Anda di halaman 1dari 6

Nama : Siti Marsela

NIM : 1214020162
Kelas : KPI 2-D
Mata Kuliah : Ilmu Komunikasi

JANGAN TAKUT BERMIMPI


Namaku Fiona Zeannisa, aku biasa dipanggil dengan fio. Aku
lahir dari keluarga sederhana yang membuat diriku tak berani
untuk bermimpi. Lingkunganku mengajarkan bahwa anak
perempuan itu tidak perlu berpendidikan, asalkan sudah bisa
menbaca dan menulis itu saja sudah cukup. Mereka selalu
beranggapan bahwa wanita hanya akan menjadi seorang ibu
rumah tangga. Sehingga tidak banyak wanita di lingkunganku
yang merasakan bangku sekolah, terlebih sekolah menengah
atas.
Namun, keluargaku adalah salah satu keluarga yang
mendukung pendidikan anak-anaknya, orang tuaku memiliki
pandangan bahwa anak-anaknya tidak boleh seperti mereka
yang tidak merasakan pendidikan, karena saat ini pendidikan
sangat penting untuk menghadapi tantangan yang ada dimasa
yang akan datang.
Aku adalah anak yang memiliki kepintaran melebihi kakak-
kakakku, sehingga orang tuaku sangat mendukung untuk
terus melanjutkan pendidikan.
Awalanya aku tidak berani bermimpi untuk melanjutkan
pendidikan karena aku sadar bahwa aku bukan berasal dari
keluarga yang berkecukupan. Impianku hanya bisa lulus
sekolah lalu bekerja dan membantu perekonomian keluarga.
Tidak pernah terbesit dalam mimpi maupun dalam
lamunanku bahwa aku mengenyam pendidikan ditempat yang
belum pernah aku bayangkan sebelumnya. Jauh dari
kampung halaman, dan jauh dari keluarga. Perbedaan budaya
dan gaya membuatku harus beradaptasi dengan ini semua.
Namum, inilah jalan yang Allah Swt berikan padaku dan
inilah takdirku.

Setelah pulang sekolah


“Assalamualaikum, buu..ibuuu!” seruku.
“Waalaikumsalam, jangan teriak-teriak fio!” jawab ibuku.
“Hehe… maaf bu.” Kataku.
“Gimana ujiannya? Lancar gk? Nilainya gimana?” cecar
ibuku.
“Astagfirullah mah, satu-satu dong kalo nanya, udah kaya
kereta api aja nih.” Jawabku.
“Iya-iya, yaudah tinggal jawab aja susah.”
“Iya mah, alhamdulillah ujiannya lancar tadi fio jadi peraih
nilai tertinggi matematika loh.” Ucapku bangga.
“Wah alhamdulillah, anak ibu hebat.” Ucap beliau.
“Iya dong kan anak ibu gitu loh.” Ucapku.
“Yaudah sekarang sana mandi abis itu sholat terus makan.”
“Oke bu.”
Setelah itu aku mandi dan sholat kemudian makan. Malam
harinya aku terus kepikiran dengan perkataan wali kelas ku
yang menanyakan tujuan aku melanjutkan sekolah. Sejak
awal aku memang akan melanjutka ke sekolah menengah
kejuruan tempat kakak keduaku sekolah. Tapi setelah melihat
brosur pondok pesantren tadi siang, terbesit keinginan untuk
melanjutkan kesana, tetapi biaya sekolah disana membuatku
mengurungkan diri. Akhirnya aku memutuskan untuk
melanjutkan ke sekolah sesuai tujuan awalku.
Hari terus berlalu, aku sudah mendaftar ke SMk yang ku pilih
sejak awal, namun seperti ada yang mengganjal dalam diriku.
Aku ingin sekali membicarakan niatku untuk melanjutkan ke
pondok pesantren tapi ada kebimbangan yang membuatku
ragu untuk mengatakan pada orang tuaku. Namun dengan
segenap keberanian akhirnya aku mengatakannya.
“ayah, ibu fio boleh gak kalo ngelanjutin sekolah ke pondok
pesantren yang di jakarta?” ucapku ragu.
“Hah, bukannya kamu udah daftar ke SMK kemarin.” Jawab
ibu.
“Iya udah sih, tapi fio mau ke pesantren itu. Sebenernya dari
kemarin mau bilang tapi gak berani.” Ucapku.
“Emang biaya masuknya berapa?” tanya ayah.
“Yang aku liat di brosur taun kemarin sih 8 juta masuknya,
terus SPPnya 1juta.”
“Astagfirullah mahal banget.” Ucap ibu kaget.
“Yaudah mending coba pastiin aja bener apa ngga segitu,
nanti kakak kamu yang nganterin.” Ucap ayah.
“Iya yah.”
Seminggu kemudian aku diantar kakakku ke pondok
pesantren tersebut untuk dafta sekaligus tes masuk dan tes
kesehatan. Saat disana aku dikejutkan dengan biaya masuk
yang jauh dari prediksi awalku. Akhirnya aku pulang dengan
lesu. Sesampainya dirumah kakakku menceritakan semuanya
dan terjadilah perdebatan antara ibu, ayah dan kakakku.
Ayahku memutuskan untuk tetap melanjutkan ke SMK
karena biaya pesantren sangat mahal, namun ibu dan kaka
menyalahkan ayahku karena seolah-olah memberi harapan
kepadaku namun akhirnya tidak sesuai harapan. Cukup lama
perdebatan terjadi dan akupun pergi menuju kamarku karena
tidak kuat mendengar pertengkaran kedua orang tuaku.
Didalam kamar aku menangis dan menyalahkan diri sendiri,
karena aku orang tuaku bertengkar. Lalu tiba-tiba ada yang
mengetuk pintu kamarku.
“Tok tok tok, fio buka pintunya yaa ayah mau ngomong.”
Ucap ayahku
“Iya yah, sebentar.”
“Ayah boleh masuk?”
“Boleh yah.”
“Fio maafin ayah ya, ayah gak bisa sekolahin kamu disana
biayanya mahal banget ayah takut gak sanggup kan kamu tau
sendiri gaji ayah berapa.” Ucap ayah sambil menangis.
“Iya ayah fio gapapa ko, ayah jangan nangis yaa.” Ucapku.
“Maafin ayah gak bisa turutin mau kamu kali ini, ayah minta
maaf.”
“Iya ayah gapapa ko.”
“Sekali lagi maafin ayah ya.”
“Iya ayah.”
Setelah ayah keluar dari kamarku, aku menangis sejadi-
jadinya. Selama hidupku itu adalah pertama kalinya ku
melihat ayah menangis dan itu karena aku, aku terus menerus
menyalahkan diriku atas kejadian tersebut, aku menyalahkan
keegoisanku. Berhari-hariaku murung karena terus
menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi, Hingga suatu
hari, kakakku memberitahu bahwa aku lulus ujian masuk
pesantren tersebut dan tiba-tiba ayah dan ibu bilang kalau aku
boleh melanjutkan ke pesantren tersebut. Ayah dan ibu bilang
bahwa mereka yakin bahwa allah akan mempermudah
jalannya selagi itu baik.
Akhinya aku masuk ke pesantren itu, hari demi hari dilewati
dengan berbagai rasa, ada bahagia, tangis dan penyesalan
yang terus menghantui diriku. Aku selalu berpikir bahwa ini
adalah keputusan paling egois yang pernah aku pilih. Tiada
hari yang ku lewati tanpa penyesalan, rasa bersalah dan benci
pada diri sendiri. Namun seberat apapun itu aku harus
mememdamnya sendiri karena aku harus bertanggung jawab
atas apa yang telah aku pilih. Hidup diantara orang-orang
yang perekonomiannya diatasku terkadang membuatku ingi
menyerah, namun aku teringat kembali akan perjuangan
orang tuaku agar aku bisa ada disini.
Tak terasa 3 tahun aku jalani disini, banyak pelajaran hidup
yang aku dapat, aku bertemu dengan orang-orang hebat yang
selalu mengajarkan bahwa setiap orang berhak bermimpi,
setinggi apapun mimpi itu selama kita berusaha dengan
sungguh-sungguh maka Allah akan memberikan jalannya.
Aku lulus dengan predika Santri Terbaik, yang tidak pernah
aku bayangkan sebelumnya, banyak orang lain yang lebih
pantas menurutku, namun ternyata itu adalah miliku. Jalan
hidup yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya terjadi
begitu saja sesuai alur yang Allah tentukan, dan sejak saat itu
aku berani bermimpi.

SELESAI

Ket:
Cerita ini berdasarkan pengalaman pribadi penulis, terkait
nama ataupun penyebutan istilah lainnya diganti demi
kenyamanan penulis.

Anda mungkin juga menyukai