Anda di halaman 1dari 3

Kilas Balik Kenangan

Oleh : Shaffa Audy Azahwa P.

Cahaya senja telah tenggelam dikaki barat. Selendang renjana membungkus langit. Gelap tak
lama lagi akan datang menyapa kehidupan. Lantunan ayat-ayat suci berkumandang menghiasi jagat
dirgantara. Bintang-gemintang tumpah di langit. Bulan sabit dengan malu-malu muncul dari balik
selembar awan. Aku mematikan motor matikku. Dan memarkirkannya di depan rumah. Kulangkahkan
kaki masuk ke dalam rumah secara gontai. Terdengar suara bising penyiar berita yang dihiraukan oleh
pendengarnya. Mau tak mau tujuan utamaku menuju kamar harus disampingkan terlebih dahulu.

"Pa, papah.. ayo pindah ke kamar saja, sudah malam," kataku sedikit keras.

Sayup-sayup terdengar suara lenguhan, "Kok baru pulang nak, darimana saja hingga larut begini?"
katanya sambil menegakkan badan.

"Habis ngerjain tugas kelompok untuk ujian praktek minggu depan pa," kataku terdengar lemas.

"Kamu sudah makan belum? Wajahmu kelihatan letih sekali. Mamamu tadi menyiapkan makanan
kesukaanmu dimeja, makanlah dulu sebelum ke kamar," ucap papa.

Dengan sisa energi yang ada kujawab sambil berjalan menjauhinya, "Tolong masukkan saja ke
lemari es, besok pagi saja kumakan. Lalu.. papa cepat ke kamar juga ya, malam pa."

Akhirnya sampai juga aku ke tempat yang kuidamkan seharian ini. Hembusan angin yang berasal
dari pendingin ruangan menusuk tubuhku dengan tajam. Kulepaskan begitu saja beban berat
dipunggung yang membuatku lelah. Tak kupikirkan lagi badan yang lengket setelah seharian
beraktivitas. Bruk.. rasanya nyaman. Dan alam bawah sadarku pun mengambil alih setelahnya.

Sayup-sayup suara lantunan merdu membuka awal pagi yang cerah. Suara pisau yang beradu
dengan bahan masakan terdengar mengiringinya. Matahari muncul perlahan dengan malu-malu dari
balik awan. Langit luzuardi terhampar indah membalut pagi yang cerah. Perlahan aku membuka mata
yang terasa berat, yang pertama kulihat adalah warna putih dari warna langit-langit kamarku. Kepalaku
terasa pusing, pandanganku berputar-putar. Namun perlahan semua kembali normal.

"Nduk, audy.. ayo bangun. Ndang mandi trus turun ke bawah."

Terdengar suara seorang wanita paruh baya yang biasanya kupanggil dengan Mbah Ndut.
Kumunculkan sedikit kepalaku di pintu kamar yang terbuka sembari menjawab, "Iya sudah
bangun, mbah. 15 menit lagi aku turun."

Tak lama setelah itu, langkah kakiku yang terburu-buru menuruni tangga membuat perhatian Mbah
Ndut teralihkan padaku sejenak. Kemudian dengan raut marah ia berkata, "Pelan-pelan dy, kebiasaan.
Sudah dibilangi bolak-balik kalo turun tangga itu mbok yo pelan-pelan."

"Iyaa, Mbah Ndut yang paling cerewet," ucapku cengengesan sambil memeluk lengannya.

"Cepet duduk manis, ayo makan trus berangkat sekolah. Kamu hampir telat lo ini," ucapnya yang
tak bisa kubantah.

Seperti itulah aku mengawali pagi hari semenjak duduk di bangku sekolah dasar. Jika kalian
bertanya, mengapa bukan mama yang membangunkanku? Jawabanku sederhana saja, karena dari kecil
aku dirawat oleh Mbah Ndut maka perlahan peran kecil yang biasanya dilakukan oleh mama-mama
pada umumnya tidak berlaku padaku. Aku, anak perempuan pertama di keluarga Prasetya, Shaffa Audy
Azahwa dibesarkan dalam keluarga yang katanya "cemara". Roda kehidupanku pun berjalan seperti
orang awam tanpa peran mama didalamnya, dan aku mulai terbiasa oleh itu.

Tibalah satu hari yang penuh kejutan bagiku, hari itu tanggal 17 November 2016. Matahari berada
tepat diatas kepala membuatku semakin ingin cepat sampai rumah setelah seharian berkutik dengan
tugas di sekolah. Langsung saja kuketuk pintu berwarna cokelat tua didepanku, nihil. Tak ada satu pun
sautan atau sambutan hangat yang biasa kudapatkan dari Mbah Ndut.

"Assalamualaikum, mbah. Aku pulang," kataku keras namun tetap keheningan yang menjawab.
Kucoba membuka pintu. Ceklek. Bingung rasanya tapi tetap kulangkahkan kaki menuju kamar si
mbah, tujuan utamaku. Setelah tiba diambang pintu dengan riang ingin kuceritakan hal apa saja yang
terjadi hari ini padanya, "Mbah Ndut, ayo pergi ke pasar sore nanti. Ayo belikan jajan untukku, aku
pengen beli arum ma.." Dalam sekejap aku mematung. Yang kulihat saat itu sungguh diluar dugaan.
Sontak kulepaskan tas dan lari menuju Mbah Ndut yang tergeletak dengan mulut penuh busa.

"Mbah.. kenapa.. ayo bangun," hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku untuk beberapa saat.
Berulang-ulang terucap, hingga perlahan pandangan mataku buram terhalang air mata.

"Tolong mbahku.. tolong.. tolong!" pecah sudah tangisku. Terbirit-birit aku pergi mencari bantuan.
Beruntungnya ada seorang tetangga laki-laki seumuran papa tengah berdiri di teras rumahnya.
"Om, tolong.. Mbahku.. cepat om," kataku parau sambil menarik tangannya sepihak. Kulihat raut
bingung terpancar jelas diwajahnya.

"Eh.. kenapa ini? Mbahmu kenapa?" ucapnya memasang wajah bingung.

Sampailah kami di kamar Mbah Ndut, "Ayo tolong mbahku om.. bangunkan mbah.." kataku
memohon. Dengan penglihatan buram, kulihat dia yang ikut panik mengeluarkan handphone dan
menekan nomor darurat.

Perasaan panik, takut, sedih menyelimutiku bersamaan. Aku yang pertama kali melihat Mbah Ndut
dengan kondisi seperti itu merasa panik. Aku takut jika terjadi suatu hal buruk pada Mbah Ndut. Aku
yang hanya bisa duduk diam meratapi kepergiannya ke rumah sakit membuat perasaan sedih meremas
hatiku. Ditengah perasaan campur aduk itu, datanglah seorang wanita dengan setelan kantornya
menghampiriku. Matanya yang sembab dan penampilan berantakan bagaikan cermin bagi diriku saat
ini. Kemudian sebuah pelukan kudapatkan darinya, pelukan yang terasa hangat untuk kali pertama.

"Audy, bagaimana bisa kondisi ibu bisa seperti itu?" tanyanya masih mendekapku.

"Aku nggak tahu, Mbah sudah tidak sadarkan diri saat aku menemukannya," jawabku pelan.

Anda mungkin juga menyukai