Anda di halaman 1dari 5

Gelora Bara Milenial

Namaku Andi, aku adalah seorang pelajar SMA kelas 12.


Hidupku biasa saja, tinggal di sebuah rumah sederhana yang
berukuran kecil. Aku tinggal bersama ibu dan adik kecilku. Ayahku
telah meninggal sejak 2 tahun yang lalu. Dan kini, aku harus menjadi
tulang punggung bagi 2 bidadariku. Ya, mereka adalah alasan
mengapa aku tetap bersemangat hingga hari ini. Mereka bagaikan
bara api yang terus membakar semangat juangku. Mereka adalah
cahaya penerang perjuanganku yang suram dan penuh liku.

Karena semangat itu, aku berhasil bersekolah di SMA yang


paling ternama di daerahku. Beasiswa yang ku raih setidaknya dapat
mengurangi beban keluarga. Aku memang cukup pintar, disetiap
semester aku mendapat peringkat 1 umum. Bahkan baru saja kemarin
aku meraih juara 2 Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika di
tingkat provinsi. Dan ini cukup membanggakan bukan ? Ya, memang
membanggakan. Tentunya itu semua adalah berkat doa ibuku. Dia
selalu berdoa akan kesukseksanku. Aku sangat menyayanginya, aku
tak mau kehilangan ibu.

Saat itu adalah hari dimana seluruh siswa mendapat formulir


untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi mana dan
mengambil jurusan apa. Aku memilih ke jurusan ekonomi. Namun
guru berkata bila jurusan IPA akan sulit masuk ke ekonomi. Namun
mau bagaimana, hanya itulah yang ku inginkan dan ku harapkan.
Maka akan ku perjuangkan harapan itu dengan sekuat tenaga. Tak
lupa aku mengisi universitas yang akan ku jadikan tempatku
menuntut ilmu ekonomi. Aku akan mencari beasiswa agar bisa
kuliah. Aku ingin sukses.

Cita-citaku memang menjadi seorang pengusaha. Karena aku


pernah membaca, menjadi pengusaha adalah pekerjaan yang paling
menggiurkan. Lagipula, untuk apa juga aku hanya bekerja di
kantoran. Duduk di depan komputer setiap harinya dan selalu
melaksanakan perintah atasan. Lebih baik aku berwirausaha dan
menjadi bos meski usahaku hanya kecil-kecilan. Ini semua tak lain
juga karena aku ingin membahagiakan gadis kecilku dengan
menyekolahkan dia. Aku juga ingin membahagiakan ibu dengan
memberinya rumah yang lebih layak daripada yang kutinggali saat
ini. Karena sekali lagi, mereka adalah cahayaku.

Tak terasa aku sudah kelas 12 semester akhir. Dan ini adalah
masa-masa tersulit di SMA. Didalamnya ada penentuan lulus
tidaknya kami. Ujian Nasional semakin dekat, dan aku bisa
merasakan bau persaingan yang semakin sengit. Saat aku hendak ke
perpustakaan sekolah, tak sengaja aku mendengar bisikan dari teman-
temanku, “Liat tuh si Andi! Sok pinter banget sih. Makan tuh pinter
sendirian. Masa iya pelit banget sama jawaban ulangan.” Dan yang
lain pun ikut bicara juga, “Iya tuh. Lu kira pinter doang bakal bisa
sukses!” Sebenarnya aku geram mendengar itu semua, namun
kuteruskan saja langkahku. Dan tiba-tiba aku terjatuh, sebuah kaki
menendangku dari belakang.

Kacamataku jatuh dan pecah. Hal tersebut diiringi gelak tawa


seisi koridor sekolah. Ingin rasanya aku menghajar mereka, namun
ibu selalu berkata, “Tak usah macam-macam dengan orang nak.
Kita ini miskin, biar saja kita dihina bahkan ditendang sekalipun.
Mengalah saja.” Ya, wanita yang kini sudah sering sakit-sakitan itu
kembali mengingatkanku pada sebuah memori. Orang miskin seakan
memang tak punya kebebasan untuk bersuara. Kami selalu dibayangi
dengam ketakutan yang diciptakan oleh kaum-kaum borju. Aku
hanya bisa bersabar dan menunjukkan kesuksesanku dihadapan
mereka nantinya. Akan kubungkam rapat-rapat mulut mereka yang
dulu menertawakanku.

Tibalah hari ujian itu, aku telah mempersiapkan segalanya.


Kulangkahkan kakiku dengan mantap ke ruang ujian. Saat au
berjalan, kurasakan semua mata menatapku sinis. “Ah, sudahlah. Tak
usah kuhiraukan.” batinku. Seluruh mata pelajaran telah selesai di
ujikan. Dan ini adalah pengumuman hari kelulusan. Aku sangat
bahagia, diriku dinyatakan lulus. Dan yang lebih menggembirakan
lagi adalah namaku berada di list paling atas. Itu artinya aku adalah
lulusan terbaik. Guru-guru memberiku ucapan selamat. Teman
sekelasku pun demikian, namun wajah mereka tampak tak bersahabat
denganku.
Tak lama kemudian, aku dipanggil oleh kepala sekolah agar
datang ke ruangannya. Aku diberi ucapan selamat dan diberikan
sebuah amplop. “Maaf, amplop apa ini pak ?” Tanyaku sopan.
“Bukalah saja nak Andi.” Jawabnya seraya tersenyum ramah. Aku
kaget bukan kepalang, amplop itu berisi surat undangan masuk ke
universitas ternama yang selama ini kuimpikan. Dan ini bukan lagi
mimpi. Aku mendapat beasiswa. Bahkan tempat tinggal dan biaya
makanku pun gratis, aku juga akan diberi uang bulanan.
“Terimakasih ya Allah.” ujarku dalam hati.

Aku pulang kerumah dengan perasaan bahagia. Ingin


kutunjukkan pada ibu dan adikku bahwa aku berhasil mendapat
beasiswa. Namun aku terkejut ketika sampai di depan rumah.
Terdengar suara Lintang, adik kecilku menangis dengan keras
meneriakkan nama ibu, “Ibuuu, bangun buu. Lintang tidak mau
kehilangan ibuuu...” Aku menangis sambil masuk kerumah dengan
cepat. Kulihat tubuh ibuku sudah pucat dan kaku. Aku berteriak
sambil berlari keluar, “Pak, bu! Tolong ibu Saya, toloong.” Aku
menangis sejadi-jadinya. Dan para tetangga pun berdatangan, “Ada
apa Andi ? Ada apa ??” Tanya bu Farida dan tetangga yang lain.
“Ibu Saya, ibu Saya...” Ucapku tak mampu melanjutkan lagi.

Hancur sudah harapanku. Wanita penyemangatku pergi, aku


takut tak bisa lagi menjalani hidup. Namun aku tak bisa seperti ini.
Adik kecilku, Lintang harus aku urus. Aku mengusap air mataku,
kuajak dia pulang kerumah. “Tenang dek, kak Andi akan selalu
menjagamu.” kataku dalam hati. Aku masuk ke kamar ibu untuk
menidurkan Lintang. Setelah dia tertidur, aku berjalan mengelilingi
kamar untuk mengenang ibuku. Tak sengaja aku menemukan sebuah
kertas kecil yang tampak seperti surat. Kuambil dan kubacanya,
ternyata itu adalah surat yang ditulis ibu sebelum beliau meninggal.

“Anakku Andi, maafkan ibu... Ibu baru bisa mengatakan padamu


setelah ibu tiada. Sebenarnya ibu menderita kanker hati stadium 4.
Dan ibu tak menceritakan padamu karna takut kau akan bersedih.
Ibu berpesan, jagalah Lintang. Jadilah orang sukses nak. Dan
do'akan ibu agar tenang di alam sini. Jangan bersedih, kita akan
bertemu kembali di Surga Allah :)”

Tanganku gemetar, kakiku tak mampu lagi menopang


badanku yang mulai melemas. Ternyata ibu menderita kanker hati
stadium 4 dan tidak memberitahuku. Namun ibu bilang aku tak boleh
bersedih. Aku tak boleh bersedih, aku harus menjaga Lintang, aku
harus bangkit. Aku pasti bisa membahagiakan Lintang. Bila aku telah
kehilangan 1 bidadariku, maka aku tak boleh mengecewakan gadis
kecil. Hanya dialah satu-satunya harapan, hanya dia.

Setelah bertahun-tahun kuliah selesai kujalani, akhirnya aku


bisa merasakan kesuksesanku. Lintang yang selama ini kutitipkan
pada bu Farida tetanggaku sama sekali tidak rewel. Ia kutinggal saat
aku kuliah, dan kujemput saat aku pulang kerumah. Kini ia sudah
tumbuh menjadi remaja, dia sangat cantik, persis seperti ibu. Dan aku
adalah seorang pengusaha properti. Akhirnya aku bisa membeli
rumah yang tak lagi seperti tempat tinggal kami dulu. Dan akhirnya,
aku bisa membungkam mulut orang-orang yang dulu
menertawakanku. Ini adalah aku, Andi. Kita boleh saja merasa
terpuruk ketika dihina, ditendang, dan diabaikan. Namun,
ingatlah bila kita masih punya harapan. Kita memiliki orang-
orang yang harus kita bahagiakan. Mereka adalah bara
penyemangat kesuksesan kita. Dan ketika kamu berada diatas,
ingatlah tujuan awalmu. Jangan lupakan mereka yang berdiri
dibelakangmu.

Rabu, 05 Desember 2018

Nama yang mengerjakan :

1. Dwilia Arnitasari
2. Romadhon
3. Muhammad Fajry
4. Eliyah
5. Fuad
6. Filma Eka Santika

Nama yang izin :

1. Dwi Rahayu (sedang ada tugas kuliah)


2. Fitriana Rakmah (sedang membuat makalah)
3. Galuh Hediati (sedang UAS)

Yang Tidak Mengerjakan :

1. @+62 813-3631-1912 (tidak ada keterangan)

Anda mungkin juga menyukai