.

Dan Kina tidak dapat membendung air mata yang entah


mengapa mendesak keluar.2

***

Elang selalu sabar, tapi rasanya jalanan yang kini padat


merayap cukup mengganggu. Pagi ini ia merasa
antusias—ralat, terlalu antusias untuk memulai harinya
dengan menemui Kina usai menyiapkan segala yang
dibutuhkan.1

Lelaki itu menarik rem tangan saat kendaraan di


depannya tampak berhenti. Sambil menunggu mobilnya
bisa melaju kembali, diliriknya benda-benda yang telah ia
siapkan, diletakkan di kursi samping kemudi. Sebuket
bunga mawar berwarna putih yang baru dibelinya
dari florist kecil di dekat apartemennya, serta sekotak
cincin yang telah dipesannya jauh-jauh hari.3

Ya, sebelum Kina melakukannya, Elang memang sudah


ada niatan untuk segera melamar gadis itu. Namun, siapa
yang menyangka bila dirinyalah yang justru dilamar Kina
secara tidak resmi semalam?

Elang tersenyum membayangkan bagaimana


menggemaskannya Kina saat cemburu. Lelaki itu berpikir
jika Kina ingin mengakhiri masa lajang keduanya karena
khawatir Elang akan berpaling. Hal yang bahkan sulit
Elang bayangkan karena perasaannya pada Kina
seperti symbol infinity, alias tidak terhingga.

Butuh waktu lebih lama bagi Elang untuk sampai ke


rumah Kina. Akan tetapi, kehadiran mobil sedan yang
terparkir di depan pagar mungil tersebut membuat Elang
mau tidak mau berhenti di belakangnya demi
kenyamanan pengguna jalan lain.

Elang tidak berpikir macam-macam tentang mobil mewah


tersebut. Elang berpikir, itu hanyalah mobil tetangga Kina
yang memang sedang terparkir sembarangan. Ia berniat
membantu Kina untuk menegur sang pemilik nanti.
Tapi tidak. Ternyata dugaannya salah besar.

Elang baru akan turun dengan sebuket bunga di tangan


serta kotak cincin dalam saku celananya saat melihat
seorang lelaki asing keluar dari pagar rumah Kina.

Naga, yang saat itu menyadari pemilik Everest putih


tersebut pun memiliki ide untuk "memperkenalkan diri"
dengan tidak biasa. Sebelum ia masuk ke dalam
mobilnya, terlebih dulu Naga mengucapkan satu kalimat
yang sangat lantang.

Yang sanggup terdengar cukup jelas oleh Elang.

"Jangan harap seorang Naga bakal gampang menyerah,


Kina. Wait for it."13

Naga melempar senyum sinis pada Elang yang masih


duduk di balik kemudi sebelum akhirnya ikut tenggelam
dalam mobilnya sendiri.

Begitu sedan hitam di depannya berlalu, tangan Elang


yang tengah memegang buket bunga pun terkulai lemah
di pangkuan. Naga. Bukankah makhluk itu merupakan
favorit gadis pujaannya?19
Dengan tujuan yang tidak lagi sama, Elang memindahkan
buket bunga di tangannya ke bangku belakang sekaligus
menyembunyikan benda tersebut dari pandangan Kina
nanti. Tidak lupa, ia juga melempar asal kotak cincin yang
kini berpindah tempat ke sisi buket lantas menutupi kedua
benda tersebut dengan kemeja cadangan yang selalu
tersedia dalam mobil.16
Saat turun dari mobil dan melangkah mendekat ke arah
pagar seolah tidak ada apa pun yang terjadi, betapa
terkejutnya Elang melihat wajah Kina menangis dalam
diam. Meratapi arah mobil Naga baru saja berlalu.
Bab XXVII | Elang

"Kina?"

Kina tersentak. Ia bergegas menghapus air matanya dan


memaksakan seulas senyum. "Eh, Mas Elang. Kok nggak
bilang-bilang mau ke sini?"

Elang yang berdiri di ambang pagar yang masih terbuka,


lantas mengernyit mendengar pertanyaan itu. Apakah
Kina lupa? Baru saja semalam mereka saling bertelepon.
Atau jangan-jangan, Kina juga melupakan ucapan gadis
itu sendiri yang membuat Elang berhasil tidak bisa tidur
nyenyak?1

Alih-alih memperpanjang, Elang hanya tersenyum. "Boleh


Mas masuk?"

Kina segera mengangguk. Sekalipun pagar belum ditutup


dengan benar oleh sosok Naga beberapa saat lalu, Elang
tetap memiliki sopan santun. Lelaki itu tidak akan
melakukannya jika sang empunya rumah tidak
memberikan izin masuk terlebih dulu.3
Hal yang sudah jarang diterapkan banyak orang.
Termasuk Naga.2

"Aku belum siap-siap, Mas. Tadi baru mau mandi, eh ada


tamu." Kina menjelaskan, lantas kikuk saat sosok Elang
semakin mendekat usai lelaki itu menutup rapat pintu
pagar.

"Iya, nggak apa-apa. Mas tungguin kok."

Kina tersenyum mendengarnya. "Ya udah, yuk masuk,


Mas."

Sebelum Kina sempat berbalik badan, Elang


menyuarakan sebuah pernyataan yang membuat seluruh
tubuh Kina sontak membeku. Pernyataan yang sangat
amat tidak Kina duga serta inginkan keluar dari mulut
Elang.

"Kamu masih suka baca buku ensiklopedia?"

Jantung Kina berdebar. "Ng ... kok Mas Elang tiba-tiba


nanya begitu?" Gadis itu berpura-pura tidak mengerti.

"Karena Mas lihat, kamu udah berhadapan naga yang asli


sekarang." Elang berdeham samar. 5
Selama ini yang Elang ketahui tidaklah mendalam. Elang
tidak tahu benar apa yang membuat Kina gemar
mengoleksi dan membaca buku ensiklopedia tentang
naga. Elang tidak tahu jika semua itu Kina lakukan
sebagai antisipasi untuk "melawan" sang naga.

Yang Elang ketahui hanyalah "Kina begitu menyukai


makhluk mitologi yang dikenal sebagai naga". Dan siapa
yang menyangka bila sosok tersebut benar-benar ada?
Terlebih, cukup berpengaruh untuk Kina.7

Kina tidak dapat berkata-kata. Ia hanya mampu


bergeming selama beberapa saat sampai akhirnya bibir
mungilnya dipaksa terbuka.

"Maaf," lirih Kina, nyaris setara dengan embusan angin.

"Kenapa kamu minta maaf?"

"Karena aku nggak jujur." Kina menatap Elang dari balik


bulu matanya yang lurus. "Tapi aku sama sekali nggak
berniat ngebohongin Mas Elang. Aku cuma nggak mau
bahas dia. Aku nggak mau ada dia di antara kita."3

Dugaan Elang akan pengaruh Naga pada Kina ternyata


sangat akurat. Entah apa makna sosok itu bagi gadis di
hadapannya ini. Yang jelas, Naga bukanlah "orang lain"
bagi Elang sekarang.1

Elang terkekeh getir. Tawa sumbang yang terdengar


memilukan untuk Kina. "Mas kira, Mas yang paling tahu
segalanya tentang kamu. Ternyata, Mas cuma tahu
dasarnya aja. Nggak sedalam itu Mas kenal kamu."5

Dada Kina terasa tercubit mendengarnya. "Maaf."

"Apa ucapan kamu semalam juga karena Naga?"8

Kina tahu apa yang dimaksud Elang. Meski ragu harus


menjawab, Kina tetap mengangguk. Membiarkan
kenyataan pahit menampar telak Elang pada kesadaran.
"Maaf," cicit Kina, lagi dan lagi.1

"Mas hampir mikir semalam kalau kamu beneran cemburu


dan terlalu takut kalau Mas berpaling ke lain hati." Elang
mengembuskan napas, berat.

"Itu benar." Kina menelan ludah saat kerongkongannya


terasa kering. "Cemburunya aku tadi malam benar
adanya."

"Tapi apa itu yang ngebuat kamu pengin nikah sama


Mas? Bukan dia?"5
Lagi, Kina hanya membisu. Tanpa perlu melihat kepala itu
terayun ke atas bawah pun, Elang sudah tahu bahwa
diamnya Kina merupakan jawaban yang jauh dari
harapannya.

"Maaf." Kembali Kina melakukan permintaan maaf. Entah


sudah keberapa kali.

Hal tersebut membuat Elang tersenyum. "Mas kecewa,


tapi nggak berarti dendam sama kamu kok."6

"Aku tetap merasa bersalah. Aku harap, Mas mau maafin


aku." Kina menegaskan.

"Hmm, oke mas maafin. Tapi dengan satu syarat."

"Syarat?"

"Iya."

"Apa itu?"

"Izinin Naga balik ke kehidupan kamu lagi."52

Kina terkesiap mendengarnya. Persyaratan macam apa


itu? Mustahil! "Nggak bisa. Nggak mau. Itu mungkin, Mas.
Bisa-bisa dia jadi pengacau di antara kita!"

"Kamu takut?"
"Huh?"

"Kina, kalau kamu emang punya perasaan sama Mas,


kamu nggak mungkin takut sama kehadiran dia. Atau
kamu—"

"Aku sayang sama Mas Elang! Tapi ngebiarin Bang Naga


hadir lagi di hidup aku bukan pilihan bagus!"

Bang Naga.

Elang hanya tersenyum. "Mas merasa kamu keliru, Kina.


Mata kamu bilang sebaliknya. Dan Mas nggak bisa ada di
suatu hubungan kalau hati kamu nggak sepenuhnya buat
Mas." 23

Kina tertegun. Batinnya bertanya-tanya, mungkinkah


benar jika Naga masih memiliki ruang di dada Kina?
Mungkinkah selama ini dirinya sendiri keliru terhadap
perasaannya sendiri? Karena jika perkataan Elang dirasa
tidak benar, mengapa ia hanya bisa membatu tanpa
berniat untuk berkelit?4

Membiarkan Kina tetap dengan benak yang sibuk, Elang


kembali melanjutkan ucapannya, "Mas pengin bersaing
dengan sehat sama Naga-Naga itu. Kalau emang ragu
sama perasaan kamu sendiri, biarin kami berdua
berlomba jadi pemenang."

"Cinta itu bukan kompetisi." Kina mendengus. "Lagipula,


Bang Naga bukan saingan, Mas. Dia cuma pengganggu
ketenangan aku!"

"Oh iya?" Elang menggeleng, tidak setuju. "Tapi bukan


begitu yang Mas lihat. Baik di dia maupun di kamu.
Buktinya, kamu minta Mas buat
jadi pelampiasan semalam."7

Kina cemberut. "Maasss, jangan begitu. Aku, kan, udah


minta maaf. Iya aku salah. Aku panik, jadi ngomongnya
nggak mikir dulu. Aku nggak ada niat buat Mas Elang
kecewa atau sakit hati."5

Elang manggut-manggut. "Mas percaya, tapi Mas tetap


mau kamu turutin permintaan Mas." Kemudian lelaki itu
meraih tangan Kina dan meremasnya pelan.
"Please, Kina. Minggu depan Mas ulang tahun, kado Mas
itu aja ya? Mas cuma pengin berhasil menangin hati kamu
dan ngalahin Naga."

Kina mengerjap-ngerjap. Ia takut. Sangat takut bila


kekuatan sang elang tidak sepadan dengan naga.7
Menyadari kekhawatiran di balik kedua mata Kina, Elang
menangkup sebelah rahang Kina dengan tangannya yang
terbebas dari genggaman. "Kalau nanti kalah, Mas ikhlas.
Seenggaknya, kamu hidup sama orang yang tepat kelak,
Kina. Jangan sampai kamu biarin Mas jadi pendamping
kamu dalam kekeliruan."32

Dengan berat hati, Kina mengabulkan permohonan Elang.


Membuat senyum lima jari serta eye smile lelaki itu sontak
terbit di wajahnya. "Makasih, Kina. Kita mulai semua ini
dari awal lagi, oke?"
Bab XXVIII | Versus

Naga tidak menyerah. Seperti yang ia katakan


sebelumnya. Tidak sampai Kina menerima dirinya kembali
menjadi bagian dalam hidup gadis itu.

Usai mengetuk pintu, Naga mendengar Langkah kaki


mendekat dari dalam. Ia telah siap dan tahu apa yang
harus dilakukan ketika Kina kembali menolak
kehadirannya. Namun, dugaan lelaki itu salah. Naga
sampai membeku sejenak di tempat.

Saat Kina membuka kayu pipih yang berdiri kokoh di


antara mereka, Naga langsung menempelkan telapak
tangannya pada dahan pintu. Menahan benda tersebut
akan kembali tertutup jika Kina tahu siapa yang kini
tengah berkunjung. Anehnya, melihat hal tersebut, Kina
hanya bergeming.

"Abang nggak akan ngebiarin kamu ngusir Abang lagi,"


tegas Naga, sekalipun dirinya masih heran dengan sikap
Kina yang tidak terlihat menampik kedatangannya.
"Abang bakal terus ke sini—"1
"Masuk."

Naga tertegun. Kedua matanya tampak mengerjap,


berusaha beradaptasi dengan situasi yang seolah sangat
asing. "Apa?" bisiknya, nyaris tidak terdengar. Naga
memastikan bahwa pendengarannya tidak keliru.

Kina mengembuskan napas. Meski tidak ada senyum di


wajah gadis itu, ucapannya tetap membuat senyum sang
abang terbit. "Masuk, Bang Naga."

Apakah usahanya selama ini sudah membuahkan hasil?


Naga senang bukan main mendengarnya. Akan tetapi,
sudut bibir yang tertarik tersebut tidak bertahan lama.
Karena sedetik kemudian, sosok yang tidak diinginkan
muncul di belakang Kina.

"Masuk aja, Ga. Saya udah buatin sarapan untuk kita


semua." Elang menyambut Naga, ramah.26

Naga tidak langsung menjawab. Batinnya sibuk merutuk


untuk dirinya sendiri. Sialan! Mengapa makhluk itu ada di
sini? Naga sama sekali tidak melihat Everest putih
terparkir di sekitar rumah Kina tadi.1
"Ngapain lo di sini?" tanyanya pada Elang. Naga sangat
tidak peduli bila responsnya terdengar tidak sopan. Justru
dengan begitu akan lebih baik. Ia berharap kehadirannya
tidak akan membuat Elang betah berada di antaranya dan
Kina.1

Mendengar nada tidak bersahabat itu, Elang hanya


tersenyum memaklumi. "Buat sarapan."

Sebelah alis Naga menukik. "Nggak punya dapur


sendiri?"

Elang tidak memasuki sindiran tersebut dalam hati. Alih-


alih dirinya, malah Naga yang gelisah sendiri. "Gue udah
biasa bikin sarapan buat Kina." Lelaki itu mengubah
panggilannya dari "saya" menjadi "gue" demi
menyeimbangkan Naga.3

Enggan melihat pertengkaran lebih jauh, Kina pun


menginterupsi keduanya. "Jangan ribut! Masih pagi,"
tukas sang adik pada abangnya.2

Ya, pada Naga seorang. Seakan Naga lah biang dari


segala ketidakdamaian. Menyebalkan bukan?
Baru Naga ingin membela diri, Kina terlebih dulu
bersuara, "Bang Naga mau masuk atau nggak?"

"Kamu pikir Abang mau satu ruangan sama dia?" Bibir


Naga menipis. Diam-diam kedua matanya menampilkan
kilat permohonan. Meminta Kina untuk segera mengusir
Elang.

Tentu tidak mungkin.

"Kalau bukan karena Mas Elang, pintu ini nggak mungkin


aku buka dengan sukarela buat Bang Naga." Kina
kemudian mendengus. "Masuk! Aku mau buatin
minumannya dulu." Gadis itu bergegas meninggalkan
ruang tamu sebelum Naga sempat membuka mulut.9

Meninggalkan Naga dan Elang berdua. Kesempatan


tersebut tentu saja Naga manfaatkan dengan sebaik
mungkin.

Begitu punggung mungil Kina telah menghilang dari


pandangan mereka, Naga lantas mengalihkan tatapan
tajamnya pada sang Elang. "Jangan kira gue akan
berterima kasih sama lo soal ini."1

Elang mengernyit. "Terima kasih?"


"Lo pikir gue nggak tahu?" Naga berdecih. "Lo sengaja
ngizinin gue ada di antara kalian biar lo kelihatan
bijaksana di depan Kina, kan? Bukan cuma itu, lo bakal
kelihatan lebih gentleman di depan dia karena rela
bersaing secara sehat sama gue. I bet."1

"Gue nggak ada mikir begitu. Gue ngelakuin semua


ini, pure karena pengin ngebuktiin kalau Kina sendiri
nggak keliru." Elang tidak sepenuhnya berbohong. Ia
memang tidak pernah berpikir apa yang Naga duga, tapi
"tuduhan" sang rival tidaklah meleset jauh. Karena
sesungguhnya...1

Elang suka ketika Kina menatapnya bagai sosok tanpa


cela. Terlebih, saat lelaki itu melakukan sesuatu yang
mengagumkan di hadapan gadis pujaannya.19

"Congratulation. Lo udah ciptain lika-liku di jalur lo


sendiri." Kemudian Naga mengikis jarak dan berhenti di
samping Elang. Tinggi mereka yang nyaris sama
membuat Naga dengan mudah membisikkan sebuah
kalimat yang sanggup membuat Elang membatu sejenak.
"Karena seekor elang, nggak mungkin bisa ngelumpuhin
naga. Am I right?"23
***

Meja bundar mungil itu kini terasa semakin sempit karena


kehadiran Naga yang besar. Posisi Kina sekarang berada
di antara kedua lelaki yang menguarkan aura berbeda.2

Naga sang penguasa api yang selalu terkesan membara.


Elang sang penguasa udara yang selalu terlihat damai.7

"Sarapan apaan nih?" protes Naga saat menyadari


piringnya hanya terisi oleh nasi berwarna kecokelatan dan
sayuran segar. Kemudian kedua matanya mengerling
tajam pada Elang. "Veggie Fried Rice? Nggak ada yang
lebih gampang untuk ukuran seorang chef?" sindirnya,
meremehkan.

Kina yang mendengar hal itu langsung melirik sewot pada


Naga. "Makan aja. Masih mending disiapin."

"Tapi ini nggak kenyang."

"Bang Naga kurang? Mau tambah telur mata sapi?


Dibikinin kalau mau."

Kina merasa bersalah. Ia paham betul jika Naga


makannya banyak seperti kuli. Maka dari itu, ia pun
menawarkan diri untuk membuatkan telur—yang tentu
saja mudah. Tapi sepertinya, Naga salah tangkap.

"Nggak mau. Entar jadi telur mata burung!" Naga melirik


sengit Elang.1

"Aku yang masak. Mau nggak?"

Senyum Naga mengembang. "Boleeeh?"

"Hmm." Meski ekspresi gadis itu tampak kesal, Naga tahu


jika ia sudah berhasil menarik perhatian Kina. Dan yang
pasti, membuat Elang cemburu bukan main.

"Baik banget adiknya Abang. Oke deh. Garamnya jangan


banyak-banyak ya," ujar Naga tidak kunjung usai. Lagi-
lagi agar Kina tidak berpaling padanya.

Tapi usahanya gagal kali ini.

"Telurnya habis, Kina. Di kulkas kamu udah kosong."

Pernyataan Elang membuat Kina yang baru bangkit dari


kursinya pun kembali terduduk. "Oh?" Kemudian gadis itu
menoleh ke Naga. "Aku lupa ternyata belum nyetok telur
lagi. Bang Naga mau ambil seperempat nasi aku?"
Elang menelan ludah mendengarnya. Perhatian Kina
benar-benar tidak lebih dari sedetik untuknya.

Naga tersenyum manis. "Nggak usah kalau begitu. Abang


cukup-cukupin. Kalau makannya ditemanin kamu tapi." Ia
lantas mengerling pada Elang meskipun ucapannya tetap
tertuju untuk Kina. "Nanti kapan-kapan Kina makan
berdua sama Abang. Abang pasti bakal kasih kamu
makan daging-dagingan. Daripada makan beginian, kan,"
ujar Naga seolah Kina merupakan makhluk karnivora.

Fokus Elang sontak luput dari Kina. Kini kedua lelaki itu
saling bertatapan. Bedanya, terdapat senyum puas di
wajah salah satunya. Siapa lagi kalau bukan sang Naga?

"Makan ini lebih baik daripada makan hati."5

Senyum Naga lantas menguap mendengar penukasan


itu. Naga tahu betul Kina tengah mencemoohnya. Karena
dirinyalah sang peluka hati terdalam di sejarah kehidupan
sang adik.

Elang pun terkekeh mendengarnya. Tindakan yang


membuat Naga tersinggung.
"Lucu?" Sebelah alisnya menukik tinggi. Kilat permusuhan
semakin kental di kedua mata lelaki itu. "Burung nggak
sopan!"42

"Ih!"

Puk!

Naga langsung meringis saat Kina memukul keras


lengannya. "Kok Abang dipukul?!"1

"Lagian, mau makan aja ribut terus!"

"Abang nggak akan tenang kalau dia di sini!" Naga


menunjuk Elang dengan garpunya tanpa sudi melirik
sosok tersebut.1

"Aku lebih nggak tenang kalau Bang Naga begitu!" Kina


berdecak, keki. "Kalau nggak bisa diam, aku usir entar!"3

Merasa kalah, Naga pun diam dan mulai sibuk dengan


sarapan miliknya.1

Jika ada yang berpikir persaingan ini sulit dimenangkan


oleh Naga, sepertinya mereka salah. Karena belum ada
tiga puluh menit Elang duduk di tempatnya, ia merasa
kalimat bahwa "sang naga tidak mampu dilumpuhkan oleh
elang" adalah benar.
Mungkin emosi yang dikeluarkan Kina untuk Naga lebih
ke arah negatif. Kesal, marah, kecewa, dan sebagainya.
Namun, Elang menyadari kalau di sanalah letak
peluangnya sangatlah kecil. Dengan keburukannya, Kina
lebih memerhatikan Naga.1

Sejak sarapan berlangsung, yang Kina "ajak bicara"


hanyalah Naga meskipun hal tersebut lebih bersifat
"mengomel" maupun "menggerutu". Saat Naga tidak
sengaja menjatuhkan butir-butiran nasi ke lantai, Kina
memakinya. Saat Naga tidak sengaja menumpahkan
sedikit air minum dalam gelasnya di atas meja, Kina
menceramahinya.

Semua terlihat "tidak mungkin" bagi orang lain yang


melihat mereka saat ini. Terlebih, seluruh mata yang tidak
memahami cerita di balik dinding. Tapi di mata Elang,
Naga adalah yang spesial untuk Kina. Keduanya malah...1

Terlihat lebih akrab dari yang ia duga.2

Katakanlah Elang bodoh karena membiarkan penghalang


terbesar masuk dalam kisahnya dengan Kina. Namun, ini
semua juga demi masa depannya. Berkali-kali ia jelaskan
jika dirinya tidak ingin hidup dalam kekeliruan, terlebih
pada orang yang dicintainya. Elang ingin memastikan bila
memang benar dirinyalah tujuan terakhir Kina.9

Dan hari ini, jawaban sedikit terbuka. Haruskah ia


menyerah?
Bab XXIX | Nomor

Elang tidak menyerah. Tidak semudah itu. Ia terus


mendekati Kina dengan selalu menjemput gadis
pujaannya agar mereka berangkat kerja bersama. Hal
yang kini menjadi hobinya. Elang bahkan sampai besar
kepala ketika Kina lebih memilih untuk pergi dengannya
alih-alih diantar oleh Naga—mengingat dirinya sekarang
tidak pernah punya waktu berdua saja. Selalu ada Naga
di antara keduanya.11

Katakanlah Elang menyesal karena telah membiarkan


sosok Naga "masuk" ke dalam kisahnya dan Kina. Tapi
sekali lagi, ia hanya ingin memastikan bahwa pilihan Kina
terhadapnya tidaklah keliru.1

Namun, hari ini. Detik ini juga, sepertinya takdir sedang


berbaik hati padanya. Karena pagi ini, Naga sama sekali
tidak memunculkan batang hidungnya di rumah Kina.
Karena itu, Elang memanfaatkan kesempatannya dengan
sebaik mungkin sekalipun terdengar "basi".4
"Gimana? Enak?" tanya Elang saat keduanya memulai
sarapan tanpa Naga. Ya, sesuatu yang mendadak Elang
syukuri.

Kina manggut-manggut sambil mengunyah dan menelan


tumis brokoli di mulutnya. "Nggak pernah nggak enak sih
kalau dibuat sama tangan Mas Elang," pujinya,
bersungguh-sungguh.

Eye smile Elang terbit karenanya. Ia sudah bisa menebak


jawaban yang keluar dari bibir mungil itu. Tapi lagi dan
lagi, ia hanya senang mengetahui dirinya sempurna di
mata Kina, khususnya dalam bidang satu ini.3

"Senang dengarnya kalau kamu selalu suka."

Kina menggeleng kecil. "Bukan cuma aku, semua orang


kayaknya bakal suka. Bang Naga pun kalau sarapan di
sini, piringnya selalu habis, kan?"19

Senyum Elang menguap. Positive thinking. Mungkin Kina


hanya ingin membawa-bawa Naga untuk membuktikan
kemahiran Elang dalam memasak. "Oh iya? Aku nggak
sadar."
"Iya, Mas. Dia mah bilangnya aja nggak doyan, padahal
sih kalau aku perhatiin tuh makannya nikmat banget,"
celetuk Kina, polos. Gadis itu bahkan tetap asyik
menikmati makanannya tanpa menyadari raut wajah
Elang yang mulai mendung.20

Perhatiin. Benarkah Kina memerhatikan Naga di saat


Elang justru memerhatikan gadis itu? Bagaimana Elang
bisa tidak menyadarinya?1

Kalau dipikir-pikir, bukan Elang yang tidak sadar. Ia hanya


berusaha menampik kenyataan. Sudah jelas jika suara
hatinya kerap menjerit saat logika berbisik bahwa Kina
tidak memandang Naga sebagai "abang" apalagi
"musuh". Sekalipun Kina tampak tidak suka dan selalu
mengomeli Naga, tanpa gadis itu sendiri sadari jika
tindakannya justru merupakan sebuah "perhatian" yang
seharusnya...

Elang sadari sejak lama.

"Mas?"

Lamunan Elang menguap saat sentuhan lembut jemari


Kina pada punggung tangannya di atas meja,
memberikan sengatan yang cukup mengusik. Jantungnya
masih selalu dan terus berdebar untuk gadis itu. Dengan
kata lain, Elang tidak siap menerima fakta kalau dirinyalah
yang "masuk" ke dalam kisah Kina dan Naga.8

"Ah, maaf. Tadi kamu ngomong apa?" Elang buru-buru


menyembunyikan raut kekecewaannya agar Kina tidak
penasaran dengan apa yang berkecamuk di kepalanya
barusan.

Kina tersenyum tipis. "Tadi aku cuma bilang, istrinya Mas


Elang kelak pasti bakal bersyukur banget punya suami
jago masak."8

Sayap sang Elang seakan disambar petir. Kikuk, Elang


pun meyakinkan Kina. Terlebih dirinya sendiri. "Kamu
nggak salah nanya begitu, Kina?"

Gadis itu langsung mengerjap-ngerjap dan terkesiap.


Elang berpikir, Kina telah mengetahui letak kesalahan di
balik kalimatnya. Ternyata, tidak sama sekali.

"Eh, aku ada salah ngomong ya?" Kina bingung.1

Di sinilah ia yakin sepenuhnya bahwa ajakan Kina untuk


menikah tempo lalu hanyalah karena kehadiran Naga.
Gadis itu "terkejut" dengan kedatangan Naga kembali
dalam hidupnya. Dan demi menghindarinya, Kina butuh
Elang sebagai alasan untuk melenyapkan sosok Naga
dari dunia baru gadis itu.4

Baru Elang akan bersuara, ponsel Kina berdering. Lelaki


itu sempat mengintip nama yang tertera pada layar,
sebelum Kina menempelkan benda pipih tersebut pada
telinga.

Hanya barisan nomor tak dikenal, tapi mengapa Kina


mengangkatnya tanpa keraguan? Padahal, gadis itu
selalu mengantisipasi kejahatan dalam bentuk apa pun.
Dan Elang ingat betul akan ketakutan Kina jika sampai
ada orang asing yang mengetahui nomor teleponnya dan
menghubunginya hanya untuk "menghipnotis" seperti
penipuan yang kerap terjadi.

"Ini siapa?"

Elang mengernyit saat Kina justru penasaran dengan


sosok di seberang alih-alih memutuskan sambungan jika
memang ia tidak mengenal suara sang penelepon.2

Kina sendiri tidak menyadari jika Elang tengah


memerhatikannya. Fokusnya terlalu tertuju pada suara
berat di balik ponselnya.
"Ini Abang! Kamu masih nggak mau nyimpan nomor
Abang?" Naga bersungut-sungut.6

Kina mengedikkan bahu acuh tak acuh meskipun Naga


tidak dapat melihat geraknya. "Nggak."

Gadis itu tidak sepenuhnya berbohong. Kina memang


tidak menyimpan nomor Naga pada ponselnya. Namun,
Kina telah mengukir jelas rentetan angka tersebut di
kepalanya. Ya, secara tidak sadar.8

"Kenapa gitu? Kamu udah hafal nomor Abang sampai


nggak perlu disimpan?"

Kina mengerjap saat tebakan Naga tepat sasaran. Seperti


bocah yang ketahuan mencuri permen, gadis itu pun
gelagapan, "Ng-nggaklah! Ngapain juga ngehafalin nomor
nggak penting!"

Usai mengatakannya, Kina bergegas memutuskan


sambungan sebelah pihak. Tidak peduli bila Naga
mencak-mencak karena lagi-lagi Kina melakukannya.

Benar, ini bukan pertama kalinya Naga menghubunginya.


Sudah sering sekali Naga mengusik Kina seakan
pertemuannya dengan gadis itu sebelum dan sepulang
kerja tidaklah cukup. Anehnya lagi, Kina selalu menjawab
panggilan masuk dari nomor yang tersebut. Ia yang
selama ini tidak peduli dengan kontak tidak dikenal,
mendadak jadi gemar membaca deretan angka setiap
muncul panggilan "asing" di ponselnya.

Naga rupanya tidak menyerah. Lelaki itu mengirimkan


pesan singkat pada Kina untuk segera mengabulkan
keinginan sederhananya. Apa lagi?

Naga:

Kitten, save nomor Abang!

Kina tidak langsung membalas. Ia membiarkannya dulu


sejenak sebelum akhirnya kedua ibu jarinya menari-nari di
atas layar. Gadis itu hanya tidak ingin terkesan "antusias"
dengan merespons pesan Naga secepat kilat.19

Kina:

G.

Naga:

Save!

Terus namain, "Abang Dragon"


Kina:

Ih alay!

Naga:

Kata siapa? Keren!

Sama kayak nama kamu di hp Abang...

Shawty Kitten

Kina:

Shawty? Apa itu?

Mau tidak mau, Kina jadi penasaran. Mengapa Naga


menamai kontaknya demikian?

Naga:

Bahasa gaulnya shorty

Masa kamu nggak tahu?

Mainnya sama Elang doang sih. Sayapnya kecil

Kina:

Aku nggak pendek!

Lagian apa hubungannya sama Mas Elang?!


Naga:

Shawty itu panggilan sayangnya

Ada. Kalau mainnya sama Bang Naga, Abang bawa kamu


terbang lebih tinggi

Sayap Abang lebih lebar dari pada si burung

Kamu pasti bisa tahu apa pun lebih luas di dunia ini

Kina:

Ketinggian juga nggak baik

Nanti jatuhnya sakit

Naga:

Siapa bilang Abang bakal lepasin kamu?

Not again, Kitten.

Anyways, lagi apa? Sarapan sama Elang ya?

Membahas tentang Elang, Kina baru sadar jika Elang


sudah tidak ada di tempatnya. Gadis tersebut sempat
berpikir jika Elang mungkin tersinggung karena Kina tidak
menggubris kehadirannya. Akan tetapi, Elang bukan
orang yang seperti itu. Karena beberapa detik kemudian,
Elang kembali muncul dari dapur dengan membawa
secangkir kopi.8

Saat tatapan keduanya bertemu, Elang tersenyum.


Seolah mengetahui isi kepala Kina, ia menjelaskan, "Maaf
tadi aku pakai dapur kamu sebentar buat nyeduh ini."
Lelaki itu mengangkat kopi di tangan dan mulai
menyesapnya begitu ia kembali ke tempat semula.

"O-oh, nggak apa-apa, Mas. Pakai aja," kikuk Kina.


Benaknya mendadak memikirkan mengapa Elang tidak
memintanya untuk membuatkan kopi? Bukankah lelaki itu
lebih suka buatannya? Atau mungkin...

Kina lagi-lagi tidak sadar telah mengabaikannya?

Tidak enak hati dengan Elang, ia pun menaruh


ponselnya. Membiarkan Naga di seberang sana, gelisah
karena menunggu balasan dari kitten-nya.

"Udah chatannya?"

Suara Elang begitu tenang. Lembut seperti biasa. Hanya


saja, entah mengapa Kina menangkap maksud lain di
baliknya. Pertanyaan itu seakan menyinggungnya yang
terlalu asyik dengan ponsel dan seseorang yang tidak
sedang bersama dengannya sekarang.

Kina meringis. "Maaf, Mas."

Elang mengernyit. "Kok minta maaf?"

"Aku buat Mas Elang nggak nyaman ya?" Kina


membasahi bibir bawahnya yang mengering. "A-aku tadi
lagi chatan sama teman."8

"Bilang terus terang juga nggak apa-apa." Elang lantas


meletakkan cangkirnya di atas meja dan menatap Kina
intens. "Boleh Mas tanya sesuatu, Kina?"
Bab XXX | Hati

Kina menelan ludah. Atmosfer di antara keduanya entah


mengapa terasa menegangkan. "A-apa ya, Mas?
Biasanya juga langsung tanya?"

Elang terkekeh. "Iya nih, soalnya kali ini Mas mau nanya
yang mungkin agak sensitif buat kamu."

"Ng ...?" Kepala Kina meneleng. "Apa?"1

"Rileks, Kina. Mas nggak mau gigit kamu kok," guraunya


saat dirasa punggung Kina tampak kaku. Meski begitu,
kedua matanya tidak dapat berbohong jika kilat
kekhawatiran tengah menguasai. "Mas cuma mau tanya.
Kira-kira, apa kamu menyesal juga sama keputusan Mas
tempo lalu?"3

"Keputusan apa, Mas?"

"Soal ini," jawab Elang, cepat. "Keputusan Mas untuk


ngebiarin Naga masuk di antara kita. Karena kayaknya ...
Mas mulai cemburu. Mas takut kehilangan kamu."11
Kina bergeming. Tidak tahu harus berkata apa. Pasalnya,
ia pun tidak mengerti perasaan yang dimilikinya pada
Naga. Menurutnya, ia masih membenci mantan abangnya
tersebut. Tapi di satu sisi, dadanya selalu berdebar tiap
kali ada di samping sang Naga.2

Debaran yang berbeda dengan dirinya terhadap sang


Elang.

"Do you really love me, Kina?"7

Lagi. Kina hanya membisu. Namun, kali ini tidak butuh


waktu lama untuk kembali menginjak bumi dan menjawab
pertanyaan sederhana tersebut. "Aku sayang Mas
Elang."4

"Sama Naga?"

Kina memalingkan wajah. Tidak berani menatap Elang.


"Aku nggak tahu. Sama Bang Naga, aku masih banyak
keraguan."

Mungkin Naga telah berubah. Naga yang kerap


menyemburkan api untuknya, kini selalu mengepakkan
sayap lebarnya seolah siap membawa Kina berkeliling
dunia. Tapi Kina tidak memungkiri seberapa besar rasa
takutnya masih menghantui ketika berurusan dengan
Naga. Kina selalu menolak untuk menaiki punggung sang
Naga dan menetap berpijak pada bumi agar makhluk itu
tidak mampu menghempaskannya lagi.7

Everything has changed, but memories.4

"Jadi, aku ada di sini cuma karena kamu ragu sama


Naga?"15

Sekali lagi, tidak ada intonasi tajam yang keluar dari mulut
Elang. Entah mengapa, hal tersebut justru lebih
menyakitkan terdengar di telinga Kina.2

Membalas kepiluan Elang, Kina bergegas menggeleng.


"Nggak, Mas. Bukan begitu."

"Kalau gitu apa?" Elang menanti. Elang berharap jika Kina


meralat ucapannya. Elang ingin jika asumsinya barusan
adalah kesalahpahaman.1

Dan tidak. Kina lagi dan lagi, hanya membatu di tempat.


Sampai setitik air mata mulai berjatuhan, berlinang di
pipinya.
Elang terkejut. Ia lantas turun dari kursinya dan bersimpuh
di samping Kina. "Lho, kok nangis? Mas nyinggung kamu
ya? Maaf—"

"A-aku nggak mau kehilangan M-Mas Elang. Aku sayang


sama Mas Elang. T-tapi..." Kina menarik napas dalam-
dalam sebelum akhirnya melanjutkan kalimat di sela isak
tangis. "Jujur, Mas, aku nggak bisa ngusir Bang Naga lagi
sekalipun aku mau. Sulit banget rasanya. Di sini..." Kina
menunjuk dadanya. "Perih."

Segera Elang membawa Kina dalam dekapnya. "Shhh,


tenang, Kina. Cuma karena pilihan kita berdua nggak
sama, bukan berarti Mas Elang pergi dari hidup kamu."
Kemudian ia menarik diri dan menghapus air mata Kina
sekaligus menangkup wajah mungil gadis itu. "Dengan
kamu kasih tahu gini, kan, Mas jadi tahu posisi Mas
sebenarnya di sini."

"P-posisi?"

Elang mengangguk singkat. "Meskipun agak sakit—ralat,


sakit banget pas tahu, tapi ya udah. Mas percaya kalau
jodoh udah ditentukan sama Tuhan."13
Kina mencebik sekalipun tangisnya telah berhenti. "Kalau
kita nggak berjodoh, terus aku ...."

"Kenapa masih ragu, Kina?" Elang mencoba membuat


pengertian. "Mas yakin, Naga yang sekarang bukan Naga
yang dulu. Kamu juga makin nyaman di dekat dia, kan?"8

"Dulu juga aku nyaman." Lalu Kina tersenyum getir. "Tapi


dikecewain."

"Kalau kamu takut karena pandangan kamu, coba lihat


dari pandangan Mas. Yang Mas lihat, Naga sesayang itu
sama kamu." Elang berusaha mengabaikan kepedihan di
ulu hatinya. "Mungkin dia bukan orangnya yang kelihatan
mudah buat nunjukin perhatian. Dia nyebelin, Mas akui.
Dia juga kadang sembarangan dan semaunya. Tapi Mas
sadar, justru dengan begitu, artinya dia nyaman sama
kamu."23

Mau tidak mau Elang mengakui bahwa selama ini dirinya


juga keliru. Ia berpikir jika kesempurnaannya yang dilihat
Kina adalah bahagianya. Dan perilaku Naga di hadapan
Kina beberapa kali telah menamparnya.1

Naga begitu apa adanya. Ia diterima oleh Kina beserta


kekurangannya. Sedangkan Elang? Terlalu takut
menunjukkan celanya pada Kina. Yang diterima Kina
darinya adalah kesempurnaan. Lantas, bukan tidak
mungkin bila perasaan Kina kelak akan memudar seiring
berjalannya waktu ketika sang Elang tidak lagi mampu
memamerkan gagah sayapnya, kilau bulunya, serta unik
paruhnya.12

"Menurut Mas begitu?" Dahi Kina berkerut samar. "Apa


Mas Elang selama ini nggak nyaman sama aku?"

"Sulit dijelasin, Kina. Tapi satu hal yang harus kamu tahu,
kalau Mas selalu jadi diri sendiri di hadapan kamu. Cuma
dalam versi terbaik dan selalu baik."

Sudut bibir Kina tertarik. "Aku percaya. Mas Elang selalu


sempurna di mata aku."

"Aku iri sama Naga yang bisa bikin kamu ngerasain


berjuta emosi. Nggak kayak ketika kamu lagi sama aku,
monoton." Elang mengembuskan napas. Ia pikir selama
ini Kina bisa menerimanya apa adanya. Sayang, gadis itu
hanya belum mengetahui kekurangannya sedikit pun.3

Elang di hadapan Kina selalu damai seolah tidak pernah


dihinggapi amarah dan lainnya. Padahal, ia juga manusia.
Dan untuk hidup bersama ke depannya, sepasang
kekasih harus saling mengetahui sikap masing-masing
ketika dihadapkan dengan berbagai emosi negatif, tidak
hanya positifnya saja.

Hari ini juga Elang mengakui bahwa dirinya telah kalah.


Sekarang, ia tidak akan lagi menampik kenyataan
tersebut. Karena seseorang yang mampu membuat kita
tersenyum adalah sosok yang kita kagumi. Sedangkan
seseorang yang sanggup membuat kita menangis adalah
sosok yang kita cintai.17

Hati Kina bukan untuknya.


Bab XXXI | Kado

Naga gelisah!1

Jarum pendek pada arlojinya telah bertengger di angka


10 dan langit sudah gelap gulita, harusnya Kina sudah
pulang. Namun, mengapa gadis itu tidak kunjung
membalas pesan singkatnya?

Atau Kina hanya enggan melakukannya?

Sialan! Hanya karena kucing manis itu, Naga berhasil


dibuat tidak fokus sepanjang hari. Raganya memang
berada di kantor, tapi pikirannya sama sekali tidak dapat
menetap! Ia terpikirkan oleh Elang yang sudah pasti
memanfaatkan kesempatannya dengan sangat baik.

Anyways, lagi apa? Sarapan sama Elang ya?2

Sekali lagi Naga membaca pesannya terakhir kali yang


hanya dibaca oleh Kina. Ingin sekali rasanya
membombardir gadis itu dengan pesan-pesannya
kembali. Bukan Naga gengsi untuk melaksanakan niatan
tersebut, hanya saja...
Tiba-tiba Naga menginginkan Kina "mencarinya".5

Saat meeting berlangsung pagi tadi, Naga bahkan


sengaja meninggalkan ponsel pribadinya di ruangan dan
berharap layarnya penuh dengan notifikasi pesan dari
Kina begitu ia kembali. Sayangnya, tidak sama sekali.
Pun tatkala meeting kedua dan ketiganya berlangsung.
Harapannya menguap mengetahui Kina tidak akan
membalas.2

Naga merasa seperti anak kecil kalau begini. Kesal hanya


karena alasan sepele. Padahal, Kina juga tidak berdiam
diri dan memiliki waktu hanya untuk bertukar pesan
dengannya selama 24 jam.

Tapi tidak begini juga! Ditambah fakta bahwa Elang tentu


"ada" di sisi gadis itu.

Naga yang sudah lengkap dengan piama dan bersiap


untuk tidur, lantas kembali terduduk di pinggir ranjang.
Membiarkan kedua ibu jarinya bermain-main di atas layar
ponsel.

Naga:

Udah tidur?
Ya, pada akhirnya Naga tidak kuasa menahan rindu.
Menunggu Kina mencarinya duluan bagaikan menunggu
hujan di musim kemarau. Mungkin, tapi sulit.1

Naga berdecak saat Kina lagi-lagi tidak membalas. Apa


gadis itu benar-benar sengaja melakukannya?

Naga:

Kitten!

Abang belum lihat kamu seharian.

Masih tidak ada balasan.

Naga:

Abang ke rumah kamu ya?

Perilaku Kina padanya sungguh membuat Naga


geregetan! Lelaki itu mendadak tidak bisa menahan
keinginannya untuk menemui Kina karena sikap dingin
sang kucing.

Di luar dugaan. Pesan dari Kina pun masuk, menghiasi


notifikasi di ponselnya.

Kina:
Tumben izin

Biasanya langsung ke sini aja kayak rumah sendiri

Kekesalan Naga menguap. Ia bisa membayangkan


bagaimana menggemaskannya Kina saat tengah
menyindir. Bukannya merasa terobati, Naga justru
semakin ingin tancap gas langsung ke rumah Kina untuk
menggigit pipi gadis itu.9

Naga:

Formalitas. Biar sopan kayak si burung

Jadi, gimana?

Kina:

Gimana apanya?

Naga:

Boleh?

Kina:

Kalau aku larang, Bang Naga juga bakal ke sini kan?

Sudut bibir Naga tertarik membacanya. Perlahan, Kina


begitu memahami Naga. Benar begitu?
Naga:

Kamu bisa larang Abang kali ini

Soalnya Abang lagi capek

Tapi kalau kamu beneran mau Abang datang

Abang langsung ke sana sekarang juga

Kina:

Ya udah istirahat aja

Naga:

Kamu nggak mau Abang ke sana?

Kina:

Abang juga ke sini mau ngapain?

Tanpa berniat mengetik balasan kembali, Naga langsung


saja menghubungi nomor Kina dan mengutarakan
perasaannya saat ini juga.

"Hal—"

"Abang kangen. Mau ketemu," jujurnya, nyaris terdengar


merengek seperti anak kecil. Kina di seberang mungkin
akan kebingungan karena tingkahnya satu ini. Naga yang
dulu menakutkan telah lenyap entah ke mana.14

"Besok, kan, bisa. Lagian aku juga mau tidur."

"Besok ada Elang pasti! Males." Naga mendengus seraya


memutar mata meskipun Kina tidak dapat melihatnya.
"Kamu yang ke sini dong. Sekalian nengokin Mami dan
Papi. Kalau mau, nanti Abang suruh supir jemput—"

"Ih, udah malam! Ganggu Mami dan Papi tidur yang ada.
Lagian aku ngantuk, tadi aku bilang, kan," sergah Kina.

"Iya, nginap di sini sekalian. Bobo sama Abang kalau


perlu."6

Di tempatnya, Kina membeku. Kedua matanya


mengerjap-ngerjap berusaha mencerna kalimat Naga. Ia
tahu, abangnya itu hanya itu tidak bermaksud macam-
macam, murni tidur dengan saling menemani. Namun,
keduanya bukan anak kecil! Mereka kini adalah wanita
dan pria dewasa yang mungkin bisa berakhir buruk jika
melakukannya.1

"Kitten? Kok diam?"


"Aku ngantuk," kilah Kina, mengalihkan pembicaraan
yang sempat membuat benaknya berpikir yang tidak-
tidak.

"Oh, mau tidur ya?"

"Menurut Abang?"

"Jangan dingin-dingin, nanti Abangnya sakit." Naga


terkekeh. "Ya udah kalau gitu, sleep tight my Kitten. Have
a nice dream."

Kina terburu-buru memutuskan sambungan, lalu


mendekap dadanya yang berdebar. Lelaki itu, Nagara
Kusuma, ternyata masih sangat menjadi kafein baginya.
Buktinya, sekarang Kina justru sulit memejamkan kedua
mata sekalipun kuap beberapa kali keluar dari mulutnya.7

Naga yang kini ia kenal adalah Naga yang manis. Naga


yang bersikap seperti manusia pada umumnya. Naga
yang ternyata...1

Lebih Kina sukai.5

***
Kina diliburkan. Begitulah pesan yang ia dapatkan dari
sang papi pagi ini. Dan gadis itu tahu apa penyebabnya.
Lebih tepatnya, "siapa" biangnya.2

Siapa lagi kalau bukan sang Naga yang kini telah


tersenyum lebar di depan pintu, menemui Kina dengan
kotak kado berukuran sedang di tangannya.

Kina menelengkan kepala. "Ng ... ini apa? Aku nggak


ulang tahun?"

"Siapa bilang Abang lagi ngasih hadiah?"

"Terus?"

Naga pun membuka tutup kado berpita tersebut dan


menunjukkan isinya pada Kina. Sesuatu yang membuat
kedua mata gadis itu berbinar melihatnya.

"Lucu ya? Abang nemu di jalan." Sambil melanjutkan


kisah si anak kucing berwarna oren tersebut, Naga
membiarkan Kina mengambil dan menggendongnya.
"Induknya mati, ketabrak mobil di depan Abang tadi.
Terus Abang ingat kamu, jadi Abang bawa dia ke sini."15
Entah mengapa Kina terenyuh mendengarnya. Pertama,
karena Naga ternyata cukup berhati. Kedua, karena lelaki
itu memikirkannya.1

"Tapi kenapa dipakaiin bungkus kado? Kayak


direncanain." Sebelah mata Kina menyipit, menatap Naga
curiga.

Mendengar tuduhannya, Naga pun berjengit. "Kamu pikir


Abang sengaja nabrak induknya? Abang nggak sejahat
itu!" sewot lelaki itu, kesal. Kotak kado tersebut memang
sengaja ia beli usai peristiwa mengenaskan yang
menimpa si kucing terjadi. Tidak terencana sama sekali
sebelumnya. Hanya ingin "memperindah" pemberiannya
untuk Kina.2

"Bukan." Kina dengan cepat menggeleng dan meralat,


"Maksud aku, mungkin Bang Naga beli kucing ini terus
ngarang cerita aja tadi."

Naga mendengus. "Kamu nggak percayaan banget kalau


Abang ini sebenarnya baik. Mungkin kalau Elang bilang
dia nabrak kucing pun, kamu bakal pikir dia sebenarnya
nyelamatin kucing itu dari kejamnya dunia," gerutunya,
panjang lebar. Penuh akan kecemburuan.7
Kening Kina lantas mengernyit. "Kenapa tiba-tiba
nyambungnya ke Mas Elang?"

Naga hanya mengangkat bahu dengan bibir sedikit


mencebik. "Abang sebal."2

"Abang sendiri yang bawa-bawa Mas Elang." Kina


memutar mata. Kemudian tatapannya mengarah pada
makhluk mungil dalam dekapnya. Begitu rapuh dan tak
berdosa, membuat Kina sendu melihatnya. "Kayaknya
aku nggak bisa nerima ini."

"Kamu benar-benar mikir Abang ngarang cerita cuma


buat cari perhatian kamu?" Naga tersinggung.

"Bukan begitu, Bang Naga." Kina berusaha tetap sabar


menjelaskan, meskipun lubuk hatinya cukup jengkel
karena Naga persis seperti perempuan yang sedang
datang bulan di hari pertamanya. "Aku cuma takut—"1

"Itu cuma kucing. Kamu nggak kasihan?" Naga cukup


sedih mendengarnya. Pasalnya, ia akan mengira kalau
Kina akan menerimanya dengan senang hati. Kina
bahkan dengan cepat menggendong makhluk tersebut.
Kehadiran kucing oren tersebut nantinya pasti akan lebih
memudahkan Naga mampir ke sini menggunakan alasan
baru, "menjenguk anak mereka".27

"Aku nggak punya kemampuan ngerawat kucing. Aku


takut keliru. Aku takut nantinya aku sendiri yang malah
ngebuat kucing ini nggak bahagia."

Penjelasan yang keluar dari mulut gadis itu membuat Kina


sendiri seakan terlempar ke masa lalu. Ia tidak ingin
menjadi seperti Margie yang berpikir bahwa dirinya
bahagia padahal tidak sama sekali. Begitupun dengan
anak kucing dalam kuasanya kini. Kina tidak ingin
membuat jiwa bebas nan liar si kecil menjadi terkungkung.

Mengetahui latar belakang Kina, Naga pun merasa iba.


Mengembuskan napas, ia lantas meraih anak kucing
berusia kurang lebih 1 bulan tersebut dan berusaha
memasukkannya kembali dalam box yang memiliki lubang
pada kedua sisinya. "It's okay, Kitten. You'll be
fine," gumamnya, entah berbicara dengan siapa.4

Mengamati Naga akan menutup kotaknya, Kina pun


penasaran, "Abang mau bawa ke mana?"

"Ke penampungan yang terpercaya. Abang nggak mau


buat kalian berdua ngerasa nggak nyaman. Maaf."2
Pernyataan yang begitu terdengar tulus dan apa adanya
pun membuat hati Kina menghangat. "Aku ikut ya?
Sekalian kita sarapan di luar. Abang belum makan, kan?"1

Naga mengerjap-ngerjap. "K-kamu belum sarapan sama


Elang?"6

"Bang Naga nggak mau sarapan berdua sama aku?"14

Dan Naga hanya tersenyum manis mendengarnya.


Bab XXXII | Pelangi

Ada yang bilang, apa pun akan terasa indah jika


dilakukan dengan orang yang spesial. Dan Naga setuju
akan statement tersebut.4

Bubur ayam pinggir jalan yang kini keduanya telah


nikmati, terasa sangat lezat di indra pengecap lelaki itu.
Naga bahkan sampai menambah satai usus dan telur
puyuh saking enaknya.

Kina yang diam-diam mengamati Naga makan dengan


begitu nafsu pun mengulum senyum. Ia menyesap teh
tawar hangat miliknya terlebih dulu sebelum bersuara,
"Bang Naga lapar ya? Kalau mau, nambah aja lagi."

Naga lantas terkekeh mendengarnya. "Kamu ngomong


seakan kamu lagi nraktir Abang."

"Emang kok. Nanti Aku yang bayarin."

Sendok Naga pun tergantung di depan mulutnya.


Ditatapnya Kina seolah gadis itu tengah mengatakan
sesuatu yang sanggup mengubah dunia.
Ya, dunianya.

"Kamu serius?" tanya Naga, tidak percaya.

Kina pun dibuat aneh sang abang. Mengapa pula Naga


melihatnya seolah-olah Kina merupakan sosok yang
perhitungan?!

"Bang Naga kenapa lihat aku begitu? Emang aku


kelihatan pelit?" Kina mencebik, tersinggung.

"Bukan gitu." Naga berdeham. Ini bukan soal uang,


melainkan sikap Kina padanya yang benar-benar berubah
pagi ini.

Usai mengantar anak kucing yang ditemuinya ke tempat


penampungan hewan terpercaya dan terbaik di kota,
perjalanan mereka dipenuhi dengan obrolan ringan. Mulai
dari berdebat kecil akan sarapan yang diinginkan, sampai
membahas gigi Kina di masa lalu. Hal yang sebenarnya
sangat menyebalkan bagi gadis itu, tapi terlalu
mengesankan di benak Naga.9

Momen keduanya saat berada di mobil sedan nan mewah


Naga pun kembali terngiang dalam kepala Kina.
"Dari sekian kenangan bagus di masa lalu, kenapa yang
Abang ingat malah gigi aku sih?!" sewot Kina, lantas
membuang pandangan ke arah luar jendela. Naga
tetaplah Naga. Menyebalkan!3

Hening selama beberapa saat. Kina sampai kembali


menoleh pada sang abang hanya untuk memastikan lelaki
itu mendengarnya.

Tanpa melepas pandangan dari jalanan di hadapan, Naga


mengembuskan napas berat. "Karena Abang nggak
pernah berharap kamu bakal berubah," bisiknya, nyaris
tidak terdengar.

Kina mengerjap. "Kenapa? Bukannya sekarang lebih


baik?"

"Terlalu baik." Naga tersenyum simpul. "Sampai Abang


cemburu ada hati lain di hidup kamu."3

Kina tahu siapa yang dimaksud. Tapi ini bukan tentang


Elang, gadis itu tengah memikirkan suatu hal yang
membuat hatinya tersentuh. Benar, sebuah fakta akan
Naga yang ternyata telah menerima Kina apa adanya.
Sejak dulu. Sejak lelaki itu bahkan belum menemui Kina
yang berubah seperti ini.
Senyum tipis muncul di wajah Kina yang sedikit merona.
Tidak mengerti mengapa hal sederhana tersebut mampu
membuatnya merasakan jutaan kupu-kupu di perut.2

"Aku nggak pernah berubah," gumam Kina sambil


menatap profil Naga yang tidak pernah berubah. Masih
terdapat bekas luka di paras Adonis tersebut meskipun
telah cukup memudar. Naga tidak semenyeramkan yang
dulu. Atau mungkin, karena dirinya sudah mampu
"menjinakkan" makhluk ini? "Aku tetap Kina yang dulu."

Naga menggeleng samar. Sepasang bahunya yang tegap


tampak lesu saat merespons, "Bukan. Kina yang dulu
nggak pernah benci Abang. Kina yang dulu selalu lihat
Abang seperti pelindung, bukan monster. Kina yang dulu
selalu pengin ikut Abang ke mana pun, bukan menjauh."

Terdapat rasa nyeri di ulu hati Kina saat Naga


mengatakannya. "Kina yang sekarang karena Abang
sendiri yang buat."2

Naga manggut-manggut. "Iya. Makanya Abang mau


nebus semua kesalahan Abang." Kemudian ia tersenyum
masam. "Tapi malah ada Elang yang jadi penghalang."

"Mas Elang bukan penghalang."


Naga memutar mata. "Dibela terus si Burung!"21

Kina serius dalam mengatakannya. Elang memang bukan


lagi penghalang. Akan tetapi, Naga salah mengartikan hal
tersebut. Naga berpikir, Kina tidak suka jika lelaki itu
berbicara buruk tentang Elang.

Alih-alih menjelaskan, Kina membiarkan Naga salah


paham. Gadis itu—entah mengapa—merasa tergoda
untuk membuat Naga gerah.

"Nanti belok kiri aja ya, Bang."

Naga mendengus. "Udah ngalihin pembicaraan. Anggap


Abang kayak supir taksi lagi!" gerutu lelaki itu, tapi tetap
menuruti keinginan Kina.5

"Nah, di sana ada banyak yang jualan sarapan. Bang


Naga mau bubur ayam, kan?" tanyanya begitu mobil
Naga memasuki area yang cukup ramai akan pedagang
kaki lima.

Naga mengerling kesal. "Kata siapa? Abang bukan bayi!"

Kina langsung menatapnya dengan wajah datar. "Ini


bubur ayam, bukan bubur bayi!"

"Abang bukan ayam!"23


"Ish!" Refleks, Kina memukul lengan Naga yang terbebas
dari roda kemudi. "Jangan sok deh! Kayak nggak pernah
makan bubur ayam aja."

"Abang lagi nggak mau makan bubur." Hidung


mancungnya lantas berkerut mendapati suasana di sana.
Bagaimana bisa orang-orang itu menikmati makanan di
pinggir jalan?! Apa bumbu polusi mampu menjadikan
santapan lebih enak?9

"Aku lagi mau. Dan bubur ayam Mang Encus itu paling
terkenal."

"Namanya nggak keren!"2

"Ih, Abang!" Kina berdecak. "Ayo, parkir dulu aja di depan


Apotek ujung itu. Kayaknya di situ doang yang masih
kosong." Kina melirik arloji kecil di pergelangan
tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul 09:45 WIB.
Pantas saja ramai. Karena semakin siang, semakin padat
di tempat ini.

Bukan tanpa alasan Kina memilih sarapan di sini. Semua


karena kisah mami dan papinya yang dahulu kala, saat
masa pacaran, katanya pernah makan di daerah ini juga.
Sebuah fakta yang ajaib mengingat bagaimana
penampilan Keira dulu, bahkan hingga sekarang. Tidak
pernah disangka bila wanita itu memiliki selera
"sederhana" juga soal perut.

"Jauh amat parkirannya sama tempat makan," protes


Naga, dongkol.2

"Komen aja!"1

Meski berat hati, Naga tetap mengalah.

Dan di sinilah mereka. Menikmati santapan yang Naga


"ragukan" tapi malah berujung nambah.

"Kitten? Kamu ngelamun ya?"

"Huh?" Kina mengerjap-ngerjap. Reaksi yang selalu


menggemaskan di mata Naga. "Abang tadi ngomong
apa?"

"Ya, Neng?"5

"E-eh?" Kina meringis pada tukang bubur yang tengah


mengelap tangannya dengan kain buluk, meskipun ia
tahu bahwa benda tersebut sangat bersih. "B-bukan
Abang maksudnya. Tapi Abang saya." Kina pun menunjuk
Naga di sampingnya dengan ibu jari.1
"Oalah. Hehehe ... kirain mau nambah satai lagi. Udah
habis nih."

Kina hanya tersenyum mendengarnya. Pandangan gadis


itu lalu kembali pada Naga yang tengah mati-matian
menahan tawa hingga kupingnya memerah.

Melihatnya, Kina pun cemberut dan memukul paha Naga.


"Jangan ketawa."

"Lagian sih, panggilnya pakai nama dong."

"Kepanjangan." Kina segera mengalihkan pembicaraan.


Kembali pada pembahasan awal. "Tadi Abang—ehem,
Bang Naga maksudnya, ngomong apa?"

"Nggak. Tadi, kan, kamu bilang kalau Abang mikir kamu


pelit, tapi bukan itu." Naga berdeham samar. "Abang
cuma nggak terbiasa sama kamu yang begini."

"Sama aku yang royal?" Kina mengernyit. "Ini juga


semuanya nggak akan nyentuh lima puluh ribu."

Naga tersenyum. "Bukan, tapi sama kamu yang baik ke


Abang. Karena biasanya, kamu marah-marah ke Abang.
Sikap kamu yang ini cuma buat Elang."

Kina bergeming. Tidak tahu harus membalas apa.


"Jangan dipikirin. Abang senang kok. Cuma ..." Naga
menghela napas. "Abang masih berharap kalau Abang
satu-satunya yang diperlakuin begitu sama kamu."

Apakah lelaki ini tidak pernah berpikir bila Kina justru


menjadi "apa adanya" di hadapan seorang Naga? Hanya
karena dan dengan sosoknya, Kina mampu merasakan
berjuta emosi. Baik negatif, maupun positif. Dan hal
tersebut tidak ia berikan ke pada siapa pun, tidak
terkecuali Elang.

Lantas, apa yang perlu diirikan dari Elang? Setidaknya,


mulai detik ini.1

"Bang Naga?"

"Hmm?"

"Kalau boleh jujur, aku nggak pernah marah sama Mas


Elang ..."

Naga tersenyum kecut. "Iya—"

"...aku nggak pernah kecewa sama Mas Elang. Aku


nggak pernah nangis karena Mas Elang. Aku nggak
pernah takut sama Mas Elang."
Naga hanya terdiam. Tidak berniat menginterupsi Kina
sama sekali meskipun tatapan keduanya semakin intens.
Menyelam ke masing-masing manik mata hingga
membuat dunia seakan hanya berputar di sekelilingnya.

"Tapi yang harus Bang Naga tahu. Kalau semua itu,


nggak ngebuat aku jadi ekspresif. Aku nggak benar-benar
tahu apa itu rasa senang sama Mas Elang karena nggak
pernah dibuat sedih. Aku nggak benar-benar tahu apa itu
rasa lega karena nggak pernah dibuat sakit ..."

"Di saat semua orang pengin dibahagiain, kamu mau


disakitin?"7

Kina menggeleng. "Bukan itu pointnya."

Sebelah alis Naga terangkat. "Terus?"

"Kebaikan disanjung karena di dunia ini ada yang


namanya keburukan."1

"Abang nggak paham."

Kina menatap Naga, kesal. "Bang Naga tahu kiasan


nggak sih?!"

"Itu bukan kiasan. Itu kode-kode." Naga mengedikkan


dagu. "To the point, Kitten."10
Salah! Salah Naga menyuruh Kina untuk berbicara
langsung pada inti karena ucapan gadis itu selanjutnya
benar-benar membuat lidah Naga kelu. Dunia seolah
berotasi pada mereka saja. Bumi dan seisinya merupakan
milik kedua makhluk tersebut. Yang lain, termasuk abang
bubur di hadapannya kini hanya menumpang!9

"Aku sayang Bang Naga."30

Jika Kina merasakan jutaan emosi saat bersama Naga,


lelaki itu kini sanggup dibuatnya merasakan jutaan warna
dalam kehidupan. Tidak ada yang menandingi. Bahkan
pelangi sekalipun.
Bab XXXIII | Mendung

"Aku sayang Bang Naga."2

Hingga tiga hari kemudian, ucapan Kina, suara


lembutnya, intonasi lugasnya, hingga tatapan teduhnya,
masih senantiasa menari-nari di kepala Naga. Sudut bibir
yang diam-diam tertarik, serta dada yang berdebar
kencang. Respons yang selalu Naga terima dalam dirinya
saat momen tersebut kembali terlintas.4

Dua hal yang Naga sukai.

Naga melirik arloji di pergelangan tangan, kemudian jam


dinding pada ruangan kantornya seolah tidak cukup yakin.
Lelaki itu lantas mengembuskan napas saat fakta tersebut
benar adanya. Waktu masih menunjukkan pukul 10 pagi,
tapi ia sudah sangat rindu akan Kina dan dirinya sendiri
saat berada di dekat gadis itu.2

Seandainya saja Naga tidak sedang disibukkan dengan


berkas-berkas yang kini menumpuk di atas meja, mungkin
ia sudah tancap gas menuju rumah mungil Kina. Tapi
tidak. Percuma juga jika ia melakukannya. Kina tentunya
sudah berangkat kerja.

Ritual "sarapan" bersama, lengkap dengan Elang seolah


lenyap. Apalagi usai Naga mendapat kepastian dari Kina
sendiri bahwa hati gadis itu adalah untuknya. "Bersaing"
tidak lagi ada dalam daftar hidupnya.5

Naga meraih ponselnya yang tergeletak tepat di samping


tumpukan berkas dan mulai mengetik sebuah pesan
singkat untuk Kina. Ia mengatakan bahwa dirinya nanti
malam akan berkunjung. Namun, Kina tidak kunjung
membalasnya hingga jam makan siang tiba.

Lelaki itu berusaha positive thinking. Mungkin saja Kina


belum sempat membalas karena restoran sang papi
sedang ramai? Kalau begitu, tidak apa. Naga akan datang
tanpa kabar dengan membawa serta kejutan kecil nanti.

Kira-kira apa yang anak kucing itu sukai? Perhiasan?


Bunga? Atau mungkin Royal Canin?18

Naga terkekeh sendiri akibat pemikirannya.

***
Elang menepuk-nepuk punggung Kina dalam
rengkuhannya. Guncangan pada bahu mungil tersebut
telah lebih tenang. Tangisnya pun sudah mereda.

Sebelum sempat ia melepaskan gadis itu, sepasang mata


yang begitu tajam menembus pelipisnya. Segera Elang
menoleh ke arah di mana aura kebencian tersebut
sempat berada. Sayang, sosok yang dicarinya telah pergi.
Elang bisa mendengar suara pintu mobil tertutup dengan
begitu kencang sebelum akhirnya muncul deru kendaraan
yang perlahan menjauh.

Lelaki itu mengembuskan napas. Kina punya tugas lain


usai mendungnya hari ini. Semoga Naga tidak sulit
memercayai Kina atas apa yang terjadi sekarang.

Pagi tadi, Elang dikejutkan dengan ketidakhadiran gadis


itu di restoran. Kina memang tidak meminta dan tidak pula
mengizinkannya menjemput di rumah untuk berangkat
bersama seperti biasa. Saat Elang bertanya lewat pesan
mengapa demikian, Kina hanya menjawan bahwa dirinya
pun tidak tahu. Ia seolah telah memiliki feeling tentang
apa yang terjadi hari ini.
Dan benar saja. Perasaan gelisah Kina sejak semalam
bukanlah tanpa alasan.

Diawali dengan rasa malas untuk bersiap bekerja hari ini,


rutinitas pagi Kina diinterupsi oleh telepon dari sang mami
yang mengatakan bahwa Margie mengalami kecelakaan
saat berusaha melarikan diri untuk kesekian kali dari
Rumah Sakit Jiwa yang merawatnya.

Sekalipun memiliki masa lalu yang buruk, Margie tetaplah


berjasa dalam membesarkan Kina. Gadis itu menyayangi
mamanya walau bagaimanapun. Lagipula, keadaan
psikologi Margie tidak sehat sehingga bukan "hukuman"
yang perlu dilayangkannya pada wanita yang telah
menghidupkannya selama belasan tahun tersebut.1

Hingga detik ini, Kina masih berharap akan kemajuan dari


informasi yang kerap diberikan sang papi. Namun, hari
demi hari selalu sama. Kondisi mental Margie semakin
memburuk di RSJ. Wanita itu tidak pernah meminum obat
yang diberikan rumah sakit dan membuangnya secara
diam-diam, bahkan ia juga pernah memanipulasi semua
orang di sana dan bersikap seolah-olah dia telah sembuh
hanya untuk keluar dari "penjara".
Pernah berhasil. Sayangnya, Margie melakukan hal yang
sama seperti dulu. Lebih buruk. Ia "menculik" seorang
bocah di luar gedung Sekolah Dasar saat jam istirahat
berlangsung dan berniat membawanya untuk dirawat.
Beruntung, tindakan kriminal tersebut segera dicegah
oleh beberapa saksi yang mencurigainya.1

Ya, begitulah Margie dan kisahnya yang miris. Sampai


hari ini, menjadi percobaan terakhir untuk melarikan diri.
Karena wanita itu benar-benar selesai. Mobil yang
menghantamnya saat berusaha kabur dari kejaran para
petugas RSJ membuatnya terpelanting hebat hingga
harus meregang nyawa di tempat.1

Kina tidak dapat menolak saat Elang datang ke rumahnya


malam ini dan menawarkan bahu. Tangis gadis itu
mendadak pecah kembali saat ditanya akan keadaannya
oleh Elang. Tidak ingin mengulur waktu, dipeluknya Kina
tanpa peduli kemejanya basah oleh air mata.

Sampai sosok Naga tiba-tiba muncul dan tertangkap oleh


sudut mata. Nahas, makhluk buas itu telah pergi sebelum
Elang sempat menarik diri dari Kina. Ia juga tidak berniat
mengejarnya karena dirasa percuma.
Naga sedang dibakar api cemburu. Penjelasan Elang
nanti hanya berujung sia-sia karena kepala sang Naga
sedang jauh dari kata dingin.1

Sudah lebih tenang, Kina pun melepas diri dan memberi


jarak di antara mereka. "Maaf," lirihnya, tidak enak hati.
Bagaimana mungkin ia berlaku kurang sopan dengan
tidak mempersilakan Elang masuk ke dalam rumah
terlebih dulu? Posisi keduanya yang kini berada di
beranda mini rumah Kina, membuat gadis itu mendadak
malu. Tidak dapat dibayangkan bila ada tetangga yang
melihatnya dan berpikir tidak-tidak karena berpelukan di
luar.

"Kenapa minta maaf?" tanya Elang, lembut.

Kina meringis kecil. "Soalnya langsung nangis aja tadi.


Nggak sopan banget nggak bukain pintu dulu buat Mas
Elang."

"Nggak apa-apa." Elang terkekeh. "Kamu mau cerita


sama Mas? Biar lega. Tapi kalau nggak mau, nggak
masalah—"

"Mau." Kina manggut-manggut. Sejujurnya, memang itu


tujuannya hari ini. Ia ingin menumpahkan segala yang
terjadi agar bebannya terasa sedikit lebih ringan. Sayang,
seseorang yang diharapkannya justru tidak datang.
Bahkan pemakaman Margie tadi sore hanya dihadiri
beberapa orang, termasuk mami dan papinya saja.

Naga tidak ada. Padahal, Kina sedang sangat


membutuhkannya. Rengkuhan hangat sepasang lengan
besar nan kokoh itu. Bahu lebar serta dada bidangnya.
Juga wangi maskulin yang menenangkan penciumannya
lebih baik daripada aroma minyak kayu putih yang kerap
ia gunakan setiap kepala terasa penat.7

"Ya udah, ayuk cerita. Mau Mas buatin sesuatu sekalian?


Makan yang berkuah-kuah kayaknya cocok sama kondisi
sekarang." Elang menawarkan.

"Boleh. Bisa buatin cream soup aja, Mas? Aku ada yang
instan di kabinet dapur. Biar cepat."

Elang mengangguk. "Oke. Kita cerita di dapur aja kalau


begitu ya? Tapi..."

Kina mengernyit saat mendapati raut wajah berseri milik


Elang berubah. Terdapat kekhawatiran di balik kedua
matanya. "Kenapa, Mas? Ngerepotin ya?"
"Bukan. Ngapain Mas tadi nawarin kalau emang repot?
Apalagi kamu mintanya nggak aneh-aneh, instan pula."
Elang bersungguh-sungguh.

"Terus?"

Baru Elang ingin bersuara, memberi tahu Kina bahwa


gadis itu memiliki tugas untuk menjelaskan perihal ini
pada Naga, ponsel Kina di atas sofa ruang tamu
berdering.

"Halo?"

"Kina Sayang, Papi lagi jemput kamu ya." Suara sang


mami lantas membelai indra pendengaran Kina begitu
benda pipih tersebut menempel di daun telinganya.

"Eh? Mau ngapain, Mi?" Kina berdeham. Berusaha kuat


agar suara sumbangnya tidak terdengar. "Aku udah baik-
baik aja kok. Mami dan Papi jangan khawatir. Aku nggak
perlu dijagain—"

"Naga kecelakaan, Sayang. Mami lagi di rumah sakit."40

Dunia Kina lantas runtuh dalam sekejap. Tidak. Tidak lagi!


Bab XXXIV | Kupu-kupu

Kina terduduk pada single sofa samping ranjang di mana


Naga tengah terbaring. Menurut yang disampaikan mami
dari dokter yang memeriksa abangnya, Naga tidak
mengalami luka serius. Di balik perban yang menyelimuti
ujung dahinya pun tidaklah fatal. Lantas, mengapa Naga
tidak kunjung bangun?16

Kina mengembuskan napas. Mami dan papi sudah pulang


karena Kina sendiri yang menawarkan diri untuk menjaga
Naga. Kedua orangtua angkatnya tersebut sempat
menolak karena ia tahu apa yang telah lalui hari ini.
Namun, semua itu justru menjadi alasannya. Kina
mengatakan bahwa dirinya akan semakin tidak tenang
jika Naga tidak ada dalam jangkauannya.

Gadis itu melirik jam analog pada ruangan bernuansa


putih tersebut. Jarum pendek telah bertengger di angka
12 malam dan mata Kina sudah terasa berat. Kuap kecil
beberapa kali bahkan keluar dari mulutnya. Kina ingin
sekali berkelana dalam mimpi, tapi takut Naga
membutuhkan sesuatu nanti saat terbangun.1
Dan setelah berusaha keras menahan kantuk yang
menyerang, Kina pun tertidur. Kepala gadis itu telungkup
di atas kedua tangan yang terlipat pada pinggir ranjang.1

***

Kina menggeliat setelah kedua matanya terbuka selama


beberapa detik. Ia mengerjap-ngerjap saat langit-langit
ruangan asing menyambut paginya. Sampai kesadaran
menguasai, gadis itu sontak terduduk dan mendapati
dirinya berada di atas ranjang rumah sakit.1

Berbagai pertanyaan muncul di benak, tapi segera ditepis


dengan kehadiran sosok besar di atas sofa panjang dekat
jendela. Dibalut dengan baju pasien dan infus di tangan
kirinya, Naga menatap datar Kina yang kini tengah
mengamatinya dalam diam.

Kina meneguk ludah. Sorot mata Naga saat ini sangat


dingin. "B-Bang Naga udah sadar?"

"Mimpi indah semalam?"

Naga melempar balik pertanyaan tanpa berniat menjawab


Kina. Sudah jelas ia sedang duduk di sini dalam keadaan
"benar-benar sadar". Lelaki itu bahkan yang telah
memindahkan Kina di atas ranjang agar tidur lebih
nyaman hingga darah sempat keluar memenuhi 20%
selang infusnya.

Kina mengernyit mendengar suara rendah itu. Intonasi


yang membuat siapa pun bisa merinding. Namun, Kina
tetap berpikir positif. Mungkin Naga masih lemah karena
insiden yang menimpanya semalam, jadi tidak ada tenaga
untuk sekadar tersenyum. Wajar saja, meskipun hasil
pemeriksaan tidak ada yang serius, tapi menurut papi
kecelakaan semalam cukup membuat sedan mewah
Naga rusak di bagian depan, bukan hanya penyok
semata. Lelaki itu bisa selamat karena kendaraan
pribadinya memiliki fasilitas keamanan yang memadai.

"Iya." Gadis itu mengangguk, membenarkan dugaan


Naga. Kina memang mimpi tentang Margie semalam, tapi
sekarang bukan lagi mimpi buruk. Sang mama tidak lagi
menakutkan seperti monster masa kecilnya, wanita itu
berubah menjadi sesosok orang tua pada umumnya.
Begitu penyayang di sana.

Mimpi singkat yang indah. Mampu membuat Kina tenang


karena setidaknya, hal tersebut merupakan pertanda
bahwa Margie telah damai di surga.4
Terdengar dengusan yang membuat dahi Kina lagi-lagi
berkerut. Kali ini dirinya tidak bisa berpikir positif lagi!
Pasti ada alasan yang membuat Naga terlihat kesal
dengan keberadaannya.1

Diam-diam Kina mengembuskan napas. Matahari bahkan


masih malu-malu di ufuk timur. Langit masih belum cerah
sepenuhnya. Sayang, ia harus menghadapi awal yang
sepertinya akan tidak menyenangkan.

"Bang Naga kenapa?" Kina langsung bertanya pada inti.


Tubuhnya kini menghadap sepenuhnya ke arah di mana
Naga terduduk. Sepasang kaki ramping yang
dibalut jeans model pensil, menggantung pada sisi
ranjang. "Aku ada salah?"

"Kenapa kamu di sini?" Sebelah alis Naga menukik. Lagi-


lagi tidak mengindahkan pertanyaan Kina.

"Ya buat jagain Bang Naga."

"Abang nggak perlu dijaga. Abang nggak mau


ngerepotin." Naga mengalihkan pandangan dan
melanjutkan ucapannya, "Kamu pasti pengin ngehabisin
waktu sama Elang, bukan Abang."
Kina menggeleng. "Aku nggak ngerti. Kenapa jadi Mas
Elang?"

"Dari kemarin kamu nggak balas chat Abang dan malah


asyik berduaan sama Elang. Abang pikir, omongan kamu
soal perasaan kamu ke Abang itu benar—"1

"Berduaan?" Rasa kesal Kina mulai terpancing. "Maksud


Abang, ini soal semalam? Bang Naga lihat aku sama Mas
Elang? Bang Naga ke rumah?"

Naga mengerling tajam. "Kenapa? Abang


ngeganggu waktu kalian?" Lelaki itu berdecih. "Tenang
aja, Abang datang dan pergi tanpa suara kok. Kamu aja
sampai nggak tahu Abang ada di sana pas kalian peluk-
pelukan."4

"Ya ampun, Bang Naga." Kina segera melompat kecil dari


tempatnya dan melangkah, mengikis sedikit jarak di
antara keduanya. "Abang pikir aku berduaan buat
senang-senang? Emang Abang nggak tahu apa yang
terjadi sama aku kemarin?"

Naga bergeming hanya bergeming. Sanggup membuat


hati Kina berdenyut nyeri.
"Abang sayang, kan, sama aku? Tapi kenapa Mas Elang
yang justru tahu lebih dulu kabar itu? Dia bahkan datang
buat nenangin aku, bukan untuk cemburu nggak jelas!"
Kina berdecak, tidak percaya dengan apa yang baru saja
diketahuinya dari Naga. Apa kepedulian lelaki itu padanya
masih tetap sama seperti dulu? Alias, nihil.

"Nenangin kamu?" Kerongkongan Naga mendadak


kering. "Kamu kenapa?"

Naga benar-benar tidak tahu. Bukan salah Naga karena


kabar duka tersebut tidak sampai pada telinganya.
Sekretaris Yan juga tidak memberi informasi apa-apa
padanya.

Bergegas, Naga meraih ponsel di sampingnya dan


membuka kontak sekretarisnya. Langsung saja ia
mengirimi pesan berupa pertanyaan yang tidak perlu
menunggu waktu lama untuk mendapat balasan akan
fakta tentang apa yang terjadi.

Sekretaris Yan:

Maaf, Pak Naga. Saya juga baru tahu setelah bapak


dikabarkan kecelakaan semalam.
Menurut info yang saya terima, Tuan Raka memang
menutup rapat-rapat kabar ini.

Naga:

Termasuk ke anak kandungnya?8

Sekretaris Yan:

Maaf, Pak. Itu di luar kehendak saya.

Naga melempar asal benda pipih di tangannya pada sofa


hingga memunculkan bunyi debum yang singkat. Lelaki
itu mengusap wajahnya gusar dengan sebelah tangan
yang terbebas dari infus dan menatap Kina yang masih
berdiri di hadapannya, penuh penyesalan.

"Maaf, Abang nggak tahu."

Melihat Naga yang frustrasi, sepertinya lelaki itu


bersungguh-sungguh.

Kina ingat ucapan sang mami saat mereka menuju ke


pemakaman Margie kemarin. Wanita itu bilang jika sang
papi tidak membiarkan siapa pun tahu mengenai hal ini.
Biarlah Margie hanya dikenang oleh mereka yang
mengenalnya. Dan benar saja, tidak banyak yang datang
saat itu. Hanya Kina, mami papinya, serta beberapa
pekerja rumah sakit. Tapi Kina sama sekali tidak
menduga bila papi membuat Naga sebagai
"pengecualian" hingga gadis itu detik ini mengerti
mengapa Naga tidak datang.

Naga merupakan orang yang sulit dalam mengontrol


emosi. Terlebih soal Kina. Ketika dirinya panik, mungkin
semua orang akan "penasaran" apa yang terjadi padanya.
Itulah yang membuat Raka tidak mengabari anak semata
wayangnya tersebut, mengingat keberadaan Naga yang
telah sampai di kantor.1

Perlahan, Kina terduduk di samping Naga dan


membiarkan sebelah lengan sang abang meraihnya,
membawanya dalam rengkuhan. "You okay now,
Kitten?" Diusapnya bahu Kina yang terasa begitu kecil
dalam kuasa jemarinya.

Kina mengangguk. "Tergantung Bang Naga masih marah


apa nggak."

"I'm sorry," bisik Naga, lantas mengecup ringan puncak


kepala Kina yang bersandar pada dadanya. "Abang cuma
takut." Lelaki itu memejamkan kedua matanya sejenak.
"Takut kamu pergi lagi."6
"Aku nggak ke mana-mana. Aku, kan, bilang aku sayang
Bang Naga."

Naga mengangguk. "Tapi Abang tetap takut. Elang baik.


Elang selalu ada buat kamu. Semua perempuan
kayaknya suka sama Burung itu."19

Mau tidak mau, Kina terkekeh mendengarnya. "Iya, Mas


Elang emang baik. Dia selalu ada buat aku."4

Rahang Naga terkatup rapat mendengarnya. Tapi sedetik


kemudian, kalimat Kina selanjutnya membuat Naga
menahan napas selama beberapa saat.

"Mas Elang lebih pantas jadi abang aku dibanding Bang


Naga sendiri," lanjut Kina.1

"A-Abang emang nggak cocok jadi Abang kamu?" Entah


mengapa Naga mendadak gugup. Meskipun ia tahu
jawabannya, Naga tetap ingin mendengar secara pasti
tentang mereka.

"Nggak. Kita lebih cocok kayak Mami dan Papi."116

Naga nyaris memuntahkan kupu-kupu di perut saking


banyaknya.
EPILOG

Kina melangkah semangat menuju pintu saat suara-suara


familier memanggil namanya dari luar. Senyum gadis itu
lantas mengembang mendapati Naga dan Elang telah
berdiri di depan pagar mungilnya.8

"Bang Naga, Mas Elang, ayo mas—"

"Eh Burung, ngapain lo di sini?" Naga tidak menggubris


Kina. Alih-alih demikian, lelaki itu justru sibuk
melayangkan tatapan tajam ke arah Elang yang berdiri di
sampingnya.3

"Gue datang sebagai abang, bukan saingan lo lagi," jelas


Elang, sangat tenang.4

Di ambang pintu, Kina menyandarkan bahu pada kosen


seraya menikmati pertengkaran kecil yang terjadi di depan
matanya. Seandainya ia punya keripik, pasti Kina sudah
buru-buru mengambilnya dan duduk di kursi beranda
untuk menonton mereka.2

"Apa buktinya?" Naga skeptis.


"Lo nggak percaya Kina?"

Skakmat. Sialan! Burung ini benar-benar sialan!

Melihat diamnya Naga, Elang pun tersenyum puas.


"Minggir. Gue mau buat sarapan untuk adik gue."7

Masih tidak tahu harus merespons apa, Naga pun tidak


berusaha mencegah Elang yang masuk ke dalam
layaknya rumah sendiri. Lelaki itu bahkan sempat
mengacak lembut rambut Kina dengan sebelah tangan
yang terbebas dari plastik berisi bahan-bahan masakan.1

"Abang mau sampai kapan berdiri di situ?"

Suara Kina yang begitu halus pun menyentak Naga dari


lamunan. Lelaki itu lantas mengembuskan napas.
Sepertinya ia harus terbiasa dengan kehadiran Elang di
hidup mereka. Ingat, Naga, si burung hanyalah tukang
masak bagi Kina. Burung itu hanya menguasai dapur
Kina, bukan hati Kina.4

Pemikiran tersebut tentu saja membuat Naga kembali


percaya diri. Dengan senyum memesona, ia segera
menghampiri Kina dan tidak lupa menutup pagar terlebih
dulu.
"Abang pikir, hari ini kita berduaan aja." Lelaki itu sedikit
cemberut saat dirinya sudah berhadapan dengan Kina.3

Ini hari Sabtu, di mana Naga dapat bersantai tanpa perlu


takut diganggu oleh kerjaan. Ia memang berencana untuk
menghabiskan waktu dengan Kina seorang. Gadis itu pun
semalam menyetujui tanpa ragu. Sayang, Kina juga
mengundang burung tak diundang.

"Jangan begitu. Mas Elang datang baik-baik buat manjain


perut kita."

"Dibela terus aja si Burung!"

"Ih, Bang Naga!" Kina memukul lengan besar nan berotot


tersebut dengan kepalan tangannya yang tidak seberapa.
"Nggak usah ngambek gitu, nggak cocok!"

"Habisnya. Nggak kebayang, kalau kita udah hidup


bareng nanti, terus sarapan Abang yang buat si Burung
dan bukan kamu."

Mau tidak mau, Kina terkikik geli. "Ya ampun, nggak


mungkinlah. Bang Naga ada-ada aja deh." Gadis itu
hendak berbalik badan dan menghampiri Elang guna
membantunya. Namun, sebelum benar-benar melangkah
pergi, Kina menoleh kembali pada Naga dan berucap,
"Jadiin aja dulu, baru nanti aku buatin setiap pagi."32

***

Elang sudah pulang. Momen yang sangat Naga nantikan.


Ya, walaupun status Elang bagi Kina telah bertukar
dengannya, Naga tetap cemburu! Biar bagaimanapun,
Elang adalah "abang-abangan" bukan abang beneran
sepertinya dulu!9

Naga tahu, ia harus buru-buru melamar Kina. Sebelum


Kina memberinya "kode" pun, Naga telah mengumumkan
pada kedua orang tuanya akan ide tersebut. Sayang,
saking antusias mendengarnya, maminya sampai pusing
sendiri mengurus ini itu demi yang terbaik. Naga bahkan
tidak dibolehkan melamar tanpa persiapan.1

Dan "persiapan" bagi seorang Keira tidaklah sederhana


dan sebentar. Naga hanya bisa bersabar, menunggu
waktu tiba.

"Kita nonton ini aja ya." Kina segera bergabung dengan


Naga di sofa depan televisi usai memilih film yang bagus
untuk dinikmati.
Naga menghela napas. Bagaimana Kina bisa hidup
dengan TV macam itu?! Sudah layarnya kecil,
sensitivitas remote-nya pun tidak canggih! Gadis itu harus
bangkit dan mengarahkan remote ke segala macam arah
untuk sekadar mengatur volume suara!25

"Kamu kenapa nggak minta ganti TV sama Papi sih?"


Kemudian Naga meraih jemari Kina yang tadi berusaha
menekan-nekan remote sekuat tenaga. "Sakit nggak
kukunya?"2

Kina menggeleng. "Ini masih bagus. Masih bisa dipakai


meskipun harus pakai usaha dulu."1

Naga memutar bola matanya. Ia sudah bisa menebak


sebelumnya jika jawaban itulah yang akan keluar dari
mulut Kina. "Abang yang pegal lihat kamu ngutak-ngatik
nggak selesai-selesai."1

"Kan, udah selesai ini."

"Tapi—"

"Sssst! Filmnya udah mulai tuh."

Mengalah, perhatian Naga pun berpindah kembali pada


layar televisi berukuran 32 inch di hadapannya. Kemudian
hidung mancungnya berkerut dalam saat menyadari film
jenis apa yang tengah mereka tonton.8

"Ini kartun?!!!!"4

Kina manggut-manggut. "Iya. Ini film kesukaan aku."

Naga berdecak keras. Ia sempat berpikir Kina mematikan


lampu ruangan untuk menonton film yang menantang,
setidaknya horror deh. Tapi ini?!

"Kamu aneh. Masa Abang suruh nonton ginian! Film


apaan lagi nih!" sungut Naga, dongkol.

"How to Train Your Dragon. Aku udah nonton ini enam


kali sama hari ini."24

Kedua mata Naga terbeliak mendengarnya. "Terus masih


mau kamu nonton even kamu udah hafal pasti alur
dan endingnya?"2

Kina manggut-manggut. Tatapannya tidak lepas dari


Hiccup sang pemeran utama. Sosok lemah yang punya
keberanian untuk "menjinakkan" Night Fury. Baik
keduanya sama-sama spesial jika dipersatukan.
Mengingatkan Kina pada kisahnya dan ...1

Nagara Kusuma.
"Abang lihat cowok itu? Dia sama kayak aku. Suka
mempelajari Toothless walaupun dia takut sebenarnya,"
ujar Kina.

"Toothless?"

"Iya. Naga yang ingatin aku sama Abang."

"OMPONG?!" Badan Naga sampai condong ke belakang.


"Abang nggak ompong!" protesnya, cepat. Apa kepala
Kina telah terbentur? Jelas-jelas gadis itu yang giginya
tidak lengkap dulu! Pikir Naga, absurd.11

"Ih, makanya nonton dulu. Nanti tahu sendiri kenapa


naganya dipanggil Toothless!" Kina kesal bukan main
karena fokusnya terus menerus diinterupsi oleh
ketidaksukaan Naga terhadap film favoritnya. "Lagian
Toothless itu naga yang langka. Naga yang istimewa.
Naga yang unik."1

Kemudian adegan di film tersebut menampilkan wujud


Toothless yang dimaksud Kina. Keningnya pun
mengernyit, "Namanya Night Fury."
"Itu jenisnya. Beda, kan, dari naga yang lain?" Kali ini
tatapan Kina terarah sepenuhnya pada Naga. Tatapan
yang teduh tapi penuh akan makna.

Sementara Kina sibuk mengamati Naga, fokus lelaki itu


kini mengarah sepenuhnya pada televisi. Ya, posisi
mereka kini tertukar.

"Toothless punya rasa tanggung jawab untuk


ngelindungin apa yang dia sayang. Naga yang apa
adanya. Kadang bertingkah lucu tanpa disengaja." Kina
tersenyum manis tanpa Naga menyadarinya. Lelaki itu
sibuk mengamati Hiccup yang sedang berusaha
meyakinkan Toothless bahwa ia kawan, bukan lawan.
Dan hal tersebut memang mengingatkannya pada Kina
meskipun dengan cara berbeda. "Toothless adalah
rahasia aku untuk berani ngehadapin Bang Naga. Karena
walaupun dulu ragu, aku tahu kalau kisah aku sama Bang
Naga nggak sampai di situ aja."2

Kina bersungguh-sungguh. Sekalipun ia membaca


banyak buku ensiklopedia tentang makhluk mitologi
bernama naga, diam-diam, tanpa sepengetahuan siapa
pun, Kina turut mengikuti perjalanan Hiccup dan
Toothless seakan dirinya masih berharap terdapat "akhir"
yang jelas di antaranya dan Naga.

Seberapa besar Kina menampik bahwa dirinya masih dan


selalu menginginkan Naga, gadis itu akan semakin
dihantui rasa rindu akan sosok tersebut. Sosok yang kini
tengah duduk di sampingnya. Di sisinya. Kali ini dengan
kenyataan jika keduanya yang saling memiliki.

Terenyuh mendengarnya, Naga pun meraih Kina dalam


pelukan. Seraya menumpukan dagu di atas puncak
kepala gadisnya, Naga berbisik, "Thank you for letting me
be a part of your life."19

Kina mengulum senyum. "My pleasure."


Extra Chapters: I

oleh Junieloo Follow


"Yuhuuu, my lovely kiddos. Anyways, Mami udah urus
semuanya."

Kina langsung menyambut mami yang muncul di ambang


pintu, sementara sang papi masih mengatur posisi
mobilnya karena kehadiran mobil Naga yang sudah lebih
dulu terparkir depan pagar kontrakan. "Urus semuanya
apa, Mi?"

"Pernikahan dong." Keira tersenyum lebar. "Pokoknya


bagus-bagus. Gedungnya nanti di hotel Om Ben,
abangnya Mami. Sesegera mungkin bakal kita laksanain."

Kina bertepuk tangan kecil, tapi tidak dengan Naga yang


justru tersedak ludahnya sendiri. "S-segera nikah, Mi?"

"Iya." Kemudian kening Keira berkerut melihat reaksi


anaknya. "Kenapa sih, Dragon? Kamu kok kayak nggak
senang?"
Senyum Kina sontak menguap mendengarnya. Apa
dirinya tidak salah lihat? Mengapa Naga tampak tidak
antusias dengan pernyataan sang mami? Mungkinkah jika
tujuan Naga tidak sama dengannya?

"Bukan begitu. Naga cuma—"

"Naga?" Papi Raka tiba-tiba masuk dan berdiri di samping


istrinya. "Kunci mobil kamu mana? Papi mau majuin biar
mobil Papi muat. Udah cari tempat ke sana kemari nggak
nemu soalnya."

"Oh?" Alih-alih merogoh saku celananya, Naga justru


menghampiri pria itu. "Biar Naga aja, Pi."

Raka hanya manggut-manggut. Tidak menyadari


kerlingan tajam Keira yang kesal bukan main karena telah
menginterupsi penjelasan Naga. Alhasil, ia jadi tidak enak
hati pada Kina yang diam-diam juga menginginkan
jawaban. Gadis itu pasti tengah kepikiran, sedih karena
Naga tidak memiliki respons yang sama dengannya
mengenai pernikahan ini.

Tidak ingin Kina berasumsi aneh-aneh sebelum ada


klarifikasi lebih lanjut dari Naga langsung, Keira pun
berusaha mengalihkan perhatiannya, "Kamu masak apa
nih? Kok aroma harum makanannya sampai sini."

Berhasil. Senyum lantas kembali terulas di wajah manis


Kina. "Masak udang saus tiram, Ma. Bang Naga lagi
pengin makan siang pakai itu katanya."

"Wah, Mami jadi lapar." Keira menoleh ke balik bahu


sejenak untuk memastikan jika Raka dan Naga masih
sibuk memarkirkan mobil. Hmm, para lelaki malang. Kalau
saja Kina mau dibelikan rumah oleh Raka, pasti dua
makhluk serupa tapi tak sama itu tidak akan merasa
kesulitan akibat gang yang cukup sempit. Jangankan
tempat tinggal, diberi televisi terbagus dan terbaru saja
Kina menolak. "Kalau gitu Mami bantu siapin makan
siangnya ya?"

"Udah siap kok, Mi. Bang Naga tadi yang natain


makanannya di meja sembari nunggu Mami Papi datang."

Ujaran Kina tentu saja membuat Keira mendapati


kesenjangan. Beberapa detik lalu Naga berucap seolah-
olah ia tidak siap dengan topik "pernikahan", tapi barusan
Kina mengatakan seolah-olah Naga telah siap
membangun rumah tangga bersama gadis itu.
Keira bisa bernapas lega. Meskipun belum tahu apa yang
sebenarnya Naga pertimbangkan, setidaknya hal tersebut
bukanlah tentang "pernikahannya", terlebih fakta jika akan
hidup bersama Kina secara legal. Sulit rasanya
membayangkan Naga menolak. Keira ingat betul
bagaimana perjuangan anak lelakinya untuk memperbaiki
semua seperti sedia kala.

Hmm, lalu apa yang membuat Naga tampak ragu?

***

"Kitten? Hey ..." Naga mencebik. "Jangan marah dong.


Abang sedih kamu diemin terus dari siang nih."

Kina tidak menanggapi. Ia berpura-pura sibuk mencuci


piring. Biasanya, ia hanya butuh tiga puluh detik untuk
membersihkan satu buah alat makan. Tapi kini, demi
menghindari Naga, Kina bahkan memperlambat
segalanya. Saking tidak ingin pekerjaannya saat ini cepat
selesai dan membuat Naga bisa mengusiknya lagi.

"Abang ada salah ya? Kok kamu nggak ngomong-


ngomong ke Abang?"
Kina memutar mata. Meskipun gadis itu tengah
memunggungi Naga sehingga sang kekasih tidak mampu
melihat ekspresinya, gerakan mencuci yang tampak lebih
kasar dari sebelumnya membuat Naga tahu, ia telah
membuat si kucing mengamuk.

"Kit—"

"Bang Naga pulang aja. Udah malam," tukas Kina, dingin.


Cuaca di luar yang tengah gerimis kecil, tidak ada apa-
apanya dibanding sikap kucing pada naga.

"Lho? Baru jam 7. Biasanya juga kamu minta bantuan


Abang beresin rumah."

"Nggak usah. Aku sendiri aja."

Naga mengembuskan napas. "Kitten—"

"Don't call me that!" Kina sedikit membanting piring yang


telah dibasuhnya dengan air bersih pada rak piring. "Aku
mau istirahat habis ini. Abang pulang aja."

Berkali-kali diusir seperti itu, mau tidak mau membuat


Naga harus tahu diri. Lesu, lelaki itu berbalik badan dan
mulai meninggalkan dapur. Namun, berhasil menciptakan
beberapa langkah, bunyi yang dihasilkan oleh pekerjaan
Kina saat ini semakin bising. Kemudian disusul dengan
gerutu Kina yang membuat Naga kian serba salah.

"Dasar nggak peka!"

"..."

"Cowok nyebelin!"

Bahu Naga semakin merosot. Ke mana anak kucingnya


yang manis? Ke mana anak kucingnya yang penurut?
Sudah tidak ada. Harapan Naga pupus karena
kenyataannya Kina telah menjadi kucing yang nyaris
menyerupai harimau ketika marah.

Worst. Karena naga saja takluk dengannya.

"Kitten, Abang nggak tahu salah apa. Kalau kamu nggak


kasih tahu dan malah ngomel-ngomel begitu, Abang
makin bingung. Nanti gimana kalau kita udah nikah? Ke
depannya pasti banyak kesalahpahaman kalau nggak
terbuka," tegur Naga dengan lembut.

"Nikah?" Kina mendengus. "Kayak mau aja!"

"Hah?"
Kina tidak menjawab. Ia meninggalkan cucian piring yang
belum selesai begitu saja—usai membasuh tangannya
dari busa terlebih dulu—dan berniat berlalu dari dapur.
Akan tetapi, Naga bergegas menahan tangannya yang
terasa mungil dalam genggam lelaki itu. "Lepasin ih!"

"Come on, bicara sama Abang. Kita selesaiin


masalahnya."

"Nggak ada yang perlu—"

"Kina, dengarin Abang. Kamu kayaknya salah paham.


Abang bukannya nggak mau nikah sama kamu. Abang
udah sampai di sini usahanya, terus mau hidup tanpa
kamu begitu aja?" Naga memegang kedua bahu Kina dan
mengarahkan tubuh itu untuk menghadapnya. "Abang
punya rencana sendiri."

"Rencana apa?"

Naga tersenyum saat Kina dilihat lebih tenang dari


sebelumnya. "Sambil duduk yuk? Abang jelasin."

***

Esok harinya, Naga membawa Kina untuk melihat apa


yang lelaki itu tengah kerjakan.
Di sinilah mereka sekarang. Di depan sebuah bangunan
tak terpakai yang tidak lain merupakan tempat nongkrong
Naga beserta dua sahabatnya, Bingbong dan Tiger.

"Kamu ingat pas kamu marah karena Abang sering nggak


angkat telepon bulan lalu?"

Kina manggut-manggut. "Abang lagi ngurusin ini?"

"Iya." Naga tersenyum. "Abang pengin bangunan ini jadi


milik Abang, terus Abang sulap buat jadi gedung yang
layak."

"Kenapa harus gedung ini?"

Semalam Naga mengatakan jika ia telah memilih lokasi


sendiri untuk melaksanakan pernikahan mereka. Hanya
saja, tidak bisa dalam waktu cepat karena perbaikan
masih berlangsung.

Naga mengembuskan napas. "Banyak kenangan Bang


Bingbong di sini. Kitten juga ngerasain, kan?"

Kina tidak mengangguk. Meski begitu, hatinya menyetujui


jika bangunan ini melemparnya pada masa lalu.
Bingbong, sosok yang begitu baik. Lelaki itu
memperlakukan Kina layaknya adik sendiri di saat Naga
bahkan masih membencinya.

"Abang pengin bangunan ini jadi tempat orang-orang


menikah. Abang pengin Bingbong lihat dari langit, kalau
tempat ini jadi tempat orang-orang berbahagia. Abang
pengin orang-orang juga turut ngerasain hadirnya
Bingbong di sini karena orang baik selalu ngasih aura
yang nyaman." Naga menoleh pada Kina. "Kamu nggak
masalah, kan?"

Kina menggeleng. "Nggak. Sama sekali nggak."

"Syukurlah."

"Cuma soal pembahasan semalam, yang seharusnya


terbuka di sini itu Bang Naga." Kina mencebik. "Aku jadi
salah paham."

"Abang sebenarnya bukan nggak mau terbuka, tapi belum


sempat jelasin aja. Abang juga kemarin-kemarin nggak
pengin jelasin dulu karena niatnya nunggu pekerjaan ini
selesai."

"Terlepas dari itu, Bang Naga tetap salah."

"Iya, Abang salah." Naga terkekeh. "Maaf ya, Kitten?"


"Besok-besok kalau ada apa-apa, kalau Bang Naga
punya rencana apa-apa, apalagi menyangkut aku, jangan
ditutup-tutupin ya?"

"Sure!" mantap Naga. "Kamu mau langsung pulang?"

Kina tampak menerawang sejenak. "Hmm, tiba-tiba aku


kangen Bang Bingbong."

"Mau nengok Bang Bingbong?"

Senyum gadis itu sontak mengembang. "Ide bagus!"

***

Kina membantu Naga menaburkan bunga pada makam


Bingbong. Makam itu tampak terawat, tapi terasa begitu
sepi.

"Bang Bingbong apa kabar? Aku kangen minum


es bubble yang Bang Bingbong beliin. Maaf aku belum
nemuin Bang Bingbong sekali pun pas sakit ..." Kina
mengusap batu nisan Bingbong dengan pilu. Sementara
Naga kini sibuk merangkul Kina sambil sesekali meremas
bahu mungil gadisnya. "Tapi aku janji, aku bakal jagain
sahabat terbaik Bang Bingbong supaya Bang Bingbong
nggak khawatir."
Naga terkekeh mendengarnya. Gemas, ia pun mengecup
kepala Kina sekaligus menghirup dalam-dalam aroma
stroberi yang menguar dari rambut sang gadis.

"Bang Bingbong sekarang udah nggak perlu khawatir.


Naga yang buas udah nggak ada. Takluk sama anak
kucing ini." Kina menepuk-nepuk dadanya, bangga. "Jadi,
Bang Bingbong yang damai ya di surga sana? Kami
sayang Bang Bingbong."

Usai melepas rindu, Naga dan Kina pun pamit pada


Bingbong yang tentu saja tidak dapat menjawabnya di
bawah gundukan tanah. Keduanya lantas melangkah ke
arah pelataran parkir. Namun, saat mereka sedang
berjalan menuju ke tempat di mana mobil Naga berada,
sebuah angkot sewaan yang membawa rombongan suatu
keluarga melaju cepat dari arah berlawanan. Nyaris
menyerempet Kina kalau saja Naga tidak segera menarik
gadisnya.

"JALAN JANGAN DI TENGAH!" teriak sang supir.

Kalau saja Kina tidak berusaha menahannya, Naga pasti


tidak sungkan mencari ribut. Seriously?! Ini masih di area
parkir! Mereka memang jalan di tengah, tapi tidak
seharusnya ada mobil melaju sekencang itu! Terlebih,
pengunjung yang berziarah dari berbagai kalangan usia.
Bisa saja ada anak-anak yang tengah berlarian di luar
pengawasan. Itu sangat berbahaya!

"Udah, Bang Naga. Aku nggak apa-apa kok." Kina


berbohong. Tentu saja hal yang baru saja terjadi, di luar
dugaannya. Ia nyaris tertabrak mobil! Bagaimana mungkin
baik-baik saja?

Naga langsung mengalihkan perhatiannya dari pantat


angkot yang semakin mengecil di kejauhan. Sigap, Naga
menangkup wajah Kina. "You okay? Kamu pucat, Kitten."

Kina memaksakan senyum. Kali ini, ia tidak lagi berkilah.


Perhatian Naga membuatnya seketika lupa dengan apa
yang baru saja dialaminya. "Aku nggak apa-apa. Selama
ada Bang Naga, aku nggak apa-apa," ucapnya, sekaligus
meyakini diri sendiri.

Tersentuh, Naga langsung meraih Kina dalam peluknya.


"Abang nggak akan bisa maafin diri Abang sendiri kalau
kamu kenapa-napa." Kemudian ia mencium pelipis
gadisnya, penuh kelembutan. "Abang nggak mau
kehilangan lagi."
"Bang Naga ..." Kina menarik diri dari kuasa sang Naga.
"Kok Abang ngomongnya begitu? Abang lupa kita udah
janji sama Bang Bingbong buat saling jaga? Abang nggak
perlu khawatir."

"Maaf."

"Kenapa minta maaf?"

"Karena Abang sempat ragu." Naga menunduk dalam.


"Tapi sekarang Abang yakin, kamu akan selalu jaga diri
buat Abang. Anyways ..."

Kina tertegun saat Naga mengeluarkan sebuah cincin dari


saku celananya. Tanpa kotak yang indah. Tanpa
persiapan yang matang. Hanya saja, rasanya lebih
spesial.

"Kamu mau, kan, menikah sama Abang?"

Alih-alih jawaban, Naga justru mendapatkan pukulan di


bahu lelaki itu. Pukulan yang kuat bagi Kina, tapi terasa
geli bagi Naga. "Ish, ish, ish! Kenapa sih baru sekarang?!
Aku sampai ngira Abang nggak akan ngelamar aku kayak
gini!" Kedua mata Kina mulai berkaca.

Naga tertawa. "Kamu ngeraguin Abang ini romantis?"


"Bukan." Kina mengembuskan napas. "Tapi aku kira,
Abang Naga tetap Abang Naga. Otoriter. Nggak akan
nanya hal-hal begitu. Buktinya, Abang nentuin lokasi
nikahan dulu sebelum aku setuju apa nggak."

"Jadi, kamu keberatan sama tempatnya?"

"Bukan itu pointnya ish!"

"Iya, maaf." Naga tersenyum geli menatap gadisnya yang


cemberut. "Abang sebenarnya nggak niat ngelakuin
hal cheezy kayak gini, karena Abang tahu kamu pasti
nerima Abang ..."

"Selalu percaya diri!" sindir Kina.

"Tapi benar, kan?"

"Terus kenapa tiba-tiba ngelakuin ini?"

"Disuruh mami. Katanya, perempuan suka hal begini.


Jadi, ya udah. Abang coba. Meskipun Abang udah lupa
caranya bersikap romantis." Naga meringis kecil. "Maaf
kalau gagal. Karena selama sama kamu, Abang selalu
jadi apa adanya. Dan abang senang, kamu bahagia
dengan hal-hal sederhana yang Abang lakuin."2
"Aku bisa bahagia karena Bang Naga istimewa bagi aku."
Kina menyengir lebar seraya mengulurkan tangannya.
"Udah, selesai melow-melownya. Sekarang pasangin
cincinnya ke jari aku nih."

Dan Naga tersenyum puas saat benda tersebut melingkar


begitu "pas" di jari manis Kina.
Extra Chapters: II

Pernikahan berlangsung secara sederhana, sesuai


keinginan Kina. Gadis itu mengatakan, jika memang Naga
merasa dekat dengan Bingbong di gedung yang saat ini
sedang mereka gunakan untuk acara, Kina pun ingin
segalanya terasa hangat dan lebih kekeluargaan.

Tapi tentu saja tidak mudah.

Keira yang memimpikan pernikahan anak-anaknya bak


kerajaan, harus menelan rasa kecewa. Memang, pada
akhirnya ia mengalah karena diingatkan oleh Raka bahwa
ini adalah pernikahan anak-anak mereka, bukan
pernikahannya. Semuanya pun harus sesuai dengan
kemauan Kina dan Naga, tidak bisa atas dasar
"seleranya" sendiri.1

Dan di sinilah orang-orang berada sekarang. Tidak hanya


Kusuma, penyandang Wijaya alias keluarga dari sang
mami pun turut hadir. Kina yang belum pernah bertemu
dengan mereka—hanya dari cerita-cerita Keira saja—
lantas merasa takjub karena kecantikan dan ketampanan
sepupu-sepupunya.2

Kina jadi tidak heran mengapa dulu Naga melihatnya


sebelah mata. Pemandangan keluarga lelaki itu saja
bening-bening seperti ini.

"Hai, Kina. Selamat ya. Semoga pernikahan kalian


berjalan lancar."

Kedua mata Kina nyaris melotot menatap lelaki super


tampan di hadapannya. Bibir mungil gadis itu tidak sadar
sudah sedikit terbuka, nyaris menganga. Sampai sebuah
lengan yang kokoh melingkar erat di pinggangnya.

Naga yang kesal akan respons Kina pun mengatupkan


bibir ranum itu dengan sebelah tangannya yang terbebas
dari pinggang Kina. "Mingkem!"

"Ish!" desis Kina lantas mencebik.

"Thank you, Than. Mana cewek lo?" Naga sengaja


mempertegas pertanyaannya upaya menyadarkan Kina
bahwa Nathaniel Wijaya bukanlah lelaki lajang.

DAN KINA ADALAH MILIKNYA.


"Putri lagi ngisi acara. Biasa." Nathan tersenyum
memaklumi jadwal padat kekasihnya yang berprofesi
sebagai penyanyi. "Ya udah, gue gabung sama yang lain
dulu. Sekali lagi, selamat ya, guys!"

Naga hanya manggut-manggut sementara Kina


melambaikan tangan dengan senyum malu-malu. Gadis
itu tidak tahu, tindakannya barusan telah memancing rasa
cemburu dalam hati Naga. Si kucing tidak tahu, bila sang
Naga berniat menghukumnya nanti malam.

"Bang Naga?"

"Hmm?"

"Bang Tiger beneran nggak bisa datang ya?"

Naga mengembuskan napas, berat. Sebenarnya, ia juga


merasa sangat kecewa. Tapi dia juga tidak berhak
memaksa Tiger, karena Naga tidak pernah berada di
posisi sahabatnya saat ini.

Tiger sedang memiliki masalah di pekerjaannya.


Ketakutan akan kehilangan pun semakin membuat Naga
tidak nyaman berdiri di tempatnya.
"Bang Naga nggak apa-apa?" Kina mendadak cemas
melihat Naga seketika lesu. "Maaf, aku nggak
bermaksud—"

"Nggak apa-apa. Udah risiko, Kitten." Naga menunjukkan


senyum termanisnya. "Itulah sebabnya Abang menikah
sama kamu. Biar kita sama-sama jadi teman hidup
selamanya, okay?"

***

"Kitten, ini sempit!"

"Udah paksa aja. Pasti bakal pas kok!"

Naga berdecak. Peluh sudah membasahi dahi hingga


rambut tebalnya terasa lepek. "Tahan ya?"

Kina hanya mengangguk. Ya, keduanya kini sedang


membersihkan gudang di rumah baru mereka. Tidak ingin
tempat itu terlalu berdebu dan terkesan sangat
berantakan, Kina pun menyuruh Naga memasukkan
beberapa barang ke dalam box penyimpanan.

Sayangnya, tidak segampang yang dipikir! Mereka lupa


untuk membeli plastic press vacuum dengan ukuran lebih
besar untuk menyimpan bantal-bantal, hingga kasur lipat
supaya tidak memakan tempat. Kina pun jadi harus
membantu Naga menahan kotaknya agar barang yang
ingin disimpan tidak ke mana-mana saat dimasukkan.

"Langsung tutup!"

Kina menuruti perintah Naga dengan langsung menutup


rapat box dan menguncinya. Mereka menyesal sempat
menyepelekan kegiatan bersih-bersih seperti ini.
Ternyata, hidup mandiri benar-benar harus
mengandalkan diri sendiri selain pasangan.

Kina menepuk-nepuk tangan, melepaskan debu yang


menempel pada telapaknya. "Ah, akhirnya selesai juga.
Jadi rapi ya, kan, Bang Naga?"

Naga tidak bisa fokus! Perhatian lelaki itu teralihkan pada


kaus putih tipis Kina yang kini tercetak jelas,
memperlihatkan lekuk badannya karena keringat.

Sudah gerah, ditambah gerah karena pemandangan


indah istrinya, Naga sontak melepaskan kausnya begitu
saja membuat Kina mundur beberapa langkah.

"B-Bang Naga mau ng-ngapain?"


"Kita lagi di gudang, Kitten. Apa yang kamu takutin?"
Naga mengembuskan napas. "Nggak usah mikir aneh-
aneh, oke?"

Kina hanya meneguk ludah meresponsnya. Sejak


menikah, Kina masih takut "disentuh" oleh Naga. Entah
mengapa, padahal Naga tidak akan melukainya.

Meskipun sangat ingin, Naga tetap menghargai


keputusan Kina. Segala sesuatu yang terjadi di antara
mereka haruslah atas dasar persetujuan kedua belah
pihak. Bila Kinanya belum siap, Naga mau tidak mau pun
mengalah.

"Kamu mandi gih." Naga mengedikkan dagu ke arah


pintu. "Nanti kalau udah, panggil Abang ya."

"Bang Naga mau ke mana?"

"Nonton TV kok. Tenang aja, Abang nggak akan masuk


ke kamar sebelum kamu selesai ganti baju. Oke?"

Naga keluar dari ruangan terlebih dulu. Kina yang melihat


punggung lebar suaminya yang perlahan menghilang di
balik pintu pun jadi merasa bersalah.
Sebenarnya, apa yang Kina takutkan? Kina juga tidak
tahu. Ia ngeri membayangkannya. Namun, setiap kali ia
melangkah mundur karena tindakan Naga yang
menurutnya mengarah "ke sana", Kina menangkap kilat
luka di balik kedua mata lelaki itu.

Dan Kina turut merasa sakit karenanya.

Meninggalkan gudang, Kina melangkah masuk ke dalam


bilik shower. Rumah yang kini mereka tempati memang
memiliki tiga kamar mandi—pribadi, utama, dan khusus
tamu. Akan tetapi, Kina dan Naga lebih suka
menggunakan kamar mandi pribadi yang terhubung
langsung dengan kamar tidur mereka. Selain karena
ukurannya yang tidak terlalu besar seperti kamar mandi
utama, dari pemandangan dari balik jendela kamar mandi
utama yang terletak di lantai 2 membuat kegiatan
berendam jadi lebih nyaman.

Kina membiarkan pancuran shower menghujani tubuhnya


yang sudah telanjang. Meskipun tangannya sibuk
mencuci rambut, kepalanya masih dipenuhi oleh tatapan
Naga yang kecewa.
Haruskah Kina berserah dengan memberanikan diri mulai
saat ini?

Seolah mendapatkan jawaban, tiba-tiba air yang mengalir


pun lenyap. Busa di kepala Kina yang perlahan turun ke
mata, sontak membuat Kina memekik karena terlalu
pedih.

"B-Bang Naga? Abaaang???"

Tidak ada sahutan. Meraba-raba sekelilingnya, Kina


perlahan keluar dari bilik dan berjalan pelan-pelan menuju
pintu sambil mengingat-ingat letaknya. Sialnya, ia lupa
membawa handuk. Panik sudah menguasai dirinya
sehingga tidak dapat berpikir jernih. Hanya Naga yang
ada di benaknya saat ini.

"Bang Nagaaa?"

"..."

"ABAAAANG!"

Pintu kamar mandi terdengar telah dibuka dari luar. Tidak


berapa lama kemudian, sebuah kain berbulu yang lembut
menyelimutinya. Naga, dengan cekatan melindungi tubuh
istrinya dari penglihatannya sendiri.
"Kamu kenapa?"

"Pedih! Mata aku pedih, nggak bisa melek. Airnya habis,"


ujar Kina dengan gigi gemeletuk, mulai kedinginan.

Penjelasan Kina membuat Naga sigap mengusap wajah


istrinya dengan handuk kecil. "Masih perih?" tanya lelaki
itu lembut, saat busa tidak lagi tersisa di area mata Kina.

Kina menggeleng. "Nggak." Kini dirinya sudah bisa


mengerjap. "Tapi airnya habis."

"Sebentar, Abang cek ya."

Mengekori Naga yang mulai menghampiri


keran shower, mata Kina melebar saat dugaannya salah.

"Ini nggak habis, Kitten. Kerannya kesenggol sama kamu


kayaknya."

Bibir bawah Kina lantas maju. Malu sekali! "A-aku kira ..."

"Next time pastiin dulu ya? Jangan langsung panik. Kamu


buat Abang khawatir tadi."

Kina menunduk. "M-maaf."

"Kok minta maaf?" Naga mengikis jarak dan mengapit


dagu mungil Kina dengan jemarinya agar tatapan mereka
kembali bertemu. "Abang nggak repot kok. Cuma ikutan
panik aja tadi."

"Tetap minta maaf," kukuh Kina.

"Oke, oke." Naga terkekeh. "Sekarang, lanjut mandinya.


Nanti kalau udah bilang Abang ya?"

Baru Naga akan melepaskan jemarinya dari dagu Kina,


gadis itu sontak berjinjit seraya menarik tengkuk Naga.

Naga terkejut ketika Kina menciumnya. Damn! Cukup


hasrat lelakinya tergiur akan kaus Kina yang berkeringat
serta pemandangan eksplisit barusan! Naga sudah tidak
lagi kuasa untuk menahannya.

Semakin lama semakin dalam. Lidah keduanya mulai


beradu seolah tidak ingin mengalah. Terlena karena
permainan Naga, Kina bahkan sampai tidak sadar jika
handuknya sudah terjatuh. Tidak lagi melingkar menghiasi
tubuhnya.

Naga mengerang saat telapak tangan lembut Kina


perlahan turun ke dadanya yang tidak dibalut apa pun.
Gemas, ia pun juga menggoda Kina dengan mengalihkan
ciumannya pada lekuk leher hingga meninggalkan
kemerahan pada tulang selangka sang istri.

Kina memekik kecil saat Naga mulai mengangkatnya.


Membuat gadis itu sontak melingkarkan kedua kakinya
pada pinggul Naga. Ia pun hanya bisa pasrah ketika Naga
membuatnya terhimpit oleh tubuh sang suami dan bilik
kaca di belakang.

Suara-suara melenguh mulai menguasai atmosfer kamar


mandi. Membiarkan sang penguasa mendominasi, Kina
tidak menolak saat Naga mulai menandainya.

Dalam permainannya, Naga berbisik penuh cinta, "Thank


you. I love you."

Tak kuasa membalas, Kina hanya bisa merintih dan


mengacak-acak rambut Naga. Tidak menyangka bila
insiden "air mati" bisa membanjirinya dengan sejuta rasa
yang belum pernah ditemukan.

***

3 tahun kemudian.

Kina menyeruput es kelapanya sambil berselonjor di


bawah payung besar. Menikmati kesegaran minumannya,
ia tidak lepas memandangi Naga yang tengah bermain
dengan Joy di bibir pantai.

Mengapa? Tentu saja untuk mengawasi!

Terkadang, Naga suka bertindak aneh-aneh. Ia pernah


menguncir rambut Joy dengan karet nasi uduk dan
membuat anak mereka menangis karena ikatannya kusut!
Tidak hanya itu, Naga juga pernah mendorong terlalu
keras ayunan Joy sehingga membuat anaknya tersungkur
dan luka di lututnya.

Dan masih banyak lagi. Seperti saat ini.

Baru tidak diamati sejenak—untuk mengorek daging pada


kelapa batok di pangkuannya—tiba-tiba saja Kina
dikejutkan dengan pemandangan Naga yang melempar-
lempar tubuh Joy ke atas.

Kina sontak memekik. "Aaakh! Jangan tinggi-tinggi! Nanti


jatuh!"

Bukan hanya sang suami, tapi Joy pun turut menoleh ke


arahnya. "Nggak akan jatuh," tegas Naga.

"Agi, Ayah. Agi!" pinta Joy, senang. Tidak memedulikan


sang ibu yang kini melotot di kejauhan.
"Nggak usah ya? Nanti dimarahin Ibu."

Joy mengamuk dalam gendongnya. "Agiii, Ayah. Yoy mau


agiii!" rengek gadis kecil itu.

"Kita main yang lain aja ya? Joy mau buat istana pasir
nggak?"

Sontak, Joy manggut-manggut antusias hingga rambut


lurusnya yang basah menyipratkan air pada wajah
ayahnya. "Mauuu. Ayo, Ayah. Ayo!"

Naga terkekeh melihat semangat anaknya yang tidak


pernah redup. Alih-alih trauma bermain dengan sang
ayah karena suka berakhiran menangis, Joy malah
semakin nempel padanya.

Di tempatnya, Kina dapat bernapas lega saat akhirnya


Joy diberikan permainan yang aman oleh Naga.
Tersenyum, Kina kembali menikmati es kelapa mudanya
kembali dengan santai.

Joilandra Kusuma, entah apa yang Naga pikirkan saat


menamai anak mereka kala itu. Kina berpikir, Naga hanya
asal kasih. Tapi ternyata, nama itu memiliki makna yang
cukup mendalam.
Joilandra. Nama yang tercetus begitu saja karena Naga
ingin nama panggilan anaknya nanti adalah "Joy", salah
satu karakter di Inside Out yang pernah berjuang
bersama Bingbong. Naga ingin Joy membawa
kebahagiaan dalam hidupnya sendiri, maupun orang
sekitar. Seperti namanya. Seperti perannya dalam film.
Meskipun Bingbong gagal, apa pun masalah yang akan
dihadapi sang anak nanti ketika sudah besar, Naga harap
Joy akan mampu melewati terjal yang akan menelan
bahagianya.

Ya, begitulah keinginan mereka. Ingin setiap orang untuk


Joy.

Kina menoleh ke samping saat ponsel Naga bergetar dan


menampilkan nama yang sudah lama tidak didengarnya.

Tiger.

Senyum di wajahnya semakin mengembang. Setelah


sekian lama Tiger tidak pernah muncul karena masalah
pekerjaan hingga pribadi, bahkan di hari pernikahan Naga
dan Kina, lelaki itu kini menghubungi sahabat lamanya.
Mungkinkah telepon tersebut adalah awal dari
kelengkapan bahagia seorang Nagara Kusuma kembali?1

THE END

Anda mungkin juga menyukai