Anda di halaman 1dari 86

CITA-CITAKU, PASTI TERCAPAI

Putri Bayu Pungkasari

“Wah sudah terlambat, bisa kena pukul Pak Tonas,”


batinku meraung.

Kakiku lincah menyusuri jalan menurun berbatu licin


karena terkena tapak-tapak babi keluar kandang.
Sebelah kananku berupa bukit dan sebelah kiriku
berupa jurang setinggi 8 meter berpohon rimbun dan
berbatu-batu. Jalan menuju sekolah yang kulalui
tidaklah bagus, hanya jalan berbatu dengan lebar 1
meter, melewati dua jembatan dengan jarak antar kayu
yang lebar. Tanjakan terjal berkelok, dan sungai berair
sedikit.

“He Masinus, ayo lari cepat.”

“Kau lari duluan sudah, sa sudah lari-lari dari tadi ini.”

“Kau mau dipukul kah?”

“Sa baru pulang dari hutan ini Ucup.”

Namaku Masinus, umur tidak tahu, aku tidak pintar tapi


cita-citaku jadi pilot.
***

Langit sudah cerah, matahari sudah tampak sumringah.


Tapi Pak Guru Tonas belum datang.

“Ini sudah siang, tapi guru-guru ke mana kah ini,”


rutukku.

Kami tidak mempunyai jam dinding, jam tangan,


apalagi jam HP. Sebagian kita hanya memiliki jam
matahari.

“Masinus, tangkap!” teriak Yapen.

“Sa tra mau, ambil sendiri sudah. Sa mau baca-baca


buku.” Kutinggalkan teman-temanku dalam lapangan
bola depan kelas kita, aku harus belajar walaupun tiak
ada guru. Aku harus bisa.

“Pak Guru tra datang lagi kah? Sudah siang ini.”

“Iyo sudah panas ini matahari, pulangkah?” Percakapan


Ucup dan Yapen si penggila bola bundar itu.

“Sa pulang dulu sudah kalau begitu, sa mau berburu,”


jawab Yapen sambil beralu. Sekolah sudah terihat sepi,
tapi Bapak Guru Tonas belum datang juga. Ke mana
perginya bapak guru ini? Sudah tiga hari seperti ini,
bagaimana saya dan teman bisa pintar kalau begini?”
“Saya harus bisa belajar sendiri, kalau tidak aku
sekarang pergi ke rumah Bapak Guru Tonas saja,”
jawabku frustasi melihat keadaan sekolahku ini. Berlari
menyusuri jalan yang kulalui ketika berangkat sekolah
tadi, menyalip jejeran babi dan mama-mama
penggiring. Melompat-lompat menghindari batu yang
terjal, tidak ingin kaki ini menghambat perjalananku
karena terluka untuk menuju rumah Bapak Guru Tonas.

“Halo Bapak, bisakah saya belajar di sini?” tanyaku


ngos-ngosan.

“Masinus! Kaukah itu? Yo sini masuk sudah,” jawab


Bapak Guru Tonas yang saat itu sedang duduk di
bangunan sebelah bangunan utama. Rumah panggung
dengan semua material dari kayu, ruang tamu juga
tidak lebar, hanya 2x2 meter dengan tidak ada meja
tapi ada lima kursi berdempetan. Laki-laki tua di
depanku ini berwajah datar, biasa, dan pucat.

“Sini, kau ingin belajar apa?”

“Sa tra tahu juga bapak, tapi saya ingin beajar. Itu
saja!”

“Ya sudahlah, baca buku ini!” disodorkannya buku


RPUL koleksinya.

“Sa baca di rumah saja Bapak, Bapak istirahat sudah e,”


usulku.
***

Jarak rumah Bapak Guru Tonas dan rumahku tidak


jauh, kira-kira 10 menit dengan berjalan. Keluar rumah
Bapak Guru Tonas langsung disapa temna-temanku
yang berada di pasar. Tidak ada permainan yang kita
bisa mainkan, terakhir kali main bola sendal kemarin.
Tapi sekarang bola itu sudah hancur, teralu sering kita
mainkan dengan dipukul. Bola ini tidak berbentuk
bulat, bola ini berbentuk seperti bola hoki berdiameter
kira-kira 10 cm berbahan sisa sandal. Alat pemukul dari
kayu yang dipatahkan serampangan dan gawang dari
batu seadanya, hanya ditandai.

Teman-temanku hanya ngobrol saja, bercanda


dengan siapa saja yang ada di pasar, atau mungkin
numpang tidur. Jam siang begini keadaan pasar sudah
sepi, tidak ada mama-mama yang jualan, hanya tinggal
beberapa meja dan kursi panjang.

Bangunan yang kita sebut rumah hanya


bangunan berdinding kayu, berlantai kayu, dan beratap
daun-daunan Buah Merah. Semua rumah di distrik ini
sama, rumah panggung dengan tidak ada perabotan
yang spesial karena memang mahal dan kalaupun
mampu beli, kita harus mengangkutnya dengan
pesawat dari kota, karena di distrik kita tidak ada
barang-barang itu. Rumahku terdiri dari dua bagian,
bagian depan dan belakang yang dipisahkan oleh jarak
3 meter. Rumah depan terdiri dari kamar tidur dan
kamar tamu. Rumah bagian belakang merupakan dapur
dengan tungku tanam di tengah-tengah, perabotan
yang tergeletak sekadarnya di pojok ruang, dan
tumpukan kayu-kayu kering di atas tungku.

“Kau tidak sekolah kah Masinus? Masih siang


begini sudah pulang, bolos lagi kau?!” gertak lelaki
muda dari seberang jendela kamarku. “Mana ada
murid sekolah sudah pulang, teman-teman kau masih
belum ada yang pulang.”

“Pak Guru Tanos tra masuk,” jawabku tanpa


menoleh.

Lelaki muda itu mendekat dan tiba-tiba


BUKKK!!! Pecahan kayu mengenai bagian samping
tubuhku. Sakit tapi aku biarkan saja, aku tidak mau
bertengkar, hari masih panas, badan juga capek lari-
lariaan. Aku mengatupkan mata menahan gemuruh di
dalam dada. Tak sudi kuladeni perilakunya.

“Kau ini anak malas, tra pernah belajar, main


saja. Susah-susah cari kayu, tanam ubi buat bayar
sekolah kau, tapi malah bolos.” Dari seberang jendela
masih kudengar cacian laki-laki pemabuk itu.
“Dasar gila kau, tra bisa baca buku gara-garau kau,”
jawabku sambil berlalu.

Sekelebat emosi itu hadir. Setiap hari kulihat dia hanya


mabuk-mabuk saja, mencaci, memukul rang-orang
yang berada di dekatnya, termasuk aku. Membuatku
bergidik hingga terbawa mimpi setiap tingkahnya. Aku
juga tak tahu kenapa kerjaannya hanya mabuk saja,
yang aku tahu dia adalah anak dari adik ibuku. Ibu dan
adik satu-satunya sudah mati satu tahun lalu ketika
melahirkan adiknya. Di distrikku tidak ada dokter,
semua yang sakit menyembuhkan sendiri sakitnya,
termasuk yang melahirkan, harus berjuang sendiri di
pengasingan yang jauh dari rumah.

Hari-hari tanpa ibu semakin muram, karena dia


akhirnya diasuh oleh ibuku. Bapak dan ibu yang bekerja
di kebun setiap hari kurang mengetahui tingkah
lakunya. Mereka hanya bertemu ketika malam,
kalaupun dia ada di rumah. Bapak ibuku tidak tahu
kalau dia sering memukulku, bahkan menendang, atau
melemparku dengan kayu seperti tadi. Sudah sering
lelaki muda itu mabuk, membuat gempar dengan tidur
di bandara, teriak malam-malam, dan tidak pulang
beberapa hari. Mungkin karena bunga kecubung itu dia
menderita amnesia, kalau aku bukan adiknya.

***
Kupijat-pijat lenganku yang membiru. Bila tak
kuingat pesan ibu, sudah kulempar balik pecahan kayu
kemarin. Kadang kuladeni saja tingkahnya. Namun, ibu
pasti tahu, entah dari siapa dia tahu aku baru saja adu
mulut atau adu jotos dengan laki muda itu. Bukan dia
yang mendapat petuah-petuah ajaib ibu, tapi
sebaiknya.

PLETAKK!

“Siapa ini berani-beraninya lempar-lempar


kapur?”

“Saya, kenapa? Berani kamu dengan guru,”


jawab kasar Bapak Guru Tonas. “Ini waktunya belajar,
bukan melamun saja”

“Maaf Pak Guru,” jawabku

“Hari ini kita belajar matematika, kemarin kita


sudah beajar membaca paragraf. Di papan tulis sudah
ada 10 pertanyaan pembagian. Siakan dikerjakan
dengan cara paragapit,” terang Bapak Guru Tonas.
“Saya ke kelas sebelah, kalian tahu kayu penggaris ini
kan? Jangan sampai Pak Guru memukulmu dengan ini!”
perintah Bapak Guru Tonas dengan suara bariton
khasnya.

Di sekolah kita sudah biasa dengan keadaan


seperti ini, bapak guru ke kelas hanya beberapa menit
kemudian pindah lagi ke kelas yang lainnya. Di distrik
kami masih kekurangan guru, padahal di sini ada enam
kelas dengan beberapa murid. Rata-rata tiap kelas ada
20 murid, kecuali kelas 5 hanya 11 murid. Untuk tingkat
SD eperti ini, guru yang mengajar hanya tiga orang dan
kadang-kadang cuma dua orang saja. Karena guru yang
satu sering berhalangan.

“Jangan melamun saja kau Masinus, pikir apa


kau?” Yapen menyikutku yang sedari tadi hanya diam
menunduk. “Ada apa?” tanyanya penuh selidik.

Aku hanya menggeleng pelan, bodoh sekali aku


ini. Kerjaanku hanya melamun bagaimana aku bisa jadi
pilot. Aku tidak sadar beberapa hari ini aku hanya
melamun, hingga Yapen heran dengan tingkahku.

“Masinus, kau tahu tidak. Kata mamaku dulu


ada anak yang suka melamun seperti kau. Besoknya dia
mati.” Ancam Yapen. “Kalau kau ada masalah, ada
sahabatmu ini, cerita sudah.”

“Bingung juga aku ini Yapen,” keluhku, “Kau


tahu kau cita-citaku jadi pilot kan? Tapi bagaimana aku
mau jadi pilot, bagaimana aku bersaing dengan bule-
bule itu? Kita beajar saja seperti ini, pengetahuanku
sangat kurang. Aku tidak tahu apa-apa, pengin baca
buku di rumah, tapi tahulah si pemabuk itu,” jawabku
panjang lebar.
“Iyo juga yo, mau bagaimana lagi. Keadaan kita
memang seperti ini. Orang pedalaman dengan keadaan
seadanya.” Pasrah Yapen

“Ah ya sudahlah kita terima keadaan ini tapi


paling tidak kita tetap berusaha.”

Entah mengapa keadaan ini masih beum


berhasil meruntuhkan keinginanku menjadi pilot. Aku
akan berusaha semampuku, aku pasti bisa
mengalahkan bule-bule itu. Semangatku masih
berkobar. Walaupun aku anak pedalaman dengan
keadaan yang serba kurang, aku masih berharap Tuhan
Yesus masih menuntunku menuju cita-citaku.
ULAH ANGKA 0

Arum Setyarini

Siang itu, matahari memberikan cahayanya kepada


seluruh penduduk bumi, panas dan teriknya
memberikan manfaat bagi alam. Ada yang
memanfaatkannya untuk sekadar mengeringkan
pakaian, ada juga yang memanfaatkan untuk proses
yang cukup rumit, yang dikenal dengan istilah
fotosintesis. Proses fotosintesis ini adalah sebuah
proses pembuatan makanan yang dilakukan oleh
tumbuhan hijau, dan proses ini tidak akan terjadi tanpa
adanya bantuan dari cahaya matahari, nantinya proses
ini juga menghasilkan gas yang sangat berguna untuk
makhluk hidup, yakni gas oksigen yang sangat
diperlukan untuk bernapas, tidak heran itulah
penyebab ketika siang hari seorang yang duduk-duduk
di bawah pohon akan terasa sejuk, selain karena pohon
yang rindang tersebut melindungi dari teriknya
matahari, saat siang hari itu pula pohon tersebut
sedang berfotosintesis dan menghasilkan oksigen,
mudahnya seperti itu. Panasnya sinar matahari pun
terasa hingga ke dalam sebuah kelas, bukan karena
kelas tersebut tak beratap, tapi karena panasnya
ketegangan yang terjadi.
“Bu ini harusnya saya benar jawabannya tapi kenapa
disalahin,” protes Anggrek

“Ini salah Anggrek, kamu kelebihan angka 0-nya,”


jawab Bu Siti. Bu Siti ini adalah seorang guru ekonomi
yang mengajar di kelas Anggrek.

“Tapi ini benar Bu, kalau 0-nya ditambahin lagi jadi


1000 triliun,” sahut Anggrek lagi.

Mereka berdua kurang lebih sudah satu jam pelajaran


berdebat mengenai angka 0 ini, pasalnya nilai ulangan
Anggrek jadi lebih kecil karena kesalahan itu. Anggrek
hanya salah satu di nomor yang sedang ia protes mati-
matian karena ia yakin jawabannya benar, walaupun
salah satu ini nilai anggrek masih tergolong kedalam
kategori yang sangat bagus dibanding teman-teman
sekelasnya, Anggrek hanya mendapat nilai 95,
begitulah ujarnya. Teman sekelasnya tidak heran ketika
Anggrek mendapat nilai yang bagus, karena memang ia
dikenal dengan siswa yang cerdas, semester
sebelumnya ia mendapatkan peringkat 1 paralel (dalam
satu angkatan, bukan hanya satu kelas), selain itu
Anggrek dikenal juga sebagai pribadi yang perfeksionis
(baca: menginginkan segala sesuatunya sempurna),
soal kerajinan dalam belajar pun tak perlu ditanya lagi,
prestasi akademiknya cukup menjadi bukti bahwa
Anggrek adalah siswa yang rajin. Tak ada manusia yang
sempurna, hal itu pun berlaku pada Anggrek, walaupun
Anggrek sangat pandai dalam hal kognitif, ia cukup
kesulitan pada mata pelajaran bidang psikomotorik,
seperti seni dan olahraga.

“Nih, ini kalo dibagikan angka 0-nya jadi segini,


sedangkan kamu nulis angka 0-nya kurang itu,” jelas Bu
Siti, sambil menulis di kertas jawaban ulangan milik
Anggrek.

“Enggak Bu ini ibu kebanyakan angka 0-nya.” Anggrek


masih tidak terima.

Teman-teman sekelas Anggrek hanya bisa menjadi


penonton di antara perdebatan sengit antara Anggrek
dan Bu Siti, sebenarnya teman sekelas Anggrek
seharusnya berterima kasih pada Anggrek, karena
kecerdesan Anggrek yang luar biasa teman-teman
sekelasnya secara tidak langsung dapat merasakan jam
kosong, setidaknya sudah satu jam pelajaran terbuang
dengan perdebatan sengit itu.

“Sudah sudah, sekarang kita lanjutkan pelajaran saja,”


kata Bu Siti mengakhiri perdebatan.

Anggrek pun patuh dan segera kembali ke tempat


duduknya.

“Hmm Bu Siti gak mau ngaku salah deh, orang emang


dia salah kebanyakan angka 0-nya,” gerutu Anggrek.

“Iya sih gue juga sependapat sama lu, soalnya ya


emang punya gue pun disalahin sama Bu Siti,” tambah
Tia, Tia adalah teman sebangku Anggrek, pastinya
mereka sangat akrab, walaupun mereka baru kenal
ketika duduk di bangku SMA.

Bu Siti pun menjelaskan materi selanjutnya mengenai


‘Debit dan Kredit’ dilengkapi dengan contoh soal,
namun ketika ia menjawab sebuah soal kembali
Anggrek mengingatkan ada yang salah pada
perhitungan Bu Siti, Anggrek pun kembali menyinggung
mengenai angka 0 yang 1000 triliun tadi ia debatkan
dengan Bu Siti. Mendengar penjelasan itu Bu Siti
terdiam sejenak, kemudian Bu Siti menyadari
kesalahannya, dan Bu Siti juga membenarkan
pernyataan Anggrek dalam perdebatan tadi, tentunya
dilengkapi dengan permintaan maaf Bu Siti untuk
kemudian siswa yang jawabannya dinilai salah akan
dibenarkan oleh Bu Siti. Seluruh siswa sekelah bersorak
sorai karena nilainya akan bertambah, tentunya siswa
yang menjawab dengan benar, siswa yang salah hanya
diam saja.

Angka 0 ini memang sebuah angka unik, bahkan dahulu


di Negeri Italia angka 0 ini dianggap sebagai angka
setan, karena para pemimpin mengira angka 0 sebagai
kode yang dapat membahayakan negara. Faktanya
angka sudah dikenal sejak zaman Babilonia sekitar
tahun 1800 sebelum masehi, namun saat itu hanya
berperan sebagai nilai tempat. Kemudian bangsa India
memperbarui perkembangan angka 0, hal ini
dibuktikan dengan kemunculan buku karangan
Brahmagupta pada abad ketujuh, sekitar tahun 629
masehi. Selanjutnya angka 0 ini semakin menyebar
berkat dikenalkan oleh matematikawan Persia,
Mohammed Ibn Musa Al Khawarizmi. Al Khawarizmi
menyarankan penggunaan lingkaran kecil untuk
menggantikan ketiadaan angka di posisi puluhan.
Symbol lingkaran kecil untuk 0 diadopsi dunia secara
luas hingga saat ini. Angka 0 ini sering dianggap tidak
berarti keberadaannya jika ia hanya berdiri sendiri,
untuk menunjukkan sebuah ketiadaan atau istilah lain
‘kosong’, tapi ketika angka 0 ini berdiri dengan angka
lain maka angka 0 ini menjadi sangat bermakna sebagai
contoh 100 dengan 1000 adalah nilai yang berbeda
jauh padahal kedua bilangan ini sama-sama hanya
terdiri dari angka 1 dan 0. Sama hal dengan perdebatan
sengit yang memakan satu jam pelajaran tadi hanya
disebabkan karena perbedaan jumlah angka 0.
PELARIAN DARI ALDAGAR

Andika Fauzi

Butiran pasir berdesir, angin membawa panasnya


matahari yang terik siang itu. Cess, cess... tiba-tiba dua
sosok manusia menapakkan kaki mereka dengan cepat,
mereka berlari tanpa mempedulikan apa di hadapan
mereka hanya ingin segera menembus padang ini.
Seorang pria dengan tubuh kekarnya, menopang
bawaan barang perbekalan mereka di punggungnya,
“Reka kita harus cepat, kita harus berlindung di sana.”
Sambil menunjuk ke depan. “Tempat apa itu, Gasho?”
Reka melihat kearah yang ditunjuk Gasho, matanya
masih berusaha membiasakan dengan panasnya udara
di situ. Tampak sebuah tanah ditumbuhi pepohonan.
Jumlahnya lebih banyak dari pohon-pohon yang selama
beberapa hari ini mereka lewati, mungkinkah ada orang
disana? “Tak kusangka ada tempat seperti itu di sini,”
ujar Reka. Sambil tetap berlari, mengatur napas agar
tenaganya tidak cepat habis. Reka seorang wanita
dengan sebuah tas yang melintang dari bahu nya ke
samping, mengenakan jubah kain yang menutup kepala
dan sebagian wajah untuk menjaganya dari panas
matahari. Namun tenaganya tentu tak sekuat Gasho
yang sudah beberapa langkah di depannya.
“Apa pun tempat itu, itu lebih baik dari apa yang ada di
belakang kita.” Kepala Gasho menoleh melihat ke arah
belakang, dan seketika raut mukanya pun berubah,
“SIALAN!” Sekelompok orang dengan berkuda tampak
dari kejauhan. Dibalut seragam pakaian besi hitam
dengan corak perak di bagian dada dan pundak.
Mereka sepertinya sudah sadar ke mana buruan
mereka pergi.

Melihat wajah Reka, Gasho pun merasa cemas, apakah


Reka sakit? Dapatkah dia sembuh? Apakah perjalanan
mereka berakhir di sini? “Ah ... sial.” Dengan cepat, dia
raih tangan Reka. Mereka beranjak dengan cepat
mencari tempat sembunyi. Gasho sandarkan Reka pada
sebuah pohon. Dia meletakkan bawaannya dari
punggungnya, Gasho memberi air pada Reka dan
berkata, “Bertahanlah Reka, tunggu saja di sini.”

Tak berselang lama, para penunggang kuda berjumlah


lima orang itu mulai memasuki area pepohonan, para
pemburu bayaran yang telah dipenuhi kebencian.
Mereka hanya mempedulikan imbalan yang mereka
terima.

“Hey! Dengar kalian!!” Salah satu dari mereka


berteriak. “Kalian akan kami tangkap. Kalian kira kalian
sudah menang? Haha... kalian akan merasakan
akibatnya berani melawan kami,” lanjutnya sembari
tetap menaiki kudanya, berputar mengawasi sekitar.

Sreeet... tiba-tiba satu pemburu terjatuh terbaring tak


sadar. Di sebelahnya ada Gasho yang baru menyergap
dari atas. Dengan sekejap Gasho melompat ingin
menebas pemburu yang berambut panjang.

“TANG!” Sebuah kapak menangkis tebasan pedang


Gasho. Seorang pemburu yang berbadan besar berhasil
menghalangi. Pemburu lainnya ikut menyerang dengan
cepat. Gasho pun mundur lagi beberapa langkah untuk
mengambil jarak.

Di depannya kini dua pemburu sudah siaga berjaga di


depan pemimpin mereka, pemburu rambut panjang.
Sementara satu pemburu dengan tombak berada di
posisi sebelah kanan mereka, mulai bergerak
menyerang.

“Sial!” umpat Gasho yang mengetahui kalau tiga


pemburu di depannya itu tidak bisa dianggap remeh
seperti yang dia lawan sewaktu melewati desa kemarin.
Pertarungan sengit pun terjadi. Gasho sendirian
melawan tiga pemburu. Tang! Tang! Tang! Pedang
Gasho terlempar, setelah berkali-kali menangkis
ayunan kapak, serangan itu terlalu kuat untuk Gasho
yang sudah kelelahan dalam pelarian. Sebuah pukulan
mendarat di wajah Gasho dengan telak dan
membuatnya tersungkur di tanah.

“Hahaha.. sudah kubilang kau bukan tandingan kami.


Cepat katakan mana temanmu yang satu itu!” si
rambut panjang berteriak. “Apa kau tidak takut pada
kami berdua?” Gasho menimpali. “Hah... aku tidak
peduli, begitu kalian kuserahkan. Aku akan mendapat
emas untuk kami bersenang-senang,” jawab si rambut
panjang sambil tertawa. “Hahaha...”

Bukk!

Pemburu yang bersenjatakan kapak terjatuh ke tanah.


Mendadak seorang laki-laki dengan jubah kain
menutupi bahunya muncul dalam sekejap dan
menyelamatkan Gasho.

“Siapa kau?” Si Rambut Panjang terkejut. Laki-laki


misterius itu menatapnya kemudian seketika
menyerang dua pemburu di dekatnya. Alhasil, tiga
pemburu sudah terbaring di tanah tanpa bisa berbuat
apa-apa.

Melihat hal ini si pemimpin yang sedari tadi tidak turun


dari kudanya, dengan ketakutan langsung berusaha
kabur dari tempat itu. Tapi tiba-tiba, sebuah pisau
menancap di dada pemburu itu dan menjatuhkannya
dari kuda. Rupanya Reka yang menyerang untuk
mencegah pemburu rambut panjang itu kabur.

Seorang laki-laki tua dengan pakaian hitam dengan


jubah cokelat tiba-tiba muncul dari balik pohon dan
memeriksa keadaan. Dia memberikan tanda anggukan
kepala ke laki-laki penyelamat Gasho.

Gasho yang masih terkejut dengan situasi cepat ini


bertanya, “Siapa kalian?” Laki-laki itu menatap Gasho
dan Reka secara bergantian. “Kalian!!” Dia menatap
dengan tajam, “… berasal dari mana?”

Angin berembus seakan memberikan napas pada


situasi yang penuh ketegangan. Mereka yang ada di
tempat itu saling terdiam. Sambil menahan sakit
Gashoo ingin mengucap namun, “Adalgar!” Reka
terlebih dahulu menjawab dengan tegas,

Laki-laki itu terdiam, rasa cemas dan terkejut merasuk


ke wajahnya, “Kalian seharusnya tidak di sini! Apa yang
kalian lakukan? Ini bahaya!” jawabnya dengan lantang.

“Kami terpaksa. Aku mohon, negeri kami…”

“Aku tahu negeri kalian. Adalgar, negeri makmur yang


kemudian terkutuk.”

“Itu tidak benar, kami diserang, kami ingin...”


“Lebih baik kalian pulang saja. Kalian hanya membawa
bahaya,” pungkas sang lelaki.

“Zeno, mereka terluka. Bawa mereka ke dalam,” kata


lelaki tua menasihati.

“Tapi ...” Zeno menatap mata Reka, “Baiklah Eru”, dia


melanjutkan. “Ikuti kami ke arah barat, kalian harus
berjalan sendiri, kalian tahu kami tidak bisa menyentuh
kalian.”

Mereka pun berjalan pergi memasuki bagian dalam


tempat tersebut. Reka dan Gasho saling menuntun,
berusaha mengikuti ke tempat yang dikatakan aman
untuk dapat memulihkan tenaga mereka. Pepohonan
yang mereka lewati begitu menjulang tinggi, namun
tanahnya mulai menurun. Mereka sampai di suatu
Pohon yang terdapat celah antara pohon itu dan tanah
di sebelahnya. Zeno membuka perlahan akar-akar
pohon itu dan menggeser sebuah batu yang ada di
baliknya.

Setelah memasuki sebuah lorong batu, terdapat


sebuah dataran yang cukup luas dengan beberapa
pohon disinari matahari, di bagian bawah terdapat
mata air kecil dengan air jernih di dalamnya. Di dekat
bebatuan yang tertutup atap ada sebuah ruangan
buatan yang terdapat meja, kursi, dan perkakas yang
biasa ada di rumah-rumah tempat mereka tinggal.
“Beristirahatlah, aku akan buatkan ramuan obat agar
kalian bisa pulih segera,” kata Eru si lelaki tua. Reka dan
Gasho pun beristirahat sambil merawat luka. Tempat
itu sungguh nyaman dan tenang. Seakan membuat
tubuh mereka cepat pulih seperti semula.

Adalgar. Negeri yang makmur, dipimpin oleh Raja yang


bijaksana, dengan keluarga kerajaan yang mulia.
Pertanian, perkebunan, dan perdangan disana berjalan
dengan baik. Para rakyat hidup damai dan sejahtera
dengan segala kebutuhan tersedia.

Namun suatu hari, sang Raja menderita sakit yang tidak


diketahui, tubuhnya lemah, semangat hidupnya
menurun, semua orang yang menguasai pengobatan
telah didatangkan namun tidak ada yang tahu apa
penyebab dan apa obatnya. Sampai suatu hari
seseorang Tabib datang berkunjung ke dalam kota
mengaku dapat menyembuhkan sang Raja kemudian
menemuinya.

Setelah itu, Raja pun muncul kembali dengan tubuh


sehat seperti sedia kala. Tapi semenjak itu sesuatu yang
aneh pun terjadi. Para pelayan istana jatuh sakit satu
per satu, para pejabat istana, para panglima dan
prajurit bersikap tidak biasa. Mereka tidak terlihat
sakit, tapi kesadaran mereka seperti tidak utuh, aneh.
Dan sebuah penyakit mulai menyebar ke penduduk,
satu per satu, setiap hari selalu bertambah korban.

Orang-orang yang sehat masih bisa bekerja seperti


biasa, namun keadaan negeri sudah berbeda. Para
prajurit yang bertugas di istana tidak pernah lagi pulang
ke rumah. Seakan tidak ingat lagi dengan keluarga. Para
orang tua, wanita dan anak-anak yang terkena penyakit
menjadi terbaring tak berdaya. Mereka hanya bisa
bertahan hidup dari orang yang merawat mereka.

“Bagaimana mungkin kalian bisa bertahan dengan


keadaan itu,” tanya Zeno.

“Kami harus bertahan, ini adalah negeri kami, kami


adalah saudara di sini, kami semua saling membantu,
ada orang-orang yang sehat akan menggantikan
pekerjaan yang sakit, kami merawat bersama-sama,
saling membantu sesama, kami mencari makanan
untuk bersama. Inilah bentuk perjuangan kami untuk
membela negeri kami yang sudah menghidupi kami
selama ini.”

Reka terdiam sejenak, kemudian melanjutkan. “Tapi tak


bisa dipungkiri, korban selalu bertambah. Tak ada
bantuan yang datang karena berita menakutkan
tentang penyakit di Adalgar. Karena itu Bibiku
menyuruh aku dan Gasho untuk pergi mencari obat
dari luar. Dia menyuruhku untuk pergi ke utara mencari
seorang ahli pengobatan, Sang Seruni.”

“Kalian sadar kalau kalian bisa menyebarkan penyakit


ini ke mana pun kalian berpijak?” kata Zeno. “Ya kami
tahu. Tapi kami tidak bisa tinggal diam melihat negeri
kami sekarat,” jawab Gasho dengan tegas.

“Tolonglah kami, aku tahu kau bisa membantu kami,”


Reka memohon. Kau adalah “sang pelintas”.

Eru menepuk bahu Zeno sambil berkata, “Kau tahu


orang yang bisa membantumu mencarinya kan?” Zeno
memalingkan mukanya, menolak untuk mengingat.
“Mereka sudah berjuang dengan keras hingga sampai
tempat ini, kalau penyakit itu tidak diselesaikan suatu
saat bisa sampai sini juga,” tambah Eru.

Zeno memejamkan matanya sesaat, kemudian


bertanya, “Tabib itu. Apa ia masih di Istana?” “Ya, kami
tidak pernah melihatnya lagi, tapi kami yakin dia masih
di sana,” jawab Reka dengan yakin. Zeno melihat
Gasho, kemudian melihat Reka, kemudian melihat Eru
yang tersenyum kecil.

“Aku harap, Adalgar menyiapkan sebuah hadiah.


Karena ini akan jadi pekerjaan yang tidak mudah,” kata
Zeno dengan semangat.

“Besok kita akan berangkat, menemukan Sang Seruni.”


“Negeri Adalgar akan kita selamatkan.”
SEPASANG MATA INDAH DI BALIK NASI PANDEMI

Diadjeng Laraswati Hanindyani

Hari baru pukul 7 pagi, ketika Anggi, adikku mengetuk


dan masuk kamarku. Ia memang sangat sopan dan
manis sekali, kalau ada maunya, tentunya, “Mas, udah
bangun belum? Aku minta tolong dong,” katanya
duduk di tepi tempat tidurku. Dengan enggan, aku
menggeserkan tubuhku. Membuka sedikit mataku,
yang silau dengan sinar matahari yang masuk melalui
jendela kamarku pagi itu.

“Hmm jam berapa ini ya? Mas baru tidur pukul


2, Nggi. Tuh kerjaan segabruk,” kataku sambil
menunjuk pekerjaan di mejaku. Laptop dan kertas kerja
masih menumpuk. Bahkan ada beberapa tumpukan
kertas di lantai, walau semua tertata rapi, tapi ya itu
pekerjaanku semalam. Beberapa dokumen yang mesti
di-scan dan tugas-tugas lain.

Anggi berdiri dan duduk di kursi meja kerjaku, “Mas


mau bangun jam berapa?” tanyanya. Ia memang tak
pernah berani memaksaku, walau aku tidak pernah
memarahinya. Aku membalikkan badanku.

“Paling sebentar lagi, aku ngumpulin nyawaku


dulu. Sakit kepala ini,” kataku.
“Oke, aku tunggu ya mas. Aku buatkan kopi ya.
Panas dan hitam. Sip. Ma kasih mas,” Anggi mencium
pipiku dan keluar dari kamar. Memang adik yang manis,
sekali lagi, kalau ada maunya. Tanpa bisa aku jawab, dia
sudah menutup pintu. Anggi, adikku satu-satunya,
usianya berbeda tujuh tahun denganku. Masih duduk di
kelas tiga SMA. Tentu aku amat sayang padanya.
Mungkin karena dialah sampai saat ini, aku tidak punya
pacar. Orang mengira Anggi adalah pacarku. Haha dan
Anggi selalu balik ngomel kalau aku mengatakan hal itu.

“Gara-gara selalu antar kamu. Aku ga punya-


punya pacar nih,” kataku.

“Huh Mas Arya, kok jadi aku yang dijadikan


alasan? Mas Arya aja yang kebanyakan pilihan. Cewek
cantik baik hati ditolakin,” sahut Anggi pura-pura kesal.

Kalau sudah begitu, Ibu pasti akan menengahi dengan


mengatakan begini,

“Mumpung masih bisa nemani adiknya ya ga


apa-apa tho Arya,” kata Ibu.

Sebenarnya sih lebih karena aku ga tega menolak


permintaan Anggi. Dari pada Anggi diantar sama teman
cowoknya yang ga jelas, ya mending aku temani. Mau
tak mau akhirnya setiap akhir pekan, aku kembali ke
rumah, dari pada nongkrong bareng pria-pria bujang di
kost-an mencari cinta. Haha…

Aku menggeliatkan badanku. Sejak diberlakukan


imbauan Pemerintah untuk bekerja dari rumah mulai
tanggal 16 Maret 2020, aku memang tidak lagi ke
kantor. Semua pekerjaan dilakukan dari kamar. Sempat
bertahan seminggu di kamar kost-ku, yang berada di
belakang kantor. Lalu kemudian Bapak dan Ibu juga
Anggi bergantian meneleponku untuk pulang.

“Pulanglah Arya. Apa pun yang terjadi akan


lebih aman kalau kamu berada di rumah,” pinta Ibu.
Dan selain Anggi, Ibu adalah orang yang tak dapat
kubantah permintaaanya. Tambah lagi, Mbak Astari,
kakakku yang sudah menikah dan tinggal di Surabaya
meneleponku.

“Kamu baik-baik aja kan, Dek? Bisa pulang ke


rumah. Temani Bapak Ibu dalam kondisi seperti ini,”
kata Mbak Astari.

Wabah pandemi virus corona ini memang


mencemaskan banyak orang. Dari informasi yang aku
baca, penyebarannya begitu cepat dan jika tidak cepat
ditangani dapat menyebabkan kematian. Orang
dianjurkan untuk menjaga jarak dan melakukan
pembatasan-pembatasan agar rantai penyebaran ini
dapat diputus dengan cepat. Lonjakan orang yang
dalam pengawasan (ODP) dan akhirnya dinyatakan
positif terkena virus ini naik dengan cepat dari hari ke
hari. Kegiatan kerja, sekolah, dan ibadah dilakukan dari
rumah. Kebaktian dan salat berjamaah pun ditiadakan.

Seminggu bertahan di kamar kost, yang mulai sepi


karena sebagian teman pulang ke rumahnya masing-
masing. Namun ada juga yang dirumahkan oleh
perusahaannya. Ada yang dibayar setengah bulan gaji.
Ada yang tidak digaji sama sekali. Rumah kost-ku
memang sebagian besar dihuni para pekerja yang
bekerja di sekitar Kawasan elite Jalan Jenderal
Sudirman dan Jalan Rasuna Said, Jakarta. Bersyukur aku
masih dibayar penuh karena pekerjaanku adalah
sebagai editor sebuah penerbitan buku. Selain itu aku
juga mengajar di sebuah Lembaga Bahasa Inggris.
Seminggu pertama tentu aku masih sangat terkejut.
Pimpinan kantor, Pak Teguh, mengumpulkan kami
semua dan memberitahukan mengenai hal ini. Kami
mesti bekerja dari rumah. Sistem kehadiran dan
pekerjaan, akan dialihkan secara online. Ketua Tim
Editor menenangkan kami yang berjumlah empat
orang.

“Semoga pekerjaan kita tidak berdampak


banyak. Naskah yang perlu diedit masih banyak. Kita
tetap bisa bekerja seperti biasa. Namun yang jadi
masalah, adalah jika naskah sudah siap cetak. Di situlah
yang berdampak. Akan terjadi keterlambatan karena
jumlah pekerja akan dibatasi di bagian itu,” kata Mbak
Nurul, ketua Tim Editor kami.

Otomatis karena perputaran pemasukan kami, salah


satunya dari penerbitan dan pencetakan buku, jika itu
terlambat, maka gaji kami pun akan terlambat. Pasti
ada dampaknya. Tentunya.

Aku diam saja waktu itu. Aku masih bujangan, punya


orang tua, punya tempat tinggal bersama orang tua,
bagaimana teman-temanku yang lain. Mas Pras punya
dua anak dan istrinya tidak bekerja. Anggoro baru
menikah. Catur juga belum menikah tapi orang tuanya
di kampung, sementara kami tidak boleh pulang
kampung. Kami menerima kondisi saat itu dengan
pasrah. Terhenyak. Tanpa persiapan sama sekali.
Semua mengandalkan gaji untuk hidup dan membayar
cicilan. Termasuk cicilan mobil imut Suzuki Wagonku
itu.

Pak Teguh mengerahkan semua teman di Divisi Sistem


Manajemen Informasi dan semua yang paham digital
untuk berkumpul. Semua akan diarahkan ke sana. Aku
turut membantu pekerjaan itu karena memang tenaga
di divisi itu terbatas. Jadi sementara bekerja dari
rumah, sekali waktu aku bergabung dengan para teman
di divisi ini. Jelas, semua memakan waktu dan pikiran.
Sementara pekerjaan rutin juga terus ada. Saat ini, aku
sedang menangani sebuah naskah yang ditulis seorang
penulis senior. Ini naskah kedua beliau yang aku
tangani. Naskah pertama setahu aku, cukup laris manis
karena banyak pembaca wanita yang menyukai gaya
penulisan beliau. Dan ini naskah keduanya. Gaya
penulisan beliau sebenarnya sudah aku kenal, jadi
sebenarnya kami sudah klik. Namun kadang, mungkin
karena sudah senior, lebih galak beliau dari pada aku.
Haha. Ibuku saja tidak seperti itu. Sehari bisa tiga kali
beliau menghubungi aku, menanyakan kemajuan
editanku. Bagaimanapun, aku menghormati penulis itu
sebagai orang yang lebih tua atau dituakan. Aku
memberi pengertian bahwa semua pekerjaan sedang
dalam antrean dan aku akan memberi kabar jika
pekerjaan ini sudah selesai. Setidaknya ia tidak
menghubungi aku sehari tiga kali. Haha.

Selain pekerjaan editing, di masa kerja dari rumah ini,


aku mesti memindahkan materi ajar ku dari buku ke
slide presentasi, untuk memudahkan pemahaman
materi ajar pada murid-muridku. Ini juga butuh waktu
untuk mengerjakan karena belum pernah aku siapkan
sebelumnya. Dua minggu pertama kerja di rumah ini
benar-benar melelahkan buatku. Bersyukur sekali lagi,
aku ada di rumahku sendiri. Bapak-Ibu sangat
memperhatikanku. Bapak rutin mengajak aku jalan
pagi. Ibu menyediakan makanan. Jelas dengan gizi yang
lebih baik dari pada aku membeli nasi bungkus saat
berada di kamar kost.

“Mas, kopi…” Anggi masuk ke kamarku sambil


membawa mug kopi. Duh harumnya kopi rumah ini.
Beda dengan kopi sachet-an yang aku simpan dan
selalu seduh di kamar kost. Ibu memang menyukai
kopi, jadi sudah pasti kopi berkualitas yang tersedia di
rumah. Aku bangun dan mengusap wajahku.

“Duh wangi banget. Siapa yang buat? Kamu


atau Ibu?” tanyaku.

“Ih terlalu. Akulah yang membuat. Emang aku


ga bisa membuat kopi enak?” sahut Anggi kesal.

“Emang kamu tahu takarannya? Mas kan ga


suka manis,” kataku meraih mug besar yang diletakkan
Anggi di meja.

“Kalau takaran, aku tanya Ibu dong. Ati-ati


masih panas,” kata Anggi mengingatkanku.

“Iya, aku tahu. Aku kan mau menghirup wangi


kopi ini. Dah lama ga minum kopi enak,” sahutku.
Mencium aroma kopi dan menyeruputnya karena tidak
sabar. Betul. Enak. Hebat Anggi.
“Oke, jadi apa tugasmu yang mesti aku bantu?”
kataku sambil membuka tirai jendela, sehingga saat ini
hampir seluruh ruang kamarku terang benderang.

“Edit video mas. Ajarin aku. Jangan Mas Arya


yang buatin. Ajari aku supaya aku bisa,” kata Anggi
dengan wajah polosnya itu. Tersenyum aku
mendengarnya.

“Gimana, bisa kan Mas?” tanyanya lagi.

“Oke aku mandi dulu. Nanti aku ke kamarmu,”


jawabku.

Semula ingin bangun lebih siang karena sakit kepala


kurang tidur, jadi tak bisa. Aku mesti membantu Anggi
mengerjakan tugasnya. Aku beranjak turun ke ruang
bawah setelah mandi. Selain mencari sarapan tentu
mesti menyapa Bapak Ibu tercinta.

“Mas Arya… Tugaskuuu!!” teriak Anggi dari


kamarnya karena melihat aku lari menuruni tangga.
Kamar Mbak Astari, aku, dan Anggi memang ada di
lantai dua, dengan sebuah ruang kecil untuk menonton
televisi dan kamar mandi bersama, serta lantai jemuran
di depan kamarku.

“Iya, bawa turun tugasmu. Aku lapar,” kataku


dari bawah. Seperti biasa, sesuai himbauan dari World
Health Organization, Bapak sedang berjemur sambil
membaca koran. Ibu sedang duduk di meja makan,
sambil menyiangi setumpuk sayuran buncis.

“Arya sudah bangun? Semalam Ibu dengar


kamu masih kluthekan di dapur,” kata Ibu sambil terus
bekerja. Aku duduk di sebelah Ibu. Selalu siap sarapan
pagi buatan Ibu. Tempe sambal bawang, ikan tuna
balado dan tumis sawi. Hmm sedap.

“Sudah bu. Dibangunkan Anggi, katanya ada


tugas. Sarapan yuk bu,” aku mengajak Ibu sambil
mengambil nasi di rice cooker. Ibu berdiri mengambil
kotak susu cair dingin di lemari es.

“Ibu sudah tadi pagi sama Bapak. Bapak kan


mesti minum obat. Ini susumu,” jawab Ibu. Nah coba,
kurang apa aku di rumah ini. Disediakan sarapan empat
sehat lima sempurna. Kurang apa sayangnya mereka
padaku.

Anggi turun berlari menuruni tangga, sambil


membawa laptopnya, “Mas Arya, jangan lupa. Ini aku
mesti kumpulkan pukul 12,” kata Anggi.

“Nggi, ga boleh begitu, biar Mas Arya sarapan


dulu. Kamu jemur dulu sama Bapak di teras,” kata Ibu.
Aku mengangguk-angguk sambil mengunyah suapan
pertamaku. Luar biasa, sedapnya masakan Ibu, walau
hanya dengan tempe sambal bawang, dengan penuh
cinta pasti membuatnya. Haha. Anggi tidak menjawab
perkataan Ibu, hanya memberi kode dengan matanya
ke arahku. Lalu ia berjalan ke teras, dan duduk di
sebelah Bapak. Ikut berjemur.

“Ibu bikin apa, kok banyak sekali?” tanyaku


melihat Ibu mengirisi sayuran buncis dalam jumlah
banyak, mungkin ada sekitar tiga kilogram. Ada juga
tempe yang sudah dipotong-potong seperti untuk
dimasak tumis tempe kering.

“Mau bikin nasi bungkus, Arya,” kata Ibu sambil


terus bekerja. Ibuku memang tidak pernah berisik kalau
bekerja. Apa saja dikerjakan dalam diamnya. Tahu-tahu
sudah selesai. Dulu, waktu aku masih di sekolah dasar,
mungkin masa itu masa tercerewet Ibu. Ya, kami
memang harus dipantau terus. Tapi makin kami besar,
suara Ibu semakin berkurang.

“Nasi bungkus? Untuk?” tanyaku.

“Masa pandemi ini, banyak orang yang tidak


beruntung Arya. Banyak orang yang tidak bisa makan
karena kondisi. Ibu-ibu di lingkungan sini, sepakat
membuat nasi bungkus, tepatnya sih nasi kotak. Jadi
kami berbagi tugas. Ibu menyumbang dua macam lauk
setiap dua hari sekali. Mengirimkan ke rumah Bu
Rekso. Nanti di sana akan dikemas. Lalu kemasan yang
siap, akan diletakkan di pos-pos satpam di sekitar sini.
Siapa saja boleh mengambil,” Ibu menjelaskan padaku.

Wah tercekat rasanya makananku di


tenggorokanku. Luar biasa. Aku telan pelan-pelan,
sambil menoleh melihat tangan-tangan Ibu yang mulai
kerut merut itu. Ah, Ibu. Ibu yang baik hatinya. Belum
sempat aku berkomentar, Ibu berkata padaku, “Kamu
mau kan mengantarkan masakan ini setelah Ibu selesai
masak?”

Dengan mulut penuh makanan, aku langsung


menjawab, “Iya Bu, siap, aku akan antarkan segera. Ini
untuk nasi bungkus makan siang kan?” Ibu
mengangguk dan membawa sayur dan tempe yang siap
masak itu ke dapur. Aku menyelesaikan makanku dan
segera membantu Anggi. Sebelum Anggi tambah
manyun.

Sesuai janjiku pada Ibu, setelah Ibu siap


memasak dan menempati masakan pada dua buah
kotak container ukuran sedang. Yang satu berisi sayur
tumis buncis dan satu lagi berisi tempe kering. Aku juga
sudah selesai membantu Anggi mengerjakan tugasnya,
sekarang giliran aku meminta ia untuk menemaniku ke
rumah bu Rekso. Walau Bapak sudah memberi arah
menuju tempat tinggal bu Rekso.
“Ga apa-apa pak, biar Anggi nemani, supaya
cepat. Siapa tahu ga bisa parker di sana,” kataku.

“Iya sih memang, jalannya agak sempit di sana.


Biasanya ramai karena jadi tempat pengumpulan
makanan dari lingkungan untuk didistribusikan ke
orang-orang sekitar,” kata Bapak.

“Hebat ya pak warga di sini, walau berbeda


agama dan status, dan juga mungkin banyak yang
kekurangan, masih mau berbagi,” kataku.

“Itu karena ada rasa kasih dan berbela rasa,


Arya. Empati,” sahut Bapak. Aku mengangguk
mengiyakan dan segera memasukkan masakan Ibu ke
dalam mobil. Aku berangkat bersama Anggi.

“Jangan lupa pakai masker,” Ibu mengingatkan


aku dan Anggi. Ya betul, selama masa pandemi ini, kita
semua dihimbau untuk mengenakan masker saat
berada di luar rumah. Ini untuk keamanan diri sendiri
dan orang lain. Bisa saja kita tertular dari orang yang
disebut OTG (Orang Tanpa Gejala) atau kita sendiri
yang ternyata OTG itu dan menularkan pada orang lain.
Ya demi keselamatan dan kesehatan masing-masing,
apa salahnya menuruti imbauan kesehatan ini.

Rumah Bu Rekso tidak jauh dari rumah kami. Ya


namanya juga masih selingkungan alias se-Rukun
Warga, hanya beda Rukun Tangga. Betul kata Bapak,
padat orang di depan rumah Bu Rekso. Sebagian mobil
yang menurunkan barang dan lanjut pergi. Aku sendiri
menunggu dengan sabar. Beberapa orang turut
membantu mengangkut-angkut barang. Aku ya ga
bisalah kan lagi mengendarai mobil. Biar Anggi saja
yang turun nanti. Begitu tiba di depan pintu pagar
rumah Bu Rekso, Anggi sigap turun dan membuka
bagasi mobil. Seorang perempuan ikut membantu
menerima dua container masakan Ibu dan seorang pria
membawakan dua container kosong ke dalam mobilku.
Aku sempat berpikir. Oh mungkin ini kotak masakan
yang kemarin. Terus ditukar yang isi dengan yang
kosong. Luar biasa. Beberapa orang juga membantu
mengeluar masukkan barang dari mobil lain di
belakangku. Kerja mereka semua cepat. Anggi masuk
mobil kembali dan aku meluncur pergi.

“Wah seru sekali kelihatannya di sana ya,”


kataku.

“Iya mas, proses ide pengumpulan ini pun


cepat. Semua kan berdampak ya. Jangan kan karena
pandemi. Ga ada pandemi saja, orang sudah sulit
makan. Itu ide Ibu lho mas,” kata Anggi.
“Ibu? Wow, luar biasa memang Ibu kita. Walau
kemampuannya memasak juga biasa saja ya,” kataku,
semakin mengagumi Ibu.

Kami pulang dan aku kembali mengerjakan


pekerjaanku di kamarku. Tanpa gangguan. Aku turun
untuk makan siang. Kulihat Ibu sedang merebus telur di
panci besar.

“Untuk besok bu?” tanyaku.

“Untuk lusa, ibu mau buat balado telur. Nyicil


mengupas telurnya dan simpan di lemari es,” kata Ibu.

“Ibu jangan capek-capek ya. Istirahat juga,”


kataku. Mengkhawatirkan juga karena dari yang aku
baca, kekebalan tubuh orang usia di atas 45 tahun juga
sudah mulai berkurang dan rentan terhadap masuknya
virus ini. Bersyukur Bapak-Ibu selalu berpola makan
sehat dan menjaga kebersihan selalu. Mengajarkan
pada kami sejak dini, membuang sampah pada
tempatnya dan mencuci tangan setiap selesai
beraktivitas.

Dua hari kemudian, aku kembali mengantar masakan


Ibu ke rumah Bu Rekso. Kali ini tanpa Anggi karena
Anggi ada presentasi kelas. Baiklah. Dua kotak masakan
Ibu. Yang satu berisi balado telur dan satu lagi berisi
tumis baby corn dan kacang Panjang. Masih seperti dua
hari yang lalu, lalu lintas padat di depan rumah Bu
Rekso. Mungkin memang jam segitu adalah waktu yang
padat orang mengantar masakan dan barang
kebutuhan lain, seperti beras, telur dan kecap juga
sayur yang akan diolah oleh tim memasak di rumah Bu
Rekso. Warga yang tidak bisa memasak di rumah
karena kurang modal, bisa ikut menyumbangkan
tenaga di sini. Setidaknya Bu Rekso memberi makan
siang gratis dan lauk yang bisa dibawa pulang untuk
keluarga mereka. Ah terharu sekali aku melihat dan
mendengar cerita ini.

Aku menghentikan mobil tepat di depan pagar, gadis


muda yang kemarin bertemu Anggi menunggu aku
menurunkan container. Ia juga memegang dua
container kosong untuk diserahkan padaku. Aku
terburu-buru. Aku tidak berbasa-basi. Aku hanya
menyerahkan container berisi masakan Ibu padanya.
Dan seorang lagi datang membantu mengangkat.

“Ini dari Bu Wibawa ya,” kataku.

“Ya mas terima kasih,” jawabnya pelan dan


lembut. Aku tak dapat melihat wajahnya dan tak tahu
seperti apa karena semua yang ada di sana
mengenakan masker. Aku hanya sempat berdegup
mendengar jawabannya. Yang lembut. Dan ia juga
langsung sibuk memasukkan kotak ke dalam rumah.
Aku sendiri bergegas masuk ke dalam mobil karena
antrean panjang di belakangku.

Pulang dari rumah Bu Rekso kali kedua ini


membuat hatiku rasa berbeda. Tapi seperti biasa, aku
kembali sibuk dengan kegiatan kerjaku. Apalagi petang
ini aku harus mengajar secara online. Aku
mengusahakan untuk makan malam bersama Bapak,
Ibu, dan Anggi. Kalau tidak, apa bedanya aku di rumah
dengan di tempat kost kalau tidak bisa berbincang
dengan mereka.

Malam itu, sambil menikmati makan malam,


sup iga buatan Ibu sebagai makanan utama dan
masakan seperti yang Ibu kirim tadi ke rumah Bu
Rekso, aku menanyakan mengenai kegiatan pembuatan
makanan oleh warga. Ibu menjelaskan lagi ide awal
kegiatan itu.

“Anggi, kalau yang menerima masakan kemarin


di depan pagar kemarin itu siapa ya? Kamu kenal?
Pembantunya Bu Rekso atau siapa?” tanyaku.

“Ya ampun Mas Arya, mau menanyakan itu aja


pakai muter-muter segala. Cie.. cie.. tadi ketemu ya,
cantik kan?” tanya Anggi sambil menggodaku.

“Mana aku tahu cantik atau engga. Semua di


situ pakai masker,” kataku.
“Ndak kamu tanya siapa namanya?” tanya
Bapak.

“Yah Bapak. Ga sempat. Betul kata Bapak,


ramai sekali pak. Mobil antre di depan pagar. Semua
hanya turunkan makanan atau barang, lalu jalan lagi,”
jawabku.

“Pakai akal dong mas. Katanya cerdas.


Parkirnya jauhan dikit. Cuma ya agak jauh nanti angkat
barangnya. Tapi kan ga ada yang klakson-klakson,” sela
Anggi.

“Wah benar. Ide brilian. Kadang kamu pintar


juga Nggi,” kataku.

“Terlalu Mas Arya. Aku ini bintang pelajar lho di


SD,” jawab Anggi.

“Eh tapi, memang dia siapa?” tanyaku


penasaran.

“Ya usaha dong cari tahu. Wong cah lanang


kok,” sahut Ibu sambil tertawa.

“Siap bu. Besok aku antar makanan lagi?”


kataku dengan semangat.

“Yee terlalu semangat. Besok lusa mas. Kan dua


hari sekali. Bantu Ibu masak tuh,” kata Anggi. Kami
tertawa mendengar perkataan Anggi.
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Bapak, Ibu, dan
Anggi sudah tahu siapa gadis itu tapi tidak mau
mengatakannya padaku. Ah siapa dia ya. Tak sabar aku
menunggu esok lusa.

Hari yang ditunggu akhirnya tiba juga. Aku siap


mengantarkan masakan Ibu. Ini kali ketiga aku akan ke
rumah Bu Rekso, dengan semangat dan fokus. Aku
ingin berjumpa dengan gadis bersuara lembut itu. Kali
ini Ibu memasak sambal goreng kentang dengan tumis
kacang panjang. Siap aku hantarkan.

“Mas Arya… aku ikut ga?” ia menggodaku. Ga


usahlah. Mengganggu saja, kataku dalam hati sambil
tersenyum.

Sesuai ide dari Anggi, aku memarkir


kendaraanku tidak tepat di depan pagar. Agak jauh
karena memang antara pukul 10 sampai dengan pukul
11, antrean akan ramai. Makanan harus segera
dikemas untuk dibagikan di waktu makan siang. Aku
berjalan sambil membawa dua kotak container berisi
masakan Ibu. Dari kejauhan aku melihat kesibukan
gadis itu, menerima, memasukkan makanan, keluar lagi
dan menerima, terus begitu. Lumayan melelahkan
pastinya. Walau dibantu dua orang laki-laki. Mengapa
bukan dia yang berada di dalam. Mengapa dia
menunggu di luar. Kan lumayan panas dan berdebu
juga, pikirku. Aku akhirnya tiba di depan pagar,
tepatnya di depan gadis itu. Ia memang sibuk. Tapi kali
ini ia menatapku. Wow dari sepasang matanya yang
indah, yang berada di bawah alis tebal asli tanpa
polesan itu, aku berani yakin 100% bahwa gadis
bersuara lembut ini pasti cantik. Matanya juga teduh.
Ya Tuhan.

“Mbak, ini masakan…,” kataku belum selesai


bicara,

“Bu Wibawa kan mas?” tanyanya.

“Iya, kok tahu, ini dari Bu Wibawa,” aku balik


bertanya.

“Mas turun dari mobil itu. Mobil itu sudah


ketiga kali kan kemari,” jawabnya sambil menerima
boksku. Aku ikut bantu membawa masuk kotak yang
satunya. Ia menyerahkan dua lagi kotak kosong padaku.
Kataku, “Nanti saja mbak. Aku mau bantu di sini dulu.
Makanya aku parkir jauh di sana,” kataku memulai
pembicaran. Ia tidak menjawab. Matanya tersenyum
mengiyakan. Aku yakin bibirnya pun pasti akan
tersenyum.

Bukan itu saja, setelah pertemuan perkenalan


pertama dengan putri bungsu Bu Rekso yang bernama
Sundari itu, aku dan Anggi turut membantu mengemas
makanan ke dalam kotak untuk dibagi-bagikan. Luar
biasa. Setiap hari ada 500 kotak makanan yang
dibagikan. Aku turut membantu menutup dan memberi
karet pada kotak mika atau stereofoam yang
digunakan. Selama itu, ini hari ke-50 dan kurang lebih
ini kegiatanku ke-20 di rumah Bu Rekso, Sundari dan
aku sama-sama belum pernah membuka masker. Aku
tidak masalah, ini demi keselamatan kami bersama.
Dari suara dan tatapan matanya yang telah membuat
aku jatuh cinta, aku yakin Sundari mempunyai wajah
yang jauh lebih cantik karena hatinya yang luar biasa.
Tutur katanya sangat lembut dan ia selalu
menyenangkan hati kami.

Ketika aku tanya mengapa ia yang berdiri di


depan pagar, ia menjawab,

“Aku mesti memastikan siapa orang yang


mengirimkan makanan supaya aku tidak lupa berterima
kasih.”

Nasi Pandemi yang aku siapkan bersama


Sundari dan warga lingkungan tempat tinggalku,
akhirnya semakin mendekatkan hubunganku dengan
Sundari. Semoga ini menjadi keberkahan bagi sesama
yang memerlukan. Semoga pandemi ini cepat berlalu,
agar aku dapat melihat wajah Sundari seutuhnya.
Salam sehat dan salam cinta buat semua orang yang
terkena dampak pandemi. Yakin dan percaya ini akan
segera berlalu. Amin.

#delaras4
BOLAKU DIAMBIL LUMPUR

Ulfa Azizah

Sore itu. Aku, Didit, Ridwan, dan Sugeng berdiri tegak


menghadap sesuatu yang telah merenggut semua
senyuman kami dan keluarga kami. Lumpur. Ya sesuatu
yang kusebutkan tadi adalah lumpur. Entah, mengapa
lumpur itu begitu kejam membuat kami harus
merasakan dingin di kala malam dan panas di kala
siang. Tidak ada tempat berteduh yang nyaman. Hanya
sebuah tenda tanpa lantai dan tembok. Pengungsian.
Masih teringat di benak kami berempat ketika setiap
senja tiba, kami selalu bermain sepak bola. Beradu
bersama. Kami tertawa bahkan saling berlari hanya
demi memperebutkan satu bola. Ya, satu bola yang
membuat kami merasa bahagia. Hanya dengan satu
bola, tak ada yang lain.

“Dit tendang bolanya kepadaku!” ucapku saat bermain


bola di lapangan. Didit menendang bolanya ke arahku.
Tidak meleset. Dan begitu cepatnya aku berlari menuju
gawang hingga akhirnya aku dapat membuat kawan-
kawanku bersorak bahagia.
“Goolll!!” teriak kawanku penuh semangat. Aku
melambaikan tangan dan mulai bergoyang layaknya
Irfan Bachdim. Saat itu final melawan tim Ahmad,
betapa bahagianya tim kami saat aku berhasil
memasukan satu angka yang kemudian menjadi
penentu pemenang sore itu.

“Arman-Arman-Arman!” sorak-sorak penonton


menyuarakan namaku. Disusul kawanku yang
kemudian memelukku erat lalu mengangkatku ke atas.
Seperti yang biasa kami lihat di televisi Ayahku.

Lagi-lagi kenangan indah itu. Kami berempat menghela


napas. Ah Tuhan, mengapa Kau ciptakan banyak
lumpur di lapangan kami? Bukankah masih banyak
tempat selain di sini? Kenapa kau tidak menciptakan
lumpur ini di hutan? Atau di Israel saja agar mereka tak
menjajah Palestina. Soal Israel, aku masih agak jengkel.
Mengapa Israel selalu bertengkar dengan Palestina?
Mengapa tidak berdamai saja? Bukankah itu baik. Aku
pernah bertanya pada guru sejarahku di Sekolah Dasar
yang saat itu berbicara tentang Israel. Pak Teguh.

“Pak kapan Israel akan berdamai dengan Palestina?”


tanyaku.

“Semua pasti ada waktunya Arman,” jawab Pak Tegar


tersenyum.
Ya begitulah, beliau menjawab semua ada waktunya.
Semua ada waktunya? Apakah ketika lumpur hadir di
desa kami itu sudah ditentukan? Lalu bagaimana
dengan waktu kami bermain bola? Apakah memang
saatnya kami harus berhenti bermain? Dan mengubur
bola kami bersama lumpur itu? Ah entahlah, kami
hanya merasa waktu begitu tidak adil harus
mendatangkan lumpur ini tanpa seizin kami.

***

Sudah pukul 07.00 pagi sarapan belum datang. Padahal


aku harus pergi ke sekolah anak pengungsian. Aku
hanya bisa sabar menunggu. Sebenarnya cacing-cacing
di perutku sudah menderita. Tapi untunglah, pagi ini
aku tidak begitu lama menunggu sarapan yang sangat
berarti bagiku. Walau lauknya sederhana dan tidak
selezat masakan ibu saat di rumah dulu. Namun, aku
sudah sangat bersyukur.

“Kita harus bersyukur dengan apa yang ada saat ini,


masih banyak orang di sana yang tidak seberuntung
kita,” ucap Ibu kepadaku seminggu lalu. Saat itu aku
memang sering mengeluh dengan keadaan yang aku
alami. Bahkan sampai saat ini pun tak jarang aku
mengeluh. Jujur, aku tak setabah Ibu.
Aku berangkat ke sekolah bersama Didit, Ridwan, dan
Sugeng. Seperti biasa selalu empat sekawan. Begitulah
yang Ibu Dila katakan. Kami masuk ke dalam kelas.
Kelas yang tak beda jauh dengan tempat kami
berteduh. Pengungsian. Kami duduk sebelum akhirnya
Ibu Dila datang. Kini ada pemandangan yang berbeda.
Ibu Dila datang bersama anak sebaya kami. Dengan
senyuman yang manisnya tidak dibuat-buat, ia
memperkenalkan dirinya setelah Ibu Dila
mempersilakannya.

“Nama saya Tegar,” ucapnya sambil tersenyum.

“Ayo bilang hai pada Tegar.” Ibu Dila menyambung.

“Hai Tegar..,” ucap kawan-kawan di kelas.

Tegar duduk di sampingku. Dia tersenyum dan


menanyakan namaku. Aku menjawabnya. Arman. Dia
tersenyum kembali begitu juga aku yang tersenyum
kepadanya.

“Anak-anak pelajaran kita hari ini adalah puisi. Jadi ibu


ingin satu per satu dari kalian maju dan berpuisi,
setuju?”

“Setuju!!”

Kami semua tertawa saat kawan-kawan maju dan


berpuisi. Bahkan kami juga sempat menangis ketika
Didit berpuisi di hadapan kami semua. Karena dia juga
menangis.

Kamu kucing kecilku di makan lumpur hingga mati...

Begitulah bait terakhirnya, yang membuat dia


menangis sesenggukan. Kini giliran Tegar maju untuk
berpuisi. Kami semua terdiam saat dia mengatakan
puisinya. Entah, kami tak menangis juga tak tertawa.
Kami hanya merasa kagum dengan mimik wajahnya
yang begitu menghayati.

Itu Ibuku…
Itu Ayahku…
Yang ada ketika aku terpejam…
Tersenyum bersama sebuah tangisan…
Bahkan belaiannya hanya ada kala kuterpejam…
Semuanya ada saat kuterpejam…

Wow! Puisi yang indah. Hingga aku dan kawan-kawan


juga tak mengerti apa artinya. Namun, aku yakin ia
berbakat menjadi sastrawan. Kami bersorak dan
menepukinya. Bukannya senang diberi tepukan oleh
kami, ia malah meneteskan air matanya. Baru saja ia
tersenyum kepadaku sekarang ia menangis? Ada apa?
Bu Dila ikut meneteskan air mata, ini juga membuatku
semakin bingung. Kenapa Ibu Dila dan Tegar menangis?
Ibu Dila menjelaskan kepada kami apa maksud dari
puisi Tegar tadi. Kami mengerti. Hingga kami ikut
menangis seperti Bu Dila dan Tegar.

Ternyata Ayah dan Ibu Tegar telah tiada, dan ia hanya


bisa bertemu ketika membayangkan Ayah dan Ibunya.
Malang sekali Tegar itu. untung saja Ayah dan Ibuku
masih ada bersamaku. Kala itu kami mengucap beribu
syukur kepada Tuhan. Karena Tuhan tidak menciptakan
hidup kami semalang Tegar.

***

Sore ini kami mengajak Tegar bermain di sekitar


pengungsian. Kami dan kawan-kawan menghampiri
Tegar yang telah menunggu kami datang. Kami terkejut
dengan apa yang dibawa Tegar. Bola! Ya itu bola.
Betapa bahagianya kami hingga berlari menghampiri
Tegar. Tegar yang mengetahui kedatangan kami ia
langsung melambaikan tangan dan tersenyum.

“Hai Arman sini!” teriaknya.

Kami mendapatkan bolanya. Dengan gembiranya, kami


bermain bersama. Ah suatu yang aku dan kawan-kawan
rindukan. Ridwan menjadi penjaga gawang. Aku dan
yang lain saling berlarian memperebutkan bola biru
tersebut. Walau debu berterbangan, semangat kami
bermain bola tetap membara. Sudah lama sekali kami
tidak bermain dan tertawa selepas ini. Tuhan terima
kasih telah mengirim Tegar kepada kami.

“Gooll!!!” teriak Tegar. Kini bukan aku yang mencetak


gol. Namun tegar. Kami berpelukan dan bergoyang ala
Irfan Bachdim. Kami tertawa bersama.

“Kamu hebat, Gar!” Ucapku dan yang lainnya.

“Ayo kita ‘tos’ bersama,” ucap Didit.

“Sik-asik-asik jooss! Ye aye-aye jooss! Yo-yo-yo jooss!”


teriak kami serentak begitu juga Tegar. Kami melempar
tangan kami ke atas setelah melantunkan yel-yel kami.
Kami kembali tertawa.

Merasa puas dengan permainan bola hari ini. Tegar


mengajak kami ke sisi di mana terdapat desa yang
sudah tertutup lumpur. Kami mengikutinya.

“Dulu rumahku di sana,” ucap Tegar sambil menunjuk


ke arah lumpur itu.

“Sudah tertutup lumpur,” ucapku.

“Dan Ibu juga Ayahku wafat di sana saat ingin


menyelamatkan aku dan kakakku,” lanjutnya.

“Kamu tidak marah kepada Tuhan?” tanyaku.


“Buat apa aku marah? Bahkan aku tak berhak marah
pada Tuhan, Tuhan telah mengizinkan aku untuk
mencintai apa yang ada sekarang. Dunia ini, Ibu Dila,
bola, dan kalian,” jawabnya tersenyum memandang
kami.

“Tapi Tuhan telah mengambil Ibu dan Ayahmu?” Aku


tak henti-hentinya bertanya.

“Bukan hanya Ayah dan Ibu tapi juga Kakakku,”


ucapnya yang masih tersenyum. Aku tertegun.
Ternyata ia sebatang kara sekarang.

“Tak apa Tuhan mengambil semua yang aku miliki. Dulu


ibu pernah berkata, ketika Tuhan cinta kepada kita,
Tuhan akan memberi kita ujian. Dan jika kita bisa
melewati ujian itu, Tuhan akan bertambah cinta kepada
kita,” lanjut Tegar.

“Kau menganggap Tuhan cinta kepadamu walau


mengambil apa yang kamu miliki?” tanya Didit dan
Ridwan.

“Iya, aku percaya Tuhan mengambil dan menempatkan


Ayah, Ibu juga kakakku di surga,” ucapnya. “Yang aku
tahu, aku harus bersyukur masih bisa bertemu kalian
yang baik,” lanjutnya.

“Apa kamu tidak sedih?” tanya Sugeng pada Tegar.


“Aku sedih bahkan sampai menangis. Namun, melihat
keluargaku tersenyum saat aku memejamkan mata
membuatku yakin kalau aku juga harus tersenyum
kepada mereka. Karena aku cinta mereka,” jawab
Tegar.

Kini aku tahu bagaimana perasaannya. Aku memegang


tangan Tegar disusul yang lainnya. Hingga kita berlima
saling berpegangan tangan di depan lumpur lapindo
yang telah menenggelamkan semua kenangan indah
kami. Dan kini aku juga mengerti, aku harus merelakan
bola dan lapangan yang sangat aku cintai, karena masih
banyak yang harus aku cintai dibanding apa yang telah
lumpur ambil dariku. Terima kasih tuhan kau telah
mengirimkan kawan yang membuat aku sadar,
membuatku dan yang lainnya mengerti betapa cintanya
engkau kepada kami, hingga Kau masih memberi
kesempatan kami untuk mencintai hidup ini. Dengan
tidak mengeluh dan selalu bersyukur. Ah Tuhan,
maafkan aku yang pernah banyak mengeluh dan
kurang bersyukur kepadamu.
NAMIRA DI RUMAH SAJA

Dha'i Heliantika

Kata ibu hari ini aku nggak boleh keluar rumah. “Duh
Ibu aku kan pengen main sama temen-temen.”
Jawabnya, “Nggak boleh”. “Rina kayaknya mau ulang
tahun deh Bu, aku mau main ke rumahnya, tanya dia
mau hadiah apa.” “Tidak boleh!” jawab ibu, “Nanti biar
Ibu yang tanya Emaknya,” tambahnya. “Oh iya, aku kan
harus sekolah. Ibu bilang nggak boleh bolos.” “Belajar
di rumah saja sama Ibu,” jawabnya. “Aku nggak mau,
kalau di rumah bukan sekolah namanya. Aduh Ibu,
biasanya aku dibangunin pagi-pagi biar ngga terlambat.
Aku mandi sambil merem, makan sambil iket rambut,
minum susu sambil pakai sepatu. Sekarang nggak boleh
sekolah???”

“Namira, di luar sedang ada virus, namanya corona. Ibu


kan sudah jelaskan tadi malam. Biar tidak tertular kita
di rumah saja,” tegas Ibu pelan tapi tidak ramah. “Kalau
aku pengen jajan gimana Bu?” tanyaku lirih. “Hem…”
Ibu menghela napas panjang. “Nanti biar Ayah yang
beli ya. Kamu mau jajan apa?” tanya Ibu, sekarang
sudah ramah. “Aku belum pengen jajan jadi nanti saja.”
Sepertinya memang serius ngga boleh keluar rumah. Ini
semua gara-gara corona.
Selama dua jam aku hanya bolak-balik melihat keadaan
dari teras rumah. Nggak ada yang main sepeda. Nggak
ada anak geng pengkolan. Boni juga nggak kedengaran
suaranya. Hanya ada beberapa orang lewat tapi bukan
anak-anak. Berati Ibu serius, mungkin ibu-ibu lain juga
sama. Emak-nya Rina contohnya, kalau nyuruh mandi
sore saja teriaknya paling kenceng apalagi sekarang ini.
Rina pasti bernasib sama denganku, di rumah saja. Aku
ngga suka sama corona!

Sekarang kepalaku agak pusing jadi kusandarkan saja di


kursi sambil sesekali mengintip jalan di depan rumah.
Siapa tahu ada tukang cendol lewat nanti aku bisa
bilang ke Ibu kalau aku pengen beli cendol. “Namira!”
Terdengar suara lirih sekelebat memanggilku. “Huah!
Ibu! Aku kaget banget, kukira hantu.” “Ngelamun
kamu?” tanya Ibu, aku hanya meringis. “Mau bantuin
Ibu jemur baju?” ucapnya. Aku mengangguk.
Sepertinya Ibu tahu aku bosan. Kata Ibu kalau keluar di
halaman rumah saja boleh.

Aku bertugas membuka gulungan baju yang sudah


diperas lalu kuberikan kepada Ibu untuk dijemur.
Jemurannya tinggi jadi tugas itu tidak cocok untukku.
Setelah selesai Ibu mengepel lantai sedangkan aku
nonton televisi. Selesai itu aku dan Ibu salat berjamaah
kemudian makan siang. Lalu aku nonton televisi lagi
sedangkan Ibu menyetrika pakaian.
Waktu terasa begitu cepat sampai tiba sore hari. Suara
motor ayahku terdengar berisik di halaman rumah. Aku
berlari menyambut Ayah. “Eh… tunggu dulu,” Ibu
mencegahku. “Jangan dekat-dekat Ayah,” lanjut Ibu.
“Takut ada corona ya, Bu?” tanyaku. Ibu mengangguk.
Semangatku luntur tapi aku tetap berjalan menuju
ayahku. “Ayah,” ucapku lirih mengintip dari pintu. “Eh,
Namira. Senang ya sekolahnya libur?” tanya Ayah. Aku
menggeleng tanpa Ayah tahu, soalnya sibuk buka
sarung tangan, masker, jaket, sepatu, kaos kaki. Eh,
Ayah kok jalan ke samping rumah. Karena penasaran
aku melangkahkan kakiku ke teras, berjalan
mengendap-endap sembari tengok belakang mengecek
kehadiran Ibu.

“Kricik-kricik…” Suara keran mengeluarkan air. Ternyata


ayah sedang mencuci tangan, kaki, dan mukanya
dengan sabun. Ayah masuk ke dalam rumah lewat
pintu belakang. Segera aku lari berputar arah. Sampai
di dalam aku melihat ayah memasukkan baju ke plastik
dan diberikan pada ibu. “Nanti ya, ayahmu mandi
dulu,” ucap Ibu tanpa harus aku bertanya. Gara-gara
corona aku ngga bisa langsung peluk ayah.

Ayah cerita banyak pas makan malam, cerita corona.


Duh itu virus nakal banget sih. Aku saja jadi cepet
ngantuk malam ini, padahal di rumah saja. “Ibu, corona
itu adanya siang-siang ya? Kalau malam berarti boleh
keluar rumah?” Tanyaku sebelum tidur. “Malam juga
ada.” Jawaban Ibu membuatku tak jadi bersemangat.
“Corona ngga tidur?” Tanyaku lagi. Ibu terkekeh,
“Engga sayang” jawabnya. “Corona kapan sih, Bu
perginya?” Setelah itu aku tidak ingat jawaban Ibu,
mungkin karena aku sudah sangat mengantuk.

Namira tertidur lelap sekali. Mudah-mudahan dia tidak


memimpikan corona. Kusempatkan menulis catatan ini,
kubuat seolah-olah Namira sedang bercerita. Aku
menerka apa yang ada dalam pikirannya. Dia gadis cilik
yang serba ingin tahu, pasti hari ini sangat melelahkan
karena harus memikirkan corona dan tetek bengeknya.
Harus kusiapkan beberapa jawaban atau kegiatan agar
besok Namira tak berhenti ingin tahu.
Antara Kuaci Dan Kenangan Di Taman Kota
Baiq Desi Rindrawati

Jeng Tini, begitu teman-teman mama memanggil


mamaku. Romi, itu nama papaku. Sudah bertahun-
tahun lamanya, papa meninggalkan aku dan mama.
Tidak ada kenangan indah yang bisa kuingat, tentang
papa.

Hanya lewat HP mama, aku bisa lihat foto-foto papa.


Itu pun terakhir aku melihatnya tiga tahun silam, lewat
video call mama.

Sekarang, aku hampir lupa seperti apa wajah papa.


Pernah coba-coba otak-atik HP mama. Tapi, susah
dibuka, karena HP mama pakai password.

Kalau cerita soal pangeran yang satu itu, mama suka


cerita yang lebai-lebai. Bahkan, katanya, menurut
mama, papa itu laki-laki paling romantis se-dunia.
Nggak pernah marah. Waktu zamannya masih pacaran,
suka buat kejutan-kejutan spesial.
“Dulu, tahu nggak. Setiap malam minggu, papamu
selalu bawa ice cream. Khusus buat mama.” Cerita
mama, mengenang masa-masa pacarannya sama papa.

“Kamu, kalau bisa cari suami yang kayak papamu gitu.


Dia itu nggak pernah marah. Mama sama papa kan satu
sekolah. Pernah ke sekolah telat gara-gara harus
jemput mama. Tapi, papa tak pernah menyalahkan
mama. Pokoknya papamu itu, pria paling sabar……..,
sejagad raya,” kata mama terus memuji papa, penuh
semangat.

Sekarang, mama banyak berubah. Jarang ngajak


ngobrol aku. Padahal, biasanya mama suka nyelonong
ke kamarku. Cerita-cerita sampai subuh, sambil ngemil
makan kwaci. “Dit, satu lagi. Tahu nggak, papamu suka
minta dikupasin kuacinya. Manja banget,” kata mama.

Aku sering mengajaknya bergurau. Cerita tentang


teman-temanku di sekolah. Tapi, mama tetap tak mau
respons. Sepertinya dia kesepian banget setelah tak
ada papa.
Terakhir, awal tahun baru, aku lihat mama sibuk
bongkar-bongkar lemari. Membakar beberapa foto dan
kertas-kertas kusam yang disimpannya selama ini. Mau
ikutan nimbrung, takut mama marah. Jadi aku pura-
pura sibuk main handphone. Soalnya, sekarang mama
lebih banyak diam.

Setelah itu, aku perhatikan mama lebih banyak


berdandan. Rambutnya dilurusin. Pakai gincu merah.
Banget. Pakai bulu mata palsu. Rambutnya diikat kuncir
kuda. Pakai kaos oblong putih. Celana jeans ketat. Pakai
sandal wedges setinggi 7 cm.

Pakai parfum semprot sana semprot sini.

Asal aku tanya mau pergi ke mana, mama marah


banget. "Anak kecil mau tahu aja urusan orang tua.
Sana berangkat sekolah!" perintahnya setengah
membentak.

Aku bukan tak berusaha melarangnya. Pernah hujan


lebat, mama nekat pakai payung keluar rumah. Dia
pergi, dan duduk menyendiri di taman kota, sambil
menikmati sebungkus kuaci.
"Ma. Sudahlah. Di rumah saja. Nanti mama sakit, Dita
sedih kalau lihat mama seperti ini setiap hari," kataku
memelas dengan nada lirih. Bahkan, aku pernah nangis,
pura-pura pingsan. Tapi mama tak peduli. Dia tetap
pergi ke taman kota itu.

Kata tetangga kanan-kiri, mama setengah gila, sejak


ditinggal papa.

Hanya aku yang tahu. Bagiku, mama bukan gila. Dia


hanya terpuruk, belum bisa menerima kenyataan,
karena pangeran pujaan hatinya pergi tanpa kabar.
Semua bermula dari sebuah pertengkaran hebat antara
mama dan papa. Papa, ketahuan menjalin hubungan
gelap dengan perempuan lain. Ayah pergi
meninggalkan rumah. Sejak itu, mama lebih banyak
diam.

Jarang masak. Jarang ngurus rumah. Cucian pun dibawa


ke laundry. Terus kerjanya dandan pagi-pagi. Selesai
berdandan, dia pergi ke suatu tempat, taman di tengah
kota. Taman itu, menurut mama, tempat pertama kali
papa mengajak kencan.
Di sana, kata mama, ia dan papa sanggup duduk
seharian sambil menikmati makan kuaci. Sore,
menjelang magrib baru pulang ke rumah, dengan
sepeda onthel. Sekarang, itulah yang dikerjakan mama.
Pagi-pagi jam tujuh, dia sudah berdandan cantik. Pergi
ke warung Pak De Harmoko, beli kuaci dan dibawa ke
taman itu.

Pernah aku jemput karena hingga larut malam, mama


tak kunjung pulang. Katanya, dia tak mau pulang,
lantaran menunggu papa datang menjemput.

"Mama mau di sini sampai papamu jemput. Pasti


papamu suka lihat mama pakai baju ini," kata mama,
hingga membuatku sedih melihatnya.

Memang, kata mama, itu baju pertamanya yang dia


pakai saat diajak kencan pertama sama papa. Mama
memakainya sampai berhari-hari. Kalau dirasa sudah
bau apek, bau keringat, mama meminta aku, untuk
membawanya ke laundry.
Tapi, meski baju kenangan itu ada di laundry, mama tak
pernah absen ke taman kota. Mama pakai baju lain.

“Cantik kan, bunda pakai baju ini. Soalnya baju


kesayangan papamu, masih di laundry sih. Jadi mama
pakai baju lain nih. Semoga aja papa mu nggak bakal
protes. Gimana, wangi nggak parfumnya?" tanya mama
tanpa memberiku kesempatan menjawab.

Aku berharap, mama kembali ke kehidupan nyatanya.


Tanpa dibayang-bayangi harapan semu, akan
kembalinya papa ke pelukannya. Cinta mama dan papa
sudah memudar. Meski mama menunggu seribu tahun
lamanya, aku yakin papa tak akan pernah kembali.

Aku ingin mama melupakan papa, karena papa


memang tak lagi menginginkan mama. Sudah ada
perempuan lain, yang lebih menarik di hati papa.
Buktinya dia pergi meninggalkan mama. Meski terluka,
mama tetap berharap papa kembali ke pelukannya.
(***)
ANOMALI, KARSA YANG SAMA TAPI TIDAK SAMA

Alfiatun Khumairoh

Jadi, bagaimana ibu kota? Hana bersandar di tiang


halte Sudirman, ditemani buku yang sudah berulang
kali ia baca. Busway yang akan mengantarnya ke tujuan
telah tiba, namun ia belum juga beranjak. Ia baru naik
ketika Gie menariknya. Busway penuh, jam pulang
kerja, pemandangan yang sudah tidak asing lagi.

“Harusnya tadi naik KRL saja.”

“Sekali-kali coba suasana baru, Na.”

Gie, wartawan lepas yang bekerja di sebelah kantor


Hana. Bertemu di sebuah event photograpy di Jogja.
Bertemu karena persamaan. Dan mimpi-mimpi adalah
media pembukanya.

“Kenapa kamu mengajak aku naik busway, Gie? Kamu


kan tahu KRL tempat yang nyaman untuk aku baca
buku.”

“Sudah. Duduklah.”

Kali ini Gie tidak banyak bicara. Ia lebih memilih


memberi Hana waktu untuk menikmati pemandangan
ibu kota lewat kaca jendela busway.
“Ibu kota tetap ibu kota, selalu tentang jalanan macet,
keramaian, angka gini yang terus merambat naik,
dikejar deadline, mimpi, asa, juga isi kepala yang sering
kali enggak bisa diungkapkan tentang sebenarnya apa
yang dia mau dan akhirnya dituntut untuk mengikuti
aturan.”

“Sebentar lagi sampai.”

“Kita mau ke mana sih, Gie?”

“Sudah, ikut saja.”

Berjalan beriringan, tapi isi kepala tidak membersamai


keadaan.

“Sudah berapa kali kamu baca buku itu, Na?”

“Aku nggak pernah menghitungnya.”

“Nggak pernah bosan?”

“Osamu Dazai pernah bilang, buku yang bagus adalah


buku yang meski berulang kali kamu sudah
membacanya, kamu nggak akan pernah bosan.”

“Osamu dazai siapa? Yang bikin origami bangau ya?


Atau penemu miniatur toples? Ah atau mungkin…”

“Gie, kita mau ke mana sih sebenernya? Aku sudah


capek.”
“Terus kenapa kamu memilih ibu kota, Na?”

“Berapa kali kita harus bicarakan ini?”

“Kita sampai, Na.”

Na, kamu nggak suka ibu kota tapi kamu memilih untuk
menetap.

Apa karena sebagian mimpi-mimpi kamu ada di sini,


Na?

Atau mungkin kamu punya janji sama seseorang untuk


menunggu dia, ya? Kenapa kamu mau sih? Itu kan hal
yang paling nggak pasti di dunia ini. Sebanyak apa pun
kalimat tanya yang kamu ajukan ke dia, kamu nggak
akan bisa dapat jawabannya. Bahkan kamus sekalipun
nggak akan bisa menjawab.

Hei, Na, kamu menyukai aku, kan?

Yang terakhir adalah pertanyaan yang pernah buat


Hana marah, sampai hampir dua pekan ia tak mau
bicara dengan Gie. Tapi lelaki yang lebih tua dua tahun
darinya tak pernah habis akal untuk sekadar membuat
Hana tersenyum.

“Teh chamomile-nya dua, sama macchiato-nya satu ya,


Mba.”
Lelaki yang akrab dengan berbagai jenis kopi. Keliling
nusantara hanya untuk menjumpai petani kopi. Isi
kepala yang begitu sederhana dan sangat diinginkan
Hana.

“Kopi lagi?”

“Camilannya mau apa?”

“Roti Canai.”

“Jangan ngelindur, Na. Ini bukan restoran India.”

“Aku ikut kamu saja.”

“Kalau aku ke bulan, kamu ikut?”

Hana masih bertanya-tanya, sebenarnya lelaki yang


duduk tepat di seberang meja, yang hampir tiga tahun
dikenalnya adalah manusia atau bukan.

“Besok aku ke Sulawesi.”

“Karena kopi?”

“Bukan, kantor maunya aku yang berangkat.”

Kamu mau ikut aku kan, Na?”

“Kenapa kamu minum teh aku, Gie? Kamu kan kopi.”

“Aku nggak bilang aku pesan kopi, Na.”


“Terus?”

“Kopinya buat kamu saja,”

“Aku pulang, Gie.”

Perempuan berkacamata dengan lesung di pipi


kanannya. Membuat perempuan itu marah adalah hobi
Gie.

“Puisinya sudah selesai aku tulis, kamu mau


membacanya kan?”

“Aku mau pulang, Gie.”

“Maaf, Na. Ini tehnya.

Aku dipindah tugaskan ke Sulawesi.”

“Itu berita bagus, Gie. Impian kamu satu per satu


tercapai.”

“Tapi kamu juga bagian dari mimpiku, Na.”

Itu bukan percakapan yang ingin Hana dengar,


bergegas pergi dan meninggalkan secangkir teh
chamomile, macchiato yang bagi Hana semua kopi
adalah sama dan juga, Gie.
GARIS FINIS

Wahyu Dwi Yuliani

Kita semua sedang dalam perjalanan menuju garis finis


di bumi. Garis start-nya telah dilewati dua puluh
tahunan yang lalu.

Kita semua sama-sama sedang dalam perjalanan.


Berjalan untuk mencari dan mengumpulkan bekal.
Sebuah bekal yang bisa menentukan nasib kita nanti, di
masa depan yang abadi.

Tetapi kita tidak pernah tahu di mana letak garis finis


kita di bumi. Mungkin 1000 langkah lagi atau 100
langkah lagi. Bisa jadi butuh waktu 10 tahun lagi atau 1
tahun lagi. Kita memang tidak bisa mengetahuinya.

Tidak bisa dipungkiri, pergantian siang dan malam,


membawa kita lebih dekat dengan garis finis itu. Bila
kita sudah sampai pada garis finis itu, itu berarti
perjalanan kita di bumi telah usai. Kita sudah tidak bisa
melakukan apa-apa lagi di bumi. Sementara kita sendiri
belum tahu apakah bekal yang kita kumpulkan selama
ini, sudah mencukupi atau belum.

Jadi kita memang harus terus mempersiapkannya.


Dengan terus mengumpulkan kepingan-kepingan
kebaikan. Menebarkan kebermanfaatan terhadap
sesama dan memperbanyak amalan ibadah.

Bila sekarang pagi, janganlah menunggu siang datang.


Bila sudah siang jangan menunggu malam.
Beribadahlah. Berbuat baiklah. Bermanfaatlah. Sebab
kita tidak pernah tahu berapa langkah lagi akan sampai
di garis itu.
SEMUA TENTANG TUAN NZ

Oleh Baiq Desi Rindrawati

Entah sudah berapa pekan belakangan, aku nggak ke


kantor. Turun liputan ke lapangan juga jarang. Paling
kalau ada kedatangan TKI deportasi, aku baru gerak ke
lapangan.

Senin, hari yang membosankan bagi aku. Rasanya


masih terkontaminasi dengan hari Minggu. Di mana,
aktivitasku lebih banyak rebahan di kasur, seharian.
Kadang, malam pukul 20.00 WIB baru mandi.

Bangun siang langsung buka HP. Ada pesan masuk dari


pukul 07.00 WIB. Pesan itu dari humas provinsi.

"Tolong liput ada pasien covid 19 mau pulang, setelah


dirawat selama 53 hari di Rumah Sakit Umum Provinsi
Kepri, Raja Ahmad Tabib. Rencana kepulangannya,
diinformasikan sekitar pukul 11.00 WIB," tulis pejabat
humas itu di WA-ku.
Aku langsung loncat dari tempat tidur, menyambar
handuk. Masih ada satu jam lagi, untuk mempersiapkan
diri. Mandi. Terus berdandan. Hahahahaha. Wartawati
juga manusia. Jadi, butuh berdandan. Tapi, dandannya
sekadarnya saja. Pakai parfum nggak boleh ketinggalan.

Setengah jam kemudian, aku sampai di RSUP Kepri.


Suasananya, begitu ramai.

Semua orang terlihat memakai masker (penutup mulut


dan hidung-red). Beberapa orang yang hendak masuk
ke area lobi depan rumah sakit, dicek suhu tubuhnya.

Salah seorang petugas security, sudah standby di sana.

Begitu juga awak media, terlihat berdiri dengan posisi


jaga jarak, satu sama lainnya.

Mereka (awak media-red) menunggu pasien positif


covid-19, yang hari itu (Senin-11 Mei), diperbolehkan
pulang ke rumah.
"Pasiennya lagi siap-siap mau turun. Tunggu ya,"
demikian kata Plt Direktur RSUP Raja Ahmad Tabib
Kepri, dr. Elfiani Sandri, yang juga menunggu pasien
tersebut.

Benar adanya. Setengah jam kemudian, mendekati


waktu zuhur, pasien yang namanya diinisialkan dengan
sebutan Tuan Nz (55) itu pun datang.

Ia datang dengan mengenakan kursi roda, didampingi


tiga orang tim medis (dokter dan perawat).

Tepat di posisi dr. Elfiani dan para awak media berdiri,


di depan pintu lobi keluar masuk pengunjung, tiga
orang tim medis itu, menghentikan Tuan Nz.

Lelaki yang disebut-sebut sebagai pasien positif covid-


19, dari jamaah tablig itu pun berusaha bangkit pelan-
pelan dari kursi roda itu.
Tak disangka. Tuan Nz mengajak berjabat tangan
Kadiskominfo Kepri, Zulhendri. Spontan, Zulhendri
menolak, dan ganti menyambutnya dengan
menyodorkan siku tangan kanannya.

Di sela-sela itu, dr. Elfiani kembali mengingatkan para


awak media, tetap mematuhi protokol kesehatan.

"Tolong jaga jarak ya teman-teman," celetuk dr. Elfiani


yang tampak khawatir.

Diminta komentar soal kesembuhannya oleh awak


media, dengan lancar Tuan Nz pun menyampaikan
pengalamannya sebagai pasien positif covid-19.

Di balik masker medis yang masih dia kenakan, sebagai


penutup mulut dan hidungnya itu, Tuan Nz mengaku
bahagia dan bersyukur atas kesembuhannya. Sehingga
dia diperbolehkan pulang ke rumah.
Tuan Nz mengaku betah selama dirawat di rumah sakit.
Betapa tidak, karena perawatan yang diberikan pihak
rumah sakit, begitu luar biasa.

"Saya merasa betah dirawat selama 52 hari di rumah


sakit. Perawatnya luar biasa. Menu makannya juga
enak-enak," kata Nz berseloroh.

Namun, satu hal yang tak bisa dia lupakan. Di awal-


awal dia dirawat di RSUP Raja Ahmad Tabib, Tuan Nz
mengaku tak bisa melaksanakan salat lima waktu.

Lalu yang paling menyakitkan dari itu, ia mendengar


kabar, anaknya yang salat di surau dekat rumahnya,
sempat diusir. Tuan Nz tak ingin menyebutkan siapa
yang mengusirnya. "Betapa saya sedih sekali ketika
mendengar kabar, anak saya lagi salat, diusir warga,"
kenangnya.

Tuan Nz, jelas tak bisa berbuat banyak, kerena


kondisinya memang sedang diisolasi di ruang khusus
rumah sakit.
Bagi Tuan Nz, hal ini ujian paling berat dalam hidupnya.
Namun, kata dia, berusaha tegar, dan ikhlas menerima
semuanya.

"Saya berusaha sabar dan ikhlas menerima. Ada


hikmah di balik cobaan yang saya hadapi ini,"
ungkapnya dengan mata berkaca-kaca menahan tangis.

Setelah pulang ke rumah, yang terbayang di pikirannya,


dia ingin melanjutkan aktivitas berdagangnya yang
sudah lama dia ditinggalkan.

"Setelah pulang, saya mau berdagang lagi. Tapi, saya


harus karantina mandiri lagi, di rumah selama 14 hari.
Setelah itu Insya Allah akan fokus jualan lagi, mencari
rezeki," katanya penuh semangat.

Usai menyampaikan kesan dan pesannya, Tuan Nz


minta undur diri, dari wawancara singkat bareng awak
media itu.
Tapi, aku merasa tak puas. Kuminta nomor ponselnya.
Buat janji, untuk bertemu lagi di lain hari.

Sebelum mengakhiri perbincangan singkat pagi itu, dr.


Elfiani Sandri meminta waktu sebentar, untuk
menyerahkan kenangan-kenangan souvenir.

Tuan Nz pun terlihat ceria, saat menerima bingkisan


souvenir itu. Lalu, di sesi terakhir, dr. Elfiani Sandri,
mengajak foto bareng Tuan Nz, bersama salah seorang
tim perawat dan dokter.

"Kita foto bareng, sebagai kenang-kenangan. Tapi, kita


jaga jarak ya," ujarnya, diikuti Tuan Nz yang langsung
mengambil posisi, bersebelahan dengan perawat dan
dokter yang merawatnya. Para awak media pun
mengabadikan momen itu.

Sebelum benar-benar meninggalkan lobi depan RSUP


Kepri, Tuan Nz diminta mengecek kembali barang-
barang bawaannya. Lalu, dia juga diminta cuci tangan,
di wastafel yang disediakan di area depan rumah sakit.

Sementara itu, salah seorang petugas khusus


penyemprot disinfektan, yang lengkap dengan baju
APD (alat pelindung diri), terlihat sibuk menyemprot
barang-barang bawaan Tuan Nz, hingga membantu
memasukkan ke dalam bagasi mobil pribadi yang sudah
sedari pagi stanby di depan pelataran RSUP.

Sembari mengucap salam perpisahan kepada dr. Elfiani


Sandri, dokter dan perawat lainnya, Tuan Nz pun
berlalu meninggalkan RSUP.

"Assallamuallaikum," ucap Tuan Nz.

"Waallaikum salam," jawab dr. Elfiani, dan para dokter


serta perawat lainnya, dengan serentak.

Sepeninggal Tuan Nz, dr. Elfiani dan para dokter serta


perawat lainnya pun meninggalkan lobi depan RSUP
itu. Sedangkan petugas penyemprot disinfektan, tak
serta merta ikut meninggalkan lobi.
Lelaki itu, masih sibuk menyemprot area/jejak lantai
lobi yang dilalui Tuan Nz. Mulai dari tempat pertama
dia berhenti dan berdiri dari kursi rodanya, hingga area
parkir mobil Avanza putihnya. Semua disemprot
disinfektan.

Setelah itu, disusul dengan petugas cleaning service


yang membersihkan area jejak Tuan Nz itu, dengan kain
pel.

Tak hanya Tuan Nz yang bahagia. Rasa syukur dan


penuh kegembiraan, tergambar di raut wajah para
perawat dan tim dokter, saat melepas kepergian Tuan
Nz.

Menurut keterangan dr. Vivi, dokter spesialis penyakit


dalam, bahwa semangat Tuan Nz selama dirawat di
RSUP Raja Ahmad Tabib, cukup tinggi. "Pasien 06, atas
nama Tuan Nz, semangatnya sangat tinggi. Dia
berjuang keras untuk sembuh. Setiap hari, perawat dan
para dokter, selalu memberikan motivasi, bahwa Tuan
Nz pasti bisa sembuh. Pokoknya kita yakinkan Tuan Nz,
harus semangat jalani perawatan. Nggak boleh
menyerah. Makan juga semangat. Minum obatnya
disiplin. Perlu diketahui juga, bahwa virus covid-19 yang
menjangkiti Tuan Nz adalah jenis virus covid-19 yang
susah jadi negatif. Sehingga perlu penanganan cukup
lama (52 hari-red) untuk benar-benar sembuh," cerita
dr Vivi mengisahkan tentang pasien covid terlamanya
itu.

Lebih lanjut dr. Vivi menyebutkan, kondisi awal Tuan


Nz, batuk, dan demam hingga sesak napas. Ada
penyakit darah tinggi dan kencing manis menyertai,
Tuan Nz.

"Awalnya hanya 7 orang perawat dan 1 dokter yang


ditugaskan untuk merawat Tuan Nz. Tetapi, seiring
bertambah lamanya waktu perawatan, semua ada 21
perawat, dan 5 dokter yang harus menangani pasien 06
itu," jelas dr Vivi.

Sementara, Kepala Ruangan RSUP Raja Ahmad Tabib,


yang juga berstatus sebagai perawat, Ariza Sari Murni,
menceritakan, saat Tuan Nz diisolasi di ruang mawar,
semangatnya cukup tinggi.
Setiap hari, Tuan Nz rajin salat dan mengaji.

"Saban hari, suara mengaji Tuan Nz menggema di


ruangan isolasi. Kami, para perawat dan dokter sangat
tenteram mendengarkan lantunan ayat-ayat suci yang
dikumandangkan Tuan Nz.

Kata Ariza, para perawat selalu dibekali keyakinan,


dengan doa dan dilengkapi APD, insya Allah tidak akan
terpapar virus covid 19.

Setiap selesai ambil tindakan/mengecek kondisi pasien


06, perawat harus mandi. Begitu juga dokternya.

Bahkan, dalam sehari, perawat atau dokter mandinya


bisa 6 sampai 10 kali. "Pokoknya setelah menangani
pasien, dokter, dan perawat pasti mandi," sebut Ariza.

Di RSUP juga disediakan ruangan khusus untuk


istirahat. Baik itu untuk dokter dan perawat. Sebelum
pulang ke rumah, biasanya dokter dan perawat
menginap selama 2 hari dulu di ruangan khusus itu.

Terakhir, ditambahkan Ariza, meski pasien 06


dinyatakan sembuh dari virus mematikan itu, Tuan Nz
diminta untuk karantina mandiri lagi, selama 14 hari.
Dengan keluarga, juga harus jaga jarak. Minum obatnya
tidak boleh lalai. Memakai masker saat nanti
diperbolehkan keluar rumah, setelah karantina mandiri.
"Kita minta pasien 06 tetap melaksanakan protokol
kesehatan dengan baik," tegasnya Ariza.

Kalau ada masalah lagi dengan kondisi kesehatan Tuan


Nz, pihak rumah sakit sudah membekali nomor kontak
perawat dan juga nomor kontak dokter yang merawat
saat proses isolasi di RSUP.(***)
BIODATA
Putri Bayu Pungkasari lahir di Blitar, pada 16
Januari 1992. Hobi yang sedang diasah saat ini
adalah menuis cerpen dan artikel. beberapa karya
sudah dikirimkan ke berbagai lomba.

Arum Setyarini lahir di Jakarta, tanggal 23 Mei


1995. Seorang yang suka dengan petualangan,
hobbynya adalah mendaki gunung, wisata,
membaca, dan menulis cerpen juga beberapa esai.
Beberapa karyanya telah dimuat dimedia massa
seperti blog pribadi dan wattpad. Bisa dihubungi
melalui email arsetiarum@gmail.com

Andika Fauzi lahir di Banyumas Jawa Tengah,


tanggal 28 November 1988. Tinggal di Daerah
Weleri , Kendal. kemudian berpindah ke Banjaran,
Kab. Bandung. lulusan Jurusan Sastra Inggris di
salah satu Universitas di Semarang. sempat
berprofesi sebagai karyawan Bank Swasta selama
kurang lebih 5 tahun kemudian pindah domisili.
Suka dalam menggambar dan sesekali menonton
film. Baru mencoba menuangkan gagasan secara
pribadi. semoga karya sederhana ini bisa
membantu saudara-saudara dalam cobaan yang
sedang menerpa kita semua. contact e-mail:
zandika21@gmail.com atau IG :@forzandika

Diadjeng Laraswati Hanindyani. Nama Pena : de


Laras. Lahir di Jakarta, 17 April 1968, Penulis,
Blogger di www.laraswati.com, Doodler, Shiborian
Artist. Penikmat kopi dan Pecinta alam semesta
apa adanya.

Ulfa Azizah. lahir di Probolinggo-Jawa Timur, pada


06 Maret 1998. Suka menulis baik itu karya fiksi
maupun non fiksi. Bisa dihubungi via email /
facebook : ulfaazizah68@gmail.com / Ulfa Azizah.

Dha'i Heliantika, lahir di Banyumas. Seorang guru


SMA yang gemar membaca buku, menulis puisi
dan cerpen. Bisa dihubungi lewat ig @heliantika_
atau twitter @dhai_el

Namaku Baiq Desi. Jurnalis Posmetro.

Alfiatun Khumairoh, lahir di pinggiran kota


Indramayu pada pagi buta Minggu hari di bulan
November, setahun setelah tahun ke dua Milenium.
Suka membaca dan menulis apa-apa yang melintas
di kepala sebelum ia lupa, dapat di ajak berkawan
lewat email alfiatunkhumairoh@gmail.com .

Wahyu Dwi Yuliani, seorang perempuan yang


akrab disapa Wahyu. Suka berpikir dan menulis
tentang banyak hal. Tulisannya berbicara mengenai
cerita dan makna di kehidupan sehari-hari, tentang
perjalanan, dan pandangannya mengenai banyak
hal, dapat dibaca di wahyudwiyuliani.tumblr.com.

Anda mungkin juga menyukai