Anda di halaman 1dari 12

REVIEW ARTIKEL JURNAL : Tradition of Sesaji

Rewanda at Goa Kreo as local wisdom


(Tugas Sosiologi Budaya)

Disusun Oleh

OCTAVIANO DWIYAN PUTRA

S702202007

KAJIAN BUDAYA
PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2022
Judul Tradition of Sesaji Rewanda at Goa Kreo as local wisdom

Jurnal INDONESIAN JOURNAL OF APPLIED LINGUISTICS

Volume &
Halman Vol. 12 No. 1, May 2022, pp. 255-265

Tahun 2022

Penulis Sifa Destry Fauzia, Wakit Abdullah, dan Dwi Purnanto

Pengulas Octaviano Dwiyan Putra (S702202007)

Tanggal 1 Juni 2022

Penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi dan


mengidentifikasi istilah-istilah yang digunakan dalam ritual TSR
sebagai representasi pemikiran, pandangan, dan budaya masyarakat
GNP melalui perspektif etnolinguistik. Istilah-istilah yang terdapat
dalam ritual TSR adalah kesatuan bahasa dan budaya yang memiliki
bentuk dan makna. Bentuk-bentuk tersebut mengacu pada aspek
morfologi dari bentuk dasar atau bentuk tunggal, dan bentuk
Tujuan kompleks melalui fiksasi, duplikasi, terjemahan, dan semantik
Penelitian mengacu pada makna leksikal dan makna budaya dalam ritual TSR.

Subjek Subjek penelitian ini adalah Tokoh penting dan Masyarakat di Desa
Penelitian Kandri, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, Indonesia.

Penelitian etnolinguistik ini menggunakan metode deskriptif


kualitatif. Hal ini dimaksudkan untuk mengungkapkan berbagai
informasi kualitatif melalui deskripsi data yang diteliti, akurat, dan
penuh rasa dan nuansa (Sutopo, 2006). Antropologi melibatkan
metode etnografi interpretasi terus menerus, saling terkait dengan cara
mengekspresikan ide-ide dan menempatkan mereka dalam konteks
Metode dari mana mereka memperoleh makna dan yang mereka memberi
Penelitian makna (Hrytsiv, 2020).

Metode Pengumpulan Data ditetapkan melalui metode observasi


partisipan untuk memperoleh hasil yang memadai. Tujuan metode
observasi oleh partisipan adalah untuk memperoleh secara langsung
Metode dalam mengikuti segala sesuatu atau kegiatan selama penelitian.
Pengumpulan Kriteria informan ada beberapa alasan, yaitu 1) asli, dan 2) mengikuti
Data tradisi Sesaji Rewanda.

Hasil Penelitian  Kajian ini menunjukkan bahawa Ritual TSR dilakukan setiap
tahun di Desa Kandri, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang,
Indonesia. Ritual ini dimulai dengan arak-arak, membawa empat
gunungan “menyerupai gunung” dari desa Kandri ke KC. Di posisi
barisan depan, ada empat orang dengan riasan dan kostum monyet
berwarna merah, hitam, dan kuning. Di baris berikutnya, ada replika
batang Jati. Kemudian, ada deretan gunungan dan penari. Gunungan
dibawa oleh panitia berisi nasi golong atau sega golong atau beberapa
masyarakat berbahasa Turki lainnya (Khaziyeva, 2020)b. iasa disebut
sega kethek atau nasi kera.
 Istilah Sesaji Rewanda berasal dari bahasa Jawa yaitu sesajen
dari kata dasar sajen dan ditambah dengan awalan {sa- }
menunjukkan "sesuatu yang dipersembahkan." Sedangkan kata
rewanda berasal dari bahasa Jawa yang berarti “monyet”. Ritual TSR
dimaksudkan sebagai persembahan bagi kera ekor panjang yang telah
bertahun-tahun tinggal di kawasan KC. Sedangkan nama Gua Kreo
berasal dari kata mangreha yang diucapkan SK kepada leluhur kera.
Kata mangreha diambil dari kata dasar reh yang berarti perintah dan
mengalami awalan {ma-} alomorf {maÿ}.

Bentuk dan Makna Istilah dalam Tradisi Sesaji Rewanda di Goa


Kreo Dalam penelitian ini ditemukan data berupa leksikon yang
meliputi kategori monomorfemik (rewanda; tumpeng), kategori
polimorfemik meliputi afiksasi (kreo; tahlilan), dan komposisi
(jatingaleh; gunungan s ega k ethek; g unungan b uahg-
ubnuuanhgaann; palawija; gunungan kupatan; umbul-umbul abang,
umbul umbul puteh; umbul-umbul ireng; umbul-umbul kuning;
replika kayu jati; jenang abang; jenang puteh; degan ijo; tunggak jati
amba ; kedhung curug; pring krincing; tegal si kendhil). Data
leksikon yang diperoleh menunjukkan bahwa simbol-simbol pada
tradisi Sesaji Rewanda mencerminkan kearifan lokal masyarakat
Gunungpati.
Bentuk monomorfemik

Rewanda [rÿwanda]

Rewanda adalah kategori kata benda atau nominal. Rewanda secara


leksikal berasal dari bahasa Jawa yang berarti “monyet”. Arti budaya
Rewanda adalah 'monyet' dalam konteks Sesaji Rewanda tradisi dan
mengacu pada empat leluhur kera yang membantu SK membawa
kayu Jati sebagai tiang utama Masjid Agung Demak.

Tumpeng [tUmpêÿ]

Tumpeng dikategorikan sebagai kata benda. Arti kata tumpeng secara


leksikal dalam bahasa Jawa berarti nasi yang disajikan dalam bentuk
tumpeng yang dilengkapi dengan pitu “tujuh” lauk yang dimaksudkan
sebagai pitulungan, yang artinya memohon pertolongan kepada
Tuhan. Tumpeng digunakan untuk ritual keselamatan dalam
masyarakat Jawa. Makna budaya tumpeng berasal dari ungkapan yen
metu kudu mempeng “ketika keluar harus bersungguh-sungguh”.
Tumpeng dihidangkan sebagai sajian oleh komunitas GNP di TSR
sebagai rasa syukur kepada Tuhan dan penghormatan kepada leluhur
“monyet” yang menjaga lingkungan sekitar KC atas perintah SK.

Bentuk Polimorfemik: Fiksasi

Kreo [krÿO].

Kata Kreo dikategorikan sebagai kata benda melalui proses fiksasi


atau penyembuhan. Kata kreo diambil dari reh dalam bahasa Jawa
Kuna secara leksikal yang berarti tetap (kata imperatif) kemudian
ditambah dengan awalan [ke-] menjadi alomorf /k-/ karena bentuk
dasarnya diawali dengan fonem /r/ dan kemudian ada fonem vokal.
sehingga menjadi kreo.

Makna budaya kreo dalam konteks TSR adalah penamaan gua


sebagai penetapan SK. Pada saat SK bertapa, ia didatangi kera merah,
putih, hitam, dan kuning yang membantu membersihkan kayu Jati
yang tersangkut di bebatuan sungai. Ketika monyet ingin mengikuti
SK ke Demak, dia menolak dan menunjuk monyet untuk mangreha
“menjaga” daerah sekitar gua Kreo untuk cucu-cucunya.

Tahlilan [tahlilan]

Tahlilan dikategorikan sebagai kata kerja melalui proses fiksasi atau


penyembuhan. Tahlilan dari kata dasar tahlil secara leksikal berarti
pembacaan ayat-ayat suci Al- Qur'an untuk memohon ampunan dan
ampunan bagi arwah orang yang telah meninggal. Kata tahlilan
memperoleh akhiran [-an] dan menjadi suatu keharusan. Oleh karena
itu, makna gramatikal dari kata tahlilan berarti pembacaan ayat-ayat
suci untuk arwah orang yang telah meninggal. Makna budaya tahlilan
dalam komunitas GNP dalam ritual TSR adalah memohon
keselamatan kepada Tuhan dan mencapai tujuan menyelamatkan
kelestarian alam semesta di KC.

Bentuk Polimorfemik: Komposisi

Jatingaleh [jatIÿalÿh]

Kata Jatingaleh termasuk dalam bentuk kata benda. Secara leksikal,


kata Jatingaleh dibentuk berdasarkan dua kata dasar, yaitu kata Jati
“pohon jati” dan ngaleh “pindah tempat”. Arti budaya Jatingaleh
adalah nama tempat yang diberikan oleh SK. Seperti cerita rakyat
yang diketahui, Jatingaleh mengacu pada SK yang menebang pohon
Jati dan pohon itu tiba-tiba pindah. Dengan demikian, tempat itu
disebut Jatingaleh.

Gunungan Sega Kethek [gUnUÿan sÿgÿ kÿ?ÿk] Gunungan sega


kethek adalah bentuk frase kata benda. Frasa gunungan sega kethek
secara leksikal berasal dari gabungan kata gunungan “menyerupai
gunung” dan sega kethek “nasi monyet”. Makna budaya gunungan
sega kethek dalam konteks ritual TSR adalah sesaji nasi kera yang
dibentuk menyerupai gunung. Sega kethek

berisi nasi gudhangan yang diberikan oleh masyarakat GNP kepada


SK selama perjalanan ke Demak. sega kethek berisi nasi, lauk ikan
asin, tempe, dan tahu, serta aneka sayur yang direbus dengan kuah
kelapa parut yang dibungkus daun jati.

Gunungan Buah-buahan [gUnUÿan buah-bUahan] Gunungan buah-


buahan adalah bentuk frase kata benda. Frasa gunungan buah-buah
secara leksikal berasal dari

gabungan kata gunungan “menyerupai gunung” dan buah- buahan


“buah”. Makna budaya gunungan buah-buahan

dalam ritual TSR adalah salah satu “alat sesaji” ubarampe yang berisi
sejumlah buah hasil tanaman swadaya masyarakat GNP yang
didedikasikan khusus untuk koloni kera ekor panjang yang hidup di
sekitar KC.

Gunungan Palawaija [gUnUÿan pÿlÿwIjÿ]

Bentuk frase gunungan palawija merupakan bentuk frase kata benda.


Frasa gunungan palawija secara leksikal diambil dari kombinasi
gunungan

“menyerupai gunung” dan palawija “tanaman selain padi seperti


kacang panjang, jagung, dan ubi”. Makna budaya gunungan palawija
dalam ritual TSR adalah salah satu “sesajen” ubarampe yang berisi
sejumlah buncis, jagung, dan ubi yang dibentuk menyerupai gunung
sebagai persembahan bagi kera di sekitar KC. Gunungan palawija
merupakan ungkapan rasa syukur atas kekayaan alam yang melimpah.

Gunungan palawija dianggap sebagai pembawa berkah karena


mengandung simbol kemakmuran.

Gunungan Kupatan [gUnUÿan kUpatan]


Bentuk frase gunungan kupatan merupakan bentuk dari frase kata
benda. Ungkapan gunungan kupatan berasal dari gabungan kata
gunungan “menyerupai gunung” dan kupat “makanan yang terbuat
dari nasi dan ditempatkan dalam anyaman daun kelapa berbentuk segi
empat kemudian direbus Kata kupat artinya memiliki arti ngaku lepat
'mengakui kesalahan' dan laku papat 'empat.

tindakan'. Pada saat Idul Fitri, masyarakat Jawa khususnya melakukan


sungkeman, seorang anak meminta maaf kepada orang tua. Tradisi ini
memberikan pesan untuk

selalu menghormati orang tua, memohon ridho dan hidayah karena


yang tua dianggap lebih berpengalaman dalam

menjalani setiap lini kehidupan. Amalan papat 'empat perbuatan'


menurut Sunan Kalijaga mengandung istilah lebaran 'hari
kemenangan', luberan 'melimpah', leburan 'lebur', dan laburan
'bersih'.

Idul Fitri adalah hari kemenangan dan hari raya Idul Fitri bagi umat
Islam. Luberan artinya melimpah dan

melambangkan bahwa pada hari itu kemenangan setiap orang yang


mampu mengeluarkan zakat kepada fakir miskin agar harta kita
menjadi suci. Leburan artinya melebur atau menjadi satu, dengan
meminta maaf dan meminta maaf maka orang tersebut akan kembali
fitrah. Laburan berarti dari kata kapur, merupakan benda berwarna
putih yang

dapat menjernihkan benda cair dan memiliki makna simbolis bahwa


seorang muslim harus kembali bening seperti kapur yang menjadi
lambang kelahiran dan kesucian batin.

Makna budaya gunungan kupatan adalah simbol perayaan bulan


Syawal yang bertepatan dengan perayaan hari besar Islam dan
pelaksanaan ritual TSR, melambangkan seseorang berbuat salah
dengan orang lain dan akan kembali fitrah .

Umbul-umbul abang [Umbÿl-Umbÿl abaÿ]

Bentuk frase umbul-umbul abang merupakan bentuk frase kata benda.


Ungkapan umbul-umbul abang secara leksikal digabungkan dari kata
umbul-umbul “bendera warna-warni dipasang mencuat ke atas,
dipasang dengan tujuan untuk memeriahkan suasana dan menarik
perhatian” dan kata abang “merah”. Makna budaya umbul-umbul
abang dalam tradisi TSR adalah lambang salah satu kera yang
membantu SK. Menurut informan bahwa warna merah lambang
warna api melambangkan keberanian, kegigihan, dan semangat.”
Orang Jawa mengartikan warna merah dalam konteks budaya sebagai
darah, dan darah ini dikonotasikan sebagai kelahiran anak yang
berarti kemakmuran.

Umbul-umbul puteh [Umbÿl-Umbÿl putÿh]

Umbul-umbul puteh adalah bentuk frase kata benda.

Secara leksikal, ungkapan umbul-umbul puteh berasal dari gabungan


kata umbul-umbul “bendera warna-warni dipasang mencuat ke atas,
dipasang dengan tujuan untuk memeriahkan suasana dan menarik
perhatian” dan puteh “putih”. Makna budaya umbul-umbul puteh
dalam ritual TSR merupakan simbol salah satu leluhur kera yang
membantu SK. Warna putih merupakan simbol dari warna air yang
melambangkan “kesucian, kebersihan”.

Orang Jawa memaknai warna putih dalam konteks budaya sebagai


simbol kesucian. Dalam struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di
Jawa para abdi dalem disebut dengan pemethakan yang artinya putih.
Abdi dalem 'kerabat kerajaan' yang memakai pakaian putih bertugas
menangani hal-hal yang berkaitan dengan agama.

Umbul-umbul Ireng [Umbÿl-Umbÿl Irÿÿ]

Bentuk frase umbul-umbul ireng merupakan bentuk frase kata benda.


Makna leksikal terdiri dari gabungan kata umbul-umbul

“bendera warna-warni dipasang mencuat ke atas, dipasang dengan


tujuan untuk memeriahkan suasana dan menarik perhatian” dan
tulisan ireng “hitam”. Makna budaya umbul- umbul ireng merupakan
salah satu simbol warna salah satu leluhur kera di KC. Warna hitam
melambangkan warna tanah yang melambangkan “kesadaran”.

Orang Jawa mengartikan hitam sebagai kebijaksanaan dan kesetaraan.


Bijaksana karena dianggap mampu memimpin, dan kesetaraan yang
berarti setinggi apapun jabatan yang dimiliki seseorang jika
meninggal akan menjadi tanah.

Pakaian Jawa merupakan pesa'an hitam yang dikonotasikan dengan


sikap gagah dan pantang menyerah yang merupakan salah satu etos
budaya.

Umbul-umbul kuning [Umbÿl-Umbÿl kUniÿ]

Umbul-umbul kuning adalah bentuk frase kata benda. Secara leksikal


terdiri dari gabungan kata umbul-umbul “bendera warna-warni
dipasang mencuat ke atas, dipasang dengan tujuan untuk
memeriahkan suasana dan menarik perhatian” dan kata kuning
“kuning”. Makna budaya umbul

umbul kuning merupakan salah satu simbol warna leluhur kera di


Kawasan KC. Warna kuning melambangkan warna angin, yaitu
“kesempurnaan”. Orang Jawa mengartikan warna kuning sebagai
kemuliaan, martabat, ketuhanan, kemakmuran dan ketenangan. Pada
upacara slametan , masyarakat Jawa sering menjadikan nasi kuning
sebagai sesajen. Ini adalah simbol memohon keselamatan dari Tuhan.
Keraton Yogyakarta menggunakan warna kuning sebagai warna
payung yang digunakan untuk menaungi makanan dan minuman yang
disajikan kepada para Raja.

Replika Kayu Jati [replika kayU jatI]

Replika kayu jati adalah bentuk frase kata benda. Dalam ritual TSR,
salah satu ubarampe yang disiapkan adalah replika kayu Jati .
Melambangkan Replika Jati

wood bercerita tentang keteguhan SK dalam mencari kayu untuk


dijadikan saka guru “tiang utama” masjid Demak. Filosofi nama kayu
Jati dari kata “benar” melambangkan keaslian dan keuletan hidup.
Selain itu, Jati kayu memiliki karakteristik kayu yang kuat, tahan
terhadap serangan hama, kuat pada perubahan iklim yang ekstrim,
dan tahan terhadap jamur.

Jenang abang [jênaÿ abaÿ]

Jenang abang merupakan salah satu bentuk frasa nomina. Secara


leksikal mengandung kata jenang “sejenis bubur kental” dan abang
“merah”. Arti budaya jenang abang dalam ritual TSR merupakan
simbol permohonan dan penghormatan kepada orang tua agar selalu
diberikan berkah dalam agar aman sepanjang hidup. Selain itu, jenang
abang melambangkan darah merah atau telur dari seorang ibu. Orang
Jawa dikenal dengan budayanya yang ramah, kumpul, dan berbagi.
Jenang bertekstur kenyal dan lengket melambangkan keinginan untuk
saling berbagi dan terhubung.

Jenang puteh [jênaÿ pUtÿh]

Bentuk frasa jenang puteh merupakan bentuk frasa nomina. Jenang


puteh secara leksikal terdiri dari kata jenang “sejenis bubur kental”
dan puteh
"putih." Makna budaya jenang puteh dalam ritual TSR digunakan
sebagai bentuk penghormatan terhadap seorang anak ditujukan
kepada orang tua agar selalu diberikan berkah dan pemuridan agar
dunia selamat.

Bubur putih diibaratkan seperti sperma atau darah putih

sebagai benih seorang ayah. Jenang dipercaya oleh masyarakat Jawa


sebagai penolak bala atau dapat menghindarkan manusia dari
kesialan. Jenang adalah salah satunya. Makanan ini paling sering
digunakan dalam acara selam Jawa.

Selametan dalam tradisi Jawa yang dulunya memberikan jenang


menjadi bentuk kesungguhan manusia dalam mengharapkan kebaikan
dari Tuhan. Selain itu, sekaligus sebagai bentuk doa berdimensi
sosial.

Degan Ijo [dêgan IjO]

Bentuk frase degan ijo merupakan bentuk frase nomina. Secara


leksikal, degan ijo terdiri dari kata degan “kelapa muda” dan ijo
“hijau”. Makna budaya degan ijo dalam konteks ritual TSR berasal
dari istilah deg-degane ati “dapat menghilangkan rasa khawatir di
hati”.

Buah kelapa memiliki air suci yang diharapkan dapat mensucikan


lahir dan batin sehingga orang tersebut dapat lebih mendekatkan diri
kepada Tuhan. Dengan hati yang suci lahir batin seseorang sehingga
lebih mudah untuk mencapai tujuan dalam hidupnya.

Tunggak Jati Amba [tUÿgaK jatI mbÿ]

Frase tunggak jati amba merupakan bentuk frase nomina. Secara


leksikal, tunggak jati amba terdiri dari kata tunggak “bekas pohon
yang ditebang atau akar yang tertinggal” Jati

“kayu jati” amba “luas. Makna budaya yang terkandung dalam

tunggak jati amba adalah nama tempat akar pohon Jati yang melebar
akibat ditebang oleh SK.

Kedhung Curug [kêDUÿ cUrU?]

Kedhung curug adalah bentuk frase kata benda.

Secara leksikal, air terjun terdiri dari kata kedhung “pusaran air” dan
curug “aliran”. Makna budaya kedhung curug adalah nama bagian
sungai yang terdalam di sekitar KC yang memiliki kedalaman 15
meter. Tempat tersebut terbentuk dari kayu Jati yang ditinggalkan SK
di sungai karena tersangkut di tebing sungai.

Pring Krincing [prIÿ krIncIÿ]

Pring krincing adalah bentuk frase kata benda. Secara leksikal, pring
krincing terdiri dari gabungan kata pring “pohon bambu” dan
krincing “bunyi”. Itu Arti budaya pring krincing adalah nama pohon
bambu yang memiliki aroma seperti sate kambing.

Mulai saat itu, tusuk sate yang dibuang oleh SK berbunyi krincing
kemudian tumbuh menjadi pohon bambu yang berbau sate kambing.

Tegal Sikendhil [têgal sIkênDIl]

Frase tegal sikendhil merupakan bentuk dari frase nomina. Secara


leksikal terdiri dari kata tegal “ladang” dan kendhil “tempat nasi”.
Signifikansi budaya tegal sikendhil dimulai ketika SK membuang
kendhil ke arah utara yang merupakan lapangan di sekitar KC hingga
tempat tersebut diberi nama tegal sikendhil.

Pola Pikir Masyarakat Gunungpati Tentang Istilah Tradisi Sesaji


Rewanda di Goa Kreo Pola pikir dan cara

pandang masyarakat Jawa di GNP memiliki ciri khas tersendiri dan


menjadi identitas masyarakat. Pola pikir

tersebut tergambar jelas dalam prosesi tradisi dan adat istiadat yang
memiliki ciri khas yang membedakan dengan masyarakat Jawa
lainnya. Pola pikir masyarakat GNP tercermin dari istilah leksikon
yang digunakan dalam ritual TSR sebagai penetapan SK.

Prosesi tradisi Rewanda sangat disakralkan dan diikuti oleh sebagian


masyarakat Desa Kandri sebagai bentuk penghormatan terhadap
Sunan Kalijaga. Pada saat tradisi berlangsung dan masyarakat sekitar
berkumpul dan bersiap di depan Masjid Al-mabrur yang terletak
dekat dengan Goa Kreo. Setelah rombongan siap di Masjid Al
mabrur, mereka berbaris. Ada 6 orang membawa replika kayu Jati , 4
orang membawa gunungan 4 dan lainnya membawa alat sesaji.
Seluruh rombongan mengenakan pakaian adat Jawa dan siswa
lainnya.

Rombongan yang tertata dan tertib dalam prosesi menuju Goa Kreo
yaitu (1) pembawa umbul umbul abang, puteh, ireng, kuning; (2)
membawa gunungan; (3) pembawa tumpeng sesaji, jenang abang,
jenang puteh, degan ijo; (4) kelompok dan siswa. Rombongan
berparade ke Goa Kreo dengan penuh kearifan dan melakukan poso
meneng “cepat senyap” selama perjalanan menuju Goa Kreo. Sesaji
berupa gunungan buah-buahan, gunungan palawija, gunungan
kupatan dibawa ke halaman Joglo dekat KC untuk dipersembahkan
kepada leluhur kera yaitu Eyang Rewanda yang dipimpin oleh
penjaga gerbang KC Pak Sumar (80 tahun).

Setelah sesaji gunungan diserahkan, kera-kera berbondong-bondong


turun untuk menerima sesajen dengan riuh. Kemudian masyarakat
melanjutkan pendakian menuju puncak Goa Kreo berkumpul
melingkar di lokasi batu lingga-yoni atau biasa disebut batu thenger
“batu tanda” yang berada di atas Goa Kreo untuk melakukan prosesi
selanjutnya yaitu pembacaan Kidung Rumeksa ing Wengi, Tembang
Lir-Ilir, sejarah tahlilan Goa Kreo dan doa. Dari analisis kajian
etnolinguistik dalam ritual TSR sebagai penetapan SK, ditemukan
beberapa istilah leksikon berupa ubarampe “sarana upacara ritual”.
dan penamaan suatu benda yang dikenal dengan penetapan SK dalam
pencarian kayu Jati sebagai saka guru “tiang utama” masjid Demak.

Kearifan lokal masyarakat GNP tercermin dalam istilah dan leksikon


dalam proses ritual TSR sebagai penentuan SK tentang pola pikir, dan
cara hidup.

 Kekuatan penelitian ini adalah sebuah kajian yang


mengangkat cerita rakyat serta sebuah tradisi yang berkembang di
Gunungpati, Semarang. Tentunya sangat berguna untuk masyarakat
umum khususnya masyarakat sekitar tentang asal-usul tradisi tersebut
serta memberikan pemahaman mengenai arti dari simbol dalam tradisi
Kekuatan tersebut dengan berbagai teori yang digunakan.
Penelitian

 Dalam penelitian tersebut perlu adanya analisis komodifikasi


mengingat perubahan gaya hidup dan cara hidup yang diakibatkan
dari pandemi Covid-19.
 Apakah terdapat perbedaan pelaksanaan tradisi tersebut
Kelemahan ataukah sama pelaksanaanya dalam masa Pandemi Covid-19
Penelitian

Kesimpulannya, data yang ditemukan berupa leksikon termasuk


kategori monomorfemik, terdiri dari Rewanda dan tumpeng. Rewanda
adalah kategori kata benda atau nominal. Rewanda secara leksikal
berasal dari bahasa Jawa yang berarti “monyet”. Tumpeng
dikategorikan sebagai kata benda. Arti kata tumpeng secara leksikal
Kesimpulan dalam bahasa Jawa berarti nasi yang disajikan dalam bentuk tumpeng
yang dilengkapi dengan pitu “tujuh” lauk yang dimaksudkan sebagai
pitulungan, memohon pertolongan kepada Tuhan. Kategori
polimorfemik melibatkan afiksasi dan komposisi. Afiksasi meliputi
kreo dan tahlilan. Kata Kreo dikategorikan sebagai kata benda. Kata
tahlilan dikategorikan sebagai kata kerja. Tahlilan dari kata dasar
tahlil secara leksikal berarti pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an
untuk memohon ampunan dan ampunan bagi arwah orang yang telah
meninggal. Kata Jatingaleh termasuk dalam bentuk kata benda.
Gunungan sega kethek adalah bentuk frase kata benda.
Gunungan buah-buahan adalah bentuk frase kata benda. Bentuk frase
gunungan kupatan merupakan bentuk dari frase kata benda. Bentuk
frase umbul umbul abang merupakan bentuk frase kata benda.
Umbul umbul puteh adalah bentuk frase kata benda. Bentuk
frase umbulumbul ireng merupakan bentuk frase kata benda. Umbul-
umbul kuning adalah bentuk frase kata benda.Replika kayu jati adalah
bentuk frase kata benda. Jenang abang merupakan salah satu bentuk
frasa nomina. Bentuk frasa jenang puteh merupakan bentuk frasa
nomina. Bentuk frase degan ijo merupakan bentuk frase nomina.
Kedhung curug adalah bentuk frase kata benda.Pring krincing adalah
bentuk frase kata benda. Frase tegal sikendhil merupakan bentuk dari
frase nomina. Pola pikir masyarakat GNP Jawa dalam ritual TSR
merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan kesejahteraan dan hasil bumi bagi masyarakat
GNP. Melalui ritual TSR, masyarakat diingatkan untuk menjalin
hubungan yang harmonis antara sesama makhluk dan alam dengan
menjadikan cerita rakyat KC sebagai kutipan SK tentang upaya
menemukan kayu Jati untuk membangun masjid Demak sebagai
contoh. Selain itu, secara filosofis sebagai sistem kerjasama atau
pembentuk rasa kebersamaan, dapat meningkatkan kualitas
keyakinan, dapat mewujudkan kesamaan persepsi terhadap
pelaksanaan suatu tradisi.

Anda mungkin juga menyukai