Anda di halaman 1dari 13

Prolog

Awan hitam menggelayut diatas langit menghalau mentari yang hanyut di ujung cakrawala,
rintik gerimis perlahan membasahi dedaunan yang bergoyang goyang dihembus angin. Bau
tanah basah mulai menyengat penciuman seeorang wanita yang sedang berjalan perlahan
melewati jembatan besi diatas Sungai Ciliwung. Pemandangan sore nan sendu di sekitar
bantaran sungai disamping rel kereta yang berkarat sangat kontras dengan pakaian si wanita.
Perpaduan long dress berlengan pendek warna putih dengan motif bunga daisy kecil kuning
yang menawan ditambah sepatu semi boots warna senada mungkin lebih pantas digunakan di
musim panas yang ceria atau minimal ditempat bernuansa cerah seperti mall atau café.
Tangan kanan wanita itu memegang payung warna warni yang tak kalah ceria, sedangkan
jemari kirinya memainkan tetesan air hujan yang jatuh di besi pengait jembatan. Matanya
yang tajam namun nampak sayu memandang sebuah perkampungan kumuh di seberang
sungai dengan pekat. Entah apa yang dipikirkannya, raut wajahnya menyiratkan kebencian
tapi matanya berkaca kaca menahan sendu.
Lamunan wanita itu buyar saat kereta api eksekutif Jayabaya meluncur dari Stasiun Senen
yang tak jauh lokasinya. Dia lalu merogoh kantungnya untuk mengambil sapu tangan dan
berusaha menghapus air matanya. Tetapi semakin ia berusaha menahan air mata, semakin
deras tangisnya, akhirnya ia pun pasrah dan membiarkan dirinya terisak dalam guyuran air
hujan yang semakin deras. “Ah sungguh memalukan… kenapa aku harus menangis.
Bukankah aku sudah sekuat ini selama ini” katanya pada dirinya sendiri. Saat akan mulai
beranjak pergi kearah dia memarkirkan mobil, kembali dia dikejutkan oleh suara pukulan di
tembok dan lenguhan yang keras. “Aduuuuhhh sakiiitt ampuun bang… ampun. Jangan
diambil bang. Ampuun” Wanita itu berlari menuju arah suara anak laki laki yang sepertinya
sedang butuh pertolongan. Benar saja setelah turun dari jembatan, ia melihat seorang anak
laki laki berusia sekitar 11 tahun dengan rambut ikal yang dikerubuti segerombolan anak laki
laki yang lebih besar darinya. Anak itu Nampak sedang memegangi perutnya. Wajah dan
bajunya penuh lumpur karena dia berguling di tanah basah bercampur sampah yang
berserakan. Anak anak besar itu tetap saja memukuli bahkan menendang si Ikal walau sudah
merintih minta ampun. Si wanita dengan dress ceria itu tanpa berpikir panjang segera
menyerang si anak anak besar yang nakal dengan payungnya. Adu jotos pun terjadi. Para
anak lelaki yang mendapat serangan dadakan dari belakang itu pun mengeroyoknya tanpa
ampun. Tak mau kalah si wanita memukul dan menjambak bahkan menendang membabi buta
ke segala arah. Tetapi bagaimanapun ia hanya sendirian melawan berandal berandal remaja
yang sudah terlatih, dirinya terpelanting dan jatuh ke kubangan air. Wanita itu menjerit sangat
keras, bukan karena merasakan sakit tapi dia marah karena dress kesayangannya yang
berubah warna menjadi cokelat. Dia pun berdiri “heeeeyyy berandal magang berani berani
nya ya lu pada ngotorin baju demenan gua. Gua laporin lu semua ke polisi. Biar pada
mampus lu. Belum tau ya lu siapa gua” teriaknya sambil memencet tombol di handphone
nya. Berandal berandal itu pun lari tunggang langgang menyeberangi rel kereta. “Dasar
pengecut. Modal diboongin doang pada jiper. Diiihh” karena kekesalannya dia hampir lupa
dengan tujuan utamanya sampai berlari menerjang hujan ke tempat itu. Saat dirinya berbalik
tampaklah di depannya si bocah ikal sedang duduk bersila dan bertepuk tangan “keren mpok..
empok keren banget tadi”
Kaget karena si ikal yang tadi terbaring lemah sudah bisa duduk bahkan bertepuk tangan
setelah menonton dirinya berguling guling melawan para berandal. “Sialan lu. Lu pikir gua
lagi ngelenong” ujarnya sambil duduk di samping si bocah ikal. “Kenapa tadi diem aja
dipukulin. Gua kira dah mati lu”. Sambil tersenyum pahit si bocah ikal menjawab “Mending
gua yang dipukulin mpok daripada nenek gua”
Wanita itu kembali menatap si bocah ikal lalu menghembuskan nafas dengan berat. “Nama lu
sapa?” “Ikal” jawabnya sambil meringis memamerkan gigi giginya yang besar. “Buset dah
kaga kreatif amat. Mentang mentang rambut lu ikal terus nama lu ikal” Sambil melirik sinis si
bocah menimpali “Biarin napa. Orang kaga ada yang tau nama asli gua. Gua dibuang sama
orangtua gua mpok. Disana noh gua ditemuin nenek gua di pos kosong bekas penjaga rel”
katanya sebal sambil menunjuk pos jaga di ujung jalan yang berbatasan dengan rel kereta.
Deg! Hati wanita itu mencelos, ada perasaan tidak enak dan hampa mendengar cerita bocah
ikal itu. “Yaudah kalo gitu. Bagus kok nama lu. Mencerminkan elu banget haha” kata si
wanita sambil mengelus rambut Ikal yang ikal. Dia berusaha mencairkan suasana atau lebih
tepatnya menata hatinya yang sempat mencelos. Ikal tersenyum, senyumnya sekarang tampak
lebih manis. Baru tersadar si wanita bahwa ada sepasang lesung di pipi Ikal. “Ikal, lu mau
gak jadi adek gua?” “Ha? Apaapaan lu mpok. Kenal aja kita belum bisa bisa nya nawarin gua
jadi adek lu. Atau jangan jangan lu penculik anak-anak manis nan imut kaya gua ya”
“Untungnya apa gua nyulik lu. Duit aja kaga gablek” “Loh jaman sekarang culik kagak maen
minta tebusan mpok. Mereka lebih suka jual organ organ tubuh kita. Duitnya lebih banyak
mpok” “Elu kecil kecil pikirannya udah kriminal amat. Darimana lu tau?” “Gua seneng baca
baca di koran mpok. Kadang suka pinjem sama Pak Mali noh loker koren di seberang
indomaret depan”. Pandangan si wanita kembali sendu mendengar kata kata Ikal. Pikirannya
seolah flashback ke masa lalunya. “Mpok mpok jangan ngelamun mpok takut kesambet”ujar
Ikal sambil menepuk nepuk tangan si wanita “Eh kagak kok. Pinter juga lu tong. Emang kelas
berapa lu sekarang?” “Harusnya sih kelas 5 mpok. Tapi putus sekolah tahun lalu. Nenek gua
sakit struk. Gak bisa apa apa. Gua harus cari duit sambil ngerawat nenek gua” Kata Ikal
sambil menunjuk kotak semir sepatu yang jatuh berserakan.. “Ikal mpok serius mau jadiin lu
adek mpok nanti nenek juga bisa lu ajak. Kita sama sama ngerawat nenek. Mpok selama ini
hidup sendiri. Dan entah kenapa mpok ngerasa lu anak yang baik dan pintar. Mpok kaga mau
lu terbuang sia sia karena keadaan. Mpok mau bantu lu. Karena dulu empok juga berada pada
kondisi yang hampir sama kaya lu”
Terdengar suara napas yang berat dari dada Ikal pertanda dirinya sedang menahan tangis.
Mereka terhanyut dalam obrolan sampai tidak sadar sudah berapa lama hujan terhenti dan
digantikan pelangi. Pelangi senja dilangit sore memang paling indah terhias secercah cahaya
matahari yang mengintip diujung langit dan siluet hitam dari gedung-gedung pencakar langit
yang gagah membentang sepanjang jalan metropolitan. Duduk dihamparan rerumputan basah
dipinggir sungai dua anak manusia yang sedang berkecambuk dalam pikran masing-masing.
Setelah denting jam menunjuk pukul 18.00 dan suara adzan mulai berkumandang seantero
bantaran Sungai Ciliwung terdengar, Ikal memecah keheningan dengan bertanya “Nama
mpok siapa? Biar kalo sampe gua diculik. Mpok bisa gua laporin ke polisi” Si wanita kembali
menitikkan air mata tapi kali ini karena dirinya terpingkal atas pernyataan Ikal. “Haha iya deh
iya. Lupa ya daritadi gua belum kasih tau nama gua. Nama gua Dandelion” “Ha? Dandelion”
“Iya.. Dandelion”
Bab I
Sepucuk Surat Kelabu

“Ayah… Ayah… lihat. Nilai Ulangan Akhirku 100 semua” seorang anak perempuan
berseragam merah putih dan berkepang dua berjingkat jingkat disamping traffic light
perempatan dekat pintu keluar tol. Di seberang jalan ayahnya terlihat panik dan berusaha
memberi intruksi pada anak perempuannya untuk diam dan hati-hati. Saat traffic light
berganti warna menjadi merah segera si ayah tergopoh gopoh menyebrang sambil membawa
setumpuk koran yang disampirkan di sebelah tangannya. Anaknya semakin bersemangat
berloncat loncat ketika ayahnya semakin dekat. Dipeluk erat ayahnya, tubuh kecilnya terlihat
makin mungil saat berada didekapan ayahnya. Bahu ayahnya yang selama ini biasa
memanggul begitu berat beban kehidupan terasa amat nyaman bagi anak perempuannya.
Terik mentari, asap kenalpot dan lalu lalang kendaraan menjadi saksi kehangatan Ayah dan
anak perempuannya itu. Satu dua pasang mata memandang iri kearah mereka berdua.
Ayahnya menerima uluran kertas hasil ulangan Dandelion. Matanya berbinar melihat nilai
nilai yang didapatkan putrinya. “Hebat anak ayah… bisa juara kelas lagi kalo gini dong.
Semakin semangat ayahnya kerjanya” “Ayah gak boleh kerja terus. Adel takut ayah sakit.
Dari pagi ayah sudah jualan koran di jalan sampe sore. Selepas maghrib ayah kerja lagi jadi
buruh angkat di pabrik tepung Ci Lingling. Ayah pasti kecapekan” “Enggak kok. Ayah gak
capek. Ayah baik-baik saja selama selalu bisa melihat senyum manis dari anak cantiknya
ayah”
“Aduh ayah bisa aja” muka Adel menjadi merah merona. “Hahaha.. oke. Untuk anak ayah
yang paling cantik dan pintar ini ayah mau beri satu hadiah karena sudah berhasil mendapat
nilai yang sangat bagus dan membanggakan ayah. Adel mau apa?” “Hari ini Adel mau ayah
pulang lebih awal terus ajak Adel makan mie di pinggir pantai. Boleh ayah? Pliiiisss Adel
mau lihat matahari terbenam sambil makan mie. Temen-temen Adel di sekolah selalu cerita
soal matahari terbenam yang indah di pantai. Ayahnya mengerutkan kening berfikir sejenak
lalu berkata “Baiklah. Apa sih yang engga buat anak kesayangan ayah ini” “Bener yah? Asik
asik Adel bakal ke pantai lihat matahari terbenam sama ayah” Ayahnya sampai terheran heran
melihat reaksi Adel yang sangat kegirangan. Walau jauh dilubuk hatinya terbersit rasa takut.
Jika harus menuruti kemauan anaknya artinya ia harus libur bekerja di dua tempat sekaligus
hari ini. Dan berarti dia tidak akan dapat uang setoran hari ini. Perlahan tangannya
menyentuh ujung kantong celananya, dia ingat hanya ada Rp 20.000 di kantongnya.
Bagaimana caranya ia akan membawa putrinya ke Pantai yang notabene lumayan jauh dari
Kawasan rumahnya. Haruskah ia membongkar tabungannya. Tapi bagaimana jika sampai
ketahuan istrinya. Pasti akan jadi masalah besar. Bagaimana kalo bulan depan ia tidak bisa
membayar kontrakan. Bu Laili pemilik kontrakan pasti akan berteriak teriak dari ujung gang
dan mempermalukan ia dan istrinya. Itu akan menjadi masalah lebih besar lagi dengan
istrinya. Tetapi hatinya sudah terlanjur luluh melihat semangat anak kesayangannya.
Bagaimanapun dia juga ayah biasa yang ingin dianggap luar biasa dimata anaknya.
Saat ini juga Pak Setyo, ayah Dandelion mengemasi barang dagangannya. Digandengnya
putri kesayangannya itu melewati ruko ruko, pedagang kaki lima yang sangat ramai di
kawasan itu. Mereka juga melewati gang gang kecil yang bagai labirin lalu berkelok menuju
jembatan di atas sungai. Bau sampah dari sungai sedikit menyengat. Memang sangat di
sayangkan. Sungai besar di tengah kota itu tercemar oleh sampah sampah limbah rumah
tangga. Kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan sungai dan tanggung jawab
membuat sampah di tempat semestinya sangatlah minim. Padahal di sepanjang sungai itu
banyak keluarga yang memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan hidupnya sehari hari.
Seperti mencuci, mandi, bahkan memasak. Nestapa yang mereka jalani sebagai masyarakat
kecil. Jangankan untuk menggunakan air yang layak, mereka harus pontang panting hanya
untuk mencari sesuap nasi. Tak sedikit dari mereka yang berakhir bunuh diri, banyak juga
yang memilih menggantungkan hidup dengan tindakan-tindakan kriminal. Berkedok
mempertahankan kehidupan, mereka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang.
Ironis memang tapi itulah kenyataan kehidupan yang dijalani keluarga yang tinggal di rumah-
rumah semi permanen Kawasan ini. Termasuk keluarga Pak Setyo, mereka merupakan salah
satu keluarga kecil yang hidup dengan keterbatasan. Pak Setyo yang hanya sempat
mendapatkan pendidikan sampai kelas 4 SD dan istrinya, Bu Aini yang sama juga tidak lulus
SD tidak dapat berbuat banyak ketika kriteria pelamar kerja semakin sulit. Bahkan untuk
bekerja menjadi pelayan toko saja minimal lulusan SMP belum lagi kriteria untuk menjadi
asisten rumah tangga keluarga kaya, dewasa ini orang orang semakin selektif untuk
memperkerjakan ART. Bagaimanapun anak-anak mereka akan lebih sering menghabiskan
waktu bersama ART yang notabene akan menjadi sosok yang berpengaruh untuk tumbuh
kembang anak-anak mereka. Wajarlah orang-orang kaya itu akan memberi kriteria yang
matang demi menyelamatkan masa depan anak-anak mereka. Bahkan bagi mereka-mereka
yang sudah menyandang gelar sarjana pun kesulitan untuk mendapat pekerjaan. Tak sedikit
sarjana-sarjana yang akhirnya banting setir untuk pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang
study mereka saat kuliah. Mas Andi contohnya Sarjana Teknik Sipil yang sekarang menjadi
supir gojek. Mas Andi sudah lulus sejak 3 tahun silam. Sudah puluhan perusahaan yang ia
lamar tapi masih belum membuahkan hasil. Semangatnya memang patut diacungi jempol.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya di tanah rantau ia rela menjadi supir gojek. Mas
Andi sering menunggu penumpang sambal membaca koran di tempat Pak Setyo menjajakan
korannya. Pernah suatu saat Pak Setyo bertanya mengapa ia tidak pulang kampung saja ke
Semarang daripada terluntang lantung di kota orang. Mengingat biaya sewa rumah dan
kehidupan sehari-hari di ibu kota sangat tinggi. Bukankah lebih baik mencari peruntungan di
kampung sendiri dekat dengan orangtua dan saudara. Tetapi Mas Andi takut mempermalukan
orangtuanya. Setiap dia pulang ke Semarang, tetangga-tetangganya selalu bertanya tentang
pekerjaan. Hati Mas Andi sangat teriris saat melihat raut wajah ayah ibunya. Orangtuanya
memang tidak pernah menyalahkan, bahkan mereka selalu memberi semangat dan dukungan
untuk Mas Andi. Tapi bagaimanapun juga jika selama 3 tahun berturut-turut selalu dicerca
pertanyaan yang sama, siapa yang akan baik-baik saja.
Contoh lain adalah Teh Ayu pemilik Laundry tempat Bu Aini bekerja sebagai buruh cuci. Teh
Ayu yang merupakan lulusan dari Akademik Keperawatan sudah 9 tahun ini membuka usaha
jasa laundry bermodal dari uang warisan orangtuanya. Teh Ayu sering sekali berkeluh kesah
pada Bu Aini tentang bagaimana ia yang dari keluarga cukup sederhana, berusaha keras untuk
dapat menyelesaikan Pendidikan keperawatannya. Ayah Teh Ayu sebagai tulang punggung
keluarganya, bekerja keras menghidupi istri dan kelima anaknya. Teh Ayu adalah harapan
sang ayah karena Teh Ayu merupakan anak pertamanya. Ayahnya yang seorang petani rela
sampai terus kerja tak kenal lelah setiap hari agar Teh Ayu bisa mendapatkan pendidikan
sesuai dengan harapannya. Dengan segala usaha akhirnya Teh Ayu bisa lulus dari akademik
keperawatan termuka di kota Bandung. Setelah wisuda, Teh Ayu mencoba peruntungannya di
kota kelahirannya Tasik Malaya, tapi lebih dari satu tahun ia melamar kesana kemari hasilnya
tetap nihil. Tepat 2 tahun dari kelulusannya di bertekad untuk mencoba mencari pekerjaan di
ibu kota. Namun, semuanya hanya angan-angan. Dia tetap menganggur setelah berbulan-
bulan hidup di kota metropolitan. Tapi ia juga tidak punya keberanian untuk kembali ke
kampung halamannya. Ia takut mengecewakan ayah ibunya karena ia tau dialah harapan
utama ayah ibunya. Mengingat adek-adeknya yang menjadi masih menjadi tanggungan
orangtuanya, Teh Ayu mengalahkan egonya, dia mencoba berbagai lowongan walau tidak
sesuai dengan bidang study nya. Tapi tetap saja belum menjadi rejeki Teh Ayu. Teh Ayu
merasa hilang harapan, dia menangis sesenggukan di taman kota dengan masih mengenggam
beberapa amplop cokelat berisi lamarannya. Hatinya hancur membayangkan bagaimana ia
harus mengecewakan orangtuanya. Di sisi lain, uang saku pemberian ayahnya yang
digunakan untuk hidupnya saat mencari pekerjaan sudah sangat menipis. Dengan lunglai dia
menyeret kakinya menuju rumah kosnya. Melewati gang gang kecil. Badannya lemas
perutnya keroncongan. Daripagi belum ada sesuap nasi pun yang masuk ke
kerongkongannya. Dirinya sedari tadi bertahan dengan banyak minum air putih. Celakanya
bukan membuat kenyang, perutnya malah terasa kembung dan nyeri. Sampai tiba saat Ketika
nyeri di perutnya sangat tak tertahan dia duduk di sebuah ruko. Ditariknya nafas perlahan dan
meluruskan kaki, lumayan jitu caranya perlahan nyeri di perutnya sedikit berkurang. Saat
mulai sedikit lega, mata Teh Ayu melihat sekeliling ternyata dia duduk diemper ruko, di
sebelahnya terdapat toko buku yang ramai. Tak heran daerah ini memang dekat dengan
beberapa kampus besar dan ternama di ibu kota. Ketika sedang melihat berkeliling, perhatian
Teh Ayu tertuju pada selembar kertas yang ditempel di depan pintu masuk. Sebuah
pengumungan yang tidak terlalu besar. Kiranya hanya dengan font Times New Roman size
14. Tapi tampaknya penglihatan Teh Ayu sudah sangat terlatih ketika menemukan tulisan
“Lowongan Kerja”.
Dirinya segera beranjak untuk melihat lebih dekat pengumuman tersebut.

Lowongan Pekerjaan
Store Operational Associate
TOKO BUKU ANANDA
Bertugas dan bertanggungjawab dalam :
1. Aktivitas penjualan produk
2. Pengelolaan dan pemeliharaan produk
3. Pelayanan Pelanggan
Requirements :
1. Pria / Wanita berusia 18- 25 tahun
2. Pendidikan minimal SMA/SMK
3. Menguasai Ms Word dan Excel
4. Jujur, disiplin, cekatan, teliti dan enerjik
5. Memiliki keterampilan komunikasi yang baik
6. Berpenampilan menarik
Tanpa berpikir panjang Teh Ayu segera masuk ke dalam toko dan mencoba peruntungannya.
Manusia memang akan mengesampingkan ego maupun idealisme jika sudah berhubungan
dengan masalah perut. Keluar dari toko wajah Teh Ayu tampak berseri langkahnya menjadi
ringan, nyeri perutnya hilang bagai ditelan bumi. Dia melangkahkan kakinya sambil
bersenandung menuju rumah kosnya. Masih terngiang dipikirannya pertanyaan si pemilik
toko buku. Mengapa dia seorang sarjana keperawatan mau menjadi pramuniaga tokonya. Dan
lucunya lagi Teh Ayu tanpa basa basi menjawab karena ia membutuhkan uang untuk makan.
Entah karena iba atau melihat peluang mendapat pekerja yang benar benar membutuhkan
sehingga akan mudah diatur,si pemilik langsung menerimanya dan menyuruhnya memulai
pekerjaan besok pagi. Teh Ayu tertawa mengingat kejadian itu. Bulan-bulan berlalu, tak
terasa sudah 6 bulan Teh Ayu bekerja di toko itu. Dia sangat senang dengan pekerjaannya
karena ia dapat membaca buku sepuasnya. Dia sangat tertarik dengan buku-buku tentang
bisnis. Dia berangan suatu saat akan menjadi pebisnis. Walau pemilik toko sekarang sangat
baik padanya tetap saja lebih baik jika dapat memiliki usaha sendiri. Teh Ayu selalu
melakukan pekerjaannya dengan ceria. Keceriaan itu membuat toko buku itu terasa lebih
hangat. Si pemilik suka memberi bonus kepada Teh Ayu karena banyak pelanggan cerita
bahwa Teh Ayu membuat mereka senang dan nyaman belanja di toko buku itu. Teh Ayu yang
memang sangat mencintai keluarganya, selalu menyisihkan gajinya untuk dikirimkan ke
kampung halaman.
Pada suatu hari yang cerah, matahari begitu terik sampai burung burung gereja lebih memilih
berlindung di dedaunan daripada bekerja membuat sarang. Teh Ayu seperti biasa sedang
bekerja di toko sambal membaca buku karena keadaan toko sedang cukup sepi, mungkin
orang-orang juga sama seperti si burung gereja menghindari matahari yang begitu terik. Tiba-
tiba pemilik toko memanggilnya, Teh Ayu segera menghampiri. Si pemilik toko memberikan
ganggang telepon kabel yang ada di ruang kerjanya nampaknya ada yang menghubungi Teh
Ayu. Ia memang telah ijin pada pemilik toko untuk memberikan nomer teleponnya pada
keluarganya. Makhlumlah pada jaman itu memang jarang orang yang sudah mempunyai alat
komunikasi. Teh Ayu pun harus menelepon rumah Ketua RT desanya jika ingin berbicara
dengan kedua orangtuanya. Segera Teh Ayu menempelkan gangang telepon di telinganya di
seberang sana terdengar suara Wa Deden, kakak dari ibu Teh Ayu. Beliau mengabarkan berita
yang amat memilukan. Rumah orangtua Teh Ayu di rampok semalam. Ayah ibu dan dua
adiknya yang pertama dan kedua ditemukan tewas bersimbah darah. Sepertinya si perampok
terpergok dan akhirnya nekat membunuh keluarga Teh Ayu. Saat itu Teh Ayu langsung
terduduk lemas, semua otot yang di tubuhnya sepertinya meleleh. Air matanya meleleh, bola
mata Teh Ayu begitu terasa panas, kepalanya seperti terhantam bongkahan batu besar yang
entah jatuh darimana, tepat di hatinya seperti ditikam sebilah pedang Panjang yang bisa
menembus tubuhnya dan merobek semua organnya. Si pemilik toko yang baik hati segera
menutup tokonya lalu mengambil mobilnya. Dia sendiri mengantarkan Teh Ayu ke rumah
orangtuanya di Tasik Malaya. Tangis Teh Ayu pecah saat melihat empat jenazah orang
terkasihnya.
Semua pelayat ikut terisak melihat jerit tangis Teh Ayu. Dia bersujud di bawah kaki kedua
orangtuanya yang sudah terbungkus kain kafan. Dia lalu memeluk tubuh kaku kedua adiknya
yang terbarik di sebelah ayah ibunya. Mereka semua mengiringi kepemakaman orangtua dan
kedua adik Teh Ayu ditemani langit yang sendu. Entahlah.. mungkin semesta pun ikut hanyut
disuasana yang tragis ini. Sebulan Teh Ayu tinggal di rumahnya sambil merawat kedua
adiknya yang masih hidup. Kedua adiknya masih begitu kecil sehingga harus ditunggu. Adik
ketiganya masih berumur 9 tahun dan yang keempat masih berusia 5 tahun. Teh Ayu tak bisa
meninggalkan mereka untuk bekerja tetapi tak sanggup juga meninggalkan mereka kepada
sanak saudara. Trauma yang ia rasakan tidak bisa dengan mudahnya hilang begitu saja.
Bahkan saat berada di dalam rumah dia masih terbayang percikan percikan darah keempat
keluarganya. Jika memang takdir mereka untuk kembali ke padaMu. Mengapa Engkau
panggil mereka dengan cara yang begitu tragis.
Keputusan Teh Ayu sudah bulat ia ingin meninggalkan kampung halamannya. Ia ingin
terlepas dari bayang bayang peristiwa naas yang menimpa keluarganya di tempat itu. Ia sudah
bertekad menjual rumah dan sepetak tanah sawah harta peninggalan orangtuanya satu-
satunya. Walau sudah dilarang oleh keluarga besarnya ia tetap nekat melakukannya. Karena
dia merasa tanggungjawab besar yang harus ia pikul sendiri mulai dari sekarang. Kedua
adiknya, keluarganya yang masih tersisa, mereka lah harta paling berharga dan akan Teh Ayu
jaga selamanya. Ia sendiri yang akan merawat kedua adiknya. Uang hasil penjualan rumah
dan sawah ia gunakan untuk membeli ruko kecil di dekat Universitas Trisakti. Ia membuka
usaha laundry yang sudah 9 tahun ini berdiri. Untunglah dengan berbekal ilmu bisnis yang
sering ia baca di toko buku, usaha laundry nya sekarang berkembang cukup baik. Teh Ayu
mempunyai 6 orang pegawai termasuk Bu Aini, ibu Dandelion. Kedua adiknya juga tumbuh
dengan baik mereka dapat mengenyam pendidikan di sekolah ternama di Kawasan tersebut.
Kisah Teh Ayu memang selalu menjadi inspirasi bagi Dandelion.

Tak terasa Dandelion dan Pak Setyo telah sampai di rumah mungilnya. Mereka segera
Bersiap untuk melihat matahari terbenam di pantai Ancol. Bu Aini masih ditempat laundry,
lagi pula Dandelion kenal betul bagaimana ibunya. ia tidak menyukai berpergian jauh.
Baginya itu hanya menghambur-hamburkan uang. Bu Aini sangat berharap kehidupan
keluarganya akan membaik sehingga ia tidak perlu lagi mendengarkan cemooh dari
oranglain, tidak perlu juga mendengar bentakan dari Bu Yayuk si pemilik rumah sewanya.
Hati Bu Aini sangat rapuh. Baginya caranya keluar dari hidup yang nelangsa ini ya dengan
bekerja begitu keras dan menghasilkan uang yang banyak. Hampir setiap hari Bu Aini pergi
bekerja entah di Laundry Teh Ayu atau di rumah Bu Nisa yang suka memakai jasa Bu Aini
untuk mencuci dan menggosok. Bu Aini bahkan hamper tidak pernah bepergian, jika
Dandelion meminta Bu Aini untuk pergi ke suatu tempat pasti langsung ditolaknya. Ibunya
selalu mengatakan “Apa gunanya pergi jalan-jalan? Buang-buang uang. Emangnya dikira cari
uang mudah? Mau sampai kapan hidup seperti ini. Nanti kalo Ayahmu sudah jadi orang kaya
baru lah jalan-jalan sana sampai ke ujung dunia”
Kata-kata yang amat menyakitkan untuk Dandelion dan Pak Setyo. Padahal saat itu
Dandelion hanya minta jalan-jalan ke Taman Kota. Dandelion janji tidak akan minta apa pun
bahkan sebungkus es teh untuk menghilangkan dahaga. Dandelion hanya iri ingin merasakan
juga menghabiskan waktu bersama dengan keduaa orangtuanya seperti teman-teman
sekolahnya. Dia tidak meminta pergi ke Pantai Gunung Kidul Jogja seperti Amel atau
berlibur ke Bali saat libur semesteran seperti Ceccillia. Dia akan sangat bahagia jika ibunya
dapat meluangkan waktu untuk sekedar menemaninya main prosotan dan ayunan di taman.
Selama ini hanya ayahnya yang mengantarkannya bermain di taman. Itu pun sembunyi-
sembunyi dari ibunya seperti saat ini. Dandelion yang biasa dipanggil Adel telah sampai di
Halte Busway Jelambar. Ayahnya mengambil sebuah kartu yang ia beli di sebuah minimarket.
Kartu itu ia simpan di kantung celananya tanpa sepengetahuan istrinya. Pernah sekali ia
gunakan ketika putrinya memintanya untuk mengajaknya naik Busway. Pada awal tahun
2004 silam Bus Rapit Transit (BRT) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Busway mulai
beroperasi. Warga Jakarta sangat antusias dengan mode transportasi baru ini. Busway
memiliki jalur khusus sehingga dapat menjadi alternatif para pekerja untuk mengurangi
kemacetan ibukota yang amat parah. Hanya dengan 2000 perak mereka dapat menggunakan
transportasi cepat sesuai koridor yang mereka tuju.
Begitu pula dengan Dandelion yang memanfaatkan alat transportasi ini. Setelah 15 menit
menunggu akhirnya bis transjakarta yang ditunggu tiba mereka menaiki busway koridor 3
arah Harmoni. Setelah turun di halte busway Harmoni dilanjutkan dengan Busway koridor 1
arah kota. Setelah sampai di halte busway Kota, Dandelion melanjutkan perjalanan dengan
menaiki mikrolet M15 menuju Tanjung Priok. Di sepanjang perjalanan Dandelion sangat
terkagum-kagum. Banyak hal yang ia baru pertama lihat. Ternyata banyak sekali Gedung
pencakar langit di Jakarta, selama ini ia salah mengira bahwa Gedung-gedung itu hanya ada
di seberang ujung rel dekat jembatan besi yang biasa ia lalui. Ia juga terheran2 dengan kapal-
kapal besar yang dapat ia lihat ketika melewati dermaga Tanjung Priok. Keheranan pada diri
Dandelion membuat ayahnya terkikik geli. Tidak menyangka dengan ekspresi yang ia lihat
pada diri anaknya. Hingga akhirnya mereka sampai di jalan R.E Martadinata. Perjalanan
masih di lanjutkan dengan menggunakan ojek motor. Saat melintasi gerbang timur Dandelion
memekik lantang “Ayah ada putri duyung.. kita sudah sampai ya?” “Haha iya nak iya sudah
mau sampai” “Wah Adel sudah gak sabar ayah. Perjalanannya ternyata jauh sekali. Adel
sampe pegal”
“Itu Namanya perjuangan Adel. Kalo kamu mau mendapatkan hal yang baik, ya harus
berjuang dan pantang menyerah. Seperti tadi kita sudah melewati banyak rintangan naik
turun bus, terhimpit penumpang lain, kepanasan di angkot. Itu lah perjuangan untuk akhirnya
kita akan mendapatkan apa yang kita harapkan”
Dandelion melihat ayahnya dan tersenyum manis sekali. Dandelion merasa sangat beruntung
punya Ayah seperti Pak Setyo. Dengan segala kekurangan yang ibunya katakan tentang
ayahnya, namun bagi Dandelion Pak Setyo adalah sosok yang luar biasa, sosok yang selalu
memberikan banyak hal berharga untuknya. Pak Setyo selalu mengusahakan agar Dandelion
dapat merasakan hidup bahagia seperti anak di usianya. Ketika banyak anak tetangganya
putus sekolah dan memilih untuk mengamen, Pak Setyo tak pernah sekalipun berfikiran
untuk meminta Dandelion mencari uang. Bagi Pak Setyo tugas anak seusia hanya sekolah dan
belajar dengan baik sehingga masa depannya akan menjadi baik pula. Biarlah dirinya yang
memikul berat puluhan ton beras setiap harinya ketika menjadi buruh pikul ataupun menahan
teriknya sinar matahari yang menyengat ketika berjualan koran. Biarlah ia yang menerima
caci maki maupun hinaan. Dia bersedia menjadi tameng bagi putrinya agar sang putri tetap
selalu tersenyum dengan manis.
Setelah memakan waktu cukup lama akhirnya tibalah Dandelion di tempat yang ia impi-
impikan. Jemari kakinya menyentuh lembutnya pasir putih. Dirinya berlarian mengejar
ombak lalu terhenti sejenak untuk mengumpulkan kerang kecil. Tak terasa langit nan biru
berubah menjadi jingga tanda hari mulai sore. Pak Setyo memanggil putrinya untuk mencari
tempat yang nyaman menyaksikan matahari terbenam. Beruntunglah hari itu langit sangat
cerah, perlahan sang surya turun diujung langit cahayanya membuat air laut berkilau indah
sekali. Mata Dandelion yang cerah bertambah berkilau menyaksikan pemandangan saat itu.
Tanpa kata, pasangan ayah anak tersebut menyaksikan lukisan Sang Kuasa. “Kau lihat buih
laut itu nak?” tanya sang ayah. Dandelion mengangguk. “Mereka ada namun tak pernah
dianggap. Mereka dianggap tidak berguna. Mereka dianggap pencemar. Namun harus satu hal
yang kau ingat mereka adalah pelengkap keindahan di laut. Mereka ada tanpa mereka
inginkan. Mereka terbentuk dari air laut dan angin yang kuat. Dua hal paling penting dalam
kehidupan air dan udara. Itu lah yang membentuk Buih Laut. Lantas apa yang salah dari
mereka? Tentu tidak ada. Tak apa jadi buih laut. Tak apa dianggap tak berguna. Tak apa
dibedakan. Tugasmu hanya bertahan dan buktikan. Jadi lah kuat walau diterjang ombak.
Kuatlah walau terbentur karang, kuatlah walau terik mentari amat menyengat. Karena setelah
itu kau akan menjadi indah”
Dandelion memandang ayahnya dengan berkaca-kaca. Ayahnya selalu menguatkannya
dengan kata-kata yang indah. Ayahnya yang tidak tamat sekolah dasar tapi tetap semangat
untuk belajar dari berbagai hal. Hati Dandelion menjadi lebih kuat. Tak apa aku sekarang
dihina. Tak apa aku dibedakan oleh teman-teman. Suatu saat akan ku buktikan bahwa aku
akan mendapatkan hal yang sangat indah seperti kata ayah. “Ayah” ucap Dandelion perlahan.
Pak Setyo memandangi anaknya dengan lekat. “Ayah harus janji akan melihat Dandelion
menjadi indah” Pak Setyo tersenyum dan mengangguk “Bagi ayah, Dandelion sekarang pun
sudah sangat indah. Tapi Dandelion harus bisa jauh lebih indah lagi. Jadilah yang terindah
versi dirimu sendiri” mereka berpelukan erat hingga tak terasa matahari semakin turun
bersembunyi di ujung nirwana.
~
Dandelion tersentak bangun ketika mendengar suara piring terbanting.
Pyaaaaaaaarrrrrr
Satu lagi piring yang pecah memecah kesunyian malam itu. Suara pecahan piring tak
seberapa nyaring ketika bentakan demi bentakan terlontar dari mulut Bu Aini yang naik
pitam. Pak Setyo yang sedang mencoba menjelaskan tak bisa berkutik karena kemarahan Bu
Aini sudah pada puncaknya. Uang simpanan mereka berdua ludes tak bersisa. Uang yang
akan digunakan untuk menyicil uang kontrakan lenyap dari tempatnya. Raut wajah Pak Setyo
merasa amat bersalah menghadapi cercaan Bu Aini yang meledak-ledak. Dandelion
mengintip dari balik korden pembatas antara kamar dan dapur. Matanya menatap lekat wajah
ayahnya yang tertunduk lesu. Matanya tak kuasa menahan air mata, hatinya amat pedih
melihat ayahnya kena omel ibunya. Dandelion merasa bersalah atas semuanya. Andaikan aku
tidak meminta ke pantai pada ayah, andaikan aku tidak punya keinginan ke pantai, andaikan
ayah tidak menuruti keinginanku. Tapi apakah aku salah karena hanya ingin pergi ke pantai
menikmati waktu bersama ayah? Apakah salah ayah untuk menuruti keinginan putrinya? Lalu
apakah ibu salah jika ingin mempertahankan uang cicilan kontrakan? Lantas siapa yang harus
disalahkan pada masalah ini? Sanggupkah aku menyalahkan Tuhan karena memberikan
keadaan seperti ini? Mengapa Amel bisa pergi ke pantai Jogja tanpa membawa masalah saat
pulang? Mengapa Ceccillia bisa berlibur ke Bali tanpa merisaukan segalanya? Mengapa
mereka bisa sedangkan aku tidak. Aku hanya pergi ke pantai yang berjarak 7.66 km dari
rumahku dan membawa masalah besar ke rumahku. Mengapa Tuhan tak adil padauk. Apakah
Ia tak saying padaku. Pikiran Dandelion berkecambuk. Apalagi ketika mendengar ucapan
ibunya “lebih baik aku mati daripada seumur hidup sengsara seperti ini” kata-kata
menakutkan itu terlontar dari mulut Bu Aini dengan lirih namun amat tajam. Kata-kata yang
seketika menyayat hati suami dan anaknya.

Anda mungkin juga menyukai