Anda di halaman 1dari 4

Secercah Cahaya Dalam Kegelapan

http://cerpenmu.com/cerpen-kehidupan/secercah-cahaya-dalam-kegelapan.html

Pagi yang cerah terlihat berbeda dari biasanya. Terik mentari di pagi hari
menghadirkan sinarnya penuh arti. Kicauan burung tiada henti. Mengusikku dari
tidur panjang ini. Setelah sekitar 6 bulan aku mengalami dilema. Dilema antara
hidup dan mati.

Mataku perlahan mulai terbuka, tapi sakit sekali rasanya menggerakan seluruh
tubuh ini. Aku rasanya ingin tidur panjang lagi, tetapi batinku menolak. Ia ingin
aku tetap hidup. Aku berusaha membuka mata ini dan menggerakan jari-jari
tanganku kembali. Rasa sakit itu belum juga sirna. Kesal rasanya.

“Andin bangunlah, Nak. Ini Ibu.” hah? Bisikan apa itu? Terdengar samar. Apakah
itu bunda? Apakah akhirnya tuhan memberikan cahayanya untukku? Ah aku
ingin mendengarnya sekali lagi agar aku benar-benar yakin kalau itu Ibu.
Beberapa saat kemudian suara itu pun terdengar lagi. Bahkan semakin jelas di
telingaku.
“A-a-andin kembalilah pada Ibu. Ibu sangat rindu, Nak.” entah karena bisikan
seorang Ibu atau sebuah cahaya itu yang membuatku memiliki kekuatan untuk
menahan rasa sakit ini. Aku berusaha dan terus berusaha sekuat tenaga. Ketika
aku mulai membuka mata ini. Kulihat begitu banyak cahaya di sekelilingku.
Seperti pelangi.

Aku menangis penuh rasa bahagia. Allah telah memberikan cahaya itu padaku
walaupun hanya secercah cahaya. Allah mendengar doaku. Sedikit demi sedikit
cahaya itu pun mulai pudar dan membentuk wajah Ibu, Eyang dan saudaraku
yang lainnya. Aku mulai tersenyum pada mereka semua, untuk menandakan
bahwa aku sudah tidak apa-apa.

Wajah mereka semua musam, mungkin mereka menangisiku terus menerus


yang sudah sekitar setengah tahun tak sadarkan diri. Kulihat wajah Ibu, hanya
Ibu yang tersenyum saat itu. Ah aku rindu sosok Ibu yang seperti ini. Aku
bersyukur Tuhan.

Aku teringat akan mimpi saat aku tak sadarkan diri. Seorang wanita tegap penuh
rasa ketegangan tepat berdiri di hadapanku saat itu, belum sempat ia
memperkenalkan dirinya. Ia tiba-tiba mengajakku ke suatu tempat. Tempat itu
hanya sebuah desa kecil yang sempit dan terlihat sesak. Begitu gelap, seperti
tidak ada cahaya disana. Entah dimana aku sekarang.

Bulu kudukku berdiri. Aku ketakutan. “Kau lihat? Betapa sesak dan gelapnya
desa itu. Kini aku akan mengajakmu kesana.” aku takut. Aku tidak mau. Batinku
terus menolak ajakan wanita itu. Rasa takutku belum sirna, tetapi wanita itu
segera menggandeng tanganku menuju desa tersebut. Apa sebenarnya yang
wanita ini inginkan?

Kami memasuki salah satu rumah penduduk. Aku sudah membayangan kondisi
penduduk yang tinggal di desa gelap gulita ini pasti mereka dikerumuni rasa
ketakutan, rasa kelaparan. Ya sudahlah, sudah terbayangkan olehku pasti yang
tinggal disini itu sangat sengsara.

Ternyata dugaanku salah, benar-benar salah. Kakiku kaku seketika, mulutku


membisu tak mampu berkata apa-apa. Di hadapanku saat ini aku melihat
seorang ibu dengan kedua anaknya saling tersenyum satu sama lain, bercanda
tawa bersama, lalu kemudian sang Ibu memeluk kedua anaknya dengan penuh
kebahagian.

Sebelum aku mulai bertanya. Wanita itu sudah lebih dulu berkata, “Kau lihat?
Desa ini dipenuhi dengan kegelapan, kesengsaraan, serta ketidakcukupan akan
harta benda. Tapi senyum itu tetap ada.”

Aku mengangguk kebingungan. Penuh rasa tanya. Apa yang membuat mereka
merasa cukup dengan keadaan yang sengsara seperti ini? Tidak ada tangisan.
Tidak ada penderitaan. Tidak ada kesedihan sedikit pun pada paras wajah
mereka. Aku tidak mengerti.
“Apa maksud semua ini? Tempat apa ini sebenarnya?” akhirnya aku
memberanikan diri bertanya pada wanita misterius itu. Alhasil, dia sama sekali
tidak mempedulikan pertanyaanku.

Seketika wanita itu menunjuk pada satu arah. Menunjuk ke arah sang Ibu.
Spontan aku segera memperhatikan tingkah laku ibu kedua anak tersebut.

Ia mengeluarkan sejumlah uang dari saku pakaiannya. Aku menilik uang


tersebut, ternyata hanya 5 ribu perak.
“Nak, ini ibu mendapatkan rezeki dari berjualan tadi pagi. Alhamdulillah.
Bagaimana kalau kita beli beras dan garam untuk makan malam nanti? Kalau
keduanya dicampur maka makan malam hari ini akan sangat lezat lho!” ucap
sang ibu sambil berseri-seri penuh bahagia. Lalu kedua anak tersebut
mengangguk angguk kegirangan.

Aku terdiam. Apa ini? Mengapa begitu berbeda denganku yang selalu mengeluh
setiap saat. Makanan yang tersedia begitu banyak di meja makanku, tapi aku
tidak pernah merasa puas. Aku menganggap hal itu wajar. Ya, karena memang
manusia itu pada hakikatnya tidak pernah merasa puas pada apapun yang ia
miliki.

Padahal hidupku sudah lebih daripada cukup, tapi aku tidak pernah bersyukur
sedikit pun. Kecewa. Sungguh satu kata itu yang membuatku terpuruk saat ini.
Aku kecewa pada diriku sendiri.

“Kau. Pikirkanlah apa yang belum kau lakukan. Lakukanlah yang terbaik jika ada
saatnya nanti cahaya sekecil apapun menerangimu dalam kegelapan ini. Rasa
syukur adalah hal yang paling mulia, mungkin sangat mudah mengatakan ‘aku
bersyukur’ tetapi sulit untuk dilakukan dengan kesungguhan hati hanya
padaNya.” wanita itu akhirnya pergi meninggalkanku sendirian.

Aku menangis. Aku sungguh ketakutan. Aku dimana? Aku tidak bisa berjalan
kemanapun. Aku tidak tahu arah dan tujuan. Dunia apa ini? Begitu berbeda
dengan dunia yang aku jalani. Di duniaku begitu banyak cahaya, tetapi di
dalamnya begitu gelap. Karena rasa syukur yang tiada pernah terucap. Akankah
aku mendapatkan secercah cahaya itu? Aku ingin kembali. Bantu aku Tuhan.
Bantu aku untuk menjalani hidup dengan penuh rasa syukur padaMu…

Anda mungkin juga menyukai