OLEH NAMA : NI KETUT APRILIA KARTIANA DEWI NO : 26 KELAS :XI MIPA 1
SMA NEGERI 5 DENPASAR
TAHUN AJARAN 2019/2020 Pesan Terakhir Ayahku Hujan pagi berselimut awan mendung yang tebal, membasahi halaman rumahku. Semilir angin pun berhembus dingin. Aku menatap halaman rumahku jenuh. Pikiranku kalut. Petuah ibuku masih terngiang-ngiang di kepalaku. Nada yang tegas itu selalu mendesing di telingaku. “Tidak.” semburan kata yang masih muncul di pikiranku. Aku terus saja memikirkan hal itu, hal yang membuatku risih sekaligus sedih. “Baiklah akan tetap aku ambil”, gumamku dalam hati. Aku menemui Ibuku di kamarnya. Sunyi itulah yang aku rasakan pertama kali. Suara detik jam yang berbunyi, membisu ditutupi degupan jantungku. “ Ibu tolong, biarkan saya memilih jalan saya sendiri.” Ibuku berhadapan denganku. Rambutnya yang hampir berwarna putih menandakan dirinya sudah tua. Matanya merah, seakan ini memakanku. Diletakkan gadget yang dipegangnya tadi. Ditatapnya diriku yang sedang menunduk. “ Ibu, Anne mohon ini pilihan Anne, Anne tau Ibu marah akan apa yang Anne lakukan, tapi Anne mohon Bu. Sekali ini saja.” Kata ku lirih, mataku pun mengalirkan setetes demi setetes air mata. Ibuku pun mendekati diriku. Ia sadar, ia tengah menghadapi anaknya yang sedang menuju pendewasaan. Ia takut anaknya salah jalan. “Engkau harus mengerti An, Ibu tidak mau nantinya kamu salah jalan, lihatlah kakakmu dia sukses bukan?. Semua keluargamu mengambil jalan itu nak. Turutilah kata-kata Ibumu nak.” Aku menjauhi Ibuku, pergi meninggalkan dirinya sendirian di kamar. Ditatapnya pungungku yang menjauh. Aku kembali menatap jenuh halaman rumahku. Pikiranku kalut akan apa yang diucapkan Ibuku. Aku telah berusaha untuk mengubah pola pikir Ibuku, tapi gagal. “ Tidak “ itulah selalu jawaban Ibuku. Di sekolah diriku selalu dibangga-banggakan akan nilai akademik ku. Aku hampir lulus dalam semua mata pelajaran. Bisa dikatakan aku ini mahir dalam hal hitung-hitungan daripada menghapal. Suatu saat temanku bertanya aku akan melanjutkan kuliah apa. Aku pun menjawabnya, “Aku akan melanjutkan ke jurusan teknik”. Ternyata pembicaraanku dengan temanku sampai di telinga Ibuku. Dengan mata yang memerah serta bola matanya yang ingin keluar ibuku menghampiriku di kamar, “ Ibu kan sudah katakan An. Kamu harus masuk kedokteran! Bukan teknik!” Aku tidak diam. Ruangan ini hanya ada dua orang, tetapi hawanya sangat mencekikku. “An tidak mau Ibu, An tidak suka kedokteran, lagipula kedokteran itu mahal, An tidak mau Ibu semakin menderita untuk membiayai An.” Aku pun melengos pergi meninggalkannya, ku tutup pintu kamarku dengan kasar. Aku yakin Ibuku terkejut dengan apa yang aku lakukan. Semenjak kejadian itu, kami tidak pernah bertegur sapa, kami saling diam satu sama lain. Rumah yang hanya berdua saja semakin mencekamku dengan permasalahan ini. Aku pun pergi ke suatu tempat. Disana aku diberikan sebuah benda berwarna coklat, tidak salah lagi itu adalah tes hasil peminatanku. Pelan pelan aku membukanya. Ketika terbuka kata pertama yang kulihat adalah jurusan yang sesuai dengan minatku, teknik sipil. Aku pun berdengus pasrah. Sebab memakai kertas ini pun tidak akan mengubah keputusan Ibuku. Gigih itu lah Ibuku. Namun sifat itu menurun kepadaku. Sesampainya dirumah aku masuk tanpa menegur sapa Ibuku, aku menutup pintu kamarku dengan keras. Mungkin Ibuku sudah lelah berdiam diri terhadapku. Dibukanya pintu kamarku. Ia pun duduk di pinggir kasurku. Matanya menatapku sendu. Aku pun memulai pembicaraan ini. “ Ibu, kenapa Ibu tidak memberikan Anne kuliah teknik? Kenapa Ibu menyuruhku kuliah kedokteran? Kenapa bu?, kataku sambil berkaca-kaca. “ An apakah kamu tau, kenapa Ibumu ini merawat dirimu sendiri?” Aku pun membalas dengan menggelengkan kepalaku namun tetap tidak menatap mata Ibuku. Kulihat dari pantulan kaca, mata Ibuku berair, sedih itulah yang dapat kulihat. “ Ini semua karena, Ayahmu telah meninggal Anne. Ia meninggal saat Ibu melahirkanmu. Pada saat itu, Ia bekerja lapangan sebagai kontraktor An. Ia meninggal karena terjatuhi baja yang tebal itu. Sebelum meninggal Ayahmu menitipkan pesan kepada Ibu, agar semua anaknya tidak menjadi seperti dia, yang meninggal sia – sia tanpa bisa melihat anaknya tumbuh besar.” Selesai bicara, Ibuku meninggalkanku yang masih diam memahami perkataannya. Hampir tengah malam dan aku belum menutup mataku. Kata-kata Ibuku masih terngiang-ngiang di kepalaku. Tak mungkin Ibu yang telah melahirkanku membohongiku akan hal tersebut. Aku pun termenung dengan masih memikirkan alasan Ibuku itu “Baiklah sepertinya aku harus menuruti Ibuku”, gumamku dalam hati dengan kepuasaan tiada tara. Malam itu tidak segelap malam biasanya.