Anda di halaman 1dari 20

Mimpi yang dinanti akan terwujud

Akhir yang indah

Impian setiap insan

Dengan kisah yang berbeda

Namun tertutup sama

●●●

Adrian Gavika Dewisa

Karenia Selvina Praya

“Gorengan.. Gorengan..!!”

Teriakan seorang remaja laki-laki itu teredam oleh berisiknya suara mesin-mesin dari kendaraan
bermotor yang terus bersahutan mengiringi pemberhentian mereka di salah satu lampu merah kota
Bandung.

Ia menepi sesaat, sembari mengistirahatkan raganya yang sudah bekerja keras selama seharian ini.
Lampu merah telah berganti hijau, perempatan yang tadi ramai oleh kendaraan kini tampak lengang.
Menyisakan remaja lelaki penjual gorengan itu seorang diri.

Hari semakin larut, masa bakti sang surya telah usai, giliran purnama dan para bintang yang akan
menggantikan tugasnya untuk memberi cahaya bagi para penduduk bumi. Begitupun para manusia
dan makhluk hidup lainnya yang sudah bergelung nyaman di atas Kasur masing-masing, menyambut
sunyinya malam sebagai waktu beristirahat.

Remaja lelaki penjual gorengan itu menghembuskan nafas Lelah, ia mengeluarkan satu kresek
kantong plastik hitam dari balik tumpukan gorengan yang masih tersisa. Isinya adalah total hasil dari
seluruh penjualannya selama seharian ini, sejak pagi tadi sampai malam selarut ini.

Jarinya bergerak perlahan menghitung tiap-tiap lembaran rupiah yang berhasil ia dapatkan, semua
itu hanya terkumpul setengah dari modal perhari ibunya dalam membuat gorengan.

Kepalanya mendanga menatap langit-langit yang kini telah dipenuhi bintang-bintang, ia menghirup
dan mengembuskan nafasnya perlahan, mengatur Kembali emosinya, bagaimanapun ia adalah
seorang laki-laki dan laki-laki tidak diperkenankan untuk menangis.

Ya Tuhan, kenapa hidup sesulit ini!

Mimpinya untuk melanjutkan jenjang Pendidikan ke universitas terpaksa ia urungkan karena tak ada
cukup uang untuk dapat membiayai segala kebutuhan kuliahnya, belum lagi uang untuk biaya
pengobatan terapi kanker ibunya yang semakin hari makin parah, juga biaya sekolah adik-adiknya
dan pengeluaran harian keluarga mereka untuk dapat tetap bertahan hidup.

Semua itu menjadi beban tersendiri bagi seorang anak lelaki satu-satunya sekaligus kakak sulung
seperti dirinya setelah mereka kehilangan figur seorang ayah dalam hidup mereka.

Dulu, kehidupan mereka berjalan normal, setidaknya semuanya baik-baik saja sampai kejadian
tersebut menimpa mereka bak petir di siang bolong, yang bahkan tak pernah terlintas di benak
mereka bahwa itu akan terjadi dengan cara tersebut.
Setelahnya, kehidupan seakan tak berpihak pada mereka, terbukti dari kejadian-kejadian
menyakitkan yang terus bergantian menghampiri mereka. Sama sekali tak memberi jeda bagi
mereka untuk memulihkan diri.

Pikirannya Kembali melayang pada saat-saat dimana ia masih dapat tersenyum bebas Bersama
teman-teman sekelasnya atau Ketika adik-adiknya selalu berpesta Bahagia tiap merayakan hari ulang
tahun mereka atau Ketika kedua orangtuanya sedang berbahagia Bersama, bermesraan dengan
sangat manis. Astaga, rasanya ia ingin Kembali ke saat-saat terindah itu.

“Sial, Dasar pria brengsek. Bajingan!”

Umpatan samar-samar itu mampu menariknya Kembali ke kenyataan, badannya menegak seketika.
Ia menoleh ke sekeliling untuk mencari keberadaan si pengumpat, namun nihil, ia tidak menemukan
sosoknya. ‘lagipula, siapa yang masih lewat malam-malam begini?’ pikirnya.

Baru saja ia ingin meyakinkan dirinya bahwa itu semata hanya halusinasinya sendiri, matanya justru
menemukan sesosok yang sedang berjalan ke arahnya dengan tertatih-tatih. Ia menajamkan
penglihatannya pada sosok tersebut, minimnya cahaya cukup menyulitkan dirinya untuk mengetahui
siapakah sosok tersebut.

Ia terus memfokuskan pandangan pada sosok itu hingga Ketika sosok tersebut mendekat, ia baru
menyadari bahwa itu adalah seorang perempuan, lebih tepatnya seorang sekretaris muda, mungkin?
Terlihat dari map-map besar yang menyembul keluar dari tas yang di dekap dengan tangan kirinya,
sedangkan satu tangannya lagi ia gunakan untuk menopang lututnya agar tetap bisa berjalan.

Ia lantas bangkit saat menyadari bahwa gadis itu membutuhkan bantuan karena terlihat jelas dari
raut kesakitan yang tampak di wajahnya. Ia mendekat ke arah sang gadis, berniat baik untuk sekedar
meringankan bebannya malam ini.

Namun, respon sang gadis sungguh tak sesuai perkiraannya, sebelum ia bahkan dapat mengucapkan
sepatah kata, kala tangan gadis itu langsung terangkat naik ke depan wajahnya.

“Jangan bergerak brengsek, atau aku akan membunuhmu” Ucap gadis itu dengan nada yang dibuat
setegas mungkin.

Ia justru hanya terkekeh pelan menanggapi ucapan gadis di hadapannya ini. Entah kenapa ia malah
terhibur saat melihat tingkah laku sang gadis yang tampak sok kuat walau dirinya sendiri pasti
sedang sangat membutuhkan bantuan. ‘Gengsi seorang wanita, lihat saja sebentar lagi pasti ia
akan--‘ Belum sempat ia menyelesaikan kata batinnya, gadis di hadapannya sudah terjatuh dengan
menimbulkan bunyi yang cukup keras.

Ia hanya tersenyum miring melihat gadis itu kesusahan untuk Kembali bangkit. ‘Salah siapa, ingin
dibantu malah sok kuat’ pikirnya

Gadis itu Kembali mengumpat, kali ini dengan umpatan yang lebih kasar dari sebelumnya,

Ia justru tertawa pelan saat menonton upaya gadis itu untuk bangkit. Rasanya seperti beban yang
tadi hampir membuatnya menangis meluap begitu saja saat melihat tingkah lucu gadis di
hadapannya ini. Oh Tuhan, Wanita ini memang lucu.

Setelah mencoba beberapa kali untuk Kembali bangkit, namun terus gagal, gadis itu mulai
mengulurkan tangan pada laki-laki di depannya yang masih setia menontonnya bersusah payah
untuk bangun tanpa berniat membantunya.
“Bantu aku brengsek!”

Ia kembali tersenyum miring saat mendengar kalimat yang sudah ditunggu-tunggunya sejak tadi
akhirnya keluar dari mulut sang gadis.

“Butuh bantuan, nona?”

Gadis itu hanya menganggukkan kepalanya tanpa berniat menjawab perkataannya sedikitpun. Ketika
tangan mereka menyatu, gadis itu langsung mengenggam erat telapak tangannya bahkan saat sang
gadis sudah Kembali berdiri.

“Terimakasih” Ucap gadis itu dengan nada yang lebih lembut dari sebelumnya dan dibalas anggukan
pelan dari lelaki itu.

“Kau baik-baik saja?” Tanyanya saat mendengar ringisan yang keluar dari bibir gadis itu saat mereka
mulai berjalan

“Yeah, tak apa”

“Kau yakin? Perlu kugendong?”

“Tidak.. Tidak..”

Mengangguk mengerti, ia mulai mengambil tas besar penuh map dari tangan sang gadis tanpa
penolakan sedikitpun darinya

“Dimana rumahmu?”

“Aku mahasiswi. Jadi, selama ini aku tinggal di apartment ujung jalan ini. Kau? Oh Astaga, kau bukan
anak punk yang sedang menunggu dini hari untuk balapan liar kan?”

Ia terkekeh pelan mendengar ocehan dari gadis di hadapannya ini

“Tentu tidak nona, aku bukan laki-laki brengsek atau laki-laki bajingan yang suka bermain-main jika
itu yang kau pikirkan”

“Lalu? Untuk apa kau masih disini selarut ini?”

“Aku bisa menanyakan hal yang sama padamu, terlebih kau seorang gadis” Lelaki itu menaikan satu
alisnya menantang gadis itu

“Aku terlalu banyak menyelesaikan tugas di perpustakaan kampus tadi sore, dan berakhir dengan
aku yang pulang kemalaman. Beruntung penjaga kampus memeriksa tiap sudut kampus, kalau tidak,
bisa-bisa aku bermalam disana”

Lelaki itu menganggukkan kepalanya pelan

“Alasan yang masuk akal”

“Hey, itu memang kenyataannya. Kau tidak berfikir aku gadis murahan yang dibayar untuk melayani
para pengusaha kaya, kan?” Tanya gadis itu tak percaya

“Mungkin” Jawabnya tanpa dosa, membuat gadis itu langsung menendang tulang keringnya sekeras
mungkin

“Aww” Pekik gadis itu tertahan saat menyadari nyeri mulai timbul di kakinya yang baru saja
digunakan untuk menendang laki-laki bermulut jahannam di depannya adalah kaki yang baru saja
mendapat musibah. Sedangkan laki-laki itu hanya tertawa kencang melihat raut kesakitan dari wajah
sang gadis.

“Makanya jadi wanita jangan kasar” Ia berkata di sela-sela tawanya

Mendengus kesal, gadis itu lantas berjalan menjauhi lelaki tadi tanpa berniat menghiraukan
ucapannya

“Baiklah baik, maafkan aku” Ucapnya menyesal, sedangkan gadis itu masih menekuk wajahnya
sejutek mungkin.

Mereka Kembali berjalan dengan hening, hingga suara gadis itu terdengar setelah sekian lama sunyi
mecekam di antara mereka

“Lalu?”

“Lalu apa?” Tanyanya tak menegrti akan pertanyaan tiba-tiba dari gadis di sampingnya itu

“Lalu apa alasanmu masih berkeliaran di luar sini selarut ini, bodoh” Ujar gadis itu ketus

Ia hanya terkekeh kecil sebelum menjawab

“Baik, aku disini karena..” Ucapan lelaki itu terputus sebab ia berlari kecil sebelum meraih satu kotak
kecil berwarna putih dengan beberapa tumpukan sisa gorengan yang sudah teronggok di atas
trotoar.

“Ini..” Ia mengangkat dan menunjukkan kotak itu pada gadis ini berharap gadis itu mengerti maksud
dari perbuatannya.

Sedangkan gadis itu hanya mengerutkan kening tak mengerti

Seakan paham atas ketidakmengertian gadis itu, ia lantas tersenyum kecil sebelum Kembali berucap
pelan

“Aku penjual gorengan disini tiap hari. Dari pagi sampai malam”

Bukannya percaya, gadis itu malah semakin mengerutkan keningnya lebih dalam

“Jangan bercanda. Katakan alasan yang masuk akal”

“Aku juga serius”

Gadis itu semakin menatapnya aneh sebelum meneliti setiap inci dari tubuhnya, dari atas sampai
bawah. Hingga kepalanya menggeleng sempurna

“Kau bukan. Kau bukan penjual gorengan”

“Darimana kau memutuskan aku bukan penjual gorengan?” Ia menaikan satu alisnya, heran akan
sikap aneh gadis ini

“Kau tidak terlihat seperti seorang penjual gorengan. Lihat bajumu”

“Ada apa dengan bajuku?” Ia semakin menaikan alisnya, benar-benar tidak mengerti akan jalan pikir
gadis aneh satu ini

“Lihat pakaianmu. Kau sama sekali tak terlihat sebagai penjual gorengan. Kau rapi, bersih, terawat.
Tidak kumal, kucel. Penampilanmu layak, dan kulitmu putih bersih. See? Kau bukan penjual
gorengan”
Dia hanya tertawa masam, ‘Siapa pula yang ingin bercanda tentang ekonominya? Dasar gadis gila’
Pikirnya kesal

“Apa kau pikir aku benar-benar sedang bercanda. Jadi semua ini hanya lelucon bagimu, begitu?”

Kini suaranya terdengar sangat serius seolah menegaskan bahwa ia memang sedang benar-benar
tidak bercanda seperti yang sedari tadi dipikirkan gadis itu

“Tidak, tapi..”

“Ya, aku benar-benar seorang penjual gorengan”

Secara mengejutkan, ia langsung memotong perkataan gadis itu

“Adapun untuk mengapa pakaianku seperti ini dan sebagainya seperti yang kau katakana tadi, tentu
ada alasan dibalik semua itu. Dan kurasa kau tak perlu tahu apa yang sebenarnya terjadi. Satu hal
yang perlu kau tahu adalah aku benar-benar seorang penjual gorengan ─bukan penjual gorengan
gadungan seperti yang kau takutkan─. Itupun terserahmu mau percaya atau tidak perihal
pekerjaanku. Terserahmu saja.”

Mendengar perkataan sang lelaki, gadis itu lantas terdiam sambil menatapnya dengan tatapan
bersalah yang begitu dalam

“Maaf. Maafkan aku. Sungguh, aku sama sekali tak berniat untuk terlalu ikut mencampuri
kehidupanmu. Aku hanya penasaran dan ─heran─.”

“Tak apa” Balasnya singkat

Sesudahnya, tak ada lagi percakapan di antara mereka. Hanya suara angin malam yang berhembus
dan jejak kaki mereka yang menyisakan bunyi-bunyian sewaktu menginjak jalanan yang basah
sehabis hujan.

∞∞∞∞∞∞∞

Ia tersenyum tipis, akhirnya ia berada di sini, dalam salah satu kamar yang ada di rumah kecil gadis
itu. Awalnya ia memang sempat ragu untuk menyetujui tawaran menginap dari sang gadis,
mengingat ibu dan adik-adiknya pasti sudah menunggunya pulang malam ini. Seperti biasanya.

Beruntung, gadis itu bersedia meminjamkan telepon genggamnya untuk digunakan sebagai alat
komunikasi ia dengan ibunya. Setelah mendapat izin dari sang ibu, ia lantas memutuskan untuk
menerima tawaran sang gadis.

Ia memejamkan matanya, mencoba untuk mendapatkan kantuknya yang tak kunjung datang.
Namun, lagi-lagi, pikirannya masih terjebak dalam percakapan mereka tadi, seakan otaknya ingin
menyimpan erat-erat tiap interaksi singkat mereka ke dalam sebuah memori yang akan terus
terjaga.

Entahlah, kalau dipikir-pikir mereka lucu juga, berbicara intens selayaknya teman dekat yang sudah
Bersama selama bertahun-tahun, bahkan mereka tak sungkan untuk saling mengungkapkan
berbagai beban dan keluh kesah dari setiap kehidupan mereka.

Mengabaikan fakta bahwa mereka sebenarnya baru saja bertemu beberapa saat yang lalu, dan oh
bahkan pertemuan pertama mereka tak bisa dikatakan indah, dengan sang gadis yang sudah lebih
dulu memasang pagar pembatas dengannya dan ia yang mungkin bisa dikatakan terlalu mencampuri
urusan sang gadis.
Namun, tak bisa dipungkiri juga kalau mereka menemukan kedamaian dan ketenangan dari satu
sama lain, terbukti dengan kepercayaan mereka menceritakan kisah pribadi mereka, ataupun saling
mencoba mengerti dan menghibur satu sama lain.

Ya, walau harus ia akui kalau gadis itu masih beberapa kali terlihat canggung dan tak mau mengakui
empatinya secara terang-terangan. Ia hanya tersenyum geli menghadapi sikap gengsi gadis itu yang
terlampau tinggi.

Ia Kembali terkekeh pelan, saat mengingat gadis itu juga memukul tangannya saat ia mencoba
menyingkap rok hitam miliknya untuk sekedar melihat atau mungkin ia dapat juga mengobati
cederanya.

Namun, gadis itu tetaplah gadis yang keras kepala, ia juga bersikeras bahwa kakinya tak butuh untuk
diobati. Hingga puncaknya, gadis itu merintih kesakitan sesaat setelah kakinya tersandung karpet
kamarnya sendiri.

Membuat ia refleks memijat pelan lutut gadis itu dan berakhir dengan sedikit menekan bagian yang
terdampak cedera supaya dapat Kembali seperti kondisi normal. Hanya sedikit trik yang ia pernah
pelajari dari teman-temannya sewaktu mereka sering terkena cedera saat berolahraga dulu.

Dan benar saja, setelahnya gadis itu tak lagi meringis kesakitan. Bahkan gadis itu beberapa kali
menggumamkan terimakasih padanya, walau dengan suara yang amat kecil. Tentu ia tak memaksa
gadis itu untuk mengucapkannya dengan lebih lantang, mendengar gumaman kecilnya justru
membuatnya gemas.

Ia masih tersenyum mengingat bagaimana cara gadis itu berbicara dengan sarkas tetapi terkadang
melembut walau masih terselip nada keangkuhan di dalam suaranya. Gadis itu benar-benar
seseorang yang percaya diri dan keras kepala. Tak mudah ditaklukan serta tak mudah mengakui
kelemahannya.

Suara pintu terbuka di belakangnya sukses mengagetkannya, membuatnya sedikit berjengit pelan.
Namun, ia memutuskan untuk tidak bergerak sedikitpun, mencoba menelisik tiap suara yang
tertangkap indra pendengarannya.

Setelahnya, terdengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Ia masih tetap bungkam,
berusaha untuk menahan sekecil apapun suara yang akan keluar bahkan ia mencoba untuk tidak
bergerak sedikitpun. Terdiam penuh hayat demi mengetahui apa yang akan diperbuat sosok
tersebut.

Ia merasakan sosok itu makin dekat dengan posisi tubuhnya yang miring menghadap jendela. Sosok
itu kemudian sedikit membenarkan selimut yang dipakainya, membuat selimut itu kini sempurna
menutupi dadanya. Ia hampir saja ingin bersin saat bulu-bulu halus dari selimut itu menggelitiki
lubang hidungnya.

Sosok itu mengelus pelan kepalanya, menyisiri perlahan helai-helai rambutnya dengan jari-jari yang
ramping. Ia mengernyitkan dahinya samar saat menyadari sosok tersebut berbisik tepat di samping
telinganya.

“Aku ingin menyampaikan ini padamu, mungkin terlambat. Karena aku baru mengatakannya saat
kau sudah tertidur. Tapi percayalah, aku sudah mati-matian berusaha untuk mengatakannya
langsung padamu setelah makan malam tadi. Namun, aku tetap tak bisa mengalahkan rasa gengsi ku
yang terlampau tinggi” Sosok itu berhenti sebentar sebelum Kembali melanjutkan perkataannya
“Aku hanya ingin mengatakan, terimakasih atas malam ini, terimakasih atas segalanya. Kau sosok
laki-laki yang kuat. Kau berhasil merubah pandanganku tentang seorang lelaki, Kau hebat. Sekali lagi
terimakasih.”

Usapan di kepalanya berangsur menghilang disertai dengan derap Langkah sosok itu yang terdengar
menjauhi tubuhnya.

Baru saja ia hendak merubah posisinya sebelum sosok itu Kembali berbisik pelan. Amat pelan.
Disertai deritan pintu yang tertutup setelahnya.

“Selamat malam, Ad.”

Tanpa sadar, sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk lengkungan senyum yang sedari tadi ia
tahan sebelum ikut berbisik pelan

“Selamat malam juga, Ren.”

●●●

“Astaga, Thal!” Aku memekik terlalu kencang sepertinya sampai beberapa kelompok gadis yang
tengah bergosip ria langsung menolehkan kepalanya ke arah kami

“Ada apa, Ren?”

“Ibunya sakit lagi. Semalam bahkan sempat pingsan.”

“Ya ampun.” Thalia menutup mulutnya shock, ia menatapku penuh rasa ingin tahu dan khawatir.

“Dan si bodoh ─yang teramat pintar itu─ tidak memberitahuku sampai siang ini, itupun setelah ku
tanya mengapa ia tidak hadir ke kampus hari ini.” Ucapku pening

Kami lantas berjalan cepat ke arah mobilku yang masih terparkir apik diantara lautan mobil para
mahasiswa lainnya.

Aku langsung menginjak pedal gas kuat-kuat begitu Thalia menutup pintu sisi kirinya, membuat
mobil kami melesat cepat membelah jalanan kota Bandung yang cukup ramai.

Mataku tetap ku fokuskan menatap jalanan di depan kami yang cukup padat, berusaha mencari
celah-celah sempit diantara barisan mobil-mobil yang dapat dilewati demi menghemat waktu
seminimal mungkin.

Hening. Tak ada satupun yang bersuara diantara kami, hanya suara bising AC yang terus
menghembus.

“Ren?”

“Hm?” Balasku singkat

Kulihat ia mendengus sembari memberiku tatapan malas membuatku refleks menaikkan satu alisku,

“Kenapa sih?”

“Kita langsung ke Rumah sakit apa ke rumahnya dulu?”

Aku melihatnya sesaat sebelum Kembali memutar porsleneng untuk menjalankan mobil kami.
Kemacetan di depan kami sudah mulai mengurai.

“Ke rumahnya dulu. Kita akan menjemputnya Bersama ibunya baru setelah itu ke RS.”
Dia hanya membentuk mulutnya membulat menyerupai huruf “O” dan Kembali memalingkan
wajahnya menghadap jendela.

Hening Kembali. Tak ada satupun diantara kami yang bersuara. Aku masih terus focus
memperhatikan jalanan didepanku, sedangkan ia larut dalam lamunannya sendiri, Dan aku tak tahu
pasti apa yang ada dipikirkannya saat ini.

“Apa yang sedang kau pikirkan, Thal? Serius sekali,”

Ia tampak gelagapan begitu mendengar pertanyaan iseng dariku, sedangkan aku hanya terkikik kecil
membuatnya mendelik tajam ke arahku.

“Apa? Aku tidak memikirkan apapun.”

“Oh ya? Tapi wajahmu mengatakan sebaliknya,” Aku mengedip menggoda ke arahnya yang dibalas
dengan decakan sebal darinya.

“Baik. Aku hanya berpikir—”

“—apakah temannya juga turut hadir?”

“Temannya? Yang mana?” Aku mengerutkan dahiku bingung. Teman yang mana sih?

“Ish. Temannya yang itu, lho.” Dia merengut kesal

“Teman yang mana? OH!” Sedetik kemudian tiba-tiba ingatan menghantam kepalaku. Sontak aku
tidak bisa menahan senyum geli yang dengan sendirinya tercipta manis dibibirku.

“Oh.. Yang itu? Kenapa memangnya? Kau merindukannya?”

“Berhenti menggunakan kata-kata berlebihan seperti itu, Ren.” Ucapnya ketus dengan wajah yang
sudah memerah bahkan sampai ke telinga.

Aku masih terus tertawa mengejek ke arahnya, bahkan menghiraukan tatapan tajam yang ia berikan.

“Oke.. Oke.. Santai, Thalia.” Aku membentuk tanda peace dengan dua jari

“Kalau kau tanya padaku apakah temannya akan hadir juga atau tidak? Ya, kujawab tidak tahu.
Bukannya kau yang lebih dekat dengannya kemarin?”

Aku berkata dengan masih mempertahankan senyuman geli yang terus tercipta di bibirku sedangkan
ia berusaha mengabaikanku dengan terus memalingkan wajahnya menghadap kaca jendela.

“Kulihat kau sangat akrab dengannya kemarin, bahkan sampai aku baru sadar kalau kau memakai
blush on yang berlebihan di pipimu.” Tawaku meledak melihatnya yang semakin memerah

Aku masih terus tertawa sepanjang perjalanan kami.

Deringan telpon masuk terdengar nyaring, mataku melirik cepat dan menemukan layar ponselku
yang sudah menyala dengan kontak nama Adrian terpampang di tengahnya.

“Sial. Tolong angkat, Thal.”

Ia mendengus sesaat sebelum menggeser tombol penanda telepon masuk di layar ponselku.

“HALO! HALO, REN!”

“Ya?”
Hening. Tak ada jawaban, membuatku terpaksa mengulangi jawabanku dengan suara yang lebih
keras.

“ADA APA, AD? HALO?!”

“Ya. Maafkan aku, sepertinya aku belum mengatakan sesuatu hal penting kepadamu tadi, ya?”

“Hal penting apa? Cepat katakan langsung ke intinya, jangan banyak basa-basi dalam hal genting
seperti ini, Adrian!” Balasku kesal

“Baik, Baik. Maaf kalau begitu─”

“Kenapa, Ad? Astaga!”

“Kami sudah di rumah sakit sekarang. Tadi Atlas yang menjemput─”

“Lho? Memangnya─”

“Tidak. Kau yang dengarkan aku dulu, Ren─”

“Fine.” Ucapku kesal

“Jadi, tadi pagi ia menghubungiku untuk menjemputku untuk pergi ke kampus Bersama. Tapi, aku
memberitahunya kalau Mama sedang sakit, dan dia langsung menjemput kami dan mengantarkan
kami ke Rumah Sakit.”

“Oh..” Aku manggut-manggut mengerti sekalipun ia tak bisa melihatnya.

“Jadi, sekarang kami langsung ke Rumah Sakit?”

“Terserahmu.”

Aku hanya mendelik, mengabaikan fakta bahwa ia tetap tak bisa melihat ekspresi yang ku tampilkan.

“Tapi, kalau kau mau ke rumahku juga tak apa. Disana masih ada Delina dan Celina.”

“Oh, baiklah. Kupikir kau akan menyuruh kami putar arah di pertigaan terakhir menuju rumahmu.
Dan itu keterlaluan. Kalau begitu kami ke rumahmu dulu baru ke Rumah Sakit. Oke?”

“Terserahmu saja, Ren. Tidak usah ke Rumah Sakit pun tak apa.”

“Keinginanku akan tetap terlaksana tanpa adanya bantahan.” Ucapku final

“Yasudah, dasar gadis muda keras kepala,”

Aku terkekeh pelan sebelum Thalia mematikan sambungan telepon kami secara sepihak. Aku lupa
kalau ponselku masih dikuasai Thalia.

Ia mendelik ke arahku dan berkata ketus,

“Buat apa menyuruhku untuk mengangkat telepon ini kalau akhirnya tetap kau yang berbicara? Aku
disini bagaikan obat nyamuk diantara kalian.”

Aku meringis pelan dan memberikannya tatapan maaf,

“Sorry, Thal.”

Dia hanya memutarkan bola matanya dan Kembali menekuk wajahnya masam.
Aku membelokkan setir mobil menuju jalan yang tepat menuju ke rumahnya, dari sini aku dapat
melihat salah satu rumah paling pojok dengan tampilan yang cukup sederhana.

Kami turun dari mobil berniat untuk mengetuk serta memberi salam sebelum pintu rumah itu
terbuka dan menampilkan seorang gadis kecil berkuncir dua yang sudah amat ku kenali.

“Kak?!” Ia terkejut menatapku yang hanya kubalas dengan kekehan pelan

“Tidak usah terkejut seakan kau telah melihat hantu, Cel. Omong omong, mana Deli─”

“Celiniaaaa, Siapa yang dat?─ Lho, Kak Ren?”

Satu lagi gadis kecil yang mirip seperti Celina keluar dengan terburu-buru, Matanya membulat
seketika dan tanpa aba-aba ia langsung menubrukku ke dalam pelukannya yang begitu erat. Melihat
itu, Celina seakan tak ingin tertinggal dan langsung memosisikan dirinya ke dalam pelukan erat kami
bertiga.

Kami berpelukan selama beberapa saat, setelah merasa puas, mereka lalu melepaskan pelukan kami
dan menatapku dengan tatapan kesal,

“Kakak sudah lama tidak kesini!” Ucap mereka serempak

“Kakak Terlalu banyak tugas akhir-akhir ini, maafkan aku, Twins.”

Mereka hanya mengangguk setengah hati dan Kembali memekik untuk yang kedua kalinya,

“Wah, Kak Thalia juga ada disini!”

Thalia hanya menatap mereka malas sebelum berkata dengan nada pura-pura kesal,

“Dari tadi aku sudah disini. Kalian saja yang tak menghiraukan kehadiranku.”

Mereka berdua hanya tersenyum-senyum malu, sontak aku tertawa kencang, apalagi melihat wajah
Thalia yang masih ber-acting layaknya sedang jengkel sungguhan.

“Eh, kalian belum siap-siap? Kita akan langsung berangkat ke Rumah Sakit untuk bertemu Mama
kalian, right?”

Mereka mengangguk patuh mendengar perintahku dan Kembali memasuki rumah. Bahkan mereka
tak menyuruh kami untuk masuk. Dasar bocah-bocah!

Tak lama, mereka keluar dengan kaus berwarna sama dan rambut dikuncir asal yang tampak
mnecuat sana sini, tanganku lantas tergerak untuk sekedar merapikan rambut mereka dengan
kepangan sederhana yang lebih rapi.

Kali ini Kembali dengan aku yang mengemudi, sedangkan Thalia di kursi samping kemudi dan dua
bocah cilik itu di kursi belakang, bermain entah apalah. Namun, sepertinya mereka sangat menikmati
hingga tak sadar jika aku telah memanggil mereka sejak beberapa saat yang lalu.

“Celina?! Delina?!”

Kali ini aku mengulanginya dengan suara yang lebih keras, menarik mereka untuk Kembali ke alam
sadar.

“Hah? Apa, kak?” Jawab mereka serempak dengan suara yang sedikit terdengar gelagapan.

Aku tersenyum kecil, seraya menatap mereka dengan tatapan geli,


“Kak Adrian kapan perginya?”

“Semalam,”

“Bersama kakak tampan itu—”

“—Tapi kami tak tahu siapa dia,”

Aku mengerutkan kening berpikir,

“Atlas?” Tebakku pada akhirnya.

“Nah, itu dia. Eh, tunggu, tadi siapa, kak?”

“Atlas?”

“Oh, jadi nama kakak tadi, Kak Atlas”

Jawab mereka berdua dengan mengangguk-anggukan kepala semangat. Seakan baru saja
menemukan sesuatu yang amat penting.

Untung saja Thalia sedang tidur, batinku tertawa.

“Tapi kok Kak Ren bisa tahu?”

Aku tersenyum geli menatap mereka berdua yang kini Kembali asyik bermain boneka barbie, dengan
celotehan-celotehan ringan mereka yang menyelingi cerita Barbie karangan mereka.
“Hey,”

Tanpa repot-repot menengadah pun, aku sudah dapat menerka dengan cepat siapa sosok dia yang
barusan memanggilku. Sapaannya yang khas, serta suara seraknya yang ikonik cukup membuatku
semakin yakin bahwa tebakanku kali ini tidak akan meleset.

Ia mendekat dengan satu cup minuman sejenis kopi di tangannya dan mengambil tempat duduk
kosong tepat di sampingku.

Mataku meliriknya tipis –sekaligus memastikan kebenaran akan dugaanku barusan— tanpa sama
sekali berniat untuk sekedar menjawab sapaannya. Adrian. Benar, kan?

“Ada apa?” Ia bertanya dengan tatapan penuh ingin tahu tersirat jelas dalam pupil matanya.

“Tak apa” Balasku singkat.

Mataku masih menatap lurus-lurus tepian meja yang kini tampak jauh lebih menarik dari apapun
yang seharusnya bisa kulihat sekarang.

“Insecure lagi?”

Sial. Ia menebaknya dengan sangat tepat.

“Mm, hm?” Jawabku seadanya.


Berharap ia pergi meninggalkanku detik ini juga, dan membiarkanku larut dalam keterpurukanku
sendiri hingga aku memutuskan untuk bangkit Kembali. Tapi sepertinya tak semudah itu untuk
mengharapkannya pergi saat ini.

“Dengar, Ren,” Ia menatapku sungguh-sungguh membuatku mengernyitkan dahi heran

“Kau itu cantik. Serius. Kau cantik apa adanya, dan kau akan terlihat beribu kali lipat lebih cantik jika
yang melihat adalah orang yang tepat. Mungkin kau akan bertanya-tanya, kapan ia datang? Tapi,
percayalah kau akan mengetahuinya sendiri siapa orang itu. Suatu saat nanti.”

Tersenyum masam, aku lantas menyela perkataannya,

“Dulu, aku cukup luluh dengan orang-orang yang mengatakan bahwa setiap wanita itu cantik.
‘Mereka cantik apa adanya’. Itu membuatku merasakan bahwa tiap wanita layak untuk diperlakukan
istimewa dan bisa tampil cantik dalam kondisi apapun. Bahkan aku sampai sangat mengidolakan
mereka yang mengatakan begitu, mengagumi tiap laki-laki hebat seperti mereka. Namun, sekali lagi,
itu dulu,”

Aku menoleh ke arahnya. Ternyata ia masih menatapku dengan sungguh-sungguh.

“Kini, aku cenderung merasa bahwa semua perkataan mereka adalah omong kosong, kau tahu?
Mungkin mereka bisa mengatakan kami semua cantik lah, atau kami semua seharusnya layak untuk
diperlakukan istimewa lah, tapi apa yang menjadi kenyataannya? Ujung-ujungnya mereka akan tetap
mencari yang tercantik, kan? Jadi, ya menurutku semua perkataan mereka sia-sia. Dan kini aku tidak
lagi terbuai pada setiap perkataan manis seperti itu.”

Ia tertawa pelan,

“Dengar dulu, Ren. Mungkin kau sering menjumpai di kehidupan nyata bahwa tidak semua laki-laki
memiliki kriteria yang sama untuk memilih wanita sebagai pasangannya. Kau pasti sudah tahu
bukan, bahwa ada laki-laki yang menyukai wanita tinggi, tapi ada juga laki-laki yang menyukai wanita
imut, ada laki-laki yang menyukai wanita berkulit gelap, ada juga laki-laki yang menyukai wanita
berkulit terang, ada laki-laki yang menyukai wanita ramping, ada juga laki-laki yang menyukai wanita
berisi. Ada juga yang hanya menyukai kecantikannya saja, ada yang kepintarannya, kekayaannya,

Semua itu berbeda, Ren. Dan kau tak bisa memaksakan mereka semua untuk memiliki kriteria yang
sama tentang kecantikan seorang wanita,”

Ia diam sejenak sebelum Kembali melanjutkan, tanpa menghiraukan aku ─yang mungkin saja ingin
membuka mulut, walau kenyataannya memang tidak─.

“Mungkin yang kau lihat para model adalah wanita-wanita cantik ideal yang selalu tampil memukau
bak bidadari atau apalah, dan laki-laki akan menggandrungi mereka karena kecantikan mereka. Dari
sana, kau dapat simpulkan bahwa kriteria cantik wanita bagi pria adalah secantik para model itu,
kan?”

Aku hanya mengangguk samar,

“Tapi, apakah mereka akan mencari wanita sesempurna para model itu untuk menjadi pasangan
mereka? Nyatanya tidak, kan? Sering kita lihat ada wanita yang biasa-biasa saja tapi tetap
mendapatkan pasangan laki-laki yang begitu tulus mencintai dan menjaganya. Mereka tak serta
merta memutuskan standar kecantikan wanita yang pantas dicintai adalah yang begini atau begitu.
Mereka memiliki pandangan yang berbeda untuk mencari wanita terbaik sebagai teman hidup
mereka, Ren. Dan kau tak bisa terus menerus menyalahkan dirimu sendiri atas kecantikan yang tak
bisa kau gapai. Kau hebat, dan mampu memukau siapapun dengan pesonamu yang berbeda dari
yang lainnya.”

Perkataannya mengalir begitu saja masuk memenuhi relung hatiku. Sudut bibirku tertarik
menyamping membuatku mau tak mau melengkungkan senyum tipis yang amat tipis, bahkan
mungkin tak ia sadari.

Aku lantas menoleh ke arahnya dengan senyuman kecil yang masih tersungging apik di bibirku.
Mataku menelisik ke arahnya, berpura-pura sedang meneliti sesuatu tentangnya secara diam-diam.

Ia balas menatapku dengan tatapan bertanya,

“Apa, sih?”

Aku tertawa kecil, “Tidak,”

“Lalu, bagaimana pandanganmu tentang wanita terbaik?”

Ia terkekeh pelan sebelum menarik satu helaan nafas halus dan mulai menjawab pertanyaan singkat
dariku dengan suara seraknya.

“Menurutku, Wanita terbaik itu adalah mereka yang mampu mengombinasikan semua hal baik
dalam dirinya dengan porsi yang sesuai. Maksudku, Aku tidak menyukai wanita yang cenderung
hanya mengedepankan kecantikan tubuhnya, atau justru terlalu mengedepankan kecerdasannya,
atau bahkan kekayaannya, karena bagiku jika mereka hanya menguasai salah satu kelebihan, mereka
akan cederung berbangga dan sombong atas satu kelebihan mereka itu, kau tahu? Dan kemungkinan
besar akan cenderung meremehkan wanita lain yang ‘kalah dalam kompetisi’ mereka.”

Aku manggut-manggut mengerti mendengar penjelasan lebarnya,

“Tapi, masalahnya, aku tidak hanya mencari mereka yang sesuai dengan kriteriaku. Namun, aku juga
tak ingin memilih wanita yang menginginkanku hanya karena─”

“─Kepopuleranmu?” Aku memotong ucapannya yang masih mengambang dengan satu tebakan
spontan

Dia lantas tersenyum kecil sembari mengangguk-anggukan kepalanya —setuju atas tebakanku—.

“Kalau begitu, mungkin kau bisa mulai mencarinya sekarang?” Satu alisku kunaikkan ke atas.
Menggodanya.

“Untuk apa mencari kalau aku sudah menemukannya?”

Pertanyaan sekaligus pernyataan singkatnya mampu mengejutkanku secara tiba-tiba.

“Hah?” Beoku bodoh.

“Ya. Bisa dikatakan bahwa kami sudah mengenal satu sama lain dengan baik, bahkan dalam waktu
yang cukup lama.” Ia tersenyum kecil sembari memainkan rambutnya sok keren.

“Mengenalnya sejak lama? Maksudmu?”

Ia hanya mengangkat bahu ringan dan menyeruput kopi hangatnya yang sudah berhenti
mengepulkan asap ─mendingin─.
“Oh, aku mengerti.” Balasku singkat dengan senyuman simpul yang memenuhi bibir tipisku.

“Kapan kau akan mengenalkan dia kepadaku, huh?”

Bukannya menjawab pertanyaanku, ia justru sibuk mengutak-atik tumpukan kertas-kertas sketsa


rancangannya yang tersususn rapi di dalam tasnya.

“Hei, jangan abaikan aku!” Protesku bersungut-sungut, bahkan mungkin kini bibirku sudah maju
sekian sentimeter dari yang seharusnya.

Ia malah tertawa semakin kencang membuatku refleks mengerenyitkan dahiku heran, tanpa repot-
repot menarik bibirku Kembali ke tempat semula.

“Nanti kau akan tahu sendiri, Ren. Tunggu saatnya yang tepat.”

“Kapan? Siapa sih, dia? Anak fakultas apa?”

Aku Kembali memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan tidak sabar yang muncul


memenuhi benakku. Rasa penasaranku semakin menggebu-gebu sejak ia menyatakan tentang
‘Wanita terbaiknya’.

“Kau kenapa kepo sekali, sih?” Kali ini ia berusaha meredakan sisa tawanya yang masih terdengar
geli.

“Tinggal jawab saja, apa susahnya, sih?”

“Sayangnya aku belum mau menjawabnya sekarang, Ren. Tunggu saja, suatu saat nanti.”

“Tapi, ─”

“Sampai jumpa, Ren. Aku ada janjian tugas dengan Atlas. Lagipula sebentar lagi Thalia akan kesini,
kan?”

“Hey, kau belum menjawab pertanyaanku, Bung.” Aku bersuara dengan cukup kencang menyusul
kepergiannya yang sedikit tergesa-gesa meninggalkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku yang
masih menggantung.

Ting-

Sebuah notifikasi pesan singkat muncul di layer ponselku. Dahiku mengerenyit dalam begitu melihat
nama kontak yang tertera di papan notifikasi. Adrian. Kenapa lagi, anak itu?

“Namanya, Kira.”

Dahiku semakin mengerenyit heran sesaat setelah membaca pesan singkat yang dikirimkannya.

‘Kira?’ Ulangku bingung.

Tanganku langsung tergerak untuk membalas pesan yang dikirimkannya,

“Kira?”

Tak butuh waktu lama, ia Kembali menjawab pertanyaanku dengan satu ketikan singkat,

“Ya.”

“Anak fakultas mana?”


“FIB”

“Jurusan apa?”

“Rahasia,”

“Cari tahu sendiri, Ren. Aku takkan memberikanmu tambahan informasi lagi tentangnya. Haha.”

Otakku semakin macet setelah membaca tiap pesan yang barusan dikirimkannya,

‘Kira? FIB?’ Siapa sih anak, itu? Sialan, Adrian!

Namun, sebelum aku dapat memikirkannya lebih jauh, sebuah tepukan ringan hadir menyapa
bahuku. Kepalaku menoleh ke arah ia yang baru saja menepuk pundakku.

“Hai, Ren? Ada apa dengan wajahmu? Serius sekali?”

“Hai juga, Thal. Tidak ada, hanya sedikit pengembangan ide dari salah satu ceritaku.” Balasku
meyakinkan.

“Kau yakin?” Ia memicingkan mata ke arahku.

“Ya.” Jawabku mantap.

“Oke, kita mulai sekarang, atau nanti di kamar?”

“Mulai apa?” Aku Kembali membeo dengan bodoh.

“Astaga, proyek Bersama kita. Autobiografi kita, kan?”

“Oh, oke aku ingat.”

“Kau kenapa sih, Ren? Aneh.” Ia menatapku serius membuatku sempat pesimis bahwa ia akan
mengendus tentang ‘komunikasi terakhir aku dengan Adrian’.

“Tidak, Thal. Sungguh. Aku baik-baik saja.”

“Terserahmu sajalah,” Ia mendengus kesal sembari menatapku dengan tatapan tajam.

Aku meringis pelan,

“Oke, Nanti akan kuceritakan.” Balasku pada akhirnya.

Jujur, aku akan menyerah jika dia sudah menampilkan ekspresinya seperti ini.

"Nah, gitu dong!” Ia menjentikkan jarinya di depan wajahku.

Mimik mukanya Kembali cerah dan ceria, bahkan kali ini ia menatapku dengan penuh semangat.
Berubah 180 derajat dalam waktu kurang dari tiga puluh detik.

'Dasar, Sinting.' Batinku mendecak.

Ia lantas memanggil pelayan cafetaria –yang sedang melamun mesra di salah satu meja dekat
tumpukan barang-barang untuk konsumen– dan memesan secangkir minuman hangat untuknya
serta sepiring makanan ringan untuk camilan kami berdua sebagai teman berbincang santai sore ini,
sebelum kami akan pulang ke kamar dan aku harus menepati 'janjiku' padanya.
Tak lama setelahnya, rintikan hujan turun perlahan membasahi kota kami yang cukup panas
beberapa hari terakhir, tetesan demi tetesan hujan bergantian menyapa jendela besar cafetaria yang
terletak persis dibelakangku.

Aku menoleh sesaat ke arah jendela yang masih menampilkan untaian air hujan yang mengalir pelan
menuruni terjalnya kaca,

Satu jawilan ringan mendarat di atas punggung tanganku, membuatku menoleh seketika. Mataku
menatap Thalia yang kini sedang menyodorkan sepiring camilan pesanannya yang ternyata sudah
diantar beberapa saat lalu.

Aku lantas mencomot beberapa camilan yang tersedia di atas piring, dan menatap seksama ke arah
Thalia yang kini mulai bercerita dengan sangat antusias mengenai perbincangan singkatnya Bersama
Atlas sore tadi ─sepulang kami kuliah─.

Sontak bibirku mengulum senyum dalam diam saat melihat tatapan menggebu-gebunya yang terus
membara saat menceritakan tiap-tiap detail pertemuannya Bersama Atlas.

Aku berusaha sekuat mungkin untuk tetap menjaga focus utamaku saat ini adalah Thalia yang
sedang bercerita dengan sangat antusias.

Namun, sekali lagi sial. Pikiranku seakan tak ingin lepas dari kata-kata yang tercetak jelas dalam satu
buah pesan singkat yang dikirimkan Adrian sesaat sebelum kedatangan Thalia tadi.

‘Kira? FIB? ’

Siapa sih, Dia? Yang mana, anaknya? Apa aku harus ke pusat administrasi kampus untuk mencari
informasi tentangnya? Sialan.

Otakku yang biasanya sangat gemar diajak bekerja sama dalam memutar kata-kata namun kali ini
tampak macet tanpa satupun petunjuk yang hadir.

“Aku mendukung kalian, Thal.” Balasku pada akhirnya, Tak tahu harus menjawab apa lagi, mengingat
aku sudah tertinggal amat jauh dengan ceritanya tadi.

Ia sedikit salah tingkah mendengar pernyataanku, dan segera pamit ke toilet dengan langkah
‘terburu-buru’, berusaha sekuat mungkin menutupi rona salah tingkahnya yang mulai tercetak jelas
dalam tiap guratan wajahnya.

Aku hanya terkekeh kecil melihat sifat gengsinya yang belum juga mampu tertaklukan.

‘Tunggu saatnya, Thalia.’ Batinku tersenyum manis.


“Hai, Ren,” Sapanya dengan ceria.

Tanpa permisi, ia langsung menyerobot kursi kosong yang berada tepat di sampingku.

Menariknya tergesa-gesa dan menaruh cup minumannya di atas meja hingga menimbulkan suara
yang cukup keras, membuat beberapa pasang mata langsung menoleh ke arah kami.

Terpaksa aku memberikan mereka senyuman minta maaf atas kelakuan si brengsek ini.

Mataku mendelik tajam ke arahnya. Namun seperti tak ada apa-apa, ia justru bersenandung kecil
sembari memainkan pensil sketsa yang ia putar-putarkan acak di antara jari-jarinya.

“Ada apa dengan wajahmu? Kusut sekali, seperti ibu-ibu yang kehilangan Tupperwearnya.”

Ia berkata santai, tanpa memedulikan wajahku yang mungkin kini sudah semerah iblis akibat
menahan amarah pada makhluk Tuhan paling menyebalkan yang sialnya, berada tepat di sampingku.

Merasa dipelototi, ia menoleh dengan wajah kebingungan dan tatapan heran, seolah aku adalah
manusia gila yang tiba-tiba marah tanpa sebab.
“Ada apa, sih? Tidak jelas dasar wanita.”

Ucapnya mendengus,

“Apa maksudmu, hah?” Setelah menahan beberapa saat, emosiku sepertinya sudah tak bisa
tertahan lagi, ia yang sedang menggores beberapa garisan diatas kertas sontak menoleh ke arahku
dengan tatapan terkejut.

“Wo, wo. Santai, Rena. Ada yang salah denganku?”

“Pikirkan saja sendiri.” Balasku ketus.

Bukannya merasa bersalah ia justru menatapku dengan tatapannya yang super menyebalkan lalu
Kembali kepada sketsa kesayangannya yang masih teronggok manis di atas meja.

Ingin rasanya aku merobek sketsa-sketsa kesayangannya menjadi cabikan-cabikan kecil tak bersisa.
Tapi karena aku baik, aku tidak akan pernah melakukan itu, berbeda dengannya yang pernah
menghapus satu chapter favoritku dengan alasan ‘Aku tidak tahu, kalau itu benar-benar terhapus.
Maaf, Ren. Aku hanya ingin mengerjaimu, sungguh’.

‘Dasar makhluk pengganggu’ Balasku pada akhirnya

SIAPA NIH THALIA HMM?? SIAPA BILANG KAMU BOLEH NGE SHIP ATLAS AMA ORG LAIN HAAH?

- Rayi

Rayi yang bilang, wle

Kenapa

“Ren?”

“Ya?”

“Kau dimana?”

“Di dapur.”

Lelaki itu tak dapat menahan senyumnya yang kian merekah, batinnya diam-diam membayangkan
akan hal manis yang kemungkinan terjadi, satu persatu kaki jenjangnya bergerak perlahan menuruni
tangga dengan penuh kehati-hatian.

“Ren?” Ia memanggil dengan senyuman yang masih terselip di wajahnya.

“Mm?” Balas gadis itu tak fokus, seiring dengan tangannya yang masih sibuk menyiapkan beberapa
bahan di atas piring.

“Sandwich?”
“Mm-hm,” Gadis itu hanya mengangguk samar sebelum menuntaskan tatanan indahnya di atas
sebuah piring yang kini menampilkan sepotong sandwich yang tampak menggoda.

“Nah, selesai.”

Anda mungkin juga menyukai