Anda di halaman 1dari 51

"PESUGIHAN SATE GAGAK"

by kalong
Twitter logo
22 Feb, 677 tweets, 76 min read

cerita ini bukan untuk di contoh ya, melainkan untuk pembelajaran saja. bahwa
kadang kita manusia ingin menjadi sempurna, sehingga menghalalkan segala cara untuk
mencapai kesempurnaan itu tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi pada diri kita
sendiri dan sekitar kita

****

Kesusahan dalam rangkuman kemiskinan menjadi sangat berat untuk kata kehidupan masa
yang dijalani. Mungkin nasib diri yang terlahir dari seorang janda yang hanya
terwarisi satu buah gubuk reot dan sepetak kebun kecil dibelakang.
Perbedaan kasta serasa menjadi beban bagi ku, cibiran, cacian, dan hinaan sudah
sangat biasa aku dengar sedari kecil. Manusia yang hanya memandang sebagai, manusia
yang dekil, kumuh, juga gembel miskin. Sudah menjadi rajutan sandang kehidupan
kami.
Kerja serabutan yang ditawarkan aku iyakan, demi untuk terbelinya bahan makan, itu
menjadi anugrah tanpa tertampik rasa syukur ku.
Keprihatinan tanpa ujung, renungan yang terlantun dalam setiap sunyi malam. Lafas
permohonan doa disepanjang sujud. Namun semua itu seakan tanpa pernah terdengar
oleh Tuhan. Rasa sabar yang selalu diajarkan orang tua ku, kini mencapai titik
paling dasar.

****

"Mbang, Bambang." Terdengar suara dari luar gubuk.

Buru-buru aku membuka pintu, lalu melihat tetangga ku tengah berdiri dihalaman.

"Njih Pak Sar, wonten nopo?"


(Iya pak Sar, Ada apa?)
Tanya ku kepadanya.
"Sambatan Mbang, usungke lemi yo."
(Minta tolong Mbang, bawakan pupuk kandang ya.) Suruh nya.

"Ohh njih Pak Sar, monggo."


(Ohh iya pak Sar, mari.)
Jawab ku menyanggupi.
Yah walau mendapat pekerjaan membawa pupuk kandang, hasil olahan alami antara
kotoran sapi dengan rerumputan kering yg menjadi alas kandang, itu sudah menjadi
pekerjaan ku.
Terkadang mendapatkan upah dua puluh lima hingga lima puluh ribu, tergantung
banyaknya pupuk yang harus diangkut.
Dengan karung bolak balik dari kandang ke sawah, memikul lemi yang bau dan basah
melekat ditubuh ku. Tapi sekecil apa pun jerih payah akan menjadi nafas
kelangsungan hidup wanita yang sangat aku sayangi. Beliau ibuku.
Sore itu semua pupuk sudah selesai aku bawa, namun pekerjaan belum usai sampai
disini, karena harus menebarkan pupuk itu di atas gundukan tanah yang sudah disemai
dengan cangkul sebelumnya.

Kompos kotoran sapi ini ku tebarkan sampai rata. Sayup kumandang adzan magrib
terdengar dari kejauhan namun pekerjaan belum juga usai. Alam benderang merubah
gelap.
Keusilan astral mulai menjaili ku, walau sudah sangat sering mengalami hal mistis,
tetapi rasa takut tetap singgah menyelidiki ngeri.
Angin semilir berhembus serasa dingin di tengkuk, membawa bau amis, mengalahkan
pupuk kandang yang ada digenggaman tangan.

Disudut petakan sawah terlihat sosok wanita berdiri menatap dengan wajah nya sangat
mengerikan. Tertawa cekikikan seakan menakuti ku.
"Ora usah ngganggu, aku mung golek sandang pangan."
(Tidak usah mengganggu, aku hanya mencari sandang pangan.)
Kataku kearah sosok seram itu.
"Bali wayah surup, bali."
(Pulang sudah waktu candikala, pulang.)

Terdengar suara membisik di telingaku, namun bisikan itu bukan dari kuntilanak
didepan sana, melainkan sebuah pengingat untukku agar segera pulang.
Tanpa berfikir panjang aku langsung meninggalkan pekerjaan ini, berjalan menuju
sumber mata air untuk membersihkan dari kotoran juga bau yang melekat.
Namun sosok itu terus mengikuti, sampai hendak mandi pun masih diperhatikan nya.
melepas semua pakaian dengan telanjang bulat, tidak lagi memperdulikan tatapan
lelembut itu yang sedang menyaksikan.
Setiba di rumah, aku ganti baju lalu beranjak kerumahnya pak Sarwidi untuk
mengambil upah kerja.
"Kulonuwon pak, kulonuwon." Ucapku memberi salam.

"Monggo, sekedap."
(Iya silahkan, sebentar.)
Jawaban wanita dari dalam rumah.

Lalu wanita itu mengintip dari balik jendela yang tirainya sedikit tersingkap
sebelum membuka pintu.
"Ohh mas Bambang, mau ambil uang ya, sekedap."Kata anak gadis pak Sarwidi.

"Njih mbak Nur."


(Iya mbak Nur.)
Jawabku dengan senyum.

Lalu gadis remaja itu kembali masuk kedalam, tak lama kemudian diberikannya uang
sepuluh ribuan yang berjumlah tujuh lembar.
"Loh mbak niki kok kathah sanget, nopo mboten klentu mbak Nur?"
(Loh mbak ini kok banyak sekali, apa tidak salah mbak Nur? "
Tanyaku meyakinkan.

"Mboten mas, niku saking bapak limang ndhoso, saking kulo kalih doso. mas Bambang."
(Tidak mas, itu dari bapak lima puluh dari saya dua puluh ribu) Kata nya.
"Loh kok repot-repot mbak Nur!"
Seruku tersenyum malu.

"Mboten nopo-nopo mas, kagem mbok Jumi tumbas suroh mas."


(Gakpapa mas, buat mbok Jumi beli sirih mas.)
Katanya sangat lembut.
"Waduh, matur suwun sanget mbak Nur."
(Waduh, terimakasih banyak mbak Nur.)
Jawabku sambil berpamitan pulang.

***
Namun malam ini rundingan gundah mulai menghampiri, wajah gadis itu mulai
membayang, mengusik khayal yang membawa dalam kisah mustahil yang aku rasakan.
Terlena membayangkan, aku dengan Nurhayati memadu kasih, berdua mengarungi bahtera
rumah tangga.
Sampai terdengar suara.

"Mbang, Bambang.. Bambang."


Suara simbok memanggil dari dapur.

Ahhh elah, buyar deh mau mesra-mesraan dengan gadis ayu tetangga itu.

Saat aku mau membayangkan nya lagi, suara panggilan itu semakin keras terdengar.
"Mbang, biyuh bocah iki opo wes turu yahmene."
(ya ampun anak ini apa sudah tidur jam segini.)
Kata simbok yang terus memanggil.

"Nopo mbok?"
(Apa mbok?)
Jawab ku dari dalam kamar.

"Madang disik lagi mapan turu le."


(Makan dulu baru tidur nak.)
Katanya menyuruhku makan.
Bergegas aku beranjak ke dapur lalu menikmati makan malam istimewa. Nasi putih,
sayur bayam, sambal terasi, plus tempe goreng. Sungguh sangat berbeda menu malam
ini, yang biasa nya hanya nasi sama sayur saja, kini ditambah tempe goreng. -
Rasa syukur kami tidak terhingga, menyambut karunia Tuhan.

Hasil jerih payahku mendatangkan riski malam ini, meski dalam hati masih ada
ganjalan karena pekerjaan itu belum sepenuhnya tuntas. Gangguan sosok itu membuat
terbengkalai nya amanah, sementara sudah dinikmati hasil upah nya.
"Mangan kok ngelamun, mikir opo?"
(Makan kok melamun, mikir apa?)
Tanya simbok mengagetkan.

"Mboten mbok, gawean dereng tutuk wau niku, lemi engkang di jereng wonten wono
dereng rampung."
(Tidak mbok, kerjaan belum selesai tadi itu, pupuk yang ditebar di sawah tadi belum
selesai.)
Jawabku menjelaskan.
"Bocah gemblung, durung mari nyambut gawe kok wes njupuk opah. "
(Bocah gemblung, belum selesai kerja kok sudah ngambil upah.)
Kata simbok sambil mengunyah makan nya.

"Lha kedalon e mbok."


(Lha kemalaman kok mbok.)
Jawab ku membela diri.
"Esuk mruput ndang di rampungno, mandat kui le, ojo sembrono."
(Pagi buta besok segera diselesaikan, amanah itu nak, jangan main-main.)
Katanya memberi nasehat.

"Njih mbok."
(Iya mbok.)
Selesai makan, aku kembali masuk kamar, mencoba kembali menghadirkan sosok pujaan
hati, Nurhayati sang primadona angan ku.

****

Jgn pernah berhenti mensyukuri nikmat, krn sekecil apapun rizki yg dianugerahkan
adlh sebuah wujud cinta kasih sang Khalik utk mencukupi hamba Nya.
Suara serangga malam terdengar dari pelataran luar rumah menandakan larutnya malam
ini, namun rasa resah masih menghampiri dengan memikirkan sang pujaan hati.
Tanpa bisa tertawar lagi, memasuki ruang khayal pun aku lakukan, menghadirkan
senyumnya, matanya, wajah ayu itu, semua terangkum menjadi keindahan bagi ku.
Apa rasa ini juga dirasakan oleh nya?
Andai saja iya, akan menjadi kesempurnaan untaian cinta yang ter anugerahkan pada
kehidupan ku.
Hanya saja bagai gembel yang ingin menggapai rembulan untuk mencintai gadis itu,
tompangan derajat saja sangat mustahil untuk berjodoh.
Andai saja memiliki kecukupan harta, sudah aku pinang anak tetangga itu, agar
terwujud angan dengan memiliki dia seutuhnya. Andai saja takdir tidak seperti ini
pasti sudah jadi orang yang bahagia selayaknya manusia yang hidup dengan normal.
Sampai andai andai yang lainnya terus datang membawa kepusingan.

"Duh dik Nur, kenapa kamu siksa batin ku." Bisik hati yang mulai merasakan
nelangsa.

****
Subuh itu aku bangun dan langsung bergegas pergi ke sawah untuk melanjutkan
pekerjaan yang sempat tertunda. Jalanan masih sangat gelap, hanya senter yang
menjadi penuntun langkah ku.
Kanan kiri dipenuhi oleh rimbunan pohon bambu yang dikenal sangat angker, tapi ini
satu-satunya jalan untuk menuju sawahnya pak Sarwidi, harus ditempuh dengan
keberanian.
Dengan rasa was-was memberanikan diri melewati keangkeran jalan ini seorang diri,
menoleh kesana-kemari memastikan agar siap jika memang harus bertemu oleh hal
ganjil didepan sana.
Jantung berdegup sangat kencang saat menyaksikan sesosok kuntilanak bertengger
disalah satu bambu yg melengkung. Untung dia hanya menatap saja, tanpa melakukan
apa-apa, bahkan yang biasanya tertawa cekikikan kini tidak terdengar sama sekali.
Apakah setan juga sariawan, ahahaa

Sesampai di pematang sawah, udara masih sangat dingin, tanah juga basah oleh embun.
Aku memulai pekerjaan ini, agar segera selesai.

Matahari mulai beriak, hadir dalam dunia menggantikan hari, fajar menyingsing
memberi sinar kehangatan saat mulai menerpa tubuh.
Usai pekerjaan saat alam mulai menyambut surya.

"Weh lah, mruput mas Bambang."


( pagi sekali mas Bambang.)
Sapa Kang Yad yang mulai berangkat kesawah.

"Ohh njih kang Yad."


(Ohh iya kang Yad.)
Jawabku.
"Ndang teruske mas, tak mangkat disik."
(Cepet teruskan mas, saya berangkat dulu.)
Jawab kang Yadi, sambil melanjutkan jalannya.

"Njih kang, ngatos-atos."


(Iya kang, hati-hati.)
Jawabku.
Setelah semua di rasa beres, beranjak pergi meninggalkan sawah yang sudah selesai
aku garap sedari pagi buta. Melanjutkan dengan mandi di sungai. Tiba-tiba perasaan
sangat tidak enak menghampiri, seakan menjadi firasat buruk yang akan datang pada
ku.
Entah apa yang akan terjadi, yang aku lakukan hanya menyelesaikan mandi lalu
bergegas pulang dengan fikiran aneh.
Kepulan asap terlihat membumbung keatas langit, dari ujung desa sudah terlihat jika
sedang terjadi sesuatu didalam kampung.

"Apa ada kebakaran? Sampai asapnya begitu banyak terlihat,". Benak mencari tanya
juga jawaban sendiri.
Ku percepat langkah agar segera tau apa yang sedang terjadi di sana.
Firasat itu terjawab ketika tiba dirumah. Gubuk satu-satunya peninggalan almarhum
bapak terlalap api, warga yang sudah berkumpul disitu mencoba menyiramkan air untuk
memadamkan api, namun hasilnya sia-sia. Aku mencoba menerobos kerumunan itu, namun
ditahan.
"Mbang, sareh mbang, bahaya."
(Mbang sabar mbang, bahaya.)
Kata warga yang memegangi tubuhku.

Ingin rasanya masuk kedalam kobaran api itu, menyelamatkan satu-satunya harta yang
aku miliki di dunia ini, namun semua sudah terlambat.
"Simbokk... " Teriak ku terus memanggil dengan tangis.

****
Semakin tidak memiliki apa pun di dunia ini, bahkan satu-satunya orang tua yang ada
pun harus meninggal. Ratap doa kesedihan di mushola kecil menjadi saksi betapa luka
hati ini tidak bisa terukur lagi.
Kekejaman kenyataan menagih janji kehidupan. Hanya kata pasrah dan ikhlas yang
terucap dari bibir ini. Menghantarkan peristirahatan terakhir jasad ibuku yang
hangus terbakar.
Beberapa warga yang menyantuni ku sebagai wujud bela sungkawa, aku terima, namun
apa arti semua ini, uang tidak mampu mengembalikan kehidupan orang tua tercinta,
gubuk ku, dan semuanya.
Melangkah pergi meninggalkan desa, mengharap ada keberuntungan didepan sana dengan
sedikit asa yang tersisa. Tidak lagi memandang kebelakang, hanya mengucap janji
dalam hati, suatu saat aku kembali untuk memasang nisan yang indah di atas makam
ayah dan ibu.

****
Manusia yang memiliki kecamuk kecewa dan luka hati sangat mudah disusupi setan
untuk mengendalikan rasa, membisikan kesesatan penglihatan seakan kehendak takdir
itu siksaan.
Memalingkan kodrat sewajarnya tentang pemahaman diri akan kata kuasa Tuhan.

Pergi dengan berbekal kesedihan mengharap ada sumber obat dalam luka, mencari
kesembuhan diri atas kenyataan yang pahit. Menerima itu tidak semudah kata bijak
yang selalu ringan diucapkan oleh mulut manis manusia, ikhlas itu hati, dan hanya
hati itu sendiri yang faham akan rasa.
Penghabisan kata hanya ingin jauh meninggalkan kenangan, menguburkan segala carut
marut peristiwa. Hanya ingin membalikan buku kehidupan, agar cerita lara
tergantikan dengan kisah baru yang berbeda.

****
Menyewa sepetak kamar kost, bekerja di toko kelontong menjadi tukang angkut sembako
dari gudang ke dalam truk atau sebaliknya. Karyawan bongkar muat kini aku jabat,
meski masih belum dikatakan baik dalam perubahan hidup,
setidaknya dari hasil saat ini aku bisa menyewa tempat tinggal begitu juga makan,
baju walau seadanya.
Hampir satu tahun lamanya semenjak peristiwa itu, aku meninggalkan tanah kelahiran
ku.
Sedikit tabungan terpegang, ingin rasanya menunaikan janji hati, untuk memasang
nisan makam yang indah untuk kedua orang tua ku. Tapi uang ini semua belum cukup.
Saat jam makan siang aku pergi ke seberang jalan yang menjual nasi bungkus, memesan
teh hangat untuk kembalikan tenaga yang sudah hampir habis setelah membongkar dua
truk bermuatan gula dan beras.
"Mangan sek Mbang, mempeng men kerjo mu."
(Makan dulu Mbang, semangat banget kerjamu)
Kata Pak Karto penjual nasi bungkus.

"Njih pak, la nek mboten mempeng ngeh mbotem saget nedi pak Kar."
(Iya pak, kalau tidak semangat ya tidak bisa makan pak Kar)
"Gelem rekoso bocah saiki ki Jan josss tenan le."
(Mau susah anak jaman sekarang ini sudah josss banget le)
Katanya menghiburku.

"Njih pak Kar, wonten ipun namung niki, lampahi mawon kanti ikhlas."
(Iya pak Kar, adanya hanya ini, jalani saja dengan ikhlas)
Jawabku.
"Le awake mu pengen sugih, urip mulyo, tak duduhi dalane Mbang."
(Kalau kamu pengen kaya, hidup kecukupan, aku kasih tau jalannya Mbang)
Kata pak Karto.

Sebuah tawaran yang sangat menggiurkan buatku agar segera dapat mengakhiri
kekurangan yang selama ini aku jalani.
"Nopo niku pak?"
(Apa itu pak?)
Tanyaku.

"Pesugihan Mbang."
Kata pak Karto dengan sedikit berbisik.
"Ealah pak.. pak.., mang kudu wonten tumbal menawi mendet pesugihan."
(Oalah pak.. pak.., harus ada yang ditumbalkan jika mengambil pesugihan)
Balasku sambil gelengkan kepala.

"Iki bedo le, rungokno sikek."


(Ini lain nak, dengar dulu)
Kata Pak Karto kemudian menjelaskan.
"Njih pripun pak."
(Ya gimana pak)
Tanyaku, agak malas.

"Dodolan sate Gagak."


(Jualan sate Gagak)
Jawabnya.
"Lah, pripun carane niku pak Kar?"
(Lah, bagaimana caranya pak Kar?)

"Mengko mari magrib dolan ning ngomah, tak duduhi carane Mbang."
(Nanti setelah magrib main ke rumah, aku kasih tau caranya Mbang)
Kata pak Karto, menyudahi pembicaraan.
Sore sepulang dari bekerja aku langsung kembali menuju kamar kost ku, tapi sebelum
itu ditengah perjalanan sekilas seperti melihat gadis dari desa ku sedang jajan
disebuah warung bakso dengan seorang laki-laki.
"Apa tadi itu dik Nur ya? Sama siapa?,"
Hati mulai merambah kembali kedalam alam gundah.
Setiba nya dikamar kost langsung ingin segera mandi agar hilang bau keringat yang
melekat ditubuh ini, tapi karena disini kamar mandinya hanya dua dan jam segini
sudah pasti ramai mengantri untuk mandi, mau tidak mau masih harus menunggu.
Sembari tiduran di atas kasur menunggu giliran mandi, mencoba mengingat wajah gadis
tadi, namun yang teringat justru kata pak Karto soal pesugihan sate Gagak.
Apa benar itu ada dan tanpa tumbal.
Rasa lelah akan kemiskinan menggerakkan hati untuk mengambil jalur ini. -
Agar bisa mewujudkan semua impian-impian yang tertunda, dengan harta bisa menaikan
derajat ku.

****
Nurani harus selalu dituntun dalam kebijaksanaan untuk memilih, kehidupan yang
memiliki banyak percabangan hanya dengan hati suci lah dapat memilah jalur
kebenaran.
Kecamuk batin yang tidak menentu memikirkan nasib yang belum memiliki perubahan,
memikirkan pujaan hati yang selalu membayang tanpa pernah terhenti.
Harus ada perubahan dalam hidup ini, mau bagaimana pun caranya, mau dengan apa pun
jalannya.
Yang ada semua ini harus segera usai digantikan dengan kemapanan diri.
Selepas magrib aku pun mulai menuju ke rumah pak Karto untuk menanyakan perihal
pesugihan yang beliau maksud. Tekat ini tidak mampu tertunda lagi, karena sangat
takut jika gadis itu akan menemukan laki-laki lain.
Sebuah lorong, dengan lampu remang-remang menjadi penerangan jalan gelap, rumah
berpagar yang tidak terlalu tinggi itu terlihat sangat sederhana.
"Andai benar pesugihan itu nyata, kenapa pak Karto memilih hidup miskin seperti
diri ku.", mulai muncul sedikit keraguan.

"Kulonuwon pak Kar."


Salam ku.
"Monggo, Mbang wes tak tunggu, mrene mlebu le."
(Mari, Mbang sudah aku tunggu, sini masuk nak.)
Jawab pak Karto yang tengah duduk di teras rumahnya.

"Njih pak, nglaras pak Kar?"


(Iya pak, santai pak Kar?)
Tanyaku basa-basi.
"Iyo le, tanah ancen'e nunggu slirane kok."
(Iya nak, memang sengaja nunggu kamu kok.)
Jawabnya dengan senyum.
Dengan duduk di bangku depan rumahnya kami berdua memulai obrolan yang arahnya ke
soal pesugihan yang dimaksudkan. Sebuah jalan yang harus ditempuh, tentu saja
dengan sarana mantra hitam, persyaratan, juga paling utama itu keberanian.
"Yen slirane wes krentek ati, syarat'e kui gampang, amung; Gagak urip, ladeng,
dupa, kembang setaman, areng lan tungku, karo sarung."
(Kalau kamu sudah niat hati, persyaratannya itu mudah, hanya gagak hidup, pisau,
dupa, bunga setaman, Arang juga tungku, beserta sarung.) jelas Pak Karto.
"Lanjut aken nopo melih pak?"
(Selanjutnya apa lagi pak?)
Tanyaku penasaran.

"Syarat utama'ne yen sliran'e dodolan kudu wudoh, lan kudu wani, amargo sing podo
tuku iku soko bongso alus kang wujud genderuwo. Ojo ngedoli sek liyone."
(Syarat utamanya kalau kamu jualan harus bugil, dan harus berani karena yang
membeli itu dari sebangsa makhluk halus yang berwujud genderuwo. Jgn menjual kepada
selain itu.)
Katanya lagi.

"La niku sadean wonten pundi pak Kar?"


( itu jualannya dimana pak Kar?)
Tanyaku lagi.
"Dodolan mu ing gunung kono, sak duwure mbelik cadas. Iku panggone sing wingit lan
dadi panggon ingkang pas le."
(Jualanmu di gunung sana, diatas sumber mata air cadas, itu tempatnya yang angker
dan menjadi tempat yang cocok nak.)
Imbuhnya lagi.
Setelah itu pak karto masuk kedalam rumah, tidak lama ia membawa sebuah kertas juga
segelas teh untuk ku.
"Iki jopo montro, kang kudu sliramu woco sak durunge gawe sate."
(Ini mantra, yang harus kamu baca sebelum membuat sate.)
Katanya sambil memberikan catatan mantra itu.

"Njih pak Kar, matur suwun."


(Iya pak Kar, terimakasih.)
Jawabku.
Malam itu setelah semua selesai aku pulang ke kontrakan, lalu menghapal mantra di
kertas yang tertulis itu.
*KANIAT INGSUN PAMUNDUT, SERONO TANPO TUMBAL, TANPO LELAKU.
SERONO NDAHAR AKEN.... (sarana/syarat persembahan) MARANG SAMUBARANG GHOIB, MARANG
ROJONING LELEMBUT GENDERUWO LANANG LAN WADON. KERONO ROJONING GHOIB*

****
Sebuah niat penyimpangan yang harus ia tempuh untuk menuai kepuasan hati, mengharap
terkabulnya impian yang meresahkan hidupnya.
Sungguh sangat disayangkan kelunturan iman hanya untuk mengejar keduniawian yang
semua itu tidak akan ada keabadian.
Rasa malas sudah mulai menyelimuti, setahun ini gigih bekerja tanpa pernah bolos
sekalipun, pagi ini aku lebih memilih pergi ke pasar mencari beberapa peralatan
seperti tungku, arang, dupa juga kembang setaman.
Setelah semua terbeli aku kembali membuat sebuah peti dari kayu, sebagai tempat
uang pesugihan.

"Ini harus berhasil, harus berani hadapi segala yang akan muncul nanti saat
jualan."
Kataku dalam hati.
Dua pemuda datang dengan membawa kurungan burung yang ditutup kain hitam.
Dua orang suruhan pak Karto dan sebagai pemasok burung Gagak yang akan aku jual
malam nanti. Meski dengan cara menghutang dulu, karena membeli satu ekor burung
saja harus mengeluarkan uang lima juta.
Memang akan sangat tidak wajar jika di nalar harga yang sangat mahal untuk
penebusannya, tapi itu sudah menjadi syaratnya, itu juga karena susahnya
mendapatkan bahan yang akan dijadikan dagangan ku.

****
Jika hati terpedaya oleh kefana'an, kebenaran itu akan memupus. Mati hati nurani,
lupa akan hal yang harus di sandang, di makan, itu semua akan ada pembalasan
dikemudian hari.
Malam ini tekat sudah sangat bulat tanpa bisa ditunda lagi. Semua kelengkapan sudah
siap, dengan dibantu kedua orang suruhan pak Karto. Semua peralatan dibawanya ke
lereng gunung.
Sesampai di lokasi yang menurutnya pas. Tepat dibawah pohon jati liar yang berusia
sangat tua, dibawahnya mengalir mata air. Kotak kayu yang berisikan bahan tadi
semua ditata menurut kemauan hati.
Perapian mulai aku siapkan, membakar arang didalam tungku, menyalakan beberapa dupa
disekitaran area juga menebarkan kembang setaman. Setelah perapian siap, aku mulai
membuka kain hitam yang menutupi sangkar burung itu.
Tepat pukul satu dini hari.
"Pun siap kang, tinggal mawon."
(Sudah siap kang, tinggal saja)
Kataku kepada kedua pemuda suruhan pak Karto.

"Yo mas, sing ati-ati, imut piweling'e pak Kar."


(Ya mas, yang hati-hati, ingat pesannya pak Kar)
Jawab salah seorang pemuda itu.
"Iyo kang, matur suwun."
(Iya kang, terimakasih)
Jawabku.

Tak lama kemudian langkah kedua orang itu sudah menghilang, semua menjadi sangat
sunyi.

Angin berhembus terasa lain, wangi dupa seakan memanggil para dedemit, pohon yang
semula tenang kini bergerak dengan sendirinya.
Muncul sosok pocong yg mengerikan terlihat melayang mendekat.

Namun salah satu syarat dilarang utk berdoa kepada tuhan walau melihat apa pun.
Pocong berwajah hitam hangus itu berhenti disalah satu dupa yg tertancap di tanah,
disusul dgn kuntilanak, juga bocah berkancut kafan.
Aku coba setenang mungkin melihat semua ini, lalu aku membuka semua pakaian yang
aku kenakan, kemudian mengambil pisau untuk menyembelih gagak hitam itu.
Di mangkuk plastik untuk menampung darah berwarna hitam pekat, menguliti lalu mulai
memotong daging gagak kecil-kecil, dengan lidi yang sudah aku siapkan dan mulai
menusuk membuat sate.
Ketawa kuntilanak mulai membuat bising, cekikikan bocah gundul itu pun sangat ramai
terdengar.

"Bukan kalian tujuan ku." gumam ku dalam hati.

Lalu dari arah belakang tiba-tiba muncul nenek-nenek menyeramkan dengan mata
semuanya putih menepuk pundak ku.
"Tuku sate, piro regane Le? "
(Beli sate, berapa harga nya)

Katanya terdengar dari mulut yang mengeluarkan belatung sangat banyak dan bau
busuk.
"Ra di dol nggo koe mbah"
(Ga dijual buat mu)
Kataku sambil melanjutkan menusuk sate, tidak memperdulikan sosok yang memuntahkan
belatung ke tubuhku.

****
Setelah semua siap, lalu aku balurkan tusukan sate itu dengan darah hitam, dengan
membaca mantra beberapa kali, mulai membakar sate gagak di atas bara tungku.
Tiba-tiba suara geraman berat terdengar, pohon jati di sebelah ku bergetar kencang
lalu muncul sosok hitam besar dengan tatap mata merah, taringnya panjang. Cakar
hitam dijari-jari besarnya. Tubuh hitam besar itu dipenuhi bulu, namun yang bikin
aku terkejut hanya satu.
Ternyata sosok genderuwo ini kemaluan nya panjang besar dan menyala seperti bara
api. (Maaf hanya menyebutkan).
Geramannya terdengar mengerikan, dengan kuku hitam yang panjang, sosok itu menunjuk
kearah sate yang aku bakar.

Setelahnya aku menyodorkan beberapa tusuk untuknya, lalu melihat demit itu
memakannya. Sampai bakaran kelima dengan lahap semua sate itu habis dia makan.
Lalu sosok itu menunjuk kedalam kotak kayu yang aku bawa.

Saat aku melihat kotak itu lalu menoleh kembali, genderuwo besar kini sudah hilang
lenyap dari hadapan ku. Disusul dengan wujud yang lain semuanya menghilang tanpa
meninggalkan jejak.
Ku buka kotak kayu itu kini sudah dipenuhi dengan uang yang sangat banyak melimpah
ruah sampai berhamburan keluar, dengan kain sarung yang aku ikat ujungnya untuk
memasukan uang itu, tapi seakan tiada habisnya, uang terus keluar dari kotak kayu.
Sarung sampai tidak muat lagi menampungnya, dengan baju juga aku bungkus uang-uang
itu.

Saat semua ku rasa cukup, sisa uang yang tidak bisa terbawa tetap aku tinggal
didalam kotak, memakai celana lalu membawa uang dalam sarung dan baju yang sangat
berat rasa nya.
Sebelum subuh aku sudah masuk kamar dan menghamburkan semua uang-uang itu di kamar.

****
"Mbang, Bambang."

Terdengar dari luar suara memanggil sambil menggedor pintu kost ku, mengintip dari
jendela. Pak Karto sudah berdiri didepan dengan kedua pemuda semalam.
Lalu aku buka pintu, saat mereka masuk melihat uang yang berhamburan mata mereka
terbelalak, dengan mulut menganga.

"Weh slirane khasil le."


(Wah kamu berhasil nak)
Kata pak Karto.
Aku hanya tersenyum menggaruk kepala, sambil meminta bantuan menata uang yang
sangat banyak itu.

"Duit manuk langsung tak jupuk ya mas."


(Uang burung langsung aku ambil ya mas)
Kata pemuda itu.
"Iyo kang jumuk lah, Lima juta itungen ae."
(Iya kang ambil saja, lima Kita hitung sendiri) Kataku, yang kini sudah disusupi
kesombongan.
Semua uang sudah diikat dengan karet dengan jumlah yang tidak terhitung lagi, uang
dimasukan kedalam koper besar yang aku pinjam dari tetangga sebelah.
Sore ini aku pergi untuk membeli sebuah rumah dari salah satu developer perumahan
yang dekat dengan kediaman pak Karto. Rumah seharga ratusan juta itu terbayar
kontan tanpa melalui cicilan.

****
Kemilau harta yang didapat tanpa hak dari tuhan hanya akan membawa dalam ketamakan,
kesombongan, rasa rakus yang tidak ada habisnya. Watak kemanusiaan telah diperbudak
oleh setan.
Rumah sudah terbeli, perlengkapan mulai terpenuhi. Dari perabotan sampai interior
menurut selera hati. Motor sudah terparkir didepan garasi rumah. Semua dibeli
dengan kontan.
Rumah mewah ini akhirnya dipakai mereka berempat untuk berembuk menjalankan misi
kelam, namun yang namanya manusia apa yang sudah didapat akan merasa selalu kurang
dan kurang terus tanpa kepuasan.
"Kang, mengko jumuk duit sing iseh tak tinggal ning njero kotak kae."
(Kang, nanti ambil uang yang masih aku tinggalkan didalam kotak itu.)
Kata ku pada dua pemuda itu.

"Lah kok ditinggal to mas, eman tenan."


(Lah kok ditinggal to mas, sayang banget.) Kata nya.
"La sarung, kalian klambi sing digae wadah ora muat kang, Wes tak jejelke panggah
ora sedeng."
(Lah sarung dan baju yang dibuat tempat tidak muat kang, sudah aku jejalkan tetap
saja tidak cukup.)
Kataku menjelaskan.

"Yo wes ayo budal, ketimbang ditemu uwong mas."


(Ya sudah ayo berangkat, dari pada ditemukan orang lain mas.)
Ajaknya.
Malam itu juga kami bertiga kembali memasuki hutan di gunung itu, hanya menggunakan
senter untuk penerangan jalan, pak Karto yang selaku pimpinan hanya menunggu di
rumah, karena usia nya juga sudah tidak muda lagi kasihan jika harus diajak.
Gonggongan anjing hutan menyalak di atas bukit, seakan menyerukan malam yang dingin
ini diselimuti oleh angkernya hutan, bergentayangan nya para lelembut menyambut
langkah kami bertiga.
Bayangan hitam seakan terus mengikuti dari balik pepohonan, bayangan yang tidak
hanya satu namun jumlahnya sangat banyak.
Entah hantu wujud apa mereka, gerakannya sangat cepat, melesat kesana kemari lalu
menghilang.
Anjing liar terus menyalak tiada henti membuat ciutnya nyali kedua orang didepan
ku.

"Mas, piye iki?"


(Mas bagai mana ini?)
Tanyanya.
"Terus ae kang, gor demit ae kok wedhi."
(Terus saja kang, cuma dedemit saja kok takut.) Kataku.
Setibanya di lokasi jualan semua barang masih aman dan utuh di sana, meski terlihat
berserakan karena kemarin pulang sangat buru-buru tanpa terfikir membereskan
perlengkapan itu semua.
Namun yang membuat sangat menyesal kotak kayu yang terbuka kini sudah kosong, semua
uang yang banyak di sana raib tanpa tersisa.
"Walah wes ora ono duite kang."
(Walah sudah tidak ada uangnya kang.)
Kataku dengan penyesalan.

"Yo wes mas, ancene sing ga kegowo mesti ilang kok."


(Ya sudah mas, memang yang tidak terbawa pasti hilang kok.) balas pemuda satunya.
"Lah pean tau kok ga kondo kang, tiwas adoh-adoh blusukan mrene."
(Lah kamu tau kok ga bilang kang, sudah jauh-jauh blusukan kesini.)
Kataku setengah menyesal.

"La niat ku njupuk kurungan manuk loh mas."


(Lah niat ku ambil sangkar burung kok mas.)
Jawabnya sambil tertawa.
"Oalah semprul kang, yo wes ayo muleh maneh."
(Oalah semprul kang, ya sudah ayo pulang lagi.)
Ajak ku.
Malam itu sesampai di rumah, melanjutkan obrolan sambil ngopi. Kalau besok mereka
berdua harus mencari gagak lagi untuk melanjutkan ritual kedua.

Setelah semua disepakati malam ini pun mereka pulang, hanya menyisakan aku
sendirian di rumah baru ini, -
mencoba mengutak-atik handphone baru yang layarnya sebesar layar TV, sembari
membaca buku panduan nya. Memutar musik lewat pengeras suara tanpa peduli malam
hari.

"Assalamuallaikum."
Terdengar salam dari luar pagar rumahku.
Terlihat dua security sudah berdiri disana.

"Mau ngapain malam² begini manusia-manusia itu."


Gerutu ku dalam hati, sambil berjalan menghampiri.

"Ya pak ada apa? Masuk silahkan."


Kataku berbahasa nasional biar terlihat tdk kampungan.
"Maaf mas baru pindah ya? Sudah kerumahnya pak RT untuk mengisi keterangan sebagai
warga baru?"
Tanya Penjaga komplek itu.

"Besok saya ke rumah pak RT, sekalian mau silaturahmi." basa-basi ku.
"Iya sudah pak kami permisi dulu, ohh iya nama bapaknya siapa belum berkenalan kita
pak." Katanya sebelum beranjak pergi.

"Saya Bams, dan jangan panggil bapak karena saya belum berkeluarga."
"Maaf mas Bams, hanya menghormati saja panggil pak tadi, ya sudah mas Bams selamat
malam saya lanjut bertugas lagi."
Ucapnya sambil bersalaman.

Kembali ku tutup pagar rumah lalu masuk kedalam mendengarkan lagu-lagu campursari
yang mengalun menghilangkan rasa sepi.
Kopi sisa masih ku nikmati sembari mengepulkan asap rokok filter.

"Nglaras sek, wes minggat rekoso ku".


(Santai dulu, sudah pergi hidup susah ku.)

****
Paparan sinar terik dari kegarangan penguasa siang mulai muncul, membuat pantulan
sedikit menyilaukan. Mata ini baru terbuka, karena merasakan nyamannya tidur di
kasur mahal dengan kamar berAC.
Setelah mandi aku langsung pergi kewarungnya Pak Karto, memesan kopi juga sarapan
yang tertunda.
Dari seberang, aku amati toko sembako tempat aku kerja kemarin. Tiga hari lalu, aku
seperti orang itu bongkar muat barang dari truk ke gudang. Pekerjaan yang aku
lakukan satu tahun lebih tanpa mendatangkan kekayaan.
Kini hanya berjualan semalam semua sudah terbeli. Bahkan sisa uang masih sangat
banyak yang kini aku masukan kedalam lemari khusus di salah satu kamar yang aku
keramatkan.

"Ndeleng opo to Mbang?"


(Lihat apa sih Mbang?)
Tanya pak Karto.
"Ehh mboten pak, cuma kemutan kolo susah."
(Ehh tidak pak, cuma teringat jaman waktu susah.)
Jawabku.

"Untunge slirane ngugemi omongan ku Mbang."


(Beruntung kamu mendengarkan omongan ku) Sahut Pak Karto.
"Njih pak, nanging mulai sak niki ampun ngundang Bambang pak Kar, nasib kulo pun
benten kok."
(Iya pak, namun mulai sekarang jangan panggil Bambang, nasib saya sudah lain)
jelas ku ke pak Karto.
"Ohh yo, la slirane ganti asmo opo?"
(Ohh ya, la kamu ganti nama siapa?)
Tanya nya sambil menahan tawa sembari menepuk pahaku

"Bams pak, Bam tambahi 'S' dados Bams."


(Bams pak, Bam ditambah S jadi Bams)

****
Harta tidak akan menundukkan semua manusia, namun pemilik watak tamak akan selalu
berfikir hanya harta lah yang mampu menjadikan derajat dirinya tinggi, kekayaan
yang menjunjung harga diri.
Sungguh pemikiran dengan kedunguan mutlak, sangat rendah dihadapan Tuhan.
Masih terduduk di warung milik Pak Karto, menikmati kopi hitam dengan sebatang
rokok.
Tiba-tiba bayangan wajah gadis itu melintas dalam angan tanpa permisi,
mengetuk hati mengabarkan rasa kerinduan yang tidak terelakan lagi. Gadis cantik
anak tetangga dikampung halaman yang selama ini mengisi cinta tanpa tergantikan.
Saat memikirkannya tiba-tiba gadis itu melintas dengan dibonceng oleh laki-laki
yang entah itu siapa. Secepat kilat meninggalkan warung langsung gasss motor
mengikuti kemana pergi kedua orang itu.
Di sebuah warung bakso yang kemarin, mereka datang kesini lagi. Berduaan lagi.
Sangat membuat kelukaan yang mendalam. Kecemburuan menyelimuti, hingga sebuah bisik
terdengar untuk menanyakan siapa laki-laki bersamanya itu.

"Loh dek Nur, disini ya?"


Tanya ku basa-basi.
"Loh mas, apa kabar? Lama banget ga pulang mas?"
Kata Nur terkejut.

Sengaja duduk didepannya sambil memesan bakso juga agar dapat lama mengobrol.

"Mas Bambang, sudah sukses ya sekarang sampai lupa pulang." Kata Nurhayati.
"Ahhh dik Nur bisa saja, ya begini hidup mas sekarang dek, sudah ga kayak dulu."
Jawabku sambil memperlihatkan apa yang aku pakai.

"Ohhh iya kenalin ini Tommy suami saya mas."


"BLARRR" Sebuah ucapan yang seakan menjadi sambaran petir disiang bolong.

Betapa membuat hancur berkeping-keping rasa dalam hati. Ditambah laki-laki itu
mengulurkan tangannya untuk menyalami, juga dengan senyum menyebutkan namanya.

"Tommy mas."
Kata nya berkenalan.
"Bams."
Jawabku singkat tanpa menoleh ke arahnya

Serasa ingin menyiramkan kuah bakso kemuka laki-laki didepan ku ini, memasukan
semua sambel kemulutnya agar tau betapa lancangnya dia merebut bunga yang selama
ini aku jaga dengan segenap jiwa raga.
"Berapa semua bang, sekalian sama pesanan mereka." Tanya ku kepada tukang bakso.

"Total semua nya delapan puluh ribu mas." Jawabnya.

"Ini, kembaliannya ambil saja."


Aku memberikan uang selembar seratus ribu.
"Ohhh ya dek Nur saya buru-buru harus pergi dulu." Ucapku menahan kecewa.

"Loh mas, kok ga dimakan baksonya, pakai dibayarin segala loh." Balas Nur.

"Selera makan tiba-tiba hilang, mari dek Nur."


Motor aku arahkan ke rumah, memarkirkan, lalu masuk kedalam, dengan langkah gontai
merasakan tikaman patah hati, serasa hancur kehidupanku, serasa dunia kiamat
setelah mendengar ucapannya.
Ingin berteriak sekencang-kencang nya agar dunia faham semua ini tidak adil. Kenapa
harus laki-laki itu yang mendampingi dia, kenapa bukan aku.
Menghela nafas panjang dan tertunduk tanpa semangat, memutar lagu cidro agar makin
terasa kelukaan yang aku alami ini, perihnya tanpa terucap lagi, tak mampu
terkatakan betapa ini sangat sakit.
"Hallo kang, ono ning ngendi pean saiki?"
(Hallo kang, Ada di mana kamu sekarang?) Sapaku kepada teman di ujung telepon.

"Iseh ning dalan mas, piye?"


(Masih dijalan mas, gimana?)
Jawabnya.
"Ohhh oke, ndang moro rene, tukokno aku Jack Daniels rong botol, duit'e mengko tak
ganti."
(Ohh oke, cepet datang kesini, belikan aku Jack Daniels dua botol, uangnya nanti
aku ganti.) Pungkasku lalu menutup telephone.
Entah kenapa tersirat ingin mencoba minum yang beralkohol untuk mengusir kecewa,
mungkin dengan itu semua bisa terlupakan, menghilangkan tanpa mengingatnya lagi.
Lagu cidro yang semakin menyayat itu aku ganti dengan lagu anggur merah agar
dahsyatnya terasa.
Hampir petang kedua pemuda itu baru tiba dengan membawakan apa yang aku pesan,
tanpa basa-basi lagi langsung aku tenggak minuman itu yang ternyata rasa panas
seperti bara api yang masuk kedalam tenggorokan sampai ke dada.
"Sing sebotol pean buka kang, mendem ae sikek dino iki."
(Yang satu botol kamu buka kang, mabuk saja dulu hari ini.)
Ocehku yg mulai terpengaruh miras.
"Iyo mas, la iki acara opo kok gae omben mbarang?"
(Iya mas, la ini acara apa kok pakai minum segala?)
Tanya Salah satu pemuda itu.
"Dino iki aku lagi broken heart kang bro, cidro, kuciwo."
(Hari ini aku lagi patah hati kang bro, cidera, kecewa.) Jelasku.

"Emang pean duwe pacar mas?"


(Memang kamu punya pacar mas?)
"Stttttt, pitakon mu kui loh Jo."
(Stttttt, pertanyaan mu itu loh Jo.)
Kata sahabat satu lagi.

Tanpa bisa menjawab pertanyaan itu semua terasa sangat berputar-putar, kepala
sakit, pandangan makin buram, perut seperti diremas, mual.
Dan akhirnya. Jackpot, muntah dan tergeletak tak sadarkan diri.
Sampai kedua sahabat itu bersusah payah memindahkan kedalam kamar, mebersihkan
lantai yang kotor itu, sampai semuanya tidak bisa aku ingat lagi. Karena saat
mencoba membuka mata yang ada semua dunia goyang berputar. Hingga terbawa kealam
bawah sadar.

****
Akan semakin terjerumus jika hanya bisikan-bisikan iblis yang selalu terdengar
tanpa mendengar lagi kata hati yang menuntun kearah jalan Tuhan.
Kepala yang masih terasa berat, pusing yang belum hilang, badan pegel semua, ingin
beranjak bangun, dihari yang sudah siang ini. sangat jauh berbeda perubahan diri,
dari yang sangat rajin tanpa lelah bekerja dan memiliki cita-cita mulia, kini semua
berubah menjadi seperti ini.
Dengan masih sempoyongan memaksakan diri untuk keluar kamar dan segera mandi agar
badan kembali normal, agar rasa sakit di kepala juga badan ini lebih segar. Dua
orang itu terlihat masih tertidur di sofa ruang tamu, tanpa perdulikan mereka aku
bergegas masuk kamar mandi.
"Heh tangi kang wes awan."
(Hey bangun kang sudah siang.)
Kata ku membangunkan mereka seusai mandi.

"Wah wes seger pean mas!"


(Wah sudah segar kamu mas!)
Seru dia pada ku.
"Wes ndang adus kono, terus golek Gagak, mbengi iki aku dodolan maneh kang."
(Udah cepat mandi sana, terus cari Gagak, malam ini aku jualan lagi kang.)
Suruh ku pada mereka berdua.
Setelah semua beres lalu dua sahabat itu pergi menjalankan misinya, aku yg hanya
berdiam diri di rumah tanpa melakukan apa pun, sekedar mempersiapkan diri juga
mental untuk malam nanti. Mantra kembali aku hafalkan agar tidak lupa karena sedang
ditimpa kegalauan yang sangat berat.
Pak Karto yang datang sore itu dengan membawakan makanan yang sudah aku pesan
sebelum nya, merasa sangat prihatin melihat kondisi ku yang semrawut karena masih
memikirkan gadis itu.
"Ojo dipikir nemen nek ancen durung jodo yo panggah ora biso di duweni, isih kebak
ndoyo iki kenyo sing luwih ayu."
(Jangan dipikir terlalu dalam kalau memang belum jodoh ya tetap tidak bisa
dimiliki, masih banyak dunia ini wanita yang lebih cantik.) Ucap Pak Karto
menasehati.
"Sampean ki ora paham pak Kar, panggah kudu iso tak rebut seko bojo'ne, mesio gawe
coro opo wae pak."
(Kamu itu tidak akan paham pak Kar, tetap harus bisa aku rebut dari suaminya, walau
pakai cara apa pun pak.)
Ucapku dengan nada emosi.
"Owalah bocah, mbiyen yo aku ngalami, wes tenang ae sesok tak ajak golek sing
bening."
(Owalah bocah, dulu juga aku mengalami, sudah tenang saja besok aku ajak cari yang
bening.) Sahut Pak Karto memberi semangat.
Dilanjut dengan makan nasi bungkus yang dibawakan tadi, sambil sedikit memikirkan;
untuk baiknya mencari pelampiasan ke wanita lain agar tidak terlalu larut
memikirkan kecewa. Dengan perjalanan waktu sembari mencari siasat untuk merebut
kembali kekasih hati ku.

****
Terdengar motor berhenti didepan rumah dari yang ditunggu pun tiba, dua orang
suruhan pak Karto yang mencari burung itu sudah datang dengan menenteng sangkar
yang tertutup kain hitam.
Senyum sumringah terlihat dikedua wajah yang baru datang itu menandakan
keberhasilan mereka mencari barang yang dimaksud.
"Bos selamat sore." Katanya Cengengesan.

"Uwes kasil kang?"


(Sudah berhasil kang?)
Aku bertanya memastikan.

"Beres mas, pokok'e langsung ae gass."


(Beres mas, pokoknya langsung saja gass.)
Jawabnya.
Iki langsung tak bayar lunas kang. "
(Ini langsung aku bayar lunas kang.

Akhirnya kami berempat kembali berembung untuk aksi kedua agar mendapatkan hasil
lebih banyak, persiapan sarung pun kini tidak hanya satu untuk mengantongi uang
yang akan didapat.
Jam penjemputan juga sudah mereka atur kira-kira selesai semua ritual itu sekitar
jam tiga subuh, mereka berdua harus menyusul membantu membawakan hasil pengerukan
uang.
Gelak tawa penuh nafsu iblis menghias kami berempat, gambaran kerakusan sudah
menggaris pekat di dahi masing-masing, melupakan jalan halal untuk memenuhi ambisi
hidup.
Tatapan setan menyala ketika uang-uang itu akan didapat kembali.
"Podo sekecak ake, kulo tilem riyen njih pak Kar, kang."
(Pada dinikmati, saya tidur duluan ya pak Kar, kang.)
Pamit ku pada mereka yang masih pada menikmati kopi di rumah.

"Iyo Bams, tak nonton TV ae aku."


(Iya Bams, biar nonton TV saja aku.)
Jawab pak Karto.
Sambil menunggu tengah malam aku tidur agar nanti tidak ngantuk ketika melakukan
ritual penjualan sate.

****
Tepat pertengahan malam aku terbangun dengan keadaan rumah sudah sepi, mereka
bertiga sudah pada pulang, kini hanya aku sendiri dan bersiap-siap menuju gunung.
Sangkar berisikan Gagak itu aku bawa menyusuri hutan, roak nya kadang berbunyi
mengejutkan. Sarung yang jumlahnya lima lembar, dupa, kembang tujuh rupa juga tidak
lupa aku membawanya.
Kabut turun bersamaan dengan gerimis kecil menghias alam nan angker ini, hanya itu
bukan halangan untuk ku menjalankan keinginan hati. Desiran darah terkadang terasa
mengalir, bergidik meremang bulu kuduk saat beberapa interaksi makhluk-makhluk
mulai menjaili ku.
Setelah sampai di lokasi tepat diarea yang seharusnya untuk ku berjualan, sosok
hitam itu sudah bertengger, mata merahnya menatap tajam kearah ku, taring nya yang
mengerikan itu terlihat jelas memutih.
"Hah, ngapain genderuwo itu sudah ada disitu?" Batinku.
Kita lanjut tipis tipis ya 😁🙏
Dengan berpura-pura tidak melihatnya aku datangi saja tempat itu, tepat kami
berdiri bersebalahan, terlihat jelas rambut nya yang hitam tumbuh dipermukaan kulit
kasarnya, cakarnya panjang sangat menakutkan.
Setiap gerakan ku diperhatikan, bahkan berkali-kali kami saling bertatap muka yang
membuat selalu merinding saat itu. Dengan cara berpura-pura tidak melihatnya semoga
menjadi cara yang aman dan suksesnya ritual ku.
Ku tuntun hati mengumpat ketika takut agar jangan sampai berdoa atau beristigfar,
kalau sampai itu terjadi maka akan gagal penjualan ku.
Dupa sudah aku pasang diberbagai sisi, bunga juga aku tebarkan ke seluruh area,
sebelum memotong Gagak tidak lupa pakaian yang aku kenakan semua sudah terlepas
dari tubuh ini.

Rapalan mantra dan mangkuk untuk menampung darah sudah aku persiapkan,
ketika hendak membuka sangkar itu baru teringat jika bara perapian belum aku
nyalakan. Buru-buru aku nyalakan.
Melakukan dengan yang awal sama persis, setelah menyembelih gagak juga menampung
darahnya, baru memotong kecil-kecil terus menusuk nya menjadi sate, melumuri dengan
darah sambil membacakan mantra dipungkasi dengan membakar sate-sate hitam itu.
"berikan makanan itu, maka akan aku kabulkan permintaan mu"
Ucap gendruwo itu yang sedari tadi memang sudah menunggu.

Setelah lima tusuk sate aku berikan mulai lah uang itu bermunculan dari peti kayu.
Namun datang lagi sosok yang sama jenisnya hanya ini lebih menyeramkan,
sangat besar dan tinggi dengan juntaian tangannya hampir sampai ketanah, taringnya
berjumlah delapan ruas terlihat membuat mata ini ngeri memandangnya. Andai tangan
itu mencengkram ku, pasti akan sangat mudah tubuh kecil ini digenggam dengan
jemarinya.
Suaranya besar dan berat membuat teling ini berdengung.

"kekayaan mu akan berlimpah, jika kau memberikan itu semua pada ku"

Aku hanya sibuk membakar sate dan menyaksikan genderuwo yang awal menunggu itu
pelan-pelan menjauh pergi,
seakan takut dengan kehadirian makhluk yang jauh lebih besar.

Semua sate-sate itu aku berikan, hanya dengan sekali telan semua lenyap tanpa sisa.
"Setiap purnama penuh, datanglah kemari, bawakan makanan ini untuk ku maka dunia mu
akan melimpah. Kau anak manusia siapa nama mu?" Tanya dengan suara besarnya
menggelegar.

"Saya Bambang mbah."


Jawabku dengan badan yang bergetar ketakutan.
"Setiap bulan purnama jgn sekali-kali kau jual makanan ke cecunguk itu, harus
menunggu datang atau kamu yang akan jadi santapan ku." Ancamnya yang membuat sendi-
sendi terasa lemas tanpa daya.

"I.. iy.. iya mbah, saya akan memberikan hanya untuk mbah saja." Jawabku terbata
bata.
Lalu dia menunjuk kearah kotak kayu itu yang mengeluarkan uang jauh lebih banyak
dan keluar bagai semburan uang yang memancar tanpa henti.

Tanpa memperdulikan makhluk raksasa itu lagi, aku mulai masukan uang kedalam
sarung-sarung yang sudah aku siapkan.
Sampai padat pun uang itu aku paksakan masuk, aku tekan, aku injak biar semakin
banyak yang bisa aku bawa namun limpahan uang-uang itu terus keluar hampir memenuhi
area disekitar ku.
Aku mengumpulkan uang itu tanpa tampungan lagi, sampai datang lah mereka berdua
menyusulku. Dengan mata terbelalak menyaksikan uang yang berhamburan itu membuat
keduanya mematung terkejut.

"Malah meneng ae, ndang wadahi gae sarung mu iku."


(Malah diam saja, cepat masukan pakai sarung kalian itu.)
Kataku menyuruh mereka.

"Iyo mas, biyuh iku duit kok semene akeh'e."


(Iya mas, waduh ini uang kok begitu banyaknya.)
Ucap mereka sambil memasukan tumpukan uang itu ke sarung yang mereka bawa.
Karena memang tidak ada tempat lagi, dan merasa sudah sangat banyak, kami bertiga
memutuskan pulang dengan membawa tujuh sarung berisi uang.
Membiarkan banyaknya uang yang ditinggal hilang lagi secara ghaib.

****
Sesampai di rumah aku menghamburkan uang itu kedalam kamar yang sudah aku
keramatkan, disitu lah kami bertiga mulai menata uang-uang itu lalu memasukan
kedalam lemari besar yang aku khususkan sebagai tempat menimbun kekayaan.
Tidak bisa dihitung seberapa jumlahnya, dari sebelum subuh hingga menjelang sore,
kami baru selesai membereskan semua itu.
Tujuh sarung itu lalu aku lipat dan meletakan disalah satu meja dalam kamar.

"Sarung-sarung pean kui kang, wes dadi barang sing tak kramat'ke dadi tak mahari,
sijine sepuluh juta yo."
(Sarung-sarung kamu itu kang, sudah jadi barang yang aku anggap keramat, jadi aku
mahar satunya senilai sepuluh juta ya.) Ucapku kepada mereka berdua.
"Weh yo mas, sipp."
(iya mas, siap.) jawabnya sumringah mendengar itu.

Lalu uang dua puluh juta aku kasih untuk mereka, dengan satu orang sepuluh juta
untuk harga sarung bekas mereka.

****
Semakin kita memasukan barang haram kedalam tubuh kita, maka akan semakin
kehilangan hati nurani. Semakin hitamnya hati tanpa cahaya Tuhan sebagai pelita
diri.
Dengan keberhasilan ritual kedua kini menghasilkan uang yang jauh berlipat-lipat
banyaknya, semakin tidak mampu lagi terhitung seberapa kekayaan yang aku miliki.
Sunggingan senyum kepuasan terlihat mengembang, menoreh kesombongan yang tanpa
menuai usai.
Setelah kepulangan dua sahabatku, aku lanjutkan untuk ke rumahnya pak Karto,
memberikan bonus uang, juga berencana sekalian keluar untuk membeli sebuah mobil.
Berkendara dengan motor terkadang kepanasan dan kehujanan,
membuat ingin memiliki mobil untuk tunggangan dan pelengkap rumah.
"Weeh dadi slirane arep golek mobil? Samsoyo gagah ae."
(Wahh jadi kamu mau cari mobil? Semakin gagah saja.) Puji Pak Karto.
"Rencanane pak, Wes kesel gae motor terus marai kembung. "
(Rencananya pak, udah capek pakai motor terus bikin kembung.)
Jawabku sambil memberikan bonus uang.

"Lah iki opo Bams?"


(Lah ini apa Bams?)
Tanya pak Karto.
"Niku bagian sapean pak, pun kulo permisi ajeng ndelok-ndelok sorum mobil."
(Itu bagian kamu pak, sudah saya permisi mau melihat-lihat sorum mobil.)

****
Sore itu Aku hanya keliling saja dan belum menemukan dealer yang cocok sampai hari
menjelang malam. Karena perut juga sudah merasa lapar, aku berhenti disebuah warung
untuk membeli makan.
Duduk dimeja dengan menunggu hidangan pelayan, dari sudut sana terlihat wanita yang
tengah menatap ku, seakan malu-malu mencuri pandang.
"Pesan apa mas?" tanya pelayan.

"Nasi rendang pakai perkedel, minumnya es teh manis." ujarku.

"Siap mas, ditunggu ya."

"Ehh mas tunggu."


Kata ku kepada pelayan itu.

"Iya mas, ada apa?"


"Bilang sama mbak yang duduk disana untuk gabung sama saya." Suruh ku.

Pelayan itu berlalu menghampiri sambil memberitahukan apa yang aku maksud, gadis
itu lalu memandang kearah ku sambil tersenyum. Hanya dengan menganggukkan kepala
memberi tahu kalau aku memanggil,
memberi kode untuk ya.
Langkah kecilnya mulai mendekat, dengan anggun ia melangkah, tubuh terbalut pakaian
sexy itu kini berdiri di samping ku.

"Silahkan duduk, gabung saya saja."


Aku mempersilahkan.

"Iya mas."
Jawabnya tersipu malu.
"Mau pesan apa mbak? Silahkan pesan saja." Ucapku basa-basi.

"Udah pesan kok mas, nunggu datang saja pesanan nya." Jawabnya masih dengan muka
memerah karena malu.

"Ohh iya siapa nama nya?"


Tanya ku sambil mengulurkan tangan untuk berkenalan.
"Surti mas"
Jawabnya sambil menjabat tangan ku.

"Surti. kayak lagu nya jamrud, hehehe. Aku Bams." Kataku sambil memegang tangan
nya.
Lalu perbincangan itu tertunda karena menu pesanan kami sudah datang, makan malam
ditemani seorang gadis cantik membuat lupa akan luka yang ditorehkan oleh
Nurhayati. Wajah Surti mampu menjadi peredam nyeri dalam dada ini.
Usai makan kami lanjutkan dgn ngobrol panjang lebar, sampai menemukan kesepakatan
untuk menikmati malam ini, di rumah ku.

Dengan berboncengan, aku laju kan motor menuju rumah, tangan mungil merangkulan
mesra kesisi pinggang ku, kami menikmati dengan mengobrol selama perjalanan.
Sesampainya di rumah.

"Ini rumah mas Bams?" Tanya Surti.

"Iya ini rumah saya dek, ayo masuk." Ajak ku.

"Mas tinggal sama siapa?"

"Saya tinggal sendiri dek, sepi rumah ini."


Jawabku sambil membuka pintu.
"Rumah semewah dan sebesar ini sendirian, ya pantas saja sepi mas. Memang mas Bams
belum berkeluarga?" Tanya Surti memancing.

"Ya belum lah, baru juga ketemu jodoh." Balasku menangkap umpan Surti.

"Hah? Siapa mas?" Tanyanya lugu.


"Dek Surti lah siapa lagi." Balas ku yang membuatnya tersipu.

Kami berdua mengobrol dan bercerita, menikmati kopi juga cemilan. Hingga waktu
sudah menunjukan pukul sepuluh malam, menandakan jika gadis ini harus segera pulang
kerumahnya.
Mengantar dia sampai di rumah, yang sebelumnya aku terlebih dahulu meminta nomor
handphone untuk hubungan selanjutnya. Uang lima lembar seratus ribuan juga aku
kasih buat dia karena sudah mau menemani ngobrol.
Padahal tujuannya hanya untuk mendapatkan simpati dari gadis ini.
Pagi itu ditemani Surti, aku langsung bergegas membeli mobil. Selain itu kami juga
singgah di mall untuk membelikan beberapa baju, juga perhiasan.
Mengambil hatinya sangat mudah, jauh berbeda dimana aku harus menyimpan perasaan
tak ter utarakan pada anak gadis Pak Sarwidi.
"Mas, kok melamun?" Kejut Surti mengagetkan.

"Ehh, engga dek, cuma berfikir soal bisnis mas saja." Jawabku asal.

"Ohh iya, emang bisnis mas Bams apa sih?" Tanya Surti.

"Ehhh anu, bisnis tambang dek, iya tambang diluar Kota." Balasku sekenanya.
"Tambang batu bara mas?"
Tanya itu tanpa ada henti untuk ingin tau.

"Ho oh dek batu bara, di luar kota."


Kata ku.
Dan entah sejak kapan perasaan gadis ini makin berani untuk lebih intim,
menggandeng tangan ketika berjalan memutari mall, sampai terdengar telephon masuk
dari dealer, kalau sore ini mobil akan diantar ke rumah. Lalu aku ajak Surti
pulang, sambil menunggu mobil pesanan ku sampai
Selain itu entah ini cinta atau bukan yang jelas Surti mulai jatuh dalam peluk ku,
mempercayai cerita yang aku buat. Bahkan dia juga terlihat sangat ingin hubungan
ini berlanjut ke tahap yang lebih serius.
Dengan duduk di teras rumah, tanpa aku suruh dia sudah membuatkan aku kopi, dan
duduk disebelah ku sambil berkata.

"Mas terimakasih ya?" Katanya dengan suara lembut.

"Terimakasih buat apa dek?"


Ucapku.
"Buat ini, sudah beliin Surti baju, perhiasan, juga baik sama aku, bikin aku jatuh
cinta." Pengakuannya pada ku.

"Ya sama-sama dek, mas lakuin itu semua karena cinta sama adek." Kataku.
Caraku menutupi tabiat yang sesungguhnya hanya menjadikan dia tempat pelarian juga
sebagai pengisi hari dalam hidup ku agar tidak sepi lagi.

****
Cinta tanpa rasa yang tulus itu kebohongan, mengorbankan perasaan juga
menyianyiakan waktu kehidupan dengan peranan sandiwara. Rasa yang sesungguhnya itu
rasa yang dihadirkan, dijaga, juga selalu didoakan.
Bulan malam ini masih belum sempurna untuk penuh, masih ada dua hari lagi untuk
memerah menjadi Purnama. Namun semua sudah aku persiapkan untuk ritual di malam
purnama nanti.
Gagak, arang, dupa semua sudah dipersiapkan di rumah dua sahabat.
Malam itu aku berpamitan dengan Surti kalau hendak keluar kota meninjau bisnis di
sana, tapi yang sebenarnya di rumah aku jadikan tempat rundingan untuk kami
bertiga, karena pak Karto malam itu tidak bisa hadir dikarenakan sakit demam.
"Kabeh wes beres kan kang, rong dino engkas aku budal."
(Semua sudah bereskan kang, dua hari lagi aku berangkat.)

"Wes aman mas bos, tinggal budal ae, kabeh wes cemepak komplit."
(Sudah aman mas bos, tinggal berangkat saja, semua sudah disediakan komplit.) jawab
kedua suruhan pak Karto.
"Yo kang, nek beres santai ae. Yo budal Karaoke."
(Ya kang, kalau sudah beres santai saja, ayo berangkat karaoke.)
Ajakku ke mereka berdua.
Kami bertiga dengan menaiki mobil baru yang harganya dua milyar, meluncur ke sebuah
tempat karaoke, memesan room VIP juga empat wanita bohay pemandu lagu. Tidak lupa
juga memesan beberapa makanan, minuman beralkohol agar semakin hot bernyanyi dan
bergoyang.
Lagu andalan yang pertama aku lantunkan adalah lagunya jamrud dengan judul Surti,
karena tanpa aku sadari bunga-bunga cinta mulai tumbuh meski hanya sebatas kuncup
saja.

"Mbak, kamu tolong goyang ngebor ya!"


Suruh ku kepada gadis yang sedari tadi hanya duduk merokok.
"Ehhh Iya mas, goyangnya disini apa didepan situ mas?" Dia bertanya.

"Ya didepan mosok ngebor sambil duduk."


Kata ku.

"Siap mas, tapi tips nya ditambah loh ya."


LC itu merayu.
"Ga usah kuatir mbak, bos ku ini juragan, duitnya buat sendiri kok." Cerocos
sahabat ku yang mulai mabuk.

"Ohh iya mas, siap ngebor saya."


Kata nya sambil maju ke depan.
Dengan menikmati minuman, goyangan iblis betina ditambah musik koplo, suasana
remang-remang ini membuat kami terlarut dalam pelukan maksiat.

Dengan tawa kepuasan menelan berbagai dosa, bisikan-bisikan Setan selalu kami
ikuti, ajang hura-hura yang berujung zina berjamaah.
Kelangsungan semua maksiat itu sampai subuh berlalu, hingga waktu bergulir dan
meninggalkan malam yang hinggar binggar akan nuansa dosa.

"Total semua berapa mbak?".


Tanya ku dengan nada mabuk.
"Karaoke, minum, cemilan, rokok, sama empat LC, totalnya delapan juta mas."
Jawab kasir itu.

"Ealah, cuma segitu habisnya, saya tambah sejuta lagi dibagi sama empat wanita
tadi. Dua ratus perorang." Ucap ku sambil menyodorkan uang sembilan juta.
"Mas ini baik baget, sering-sering kesini mas." Rayu petugas itu.

"Besok saya kesini kalau mbak nya yang nemenin goyang." Kataku sambil berlalu masuk
kedalam mobil.
Dengan keadaan teler kami bertiga pulang ke rumah, karena keadaan jalan juga masih
sepi, dibawah pengaruh minuman, ku lajukan mobil semaksimal mungkin.

Tiba-tiba.

"Prakkk"
bunyi benturan di bemper depan.
"Ehh opo mas? Numbur opo?"
(Ehh apa mas? Nabrak apa?)
Tanya teman yang masih mabuk.

"Ga eruh, jarke ae."


(Engga tau, biarkan saja.)
Balas ku.
Mobil tetap ku lajukan kencang sampai tiba di rumah, hanya melihat sekilas depan
mobil ringsek, dan hampir pecah.

Tanpa pedulikan semua itu aku langsung masuk ke dalam menuju kamar lalu bantingkan
badan ke kasur, hilangkan kepala yang sakit.

****
Adzan asar berkumadang dari kejauhan, sampai aku dibangunkan oleh salah satu
sahabatku.

"Mas, mas ono tamu."


(Mas,mas ada tamu.)
Katanya.

"Sopo kang?"
(Siapa kang?)
Aku bertanya sambil ngantuk.
Tanpa dijawab pertanyaan ku orang itu berlalu keluar kamar. Setelah aku lihat dua
petugas kepolisian sudah duduk diruang tamu, dengan pakaian dinasnya.

"Selamat sore pak." Sapa petugas kepolisian.


"Iya sore pak."
Aku menjawab dengan kepala masih sakit.

"Apa benar itu mobil bapak yang terparkir diluar?"


Polisi itu bertanya.

"Iya betul sekali mobil saya pak, ada apa ya?"


Tanya ku bingung.
"Pagi tadi siapa yang mengendarai mobil bapak ? Dengan menabrak ibu-ibu beserta
anak yang digendongnya?"
Kembali bapak petugas itu bertanya.

"Saya pak yang nyetir, tapi perasaan tidak nabrak orang."


Aku membela diri.
"Dua korban meninggal ditempat. Apa bapak mengendarai mobil dengan keadaan mabuk?"
Intrograsi mulai diluncurkan oleh dua polisi itu.

"Saya hanya minum sedikit pak, tidak mabuk, dan saya juga tidak tau jika ada yang
saya tabrak."
Masih berusaha berbohong untuk mencari aman.
"Kalau sampai tidak sadar itu nama nya mabuk pak, silahkan bapak juga kedua sahabat
bapak ikut saya ke kantor untuk mempertanggung jawabkan masalah ini."
Kata pak polisi.
Kami bertiga hanya mengikuti dan digelandang oleh petugas kepolisian menuju kantor.
Disana keluarga korban sudah menunggu dengan rundungan kesedihan, juga ada yang
terlihat sangat marah.
Polisi itu mempersilahkan kami duduk dan melanjutkan pertanyaan, surat pidana
terlihat dimeja, karena pihak keluarga memberi laporan tentang tabrak lari yang aku
lakukan.
Namun disini aku masih mencoba untuk berdamai, meminta tuntutan itu dibatalkan
dengan membayar uang ganti rugi kepihak korban, juga membayar denda untuk
kepolisian.
Namun disini suami dari korban tidak ingin damai, dia tetap menginginkan aku
dihukum setimpal karena telah menghilangkan nyawa istri juga anaknya yang masih
bayi.

Begitu juga dengan semua kerabatnya, seakan permohonan maaf dan membayar ganti rugi
itu tidak cukup untuk mereka.
Bahkan seandainya bisa, nyawa dibayar dengan nyawa. Teriak mereka.

****
Membiarkan diri terjerumus dalam kebahagiaan semu, sama halnya meminum kobaran api
neraka. Dimana akan ada pembalasan yang terbayar langsung dalam masa kehidupan,
atau tuai nanti dihari akhir. Sayangi diri.
Dunia semakin dikejar maka akan semakin menjauhkan dari akhirat.
Melihat jeruji besi didepan itu sangat mengerikan, karena baru kali ini
bersangkutan dengan hukum. Hidup yang semula berjalan lurus saja, kini berbeda,
harus menghilangkan nyawa manusia dan yang paling miris kenyataan dari perdamaian
kasus ini belum ada.
Wajah-wajah angker terlihat dari semua orang yang ada di situ, seakan Penghakiman
menunjuk kearah ku, sebagai seorang pembunuh.

Tudingan yang sangat menyudutkan ku dalam sebuah sesal dengan perlakuan diri yang
tidak mampu lagi mengendalikan hawa nafsu.
"Saya mau hukuman setimpal pak, tegakan hukum setegak-tegaknya." Ucap laki-laki
yang dirundung kesedihan itu.

"Iya pak, kami pihak kepolisian akan melakukan menurut perudang-undangan yang
berlaku." Jawab Pak polisi.
Disini kami bertiga hanya diam menunduk, merasa bersalah juga takut akan hukuman
yang sudah berada di depan mata. Mencari cara dengan berfikir untuk lepas dari
jeratan hukuman ini.

"Saya akan mengajukan banding pak, dengan mendatangkan pengacara." Ujar Ku.
"Iya silahkan pak, jadi kelanjutan pidana ini tetap berlangsung dengan bapak
membawa pengacara di persidangan ini, untuk itu bapak tetap wajib lapor setiap pagi
sampai sidang itu diputuskan."
Polisi itu memberi keterangan.
"Kenapa bisa begitu pak? Kenapa tidak langsung jebloskan saja pembunuh ini kedalam
penjara?"
Laki-laki itu keberatan.

"Ini sudah menjadi kewajiban kami untuk mengayomi, juga menjalankan sesuai
peraturan pak." Jawab nya tegas.
Dengan wajib lapor setiap pagi bukan berarti aku dengan kedua sahabat ku bebas
hukum, namun menunggu sampai pengadilan memutuskan. Tidak ada manusia di negara ini
yang bebas dari hukum yang berlaku.
Malam itu juga kami pulang dengan keresahan. Akhirnya aku menyuruh mereka berdua
untuk mencari pengacara terhebat di kota, meskipun harus membayar mahal, asal bebas
dari penjara.
Sambil menunggu kabar kedua sahabatku, aku hanya berdiam diri di rumah menelfon
Surti untuk sekedar bertanya kabar. Memulai obrolan dengan bumbu kebohongan untuk
sedikit menghibur gundah.

****
Keesokan harinya seorang pengacara datang ke rumah, memperkenalkan diri juga siap
membantu dipersidangan nanti.

"Jadi begitu ceritanya mbak."


Kataku pada lowyer wanita itu.
"Itu bisa saya atur nanti, dengan membayar uang suap ke jaksa juga kepolisian mas."
Balasnya meyakinkan.

"Atur saja mbak, asal saya terbebas dari hukum, soal uang jangan khawatir mbak."
Imbuh ku.
"Siap mas Bams, Akan saya segera kirim surat naik banding ke pengadilan pusat, nego
untuk kasus ini, nanti saya akan hubungi mas." Pungkasnya kemudian berpamitan.
Sebelum itu kami sudah saling berkenalan dan menyepakati harga untuk jasanya, uang
lain harus aku siapkan agar bisa menyuap abdi negara. Cara busuk kami sepakati
hanya untuk mencapai kebebasan. Sesungguhnya masih sangat miris dgn penegakan hukum
yg masih jauh dari kata keadilan.
"Kang gowo mrene Gagak karo perkakas, mbengi iki aku budal."
(Kang bawa kesini Gagak juga barang lain, malam ini aku berangkat.)
Kataku menyuruh anak buah pak Karto melalui telephon.
Karena malam ini bulan Purnama penuh, dan sudah menjadi perjanjian ku dengan
genderuwo penunggu gunung untuk mempersembahkan makanannya. Kesepakatan yang aku
suka karena mendatangkan harta kekayaan untuk ku.
Kembali bersemedi dikamar, menyiapkan tujuh sarung, merapal kembali mantra. Juga
tidak lupa ku buka lemari yang penuh akan tumpukan uang yang sangat banyak itu.
Senyum setan tersungging dalam wajah ku yang tak pernah merasakan kepuasan.

****
Singkatnya, Ritual malam ini kembali aku lakukan dengan cara yang sama, dupa dan
bunga sudah aku tanam juga sebar, perapian mulai aku buat namun saat mau melepaskan
semua baju, sebuah tangan keriput dengan kuku panjang hitam mencekik leher ku.
"Anak setan, beri aku sate itu!" Ucap seorang Nenek dengan tubuh besar yang
dipenuhi bisul.

"Ahhhhh.. ahhhhh.."
Aku berteriak meronta, mecoba melepaskan cekikan tangannya yang mulai mengangkat
tubuh ku. Lalu sosok itu melempar ku ketanah.
"Berikan aku makanan itu!!" Matanya melotot, lidahnya menjulur mengusap mukaku.

"Kamu yang setan, belum juga aku buat sate sudah main cekik saja." Jawabku dengan
nafas yang masih ngos-ngosan.
"Cepat buatkan aku, sebelum raja genderuwo itu datang!!" Nenek buruk rupa itu
berkata.

"Aku tidak menjual sate pada mu nenek busuk. Aku hanya menjual pada raja genderuwo
saja."
Kataku menantang nya.
Lalu sosok itu terbang dan hilang ditelan gelap malam. Selanjutnya aku hanya
melepaskan pakaian, lalu menyembelih Gagak dengan membaca mantra.
Membakar sate-sate itu dengan melumuri darah sebelumnya.
Tanah bergetar keras di sekeliling ku, angin berhembus kencang dengan beraroma kan
ubi bakar, pohon-pohon mulai bergerak, dedaunan berisik tersibak oleh kehadiran
raksasa hitam legam.

"Lekas berikan itu" Kata raja genderuwo.


"Aku hanya mau memberikan sate ini jika kamu mau memberikan ku kekayaan juga
kesaktian." Ucapku memberi persyaratan.

"Manusia tamak !! tidak cukup dengan apa yang sudah kau dapatkan dari ku!!" Geram
mulut besarnya dengan liur yang mulai deras menetes.
"Mau makanan dari ku maka kabulkan semua permintaan ku."
Kembali aku jelaskan kemauan ku.

"Kau akan dapatkan itu, lekas beri makanan itu pada ku"
Setelah aku memberikan makan, banjiran uang itu kembali terlihat sangat banyak.

Dengan sedikit berharap lalu aku menggandakan sarung-sarung yang ada ditangan ku.
Kini tidak hanya uang yang aku miliki tapi aku juga memiliki kesaktian dengan
mudah.
Membuat apa pun yang aku kehendaki akan terwujud. Tentu saja karena sosok genderuwo
lain yang diutus untuk masuk kedalam tubuh ku.
Secepat kilat aku bawa sarung-sarung yang banyak berisikan uang, memasukan kedalam
kamar, dan dengan bantuan genderuwo aku dengan cepat menata semua lembaran itu lalu
menyusun di lemari besar yang kini sudah tidak muat lagi dengan uang yang aku
miliki.

****
Semakin rakus hati, maka akan terkubur dengan harta benda haram, dengan itu semua
jiwa akan binasa tanpa bumi menerima jasadnya. Ingat kepedihan, kelak semua akan
datang menagih perbuatan diri.
Terdengar gedoran pintu depan, sementara jam masih menunjukan jam tiga dini hari,
suara teriakan dari dua sahabatku yang baru sampai.

"Mas, kulonuwon, mas, mas Bams."


(Mas, permisi, mas, mas Bams.)
Teriak salah satu dari dua orang yang sedang menunggu didepan pintu.
"Halah kadrun, yah mene nembe nungul."
(Alah kadrun, jam segini baru muncul.)
Gerutu Ku sambil membuka pintu.

"La aku nyusul mrono pean wes ga ono mas. Kok cepet men le muleh?"
( aku nyusul ke sana kamu sudah ga ada mas, kok cepat banget pulangnya)
Tanya dua sahabat ku.
"Kesuwen nunggu pean kang, uwes tak gowo dewe kang."
(Kelamaan nunggu kamu kang, sudah aku bawa sendiri kang.)
Jawabku.
Lalu ku ajak mereka melihat uang yang sudah rapi tertata didalam lemari besar, juga
dilantai yang sudah tersusun rapi. Mereka hanya terbelalak menyaksikan itu, ada
tanya namun tidak terucap oleh mereka.
Hanya tertegun heran menyaksikan hasil yang sudah beres tanpa bantuan mereka
berdua.
Aku hanya menyuruh mereka ambil tiga puluh juta untuk mereka berdua juga pak Karto,
lalu aku masukan uang penuh satu tas untuk persiapan menyuap jaksa dan kepolisian.
"Kang mengko esuk tulung gowo mobil ku menyang bengkel yo, aku ono perlu karo
pengacara."
(Kang nanti pagi tolong bawain mobilku ke bengkel ya, aku nanti ada perlu sama
pengacara.)
Kataku pada mereka berdua yang masih asik menghitung uang.
"Siap bos"
Jawabnya.
Kemudian kami bertiga ngudut, juga tidak lupa menikmati kopi hitam, sambil aku
ceritakan kejadian tadi sewaktu mejalani ritual. Sementara disudut ruang itu
berdiri sesosok genderuwo yang menjadi pelindung. Astral yang aku minta untuk
wujudkan kemauan diri menjadi sakti.
Lantunan sayup terdengar adzan subuh, yang disambung dengan mereka berdua
berpamitan pulang sambil membawa mobil ku, aku kemudian masuk kamar dan tidur.
Mengabaikan panggilan ibadah, merebahkan badan yang sudah sangat lelah.
Dalam tidur aku bermimpi melihat sosok wanita yang terduduk menatapku dengan
pandangan sedih, berlinang air mata. Isak tangisnya sangat terlihat tersendu-sendu
menahan duka kala melihat ku. Wanita dalam mimpiku adalah almarhumah ibu ku.

"Mbok?" Sapa ku.


Namun sosok itu hanya diam menangis tanpa bergeming sedikit pun. Saat tangan ingin
meraihnya namun wanita itu semakin menjauh mundur.
Sekali lagi aku panggil ibu ku.

"Simbok." Aku berteriak mengulurkan tangan.


"Kamu sudah tersesat anak ku, kamu telah salah memilih jalan kehidupan." Kata
simbok.
Lalu tiba-tiba sosok genderuwo besar itu datang, menjambak rambut ibu ku,
menyeretnya dengan ganas, dengan tawa yang menyeramkan. Tubuh tua yang meronta
berteriak meminta tolong, sedangkan aku hanya bisa diam melihat tanpa berbuat apa-
apa.
Sampai keduanya menghilang, yang terdengar hanya jeritan ibu memanggil nama ku.

"Bambangggggg...
Pekikan nama itu sampai membangunkan ku. Terjaga dengan rasa terkejut, kini
termenung menyaksikan kengerian mimpi yang baru saja terlintas. Sungguh gambaran
yang membuatku bergidik ngeri, juga merinding.
Kemana raja genderuwo itu menyeret simbok ku? Hah, mungkin hanya bunga tidur saja,
ku tepiskan prasangka yang mengganjal di hati. Sebuah ucapan untuk mengesampingkan
tanya didalam benak ini.

****
Pagi itu aku yang janjian dengan mbak Tuti pengacara menuju ke kantor polisi untuk
wajib lapor juga menjelaskan tujuan maksud kami. Dengan kesepakatan akhirnya aku
membayar ke pihak kepolisian sebesar seratus juta untuk memudahkan pengurusan bebas
dari jeratan hukum.
Setelah itu sebelum siang aku juga diajak menuju rumah jaksa dengan maksud sama-
penyuapan. Semua beres terkendali dengan membayarkan uang seratus lima puluh juta.
Kami berdua pun melanjutkan obrolan disebuah cafe untuk menyelesaikan transaksi dgn
pengacara itu. Aku memberikan uang dua ratus juta untuk jasa yg ia lakukan utk
membantu ku.

"Bereskan mas, jgn kuatir kalau masalah seperti ini biar saya atasi asal pelicinnya
sesuai." Katanya.
"Iya mbak, terimakasih banyak, nanti kalau benar-benar vonis bebas sudah disahkan
pengadilan, saya tambahkan bonus buat mbak Tuti." Berharap akan lancar.

"Waduh terimakasih loh mas Bams, malah repot gitu." Ucapnya dengan tatapan penuh
arti.
"Jangan sungkan mbak, jangan kuatir soal uang." Kataku sedikit menyombongkan diri.

Obrolan ke sana kemari pun berakhir karena mbak pengacara ada kesibukan lain, lalu
dia berpamitan dengan membawa segepok uang yang aku berikan.
Sebuah senyum sumringah terpancar dari wajah manusia yang sama memiliki hati iblis.
Aku yang masih sendirian di cafe, tanpa sengaja melihat wanita yang sedang asik
bermesraan disudut ruangan dengan seorang laki-laki.

"Surti." Kataku lirih.


Pelan aku melangkah untuk meyakinkan, mendekati dua manusia yang sedang berciuman
itu.

"Wow hebat kamu ya, dibelakang ku begini rupanya." Bentak ku, mengagetkan mereka
berdua.

"Mas Bams." Ucap Surti terkejut.


"Kenapa kaget begitu? Heran aku berdiri disini?" Nada ku emosi.

"Aku bisa jelaskan mas, sabar." Kembali Surti berucap.


Namun penjelasan itu sama sekali tanpa arti untuk ku, malah semakin jijik
menyaksikan nya. Ditambah laki-laki disampingnya yang hanya diam tertunduk. Lalu
aku pergi tanpa berkata apa pun lagi, meninggalkan perselingkuhan itu.
Terang, luka itu ada meski cintaku hanya main-main dengan nya, saat hampir mekar
tunas cinta itu kini harus luruh dan mati.

****
Kematian, bukan berarti usai bakti seorang anak kepada orang tua nya, hanya air
mata doa lah yang mampu menyemayamkan dan menghantarkan orang tua yang telah tiada
disisi kita.
Jangan pupus kan harapan kedua orang tua dengan meratap duka di alam sana,
memandang jalan hidup buah hatinya yang jauh akan ajaran beliau semasa hidup.
Ritual demi ritual sudah terjadi, semakin kaya juga semakin banyak kemewahan yang
sudah terbeli. Melewati masa persidangan dengan mulus, terlepas dari jeratan hukum;
walau ada banyak manusia yang tersakiti oleh ketidakadilan ini.
Berbagai kekuatan ganjil juga dengan sangat mudah aku lakukan dengan bantuan
lelembut.

Namun hidup merasa belum ada keberuntungan karena selalu gagalnya dalam urusan
percintaan.
Mimpi yang datang setiap malam tentang siksaan orang tua ku yang dilakukan oleh
raja genderuwo itu, aku abaikan bagai bunga tidur.
Hari ini setelah kembali ritual keempat, dua kali Purnama, membuat kamar kini penuh
dengan uang yang bertumpuk. Hingga ada keinginan untuk melihat kembali kampung
halaman, menunjukan kalau aku sekarang bukan aku yang dahulu, susah dan jadi
gunjingan warga.
Meski dikampung sudah tidak memiliki apa pun, hanya sepetak bekas gubuk yang
terbakar, juga pekarangan kebun kecil.
Dengan mengajak dua sahabat ku, siang ini melihat kembali tanah kelahiran, yang
sudah hampir satu tahun setengah aku tinggalkan.

****
Kampung masih terlihat sama tanpa banyak perubahan dari semenjak waktu itu. Bahkan
banyak wajah-wajah anak kecil berlarian yang tidak aku kenali lagi, entah anak
siapa mereka.
Terbayang dimana waktu menginjak usia belia seperti mereka; hidup ku sudah harus
bergelut dengan kesusahan juga kemiskinan.
"Iki dusun'e pean mas?"
(Ini desamu mas?)
Tanya sahabatku yang sedang menyetir.

"Hooh kang, blas ra ono rubah'e, panggah pancet koyo kolo semono."
(Iya kang, sama sekali tidak ada perubahan, tetap sama saja seperti waktu dulu.)
Balasku.
"La umahe pean sebelah ngendi mas?"
(Terus rumah kamu sebelah mana mas?)
Kembali pertanyaan dari salah satu sahabatku.

"Wes ga ono omah neng kene kang, ludes kobongan kok."


(Sudah engga ada rumah disini kang, habis terbakar kok.)
Tanpa sautan tanya lagi, hanya diam dan kembali hening suasana kami, cuma musik
dangdut koplo melantun dari sound mobil. Tak lama kami sudah sampai, tanah kosong
dengan sisa kayu terbakar yang mulai ditumbuhi semak belukar.
"Mandek kang, iki biyen omah ku."
(Berhenti kang, ini dulu rumah ku.)
Suruh ku, lalu mobil ia parkirkan.

Kami bertiga turun mobil, dgn disaksikan beberapa tetangga ku. Dgn agak sedikit
heran mereka menatap kearah ku, seakan tak percaya jika aku datang dgn perubahan
saat ini.
Penglihatan ini hanya mampu menerawang kosong ke hamparan tanah dihadapan sana.
jika dibangun rumah lagi, cukup luas tersambung dengan perkebunan itu. Malah akan
melebihi rumah-rumah penduduk lain nya. Fikirku yang saat ini melintas secara tiba-
tiba.
Terbayang sudah untuk membangun rumah mewah disini, walau nanti hanya terbiarkan
kosong, setidaknya agar mereka semua tau dan tidak lagi memandangku sebagai manusia
yang hidup dari belas kasihan tetangga.
Akan ku balik kehidupan yang dahulu, derajat ku lebih tinggi dari siapa pun
dikampung ini.

"Weh mas Bambang." Sapa salah seorang yang aku kenal.

"Kang Gembul, piye kabare?"


(Kang Gembul, bagaimana kabarnya?)
Aku bertanya basa-basi.
"Apik mas, wes suwe ora tilik mrene loh pean, bali wes bedo saiki."
(Baik mas, sudah lama tidak melihat kesini loh kamu mas, pulang sekarang sudah
lain.)
Uncapnya memuji.
"Podo wae kang, panggah aku sing biyen. Mung wes ora susah maneh."
(Sama saja kang, tetap aku yang dahulu. Cuma sudah tidak susah lagi.)
Kesombongan ku mulai keluar.
Lalu terlihat wanita itu, dengan daster warna biru kedodoran, perutnya besar.
Nurhayati yang sedang hamil, mukanya tetap ayu meski terlihat pucat. Ia hanya
memadang dari depan rumahnya, sambil memegangi perut. Dengan sama beradu pandang
terlihat senyumnya menyambut.
"Hah, kamu dek Nur, sudah milik orang, kini hamil." Batinku.

Dengan mendekatinya untuk melihat lebih dekat, mengurai rindu, sambil berbasa-basi
untuk bertamu.

"Dek Nur, bapak Ada?"


Kataku sambil menjabat tangan nya.
"Wonten mas, monggo pinarak."
(Ada mas, silahkan masuk.)
Sambutnya masih terlihat santun.

Kami bertiga pun masuk, dan disambut oleh pak Sarwidi, ayah dari kekasih hati yang
telah disunting orang lain.
"Wealah kok ra ono angin, ora udan, sampean tilik mrene, kepriye kabar.e?"
(Waduh kok tidak ada angin, tidak hujan, kamu melihat kembali, bagai mana
kabarnya?)
Sambutan hangat dari pak Sarwidi.
"Kabar sae pak Sar, njih niki mumpung liburan."
(Kabar baik pak Sar, iya ini mumpung libur.)

"Sampean kerjo neng ngendi mas Bambang?"


(Kamu kerja dimana mas Bambang?) Tanya Pak Sarwidi
"Kulo sampun gadah bisnis pak, mboten glidik tumut tiang."
(Saya sudah ada bisnis pak, tidak nguli ikut orang.)
Ujarku menjelaskan.

"Ealah, bisnis opo slirane?"


(Waduh, bisnis apa kamu?)
Ucapnya bertanya.
"Batu bara, restoran, hotel."
Aku berbohong.

"Masa'allah, Wes dadi wong sugih slirane."


(Masa Allah, sudah jadi orang kaya kamu.)
Puji Pak Sarwidi.
Memang berbeda ketika manusia melihat perubahan ini, yang sangat cepat menjadi
orang bergaya lain, terpaan pujian juga sanjungan itu menghanyutkan. Hingga semakin
menimbulkan rasa sombong. Memandang mereka semua tidak ada apa-apa nya dibandingkan
aku saat ini.
"Dadi ngeten pak, kulo bade mbangun griyo wonten mriku maleh, tulung mangkeh pak
Sar mang atur. Kulo gaji pak Sarwidi dugi griyo kulo rampung."
( begini pak, saya mau bagun rumah disitu lagi, tolong nanti pak Sar atur semuanya.
Saya gaji pak Sarwidi sampai rumah saya selesai)
"Ohh yo mas, ojo kuatir nek kui, tak golekke tukang, sak matrial. La kok digaji
barang loh!"
(Ohh iya mas, jangan hawatir kalau itu, nanti aku carikan tukang, juga bahannya,
kok digaji segala loh!)
Seru Pak Sarwidi.
"Pun tenang mawon, sampean atur, total pinten, kulo gaji njenengan limang juta sak
wulan nipun."
(Sudah tenang saja, kamu atur saja, total berapa, saya gaji kamu lima juta
perbulannya.)
Jelas ku memberi kesepakatan.
Dengan rundingan yang panjang, lalu aku berikan uang muka untuk dimulai nya
pembuatan rumah sebanyak empat ratus juta. Dengan itu sudah dimulai kesepakatan
kami. Lalu malam itu juga aku pulang, dengan meneruskan kabar melalu telphone saja.
Sesudah kembali ke rumah, dikamar yang biasa dingin karena AC tetap terasa panas
tubuh ini, haus juga lapar tidak tertahan lagi. Dengan minum air dingin, juga makan
banyak, tetap tidak membuat ku puas dan kenyang. Semua isi dapur hampir aku lahap
tanpa sisa.
Sosok yang ada dalam diriku keluar dan meminta darah Gagak.

****
Manusia tidak akan pernah tau apa yang di mau astral dari balik kegelapan. Maka
jangan pernah bersinggungan atau memperdulikannya. Buang rasa penasaran atau ingin
tau tentang mereka, karena tipu dayanya hanya menyeret diri dalam kesesatan.
Sosok setan itu menatap tajam dengan mata merah menyala menatap lekat kearah ku,
liurnya menetes dari sela taring panjang disudut bibir hitamnya. Berat suaranya
meminta sebuah persembahan, keinginannya untuk meminum darah gagak.
"berikan aku darah gagak, maka kau akan ku buat semakin sakti." Pintanya.
"Aku tidak akan memberikannya pada mu, aku bukan budak dibawah kendali mu."
Aku menantang genderuwo itu.
Tanpa ada balasan kata sedikitpun tiba-tiba sosok itu lenyap menghilang. Kembali
terasa normal suhu tubuh, hawa panas telah digantikan dengan dinginnya kamar ini.
Hanya nafas lega yg aku helakan dengan berlalu perginya makhluk tadi. Tanpa aku tau
kemana berlalunya.
"Makhluk kampret, bisa-bisanya berbuat seperti ini." Gerutu ku, ngedumel sambil
keluar kamar.

Menuju dapur ingin rasanya membuat kopi untuk hilangkan keruwetan dikepala ini,
melintas sekelebat bayangan Hitam dengan meninggalkan bau yang sangat busuk.
Bau bangkai yang pekat menusuk hidung.
"Apa lagi ini?" Batin ku

Saketika bau itu menghilang, hanya lampu dapur yang mulai berkedip dengan sendiri
nya.

Terlihat dari luar jendela sebuah wajah sangat pucat mengintip kearah ku. Wajah
memucat dengan mata hitam, mulut terbuka lebar. Itu wajah almarhumah ibu.
Aku hanya mengusap mata untuk meyakinkan apa yang aku lihat tidak salah, namun saat
kembali melihat keluar jendela sosok itu sudah menghilang. Kedipan lampu juga sudah
normal menyala kembali.
Mungkin aku terlalu lelah hingga terbawa halusinasi yang seperti ini. Secangkir
kopi panas aku buat agar sedikit meredam kalutnya pikiran ku.

****
Dalam tidur malam ini yang gelisah, membawa sebuah mimpi sangat aneh, aku memadu
kasih dengan Surti. Hingga pagi ini aku dibuat sangat merindukan wanita itu,
memikirkannya, mengusung keinginan baru.
Dan lupa akan kejadian penghianatannya. Ingin rasanya aku menghubunginya, bertemu,
juga memadu kasih dengan Surti.
Tanpa berfikir panjang langsung aku mengambil tas selempang, kunci mobil, lalu
pergi ke rumah nya.

Dengan terus kepikiran wajah ayu nya sepanjang jalan membuat aku tak kuasa menahan
kerinduan yang sangat berat menjadi sebuah beban perasaan.
Setibanya di depan rumah. Terlihat pintu rumah tertutup, pagar juga terkunci.
Kemana perginya wanita ini? Bahkan aku sampai rela menunggu selama dua jam lebih,
hingga dirinya datang dengan diantar oleh ojek berjaket hijau itu.
"Mas, kok disini?"
Lembut suara nya terdengar.

"Iya sengaja nunggu kamu dek, kamu dari mana?"

"Dari pasar mas, ayo masuk."


Katanya dengan tatapan mata yang sedikit menggoda ku.
Tanpa berfikir curiga, aku seperti kerbau yang mengekori langkah majikannya. Jika
di amati, kenapa dia tak membawa barang belanjaan kalau beralasan dari pasar. Ah
sudahlah bodo amat.

"Duduk mas."
Suruhnya dengan sunggingan senyum yang terlihat sangat manis.
Semua yang ditunjuknya aku ikuti tanpa menjawab sepatah kata pun. Ini cinta atau
pelet! Semua terbalik seratus delapan puluh derajat dalam hidup ku, awal yg sedikit
pun tidak perduli dengan nya, berubah menjadi seperti ini.
Namun semua rasa itu belum aku sadari terlampau jauh.
"Mas kok melamun begitu."
katanya sambil duduk disebalah ku.

"Engga dek, kok aneh ya."


Kata ku.

"Aneh kenapa mas?"


Kembali sebuah tanya ia lemparkan.
"Ehhh enggak dek, ga papa."
Jawabku dengan sedikit gugup.

Tangannya mulai menyentuh tangan ku, dan kepalanya menyender manja ke pundak ku,
membuatku semakin tak kuasa menahan rasa dalam diri. Berdesir halus darah ini,
menjalar menggumpal menjadi bisikan nafsu dalam pikiran.
Tanpa dituntun langsung ku belai kedua pipinya mengarahkan tatapan kedalam matanya.
Dengus nafas kami beradu, menyatu, hingga (sensor).
Tersadar di kamar dengan pelukan gadis yang masih tertidur di samping, dengan satu
selimut berdua. Astaga ini benar terjadi, akan semakin susah kedepannya terlepas
dari jerat wanita ini.
Dengan terus menatap kearah wajah nya, mata nya pelan terbuka dan terbangun,
sunggingan senyum manis semakin memikat ku.

****
Handphone ku berdering ada panggilan masuk dari nomor tanpa nama, entah siapa, yang
jelas panggilan tak terjawab sudah dua puluh kali. Sepertinya memang sangat
penting, sampai berulang menghubungi.
"Hallo, ya siapa ini."
Aku mencoba telphone balik .

"Hah? Meninggal?"
Jawab ku, yang ikut mengagetkan Surti disebelah.

"Oke. aku kesana sekarang."


Kata ku sambil menutup telphone.
"Ada apa mas?"
Surti bertanya.

"Pak Karto meninggal, buruan pakai bajumu kita kerumahnya."


Kataku, sambil bergegas memakai pakaian.
Kedatangan ku langsung disambut oleh dua sahabat ku yg tengah berdiri dirumah duka
dgn para pelayat lainnya. Kerumunan warga dihalaman rumah, juga terdengar orang
mengaji didalam, dgn mayat yg sudah dikafani membujur ditengah dgn di tutup
selendang berwarna coklat bermotif batik.
Saat ingin masuk melihat jasad terakhir pak Karto, aku mendengar lantunan bacaan
tahlil membuat badan terasa panas terbakar. Lalu aku urungkan itu, menjauh dari
rumah duka dengan memanggil kedua anak buah pak Karto untuk menanyakan kejelasan
kematiannya.
"Kapan ninggal'e kang?"
(Kapan meninggalnya kang?)
Tanya ku.

"Pak Karto ninggal ora wajar mas."


(Pak Karto meninggal tidak sewajarnya mas.) balasnya.
"Loh maksude ora wajar piye kang?"
(Loh maksudnya tidak wajar bagaimana kang?) Tanyaku terkejut.

"Awak'e besem kabeh mas, seko udel' e terus metu banyu sing ambune badek ora
karuan".
(Tubuhnya lebam semua mas, dari pusarnya terus keluar air yang baunya sangat
busuk.)
Imbuhnya menjelaskan.

"Lah terus?"
Masih dengan tanya ku.
"Mata'ne melek melalak ora iso merem, cangkem'e mangap ora iso mingkem."
(Matanya terbuka melotot tidak bisa dipejamkan, mulutnya menganga tidak bisa
ditutup.)
Ujarnya menceritakan.
Mendengar penjelasan itu sudah membuat ku merinding, kematian ini memang sangat
tidak wajar, tidak semestinya dengan kondisi mayat yang seperti itu. Entah apa yang
terjadi. Apakah ada sangkutan dengan ritual kami, atau lelembut!
Cuma menurut cerita pak Karto, semua ini tanpa menumbalkan siapa pun, tanpa ada nya
korban atau wadal. Pesugihan ini lain dengan perjanjian pesugihan penumbalan pada
umum nya.

****
Amankah bersekutu dengan lelembut?
Semua itu omong kosong.
Kerenda yang diusung warga menuju pemakaman, menghantarkan peristirahatan akhir pak
Karto. Duka hanya terlihat dari wajah sanak saudara saja, karena almarhum semasa
hidup, pernah menikah namun bercerai tanpa memiliki anak.
Penyemayaman jasad yang dibungkus pocong itu mulai diturunkan kedalam liang lahat.
Pelan tapi pasti. Tubuh kaku itu diletakan dan ditutup oleh lembaran papan.
Saat dikumandangkan adzan, secara tiba-tiba angin meniup kencang, seakan menjadi
sautan alam jika kematian ini memang tidak sewajarnya.
Setelah usai, tanah mulai menimbunnya, gundukan cungkup masih basah bertaburkan
bunga. Terpasak papan nisan kayu yang tertulis nama mendiang.
Lantunan doa terakhir untuk Alm Pak Karto, setelahnya satu persatu pelayat
meninggalkan pemakaman ini.
Saat hendak menyusul yang lain untuk pulang, dari kejauhan terlihat seorang wanita
berdiri menyaksikan pemakaman ini. Berpakaian serba hitam, juga kerudung hitam.
Siapa wanita itu? Apa itu mantan istri pak Karto?
Semua itu aku abaikan, dan bergegas pulang.
"Mas, kita masih mau singgah di rumah duka apa langsung pulang?"
Surti bertanya pada ku.

"Aku antar kamu pulang, habis itu aku masih ada urusan dengan yang lain."
Aku memberi alasan.
"Iya mas."
Jawabnya sambil anggukan kepala.

Hanya menyalami kerabat duka, juga memberi tahukan dua sahabat ku, kalau mau
mengantar Surti pulang, sehabis itu menyuruh mereka berdua menunggu di rumah untuk
membahas kejadian meninggalnya ketua ini.
Sepanjang perjalanan aku lebih banyak terdiam, pertanyaan dari wanita disebelah pun
hanya terjawab seperlunya. Masih memikirkan apa yang terjadi dengan semua ini.

****
Terlihat dari kejauhan dua sahabatku sudah duduk menunggu didepan teras rumah,
langsung ku masukan mobil dan menyalami mereka berdua.
Raut muka yang satu tegang, yang satu lagi kebingungan. Bawaan peristiwa mencekam
ini.
"Ayo ngobrol ning njero ae kang."
(Ayo bicara di dalam saja kang.)
Ajak ku kemereka.
Dengan diikuti keduanya, kami akhirnya duduk di sofa ruang tamu, membuka obrolan
perihal ini. Namun mereka masih saling diam tanpa membuka obrolan, sampai akhirnya
aku bertanya.
"Kang, cerito ninggal'e pak Karto, sopo sing ngonangi?"
(Kang, cerita meninggalnya pak Karto, siapa yang melihat duluan?)
Aku bertanya, membuka omongan.
"Sing ngonangi, adine pak Karto mas, bu Yayuk."
(Yang melihat, adiknya pak Karto mas, bu Yayuk.)
Jawabnya.

"Pas aku ngeterno duit wingi pak Karto ugo wes ra iso obah, koyoke keno santet
mas."
(Pas aku mengantarkan uang kemarin pak Karto juga sudah tidak bergerak,
kelihatannya kena santet mas.)
Imbuh Salah satu anak buah pak Karto.

"Santet?"
Kata ku terkejut.
"Iyo mas, jare keluargane keno santet."
(Iya mas, kata keluarganya kena santet.)
Kembali ia menjawab.
Aku hanya merenung memikirkan itu, siapa yang sampai menyantet ketua kami bertiga.
Apa pak Karto punya musuh selama ini? Atau memang ada yang tidak suka dengan
almarhum.
Semua itu belum gamblang dalam pikiran ku.
"Ngene wae, sampean keloron golek info, sopo sing nyantet pak Karto, lek wes ono
ndang kabarono aku."
(Begini saja, kalian berdua cari info, siapa yang menyantet pak Karto, kalau sudah
ada cepat kabari aku.)
Suruhku pada mereka.
"Yo mas, tak budal sek."
(Ya mas, kami berangkat dulu.)
Pamit dua orang laki-laki ini.

Setelah mereka berdua pergi, sore ini aku pun keluar rumah. Sengaja mencari tau
wanita berkerudung hitam di pemakaman tadi.
Aku sengaja berjalan sendirian, diam-diam menuju kuburan, dengan harapan bisa
berjumpa dengan sosok misterius itu.
Namun setelah mencarinya dengan berkeliling tetap saja tidak ketemu, bahkan sampai
hampir magrib pun. Di kuburan dengan harapan wanita itu kembali kesini, tapi semua
hasilnya nihil. Sampai aku putuskan untuk pulang ke rumah.

****
Sehabis video call dengan Surti berjam-jam lamanya aku mulai lelah. Kabar dari dua
orang itu pun sampai sekarang blm terdengar. Namun aku teringat sama pak Sarwidi yg
di kampung, entah sudah mulai berjalan atau belum pengerjaan rumah di sana, aku
juga tidak tau.
Ingin bertanya tapi malas.

Terdengar suara pintu di ketuk.


Aku kira suruhan ku sudah datang mau memberikan kabar, namun suara motornya tidak
terdengar, suara pagar depan juga tidak terdengar di buka.

"Siapa?"
Tanya ku.
Namun sama sekali tidak ada jawaban.
Tak lama, kembali pintu diketuk, kali ini agak keras terdengar.

"Sabar."
Kata ku, sambil berjalan membuka pintu.
Saat pintu aku buka sama sekali tidak ada orang, bahkan mencari di samping rumah,
juga garasi tidak menemukan siapa pun. Apa aku salah dengar!
Mengabaikannya, lalu kembali masuk. Baru saja pintu ditutup sudah digedor lagi.

"Kampret, kang ojo guyon ta."


Kata ku, kesal.
Pintu aku buka, kini berdiri sosok pocong dengan muka membiru bengkak. Bola matanya
menggantung keluar, darah hitam membalur hampir kesemua bagian kafan itu. Sosok
pocongnya pak Karto. Terkejut setengah mati, sampai lutut terasa lemas, nafas juga
tersenggal sesak.
"ikkkkkkkk..."
Suara itu keluar dari mulutnya, seakan tertahan dan berat.

"Bajigur."
Teriak ku sambil membanting pintu agar tertutup.
Cepat-cepat aku kunci pintu, dengan tangan yang gemetaran. Namun gedoran pintu
terus terdengar. Sampai aku berlari masuk kamar karena takut. Secepat kilat aku
melangkah meninggalkan pocong itu, lalu.

"Brukkk"
Yah aku bertabrakan dengan pocong pak Karto yang sudah berdiri pas dipintu kamar
ku. Terpelanting, terjatuh aku, sampai kepala mengatuk dinding.
Dengan posisi aku yang masih terduduk, kepala bagian belakang terasa sakit. Pocong
itu melompat mendekat, mukanya tepat dihadapan ku, dengan biji mata yang menempel
di wajah ku. Masih seperti tadi suaranya keluar dari mulutnya.

"iikkkkkkkk... "
Sampai disini dulu, ngantuk saya 😁🙏

Biar terngiang-ngiang suaranya


"iiikkkkk... "
"iikkkkkkkk.. "
"Iikkkkkkkk.. "
Sontak aku mundur menggeser, namun kini sudah terpentok oleh dinding. Mau segera
bangun dan berlari, tiba-tiba pocong itu jatuh menimpa ku.
Ku dorong sosok ini namun rasanya sangat berat, sampai wajahnya menoleh ke arah ku
dengan sangat cepat.
"Sontoloyo, wes mati iseh wae ganggu uwong pak."
(Sontoloyo, sudah mati masih saja ganggu orang pak.)
Kata ku, yang gemetaran ketakutan.
"ikkkkkkkk"
Kembali keluar suara itu.

Mulutnya semakin membuka, semakin mengeluarkan darah hitam pekat yang berceceran
ditubuh ku juga di lantai.
Saat aku amati kedalam mulutnya, terlihat seperti ada cahaya warna kuning di
pangkal kerongkongannya. Sementara suara juga darah menjijikan itu terus keluar.
Tanpa berfikir panjang, kumasukan tangan ku kedalam mulut pocong ini, menyumbat
darah busuk nya, dengan cepat aku korek tenggorokannya, mencabut benda itu.
Sebuah paku besar dan panjang, seperti pasak berkarat sudah digenggaman tangan ku.
Setelah tercabutnya benda itu, pocong pak Karto tadi sudah hilang. Bahkan darah
yang berceceran pun ikut menghilang.

"Pak, pak, pak Karto."


Aku memangilnya.
Tetapi sosok itu tidak muncul lagi.
Apa maksudnya ini, apa paku besar ini yang menyebabkan pak Karto mati, dengan cara
dibunuh dengan ilmu tenung.

****
Semua rahasia akan ada titik terang dalam jawaban misterinya, dengan sengaja mau
pun tidak Tuhan memiliki seribu cara membuka tabir dalam perihal kegelapan.
Terduduk dengan menahan rasa kengerian yang belum hilang, sosok mayat mengerikan
itu lenyap tanpa jejak, hanya kini digenggaman tangan ku sudah ada sebuah paku
sebesar pasak, ulirannya berbungkus karat.
Dengan mengamati benda yang tercabut dari pangkal tenggorokan pocong tadi, mengira
sendiri bahwa karena benda ini yang membuat pak Karto mati.
Ku letakan benda itu di lemari, belum tau mau diapakan paku itu. kembali perasaan
aneh menyelimuti diri. Bulu kuduk kembali meremang, terlintas wajah pocong tadi,
apa akan datang kembali.
"Datang lah pak Karto, aku harus tau jawaban ini!"
Teriak ku memanggil.
Ruangan tiba-tiba bergetar hebat, disusul dgn beberapa benda yg bergerak saling
berbenturan.

Dari luar terlihat sangat terang, seperti ada cahaya menyorot kedalam rumah.
Semakin terang hingga menyilaukan mata, hingga terdengar "DUAARRR" suara ledakan
menghantam pintu rumah.
"Apa ini?"
Tanya ku heran.

Ku buka kunci pintu, lalu membuka pelan-pelan, melangkah keluar yang disusul
meredupnya cahaya tadi. Namun tak ada apa pun.
Tak berselang lama, aku masih di teras rumah, kedua anak buah pak Karto itu datang
dengan berboncengan.

"Mas, kok tumben ning njobo?"


(Mas, kok tumben di luar?)
Tanya nya.
"Ora kang, emang golek angin wae."
(Tidak kang, memang cari angin saja.)
Jawab ku berbohong.

Lalu dilanjutkan kami bertiga duduk di teras rumah, sambil salah seorang dari
mereka menyampaikan; kalau pak Karto memang di santet.
Sopo sing nyantet kang?"
(Siapa yang menyantet kang?)
Aku bertanya penasaran.

"Nek menurut'e bu yayuk, tonggone sing ga seneng karo pak Karto."


(Kalau menurutnya bu yayuk, tetangga yang tidak suka dengan pak Karto.)
Imbuhnya.
"Ora seneng mergo masalah opo?"
(Engga suka karena masalah apa?)

"Tonggon'e iku bekas murid'e pak Karto, sing nglakoni ritual Gagak, podo koyo
sampean mas. Nanging wong iku gagal, anak bojo'ne podo mati ngenes."
(Tetangga itu bekas muridnya pak Karto, yang melakukan ritual Gagak, Sama seperti
kamu mas. Tapi orang itu gagal, anak istrinya semua mati mengenaskan.)
Mendengar pernyataan itu, sejenak aku hanya terdiam sembari berfikir. Namun
pandangan tiba-tiba berkunang-kunang, dada terasa panas, sampai menetes darah dari
hidung ku.

Meraka berdua hanya melihat dengan heran juga kaget.


"Loh mas, keneng opo?"
(Loh mas, kena apa?)
Tanya mereka.

"Ora popo kang, gawekno aku kopi tulung."


(Engga papa kang, buatkan aku kopi tolong.)
Salah satu dari mereka pun masuk membuat kopi, aku masih duduk memegangi dada yg
serasa sakit juga panas secara tiba-tiba. Entah kenapa ini.

Sedikit aku melirik ke laki-laki disebelah ku, dia menatap ku tajam dgn sunggingan
senyum sinis ke arah ku.
Namun aku hanya diam dan pura-pura tidak melihatnya.

Dari awal memang aku sudah curiga dengan mereka berdua perihal kematian tidak
wajarnya pak Karto, kini aku pun diserang dengan tenung yang sama. Tapi tujuan
mereka apa sampai mau berbuat seperti ini.

****
Jangan lupa mampir kemari ya 👇 GRUP PENA HITAM @IAlzikra
@NesiaFitri

Facebook Groups
Kisah Misteri Pena Hitam has 6,646 members. Wadah penulis dan pembaca
https://www.facebook.com/groups/160204202526344/permalink/191741086039322/
Dua hari terbaring lemah, setiap batuk mengeluarkan darah, badan serasa semua
panas. Sementara dua orang itu pun sibuk mengurus ku, membuat kecurigaan ini mulai
luntur.

Apa maksud mereka berdua, seandainya mau berkhianat saat seperti ini tentu dengan
mudahnya untuk membunuh ku.
Saat aku memejamkan mata, suara ghaib membisik.

"Bangun, bakar lah bungkusan kain yang tertanam di halaman rumah mu"

Suara itu seperti memberi tahu, juga menunjukan sesuatu. Itu jelas suara genderuwo
yang menjadi satu dengan raga ku.
Aku mencoba berdiri, berjalan dengn pelan. Keluar lalu mencari barang yang dimaksud
tadi. Dengan dibantu mereka berdua ditemukan sebuah galian tanah di taman depan,
kami membongkarnya. Sebuah kain kafan dengan berbagai macam benda; remukan tulang,
paku, beling, ijuk, juga bunga.
"Iki santet."
(Ini santet.)
Katanya, terkejut.

"Tenang wae kang, jupuk bensin karo korek."


(Tenang saja kang, ambil bensin sama pematik api.) Suruh ku.
Lalu membakar benda itu, sementara benda yang tidak bisa terbakar seperti paku juga
beling (serpihan kaca), aku pungut meletakan jadi satu dengan paku pasak kedalam
lemari.

Setelah itu seketika tenaga ku berangsur kembali, sakit di dada juga hilang.
Suhu badan sudah kembali normal. Namun ini belum selesai!. Harus tetap waspada
karena kemungkinan ini baru awal peperangan ilmu teluh.
"Kang, cobo pean golek wong pinter sing mudeng soal klenik."
(Kang, coba kamu cari orang pintar yang paham soal ilmu hitam.)
Suruh Ku.

"Yo mas, aku ngerti wong sakti. Aku budal mas."


(Ya mas, aku tau orang sakti. Aku berangkat mas.)
Ucapnya.
Saat mereka berangkat, aku hanya menyuruh satu orang saja untuk kesana. Dan yang
satu tetap tinggal utk membantu ku di rumah, sebenarnya kenapa aku menyuruh laki-
laki ini tetap disini. Karena secara penglihatan ku, disenyum sinisnya semalam,
masih meninggalkan curiga untuk ku.
Niat hati malam ini ingin sedikit tau dengan maksud sunggingan senyum sinis pemuda
yang duduk menonton tv itu. Saat aku amati dan mau mendekat, ternyata dua sosok
lelembut tengah berdiri melihatnya, tanpa dia sadari.
Pak Karto dengan bungkusan pocong nya, juga ada satu lagi pocong dengan wajah yang
sama membiru tapi lebih hitam.

Tertegunnya aku yang menyaksikan itu, namun kedua sosok itu tanpa bergeming hanya
menatap marah kearahnya.
"Apa kedua ini korban dari laki-laki ini?"
Batinku menelisik tanya.

Mengurungkan niat menyapanya lalu aku kembali masuk kedalam kamar. Terduduk
ditepian ranjang. Tangan berkuku panjang merangkul tubuh ku, satu dari pundak
sampai perut,
satu tangan lagi dari samping menutup wajah ku dengan telapak tangan dan jemari
bercakar itu.

"Tangan siapa ini?"


Batin ku bertanya, saat mau bergerak semua serasa kaku.
Kepala berambut panjang mulai maju ke depan dari sisi sebelah kiri. Mata ku hanya
bisa melirik, melihat wajah menakutkan itu. Tulang pipi dan rahang jelas terlihat,
dgn kulit hitam, mata hitam, semua hitam, hanya barisan gigi kotor yang berbentuk
seperti gergaji itu menyeringai.
Sosok ini hanya tulang, yang berbungkus kulit, tapi sangat menyeramkan. Lidahnya
mulai menjulur bergerak seperti lidah ular yang bercabang. Baunya sangat amis.
Belatung, ceremende (kecoak kecil), kutu, dan banyak lagi keluar dari rambutnya
yang mulai mengerubungi ku.
Maap semalam ketiduran 🤣🤘
Lanjut tipis tipis
Tubuh kaku masih terdiam tanpa gerak. Membiarkan semua itu memenuhi mulut juga
menjalar masuk dalam tenggorokan, semakin kedalam. Rasanya ingin muntah setelah
merasakan itu semua.

" Kamu harus mati"


Bisikan itu masuk ke rongga telinga ku.
Lidah panjangnya menyapu muka, hingga basah oleh liur yang berbau amis itu.

Setelah semua hewan menjijikkan itu habis masuk kedalam tubuhku, tangan juga kepala
itu secara bersamaan mundur melepaskan.
Aku hanya tersungkur kelantai, memuntahkan semua isi dalam perutku. Namun semua
hewan yang masuk tadi tidak ada satu pun yang keluar.
Belum sempat bangkit, tangan itu sudah menjambak rambut, memaksa kepala ku melihat
sosok yang kini berdiri membungkuk dihadapan ku. Sosok wanita kurus kering, tanpa
pakaian, semua tulang terlihat. Dengan ekor yang ujungnya berambut.
Setan jenis apa ini, karena baru kali ini aku melihatnya. Belum berhenti disitu,
dia membuka mulut sangat lebar lalu menelan seluruh wajah ku, yang aku lihat hanya
jutaan belatung didalam sana, sampai semua tidak terlihat lagi.
Dimana sosok genderuwo yang biasa menolong ku, saat kejadian seperti ini, makhluk
itu justru menghilang tanpa membantu. Bahkan bisikannya pun sama sekali tidak
terdengar saat aku membutuhkan itu.

****
Ketenangan diri dimiliki bagi manusia yang berjalan apa ada nya, mensyukuri karunia
Nya. Tanpa mencampur aduk kan kehidupan nyata dengan yang tak kasat mata.
Beruntunglah bagi kalian yang hanya lurus meniti kehidupan, karena alam lelembut
sangat mengerikan.
Mendapatkan berbagai teror ilmu hitam, juga ancaman ghaib seakan ini semua menjadi
peperangan yang dipicu oleh sebuah penghianatan, andai semua ini dapat dibicarakan
dan diselesaikan.
Harta benda tak berguna rasanya, tidak sanggup menolong, bahkan jadi benteng,
dengan adanya perseteruan astral ini.
Bangkit dari duduk, langsung keluar kamar mencari manusia laknat yang masih asik
duduk di sofa menonton TV. Dengan beringas aku menuju ke arahnya, aku sudah sangat
diliputi oleh amarah yang membakar diri.
"Opo sing mbok lakoni arep nyilakani aku? opo salah ku kang?"
(Yang kamu lakukan apa mau mencelakai aku, apa salah ku kang?)
Tanya ku dengan penuh emosi.
Melihat amarah ku laki-laki yang terduduk itu pun terkejut, juga dengan muka yang
kebingungan dia bangkit dari duduknya.
"Ono opo mas?"
(Ada apa mas?)
Dia bertanya dengan bingung.

"Kakean cocot kowe."


(Banyak omong kamu.)
Bentak ku dengan nada meninggi.
Lalu tangan kiri ku mencekik lehernya, mata sudah melotot menatap kearahnya, dia
hanya berusaha mengelak.

"Mas sabar, mas, sampean kenopo?"


(Mas sabar, mas, kamu kenapa?)
Tanpa basa-basi lagi ku pukul wajahnya dengan tangan kanan ku, dengan sekuat
tenaga. Sampai dia terjengkang dari atas sofa. Darah mengucur dari hidung. Masih
dengan kepolosannya, dia mencoba menahan ku, kedua tangannya diarahkan ke depan,
seperti menjadi pertanda menghentikan ku.
"Sek mas, aku temenan ora ngerti mas, sabar mas Bams, sabar."
(Sebentar mas, aku beneran tidak tau mas, sabar mas Bams, sabar.)
Ucapnya keluar dengan mimik yang memelas.
Menyaksikan itu aku menarik nafas, menahan emosi ku yang sudah sampai ke pangkal
ubun-ubun. Meski badan masih bergetar karena kecamuk amarah yang harus aku redakan.

Tanpa sempat menerima penjelasan apa pun aku suruh pemuda itu pergi tinggalkan
rumah.
Meski diluar sana sudah gelap, tanpa memperdulikan mau bagaimana dia sampai
dirumahnya. Yang aku rasakan masih dengan lingkup jengkel dalam hati, cuma terdiam
merenung lalu kembali kedalam kamar untuk merebahkan badan.
Karena sudah lelah, atau pengaruh badan yang terasa kurang enak, mata terpejam
menuju tidur.

Setelah benar-benar terbuai lelap, sebuah lintasan mimpi aneh muncul.


Kembali melihat sosok almarhumah ibu sedang duduk di atas batu. Perlahan aku
menghampiri sambil bertanya.
"Simbok, ngopo ning kene?"
(Simbok, kenapa di sini?)
Aku bertanya.

"Wes keblinger, sing ngati-ati anggonmu mlaku le anak ku. Kiwo, tengen mu kabeh
bakal nyilakani urip mu!"
(Sudah keblinger, berhati-hati lah untuk mu berjalan anak ku, kiri, kanan mu semua
akan mencelakakan hidup mu.)
Ucap simbok.
Aku tertunduk mendengarkan, yang bisa aku lakukan di alam mimpi ini. Tanpa menjawab
apa pun. Terlihat batu yang diduduki simbok tiba-tiba berkobar menyalakan api yang
sangat besar membakar tubuh orang tua ku.
Aku ingin berlari menyelamatkannya tapi yang ada kaki berat untuk melangkah. Sekuat
aku berusaha namun sama sekali tidak bisa.

Mata ini menatap ibu ku yang terbakar, tangannya menjulur kearah ku seakan meminta
pertolongan. Terlihat raut wajahnya sangat sedih, menangis.
"Mbok, simbok."
Teriak ku menjulurkan tangan, ingin meraih tangan nya.

Namun sampai api itu melahap tubuh wanita tua itu, aku tanpa bisa berbuat apa-apa.
Hanya ucapan nya terdengar.
"Le donga'no biyung mu, ojo leno marang kadonyan mu."
(Le doakan ibu mu, jangan terlena dengan duniawi mu.)
Ucapan itu sampai api semakin besar membakar orang tua ku. Tanpa menyisakannya
lagi. Aku yang hanya terus berteriak, memanggil namanya, bersimpuh dalam tangis
juga sesal.
Tersentak terbangun, mengusap mata ku yang penuh akan linangan air mata, menyebut
lirih nama itu.

"Simbok."

****
Pagi ini aku mengambil dua tas besar, satu aku isi dengan pakaian, satunya lagi
menjejali dengan tumpukan uang. Mengunci semua pintu, lalu melajukan mobil menuju
kampung halaman ku, untuk sementara waktu mencari ketenangan diri.
Hanya meninggalkan pesan pada seorang yang bisa aku percaya, dia yang aku suruh
untuk mencari orang pinter (paranormal). Memberi tahu kalau aku harus pulang
kampung untuk meninjau pembuatan rumah di sana.
Diperjalanan sempat singgah untuk sekedar makan, namun sepanjang perjalanan serasa
ada yang membuntuti. Apa hanya pikiran parno ku saja, bagaimana pun setelah mimpi
semalam aku tetap harus waspada.
Disela makan juga teringat akan ritual yang tetap harus aku lakukan, tapi sedikit
tenang karena malam purnama masih bulan depan.

"Pesan nasi pakai ayam bakar, minum nya es jeruk mbak." Kata ku pada pelayan
warung.
"Iya mas, ditunggu sebentar." Jawabnya.

Tidak seberapa lama hidangan itu tiba, ayam bakar madu kesukaan ku.
Saat ingin menggigit paha ayam bakar itu di samping ku sudah duduk wanita yang
berwujud hitam gosong sama persis seperti paha ayam yang ada ditangan ku. Perlahan
ia menoleh, melirik kearah ku. Lalu menatap ku tanpa berbicara.

"Simbok."
Kata ku terkejut.
Seluruh badannya hangus terbakar, bahkan sisa asap masih terlihat keluar dari
tubuhnya, hanya hembusan asap putih yg keluar dari mulutnya saat dibuka.

Aku letakan makanan itu, lalu hanya meminum es jeruk yg aku pesan, saat kembali
menoleh kearah sosok tadi,
dia telah lenyap menghilang.

"Kenapa semua meneror hidupku?"


Tanya ku dalam hati.

Melihat ayam bakar didepan ku ini, bikin rasa lapar ini seketika hilang, yang
terbayang justru simbok yang hangus itu.
Membayarnya lalu kembali melanjutkan perjalanan yang masih jauh. Beberapa kali
panggilan masuk dari Surti aku abaikan, serasa muak dengan semuanya.

Apesnya lagi saat mengantri bensin disebuah pom, mata ku memandang laki-laki yang
bernama Tommy, suami dari Nurhayati.
Ingin rasanya mencelakainya disini, menantangnya duel sebagai laki-laki, tetapi ada
sebuah larangan dalam hati. Masih memiliki sedikit rasa belas kasihan pada nya.

****
Tanah itu sudah mulai digarap, pondasi, besi, dan rangka rumah sudah terlihat
berdiri, sekat tanah yang dibuat oleh galian itu pun sudah dikerjakan oleh tukang.
Beberapa orang masih sibuk mengerjakannya di sore ini, namun tidak terlihat pak
Sarwidi sebagai mandor disitu.
"Kulonuwun."
(Permisi.)
Salam ku mengucap sambil mengetuk pintu rumah pak Sarwidi.

"Monggo."
(Silahkan.)
Suara wanita menjawab dari dalam.
Pintu dibuka dan terlihatlah Nurhayati dengan tatapan yang sedikit sayu, senyumnya
menghias walau terlihat basa-basi.

"Bapak wonten dek Nur?"


(Bapak ada dek Nur?)
Tanya ku.
"Ohh bapak nembe kesah tumbas matrial mas dereng wasul, monggo ditenggo rumiyen."
(Ohh bapak baru pergi beli bahan bangunan mas, belum pulang, mari ditunggu dulu.)
Jawabnya mempersilahkan masuk.
Dengan duduk diruang tamu sambil menunggu, ia pun pergi ke dalam. Tidak seberapa
lama dek Nur keluar membawakan secangkir kopi, dan duduk menemani ku ngobrol.
Pembicaraan kami seadanya, apa yang aku tanyakan dia hanya menjawab seperlunya
dengan sopan.
"Memang gadis pujaan hati."
Batin ku membisik nakal.

Sambil menyeruput kopi dan menikmati rokok yang ditemaninya, membuat suasana hati
ini tenang, bisa meredamkan peristiwa yang sedang aku alami.

"La mas Tommy mana dek?"


Tanya ku berbasa-basi.
"Mas Tommy wangsul seminggu sepindah mas, kerjo wonten kutho."
(Mas Tommy pulang seminggu sekali mas, kerja di Kota.)
Balas nya.

"La kerjo nopo?"


(Kerja apa?)
Lanjutku bertanya.
"Pabrik kayu lapis mas."
Jawabnya dengan menunduk.

"Walah gajine pinten niku? nopo cukup damel kebutuhan dek Nur?"
(Walah gajinya berapa itu? Apa cukup buat kebutuhan dek Nur?)
Tanya ku seakan mengejek nya.
"Njih lumayan mas, dipas-paske mawon."
(Ya lumayan mas, dipas-pasin saja.)
Jawabnya dengan raut wajah agak tidak suka.
Perbincangan itu terus mengalir sampai aku memberikan uang lima juta padanya.
Tujuanku hanya ingin mengambil simpatinya, merebut hatinya dengan harta ku. Meski
awalnya dia menolak, tetapi karena aku memaksa agar bisa dipergunakan jika perlu
akhirnya Nur pun menerima.
Melihat cara berpakaian yang sedikit kedodoran mengundang mata ku untuk nakal,
namun ketika memperhatikan perutnya yang membesar itu, muncul rasa malas melihat
lagi.

****
Mengubur rasa itu tidak akan semudah mengubur harapan. Terkadang memperlihatkan
senyuman meski menangis didalam hati, ketika masih mengharap cinta yang tanpa
pernah tersentuh.
Dengan kecanggungan obrolan ini, kami kembali diam menyelimuti. Dia yang hanya
tertunduk menyembunyikan wajahnya, aku yang hanya terus menatap tanpa berucap.

Singkuh, malu terlihat gelagat itu, sampai suara sepeda motor pak Sarwidi
terdengar.
"We lah, wet wau mas?"
(We lah, Dari tadi mas?)
Tanya pak Sarwidi.

"Njih pak Sar, sakwetoro niki."


(Iya pak Sar, sudah lumayan lama ini.)
Jawab ku.

"Sekecakke mas, tak ngontrol sing mudunke matrial."


(Santai dulu mas, mau ngontrol yang turunkan matrial.)
Imbuhnya.
"Njih pak Sar, monggo."
(Iya pak Sar, silahkan.)
Kataku.

Pak Sarwidi yg hanya meletakan helm lalu kembali keluar, untuk mengecek kembali
bahan bangunan yg mau dibongkar.
Aku yang tetap duduk disini masih sangat betah, Karena ditemani dengan wanita yang
kini telah menatap ku.
"Dek Nur, kulo ajeng sanjang."
(Dek Nur, saya mau bilang.)
Aku membuka omongan.

"Sanjang nopo mas?"


(Bilang apa mas?) dengan suara Lembut.
"Pun dangu nek kulo niki, remen kalih dek Nur."
(Sudah lama kalau saya ini, suka dengan dek Nur)
Ucap ku memberanikan diri.

"Njih mas, kulo pun ngertos kok."


(Iya mas, saya juga sudah tau kok.)
Jawabnya.
Sungguh ungkapan yang seakan menyumbat mulutku, dan tidak bisa berucap apa-apa
lagi.

Karena dia selama ini tau tetang rasa yang selalu aku pendam. Namun dari mana
Nurhayati dapat menerka itu?
Apa terlalu terlihat jika sejauh itu aku menyembunyikan perasaan.
Ahh, makin berdebar terasa dalam hati, antara seneng juga kaget.

"Lah kok dek Nur ngertos?"


(Lah kok dek Nur bisa tau?)
Kini aku yang berbalik bertanya.
"Njih ngertos kawit riyen, kan mas Bambang sopan, ugi sae kalian kulo."
(Iya dari dulu kan mas Bambang sopan, juga baik kepada saya.)
Jawabnya dengan muka memerah.

"Yoh nanging wes duwek'e uwong."


(Yah tetapi sudah miliknya orang.)
Ucap ku menyindir.
"Maksud mas nopo?"
(Maksud mas apa?)
Tanya nya mendengar pernyataan ku.

"Aku nunggu awakmu, dadi duwekku."


(Aku nunggu dirimu, jadi milikku.)
Kata ku, sambil berdiri.
Lalu aku meninggalkannya terdiam dalam duduknya, melangkah keluar untuk melihat
suasana diluar sore ini. Dan dengan ucap ku tadi pasti akan jadi pertimbangan buat
Nurhayati, karena aku saat ini sudah memiliki segalanya dibandingkan dengan Tommy
suaminya itu.

****
Karena hari sudah menjelang malam, dan disini pun tidak ada tempat untuk tidur, mau
menginap dirumahnya pak Sarwidi juga sangat sungkan takut merepotkan. Mencari hotel
di kota terdekat adalah menjadi gagasan pikiran ini, agar bisa beristirahat juga
tenang dalam bersantai.
Kumandang adzan magrib terdengar, disaat surup ini lah aku memulail menuju kota.
Waktu yang seharusnya berdiam diri untuk mendekatkan diri kepada Tuhan kala
candikala mengusung gelap. Namun semua itu tanpa terlintas dalam pikiran.
Menyusuri jalanan yang mulai gelap ditepian sawah-sawah mulai meremang terlihat.
Arakan burung terlihat bergerombol dikejauhan beranjak pulang.
Sisa sinar jingga di jauh tempat yang jauh itu,
sedikit memberi kesan indah, dan selintas didalam mobil di bangku pas dibelakang ku
terlihat sosok wanita dengan rambut acak-acakan menutup wajah nya.
Kembali ku lihat melalu kaca sepion dalam mobil, namun wanita itu menghilang.
"Barusan apa ya?" Gumamku

Dari pada berfikir yg tidak bagus, "putar musik saja", pikirku. Namun suara yg
keluar bukannya lagu dangdut kesukaan ku, tapi suara kemresek kayak radio tanpa
sinyal. Aku keluarkan piringan kaset vcd, lalu memasukannya kembali, tapi hasilnya
sama saja.
"Iki ngopo, malah rusak."
(Ini kenapa, malah rusak.)
Gerutu ku.

Menepikan mobil, mengecek DVD dgn mengutak-atiknya, memencet tombol sesuka hati,
tetap saja sama, perlahan mulai ada suara ditengah berisiknya storing sound mobil.
Suara bayi menangis dari samar-samar, sampai jelas terdengar.
"Loh, sejak kapan megi z, ada backsound bocah nangis!" Seru ku kebingungan.

Selain suara tangis bayi kini juga terdengar suara wanita.

"ingat aku, wanita yang kamu bunuh bersama anak bayi ku? "
Suara itu jelas terdengar.
"Opo sih iki?"
(Apa sih ini?)

"Aku dan anak ku, kamu tabrak tanpa bertanggung jawab, aku akan menuntut balas."
Katanya.

Suara wanita juga bayi menangis itu mengingatkan ku pada kejadian waktu itu,
saat aku secara tidak sadar menabrak seorang ibu juga anak bayi yang digendong nya.
"Apa ini roh mereka?"
Cepat kilat mematikan DVD itu, kembali menjalankan mobil.
Tidak lama benda itu menyala sendiri, tanpa tersentuh. Dan kembali terdengar
tangisan bayi juga perkataan wanita.

"nyawa, dibalas nyawa."


Hanya menelan ludah yang terasa getir, Dan juga merasakan ada ketakutan yang
menyelimuti. Rasa resah kembali muncul mengingat akan kasus tabrak lari waktu itu.
Mencoba abaikan semua itu fokus berkendara, sampai didepan sana sudah terlihat
jembatan yang disampingnya tumbuh pohon-
pohon beringin sangat besar, dari dulu area ini menjadi momok buat warga yang
melintas disini. Tempat angker. di siang hari saja terlihat horor, apa lagi saat
ini sudah malam hari.
Semakin laju mengegass kendaraan menembus malam yang kini sudah mulai berkabut,
jarak pandang tidak seberapa jauh ke depan membuat aku kembali pelan, hanya seperti
tertawa samar terdengar.
"Ada ketawa wanita, aku sedang dalam mobil bagaimana itu terdengar?"
Batin ku.
Perjalanan yang tertempuh namun seakan tanpa memiliki ujung. Aku sangat hafal jalur
ini, jalan dari desa menuju kota, tapi jalan ini seakan berbeda. Apa karena
tertutup kabut malam?
Tidak seberapa lama, kembali didepan sana terlihat pohon beringin besar juga
jembatan tadi yang sudah jauh aku tinggalkan.

Kedua kalinya melalui jembatan ini, sangat aneh, tapi tetap aku lanjutkan.
Sekitar satu jam menyetir agak sedikit lega karena dari kejauhan sudah terlihat
lampu-lampu kota. Dengan menghela nafas panjang, merasa tenang melewati jalur
angker tadi.

****
Sebuah penginapan yang halamannya cukup luas, terparkir banyak mobil juga motor
disana, menandakan banyaknya tamu yang menginap di losmen ini.

Tanpa pikir panjang langsung memarkirkan mobil ku dihalaman.


Bangunannya cukup unik, seperti rumah bersusun, dengan plang nama penginapan, taman
yang dihias dengan kolam kecil, dengan pencahayaan beberapa lampu.
Memasuki koridor yang ada empat anak tangga sebagai pijakan awal, lalu jalan masuk
kelorong. Disitu ada meja penerima tamu.

"Malam mbak, masih ada kamar kosong?"


Tanya ku.

"Ada mas, untuk berapa orang?"


Wanita itu bertanya.

"Satu saja, saya sendiri."


Jawab ku.
"Ini untuk kamar satu kasur, juga sudah tersedia kelengkapannya, ini daftar harga
nya."
Petugas losmen itu menyodorkan buku harga kamar.

"Baik saya pilih yang ini, bayar dimuka atau nanti waktu cek out?"
Aku kembali bertanya.
"Nanti saja mas, mari saya antar."
Katanya ramah.

Sebelum diantarnya wanita itu pun memberikan dua handuk besar, juga handuk kecil.
Sikat gigi, odol, juga sabun berukuran kecil.
Kamar yang tak begitu luas, lumayan untuk malam ini bisa tidur nyaman. Dengan
harapan bisa nyenyak tanpa gangguan mimpi yang aneh-aneh lagi. Karena hampir setiap
tidur mimpi yang hadir pasti seram.

****
Malam itu saat mata sudah terpejam, Tiba-tiba terasa dingin, seperti kasur yang aku
tiduri ini basah. Bantal yang semula empuk kini serasa mengganjal keras di kepala.

Tangan meraba mencari selimut tapi tidak ketemu, yang tersentuh justru seperti
rumput, atau pohon kecil.
Perlahan aku sadarkan pikiran ini sembari membuka mata. Terkejutnya aku, sudah
tertidur di cungkup kuburan, dikerubuti oleh berbagai makhluk yang menatapku nanar.
Beberapa sosok mengerikan seperti pocong dan kuntilanak dengan jumlah yang banyak
berkumpul mengelilingi.
Seketika aku terduduk dengan nafas yang sangat sesak ngos-ngosan, diantara sela
pahaku ada kepala tanpa rambut, muka nya putih, matanya semua hitam, barisan
giginya hitam saat tertawa. Aku hanya teriak lalu mencoba mundur.
Namun kepala itu menggelinding mengikuti. Sampai dibelakang ku sudah berdiri
kuntilanak dengan ketawa menakutkan, sosok itu membungkuk kearah ku, menyeringai
dengan mata hitamnya melotot lebar.
"Tolong... tolong....
Teriak ku memanggil pertolongan.

Namun riuhnya dedemit itu semakin mendekat dengan ketawa, pocong berlompatan
semakin dekat, kuntilanak juga melayang kearah ku.

Kepala disela selakangan ini, terus tersenyum, matanya memandang tajam kearah ku.
Tangan pocong-pocong itu mulai keluar dari kafan kotornya, para kuntilanak pun sama
menjulurkan tangan-tangannya. Hingga semua merayap, mengelus, menyentuh semua tubuh
ku tanpa tersisa.
Tangan busuk itu terus memenuhi, mendekap, sampai mulut juga hidung ku susah
bernafas.
Mencoba meronta hanya itu yang bisa, namun cengkraman tangan dari setan-setan itu
menekan tubuh ku, membenamkan ku kedalam liang kubur.
Sampai ada beberapa tangan yang menjambak rambutku dari dalam, menarik tubuh ini,
menyeret dengan mencengkram, leher, tangan, juga kaki, semua menarik kebawah.
Terus dibawa masuk, meperlihatkan semua lelembut diatas sana seakan mengantarkan ku
ke dalam liang lahat ini.
Tatapan mereka semua mengerikan, dengan wajah menakutkan.

"Aaaaaaaaaaaa....
Teriak ku.

****
Lanjut besok 😴
Lanjutannya

Unroll available on Thread Reader


https://twitter.com/cerita_setann/status/1365371517844955138?s=19
Unroll available on Thread Reader
https://twitter.com/cerita_setann/status/1365377068184129538?s=19
Unroll available on Thread Reader
https://twitter.com/cerita_setann/status/1365381543254892545?s=19
🙏maaf kelamaan, karena baru buka twitter. Kesibukan di dunia nyata lebih seram
soalnya.
Perarakan setan yang mengantarku kedalam liang kubur, tangan-tangan pucat menarik
terus kedalam. Semakin gelap, semakin dalam, seakan kubur ini tanpa ujung.
Teriak ku terdengar sangat kencang, sampai parau suara ini terdengar. Mengharap ada
telinga manusia mendengar lalu datang menolong.
Tanah gelap disisi kanan juga kiri mulai berguguran, wajah-wajah menyeramkan dengan
mata putih bercahaya bermunculan. Dari atas sosok hitam sangat besar terbang turun.
Dengan cakarnya dia mencekik leherku, lalu mencoba menarik dari tangan yang menarik
dari bawah.
"Demit ini mau menolong ku atau mau membunuh ku?" Tanya ku dalam hati.

Sampai jemarinya keras mencengkram leher, sesaknya hingga susah untuk bernafas.
Pandangan yg mulai buyar, bagai kerlipan kunang-kunang, lambat laun menjadi gelap,
lalu tanpa bisa mengingat apa pun lagi.

***
Kerumunan warga datang menyaksikan aku tergeletak di atas sebuah makam tanpa
sadarkan diri. Terlihat oleh mata ini pertama terbuka wajah lelaki tua dengan ikat
kepala warna batik, mencipratkan air kemuka, mulutnya berkomat-kamit seperti
mengucapkan mantra.
Dengan tersadar aku disambut riuh ucapan syukur semua orang-orang disini, berbagai
celetukan terdengar dari mulut mereka.
Bingung, aku seperti orang linglung. Kenapa sampai berada ditengah kuburan. Ku
amati mobil yang terparkir pas di pintu masuk Pemakaman gapura melengkung itu.
"Bajindul, aku dikerjain demit lagi." Ucapku.

Lalu terdengar orang tua didepan berucap.


"Kamu kenapa bisa nyasar sampai kesini?"

"Semalam disini itu losmen pak, saya nginep disini ga tau nya kuburan." Kata ku.
"Disini memang angker, ya sudah pulang lah kamu nak. Sudah aman." Kembali pak tua
itu berkata.

Dengan badan yang merasakan sakit semua, leher juga terlihat memar memerah. Namun
semua itu tanpa sebanding karena masih diberikan keselamatan,
diberi kesempatan untuk tetap hidup.
Namun rasa lelah kini mulai aku rasakan, yang hidup tanpa mendapat ketenangan.
Teror demi teror terus berdatangan tanpa terhenti.
Kabar dari sahabatku yang mencari orang pinter pun belum ada, hanya pagi ini entah
mau kemana tujuan sama sekali tidak tau. Mau pulang ke rumah masih malas, mau
kembali ketempat pak Sarwidi juga semakin malas. Hanya melajukan kendaraan tanpa
mengerti akan sampai dimana.
Hidup kacau balau, merasa bingung, juga sangat merasa takut dengan berbagai
kejadian itu.
Apakah tanpa pernah berhenti semua ini, aku benar-benar merasakan capek. Ingin
menghentikan semua nya.
Berawal dari pesugihan, kini tanpa memiliki ketenangan. Yang diri ini rindukan
kehidupan dahulu, walau pas-pasan, kerja banting tulang, semua itu nyaman penuh
berkah. Sedikit membayangkan masa lalu mengingatkan dengan sebuah janji.
"Sedari pemakaman simbok, sampai detik ini sama sekali belum berziarah lagi, bahkan
lupa utk mendoakannya. Anak seperti apa aku ini." Ucap dalam lamunan.

Tanpa terasa air mata ini menetes, menggali sendiri keruhnya hati. Dan kuasa Tuhan
telah mengembalikan sedikit hidayah Nya.
Kembali memutar haluan, kini mobil aku lajukan kearah rumah yang baru dibangunkan.
Sore itu tiba, dan langsung pergi ke makam kedua orang tua ku.
Gundukan yang hampir rata dengan tanah, ditumbuhi lebatnya rumput liar. Betapa
tidak terurus nya makam ini.
Tersimpuh diri ini dalam tangis kemudian mencabut semua rerumputan. Panjatan doa
yang aku hadiahkan untuk kedua mendiang.

Lemah, mengingat selama ini melupakan kalian.

"Maafkan aku pak, mbok, telah dibutakan dengan duniawi."

****
Sepulangnya ziarah.

"Pak Sarwidi, mengkeh tulung sekalian mang pasang cungkup wonten makom bapak kalian
simbok!"
(Pak Sarwidi, nanti tolong sekalian dipasangkan cungkup dipemakaman bapak juga
ibu!)
Suruh ku.
"Ohh yo mas Bambang. Tak pesenke cungup, sesok ben langsung digarap tukang."
(Ohh iya mas Bambang, saya pesankan cungkup, besok biar langsung dikerjakan
tukang.)
Jawab nya.
"Injih pak Sar, sekalian bade ngrepoti melih. Genduri wonten ndalem ipun
njenengan."
(Iya pak Sar, sekalian mau ngerepotin lagi. Buat tasyakuran di rumahnya bapak.)

"Iyo mas ra popo, gen ibu'ne karo Nur mengko ngundang tonggo rewang."
(Iya mas ga papa, biar nanti istriku dengan Nur yang memanggil tetangga untuk
membantu.)
Kata pak Sarwidi.
Dengan memberikan dana untuk itu, kini aku berdiam diri disini, di rumahnya pak
Sarwidi. Numpang menginap untuk besok agar bisa ikut membantu arahkan tukang saat
membentuk maesan nisan kuburan
Kami hanya mengobrol dan duduk diruang tamu dengan membicarakan soal pembangunan
rumah, dana untuk bahan bangunan juga sudah mulai habis. Pengutaraan pak Sarwidi
pada ku, dengan menambahkan enam ratus juta lagi, hingga total semua sudah menjadi
satu Miliar.
Tidak lupa bonus untuk beliau juga langsung aku berikan.
Dengan kembali membuka tas yang berisi tumpukan uang, mengambil juga menghitungnya.
Kembali rasa kuasa kesombongan menyelimuti diri. Gelap mata akan harta duniawi
dalam diri ini seperti tidak pernah ada habisnya, tamak, rakus, tanpa kepuasan
selalu membisikan kata kurang.
Terbelalaknya mata laki-laki didepan ku melihat uang miliki ku, terlihat muka
kehausan harta juga tersirat. Meminta bantuan istri, juga Nurhayati untuk
menghitung uang-uang itu. Semua terperanjat melotot, meja tamu yang kini
bertumpukan lembaran kertas berharga itu.
"Andai kalian tau, ini belum seberapa dengan milik ku di rumah sana." Batin ku
dengan barengan tawa iblis yang menyeruak.

Dengan sengaja meperlihatkan itu semua agar misi memikat hati gadis yang tengah
hamil ini terlaksana.

****
Menyentuh barang tanpa hak Nya, itu hanya akan membungkus diri dari sifat Setan.
Apa lagi termakan barang dari uang haram, darah, daging, jiwa raga, akan
terbelenggu kedalam logika kemurtadan.
Usainya pembuatan nisan orang tua, kini aku kembali pulang ke rumah. Meski sudah
sangat larut malam, terlihat tanpa penerangan karena beberapa hari aku tinggalkan.
Nuansa mistis rumah ini juga terasa, bau apek pengapnya udara membuat tidak nyaman,
lantai yang sudah mulai berdebu padahal tidak seberapa lama ditinggalkan.
"Mas kamu salah paham sama aku, aku ga tau menau soal kejadian kemarin itu, sampai
kamu pukul juga usir aku. Ingat mas, semua hal ada balasannya."
Sepucuk surat yg aku temukan didasar lantai kala membuka pintu. Ternyata kejadian
kemarin membawa luka hati pada pemuda itu, yang pasti ini akan melahirkan
permasalahan baru lagi.

Hanya meremas sepucuk kertas lalu membuangnya ditong sampah.


Apa pun itu aku harus hadapi, apa yang sudah aku mulai.
Gedoran kamar keramatku terdengar, entah makhluk apa lagi ini, baru juga sampai
sudah mengusik. Geraman suaranya terdengar seperti nada amarah.
Aku membuka pintu kamar yang terkunci itu, sosok genderuwo tengah bertengger dengan
tatapan mata memerah.

"Apa mau mu?" Tanya ku


"Kembalilah melakukan ritual, aku diutus raja genderuwo menyampaikan." Katanya.

"Nanti dimalam purnama aku kembali ritual." Pungkas ku, dengan tanpa menjawab
lelembut itu lalu menghilang seketika. Hingga kembali hening semua seisi kamar juga
rumah ini.
Duduk dgn menonton TV tiba-tiba datang orang suruhan ku bersama Surti. Entah kenapa
mereka bisa berbarengan, jg tau kalau aku sudah sampai dirumah malam ini. Tanpa
basa-basi mereka duduk dan membuka cerita, jika sudah menemukan orang sakti yg bisa
mengatasi semua keruwetan ini.
"Sesok budal mrono, kabeh podo melu!"
(Besok pergi kesana, semua pada ikut!)
Ajak ku ke mereka berdua.

Hanya anggukan kepala. Menandakan mereka sepakat.


Namun disini ada keganjilan terlihat ditatap mata mereka berdua, bahkan yang
menjadi tanya, sejak kapan mereka berdua jalan bareng seperti ini. Apa aku sudah
dipermainkan mereka?

"Mas, capek ga?" Rayunya.

"Kenapa emangnya?" Tanya ku dengan nada tidak suka.


"Surti pijitin yok dikamar." Kata nya sambil menarik lengan ku manja.

Mendapat perlakuan itu aku mengikutinya sambil melihat kearah laki-laki yang tengah
terduduk sendiri itu. Hanya senyum terlihat diwajahnya, sebuah senyum tanpa
ketulusan.
"Monggo, lanjut wae mas Bams."
(Silahkan, lanjut saja mas Bams.)
Katanya.

Lalu aku mengikuti langkah Surti yang menuntun masuk kedalam kamar. Hanya
merebahkan badan, dengan secepat kilat dia sudah duduk diatas tubuh ku, lalu dengan
jemarinya mulai memijat tubuh ini.
"Buka saja baju nya mas. Biar gampang mijitnya."
Kata manis nya terucap.
Menurutinya itu yang aku lakukan, lalu kembali dengan posisi tengkurap diatas kasur
dengan dia duduk diatas pinggang ku. Diurut oleh Surti entah kenapa membangkitkan
gairah secara tiba-tiba, pemikiran bejat menyelimuti, membisikan untuk berbuat
maksiat.
Tapi hal ini juga sudah sering kami berdua lakukan jadi tanpa tabu lagi.

Aku membalikan badan, merengkuh tubuhnya untuk mendekat. Tatap mata birahi kami
saling berpaut dan melakukan gerilya zinah kembali.
Empat puluh menit berlalu, bercengkrama dengan wanita iblis ini, antara tertidur
dan tidak telinga ini masih mendengar desahan Surti, sementara aku sudah sampai
terkulai lemas. Membuka pelan mata ini, namun tidak mendapati wanita itu didalam
kamar.
Justru suara itu terdengar diruang tamu.

"Bangsat." Teriak ku geram.


Namun kembali aku urungkan niat untuk mengamuk ke mereka berdua, justru aku
membiarkan semua itu berlangsung. Karena aku ingin tau tetang semua ini, akan semua
kejadian juga apa yang telah mereka berdua rencanakan pada ku, apa mereka berdua
dalang di balik kematian-
tak wajarnya pak Karto, juga berbagai santet yang aku alami; aku harus tau semua
ini dengan pura-pura tidak paham.

"Wes, aku mlebu kamar neh, kow konangan mas Bams."


(Udah, aku masuk kamar lagi, nanti ketahuan mas Bams.)
Suara Surti terdengar.
Saat pintu kembali dibuka nya, aku hanya pura-pura tidur. Sampai betina setan ini
kembali merebah disamping ku.

****
Pagi ini mengikuti arahan mereka berdua utk mendatangi paranormal itu, tanpa
memperlihatkan kecurigaan ku.
Masih sangat rapi mereka bersandiwara dihadapan ku dgn peranan masing-masing,
disini pun aku berperan sebagai diriku yg berlaga bego menutupi kemuakan pada
mereka berdua.
"Jadi aku salah mencurigai dia, memukul laki-laki itu." Batin ku berkata.

Tujuan kami sampai disebuah rumah yang terlihat kuno, dengan pagar tertutup.
Seperti rumah tanpa penghuni.

"Bener iki omah'e kang?"


(Benar ini rumahnya kang?)
Tanya ku.
"Iyo mas iki omah'e mbah Darsono. Wong sekti."
(Iya mas ini rumahnya mbah Darsono. Orang sakti.)
Jawabnya.

Lalu kami bertiga masuk dengan melewati pagar yang tidak terkunci itu, mengetuk
pintu kayu, lalu muncul orang tua dengan tatapan sedikit melotot kearah ku.
"Wes ndang mlebu."
(Sudah cepat masuk.) katanya mempersilahkan.

"Njih mbah. Kulonuwon."


(Iya mbah, permisi.)
Jawab ku.
Rumah yang kelihatan angker dengan pencahayaan yang sangat minim, hanya lampu
sentir menyala sebagai penerangan. Tungku arang menghias sebagai pembakar kemenyan,
bunga dalam nampan, dan tiga buah Keris berdiri dengan sendirinya.
"Peteng, socan mu. Demit podo ngrubung rogo mu le."
(Gelap, mukamu. Setan semua mengerubuti ragamu nak.)
Ucapan laki-laki tua itu tiba-tiba, seakan dia tau apa yang terjadi pada diri ku.

"Kadus pundi mbah."


(Bagaimana mbah.)
Kata ku tanpa paham.
"Ojo kuwatir, kabeh demit ora bakal wani marang sliramu, yen wes moro rene."
(Jangan hawatir, semua dedemit tidak bakal menyentuh dirimu, karena sudah datang
kemari.)
Imbuhnya
Aku hanya tersenyum, dan masih menganggap ini bagian dari drama mereka berdua yang
ciptakan. Saat aku tidak yakin dengan kemampuan orang tua ini, lalu dia bangkit
dari bersila, mengajak ku masuk kedalam sebuah kamar.
"Opo awak mu ora paham yen menungso keloron iku ulo."
(Apa kamu tidak tau jika kedua manusia itu ular.)
Tiba-tiba pak tua itu memberi tahu.

"Maksud ipun kados pundi mbah?"


(Maksudnya bagaimana mbah?)
Aku masih bertanya dengan kepura-puraan.
"Wes ora usah goroh le, aku bakal nulung."
(Wes tidak usah bohong nak, aku akan menolong.)
Ucapnya meyakinkan.
Setelah semua dijabarkan, dan disini lah aku tau jika mereka berdua juga main dukun
dengan yang lain. Menyantet aku juga pak Karto. Bahkan Surti juga mengirimkan guna-
guna untuk memelet agar diri ini tunduk pada kemauan nya.
Kebejatan mereka sangat mengerikan, bahkan niat busuk mereka untuk mencelakai hanya
karena rasa iri hati yang tidak mendasar.
Dengan menerima sebuah ajimat dari mbah Darsono untuk perlindungan diri dari ilmu
hitam yang mereka kirim kedepannya. Kini sudah tenang, dan lega mendapatkan
gambaran betapa piciknya mereka berdua.
Surti sudah jelas jika ingin moroti harta ku, kalau si Kadrun, dia jelas iri karena
mantra pesugihan sate gagak tidak diberikan oleh pak Karto.
Sementara Endro, dia memang tidak tau soal semua ini, justru dia yang aku curigai.

****
Hanya mencari dimana keberadaan Endro atau yang sering dipanggil Paijo itu. Ingin
meminta maaf untuk menyelesaikan perseteruan karena salah faham.
Namun sebelum melanjutkan pencarian, terlebih dahulu mengantarkan mereka berdua
untuk pulang kerumah masing-masing.
Siang yang menyisipkan kata kekecewaan terhadap mereka berdua masih saja aku
simpan, walau sebenarnya ingin sekali menyelesaikan semua ini. Dan menjalani
kehidupan tanpa harus mengenal mereka lagi.
Mendatangi rumahnya namun kosong, mencari ditempat tongkrongan nya juga tidak
ketemu. Kemana perginya orang ini, saat dicari sangat susah, nomor handphone nya
juga tidak bisa dihubungi.
Lalu karena sudah lelah, aku putuskan untuk kembali pulang kerumah.
Sesampainya dirumah, seorang berjaket hitam mengenakan topi menutup mukanya, tengah
duduk di atas motor yang terparkir diluar pagar rumah ku.

"Siapa dia?" Batinku.


Aku hanya menghentikan mobil, lalu turun untuk menghampiri, agar lebih jelas siapa
lelaki ini. Saat aku hendak bertanya, lalu dia bangkit dari duduk nya, tanpa
memperlihatkan wajahnya. Tiba-tiba kilatan belati menyambar kearah ku, menusuk
tubuh ku berkali-kali.
Koyakan baju, juga daging yang aku rasakan mengeluarkan darah yang mengucur keluar.
"Aaaaaaa... jahanam." Teriak ku.

Lalu tersungkur tanpa bisa melihat nya lagi. Jimat itu bukan untuk kebal, kesaktian
dari genderuwo itu juga telah meninggalkan tubuh ku. Kini aku hanya berdiri melihat
tubuhku sendiri tersungkur diatas tanah dengan darah yang menggenang.
Dengan rasa tidak percaya, menyaksikan kejadian ini, apa kini aku telah mati?

****
Melukai hati, akan berdampak pada kelukaan fisik. Berbenah selagi kita dibisikkan
kesadaran. Karena ajal tidak menunggu manusia bertaubat terlebih dahulu.
Tertegun menyaksikan tubuh yg tak bergerak, kerumunan warga berbondong-bondong
datang melihat, security yang bertugas diperumahan itu sibuk membalikan badan yang
sudah terkulai bersimpah darah.
Setelah sekian lama suara sirine ambulance datang, dinaikan badan itu kedalam mobil
tanpa bergerak.

Disebuah rumah sakit jasad itu sudah kaku dengan lubang ditubuh bekas tusukan.
Seorang dokter dibantu beberapa perawat menjahit luka yang menganga terbuka itu.
Gemuruh datang ketika aku masih berdiri menyaksikan semua ini.

"waktu mu habis."
Sosok raja genderuwo menakutkan itu datang menghampiri.

"Maksud mu apa?"
Aku yang bingung bertanya.
"Usai Kan dendam mu, setelah itu aku akan datang menjemput."
Ucap sosok itu dengan suara yang garang terdengar.

Semua orang-orang terdekat berhianat, bahkan sampai pengakhiran hayat ku harus


dengan cara mati mengenaskan. Hal ini tidak akan usai sampai disini!
Ini sama sekali belum berakhir.

Bersama angin, aku melayang entah kemana yang jelas di pelataran rumah ku sudah
terdapat line berwarna kuning untuk pertanda sedang diadakan penyidikan polisi.
Beberapa warga menyaksikan itu.
Juga terlihat dua manusia keji dari kejauhan mengintip aktivitas sedang
berlangsung.

"Manusia tengik."
Ucap ku.

Surti yang bersembunyi dibalik tubuh laki-laki bertubuh gempal itu. Terlihat muka
mereka yang sangat sumringah seakan berhasil degn rencana yang telah dijalankan.
"Wes modar menungso'ne."
(Sudah mati manusianya.)
Ucap lelaki didepan Surti.

"Terus kapan ambil uang-uang dirumah itu yank?"


Kata Surti bertanya.

"Sabar nanti kalau sudah sepi aku dobrak rumah nya, Kita keruk hartanya, dan kita
hidup kaya raya sayang." Imbuh kadrun.
Ucapan yang sangat membuat ingin mencekik leher mereka, agar menyusul ku mati.
Sungguh sangat biadab perlakuan mereka berdua. Namun saat tangan ini ingin sekali
mencabiknya, semua tanpa bisa terpegang oleh ku. Bagai menyapu sebuah bayangan.
"Kenapa aku tidak bisa menyentuh nya?"

Ku melihat kedua manusia ular itu pun bergandengan meninggalkan area ini, dengan
berboncengan mereka terus pergi, tanpa aku ikuti.

****
Dua sosok datang menghampiri, kala aku terduduk dihalaman rumah. Dua sosok itu
memancarkan cahaya putih yang menyilaukan mata; lalu meredup menghadirkan dua wujud
yang aku kenal.

"Ikhlas le, ini jalan takdir mu."


Ucap simbok.

"Sudah waktunya kamu pulang nak."


Imbuh bapak.
"Belum, ini belum selesai. Masih ada yang mesti harus aku balas." Kata ku
menyangkali mereka.
"Manusia itu hanya sekedar berjalan, dan yang menentukan takdir itu Tuhan. Jangan
selalu lumuri hati dengan kebencian, semasa hidup jalan yang kamu pilih sudah
sangat kelam, ini waktumu untuk menebus itu, sampai tiba masa kita hidup bahagia
bersama."Sosok bapak memberi nasehat.
"Belum pak, mbok, aku tidak akan tenang sebelum manusia-manusia itu bergelimpangan
mati."
Aku kembali menjawab.
Hanya raut kesedihan terlihat diwajah kedua sosok itu, lalu dengan kebisuan kedua
nya kembali menjadi cahaya dan menghilang dari pandangan ku.
Meninggalkan aku dengan kesendirian, memikirkan perkataan tadi!

"Apa seperti ini usai semua nya!"


Batin ini menyeru.
Perarakan setan juga roh gentayangan menghias jagad, menjadi gambaran jika kematian
mereka juga masih belum terikhlaskan oleh hati. Berbagai kesumat, yang ingin
menuntut balas; namun mereka semua seakan terjebak didimensi ini tanpa ketuntasan
hasrat.
Semua yg aku miliki sama sekali tanpa arti, rumah, mobil mewah, tumpukan harta
benda. Teronggok tak bergeming.
Utk menikmatinya lagi kini juga tidak bisa, hanya sebuah benda tanpa bernilai sama
sekali.
Itu semua ternyata bukan tujuan, itu semua hanya kemauan rasa rakus selama dalam
masa dunia.
Jika aku harus memaafkan mereka, itu akan lebih baik untuk meringankan sedikit dera
ketika israil menghakimi dalam barzah.
Ketika aku masih melamunkan makna kata ikhlas. Langit menggulungkan mendung, angin
kencang menerpa, bahkan sambaran petir menggelegar menghantam bumi.
Dari atas rombongan denawa dengan rantai menyeret lima jiwa yang terlihat tersiksa,
berteriak meminta pertolongan.
Sosok hitam raja genderuwo muncul dengan muka garang menakutkan.

"Mereka, sudah sampai masa nya sama seperti mu."


Berat suara nya terdengar.

"Kenapa dengan mereka?"


Tanya ku.
"Jiwa mereka akan abadi di alam ku sebagai budak, hingga kiamat datang."
Genderuwo itu menjawab.
Aku hanya bisa melihat wajah itu satu persatu; pak Karto, Surti, Kadrun, dan dua
orang yang tidak aku kenal. Tatapan mereka penuh sesal, ucap nya keluar dengan
rintihan minta ampun.

"Apa ini?"
Tanya ku pada makhluk dihadapan ku.
"Kamu ingat kesaktian yang pernah kamu minta. Mereka semua mati karena kesaktian
mu."Jawabnya.

"Makasudnya?"
Kembali aku bertanya tidak faham.

"Mereka semua orang yang mencelakakan mu, Dan mati mengenaskan oleh genderuwo
perewangan mu." Pungkasnya.
Lalu seperti tabir yang dibuka, aku menyaksikan kilas balik kematian mereka.

Pak Karto mati karena paku ditancapkan oleh denawa genderuwo dikerongkongan nya,
karena awal mula penghianatan itu dia yang mencetuskan gagasan untuk membunuhku.
Merasa iri dengan keberhasilan ku, sementara dia tidak memiliki nyali untuk
melakukan ritual itu sendiri.

Surti dan Kadrun mati mengenaskan saat bersetubuh, tanpa bisa dicabut. Itu jg ulah
perewangan ku yg membuat mereka gancet, perlahan mati dengan aib yg tidak terelakan
lagi.
Satu laki-laki itu adalah dukun yang kirimkan santet, juga guna-guna padaku.
Ditemukan mati gantung diri, karena ketakutan selalu diteror oleh bangsa genderuwo.
Yang satu lagi mati kecelakaan setelah melakukan aksinya menusuk ku, dia manusia
bayaran suruhan Surti dan Kadrun. Dan jelas kecelakaan itu karena mata nya ditutup
oleh denawa ku.
Semua sudah menuai balas dan dijadikan budak selama bumi ini masih ada. Dan aku
juga harus ikut bersama rombongan ini untuk menyemai buah tingkah laku selama
hidup.
Bagaimana pun mengikat perjanjian dengan bangsa lelembut hanya akan membawa diri
kealam kelam, alam tanpa ampunan. Dosa musyrik dosa yang tanpa memilih, memilah
pamrih Tuhan. Dera diterima di alam ini, juga di alam baka kelak. Kesakitan itu
abadi.

****
Rantai hitam besar dan panjang mulai dikalungkan di leherku, membelit semua tubuh
ini, sentakan seretan tangan kasar itu tanpa mampu aku lawan. Sampai terdengar
sebuah suara.

"Mas Bams, mas.. "


Ku toleh kan pandangan ku.
Laki-laki tengah berdiri itu Endro (Paijo). Laki-laki yang selama ini aku curigai,
ternyata dia selama ini tidak tau apa-apa akan semua ini.
Dia mengikuti langkah sesat kami karena hanya mencari rejeki, semua hasil uang itu
dia berikan kefakir miskin, gelandangan dijalan-jalan, dan untuk mencukupi
kebutuhan panti asuhan yang telah membesarkan nya. Dia sama sekali tidak menikmati
hasil uang haram itu.
"Kang Endro, sepuranono aku kang."
(Kang Endro, maafkan aku kang.)
Ucapku bersimpuh dihadap nya.

Sosok itu hanya tersenyum lalu berucap.

"Aku wes nyepurani mas. Sing ati-ati."


(Aku sudah memaafkan mas. Berhati-hati lah.)
Lalu muncul mbah Darmo disamping Endro. dengan telapak tangan dia mengusap kedua
mata nya, lalu wujud itu menghilang.

sekian

Anda mungkin juga menyukai