Anda di halaman 1dari 64

DUNIA BAHAGIA ATAS SENYUMMU

Regita Hidayatun Ni'mah

"Ash-shalaatu khairum minan-nauum." Kumandang azan


subuh yang telah membangunkanku dari mimpi indah bertemu
pangeran berkumis tipis, lalu tanpa berpikir panjang aku langsung
mengambil air wudu dan bergegas ke masjid untuk menunaikan
salat subuh.
Hai namaku Amanda Azahra, putri tunggal dari pemilik
sekaligus pengasuh pondok pesantren yang ada di salah satu
daerahku. Setiap pagi aku selalu melaksanakan rutinan tadarus
bersama para santri abah, dan di hari-hari tertentu aku mengajar
kitab ke santri putri yang baru saja masuk ponpes, bisa dikatakan
kajian subuh.
Pondok pesantren Abah tidak hanya sekadar pondok namun
di sini juga ada sekolah umum atau orang-orang mengenalnya
pondok pesantren modern.
Walau di ponpes Abah ada sekolah, namun aku memilih SMA
umum di daerah sekitar tempatku tinggal. Yah, untuk sekarang aku
masih duduk di salah satu SMA favorit dan terkenal cukup mahal.
Dari kecil aku selalu sekolah di umum dan tidak berbasis
agama. Aku di SD bukan MI, SMP bukan MTS, dan SMA bukan MAN.
Itu adalah pilihanku sendiri karena dari kecil Abah dan Umi sudah
mengajarkanku untuk mandiri dan mengambil keputusan sendiri,
serta harus tahu apa konsekuensinya nanti.
"Nak kamu ingin sekolah di mana?" ujar Abah kepadaku. Aku
hanya terdiam dan bingung atas pertanyaan yang abah lontarkan
kepadaku, bayangkan saat itu usiaku 7 tahun dan baru saja akan
masuk Sekolah Dasar. Namun harus memilih di sekolah umum atau
di sekolah yang berbasis agama, dan Abah tidak pernah memaksaku
untuk bersekolah di pondok pesantren milik Abah.
"Apa pun yang kamu pilih dan putuskan itulah yang akan
kamu pertanggungjawabkan di masa depan nanti jangan sampai
pilihan Abah dan Umi membuat kamu menyesal di kemudian hari,"
sambung wejangan dari Abah yang melihatku kaku terdiam seribu
bahasa.
"Iya Nak, ikutilah kata hatimu." Perkataan Umi yang membuat
aku sedikit lebih tenang dan terarah harus ke mana langkah kakiku
akan kulangkahkan.
Dengan menarik napas yang panjang aku berkata kepada
Abah dan Umi tanpa keraguan. "Abah, Umi aku menginginkan
sekolah di SD."
"Iya sayang semoga itu pilihan yang terbaik," saut Umi
dengan senyum tipis yang ditunjukkan kepadaku.
"Apakah kamu sudah salat istiqorah untuk semua ini?" tanya
Abah kepadaku.
Dalam hatiku, “Jangankan untuk salat, Bah.”, pertanyaannya
saja baru dilontarkan 10 menit barusan. Lalu dengan senyum manis
kujawab pertanyaan Abah. "Insya Allah Bah, semoga Allah meridai."
Tanpa seucap kata apa pun, Abah langsung pergi
meninggalkan tempat duduknya.
Di situ aku sedikit tercengang dengan sikap Abah dan sudah
berpikir yang bukan-bukan kalau apakah Abah marah? Dan apakah
ada perkataanku yang salah? Ah sudahlah, kan Abah menginginkan
keputusanku sendiri.
Lalu Umi mengelus-elus pundakku dan meninggalkanku
seorang diri. Karena umurku masih sangat dini dan tidak terlalu
tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Alasan aku memilih di SD dan bukan MI, aku hanya ingin
pengalaman baru, dunia baru yang belum pernah aku jelajahi, dan
aku tipe orang yang suka tantangan ataupun petualangan.
Keesokan harinya saat Abah, Umi, dan aku makan bersama,
Abah langsung bilang kepadaku, "Nak, habis makan kamu langsung
bersiap-siap ya! Untuk Abah daftarkan ke SD."
"Hah... aku pikir Abah marah karena kemarin abah langsung
pergi begitu saja," ujarku kepada Abah.
"Iya memang abah sedikit marah padamu, karena kamu telah
membohongi Abah. Abah tahu bahwa kamu belum salat istiqorah,
dan untuk masalah sebesar ini kamu tidak meminta waktu untuk
berpikir terlebih dahulu. Lalu semalaman Abah selalu berzikir dan
salat malam agar keputusanmu itu memang jalan yang Allah berikan
kepadamu," kata yang Abah lontarkan kepadaku.
"Iya Bah, Amanda minta maaf." Abah memang berbeda dari
orang tua kebanyakan, dan ilmunya juga cukup tinggi karena dia
bisa merasakan apakah kamu berbohong apa tidak, dan apa yang
ada di benakmu dan pikiranmu abah juga tahu. Orang-orang
kebanyakan menyebutnya dengan makrifat, iyalah wajar beliaukan
seorang ulama besar.
Itulah yang aku alami 10 tahun yang lalu saat aku akan
mendaftar sekolah pertama kali.
Sekarang sudah saatnya aku berangkat sekolah, dengan
montor yang Abah berikan kepadaku saat aku masih SD kelas 5
yang lalu.
Aku adalah siswa yang termasuk disiplin bahkan aku sering
datang in time bukan on time lagi. Jadi sudah pasti bahwa saat aku
sampai di sekolah tepatnya di kelas XI IPA 1, pasti baru ada
segelintir temanku yang sudah datang. Dengan suara sapu yang
terdengar dari bapak kebun sekolah yang menyapu depan kelasku,
membuat pagi lebih membara untuk aku segera duduk dan
menikmati wifi sekolah yang masih lancar-lancarnya.
"Assalamualaikum wr. wb., hai teman-temanku yang paling
teladan," sapaku ketika memasuki kelas.
Aku melihat empat temanku yang sudah duluan menikmati
wifi pagi ini, Nina dia rumahnya paling jauh luar daerah. Karena itu
di sini dia ngekos, walau anak kos-kosan tapi dia yang paling rajin
dan selalu datang nomor satu. lebih kerennya lagi dia mulai ngekos
sejak duduk di bangku SMP.
Wow cukup mandiri untuk anak sekecil itu. Apalagi pada
masa remaja adalah masa seseorang mencari jati dirinya dan
menemukannya. Jadi peran orang tua di sini sangat diperlukan agar
anak tidak salah jalan. Namun Nina cukup cerdik dalam memilih
pergaulan jadi dia selalu bisa mengendalikan sikap dalam bergaul.
Sebelum bel masuk berbunyi, aku menunggu dalam sujudku
yang membuat jatuh tinta bening dari mataku untuk kuluapkan
betapa aku merindukan rahmat Ilahi. Ya di masjid sekolahku, aku
bisa menghabiskan detik demi detik untuk salat dhuha.
Hari ini aku benar-benar capek dengan pelajaran yang begitu
menguras tenagaku, apalagi nanti aku harus kumpul acara pramuka
karena ada rapat agenda ramadhan.
Seperti biasa aku datang lebih dulu bahkan di acara rapat
sekalipun, walau badan capek tapi bagiku kesuksesan itu dari
kebiasaanmu kalau kamu terbiasa tidak disiplin, hidup yang
berantakan bagaimana kamu bisa membanyangkan memegang
tongkat estafet penghargaan dalam hidupmu.
Itu yang selalu membuat aku terpacu untuk lebih baik, lebih
baik, lebih baik, dan tambah baik tambah baik, tambah baik.
Salah satu ustazahku bilang kepadaku, "Bahwa apa yang kau
lakukan saat ini tidak menutup kemungkinan bahwa anakmu kelak
akan melakukan itu, jadi kalau kamu ingin anak yang saleh dan baik
maka bagusi dulu perkataan dan sikapmu. Bukan hanya jodoh yang
menjadi cerminanmu tapi anak cucumu juga akan menjadi
cerminanmu."
Kata-kata itu yang selalu menjadikanku tidak pernah
menyerah dalam keadaan, karena mundur satu langkah adalah
bentuk penghancuran untuk anak dan cucuku kelak.
Seperti ayah Imam Syafi'i dia memikirkan anak seperti apa
yang dia mau? Dan di dalam benaknya dia menginginkan putra yang
sangat hebat. Alhasil Imam Syafi'i adalah salah satu 4 madab yang
kecerdasannya sudah tidak diragukan lagi apalagi dalam ilmu fikih.
Awalnya ayah imam Syafi'i adalah sosok santri yang tawaduk
dan sangat menginginkan ridha Allah di dalam hidupnya.
Saat ayah imam Syafi'i di dekat sungai dia melihat buah apel
yang mangalir di sungai dengan manjanya, lalu dia tergoda untuk
mengambil dan memakannya ditambah cuaca yang panas dan haus
dalam hitungan detik dia langsung menangkap apel itu dan
memakannya sampai tak tersisa.
"Astagfirullah apa yang aku lakukan bagaimana mungkin aku
memakan makanan yang itu bukanlah hakku," rintih Ayah Imam
Syafi'i ketika sudah memakan lahap apel itu.
Karena sangat menyesali apa yang sudah diperbuatnya dia
merintih sedu meminta ampunan kepada pemilik alam semesta, "Ya
Allah maafkanlah hambamu yang banyak dosa ini. Mohon
berikanlah penghalalan pada buah apel yang sudah hamba makan
ya Allah."
Namun dia berpikir bahwa minta penghalalan kepada Allah
saja belum cukup, karena dia harus tahu siapa pemilik buah apel ini.
Dengan tekat yang bulat dia menyisiri sungai ini untuk
menemukan pohon apel. Lalu sesampainya di bukit dia melihat ada
sebuah rumah yang menanam pohon apel dan bentuk buah-
buahnya persis seperti apel yang sudah dia makan.
"Assalamualaikum wr. wb., permisi," ujar Ayah Imam Syafi'i
sesampainya di depan rumah itu.
"Waalaikumsalam wr. wb., ada apa, Nak?" saut seorang bapak
yang sudah setengah baya.
"Apakah pohon apel ini milik bapak? Saya tadi memakan satu
apel yang jatuh ke sungai dari pohon apel bapak, dan saya di sini
ingin meminta penghalalan atas apel yang sudah saya makan, Pak."
Dalam hati bapak setengah baya itu Masya Allah sungguh
mulia hati pemuda ini. "Baik, Nak, saya akan menghalalkan apel
yang telah kau makan, tapi ada syaratnya, Nak."
"Apa syaratnya, Pak? Insya Allah demi penghalalan apel yang
sudah saya makan, saya bersedia untuk menerima syarat itu," tanya
Ayah Imam Syafi'i.
"Syaratnya adalah kau harus mengurus binatang ternak
kambingku selama satu tahun tanpa aku bayar. Bagaimana Nak?
Apakah kamu sanggup?" tanya bapak setengah baya itu.
“Astagfirullah bagaimana ini apa yang harus aku lakukan?”
pekik keras dalam hatinya. Dengan menarik napas panjang dia
menjawab, "Baik Pak, saya sanggup."
"Ya sudah ayo ikut saya, ini kambing saya setiap siang setelah
salat zuhur kau harus mengajaknya pergi untuk makan rumput di
halaman dekat sawah-sawah," perintah bapak setengah baya itu
kepada Ayah Imam Syafi'i.
"Iya Pak," jawab Ayah Imam Syafi'i. Hari demi hari sudah dia
lalui dengan sabar dia merawat kambing itu, dan satu sudah akan
datang dia segera bergegas untuk melapor kepada bapak setengah
baya, bahwa tugasnya sudah selesai.
"Pak, saya sudah melaksanakan tugas saya jadi apakah saya
sudah bisa mendapat penghalalan apel itu?" tanya Ayah Imam
Syafi'i.
"Belum, masih ada satu syarat lagi. Kau harus menikahi anak
saya tapi anak saya itu buta, tuli, bisu, cacat, dan lumpuh. Apakah
kau mau?" tanya bapak setengah baya itu. Dia melakukan ini Karena
dia melihat perjuangan Ayah Imam Syafi'i yang sangat teguh
terhadap agama, dan dia tidak ingin kehilangan pemuda seperti ini.
“Bagaimana ini apakah aku bisa menikahi wanita yang tidak
pernah aku kenal dengan kondisinya yang cacat seperti itu?” pekik
hati ayah imam Syafi'i. "Bismillahi rahmani rahim. Baik Pak saya
sanggup menikahi putri bapak asal saya mendapat penghalalan apel
itu," jawab Ayah Imam Syafi'i.
Pernikahan sudah terjadi dan bapak setengah baya itu
meminta Ayah Imam Syafi'i untuk bertemu istrinya yang ada di
kamarnya. Lalu Ayah Imam Syafi'i mengucap salam kepada istrinya
di depan kamarnya, dan dia terkejut karena ada jawaban. Padahal
dia tahu bahwa istrinya itu bisu.
Kemudian Ayah Imam Syafi'i sangat ketakutan, ia mengira
salah kamar lalu dia menghampiri mertuanya untuk menanyakan di
sebelah mana kamar istrinya karena saat dia mengucap salam ada
yang menjawabnya padahal dia tahu bahwa istrinya itu bisu.
Lalu mertuanya tersenyum tipis dan mengajak Ayah Imam
Syafi'i untuk memasuki kamar yang disangkanya salah tadi. Di sana
dia terkejut karena melihat seorang gadis yang sangat cantik berdiri
tegak di depannya. Padahal dia juga tahu bahwa istrinya itu juga
lumpuh.
"Tenanglah Nak, jangan takut kamu tidak salah ini memang
istrimu," ujar mertuanya.
"Lalu kenapa engkau bilang bahwa istriku itu lumpuh, buta,
cacat, tuli, dan bisu?" tanya Ayah Imam Syafi'i.
"Memang benar istrimu itu buta karena matanya hanya untuk
melihat Al-Qur’an dan tidak untuk maksiat, telinganya yang tuli
karena dia tidak pernah mendengarkan kata-kata yang kotor,
mulutnya yang bisu karena dia tidak pernah digunakan untuk
berkata kotor dan selalu digunakan untuk berzikir mengagungkan
nama-nama Allah, dan badannya yang lumpuh karena tidak pernah
digunakan untuk melangkah ke maksiat. Jadi sebenarnya istrimu itu
tidak cacat, Nak," ujar mertuanya.
“Masya Allah beruntungnya aku yang mempunyai istri
sempurna, bukan hanya cantik luarnya saja namun juga cantik
hatinya,” ujar Ayah Imam Syafi'i di dalam hatinya, dia hanya
senyam-senyum melihat istrinya dan mertuanya.
Maka lahirlah laki-laki terhebat yang cerdas dan saleh yang
tidak pernah menyerah dalam menuntut ilmu dan selalu haus akan
ilmu. Yang kita mengenal beliau dengan Imam Syafi'i ulama besar
ahli fikih.
Maka dari cerita di atas aku paham bahwa anakku suatu saat
berhak dilahirkan dari seorang ibu yang cerdas nan salehah. Jadi
aku siap menunggu rapat tanpa ada rasa bosan.
Tidak lama kemudian rapat dimulai dan aku ditugaskan
untuk menjaga posko mudik selama ramadhan bersama lima
temanku yang lain. Alhamdulillah aku ditugaskan dari daerah yang
tidak jauh dari rumahku, dan yang paling membahagiakan aku
berada di dekat masjid.
Saat itu aku kebagian sif pagi sampai buka puasa, dan teman-
temanku laki-laki kebagian sif malam sampai sahur. Memang semua
PA/laki-laki itu malam, dan untuk PI/perempuan itu pagi. Tapi
kenapa di sif pagi ada beberapa laki-laki? Tanyaku dalam hati.
Namun kenapa hatiku mulai gelisah ada apa ini apakah akan
terjadi sesuatu. Apa yang membuat air mataku tiba-tiba menetes
dan seluruh badanku bergetar. Bagai daun yang dibawa angin
seperti inilah perasaan dan hatiku yang tidak bisa aku kendalikan.
Tidak lama kemudian aku bergegas menunaikan salat dhuha
agar lebih tenang. Selesai aku mengambil air wudu aku melihat
sesosok laki-laki yang sedang menunaikan salat dhuha juga di
bawah cahaya Ilahi Karena di situ ada atap yang sengaja diganti
dengan kaca putih agar sinar matahari bisa masuk.
Setelah menunaikan salat dhuha sang laksamana itu langsung
menunaikan ikhtikaf, pas banget dengan suasana sejuk dan puasa
yang indah aku bertemu dengan orang yang sangat spesial.
Ternyata laksamana itu adalah pria yang sudah membuat hatiku
bertekuk lutut pada keagungan Sang Ilahi.
ODP
M. Arif
_Guru Tahfidz @sdmuhammadiyahpalur_

Bencana telah melanda negeri kita tercinta Indonesia.


Bertubi-tubi sepanjang akhir tahun 2019 sampai sekarang. Seolah
tak ada jedanya. Dan ujian kali ini mungkin adalah yang paling besar
yaitu corona.
Berbicara virus ini hampir setiap detik dibicarakan oleh
manusia baik lewat dunia nyata maupun Maya. Apalagi postingan
WA yang penuh dengan gurita raksasa corona didalam layar sentuh
HP kita. Semua berbicara soal trending virus mematikan ini. Seolah
tanpa jeda, korban jiwa yang semakin bertambah terkhusus di ibu
kota Jakarta. Ya memang beginilah dunia, sisa-sisa wabah tha'un
yang ditimpakan ummat akhir zaman.
Tak panjang lebar kiranya dalam kesempatan kali ini
membahas tentang corona. Para ahli kesehatan telah banyak
memarkan tentang apa, bagaimana, cara penyebaran bahkan cara
pencegahannya. Di sini sebelum kami lanjutkan, kami ingin
menyapa ayah bunda semua, anak-anak generasi gemilang SD
Muhammadiyah Palur dan seluruh pembaca yang masih diberikan
rasa bahagia. Assalamualaikum semua semoga sehat dan dalam
kebaikan. Apalagi di bulan Ramadhan yang mulia semoga Allah
melimpahkan rahmat-Nya bagi kita semua.

Ada hal yang menarik yang dapat kita ambil dari peristiwa
musibah corona ini. Banyak istilah yang muncul dari segi medis. Ada
istilah ODP, PDP, OTG, Karantina, covid-19, APD, Rapidtes, Swableb
dan istilah lainnya. Seolah tak asing lagi bagi telinganya kita. Nah,
mengambil satu kata di atas yaitu ODP (Orang Dalam Pengawasan).
Istilah ini disematkan bagi para pemudik yang pulang kampung
semula berada di zona merah. Zona yang telah ada pasien yang
positif terkena virus tersebut.
Namun, ODP yang kita bahas kali ini bukanlah itu, namun
ODP adalah Ora Duwe Penghasilan. Imbas dari virus ini otomatis
akan sampai pada faktor ekonomi. Apalagi dalam tindakan
pencegahan ada istilah social distance. Yaitu pembatasan sosialisasi
antar orang, minimal berkomunikasi tatap muka dengan jarak satu
meter. Nah, ayah bunda semua orang duwe penghasilan, yang
berarti sudah tidak berpenghasilan total atau berkurang drastis
penghasilannya. Orang-orang yang mengeluhkan pekerjaan yang
ditekuni selama ini. Ketika beberapa saat lalu, saya sempat
berkomunikasi dengan salah satu ojek online,

“Mas gimana tarikan penumpang hari ini?”

“Sepi mas..., biasanya banyak, sekarang 5 maksimal per hari


itupun saya harus minjam aplikasi anggota lain, jadi jalan dua
aplikasi ojol.”

Itu sekelumit percakapan kami dengan salah satu ojol di


sekitar sini.
Apalagi yang berprofesi buruh harian, ayah bunda semua.
Mereka harus berpikir ekstra, penghasilan harian yang sulit didapat,
mulai dari pedagang bakso, mie ayam, nasgor di jalan mereka
'sambat' mengeluh. Sepi dan sepi...,

Abi, Ummi, dan anak-anakku yang dicintai Allah, kondisi saat


ini memang sangat sulit ditebak. Ayah bunda yang berprofesi dan
gaji tetap memang tidak begitu masalah, namun banyak saudara
kita harus memutar pikiran untuk mengatur keuangan seminimal
mungkin dikeluarkan untuk kebutuhan sehari-hari. Bahkan tak
jarang muncul pedagang- pedagang online baru yang menawarkan
barang dagangan orang lain untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Ada kok di Semarang, seorang seniman yang rela buka warung guna
mencukupi kebutuhan keluarga.

Anak- anakku, begitu berat kan perjuangan orang tua kita?


Yuk hargai, syukuri apa yang dimiliki. Tak usah minta yang lebih,
kebosanan di rumah mungkin menghinggapi diri kalian. Soo... tetap
semangat, tetap ibadah, tetap istikamah dalam kebaikan. Insya
Allah, kita adalah hamba yang kuat mampu melalui ujian ini.
Yakinlah adanya virus ini bagian dari takdir yang harus dijalani. Dan
ingat kita semua juga menjadi ODP Allah (Orang Dalam Pengawasan
Allah). Rezeki tak harus berwujud benda berharga yang dimiliki,
kesehatan salah satu intan permata yang nilainya lebih daripada
hanya sepiring pizza ala Italia.
"Kita keluarga di dunia dan bertetangga dijannah-Nya"

Palur, 5 Mei 2020


SALAH SANGKA
Wahyu Rizky Nugroho

Malam ini tak seperti malam sebelum-sebelumnya. Entah apa


yang kiranya membuat Roby merasa kan ada kekhawatiran namun
tak tahu apa yang dikhawatirkannya. Memang belakangan ini,
sikapnya agak aneh, ia tampak murung dan enggan menyapa
dengan orang di sekitarnya. Sambaran petir ditemani gemuruh air
yang menetes kewajahnya membuat lamunanya berakhir. “Kenapa
harus bocor,” gumamnya sambil marah. Rumahnya memang
terbilang kecil, hanya beratapkan seng yang sudah berkarat dan
berlubang, dengan dinding semen namun sudah ringkih karena
termakan usia. Hal ini kadang menjadi bomerang baginya, bahkan
pernah terlintas di benaknya kalau dia sebenarnya bukan lah anak
dari seorang tukang becak dan penjual kue keliling, melainkan anak
dari saudagar kaya yang mana ia diculik saat masih bayi dan
ditemukan oleh orang tuanya saat ini.
“Roby, sini nak makan!” panggil ibunya dari dapur. Merasa
masih kesal akibat hujan yang menetesi wajahnya, tanpa sahutan
pun yang dilayangkan ke ibunya.
“Kau ini ya, kalau di panggil ibunya nggak pernah mau nyaut,
entah apa yang kau perbuat di dalam kamar!”
“Ya, kenapa emang?” jawabnya sinis.
“Dasar anak nggak tahu diuntung, udah capek sekali ibu hari
ini berjualan, capek-capek masak, kau dipanggil diajak makan pun
tak kaubalas panggilan ibu!!” Dengan perasaan kesal yang
diungkapkan dengan amarahnya.
“Lagi malas aku makan Bu, ibu saja yang makan dulu!”
Usirnya sambil menutup pintu kamarnya
Kekesalan pun bertambah, gara-gara ibunya yang mengajak
makan. Namun bukan itu pula yang menjadikan kesal. Ia tiba-tiba
teringkat apa yang tadi pagi dilihatnya di sebuah rumah kosong
seberang jalan hantu. Kejadian itu di luar nalarnya. Orang yang
kadang jadi panutannya saat di rumah ternyata melakukan
perbuatan bejat. Wanita itu pula juga mau melayanani orang tua
yang sudah lapuk. Benar kata orang, makin tua orang makin
menjadi-jadi. Itulah kata-kata yang tepat untuk menggambarkan
bapaknya yang saat ini telah pudar untuk dijadikan panutannya.
Pagi ini, ia seperti biasanya bergegas ke sekolah lebih awal,
karena harus jalan kaki. Biasanya sang ayah yang mengantar dengan
gowesan becak sembari berangkat kerja mencari pundi-pundi uang
guna bisa menyambung hidup sampai akhir hayat.
“Rob, ayok berangkat sama ayah,” ajak ayahnya dengan
semangat.
“Enggak Yah, aku mau jalan kaki,” langsung meniggalkannya
tanpa pamitan.
“Bu, ada apa dengan anakmu itu?” tanyanya sambil
menyeruput kopi yang tinggal setengah gelas.
“Tanya kok ya sama aku, tanya sendiri sama anakmu!”
cetusnya sambil membungkusi kue yang hendak dijajakannya.
Sepanjang jalan Roby seperti orang yang tak punya
pandangan hidup, sampai ia hampir tertabrak karena jalan sambil
melamun.
“Dasar bocah, mau mati kau!!” cacian abang pengendara
motor.
“Meskipun aku kau tabrak hari ini, kalau belum waktunya
mati juga nggak bakal mati bang!” Tantangnya dengan nada keras.
“Ooh, dasar anak nggak tahu sopan santun, berpendidikan
tapi nggak bermoral!!” sautan abang motor dengan mententeng
helm di tangannya.
“Orang berpendidikan juga tahu bang, mana orang yang perlu
untuk ditatakramai atau enggak!” sahutnya dengan nada tinggi.
Tanpa menggubris omongan Roby, abang motor ini
mengenakan helmnya kembali kemudian meninggalkan dengan
perasaan masih emosi. Sambil mengumpat abang motor melarikan
diri dengan motor matic-nya.

Jam pelajaran hari ini baru dimulai, diawali dengan mata


pelajaran matematika yang menjadi momok bagi Roby karena selalu
mendapatkan nilai tak layak untuk disebutkan. Setiap kali pelajaran
ini juga ia menjadi bahan ejekan temannya dan selalu jadi sasaran
Bu Retno. Ya, guru matematika tersebut namanya Bu Retno dengan
memakai kaca mata dan berbadan besar menjadikan ciri khasnya
yang mudah sekali untuk diingat, dan selalu menjadi was-was oleh
semua murid yang diajarnya.
“Ayo, semua PR kalian kita bahas bersama hari ini!”
perintahnya dengan tegas.
“Baik Bu!” sahutan semua murid tanpa diikuti Roby.
“Nomor satu, Roby maju ke depan,” tunjuknya dengan
memberikan spidol di depan.
“Tapi Bu, saya be..belum mengerjakan.” Sedikit gugup.
“Kau ini ya! Berapa kali ibu peringatkan, PR itu dikerjakan
jangan hanya dilihat atau dijadikan bantal untuk tidur! Maju ke
depan biar ibu bantu nanti.”
Langsung saja Roby maju ke depan, guna menghindari
cipratan amarah sang gurunya. Ia mencoba mengerjakannya
sebisanya. Namun jawabannya yang dikerjakan ternyata benar.
“Bagus Roby, jawabanmu benar,” puji Bu Retno.
“Sungguh, Bu?” tanyanya sedikit ragu.
Sungguh ini bukanlah hal yang menakjubkan bagi Bu Retno
melihat hasil kerjaannya di papan tulis, ia selalu bisa
mengerjakannya dengan benar. Tapi hal ini sangat disayangkan oleh
gurunya, karena perbuatan yang kurang terpuji yang ia lakukan,
beberapa tugasnya tak selalu ia kerjakan. Sering kali Bu Retno
menduga anak ini merupakan korban broken home yang
menyebabkan di rumah tidak betah dan tidak dapat berkonsentrasi
dalam belajar.
Pelajaran hari ini telah usai, di jam istirahat ia habiskan untuk
duduk bersantai di bawah pohon sawit yang tumbuh di pelataran
sekolah tersebut. Entah kenapa sekolah ini ditanami pohon sawit.
Tapi hal ini lumayan menguntungkan baginya, karena pohon ini
daunnya yang lumayan panjang dan agak lebar mampu memberikan
keteduhan bagi orang yang berada di sekitarnya.
Tempat ini memang tempat favoritnya, mulai dari awal
sekolah di sini hingga sekarang sudah hampir 3 tahun ia
meninggalkan bangku pendidikan di SMA ini. Sama seperti kemarin
malam, ia masih memikirkan semua peristiwa yang terjadi padanya.
Ia mencari kebenaram atas spekulasi yang ia pikirkan dengan
mengabungkan rentetan peristiwa yang didapatnya.
“Weeey, ngelamun aja kerjaan lu!” gertak Frenky.
“Apaan sih lu, Frenk, ganggu gue aja,” gumamnya.
“Ada masalah apa sih, Bro?”
“Jadi gini, gue nggak habis pikir sama bokap gue atas
kejadiaan apa yang gue lihat kemarin.”
“Kejadian apa?” tanyanya dengan serius.
“Jadi kemarin tuh, gue lihat bokap gua berduaan sama cewek
di rumah kosong jalan hantu. Gue binggung aja udah tua bangka,
masih aja demen sama cewek cantik yang nggak ada akhlak,”
gerutunya.
“Emang, kejadiannya sama seperti yang lu lihat?”
“Bener, orang gue lihat bokap gue membopong cewek itu
kok.”
“Gue, kasih tahu ya bro, kadang apa yang kita lihat itu belum
tentu apa yang terjadi di sana, ya mungkin aja, bokap lu membantu
tuh cewek yang sedang jatuh dan kebetulan bokap lu ada di sana,
terus membopongnya.”
“Tapi, ngapain juga tuh cewek di sana, di rumah kosong
sendirian kalau bukan cewek yang nggak ada akhlaknya.” Dengan
meyakinkan serius.
“Lu ini ya, sesuka hati saja cakap cewek itu nggak ada akhlak,
emangnya lu juga berakhlak, toh omongan lu saat ini pun
menandakan lu ngak ada akhlak, menuduh tanpa bukti yang jelas
hanya membenarkan ego lu yang keras kepala itu. Gue kasih tahu ya
bro, hidup itu bukan hanya soal apa yang kita lihat terus kita bisa
menyalahkan orang itu salah apa benar.” Sambil merangkulkan
tangan kanannya di bahu Roby.
Roby masih kurang sependapat sama ucapan yang telah
diutarakan sahabatnya tersebut. Karena iya meyakini, karena gue
ini manusia, gua hanya bisa menilai orang dari apa yang terlihat,
dari apa yang dilakukannya saat itu juga yang tertampak di mata.
Pernyataan ini selalu menjadikan pembenaran tindakan yang ia
lakukan.

“Hai, Yana,” sapanya pada gadis cantik kelas IPA 1.


“Hai By,” sapa balik olehnya.
“Pulang sendiri?”
“Seperti kau tak perlu basa-basi menanyakan hal itu padaku?”
jawabnya sinis.
“Mau pulang, beersamaku?” ajaknya.
“Tak perlu kau bertanya, orang setiap hari juga kau selalu
mengikuti perjalanan pulangku.” Sambil terus berjalan.
Ya, gadis itu namanya Yana. Yana adalah seorang anak kelas
IPA 1 yang terkenal akan kecerdasannya, ia adalah murid yang
selalu mewakili sekolah kami dalam olimpiade baik tingkat regional
maupun nasional. Dia gadis yang sederhana, tidak seperti
kebanyakan gadis remaja pada umumnya yang suka bergaya
padahal harta tak ada. Dia anak orang berada namun tak pernah
melihatkan kekayaan pada orang lain. Dalam prinsip hidupnya, buat
apa memamerkan harta orang tuanya, dengan berlagak sok kaya,
padahal bukan hasil jerih payahnya sendiri. Kesederhanaan itulah
yang membuat Roby menaruh hati padanya. Tapi pacaran bukan
menjadi salah satu tujuan dalam hidup Yana. Ia pernah berkata buat
apa pacaran, kalau pada ujungnya sang pacar bukan jodohnya, buat
apa pacaran kalau pada dasarnya cintanya hanya sebatas untuk
pamer agar tidak dikatakan jomblo, buat apa pula pacaran kalau
nantinya akan ada hati yang lerluka. Kata-kata itu selalu kuingat,
tapi entah mengapa aku tetap merasa jatuh hati padanya.
“Yan, boleh aku bertanya?” Memulai obrolan lagi.
“Silakan, sebelum bertanya itu dilarang.”
“Terkadang aku suka merasa heran, mengapa kau bersikap
dingin pada semua orang?”
“Perlu aku jawab?”
“Ya, kan pertanyaan masak nggak dijawab,” gurauku.
“Hidup itu, jangan dilihat dari tampak luarnya. Jika memang
kau tampak luarnya indah ya terimalah keindahan itu untuk jadi
contoh dirimu dalam bertindak sepertinya, tapi kalau memang
tampak jelek, jadikan dia sebagai pengingat dirimu sendiri untuk
tidak kau tiru perbuatannya. Tapi jangan sampai kau melabeli orang
tersebut, karena kita tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi dalam
kehidupan mereka. Mengerti kau?”
“ Ya.”
Aneh sekali semua orang hari ini, gumamnya dalam hati. Tadi
sahabatnya sendiri dan sekarang wanita yang dicintainya menaruh
ucapan yang sama pada dirinya. Ia berpikir mereka bedua pasti
telah bersenkongkol. Jikalau mereka bersekongkol, lantas untuk apa
mereka melakukan itu. Dia masih bertanya-tanya dan menjadi
beban dalam pikirannya.

Sesampainya di rumah, tak tampak olehnya kedua orang


tuanya. Ya, mereka berduka memang jika pulang menjelang
matahari berganti dengan datangnya rembulan. Hal ini terkadang
membuat ia merasa kesepian di rumah. Kedua orang tuanya
sebenarnya menyadari hal ini, tapi mau gimana lagi hidup tidak
hanya tentang kebersamaan semata, namun uang yang menyokong
kehidupan seseorang. Pernah sekali ia, marah akan hal ini, lalu
dibentaknya pula anak semata wayangnya itu, karena dianggap tak
sopan melampaui batas. Sebagai orang tua pastinya dilema dalam
situasi seperti ini, namun kehidupan tak seperti dongeng yang
menyuguhkan keindahan dan kesenangan belaka.

Roby pun memulai menuliskan sesuatu pada kertas yang agak


berserakan di meja belajarnya.
Ketika hidup bukan sebuah cerita,
Yang tokohnya dapat di-setting sesuka kita,
Karena hidup itu suka dan duka,
Tidaklah seorang merasa tak berharga,
Jika raga sudah tiada, pasti tangis hanya sementara
maka itu buat apa bertanya?
Entah apa yang ditulisnya, hal ini terasa aneh untuk dibaca,
dia pun tak mengerti apa juga yang ditulisnya, karena baginya kata-
kata itu keluar dengan sendirinya, biarpun itu tidak bermakna ia
selalu menulisnya sebagai petanda bahwa ungkapkan perasaaan
dan imajinasi liarnya tertulis dalam sebuah tulisan.

Setelah menulis kata-kata tersebut ia pun tertidur di atas


tulisannya. Ya, kebiasaan ini memang sering terjadi pada dirinya.
Kecapekan setelah belajar di sekolah menjadi salah satu
penyebabnya. Dalam tidurnya ia pun bermimpi, mimpi yang aneh
yang belum pernah ia temui dalam mimpi sebelum-sebelumnya.
Dalam mimpinya tersebut datanglah ia pada sebuah kampung,
kampung yang jauh dari hiruk pikuk kota. Ia melihat anak kecil yang
sedang menangis seorang diri, terlihat anak kecil itu dekil dan
mengalami kurang gizi karen tubuhnya kurus dan kering bagaikan
ranting kayu bakar yang siap untuk dinyalakan. Roby pun
mengalami ketakutan sebenarnya pada anak itu, karena berpikir
entah apa yang terjadi pada dirinya jika ia mendekat pada anak
tersebut. Tapi rasa penasarannya mengalahkan ketakutannya.
Lantas ia melangkahkan kakinya menuju anak kecil tersebut.
“Ngapain, kamu di situ?” tanyanya dengan ragu.
“Nangis, Bang.” Sambil terisak-isak dan mengeluarkan air di
matanya.
“Ye, dasar bocah, ditanya malah bercanda.”
“Entah apa yang membuatku menangis, aku pun tidak tahu
bang.”
“Lantas, mengapa kau menangis?”
“Aku menyesal, Bang.”
“Apa yang kausesali sehingga kau menangis seperti ini?”
“Jadi begini bang, dulu hidupku bahagia bang, jarang
merasakan sedih, ungkapnya. Lalu semuanya berubah, berubah
setelah aku menganggap semua orang di sekitarku mempunyai hal
yang buruk kepadaku, padahal kenyataannya enggak. Hal inilah
yang menyebabkan aku menjadi was-was pada semua orang tak
peduli pun mereka orang baik. Lama-kelamaan akhirnya orang-
orang pada menjauh dariku, ditambah lagi orang tuaku telah
meninggal. Aku dulu juga sempat tak percaya kepada orang tuaku.
Berkali-kali aku menanggap mereka tak menginginkan kehadiranku,
padahal ini suatu prasangka ku saja yang telah aku besar-besarkan.
Lantas setelah mereka tidak ada, kesalahan atas prasangkaku yang
keliru saat ini bermunculan dan benar saja ternyata selama ini aku
terlalu sibuk dalam berprasangka kepada orang lain. Ya memang
berprasangka itu tidak akan dihukum secara pidana, tapi prasangka
inilah yang menyebabkan duka yang berlarut-larut tiada henti.”

“Apakah sekarang kau tak takut padaku? Karena sangkamu


yang kau ceritakan, pastinya membuat kau berpikir padaku aku juga
akan menyakitimu?” tanyanya Abang.
“Bodoh kali kau ini bang, ngapain pula aku berprasangka jelek
apalagi dengan orang seperti yang juga baru kujumpai saat ini, aku
sudah mulai meninggalkan prasangka burukku kecuali pada orang-
orang yang patut disangkai. Tapi aku sadar, bahwa berbanyak
sangka pada semua orang akan merusak diriku sendiri dimata
orang.”

“Lantas bagaimana kehidupanmu saat ini? Kau terlihat seperti


orang yang tak terurus.”
“Ya Bang, hidupku saat ini adalah sebatang kara, mengasih
rezeki hanya dengan meminta belas kasihan orang lain.”
“Hidup kok ya minta-minta, apa nggak malu sama diri sendiri,
bukankah ini juga akan membuat malu orang tuamu di akhirat
sana.”
“Malu yang kurasakan memang selalu hadir, tapi daya tak
sanggup melakukan hal lain kecuali dikasihani orang lain. Bang
selagi hidup masih panjang, gunakanlah waktu untuk menyebar
kebermanfaatan bagi semua orang, selagi kau tidak bisa cukup
kaudoakan mereka, jika itu masih sulit untuk diperbuat, maka
cukuplah dengan berbaik sangka.
Perut lapar membangunkan dia pada tidurnya, lantas ia
segera untuk pergi ke dapur, makanan sudah tersedia di atas meja.
Terlihat ayah dan ibunya yang duduk bersanding, menunggu
kedatangannya untuk makan bersama. Roby langsung ikut
bergabung untuk duduk bersama. Di sela makan, ayahnya memulai
membuka obrolan.
“Nak, mengapa tadi pagi tak mau berangkat sama ayah?”
“Gak papa kok Yah, tadi pengen jalan kaki saja,” jawabnya.
“Tak seperti biasanya kau seperti ini, ada yang aneh Rob, kau
tak pernah lupa untuk bersalaman sebelum menimba ilmu ke
sekolah, tadi kau malah pergi dengan terburu-buru. Hal ini
membuat ayah menjadi cemas Rob, entah ada sikap yang salahkah
yang telah ayah perbuat?”
Akhirnya Roby pun terdiam beberapa saat sebelum ia
berbicara. Ia terlihat binggung untuk mengungkapkan hal yang
sebenarnya pada ayahnya. Namun ia takut, jikalau ayahnya
mengelak dan ada kemarahan yang ditujukan padanya. Tiba-tiba
terlintas dalam pikirannya nasihat yang dikatakan oleh sahabat,
wanita yang disuka dan anak kecil dalam mimpinya. Ia mulai
menimbang-nimbang semua perkataan tersebut.
“Yah, boleh aku bertanya?”
“Iya Nak, apa yang mau kautanyakan?”
“Yah, lusa lalu, aku melihat ayah bersama wanita di rumah
kosong di jalan hantu, siapakah gerangan wanita itu yah, kenapa
pula ayah membopongnya? Apakah itu selingkuhan ayah?”
“Apa, kau tega ya bang berkhianat dariku?” Sautan ibunya
yang terlihat kesal
“Entah apa tuduhan yang kalian tayangkan kepadaku. Jadi bu,
Rob, waktu itu kebelutan ayah lewat jalan itu setelah mengangkut
penumpang di daerah situ. Nah selama di perjalanan ayah
mendengar ada orang menangis kesakitan. Nah karena di situ
daerahnya lumayan sepi dan hampir nggak ada orang, akhirnya
ayah memutukan untuk mencari sumber suara itu. Pada waktu ayah
berhenti di rumah kosong itu terdengar jelas bahwa sumber
tangisan itu berasal dari rumah itu. Akhirnya ayah putuskan masuk
dan ayah kedapatan melihat wanita itu terpapang kesakitan, lantas
ayah menanyakan penyebab muasal dia menangis kesakitan. Ia
mengatakan bahwa seekor ular telah mematuknya baru saja, dan
pas ayah melihatnya memang benar adanya di kaki wanita itu
terdapat bekas gigitan ular. Ayah lantas langsung menolongnya,
sebelumnya ayah mengikatkan handuk ayah kepada kaki wanita itu
guna menghentikan penyebaran racun yang menjalar ke seluruh
tubuh, karena ia tidak sanggup berjalan sendiri, ayah berniat
membopongnya dan dia tidak keberatan dengan bantuan ayah.
Langsung ayah bawa dia ke puskemas untuk segera diobati. Setelah
mendapatkan perawatan di puskesmas ayah memutuskan untuk
meninggalkan wanita tersebut. Hingga saat ini pun ayah sebenarnya
belum tau jelas siapa gadis itu, dan apa penyebabnya berada di
rumah kosong itu, karena di perjalanan ke puskesmas pun ayah
hanya fokus mengowes dengan cepat agar wanita itu dapat selamat
nyawanya. Jadi begitu sebenarnya apa yang terjadi pada waktu itu.
Jadi hal ini Rob, yang bikin kamu ngak mau berangkat bareng sama
ayah pas ke sekolah?”
“Iya, yah maafkan Roby atas ketidaktahuan ini.”

Penyesalan memang tampak di mata Roby, ia menyesal akan


ketidaktahuannya pada perkara yang hanya terlihat di matanya saja.
Ayah dan Ibunya tampak mengasihi anaknya itu, lalu diucapkanya
kata-kata yang menenangkan Roby atas tindakan yang tidak ia
ketahuinya yang berakhir pada buruk sangka kepada sang ayah.

“Manusia itu wajar jika mempunyai salah, tidak wajar kalau


mau itu benar semua akan apa yang dilakukannya, karena manusia
tidaklah sempurna, yang ketidaksempurnaan itu pernah
dilakukannya adalah sebuah perbuatan dosa atau kesalahan. Hidup
memang perlu untuk berburuk sangka, karena dengan berburuk
sangka kita akan menjadikan selalu berhati-hati pada orang lain,
tapi tak patut pula jika berburuk sangka dengan berlebihan, karena
akan membawa derita. Sudahlah Rob, kau tak perlu bersedih seperti
itu, karena kau sudah tahu kebenarannya seperti apa. Mulai saat ini,
janganlah kamu menilai sesuatu yang tidak kamu ketahui
muasalnya, biar kamu nanti bijak dalam menyikapinya,” tutur
ayahnya.
“Rob, ibu mau menjawab pertanyaanmu yang tidak sengaja
ibu baca pada lembaran kertas yang berserakan di meja kamarmu,
kau pernah menulis bahwa pernah kau mengira kalau kami
bukanlah orang tuamu, kau mengandai kalau kau anak orang kaya
yang telah kami temukan dan kami rawat. Cukup sakit sebenarnya
ibu membaca tulisan itu, tapi ibu kuatkan hati ibu, dan ibu mengira
mungkin kesederhanaan hidup atau kurangnya waktu untuk
bersamamu menjadikan kau kesepian dan pikiranmu menjadikan
sering berkhayal. Kau tak patut mengira kami bukan orang tua
kandungmu hanya dengan khayalan belaka. Jadilah kamu itu anak
yang bijaksana, berpikir secara matang, dan selalu menimbang baik
dan buruknya setiap tindakan yang hendak kamu lakukan. Karena
dengan itu kamu akan menjadi manusia yang beradab,” tutur
ibunya.

Bertambahlah air mata yang keluar dari mata Roby, dengan


kebesaran hati dan keberanian ia mengucapkan permintaan maaf
untuk kedua orang tuanya. Ia menyadari akan segala sikap dan
perbuatannya saat ini. Perbuatan yang tak pantas dilakukan oleh
seseorang yang mengenyam bangku pendidikan, karena orang yang
pernah belajar di bangku pendidikan harusnya pandai dalam
menjaga sikap, dan selalu berpikir panjang akan sebab akibat
sehingga menjadikannya sebagai manusia yang berakhlak mulia.
INI KISAH PERJUANGAN IBUMU, NAK
Faizal Bahri, S.Kom

Ya Bunayya, Ananda pertamaku yang kucinta Ahmad Alwi bin


Faizal Bahri bin Mizan bin Murja bin Muryadipa nama yang abah
berikan padamu adalah secercah pancaran keberkahan dari guru-
guru mulia pewaris para Anbia'.

Ibumu adalah pecinta Al-Habib Munzir Al-Musawa, yang di


hatinya besar tertulis nama Shulthonul Qulub, walaupun ia bukan
pejuang secara dzohir tapi ia adalah pejuang secara bathin yang
mempertahankan kecintaanya kepada Al-Habib Munzir Al-Musawa,
di saat banyak orang makin futur (melemah) akan cinta kepada
beliau Allahu Yarham.

Seminggu sebelum "Mad Alwi" lahir Ummu Alwi berziarah


dengan keadaan perut yang sudah kian membesar mendekati
persalinan, walau sedikit memakasa diambang kepayahan berjalan
dan bergerak ia bersimpuh meminta ridho dan restu Al-Habib
Munzir Al-Musawa di depan Qubahnya pada tanggal 19-08-2018.

Tak sampai seminggu dari Ziarah tersebut, tanda-tanda


kelahiran Mad Alwi pun semakin menunjukkan kelahirannya. Ya
benar saja, Kamis pagi tanggal 23 Agustus 2018 (11 Dzulhijjah
1439H) sehari setelah perayaan Idul Adha/Idul Qurban, adalah
pembukaan tahap awal yang menunjukkan kehadirannya. Masuk
waktu magrib adalah awal daripada malam Jumat di hari-hari
tasyrik hari di mana Allah menginginkan kita menikmati jamuan
rahmat-Nya dan diminta untuk memperbanyak zikir dan amalan
saleh lainnya.

Sebagaimana biasa setiap malam Jumat Ummu Alwi belajar


mencari ilmu dan barokah para guru di Ponpes Al-Fachriyah atau
yang dijuluki Tariimu Tsanni (Tarim ke 2) fii Indonisiya (Di
Indonesia). Tempat ini pun adalah awal Abu Alwi menghalalkan
idaman hatinya, menjabat tangan wali nikahnya, yang juga langsung
dieratkan oleh tangan dari Sang Guru Mulia Al-Arif Billah Al-Musnid
Al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafizh bin Syaikh bin
Abu Bakr bin Salim, dan disaksikan oleh kedua putra tercinta dari
Keturunan Pakar Hadis yang mulia Al-Musnid Al-Muhadist Al-Hafizh
Al-Habib Salim bin Ahmad bin Jindan (Allahu Yarham) yaitu
Imamain Ibnu Jindan (2 Imam Putra keturunan Jindan red: Al-Habib
Jindan & Al-Habib bin Novel bin Salim Jindan). Dan beberapa Ulama
dunia lainnya, seperti di antaranya Tuan Guru Bajang KH. Zainul
Madji (Gubernur Ulama di NTB), Al Habib Hud Al-Attas (Ulama
Terkenal di Betawi), Mu'allim KH. Ubaidillah Hamdan (Haji Ilung),
Syaikh Faishol Annajjar peraih Gelar S-2 terbaik di UIN Jakarta, dan
beberapa Ulama Nasional & Internasional lainnya.

Di saat keadaan semakin payah Ummu Alwi tak lagi peduli


dengan dirinya atas izin Allah tergerak langkahnya untuk duduk
hadir mendengar nasihat. Namun saat malam itu sedikit ada
perbedaan dari biasanya, ya ternyata Allah hadirkan beberapa tamu
mulia dari negeri Tarim yaitu Al-Habib Alwi bin Abdullah Alaydrus
dan juga beberapa tamu yg datang dari Kota Makkah dan lainnya.
Bahkan senyum rindu tercurah dari kedua Imamain Ibnu Jindan
yang merasa gembira dengan kehadiran tamu yang tak diduga
sebelumnya.

Satu demi satu para tamu memberikan nasihatnya Ummu


Alwi yang sudah tak lagi nyaman untuk duduk dengan waktu lama
hanya bisa pasrah dengan kondisi yang ada namun tetap semangat
mencari keberkahan. Yang dinanti tiba Al-Habib Alwi bin Abdullah
Alaydrus pun memberikan wejangannya yang diterjemahkan oleh
Al-Habib Alwi bin Ahmad Syahab. Sungguh unik duo Habib Alwi
saling berkolaborasi menyampaikan untaian mutiara dari Insan
mulia Nabiyyil Musthofa.

Ceramah kali ini benar-benar menyentuh banyak hati hadirin,


bahkan beberapa darinya tumpah air mata dengan harunya.
Teringat dari Betapa gentingnya mengingat akhirat dan mengontrol
hawa nafsu. Singkat cerita, selesai dari acara tersebut, sepulangnya
Ummu Alwi pun sudah mulai merasa mulas yang berkepanjangan,
dan benar saja pukul 23.30 mulas semakin menjadi-jadi. Maka pukul
23.50 WIB, Ummu Alwi mulai memasuki daripada detik-detik
jihadnya yang Agung sebagai seorang wanita sejati, yaitu proses
melahirkan seorang anak titipan Ilahi ke muka dunia.

Dan ketika pembukaan masuk ke tahap akhir pun teriakan


mulai pecah menahan sakit yang amat terasa. Entah bagaimana
menjelaskan pada dunia tentang rasa sakit yang begitu hebat,
namun Ummu Alwi diberi kekuatan untuk terus berzikir. Lisannya
tak henti-hentinya mengucap,

"Ya Allah... Ya Allah..."


(Teriakan ini membuat Abu Alwi meneteskan air mata karena
terasa betul di jiwa ingatan sosok Almarhum Habib Munzir Al-
Musawa).

Sebagaimana zikir yang diajarkan Habib Munzir Al-Musawa,


sesekali disela dengan selawat pada Nabi dan teriakan takbir…

Siwak digigitnya sekuat tenaga untuk mengalihkan rasa sakit


yang begitu dahsyat, pola sendal Nabi saw digenggam tangannya
hingga kuat (bertabarruk dengan sendal Nabi saw). Abu Alwi yang
ada di sampingnya sambil terus memotivasi dan menguatkannya
seraya berkata:

"Habibana ada di sampingmu sambil tersenyum dan


mendoakanmu sampai lahir selamat dan aman terkendali."

Maka raut kesakitan seketika berubah menjadi senyum dari


Ummu Alwi karena mengingat sosok yang dicintainya. Menyingkat
cerita darin 60 menit lebih keadaan yang mendebarkan, akhirnya
pada pukul 01.45 kurang lebih di waktu sepertiga malam yang
mulia, di penghulu semua hari yang mulia, di hari tasyrik yang
mulia, di bulan yang juga mulia, dan awal hari raya bagi umat Islam
yaitu Awal Hari Jumat (Sayyidul Ayyam) pada tanggal 12 Dzulhijjah
1439H, maka dengan Izin Allah Swt keluar sosok bayi mungil
berkulit putih bersih dengan tangisannya, terlahir dengan
sempurna, dan jalan yang normal "Ahmad Alwi/Mad
Alwi/Amad/Alwi" (nama ini diambil dengan bertabarruk kepada
guru-guru mulia yaitu Al-Habib Ahmad bin Novel Salim Jindan &
atas keridaan dari Al-Murobbi Abuya Ahmad Al-Farisy, sedangkan
Alwi diambil bertabarruk dengan para Da'i di ta'lim malam Jum'at
kala itu.)

Abu Alwi yang sedari tadi tak karuan perasaanya tanpa sadar
berteriak berdua dengan Ummu Alwi dengan sisa-sasa tenaganya
dengan ucapan bait syair Mahalul Qiyam di dalam Maulid Nabi.

"Marhaban... ya Marhaban... Ya Nurrol 'Aini Marhaban Ya


Marhaba... (sampai akhir)."

Tangisan, senyuman, kesedihan, kebahagiaan yang masih


sementara itu bercampur menjadi satu, Masyaa Allah Tabarakallah
Alhamdulillahiladzi bi ni'mati thattimusholihat. Ternyata tak juga
diduga kelahiran Ahmad Alwi ini berbarengan dengan hari lahir
Imam Besar FPI yaitu Sayyidul Walid Al-Mujahid fii Sabilillah Al-
Habib Muhammad Riziq Syihab Hafizhohullah. Semua waktu telah
diatur oleh Dzat Yang Maha Dermawan Penutup segala Aib
kekurangan dan dosa serta Dzat yang mengangkat siapa yang
hendak diangkatnya ke dalam Rahmatnya.

Tak sampai di situ, ketika masuk di dalam ruang perawatan,


perawat yang mengurus Ummu Alwi dan si Dede Alwi, tak diduga
juga merupakan salah seorang pecinta Majelis Rasulallah saw yaitu
Ukhtiy Linda yang penuh semangat dan motivasi, pun demikian
ternyata ia pernah melihat Ummu Alwi sebelumnya di Acara Haul
Syaikh Abu Bakar bin Salim di Cidodol.

"Allah... Allah..."

Penuh dengan kejutan Ilahi Robbi, yang membuat kami tak


henti bersyukur kepada-Nya. Berkah dari kelahiran Mad Alwi ini
ada beberapa pasien yang sudah divonis sungsang pada Sabtu
subuh pun lahir dengan keadaan normal, Ibu hamil tua yang
terjatuh dari motor malam sabtunya pun juga diberi keselamatan
tanpa ada hal yang membahayakan sedikit pun. Memang betul
keberkahan itu bagai cahaya yang menyinari setiap yang ada di
sekitarnya. Ketika kita bersyukur Allah akan menambahkan nikmat
pun bukan hanya pada kita akan tetapi juga sekitar kita. Rahmat
Allah yang luas ini adalah tanda kebesaran-Nya.
Sabtu siang adalah waktu kepulangan Ummu Alwi dan Mad
Alwi dari Klinik persalinan ke rumah neneknya Alwi. Namun, lagi-
lagi Allah Swt tak henti-hentinya menganugerahi sosok pecinta para
kekasih-kekasih Ilahi. Umbul-umbul Hijau Kuning bertuliskan
“MAJELIS RASULALLAH SAW” menjulang tinggi berkibar kokoh di
kiri dan kanan bahu jalan dari klinik sampai dekat rumah Ummu
Alwi. Berkibar seakan menyambut Alwi di hari-haari pertamanya
menghirup udara bebas di dunia. Abu Alwi diajak bertafakur seraya
berkata:

"Masya Allah beginilah cara engkau ya Habibana menyambut


pecintamu... engkau betul-betul hadir menyambutnya..."

Dan pada puncaknya sehari setelah Alwi lahir di wilayah kami


diadakan peringatan HAUL AL-HABIB MUNZIR AL-MUSAWA KE-5
yang dimotori oleh JMRS Paninggilan, mereka yg hanya digeraki 6
orang berjuang untuk mensyiarkan ajaran kelembutan nabi dalam
balutan kenangan rindu kepada sang Guru Tercinta Al-Habib
Munzir Al-Musawa pun telah berhasil mengadakan acara tersebut.

Malam itu juga Abu Alwi mendapat kehormatan untuk


memimpin jalannya acara tersebut sebagai Master of Ceremony
(MC). Dalam kondisi lelah dan menahan kantuk Abu Alwi terasa
begitu semangat karena malunya diri terhadap para pejuang, dan
dorongan bahwa jika sang guru sudah menyambut maka kehadiran
hati dan jasad adalah balasan yang pantas untuk sang penyambut.

Allahumma Sholli Wa Salim Wa Barik Ala Muhammad Wa Ala


Alih.

Sampai pada waktu Ahad pagi bakda Subuh tulisan ini dibuat
sebagai tuangan rasa syukur atas nikmat Ilahi yang Insya Allah
memicu semangat dan menambah manfaat bagi orang yang
membacanya, dan sebagai testimoni (kesan) yang Indah atas setiap
upah bayaran terhadap sosok para pecinta pewaris para Nabi para
Auliya Illah minal Muqorrobin. Upah ini adalah hadiah awal yang
tak akan sebanding dengan upah kelak di akhirat jika kamu benar-
benar mencintai tak sekadar lisan tapi juga beranjak kepada
perbuatan.

Cerita ini adalah satu dari banyak testimoni para pecinta dan
pejuang dakwah Nabi Muhammad saw, yang lebih dari ini adalah
Teramat banyak. Maka jadilah kamu pelaju testimoni mendatang
yang lebih indah lagi tentunya.

Akhir kata, saudara/i yang kumuliakan kami tutup catatan


hidup ini dengan sebuah ayat yang kurang lebih berbunyi.

"Katakanlah: Jika kamu cinta kepada Allah, maka ikutilah Aku


(Nabi Muhammad saw) maka nanti Allah akan mencintai kamu…"
(Qs.Ali Imron Ayat 31)

Demi Allah bagaimanapun kita tak akan sampai cinta kepada


Allah kecuali kita cinta kepada Rasulullah saw, dan kita tak akan
sampai cinta kepada Rasul kecuali kita mencintai orang yang
mencintai Rasulullah saw dengan shiddiq, dan terkhusus para
keturunan Rasulallah saw yaitu para tuan Habaib yang di diri
mereka mengalir darah Sang Nabi...

Guru kami Abuya Ahmad Alfarisy pun pernah berkata "If you
Always Give Suprise, Allah will give you doorprize…" kalau kita suka
bikin suprise (sesuatu yang menyenangkan) pada guru-guru kita
khususnya maka Allah akan berikan kita sebuah doorprize (sesuatu
yang membuat kita tergirangkan menerimanya).

MasyaAllah Tabarakallah... Shollu 'Ala Habibikum


Muhammad..

Ciledug - Kota Tangerang, 26 Agst 2018 (14 Dzulhijjah


1439H).
SENJA DAN KISAH DI BALIK ETALASE TOKO
Nia Ratnasari

“Bu, saya mau beli buku yang itu.” Sebuah buku diary
ditunjuknya dari balik etalase toko. Tak lupa, uang yang dibawanya
lalu diserahkan pada sang penjual.
“Maaf, Dik. Uangnya tidak cukup,” ucap Ibu penjual setelah
menghitung uang yang diterimanya.
“Oh, maaf.”

rumah tanpa mendapatkan apa yang diinginkannya. Lembaran uang


yang digenggamnya kemudian dimasukkan ke dalam saku bajunya.
“Mungkin butuh beberapa rupiah lagi dan hingga beberapa
hari ke depan agar cukup,” batinnya.

berikutnya dia kembali ke toko buku itu lagi. Langkah kaki


dipercepatnya karena tak sabar ingin membeli buku diary yang
didambakannya. Keringatnya yang mulai meluncur bebas di
keningnya, diseka dengan segera.

jemari yang masih menggenggam erat lembaran uang yang


dibawanya dari rumah. Bahkan mungkin, dia sendiri tak tahu pasti
berapa jumlah uang itu. Dia juga tak tahu apakah harga buku diary
yang diinginkanya Masih sama dengan harga pada beberapa hari
yang lalu. Serta tidak tahu apakah uangnya itu telah mencukupi
untuk membelinya atau tidak. Satu hal yang dia yakin bahwa
memang uang yang dikumpulkannya tiap hari, telah jauh lebih dari
cukup. Karena beberapa hari setelah peristiwa kurangnya uang
untuk membeli buku diary kala itu, dia tidak kembali lagi ke toko.
Dia sibuk menambahkan pengumpulan uang yang dia sisihkan
setiap hari dari uang jajan pribadinya.

matanya memancarkan semangat. Kini, pandangannya diarahkan ke


deretan buku diary dengan berbagai gambar dan warna.
“Mau beli yang mana?” tanya Ibu penjual dengan ramah.
Mata sayunya masih sibuk mencari-cari buku diary yang
diinginkannya beberapa hari lalu. Belum sempat dia mengutarakan
maksudnya, Ibu penjual tampaknya telah paham.
“Kalau kamu cari buku diary yang ketika itu uang kamu
kurang, sudah tidak ada. Maaf dik, cari yang lain saja. Sudah ada
yang membelinya, sehari setelah kamu datang ke sini.”

ditempatnya semula. Mata sayunya masih menatap pantulan dirinya


di kaca etalase toko. Binar matanya memancarkan beragam
perasaan. Usianya kini telah memasuki fase dewasa. Kenangannya
itu seolah Terputar kembali ketika pandangannya diarahkan ke
deretan buku diary dengan berbagai gambar dan warna, yang
terpajang di balik etalase toko. Kenangannya ketika berumur tujuh
tahun. Tepatnya, ketika ingin membeli sebuah buku diary.
“Jadi, mau beli yang mana?” tanya Ibu penjual dengan suara
yang sedikit bergetar.
Pertanyaan itu yang lantas membuyarkan lamunan akan
kenangannya di waktu lampau. Ditatapnya dengan lekat sang
penjual yang berdiri di samping etalase toko. Usianya mungkin
sebaya dengan Ibunya di rumah. Garis-garis halus yang tergurat di
kening wanita paruh baya itu mulai terlihat. Warna rambutnya yang
kini telah memutih tidak membuat gadis itu melupakan semuanya.
Senyum ramah sang penjual pun masih sama. Semua kenangan
gadis itu seolah masih tergambar jelas di pelupuk matanya sendiri.
“Kau mau buku diary yang mana, dik?” sang gadis bertanya
pada siswi –yang mengenakan seragam Sekolah Dasar– yang masih
memegangi selembar uang sepuluh ribu rupiah dan dua lembar
uang dua ribu rupiah.
Siswi itu menunjuk sebuah buku diary berwarna biru muda,
bergambar salah satu tokoh kartun favorit anak-anak. Dari balik
etalase toko, terlihat harga buku diary itu sebesar dua puluh empat
ribu rupiah.
“Simpan uangmu. Jangan lupa menabung dan tetap semangat,
ya.” Gadis itu tersenyum ramah. “O iya, siapa namamu?”
“Mentari, Kak,” ucap siswi Sekolah Dasar itu sambil menerima
buku diary yang diinginkannya.
“Namaku Senja.”
“Terima Kasih, Kak,” kata siswi itu sambil berlalu pergi
membawa buku diary yang dibelikan oleh Senja dengan raut wajah
bahagia.

rumah. Dulu, berawal dari keinginannya memiliki salah satu buku


diary yang terpajang berderet di balik etalase toko, semangatnya
hadir. Hidupnya yang serba pas-pasan, mengharuskan dirinya hidup
prihatin Hanya demi sebuah keinginan sederhana sekalipun.
Keadaan, menuntut pemikirannya sedikit bertindak lebih bijaksana.
Menabung, adalah jalan paling baik untuk mendapatkan
keinginannya dengan keadaan ekonomi yang tak memungkinkan
saat itu.

usianya yang bukan anak-anak lagi, sudah memiliki penghasilan


sendiri, semuanya terlintas lagi. Kenangan itu hadir begitu saja saat
dia menatap ke deretan buku diary di balik etalase toko. Tak
disangka juga, Kisahnya pun seperti terulang pada seorang siswi
Sekolah Dasar yang ditemuinya di toko tanpa sengaja.

sekecil apa pun itu yang bisa dilakukannya sudah membuatnya


bahagia. Dia tak ingin ada sosok dan kisah seperti senja yang
lainnya, yang harus merasakan kesedihan menatap sebuah
keinginan sederhana dari Balik etalase toko. Kecuali, semangat dan
segala kebaikan lainnya yang terus berlanjut setelahnya.
SETOPLES IMAJI
Rani D Prawesti

Seperi biasa, hari ini aku dan beberapa teman sudah bersiap
untuk mengamen. Jam sudah menunjukkan pukul 17.00. Aku
membawa gitar kecil pemberian Kak Wisang. Gitar yang usianya
mungkin sudah sekitar 3 tahun. Gitar yang menemaniku awal
pertama berkenalan dengan jalanan.

Hidup di jalanan mengasyikan bagiku daripada sekolah yang


membuat pening kepala. Apalagi pelajaran sejarah. Aku tidak suka.
Aku tidak suka menghafal tahun-tahun dan tokoh-tokoh. Satu-
satunya pelajaran yang aku suka adalah seni, ya melukis. Aku suka
bermain warna. Aku suka menggambar. Aku suka dengan dunia
imajinasi.

Sampai akhirnya aku bertemu denganmu. Di perempatan


lampu merah itu. Di jalanan yang aku suka. Sosok yang setiap pukul
22.00 memberi kami hadiah. Buku.

Teman-temanku tidak suka. Tapi aku suka. Buku cerita itu


menampilkan gambar-gambar menarik. Tidak banyak tulisan. Dan
tentu menambah daya imajinasiku. Aku ingin bercerita dengan
gambar seperti itu.

Dan sekarang, aku sudah membawa buku cerita bergambarku


sendiri. Kulukiskan sosok yang selalu datang memberi kami hadiah.
Tepat pukul 22.00, di perempatan lampu merah. Di jalanan yang aku
suka.

Tapi sayang, di hari itu engkau tidak datang.


SARIP DAN OJEK ONLINE
Winta Hari Arsitowati

Sarip menyesap kopi hitamnya. Matanya terus menatap


gawai, dibarengi dengan jempol yang lincah menggulirkan layar
gawai itu ke bawah, sesekali ke atas. Belum ada notifikasi apa-apa
sedari tadi.

"Aneh. Kenapa hari ini sepi sekali?" Sarip menggerutu. Ia


mulai was-was. Sudah sedari pagi ia berada di warung kopi,
menunggu penumpang yang memesan jasa ojek online.

Biasanya sedari pagi ada saja notifikasi muncul, entah dari


siswa yang hendak berangkat sekolah atau pegawai yang hendak
berangkat kerja. Kadang beberapa kali ia mengangkut ibu-ibu yang
hendak berangkat ke pasar. Jika hari mulai agak siang, dia akan
mendapatkan pesanan makanan yang harus diantar ke rumah
pelanggan dari rumah makan atau warung tertentu yang mereka
inginkan. Hal itu akan berlanjut hingga petang, barulah Sarip
memutuskan pulang.

Jika ditanya, tentu saja Sarip lelah bekerja dari pagi hingga
malam, berputar dari satu area ke area lain. Terlebih saat ada
pelanggan yang memesan makanan, kadang dia harus membeli
dengan uang pribadinya terlebih dulu. Barulah nanti saat pesanan
sampai di tempat, uangnya akan diganti oleh pelanggan. Namun
Sarip menjalani profesinya dengan ikhlas.

Sudah satu tahun ia bergelut sebagai tukang ojek online,


semenjak ia di-PHK oleh pabrik sepatu tempatnya dulu bekerja. Ia
telah mencari kerja ke sana kemari, namun bukan hal mudah untuk
mencari pekerjaan di zaman sekarang, terlebih dengan ijazah ala
kadarnya. Sarip bingung, anak istrinya butuh makan. Di saat itulah
salah seorang tetangganya menyarankan Sarip untuk mendaftar
sebagai tukang ojek online di salah satu perusahaan penyedia jasa
transportasi yang menggunakan teknologi modern.
"Coba daftar di sini saja, Bang. Aku juga baru gabung sejak
tiga bulan lalu. Kalau kita tekun, hasilnya lumayan lho," tutur si
tetangga. Terdorong dari saran itu dan berkaca pada kondisi
ekonomi keluarganya, Sarip memutuskan mendaftar sebagai tukang
ojek online. Ia bertekad untuk melakoni pekerjaan itu sepenuh hati,
demi menafkahi keluarganya. Apalagi si kecil Ratna sudah mulai
masuk TK.

Memang ia akui bahwa enam bulan pertama sejak bergabung,


ia bisa mencecap hasil yang manis. Penghasilan hariannya sungguh
lumayan, terlebih jika dia menerima pesanan di jam-jam sibuk. Ia
juga bisa mendapat bonus jika memperoleh poin dari sejumlah
pesanan yang telah ia selesaikan, atau mendapat penilaian baik dari
pelanggan. Sarip sangat bersyukur. Ia bisa memenuhi kebutuhan
rumah tangga, sekaligus membelikan Ratna sepatu dan tas sekolah.

Namun seiring berjalannya waktu, persaingan di dunia ojek


online makin meningkat. Semakin banyak orang yang mendaftar
sebagai pengemudi baru, dan itu artinya saingan Sarip makin
bertambah pula. Beberapa bulan ini ia mencoba berangkat lebih
pagi dan pulang lebih malam, berjaga di jalanan kalau-kalau ada
pesanan makanan masuk atau ada pelanggan yang membutuhkan
jasanya tersambung melalui aplikasi, namun tetap saja
penghasilannya sehari-hari kian menyusut.

Kebingungan Sarip makin menjadi sejak beredar kabar


mengenai adanya virus penyakit yang menyebar di dunia dan mulai
masuk ke negeri ini sejak awal tahun. Virus itu sudah memakan
korban di beberapa kota, bahkan korban jiwa pun mulai berjatuhan.
Hal itu pula yang membuat pemerintah menetapkan imbauan agar
masyarakat melakukan segala aktivitasnya dari rumah, dan tidak
bepergian ke luar jika tidak diperlukan. Karena penularan virus itu
dapat terjadi bahkan hanya dengan bersalaman, atau ketika ada
yang tanpa sengaja batuk atau bersin di depan orang lain dan
ternyata di tubuhnya terdapat virus tersebut.

Sejak adanya imbauan itu, banyak kantor yang


memberlakukan kerja dari rumah. Sekolah-sekolah pun membuat
program belajar di rumah untuk siswa-siswinya. Tidak hanya itu,
bank, rumah makan, serta beberapa pusat perbelanjaan juga
membatasi jam operasionalnya. Bahkan ada yang benar-benar
ditutup. Belum ada yang tahu sampai kapan keadaan ini akan
berlangsung, tapi yang jelas, hal ini sangat mempengaruhi
pemasukan Sarip.

Sarip teringat akan obrolan dengan istrinya kemarin malam.

"Lusa adalah hari terakhir pembayaran uang sekolah Ratna.


Bulan kemarin kita sudah menunggak. Masa bulan ini mau
menunggak lagi, Bang?"

Perkataan istrinya itu terngiang-ngiang di telinga Sarip.


Memang, meski pembelajaran Ratna dilakukan di rumah selama
beberapa bulan ini, uang sekolah harus tetap dibayarkan. Sarip
paham akan kewajiban itu, namun kondisi saat ini membuatnya tak
berkutik. Harus ke mana lagi ia mencari pelanggan?

"Tring!" Satu notifikasi muncul di layar gawai Sarip. Dari


aplikasi ojek online. Buru-buru ia membukanya. Rupanya ada yang
memesan makanan di sebuah restoran ayam goreng ternama.
Pesanannya cukup banyak, membuat Sarip membuka dompetnya. Ia
mendesah lega mendapati uangnya cukup untuk membayar
pesanan makanan itu terlebih dulu. Ia tidak mau membuang
kesempatan ini. Segera ia terima pesanannya dan melakukan
konfirmasi pada pemesannya. Sarip pun berangkat ke restoran yang
dituju.

Butuh waktu hampir satu jam untuk Sarip melakukan


perjalanan dari restoran ayam goreng itu menuju alamat rumah
pelanggan. Sesampainya di depan sebuah rumah, Sarip memeriksa
nomor yang tertera di depan pagar. Alamatnya benar. Ia pun
mencoba menghubungi si pelanggan melalui fitur pesan singkat di
aplikasi ojek online.

"Permisi Mbak, saya sudah sampai," tulis Sarip. Ia menunggu


beberapa saat. Tidak ada respons. Sarip mencoba menelepon nomor
pelanggan itu. Kenapa tidak ada nada sambungnya?
Sarip mulai panik. Ia turun dari motor, mencari-cari tombol
bel di rumah itu. Setelah ia temukan, ia tekan belnya berkali-kali.
Setelah beberapa saat, keluarlah seorang perempuan muda
berambut sebahu. Perempuan itu membuka pintu pagar.

"Cari siapa ya, Pak?"


"Dengan Mbak Natasya?" tanya Sarip ramah. Perempuan itu
mengernyit.
"Natasya siapa ya, Pak?" ia tampak bingung.
"Natasya Arunita. Tadi melakukan pemesanan ayam goreng
dari restoran ini. Tapi ketika saya telepon, nomornya tidak aktif,"
terang Sarip. Perempuan itu terdiam sejenak.
"Maaf sebelumnya Pak, tapi tidak ada yang bernama Natasya
Arunita di sini." Perempuan itu akhirnya membuka suara, membuat
Sarip tercengang.
"Ini benar jalan Melati Raya Nomor 3 kan, Mbak?" Sarip
berusaha memastikan.
"Benar Pak, tapi di sini tidak ada yang bernama Natasya
Arunita. Tidak ada juga yang memesan makanan dari restoran itu."
perempuan itu mencoba menjelaskan lagi.

Betapa terpukulnya Sarip mendengar hal itu. Ia telah tertipu.


Uang sebanyak seratus lima puluh ribu rupiah telah melayang dari
dompetnya. Ah, harus bagaimana ia sekarang? Mengapa ia harus
tertipu di masa-masa sulit seperti ini? Terbayang wajah polos Ratna
di pelupuk matanya. Bagaimana ia harus membayar uang sekolah
anaknya itu?

Perempuan itu memperhatikan air muka Sarip. Kasihan,


bapak ini telah tertipu rupanya.
"Mohon maaf Pak, kalau boleh tahu berapa jumlah
pembayaran makanan itu?" tanyanya.
"Seratus lima puluh ribu rupiah, Mbak. Itu uang terakhir di
dompet saya. Sejak pagi saya belum dapat pelanggan. Sudah
beberapa bulan ini juga sepi," keluh Sarip.

Perempuan itu tercenung sejenak, "Tunggu sebentar ya Pak."


Perempuan itu masuk ke dalam rumah, dan sebentar kemudian ia
keluar membawa sebuah bungkusan.
"Pak, ini makanannya saya bayar. Sudah tidak apa-apa Bapak
bawa saja untuk makan di rumah. Lalu ini ada sedikit sembako juga
untuk Bapak dan keluarga, mudah-mudahan bermanfaat ya Pak,"
ujar perempuan itu sambil tersenyum.

Sarip tercekat. Dipandanginya uang dan bungkusan di


hadapannya. Ia bingung harus berkata apa.
"Terima kasih banyak, Mbak. Saya tidak tahu harus
bagaimana kalau tidak ada Mbak," ucap Sarip dengan mata berkaca-
kaca.

Akhirnya Sarip pulang dengan membawa uang, sembako, dan


ayam goreng tersebut. Ia bersyukur dengan rezeki yang ia dapatkan
hari ini, meski harus melalui penipuan. Setidaknya mereka memiliki
persediaan makanan unruk sebulan ke depan.

Namun di jalan ia masih memikirkan cara untuk berusaha


melunasi uang sekolah Ratna. Haruskah ia mencari pinjaman? Atau
haruskah ia mencoba mencari jalan lain untuk menghasilkan uang?
Sarip mengembuskan napas panjang. Ia tidak tahu harus bagaimana,
namun yang ia tahu, ia harus bertahan demi keluarga kecilnya.
Semoga semua ini bisa terlewati dengan baik.
HANTU di MALAM MINGGU
Besse Herdiana

Hantu, Kunti, Jelangkung, Gondorou, Parakang, Sundol Bolong


dan sejenisnya pernahkan kau melihatnya? Apakah mereka berjenis
kelamin? Aku hanya tahu cerita dari Nenek bahwa kunti dan
jelangkung itu menyeramkan, dan cerita-cerita yang lain, misalnya
saja jelangkung itu akan memakan manusia dan biasanya targetnya
adalah bocah kecil yang nakal, tidak mau makan dan tidur siang,
tapi orang tua itu tidak pernah menjelaskan apakah kunti itu
perempuan dan jelangkung itu laki-laki, ataupun sebaliknya dan
bagaimana ketika mereka jatuh cinta?
Dan bahkan di masa kanak-kanak kami suka bermain
jelangkung, salah satu permainanan yang diyakini bisa
mendatangkan hantu, roh, atau apa pun itu. Aku masih ingat dengan
baik, malam itu malam Jumat. Aku dengan beberapa anak tetangga
bermain jelangkung di bawah tamaran bulan. Jelangkung-
jelangkung muncullah adalah penggalan nyanyian yang kami
nyanyikan dengan tujuan memanggil jelangkung muncul, sampai
suara serak mengulang lagu yang sama tak juga jelangkung muncul.
Konon jelangkung bisa muncul dan menghilang dengan tiba-tiba itu
juga bagian dari cerita Nenek.
Satu lagi hal yang tak bisa kulupakan tentang nenek adalah
ketika keluar rumah aku harus mengantongi garam dan juga
membawa satu siung bawang putih katanya untuk menjagaku dari
tangan-tangan jahat. Setiap malam Jumat rumah akan berasap sebab
di bawah tangga dibakar sabuk kelapa dan dibiarkan begitu saja,
rumah kami kala itu masih rumah panggung. Kerapkali aku
menemukan dupa dan bau kemenyan pada malam-malam tertentu,
sebuah ranjang kecil dengan kelambu berwarna merah, yang
katanya tempat tinggal kembaran manusia yang wujudnya tidak
jelas. Kehidupan nenek penuh dengan mitos, hal-hal yang tak
mungkin kutemukan lagi pada generasi setelahku.
Dalam dunia dewasa aku betul-betul tak menemukan apa
yang Nenek ceritakan ketika pada masa kanak-kanak. Aku tak
pernah betul-betul menyaksikan bagaimana kunti dan jelangkung
itu memangsa bocah-bocah, aku bahkan sering menyaksikan
demikian banyak bocah-bocah sepanjang lampu merah menaklukan
malam tanpa ketakutan apa pun, mereka bertelanjang dada di
malam yang dingin, mereka baik-baik saja tanpa kunti dan
jelangkung yang menyeramkan dalam bayanganku kala itu, aku
merasa tertipu, jangan-jangan para kunti dan jelangkung itu tidak
lagi memangsa bocah-bocah tapi orang dewasa. Entahlah… Aku
hanya melihat jelangkung imitasi ciptaan manusia sesekali pada
layar lebar, mereka dibuat semenyeramkan mungkin untuk
membuktikan apa yang ada di dalam imajinasi kita tentang hantu
dan sejenisnya. Tak ada yang betul-betul kuselesaikan dengan baik
dengan cerita jelangkung, sebab aku selalu tertidur ketika orang
dengan berisiknya berteriak ketakutan.
Beberapa malam ini aku selalu bermimpi, potongan-
potongan mimpi yang lebih mirip cerita. Bukan mimpi buruk dan
juga mimpi baik, aku tidak tahu bagaimana tafsir mimpi Freud akan
menjelaskan perihal ini. Di kampus orang-orang hanya akan
menyebutku sinting dan gila. Mereka tidak akan percaya kalau aku
mengatakan bertemu ah bukan bertemu tepatnya didatangi hantu
atau apa pun namanya setiap malam Minggu, tidak dengan hari-hari
yang lain. Setiap malam Minggu aku akan terbangun dalam keadaan
berkeringat setelah satu sekuel cerita mimpi terselesaikan.
Dalam mimpi seseorang selalu mendatangiku dengan pakaian
putihnya, rambutnya terurai, cantik untuk ukuran perempuan, aku
saja yang perempuan jelas mengaguminya bagaimana dengan
mereka dengan jenis kelamin laki-laki. Ia tak menakutkan seperti
dalam cerita nenek dan wajahnya juga tak menyeramkan. Namanya
Burik. Beberapa waktu yang lalu ia baru saja meninggal dengan
tidak tenang.
“Namamu tidak menjelaskan rupamu.”
“Kenapa?”
“Kau cantik, dan aku sebagai seorang perempuan merasa
agak iri.”
“Begitu banyak manusia yang tidak pandai berterima kasih
akan tubuhnya, apa kau tahu cantik dan tidak cantik tetap akan
menjadi perkara kalau soal laki-laki.”
“Aku tidak mengerti.”
“Dulu ketika masih jadi manusia, aku berwajah jelek dan
bahkan sangat buruk rupa. Beberapa laki-laki tetap datang padaku
sekalipun aku jelek.”
“Lalu apa yang terjadi dengan mereka? Kau menyukainya?”
“Mereka yang tidak betul-betul menyukaiku, terakhir kali aku
berusaha untuk percaya tetapi sama saja.”
Burik memperbaiki posisi duduknya, tangannya menepu-
nepuk gaunnya yang menjuntai ke lantai, ia mengalih fungsikan
satu-satunya meja yang kumiliki sebagai kursi. Karena bobot
tubuhnya yang lumayan berat, meja bergoyang beberapa buku jatuh
ke lantai. Burik memungutnya dan menimang-nimang, dahinya
sedikit berkerut, matanya nyalang memperhatikan judul buku dan
penulisnya.
“Bacaanmu cukup buruk.”
Burik melemparkan dengan kasar koleksi bacaanku ke
tempat sampah, aku sedikit geram dan marah.
“Atas dasar apa kau mengatakannya buruk?”
“Terang saja, bacaan-bacaan tidak bergunamu itu hanya akan
membuatmu lembek, mudah menyerah. Bacalah sesuatu yang
berguna dan menulislah. Kau tahu? Apa yang paling kusesali setelah
meninggal? Aku tidak meninggalkan apa-apa yang orang bisa
mengingatku dengan baik, dan bahkan para lelaki yang pernah
kulabelkan nama “kekasih” tidak juga mengingatku, aku menyadari
satu hal bahwa orang-orang yang pernah dianggap dekat nyatanya
tidak betul-betul dekat. Orang-orang akan menangisimu saat kau
dikafani, saat tanah yang menjadi tempat peristirahatanmu masih
merah dan lembab. Lalu apa? Orang-orang akan melupa pada
masanya, sebab mereka akan melanjutkan hidupnya.
Kau benar Burik, aku penasaran bagaimana reaksi Pram di
sana ketika orang-orang ramai membincang bumi manusia.
***
Malam minggu berikutnya Burik kembali datang dalam
mimpi, kami sudah akrab. Ia masih saja mengutuk bacaanku yang
katanya tidak berkualitas. Ia bercertita tentang Bujang yang pernah
memintanya berhenti untuk membaca buku-buku kala ia masih
menjadi manusia. Bujang melarangnya membaca buku-buku untuk
menjaga agar ia tetap waras sebab malaikat tidak akan bertanya
tentang berapa banyak buku yang telah ia baca, sesekali belajarlah
tentang agama katanya. Bujang juga melarang Burik berdandan dan
menggunakan parfum yang menyengat dengan beberapa alasan,
beberapa aturan yang cukup mengekang untuk seorang Burik yang
bebas. Belakangan Burik betul-betul berhenti berdandan bukan
karena ia patuh melainkan ia merasa risih dan tidak suka saja ketika
Bujang melakukan hal-hal gila dengan menyapukan bibirnya pada
bibir Burik hanya untuk menghapus gincu merah meronanya. Aku
menyukainya karena isi kepala kami sama, kepalanya sesak karena
kata-kata, dan aku percaya kata Burik. Ia laki-laki yang baik. Burik
bangun dari duduknya, mematuk diri di depan cermin, meraba-raba
setiap jengkal bagian wajahnya dengan jalang. Tangannya bergerak
sampai pada bagian bibir. Bibir ini pernah menginggit bibir-bibir
yang lain katanya lagi, kecuali Bujang. Burik kembali duduk pada
posisinya, matanya menatap kosong keluar jendela. Di luar hujan
dan dingin lolongan anjing memecah malam. Burik melanjutkan
kisahnya bagaimana ia bertemu Bujang dan bagaimana ia
mengakhiri hidupnya setelah ia menemukan lembaran-lembaran
puisi tulisan Bujang.
“Ya ampun, kau bodoh atau bagaimana? Bagaimana mungkin
kau bisa menarik kesimpulan sepihak hanya ketika kau menemukan
kekasihmu menulis puisi tentang perempuan lain? Itu fiksi. Tokoh-
tokoh yang diciptakannya adalah fiksi. Mereka hanya benda mati
yang diberikan nyawa dan kehidupan.
“Justru itulah bagian yang paling sulit, jika ia betul-betul
hidup mudah saja bagiku, tapi karena ia fiksi adanya hanya dalam
bayangan dan ingatan Bujang dan aku tak bisa membunuh ingatan
Bujang. Tidak, perempuan itu bukan fiksi. Ia ada dalam imajinasi
Bujang, aku cemburu.”
“Cemburu yang tidak beralasan.”
“Aku tidak bisa berbagi dengan perempuan mana pun,
termasuk perempuan yang ada dalam imajinasi Bujang, seorang
perempuan yang menunggunya dengan tabah di bawah lampu jalan
lalu lintas, begitu yang tertulis di dalam puisinya, aku marah dan
merasa telah dibodohi.”
“Kau perempuan mengerikan, jahat dan selalu mau benar.
Harusnya kau memberi kesempatan kepada Bujang untuk
menjelaskan.
“Jahat? Selalu mau benar?” Burik tertawa mengejek. “Isi
kepalamu nyatanya sama saja dengan mereka-mereka yang tak
berpihak pada perempuan. Kapan kau akan merdeka atas tubuhmu
sendiri jika kau terus tunduk dan patuh pada naratif sosial
keperempuanan. Jangan bilang kau juga berpikir bahwa Hawa lah
yang jahat telah merayu Adam memakan buah khuldi.
Malam Minggu berikutnya Burik datang lagi, penampilannya
berbeda. Sangat berantakan untuk ukuran manusia, tetapi ia tetap
berkeras kalau ia cantik dan elegan, yang sejujurnya ia lebih mirip
badut dan kali ini menyeramkan. Alisnya sangat tebal karena arang,
Bibirnya merona, pipinya merona dengan serpihan batu bata merah
yang dihaluskan. Gaun merah yang sedikit terbuka bagian depannya
sangat pas di tubuhnya.
“Apakah aku sudah cantik?”
“Emmmm…” aku hanya menanggapi singkat.
“Memangnya mau ke mana?”
“Pesta...”
“Pesta? Memangnya hantu juga berpesta?”
“Bodoh… pestanya Bujang, malam ini Bujang akan melepas
keperjakaannya di ranjang pengantin.”
“Terus? Mau mengucapkan selamat?”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Memotong kelaminnya.”
Setelah malam itu Burik tidak pernah datang lagi, Satu
sekuel cerita selesai sampai hari ini aku tetap tidak tahu alasan
kenapa hantu perempuan yang bernama Burik itu selalu datang di
mimpiku. Seperti biasa aku melangkah dengan gontai mengikuti
kuliah pertama di jam yang horor pukul 07.00, beberapa pertemuan
aku ketinggalan bagaimana tidak? Terlambat 1 detik Mrs. N akan
menyuruhku menutup pintu dari luar. 15 menit berlalu Mrs. N
belum juga muncul, tidak seperti biasanya, baru pada menit ke 30 ia
mencul dengan sedikit tergesa-gesa wajahnya berpeluh karena
keringat.
“Maaf saya terlambat”
“Tidak apa-apa Bu, kami mengerti, biasanya pengantin baru
kadang-kadang lambat bangun,” jawab salah seorang mahasiswa
yang di sudut.
“Terima kasih, saya baru saja mengantar suami saya dari
rumah sakit. Ia harus memperoleh beberapa jahitan”
Jahitan, rumah sakit, pengantin baru kepalaku bermonolog
ketika tiba-tiba di pintu berdiri seorang laki-laki dengan mata sipit,
mirip orang Tionghoa.
“Perkenalkan, dia Bujang suami saya.”
***
Penerimaan
Mardhiah Nurul Lathifah

Bagaskara masih bergeming, ditatapnya satu per satu orang


di hadapannya. Semua berpakaian serba hitam, mata mereka
sembab, hidung mereka merah, sudah pasti itu akibat dari
menangis. Bagaskara sepi, tubuhnya ringan serasa melayang, tapi
mata dan hidungnya baik-baik saja. Ia tidak menangis, terlebih saat
melihat ayahnya yang juga tidak menangis. Sedetik ia ingat, ibunya
pernah bilang, “Menangis bukan kelakuan lelaki, Nak.” Barangkali
itu alasannya.
Bagaskara bukan tidak mengerti apa-apa. Ia lebih dari paham
ibunya sudah tiada, tubuhnya telah kembali ke tanah sejak satu jam
yang lalu. Bagaskara hanya sedang merasa asing, bahkan di
rumahnya sendiri. Ia malah merasa hampa dan kosong di saat
rumahnya tidak pernah seramai ini sebelumnya. Beberapa orang di
dalam sana masih sesenggukan, badan mereka naik-turun, suaranya
serak, mencicit menggumamkan nama ibu.
Sedangkan ia memilih beranjak dan duduk di bangku teras
rumah, menatap matahari yang semakin tergelincir ke barat, hangat.
Pandangannya tajam, jauh menerawang langit. Orang-orang yang
hendak berpamitan padanya menjadi segan. Pasti masih sedih, pikir
beberapa orang. Entah sedih atau apa, Bagas sendiri juga tidak tahu
benar.
Semilir angin sore membelai wajahnya lembut, tapi cukup
mampu menamparnya dari lamunan kosong. Mulai sore ini hingga
seterusnya, sorenya tidak akan pernah sama. Ia tidak bisa lagi
memerhatikan dari jauh ibunya yang sedang berkutat di dapur
untuk menyiapkan makan malam atau tidak ada lagi yang menyetel
radio tua yang suaranya sudah menjerit-jerit menceritakan serial
sandiwara. Itu semua hanya bisa dilakukan oleh ibu.
Bagaskara mendongak saat merasakan hangat air mengalir di
pipinya, langit cerah, pikirnya. Tidak ada petir pula, mana ada hujan
di sore yang indah seperti ini. Lama-lama ia tergugu, napasnya
menjadi satu-satu. Ia beranjak menuju kamarnya, seperti kata
ibunya, menangis bukanlah kelakukan lelaki, jadi ia harus merasa
malu saat menyadari air matanya yang kian deras.
Malam semakin matang, Bagaskara masih terjaga. Matanya
tidak mau terpejam meski ia sudah sangat mengantuk. Badannya
bergerak resah di atas kasur, pandangannya menuju langit-langit
kamar. Di sana, tiba-tiba ibu muncul dengan senyum khasnya, Bagas
balas tersenyum. Ia berani bersumpah, ia adalah satu-satunya orang
yang akan selalu membalas senyum ibu. Ia, anak semata wayang ibu.
Kemudian, gambar berganti menjadi sosok pria paruh baya
yang tidak lain adalah ayahnya. Berbicara tentang ayah, Bagaskara
sama sekali tidak dekat dengannya. Tidak ada yang terjadi
sebenarnya, mereka hanya tidak saling berbicara. Ayahnya sangat
pendiam, barangkali itu sedikit menjadi masalah untuknya. Wanita
yang telah berpulang itu lah penghubung mereka. Mengingatnya
membuat Bagaskara pening, apa bisa ia hidup dengan ayahnya itu
berdua saja.
Bagaskara ingat, sejak kematian ibu, ia belum berbicara apa
pun dengan ayah. Itu berarti sudah 10 jam yang lalu. Dirasanya,
ayah yang pendiam semakin pendiam saja. Sekilas, Bagaskara
menengok ruang tengah yang terlihat dari sela pintu kamar. Seperti
dugaannya, ayah masih setia duduk di sana sejak lepas isya tadi. Ia
menghela napas, memutuskan beranjak.
Takut-takut ia mendekat, menepuk pundak ayahnya, “Belum
tidur, Yah?” sejatinya pertanyaan semacam itu sangat jarang ia
lontarkan pada ayah. Sudah dibilang, keduanya tidak cukup dekat
untuk sekadar berbasa-basi. Bagaskara lebih dekat dengat ibu,
sangat.
“Belum,” pria yang di wajahnya mulai tampak kerutan itu
menoleh ke samping, tempat Bagaskara mengambil duduk. “Apa
yang kamu rasa?” tanya ayah datar. Bagaskara menoleh cepat, tiba-
tiba suaranya tertahan di ujung tenggorokan, ia tidak tahu apa yang
sebenarnya ia rasa. Hening seketika tercipta.
Dua lelaki itu sama-sama tahu, mereka terluka. Kehilangan
sosok yang menjadi cintanya. Ayah kehilangan istri tercantiknya,
sedangkan Bagaskara kehilangan ibu terbaiknya. Hening membawa
ingatan Bagaskara ke masa awal-awal ia mengenal cinta. Saat itu,
Bagaskara lima tahun yang lalu, yang masih cupu dengan dasi abu-
abu merajuk pada ibu karena ketahuan membaca diary-nya diam-
diam. Ia malu kalau ketahuan sedang naksir perempuan.
Satu ketukan di pintu membawa ibu masuk ke kamarnya.
Setelah meletakkan sepiring nasi lengkap dengan lauk-pauknya di
meja belajar, ibu melangkah lebih dalam lalu mengambil duduk di
kasurnya. “Melihatmu membuat ibu ingat waktu dulu ayah
mengejar ibu,” sekilas senyum ibu terbit, nostalgia. Bagaskara yang
sedari tadi pura-pura tidak menyadari kedatangan ibu berhenti dari
aktivitasnya. Cerita ini cerita langka, baik ibu maupun ayahnya
hampir tidak pernah bercerita tentang ini. Bagaskara hanya tahu
mereka dulunya teman sesekolah, selebihnya gelap. Ingin bertanya
pun ia segan.
Buru-buru Bagaskara memosisikan dirinya di samping ibu,
mengirim sinyal agar segera melanjutkan cerita. Kontan, senyum
ibu bertambah lebar. Ia memulai, “Ayah itu laki-laki pemalu. Dia
tidak pernah muncul secara langsung di hadapan ibu, tapi
perhatiannya selalu sampai. Dia tidak pernah mengungkapkan pada
siapa pun akan ketertarikannya itu, tapi dalam diamnya dia
berjuang.” Ibu menjeda, sedikit tertawa sebelum melanjutkan,
“Kalau diingat-ingat, saking pemalunya dia selalu menghindar kalau
kami berpapasan.” Wanita itu menghela napas, “Ibu tidak pernah
menyangka dia lah orangnya, cinta sejati ibu.”
Ibu mengubah posisi, menghadap Bagaskara, “Tidak ada yang
salah dengan jatuh cinta, Nak. Itu sudah menjadi bagian dari fitrah
manusia. Tapi bagaimana mewujudkannya itu soal lain. Bergeraklah
dengan elegan, cinta itu suci, jangan sampai langkah kita malah
menodainya.” Bagas menatap ibunya lekat, senyum tipis tercipta di
bibirnya. Ia mengerti akan dua hal sekarang, pertama, ayah sangat
mencintai ibu. Kedua, ibu sangat mencintai ayah.
Ibu berdiri, “Ya sudah dimakan nasinya, keburu dingin,” lalu
keluar. Sesaat sebelum benar-benar berlalu, ibu menoleh dan
berkata, “Ibu pasti akan mendengarkan kapan pun kamu mau cerita,
Bagas.” Bagaskara tersenyum, kali ini senyumnya lebar sampai
menampakkan deretan giginya.
Bagaskara berjengit kaget di duduknya, sedetik ia sadar,
kejadian itu sudah lama sekali berlalu. Kejadian yang ia ingat bukan
soal merajuknya, tapi kejadian yang membuatnya perlahan
memahami, ayahnya memang pendiam, lalu mau diapakan? Toh
apabila dipikir-pikir, ia tidak pernah kekurangan perhatian.
Syahdan, ia menoleh pada ayahnya, “Kalau ayah, apa yang ayah
rasa?” tanyanya pelan sembari menyadari betapa bodohnya
pertanyaan itu. Jelas-jelas ibu adalah satu-satunya cinta ayah, sudah
pasti ia sangat terpukul.
Tapi, melihat ayahnya tidak menangis, dingin menghadapi ini
semua. Yang juga membuatnya jadi ikut tidak menangis. Bagaskara
jadi bertanya-tanya, apa luka ini sudah terlalu dalam sampai
merasakannya pun mereka tidak sanggup.
Ayah menghela napas, “Tidak ada kehilangan yang terasa
baik-baik saja, Nak.” Pria beruban itu menjeda, “Rasakan saja.
Biarkan, apa pun rasa yang melingkupimu,” lanjutnya lirih.
Bagaskara merasa sangat asing. Tiba-tiba dadanya sesak,
tidak mampu lagi menampung gelontoran perasaan yang datang. Ia
menyerah untuk merasakan sesuatu yang tanpa sadar ia tahan-
tahan. Perasaan yang tidak pernah ia kenali sebelumnya. Campuran
dari sepi, kosong, hampa, luka, sedih, ahh cukup. Sakit sekali ulu
hatinya. Matanya tergenang, lagi-lagi ia tergugu, napasnya menjadi
satu-satu.
Tidak lama, ayah ikut meneteskan air mata pertamanya sejak
kematian ibu. Ia bukan orang yang mudah berekspresi, baginya
segala hal sudah cukup sampai di dalam hati. Namun kali ini lain.
Tidak pernah ada! Tidak pernah ada kehilangan yang terasa baik-
baik saja! Diraihnya putra semata wayangnya itu, direngkuhnya
sampai kiranya bisa berbagi kekuatan.
Bagaskara ikut mengeratkan pelukannya. Pelukan yang tak
pernah ia pikir akan sehangat ini. Ibu, ibu harus tahu malam ini aku
berpelukan dengan ayah, lirihnya.
Hari ini, hidup wanita berharga itu memang berhenti, tapi
hidup kedua lelaki yang sedang berpelukan itu masih terus berjalan.
Masih, dan harus terus berjalan! Yang menyakitkan, esok lusa pasti
sembuh. Yang membingungkan, esok lusa mungkin akan terurai.
Dan yang ada, bagaimanapun harus tetap dilakoni.
Dalam pelukan, haru, dan tangis itu, masing-masing telah
berjanji untuk tidak saling meninggalkan. Masing-masing rela
berlinang air mata, rela tidak dianggap lelaki untuk sementara.
MENGEJAR MIMPI MENJADI ENGINEER
Jaka Samudra

Engineer, berasal dari bahasa latin yang bila diartikan dalam


bahasa Indonesia adalah seseorang insinyur, seorang ahli di bidang
teknik atau seseorang yang bekerja di bidang teknik. Berdasarkan
disiplin ilmunya, ada banyak sekali engineer di seluruh dunia,
seperti mechanical engineer yang berarti seorang ahli di bidang
mekanik, civil engineer berarti seorang ahli di bidang ilmu civil,
architecture engineer seorang ahli di bidang keilmuan arsitektur,
mining enginner seorang ahli di bidang pertambangan, electrical
engineer seoranag ahli di bidang teknik kelistrikan, dan masih
banyak sekali engineer lainnya sesuai disiplin ilmu yang
dipelajarinya. Apakah setiap lulusan teknik diwajibkan menjadi
seorang engineer? Tentunya tidak, ada banyak sekali para tokoh
nasional maupun internasional yang juga sebagai lulusan teknik
berkarier di luar bidang keilmuan teknik, artinya jangan sampai
jurusan pendidikan membatasi kreativitas kita untuk terus
berkarya, tetapi pada umumnya seseorang yang ingin atau sedang
menempuh pendidikan teknik sebagian besar ingin menjadi seorang
engineer.
Dalam tulisan ini saya ingin berbagi kisah perjalanan hidup
saya dan saya sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari teknik.
Saya adalah seorang anak biasa seperti pada umumnya, saya lahir di
Cirebon, 9 Mei 1994, saya menyelesaikan sekolah dasar di SDN
Duren Sawit 07 Jakarta Timur. Cerita ini akan saya awali sejak saya
duduk di bangku kelas 2 SD, karena saat itulah perihnya perjuangan
hidup saya rasakan, ketika itu Seseorang yang sangat saya sayangi
pergi untuk selama lamanya, Ibu meninggal dunia disaat saya
berusia 7 tahun dan masih duduk di banguk kelas 2 SD. Berawal
dari kisah pahit itulah saya saya mulai berjuang, setiap pulang
sekolah saya harus membantu Bapak saya yang berprofesi sebagai
pedagang gorengan, hingga larut malam saya selalu di tempat
dagang bersama Bapak, tak jarang saya tertidur di atas pot bunga
berbahan cor-coran. Perjalanan hidup yang begitu pahit ini tidak
pernah menyurutkan semangat saya untuk terus bersekolah,
terbukti sejak masih SD saya beberapa kali mendapatkan peringkat
atau ranking 1 dan pernah juara 1 untuk lomba menggambar.
Semua itu tak lepas dari jasa Bapak saya yang selalu semangat
melatih saya sepulang berjualan, masih saya ingat pukul 1 malam
mulai latihan sampai pukul 3 pagi dan diulang hingga beberapa kali.
Tahun 2006 saya lulus SD dan melanjutkat pendidikan ke
tingkat SMP, di masa ini saya mengikuti pendidikan seperti biasa
seperti anak anak pada umumnya. Setelah lulus SMP saya
melanjutkan pendidikan ke tingkat lanjutan beberapa kali
mendaftar di sekolah negri dan hasilnya ditollak dikarnakan nilai
ujian saya kurang memenuhi syarat, dan akhirnya saya
memutuskan untuk melanjutkan sekolah di SMK swasta di wilayah
Jakarta Timur. Di SMK inilah saya mulai menggeluti bidang teknik,
jurusan yang saya ambil adalah teknik mekanik otomotif, saya ikuti
pelajaran dengan senang hati terutama pelajaran gambar teknik
yang paling saya suka, karena sejak kecil memang saya sudah
memiliki hobi menggambar. Singkat cerita saya lulus di tahun 2012,
dikarenakan untuk melanjutkan ke jenjang kuliah memerlukan
biaya yang cukup mahal akhirnya saya mulai memutuskan untuk
melamar pekerjaan, beberapa kali saya interview, sempat ditolak di
beberapa perusahaan sampai akhirnya saya di terima di salah satu
bengkel resmi Ahas Honda di wilayah Bekasi namun tak bertahan
lama karna saya kembali saya mendapkan ujian yang cukup berat,
Kakak perempuan saya jatuh sakit dan terpaksa harus beberapa kali
di rawat di rumah sakit, sejak itu semuanya mulai kacau, waktu
berdagang Bapak saya mulai terganggu, akhirnya saya memutuskan
untuk menggantikan posisi Bapak saya, selesai ujian nasional saya
memutuskan untuk berjualan gorengan, agar Bapak saya fokus
untuk pengobatan kakak saya. Selama kurang lebih 3 bulan setelah
kakak beberapa kali di rawat di rumah sakit hingga tak tertolong,
kakak pergi meninggalkan kami semua untuk selama-lamanya.
Sejak itu kami hanya tinggal berdua, kembali menjalani hari-hari
seperti biasa setiap hari saya berjualan gorengan bersama Bapak
saya. Setelah berjalan beberapa bulan saya memiliki inisiatif ingin
berjualan gorengan sendiri agar Bapak saya istirahat dan pulang ke
kampong halaman, tetapi Bapak saya tidak menyetujui ide tersebut
dan akhirnya setelah beberapa kali berdiskusi saya memutuskan
untuk tetap berjualan namun tidak bersama Bapak saya melainkan
berjualan sendiri di tempat yang berbeda.
Saat dedang mencari lokasi untuk berjualan tiba-tiba Bapak
menyarankan saya untuk kembali melanjutkan kuliah, namun saya
tidak langsung menyetujui saran tersebut. Saya tetap memaksa
ingin berjualan, setelah beberapa kali berdiskusi akhirnya kami
sepakat dan saya pun mengikuti saran orang tua untuk melanjutkan
pendidikan dan mulai mencari info pendaftaran mahasiswa baru di
beberapa kampus. Sempat mengikuti seleksi di salah satu
perguruan tinggi kedinasan namun akhirnya gagaal, dan kembali
mencari informasi di kampus yang lain, sempat mendaftar di salah
satu kampus teknik namun harus dibatalkan dikarenakan pada
waktu itu biaya untuk pendaftaran tidak terjangkau, akhirnya saya
kembali mencari kampus lain hingga tertuju ke sakah satu kampus
di wilayah Jakarta Timur dan mengambil jurusan Teknik Mesin.
Semester 1 dan 2 dilalui tanpa masalah, saat tidak ada jam kuliah
saya tetap berjualan gorengan seperti biasa karena lokasi kampus
pun tidak terlalu jauh dengan lokasi orang tua saya berdagang.
Mulai memasuki semester 3 kondisi keuangan mulai goyah, saya
berpikir sepertinya akan sangaat berat jika biaya kuliah dibebankan
pada orang tua yang berprofesi sebagai pedagang gorengan. Pada
waktu itu saya mendapatkan informasi PT. Kereta Api Idonesia
sedang membuka rekruitmen masinis, saya pun memberanikan diri
untuk mengikuti seleksi tersebut hingga akhirnya gagal.
Hari berganti hari kuliah tetap berjalan bayar semester pun
harus dilaksanakan, saya kembali mencari solusi hingga akhirnya
saya memutuskan untuk pindah kelas dari kelas kuliah regular ke
kelas karyawan walaupun pada waktu itu saya belum mendapatkan
pekerjaan. Saya memutuskan itu dengan beranggapan di kelas
karyawan tentunya akan mendapatkan teman-teman baru yang
yang kuliah sambil bekerja, mungkin dari situlah saya bisa
mendapatka informasi lowongan pekerjaan. Sejak mulai masuk di
kelas karyawa saya sering menanyakan informasi seputar lowongan
pekerjaan, dan ada salah satu teman saya yang menginfokan
lowongan pekerjaan di kontraktor sebagai juru gambar, pada waktu
itu saya belum tahu persis bagaimana lingkup pekerjaannya karena
saya sama sekali belum pernah bekerja di kontraktor. Dengan
polosnya saya bertanya pada teman saya, kita kan jurusan teknik
mesin, memang bisa kerja di kontraktor? Karena setahu saya di
kontraktor itu yang ada hanya orang orang dari jurusan sipil dan
arsitek. Dari situlah saya mulai memahami bahwa dari jurusan
teknik mesin pun bisa berkarier di dunia kontrakor sekalipun itu
konstruksi gedung bertingkat, karena di sebuah proyek konstruksi
ada 3 pekerjaan besar yaitu Arsitek, Struktur, dan MEP. Untuk
teman teman di luar jurusan arsitek dan sipil bisa membangun
karier di dunia konstruksi, teman-teman dari teknik mesin, teknik
industi, teknik elektro, teknik listrik bisa masuk ke dalam divisi
MEP.
Sejak itu saya mulai memutuskan ingin bekerja di kontraktor
namun saya belum memiliki bekal khusus untuk bekerja di bidang
tersebut dan akhirnya ada seorang sahabat yang baik hati yang mau
mengajarkan bagaimana caranya untuk bekerja di bidang tersebut.
Saya mulai belajar menggunakan software autocad, belajar
bagaimana membuat gambar kerja. Saya mulai mencari tahu
tentang dunia kontraktor. Setelah beberapa bulan saya belajar hal
tersebut, saya mulai memberanikan diri untuk melamar pekerjaan
di perusahaan kontraktor. Sempat sebanyak 4 kali di tolak namun
tak menyurutkan semangat untuk terus berusaha hingga akhirnya
diterima di salah satu perusahaan kontraktor di wilayah Jakarta
Pusat. Entah ini karena kebetulan atau sebuah keberuntungan,
sebab saya diterima untuk ditugaskan di salah satu proyek di
Jakarta Utara untuk menggantikan seseorang yang mengundurkan
diri.
Pertama kali merintis karier di dunia kontraktor tepatnya
pada bulan Mei 2015 saya mulai bekerja di perusahaan kontraktor.
Hari pertama saya masuk kerja langsung di tugaskan di site project,
dengan hanya bermodalkan skill gambar yang saya miliki. Saya pun
menjalani tanggung jawab ini dengan penuh suka dan duka. Banyak
sekali hal baru yang saya dapatkan di lapangan, tak jarang pula
mendapatkan kata-kata yang kurang menyenangkan, tapi itu
merupakan hal biasa di dunia kontraktor. Anak teknik harus siap
menghadapi ini semua. Awal bekerja sebagai anak baru tentunya
saya berusaha menunjukan loyalitas, di sisi lain saya masih memiliki
tanggung jawab menyelesaikan kuliah yang pada waktu itu saya
masih semester 3 akhir. Di sinilah banyak sekali pengalaman pahit
yang harus saya lalui, lokasi proyek tempat saya bekerja di wilayah
Jakarta Utara sedangkan kampus saya di Jakarta Timur. Bayangkan
bagaimana cara mengatur waktu sebaik mungkin, kapan saya harus
tiba di proyek dan kapan saya harus tiba di kampus dengan tepat
waktu. Sebagai karyawan baru tentunya masih harus beradaptasi
dengan lingkungan dan waktu, tak mungkin juga setiap hari saya
harus pulang lebih awal dengan alasan kuliah, sedangkan di dunia
kontraktor tidak ada yang namanya pulang cepat, bahkan sebagian
orang berangapan orang yang bekerja di kontraktor itu jarang
pulang, hal ini lah yang menyebabkan kuliah saya saya berantakan
di semester 4 dan 5, tak jarang pula harus mengikuti ujian susulan
bahkan ada beberapa mata kuliah yang tak sempat mengikuti ujian
dan harus mengulang di semester berikutnya.
Tak terasa dua setengah tahun berlalu, proyek yang sedang
dikerjakan pun sudah hampir selesai, di situ lah ada kebanggaan
tersendiri yang saya rasakan. Berawal dari anak baru yang paling
junior dianggap tidak bisa apa-apa ternyata mampu memberi
kontribusi hingga akhir proyek. Dari yang awalnya kami
mengerjakan gambar enam orang dan di akhir proyek tinggal saya
seorang diri yang meng-handle tanggung jawab tersebut, tentunya
harus lebih ekstra dari hari hari biasanya. Mulai dari mengecek
lapangan, menyesuaikan gambar shop drawing, dan kondisi
lapangan untuk kemudian digambar lagi dan diajukan sebagai as
built drawing yang juga sebagai dokumen serah terima gedung.
Kejadian paling berkesan di akhir proyek adalah ketika saya
mengerjakan gambar sampai 3 hari 2 malam tanpa tidur dan
kemudian di hari ke 4 fisik mulai tumbang dan harus dibawa ke
dokter. Singkat cerita, proyek pun telah selesai dan serah terima,
dan seluruh tim mulai bersiap untuk mengerjakan proyek
selanjutnya. Sempat ada tawaran untuk mengerjakan proyek di
Lombok namun pada waktu itu saya masih ada tanggung jawab
menyelesaikan kuliah sehingga belum bisa untuk bergabung di
proyek luar kota hingga akhirnya ada salah satu project manager
yang meminta saya bergabung dengan timnya untuk mengerjakan
proyek di wilayah Jakarta Pusat, setelah banyak belajar di proyek
sebelumnya, di proyek ini saya mulai terbiasa dengan lika-liku
kehidupan proyek, jarang pulang adalah hal yang sangat biasa,
bahkan saya sangat merasa nyaman tidur di bedeng proyek.
Setelah 6 bulan berjalan ada tawaran untuk bergabung di
perusahaan konsultan, namun saya tidak langsung terima tawaran
tersebut dikarenakan saya sudah merasa nyaman sekali di
kontraktor, berat sekali rasanya meninggalkan suasana kontraktor,
meninggalkan teman-teman, meninggalkan meja kerja yang juga
sebagai tempat tidur, butuh waktu kurang lebih selama 1 bulan
untuk saya memutuskan menerima tawaran tersebut. Berdasarkan
infromasi yang saya terima jam kerja di perusahaan konsultan tidak
se ekstrim di kontraktor, saya pun berpikir jika bekerja di konsultan
akan memiliki waktu yang cukup untuk menyelesaikan kuliah, dan
akhirnya saya mulai bergabung di perusahaan konsultan. Awal
bergabung di konsultan saya merasakan hal baru di mana biasanya
saya bekerja hingga larut malam dan jarang pulang, di konsultan
jam kerjanya sangat teratur bahkan sering kali pulang on time. Di
sinilah saya mulai fokus untuk menyelesaikan kuliah saya, selain
bisa menyelesaikan kuliah sering pula waktu luang saya gunakan
untuk mengerjakan proyek dari luar kantor bahkan hingga sekarang
pun saya masih menerima beberapa job dari luar kantor.
Hari berganti hari tibalah saatnya saya harus mengambil
tugas akhir sebagai persyaratan mendapatkan gelar ST, gelar yang
sangt diimpikan oleh anak teknik, saya mengambil konsentrasi
konversi energi dengan pembimbing utama Prof. Ir. Amiral Aziz,
Msc, APU, merupakan suatu kebanggaan tersendiri bisa dibimbing
langsung oleh seorang Profesor, tak ingin mengecewakan orang tua
dan dosen pembimbing, saya mulai mengerjakan tugas akhir
dengan topik pembahasan desain tata udara pada bangunan
gedung. Saya mulai mencari beberapa buku sebagai referensi
bahkan hingga ke luar kota untuk bertemu langsung dengan
seseorang yang kompeten di bidangnya, sempat bertemu seseorang
yang sebelumnya tidak saya kenal namun saya nekat untuk
menemuinya agar bisa belajar langsung dengan ahlinya. Pada waktu
itu hari Sabtu pukul 10 pagi saya mendapatkan nomor HP seseorang
yang ahli di bidang hvac dari sabahat saya. Pagi itu saya
berkomunikasi lewat WhatsApp dan saya meminta izin untuk
menemuinya di Bandung. Pukul 2 setelah selesai bimbingan skripsi,
saya langsung bergegas pergi ke Bandung. Tiba di Bandung pukul 7
malam dan bertemu dengan orang tersebut, setelah berkenalan dan
dan menjelaskan maksud tujuan saya menemui beliau akhirnya
saya dibimbing dan diberi kuliah di kamar kos hingga pukul 3 pagi,
dari situ saya mendapatkan banyak sekali materi yang bisa
digunakan untuk melengkapi skripsi. Bulan Februari 2019, saya
maju untuk seminar proposal daan berjalan dengan lancar, namun 2
minggu setelah itu adalah waktu wisuda dilaksanakan. Tak sempat
waktu untuk mengejar sidang skripsi dan saya pun harus rela tidak
bisa wisuda pada tahun itu. Sempat merasa kecewa dan hampir
putus asa, beberapa bulan kemudian saya hanya fokus bekerja tidak
pernah datatang ke kampus.
Hingga tiba waktunya saya menerima informasi bahwa di
kampus akan dilaksanakan siding skripsi, saya pun segera datang ke
kampus untuk melanjutkan skripsi saya yang sempat tertunda, saya
menghadap dosen pembimbing untuk melanjutkan skripsi saya,
namun pada waktu itu ada beberapa proyek yang harus segera di
selesaikan, saya harus membagi waktu untuk menyelesaikan skripsi
dan untuk menyelesaikan proyek yang sedang dikerjakan, tak
jarang pula dosen pembimbing mengingatkan saya agar segera
menyelesaikan skripsi. Tiga hari sebelum dilaksanakan sidang
skripsi saya menerima kabar dari dosen pembimbing agar segera
menyerahkan berkas skripsi yang akan diuji, saya lanjut
mengerjakan skripsi setiap hari sepulang kerja selama tiga hari
tanpa tidur. Sampai batas waktu yang ditentukan skripsi saya belum
selesai namun saya tetap melanjutkan hingga selesai walaupun
penyerahan berkas terlambat namun masih diterima dan saya bisa
mengikuti sidang skripsi pada tanggal 24 Desember 2019.
Saya merasa sangat senang dan bangga, walau sempat
hampir menyerah bahkan sempat berpikir saya tidak bisa
menyelesaikan kuliah namun dengan tekad yang kuat dan cita-cita
ingin menjadi seorang engineer saya harus berusaha semaksimal
mungkin untuk mengejar dan meraih impian tersebut. Sekarang
saya tergabung sebagai anggota Ikatan Engineer Indonesia (IKEI).
Saya juga tergabung di beberapa komunitas di bidang teknik dan
aktif di pengurus Komunitas Autocad Indonesia Korwil – Bekasi
(KAI - Bekasi) sebagai wakil ketua. Sempat mengisi acara di salah
satu kampus bersama tim KAI – Bekasi. Di kampus inilah kembali
teringat kenangan pahit yang pernah dilalui, pada tahun 2013 saya
batal kuliah di kampus tersebut dikarenakan kurang biaya dan
sekarang mendapatkan kesempatan mengisi acara worksop di
kampus tersebut. Yaa dari pengalaman ini saya menyadari
kesempatan tidak datang dua kali namun kesempatan akan selalu
ada. Kemudian pada bulan Desember 2019 kembali mengisi acara
workshop di salah satu kampus di Jakarta Selatan bersama tim KAI-
Bekasi, dan berlanjut mengisi workshop di salah satu kampus di
Bekasi, sempat pula menjadi pembicara di webinar KAI-Bekasi. Di
komunitas ini saya banyak belajar bersama kawan-kawan yang juga
berkarier di bidang teknik. Selain itu saya juga aktif memberi
pelatihan Autocad di kampus saya sendiri, mengenalkan dan
memberi pelatihan untuk adik-adik di kampus. Semua ini berawal
dari pengalaman pahit, pada tahun 2016 saya mendaftar sebagai
peserta workshop di salah satu kampus ternama, di situ saya
mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan karna saya
datang dari kampus swasta yang mungkin jarang diketahui
keberadaannya. Dari situ saya berdoa dalam hati “suatu saat saya
akan buat acara seperti ini di kampus saya” dan akhirnya doa
tersebut terwujut di tahun 2018, dibantu kawan kawan dari BEM
Fakultas akhirnya kami membuka workshop dan saya bertindak
sebagai pemateri. Sekarang saya sedang merintis start up yang
bergerak di bidang edukasi software 2D maupun 3D bersama rekan
saya. Jangan pernah berkecil hati, kita semua sama-sama belajar.
Yang mewah itu fasilitasnya, yang terkenal itu almamaternya dan
yang hebat itu dosennya, namun mahasiswanya semua sama, sama-
sama dalam proses belajar. Jangan pernah menyombongkan diri
dengan almamatermu tapi berikanlah yang terbaik untuk
almamatermu, semoga tulisan singkat ini dapat menjadi motifasi
dan membangun semangat untuk kawan kawan teknik, di mana pun
tempatnya teruslah berkarya dan selalu semangat kejar mimpimu
sampai dapat.
PANDEMIK INI MENGAJARIKU
Ernawati

Pagi yang sangat dingin, di pengunungan yang rindang. Warga


desa sudah siap mencari nafkah di ladangnya. Para pekerja kontrak
maupun harian yang telah siap meluncur ke tempat mengadu. Para
warga yang telah siap memulai harinya sama halnya denganku,
gadis semester akhir yang konon katanya disibukkan dengan tugas
akhirnya. Semangatku kian membara untuk kembali datang ke kota
untuk menuntut ilmu.
Semangat itu pun tak lain karena message dari dosen
pembimbingku di WhatsApp Group siang ini yang berencana akan
mengadakan bimbingan pada esok hari. Pikiranku pun menjadi
bimbang karena adanya message dari dosen pembimbingku yang
kurasa cukup mendadak. Selain itu aku bersama orang tuaku
memiliki rencana hendak datang ke hajatan saudara pada hari yang
sama dengan hari bimbingan yang direncanakan dosenku.
“Bimbingan diadakan terutama bagi yang ingin wisuda Mei.”
Begitulah bunyi salah satu message dosen pembimbingku. Sebagai
mahasiswa yang ingin lulus pada bulan tersebut perasaanku
menjadi semakin campur aduk.
“Eh Ri, semisal besok aku nggak ikut bimbingan ini bisa
nggak ya aku ikut kelulusan bulan Mei? Ahh bingung aku!” tanyaku
kepada temanku satu bimbingan.
“Ahh ya enggaklah! Jadi, itu pas kamu bisa aja, kalau nggak
bisa juga no problem lahh,” jawab temanku santai.
“Bu, besok aku ada bimbingan di kampus, jadi harus balik.”
Beri tahuku pada Ibu untuk meminta izin.
“Ehhh… terus baliknya kapan? Nanti atau besok? Kok
dadakan?” tanya Ibuku yang berharap aku kembali ke kota esok
lusa.
“Emm, nah itu belum tahu. Takut kehilangan materi aja,”
jawabku.
“Sifat bimbingan itu gimana, Nduk? Apakah wajib?” Ibuku
kembali bertanya.
“Tidak sih Bu, kata temenku yang bisa ikut aja. Tapi aku
pengen banget ikut, takut ketinggalan infonya,” jawabku supaya
Ibuku mengizinkan.
“Enggak usah ikut dulu ya Nduk, kan besok kita mau pergi,”
jawab Ibuku tidak mengizinkan.
Akhirnya aku pun bilang kepada temanku, “Ri, kalau aku
minta tolong di-share hasil bimbingan besok ini gimana?”
“Iya gapapa, nanti tak share catatanku,” jawabnya yang
membuat perasaanku menjadi lebih tenang.
Akhirnya kuputuskan tidak datang ke kampus untuk
mengikuti bimbingan karena tak dapat izin dari orang tua. Aku
memutuskan untuk datang ke hajatan saudara dan kembali ke kota
esok lusa.
Esok harinya, bakda subuh tepatnya pukul 05.05 bunyilah
ponselku.
“Klung..” tanda pesan masuk. Ternyata pesan dari grup
WhatsApp Bimbingan Tugas Akhir.
“Selamat pagi, bahwasannya bimbingan saya batalkan terkait
adanya virus covid-19. Mohon maaf bagi yang sudah
mempersiapkan bahan bimbingan. Bimbingan akan saya lakukan
secara online.”
Dalam hatiku campur aduk antara sedih, takut, dan cemas.
Takut akan virus covid-19 yang sedang melanda seluruh bumi.
Berita terakhirku dapat bahwa terdapat pasien positif covid-19 di
Kota Surakarta, kota yang jaraknya hanya terpisah 60 km dari kota
pelajar. Hampir semua media isinya berita terbaru mengenai
adanya positif covid-19 di Kota Surakarta. Dengan adanya berita itu,
kampus ditutup dan kuliah dilakukan secara daring selama dua
pekan ke depan. Semua orang semakin resah dan waspada akan
berita ini. Jalanan kota pun mulai lenggang tak seramai weekend
biasanya.
Pemberitaan di medsos membuatku menjadi down, tapi aku
harus tetap mengejar kelulusan bulan Mei. Aku pun harus tetap
memenuhi janji untuk meminta tanda tangan kepada pembimbing
internship-ku. Kupaksakan untuk tetap membeli kertas dan tinta
keluar untuk mencetak dokumen yang kuperlukan. Dalam hatiku
berpikir bahwa kematian berada di tangan Yang Mahakuasa, jadi
aku sangat santai sekali dalam kondisi ini. Aku pun sering keluar
untuk membeli kebutuhan sehari-hari selama di kontrakan.
Alih-alih untuk keperluan tugas akhir, aku pun tetap keluar
untuk mengambil data. Aku pergi keluar rumah tanpa rasa takut
karena data ini hanya bisa diperoleh dengan datang langsung.
Bahkan aku hendak pergi ke kampus untuk menitipkan laporan
internship. Namun, karena pemberitahuan bahwa kampus lockdown
aku pun mengurungkan niatku untuk ke kampus.
Pemberitahuan ini tak lain karena adanya kasus positif di
kampusku, guru besar salah satu fakultas di kampusku. Sehingga
status kampus yang mulanya waspada berubah menjadi awas. Dan
selang satu minggu setelah aku menanyakan kabar tersebut dengan
adik tingkat, guru besar tersebut meninggal. Upacara pemakaman
dilaksanakan berbeda dari prosesi pemakaman biasanya yang
dilangsungkan di universitas.
Pemerintah kemudian mengambil langkah dengan
mengimbau perkuliahan online diperpanjang sampai 29 Mei. Semua
fasilitas perpustakaan di kampusku ditutup. Tidak diperbolehkan
mengambil data di lapangan. Itulah yang membuat perasaanku
menjadi pesimis untuk mengikuti wisuda bulan Mei. Aku semakin
males-malesan ngerjain tugas akhirku. Kupasrahkan semuanya,
udah mulai bingung dengan keadaan. Wisuda bulan Mei bukan
menjadi prioritasku lagi. Sia-sia kurasakan setelah ngebut ngerjain
tugas akhirku.
“Percuma aja aku ngerjain tugas akhirku ngebut kalau
akhirnya belum tahu bisa wisuda bulan Mei atau enggak… Huhh,
sebal!” batinku mengingat informasi yang masih simpang siur.
“Ahh sudahlah, aku wisuda periode selanjutnya saja..,” ucapku
kesal sambil kulempar buku panduan tugas akhirku.
Tiba-tiba muncullah pemberitahuan resmi sidang tugas akhir
dilakukan secara daring. Aku pun mulai merenung. Berdiam aku di
kamar. Kubaca berkali-kali pemberitahuan sidang daring.
Memikirkan kembali wisuda bulan Mei yang menjadi harapanku.
Kurasa sidang online mengurangi rasa nervous. Setelah kupikir
dengan keras kepala, akhirnya kuputuskan untuk mengikuti sidang
bulan depan.
Perlahan kutata ulang perasaanku yang masih gundah.
Kumantapkan hatiku, kucoba merenung akan yang terjadi pada
diriku. Kumulai pikirkan hal yang positif dan kuhilangkan rasa
menyalahkan diri sendiri dan orang lain. Tak terasa air mataku
membasahi pipiku. Kumulai intropeksi diri. Aku menyesali semua
ini.
Kuawali dengan selalu update berita dan membacanya secara
rinci. Semua proses persetujuan dan tanda tangan tugas akhir pun
dilakukan secara online. Tanpa kusadari semua pelayanan kampus
dilakukan dengan baik dan ramah. Proses persetujuan dari dosen
pun juga cepat hingga sidang online pun berlangsung lancar.
Dari ini semua kita bisa ambil sisi positifnya, kita tidak bisa
menyalahkan siapa pun. Inilah ujian bagi seluruh isi bumi. Tinggal
bagaimana kita menyikapinya. Ada yang semakin produktif sejak
tuntutan di rumah saja. Ada yang membuka usaha baru. Namun
banyak pula yang kehilangan penghasilan. Apa pun yang terjadi
adalah kehendak sang Pencipta, ini semua adalah anugerah.
Sebagaimana roda berputar, manusia tidak akan selalu ada di atas
dan tidak akan selalu di bawah.
Terima kasih pandemi, kau telah mengajariku untuk semakin
sabar. Terima kasih pandemi, kau telah mengajariku menjadi
semakin produktif di rumah aja. Mulai dari kebiasaan mengerjakan
tugas akhir di rumah, sampai harus bertahan lama di rumah. Terima
kasih penyaji info-info resep masakan yang kucoba selama pandemi.
Dan terima kasih para medis dan masyarakat Indonesia yang saling
peduli dan support antarsesama.

~TAMAT~
OPERASI PSIKEDELIA
Putri Briliany

Tercipta sebagai warna merah yang nyala dan mengalir deras


di dalam pembuluh darah seorang pemuda, sungguh bukanlah
takdir yang mudah. Di kota monokrom ini, segala hal yang bukan
hitam, putih, atau abu-abu pada rentang gradasinya, jelas
merupakan bentuk subversi atas sistem yang ada. Hari-hari di
kehidupan kami —aku dan pemuda berinisial T ini— pun adalah
soal menyelinap dan bersembunyi dari razia; dari patroli. Kami
menghindari apa pun yang berhubungan dengan petugas keamanan
kota agar tak ketahuan bahwa seandainya kulit pemuda ini tergores,
sesungguhnya ia akan merembeskanku: darah warna merah segar.
Oh. Kalau itu benar-benar terjadi, tentunya setelah
meledakkan kepala T, para petugas itu pasti akan menyedotku habis
hingga kering tubuhnya. Setelah itu mayat T akan dilemparkan
begitu saja ke bahu jalan, seperti sengaja menebar teror “inilah
konsekuensi bagi seorang pembangkang” ke lapis-lapis udara di
seluruh penjuru kota. Barulah kemudian, mereka akan menyiramku
ke got-got gelap bawah kota. Aku akan bertumbukan dengan cairan
hitam pekat dan berbau busuk yang entah sudah sejak kapan
mambek di sana. Lantas bercampur, lesap jadi kelam.
Setidaknya, itulah yang kami pelajari dari yang sudah-sudah.
Dari entah-berapa nyawa yang telah melayang setelah kedapatan
menyelundupkan barang-barang berwarna dari kota di belahan
bumi lain, atau membaca buku-buku pengetahuan tentang warna,
atau mencoba mendeskripsikan warna dalam obrolan-obrolan
terselubung, atau bahkan, sekadar keceplosan. Ya. Sebab tak boleh
ada setitik pun warna di kota ini. Sebab hitam-putih adalah yang
absolut. Seperti matahari yang hanya memancarkan cahaya lesinya
saban pagi, lalu meredup abu-abu ketika senja, sebelum langit
menjelma jubah legam dan wajah pesakitan menyaru bulan,
mengawasi kami penuh curiga dari atas sana.
Demikian mungkin adalah yang telah berjalan selama ratusan
tahun. Demikian pula adalah yang normal, yang lumrah, dan yang
memang seharusnya. Hampir semua orang di kota kami tak tahu
bahwa ada dunia lain di luar sana yang tak monokrom seperti ini.
Mereka tak mampu menyadari, sebab tak ada yang menjadi
bandingan. Inilah saja yang mereka lihat dan alami sejak jebrol dari
rahim. Lalu bagaimana aku bisa tahu? Tentu saja aku tahu! Aku
adalah senyatanya merah. Darah. Hidup. Dan pemuda berinisial T
ini pun mengetahui sesuatu. Ia tahu betul sampai ke tiap-tiap sel di
dalam tubuhnya, bahwa ada yang salah dengan kota kami.
Namun... kondisi ini takkan bertahan lama. Kini sudah
semakin banyak yang tahu sebenarnya, meski harus menyimpannya
rapat-rapat sendiri, bahwa dunia yang kita tinggali tak harus begini.
Kita bisa memiliki warna-warna di sekeliling kita: kuning yang
optimis dan ceria, biru yang menenangkan, oranye yang hangat
seperti rumah, hijau yang dekat dengan alam, ungu yang spiritual,
cokelat yang membumi, dan merah, merah yang tajam meradang...
Bayangkan betapa indahnya! Tak semua, memang, akan siap
menerima kebenaran itu. Bukan pihak berkuasa saja yang akan
merasa terancam —mereka bisa dituntut, bahkan digulingkan
karena dianggap menipu masyarakat kota kami— melainkan juga
orang-orang yang telanjur kukuh pada apa yang mereka yakini.
Orang-orang seperti itu bisa jadi jauh lebih berbahaya. Sebab
mereka adalah mayoritas. Dan tak ada satu pun orang di muka bumi
yang senang, apabila sesuatu yang mereka anggap sebagai realita,
mendadak diruntuhkan. Mereka percaya bahwa hitam dan putih
adalah sejatinya kodrat. Yang benar, yang terbaik. Menjadi muram
adalah kewajiban, sedangkan depresi adalah keadaan normal yang
harus diemban semua manusia hingga tiba ajalnya. Tentu, mereka
akan menolak keras atas kehadiran warna-warna. Mereka akan
menganggap warna adalah bentuk ilusi yang memperdaya,
mengganggu keseimbangan yang sudah ada sejak ratusan tahun,
dan pertanda kehancuran. Karena itulah, mereka juga akan
mempertahankan keyakinannya dengan cara apa pun. Termasuk,
menggunakan kekerasan.
Saat ini kami —aku dan T— tinggal di sebuah kontrakan
sempit, terpencil di balik bayang gedung-gedung tinggi dan centang-
perenang kabel listrik yang semrawut. Ada belasan rumah bobrok
lain yang disewakan di area ini, berderet-deret, saling berdesakan,
sebelum diakhiri oleh bebukitan sampah bau yang terhampar
sejauh pandang. Tapi itu sama sekali tidak penting. Yang penting
adalah kami aman di sini. Sebab di sinilah juga, dua puluh lima
tahun yang lalu T dilahirkan, dirawat, ditimang-timang, diajari
tentang macam-macam rupa pelangi oleh seorang perempuan
hangat dengan darah merah yang juga mengaliri pembuluhnya.
Sayang sekali, perempuan itu tak hidup cukup lama untuk
ikut menyaksikan operasi psikedelia —begitu T kemudian menamai
rencana besar yang sedang dipersiapkannya. Suatu ketika si ibu
yang berpamitan pergi ke supermarket pukul 9 pagi, belum juga
kembali hingga dua hari setelahnya. T yang saat itu berusia 13
tahun, bingung mencari-cari ibunya yang hilang. Tubuh T pun
merosot —aku seperti berhenti mengalir— ketika didapati mayat
ibunya tergeletak di trotoar, sedikit tertutup semak-semak kelabu,
dan tak menyisakan setetes pun darah. Tak jauh dari sana, ia
menemukan sekantung plastik bahan-bahan kue yang berserakan,
juga sekotak permen kesukaan T. Selagi tenggelam dalam duka, T
menemukan sesuatu yang digenggam erat ibunya: sebuah catatan
lengkap, berisi langkah-langkah membuat cat warna.
Dua belas tahun kemudian, tak ada yang menduga bahwa
catatan itu menjadi begitu penting. Sobekan kertas yang usang
itulah yang sebentar lagi akan mengantarkan pada kata revolusi.
Tentu, T tidak sendiri. Di bawah sana, tersembunyi di sebalik bukit
sampah, terbangun suatu tempat rahasia yang disekat kerangka-
kerangka mobil bekas sebagai atap dan berlapis kardus sebagai
dindingnya. Di sanalah T berkutat dengan ratusan kaleng bekas dan
pigmen-pigmen warna, juga bertemu dengan kawan yang lain: M, J,
Y, H, W, D, yang juga tergabung dalam operasi. M memiliki mata
sewarna lapis lazuli, sehingga ia harus mengenakan kacamata gelap
ke mana-mana agar tetap selamat. J memiliki tanda lahir berwarna
cokelat muda di lehernya. Y memiliki obsesi ilegal membudidayakan
tanaman-tanaman hijau. H menyenangi percobaan kimia.
Sedangkan W dan D, masih berusaha sedikit demi sedikit mengikis
dogma silam yang suram di kepala.
Tapi satu hal yang menjadi kesamaan adalah, kesemuanya
memimpikan dunia baru yang lebih baik. Yang penuh warna. Dan
mereka adalah yang tidak akan tinggal diam. Malam ini, gudang
kembali penuh. Sibuk. Bedanya, kali ini mereka mengerjakan
tugasnya masing-masing dalam diam. Semua larut dalam benaknya
masing-masing yang riuh.
“Besok adalah hari H,” gumam T, melirik rekan-rekannya
yang lain.
“Hari H,” ulang H sambil terus berkonsentrasi mencampur
bahan kimia di depannya.
“Itu artinya, hariku.”
H mengguratkan sekilas senyum jenaka di wajahnya.
Biasanya, dia adalah yang paling gaduh dan cerewet di antara
semua. Tapi celetukan singkatnya barusan, toh berhasil membuat
beberapa dari mereka ikut tersenyum, sebelum ketegangan yang
mengental di udara kembali meredamnya dengan cepat.
“Apa kalian ingat pos masing-masing? Kita tidak boleh
gegabah.”
“Ya.”
“Harus serentak.”
Tak ada suara lagi setelah itu. Hanya bunyi kaleng-kaleng
dan pengaduk yang saling beradu. Semua mengulang rencana yang
telah disusun berbulan-bulan lamanya di kepala masing-masing,
mengingatkan diri sendiri.

***

Pada akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu tiba juga. Melalui


sambungan chat yang sudah terenkripsi, mereka saling
mengonfirmasi posisi. Ini adalah hari yang abu-abu di kota kami.
Datar. Jenuh. Seperti biasanya. Tapi kurasai diriku menggelegak,
terpompa dengan cepat sedari dinding jantung hingga ke lorong-
lorong kapiler di sekujur tubuh T. Dan ketika tanda eksekusi
dinyalakan, aku pun bersinergi dengan adrenalin, mendorong T
untuk melesat sekuat tenaga dan mengangkat kuasnya ke angkasa.
Saat itulah, hari bersejarah tercipta. Goresan pertama di langit,
warna biru muda.
Di tempat lain, Y memberi warna hijau pada tanaman-
tanaman kota. Daun-daun yang tadinya sepucat abu, kini menjadi
hijau segar. M kebagian tugas memberi warna-warna pada bunga. H
memberi warna cokelat pada tanah, J memberi warna kuning cerah
pada matahari, dan diikuti oleh yang lain secara bersamaan. Tak
pelak, seisi kota dibisingkan oleh gaung alarm tanda bahaya. Ribuan
petugas keamanan kocar-kacir keluar dari base-nya, bingung ke
mana mereka harus melakukan pengejaran. Warna-warna kadung
tergores di berbagai tempat tanpa bisa dibendung. Orang-orang
menghentikan segala aktivitasnya dan berteriak-teriak takjub
menunjuk ke arah langit yang berwarna biru muda dan cahaya
mentari yang kekuningan. Anak-anak kecil melompat kegirangan
karena mainan mereka kini punya warna. Orang-orang lansia yang
duduk kesepian di beranda rumah mereka, melambai-lambai ke
sesamanya, mencoba memberi tahu kalau kulit mereka berwarna
sawo matang. Beberapa pingsan, beberapa memaki dan mengutuk,
beberapa menangis haru.
Inilah realita yang sesungguhnya.
T masih melompat dari satu puncak gedung ke puncak
gedung lain, terus melukiskan biru muda ke langit yang luas. Kita
berhasil, kita berhasil! Rasa bahagia meruah di dadanya, melihat
kota yang ia cintai kini begitu semarak. Bukan hanya dengan warna,
melainkan juga emosi dan ekspresi-ekspresi baru yang selama ini
belum pernah muncul.
Langkah T terhenti, ketika ia mendengar satu suara
tembakan. Dua tembakan. Tiga, empat, lima, enam tembakan
beruntun... Pemuda ini lantas berhenti di tempatnya. Napasnya
memburu.
“Kita berhasil.”
Ia tengadah ke langit biru yang memesona, sebelum
tembakan ketujuh terdengar.

Blitar, 16 Mei 2020


BIODATA
M. Arif, sering dipanggil dengan sebutan Pengembara
Kebaikan. Lahir 31 tahun lalu tepat tanggal 29 Oktober di kota jamu,
Sukoharjo, Jawa Tengah. Saat ini tinggal dirumah sederhana,
ditengah perkampungan desa bersama seorang istri dan tiga anak.
Pernah belajar di salah satu lembaga bahasa Arab swasta wi kota
Bengawan Solo, Ma’had Abu Bakar Ash Shidiq. Si Pengembara
Kebaikan yang kadang tak sabar untuk mencapai apa yang dicita-
citakan .Punya hobi menulis , beternak kelinci dan design grafis,
bercita-cita jadi guru ngaji sepanjang masa. Saat ini menjadi
karyawan di salah satu Sekolah Dasar Swasta, SD Muhammadiyah
Palur, Sukoharjo, yang kepingin memiliki rumah baca dan ngaji bagi
anak-anak disekitar kampungnya, cita-cita anak-anak memiliki
hafalan minimal juz amma. Jejaknya bisa dilacak melalui akun
IG@PengembaraKebaikan. Baru bisa berkarya dengan buku
antologi bersama Prof. Imam Robandi, dkk lewat Memory Lebaran,
Harmony Ramadhan, karya perdana adalah buku Pengembara
Kebaikan dan Aku hafal Juz ‘Amma. Tulisannya yang masih seumur
jagung bisa memotivasi untuk lebih baik lagi kedepannya, “Tak ada
karya tanpa usah, berputus asa hanya akan menjadi gembok
pengunci kemajuan diri ”. Thanks!

Wahyu Rizky Nugroho lahir di Mojokerto, tanggal 23


Desember 1996. Senang dan aktif terlibat dalam kegiatan sosial
terutama dibidang pendidikan serta aktif menyuarakan gerakan
inklusivitas bagi disabilitas . Aktif dalam kegiatan organisasi
didalam maupun luar kampus. Hubungi saya melalui email
:wahyurizkyn@gmail.com

Faizal Bahri pemuda kelahiran 05 Agustus 1992 ini


merupakan lulusan CCIT Fakultas Teknik UI dan UIN Jakarta,
adalah sosok multi talenta. Ia senang sekali dengan dunia desain,
selain itu pemuda ini senang dengan dunia public speaking,
menulis berbagai macam karya. faizalbahri.ndoku@gmail.com

Nia Ratnasari, merupakan seorang pengagum dunia


pendakian yang lahir di jakarta 14 Mei 1993. Dengan nama pena
Meyniara yang dipilihnya dalam kegiatan di dunia literasi. Dapat
disapa melalui email: meyniarania14@gmail.com atau melalui
instagram@meyniara14
Rani D Prawesti, istri dari Moh. Joko Slamet dan Ibu dari
Syafia Hanum Slamet ini sangat menyukai dunia pendidikan
terutama pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Baginya,
pendidikan adalah hak dan kemerdekaan setiap insan. Bisa disapa
di IG @prawestirani, email:raniprawesti91@gmail.com
Winta Hari Arsitowati lahir di Surabaya, 22 Maret 1992.
Kecintaan pada buku sejak kecil mendorongnya untuk menulis.
Beberapa karyanya pernah dimuat dalam proyek antologi
penerbit indie. Tahun 2020 ini ia menerbitkan buku solonya yang
berjudul Semesta Lara. Bisa dihubungi melalui Instagram
@wintarsitowati dan e-mail wintariwati@gmail.com

Besse Herdiana, suka menulis tapi bukan penulis.


Sekarang berdomisili di Kota Palopo Sul-Sel. Bisa temukan di
https://www.kompasiana.com/bessedee
Mardhiah Nurul Lathifah. 19. Gemar menulis sejak kecil.
Memiliki ketertarikan besar pada dunia olahraga dan bercita-cita
sebagai jurnalis yang cinta lingkungan. Bisa dihubungi melalui e-
mail: mardhiahifah09@gmail

Jaka Samudra, lahir di Cirebon 9 Mei 1994, hobi


menggambar, senang berorganinasi khususnya di organisasi yang
bergerak di bidang teknik.

Ernawati lahir di Gunungkidul, 26 Desember 1998. Suka


menulis di buku harian. Pernah mengikuti lomba cerpen di tingkat
kabupaten.
Putri Brilliany lahir di Kediri, 11 Agustus 1994. Sedang
bergiat di dunia sastra. Memenangi beberapa kompetisi cipta
puisi dan cerpen tingkat nasional. Penulis bisa dihubungi di akun
sosial media Instagram dan Twitter (@illianated), atau email
daisynta@yahoo.com .

Anda mungkin juga menyukai