Anda di halaman 1dari 4

‘’JAHAT’’

Kehidupan bak jam pasir yang terus mengalir setiap detik. Aku jalani perlahan
namun pasti menuju ke suatu masa. Dalam menjalani kehidupan ini tentu keluargalah
naungan yang selalu melindungiku di kala sedih dan bahagia. Siapa lagi kalau bukan mereka,
kedua sosok yang selalu menyayangiku dan membimbingku untuk terus maju meraih masa
depan. Aku tak ingin kasih sayang mereka putus untukku, aku ingin mereka selalu
menemaniku, melindungiku dalam setiap waktu. Aku tak ingin berpisah dengan mereka, jika
ada yang abadi di dunia ini maka merekalah yang ku minta untuk abadi. Meskipun kehidupan
yang ku jalani tak seindah dan semulus seperti harapan yang ku inginkan. Kadang hati ini
terasa gelisah dan ingin marah jika harus menerima keputusan yang ingin ku menentangnya.
Banyak orang bilang keluargaku adalah keluarga yang tergolong mampu di desa.
Mempunyai sawah dan ladang sebagai sumber kehidupan. Keluargaku hidup dari hasil
pertanian saja untuk kebutuhan makan, pakaian hingga pendidikan anaknya. Masa pendidikan
yang ku jalani di setiap tingkatannya ada saja masalah. Salah satunya ketakutan orangtuaku
tentang biaya sekolah. Menurutku yang selalu menentang pendidikanku adalah bapakku
sendiri. Dari lulus SD hingga mau masuk SMP sampai SMA ada saja cobaan, hingga
keinginan untuk kuliah. Bapakku selalu saja berpikir takut tak mampu membiayai
pendidikanku.
‘’ Nggak perlu lanjut sekolah ke Kuliah.’’
‘’Ya Allah, Bapak. Kalau nggak sekolah terus mau apa?’’
‘’ Nikah aja, sekolah tinggi bagi perempuan pada akhirnya juga kerja di dapur.’’
‘’ Iya orang dulu gitu, tapi ini sekarang banyak perempuan sudah kerjanya di kantor, jadi
dokter, jadi guru.’’
‘’Ahhh, kamu kok nggak ngerti keadaan orangtua, pokoknya nggak perlu lanjut sekolah.’’
Drak......Bapakku menggemprak meja dengan keras hingga mataku yang perkaca-kaca
tak ammpu membendung dan keluarlah derasnya air mataku. Selesai debat yang menguras
tenaga itu membuatku marah terhadap bapakku. Kenapa bapak tak pernah berubah, kenapa
aku juga lahir di desa dengan pemikiran orang-orang yang tak mau maju ini. Memang benar
di desa ini kebanyakan anak perempuan itu tak ada yang meneruskan pendidikan sampai
perguruan tinggi. Anak perempuan di desaku ini lulus SD sudah harus mondok di pesantren.
Lulus dari pesantren biasanya mereka sudah harus menikah. Tapi ada juga yang sekolah di
sekolah dekat desa, ujung-unjungnya lulus mereka nikah. Dijodohkan dengan orang-orang
dekat masih lingkup desa. Miris melihat keadaan seperti itu aku tak ingin itu terjadi
kepadaku.
Beberapa hari aku malas sekali untuk makan dan bertatapan dengan bapakku. Tapi
ada saja yang selalu membujukku untuk berhenti menangis dan menyuruhku untuk makan.
Dialah ibuku, dia yang menenangkan hatiku dengan memadamkan rasa marah kepada bapak.
‘’ Sudah berhenti nangis, kantung maataku sampai hitam itu.’’
‘’Bapak kok jahat ya bu, kenapa anaknya nggak boleh kuliah.’’
‘’Dia nggak jahat, dia hanya takut saja nak.’’
‘’Tapi ini kan bukan zaman Siti Nurbaya lagi bu, nggak mau nikah. Belum siap bu.’’
‘’ Iya, sudah-sudah ayo sholat. Minta sama Allah. Semoga bapak sadar.’’
Menangis tersendu-sendu sampai air mataku tetap mengalir tak terhenti, aku berjalan
dan membawa handuk di leherku. Berjalan ke kamar mandi sampai menangis. Sambil jalan
aku lihat bapakku sedang duduk menonton TV, aku malas menatap wajah bapak. Wajah ini
rasanya berat sekali jadinya aku jalan hanya menunduk saja dengan cucuran air mata yang
terus mengalir. Selesai sholat aku tetap berdiam dan mengunci pintu dalam kamar. Rasa
kesal kepada bapak masih membara dalam hatiku. Berwudhu menjadi obat untuk
menghilangkan rasa resah gelisah dalam hatiku. Selesai sholat aku tetap berdiam mengunci
diri di dalam kamar hingga tak terasa mataku terlelap dalam tidur siang. Cahaya senja
membangunkanku lewat jendela kkamarku. Aku bergegas bangun dari tidur siang dan
melangkahkan kakiku keluar kamar. Tiba-tiba kakiku terhenti saat aku mendengar suara
tangisan seorang perempuan, suara itu terasa memohon kepada seseorang.
‘’ Aku nggak apa-apa meski aku nggak ke tanah suci, tapi tolong anakmu kuliahkan.’’
‘’Aku nggak apa-apa kalau biayanya semuanya untuk anakmu Pak.’’
‘’Aku takut tak kuat bu kuliahkan anakmu bu, biaya kuliah itu mahal. Hasil panen kita takut
tak cukup untuk membiayai kehidupan kita nantinya.’’
‘’Percaya pak, Allah tak akan memberikan kesengsaraan untuk hambanya selagi hambanya
masih berusaha. Tapi tolong pak, izinkanlah anakmu untuk kuliah Pak.’’
‘’Aku sebenarnya tak tega anakmu menangis, aku lihat perjuangan dia untuk masuk di
perguruan tinggi. Beberapa dia harus mengalami kegagalan untuk masuk di perguruan
tinggi.’’
Ku mendengarkan percakapan mereka dalam bilik kamarku, air mataku menangis
betapa mulianya ibuku yang merelakan keinginan untuk pergi ke tanah suci untuk biaya
pendidikan anaknya. Rasa ingin kuliah tiba-tiba menjadi bimbang didalam hatiku, aku juga
tak tega membiarkan ibuku tak jadi ke tanah suci. Akupun keluar dari kamarku dan langsung
menghampiri ibuku yang masih duduk dan bapakku sudah pergi ke musolla.
‘’Bu, kenapa ibu relakan biaya itu untuk anakmu?’’
‘’Sudah nggak apa-apa.’’
‘’Ifa, tak jadi kuliah sudah bu, ifa akan kerja saja. Tahun depan ifa akan kuliah dengan biaya
sendiri.’’
‘’Kenapa kamu bimbang seperti ini. Pokoknya harus kuliah, bapak sudah rela kamu untuk
kuliah.’’
‘’Tapi Ifa tak tega membiarkan ibu tak jadi pergi ke tanah suci.’’
‘’Sudah,sudah kamu nggak perlu memikirkan itu, pokonya Ifa harus kuliah.’’
‘’ Ifa janji bu, Ifa akan membalas ini semua nantinya, ketika Ifa sukses.’’
‘’Amin.’’ Aku memeluk ibuku, pelukan itu terasa hangat dalam sebuah tangisan. Tangisan
yang tak akan terlupakan sepanjang hidupku. Karena dalam tangisan itu ada sebuah janji
kehidupan.
Perjalanan waktu dalam bak pasir it terus mengalir dalam kehidupanku, kebahagian
perjalanan menjalani masa kuliah ku nikmati. Membanggakan orangtua menjadi prioritas
pertama dalam hidupku. Aku senang sekali menikmati kehidupan ini, kini bapakku sudah tak
pernah mempermasalahkan masalah biaya kuliah. Aku percaya benar kata ibu, rezeki itu
Allah yang mengatur. Selama aku kuliah orangtuaku tak pernah mengalami kesulitan untuk
membiayai kuliahku. Allah juga memberikan aku rezeki dengan cara aku berhasil
mendapatkan beasiswa PPA, aku sangat bersyukur dengan yang aku dapatkan ini. Kabar
gembira ini aku utarakan kepada kedua orangtuaku. Tapi yang tak aku sangka, bapakku
malah menyuruhku untuk menabung uang beasiswa.
‘’Sudah itu uang beasiswanya ditabung saja.’’
‘’Lah, kenapa harus ditabung pak. Kan ini seharusnya untuk bayar uang kuliah Pak.’’
‘’Sudah, pokonya disimpan saja Nak. Kewajiban biaya kuliahmu adalah tanggungjawab
bapak dan ibu. Pokoknya kamu kewajibannya belajar dan belajar’’
Betapa terenyuh mendengar ucapan bapak yang membuatku selalu ku annti-nanti
sejak dulu. Mengapa bapak tak mulai dari dulu seperti ini, masih ingat dengan sikap bapak
yang dulu. Berdosa aku pernah mengucapkan bapak dengana kata jahat. Ya Allah ampuni
dosaku, bapak maafkan putrimu ini, ku cabut ucapanku kata jahat untukmu.
Kenikmatan kehidupan terselimuti kebahagian beberapa tahun ini, tak ada kesedihan
apapun menghampiri kehidupanku. Aku ingin selamanya seperti ini, bahagia tanpa ada
kesedihan ataupun masalah berat menghampiri kehidupanku. Tapi tak ada yang mampu
menentukannya, dikala aku sedang menikmati kenyamanan bangku kuliah aku harus
menerima cobaan yang membuat hatiku, pikiran, dan fisikku lemas dan lemah tak menentu.
Bapakku jatuh sakit, awalnya sakit perut dan tak disangka setelah melakukan cek radiologi
bapak mengidap kangker hati.
Drak…Suara ku dudukkan tubuhku ini di kursi kayu di dalam kelas. Setelah terima
telpon dari kakakku. Aku terasa tak kuat berjalan, air mataku mengalir tanpa aku suruh. Dan
Semenjak aku tahu tanda kesehatan bapak , aku lebih sering untuk pulang bertemu bapak.
Tak ada rasa lelah aku harus berkilo-kilo untuk sampai ke rumah. Tujuanku satu yaitu
menemani bapak dan membuatnya selalu tersenyum dan bahagia.
Bermacam cobaan kini aku harus terima, dalam perjalanan itu. Keluargaku juga
dihantam sebuah kesulitan ekonomi. Hasil panen tak mencukupi biaya pengobatan untuk
bapak.
‘’ Ibu kenapa?’’
‘’Nak, seperti bapak kini tak perlu dibawa ke rumah sakit lagi.’’
‘’Lohh, kenapa bu?.’’
‘’Kini kita tak punya uang sama sekali.’’
‘’ Kan masih ada biaya beasiswa Ifa bu, uang itu apakah cukup untuk biaya untuk bapak?’’
‘’Jangan.’’
‘’Nggak apa-apa bu, pokoknya lakukan ini semua untuk bapak.’’
Akhirnya ibu mau menerima tawaranku untuk menggunakan uang beasiswaku. Aku
tak perduli meski uang beasiswa itu habis. Yang aku pentingkan bapak sembuh, masalah
kuliah jika diperjalanan aku harus berhenti sejenak tidak apa-apa, aku masih bisa bekerja
untuk mencari biaya kuliahku.
Waktu terus mengalir, ku lihat bapakku sudah tak kuat untuk berdiri, kini bapakku
mengganti posisinya dengan duduk saat menghadap arah kiblat. Satu bulan kemudian,
bapakku tak mampu untuk duduk, dia harus berbaring untuk terus melafalkan bacaan pujian
untuk Sang pencipta. Hatiku masih berceletuk dan bergejolak apakah ini sebuah cobaan yang
Tuhan berikan kepadaku. Sekuat tenaga, jiwa, hati dan fisikku menahan untuk menutupinya
di depan bapakku. Aku dan kakaku sudah berusaha semuanya untuk bapak mulai dari
perawatan yang terbaik, mengabulkan permintaan apapun darinya. Aku, kakak dan ibu harus
siap jika sesuatu itu terjadi dikemudian hari. Tak tega juga saat melihat bapak harus tertusuk
jarum infus dengan tiga cairan berwarna putih dan satu kantong darah.
‘’ Ifa, sini sebentar.’’
‘’ Bapak titip ya, jangan nakal. Kuliah yang benar, bapak do’akan semoga kamu sukses
Nak.’’
‘’Aminn.Bapak juga harus sehat lagi, bapak kan masih ingin lihat Ifa wisuda kan?.’’
Ayahku hanya terdiam menatap wajahku.Ku pegang erat tangan bapakku yang dingin saat ku
genggam. Aku merasa berat bagaimana jika bapak meninggalkan aku, kakak dan ibuku. Aku
belum siap untuk segalanya.
Hingga hari itu yang tak ku duga datang. Di kala matahari terbit dalam ufuk timur,
saat aku mengendarai motorku. Di tengah pertigaan itu ku lihat kereta kencana menuju
halaman rumahku. Tubuhku terasa lemas dan tak terasa air mataku mengalir deras. Aku
berusaha berjalan untuk menemui bapakku. Sampailah aku di depan bapakku. Tertunduk
dengan linangan air mata aku mencoba tegar dan menghadapi hari terakhir melihat wajah
bapakku. Tak ada lagi senyumnya, tak ada lagi lantunan bacaan Al Qur’an yang sering di
baca, tak ada lagi canda tawanya. Penyesalahan tentang kata jahat untuk bapak benar-benar
aku sesali selama hidupku. Bapak maafkan anakmu ini yang telah mengucapkan kata jahat
untukmu. Dalam hiruk suara lantunan bacaan Al-Qur’an aku mencoba dekat dengan
wajahnya.Inilah terakhir aku melihatmu Bapak. Ya Allah ampuni segala dosanya dan
terimalah amal dan ibadah bapakku.

Karya : Izzatun Nafsin Nisa

Anda mungkin juga menyukai