Anda di halaman 1dari 4

Relevasi Film “The Gods Must Be Hungry” dalam Keberadaan

Budaya Tradisi Lokal di Indonesia

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kebudayaan Indonesia

Dosen Pengampu: Yusana Sasanti Dadtun, S.S.,M.Hum

Oleh:

Dian Pujiastuti

B0223022

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2023
Budaya pada hakekatnya merupakan hasil perpaduan antara budi dan
daya dari manusia yang mencerminkan nilai-nilai dari diri manusia.
Menurut (Darmansyah, 1986:59) masyarakat dan kebudayaan ibarat dua
sisi mata uang, satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Kepercayaan
terhadap kekuatan gaib terbentuk menjadi sistem simbol yang bertindak
untuk menetapkan dorongan hati dan memotivasi dengan sangat kuat dan
bertahan lama dalam diri manusia dengan cara memfonnulasi berbagai
konsep tentang tatanan umum diri yang hidup dengan aura faktualitas
sehingga dorongan hati dan motivasi itu tampak sangat realisris (Thohir :
2006).

Menurut Sensus 2020, Taoisme menjadi religi yang di anut oleh 8,8%
dari seluruh populasi negara Singapura. Penganut Tao dan multi agama di
Singapura mengadakan penyembahan terhadap roh-roh nenek moyang
mereka. Mereka juga menyembah pada dewa untuk keselamatan mereka.
Dalam film “The Gods Must Be Hungry”, ditayangkan tiga macam upacara
keagamaan yang sakral. Upacara pertama adalah upacara sakral yang
dilakukan oleh masyarakat Singapura penganut Tao di kuil Xian Gu.
Upacara kedua adalah Perayaan Thaipusam yang dilakukan oleh 4%
masyarakat Singapura penganut agama Hindu. Upacara tersebut dilakukan
untuk memperingati keberanian Dewa Murugan. Tujuan dari upacara ini
adalah untuk menunaikan nazar dan menebus dosa atapun memohon
ampun atas dosa-dosa yang telah di lakukan selama ini. Pada hari
Thaipusam ini mereka akan membawa susu berwarna putih yang dijunjung
di atas kepala dari luar kuil hingga ke dalam kuil. Berbagai cara menyiksa
diri menunjukkan permohonan ampun mereka dalam perjalanan menemui
patung Dewa Murugan. Upacara ketiga adalah upacara peringatan hari
ulang tahun Kaisar Batu Giok penguasa surge dan semua alam lain di
bawahnya, termasuk alam manusia dan neraka. Upacara tersebut juga
dilakukan oleh masyarakat penganut Tao kepada Kaisar Giok yang
memimpin semua alam makhluk hidup. Mereka melakukan upacara
tersebut untuk meminta sesuatu kepada sang Dewa dan memohon
pengampunan dosa kepada-Nya.

Di Indonesia sendiri juga masih ada penyembahan terhadap


kepercayaan yang ada salah satunya yaitu Upacara Mahesa Lawung yang
diadakan oleh Keraton Kasunanan Surakarta di desa Krendowahono
Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Upacara adat Mahesa Lawung
sendiri merupakan sebuah tradisi turun-temurun yang ada sejak era
dinasti Mataram dengan cara mengubur kepala kerbau di hutan
Krendowahono. Mahesa Lawung juga berarti upacara meminta keselamatan
kepada Tuhan yang diadakan setahun sekali dan masih bersifat sakral
karena diikuti oleh sejumlah pengangeng parentah keraton, abdi dalem,
maupun kerabat keluarga keraton.

Upacara Mahesa Lawung dalam bahasa jawa Mahesa berarti kerbau,


sedangkan Lawung berarti jantan, liar dan belum pernah kawin. Mahesa
Lawung dilakukan setiap hari Senin atau Kamis di Rabiul Akhir atau bulan
keempat dalam kalender Jawa. Dalam pemahamannya penguburan kepala
kerbau memiliki filosofi yaitu sebagai persembahan kepada Betari Durga,
selain itu juga sebagai simbol penguburan kebodohan, dan bertujuan
membuang sial atau sifat buruk manusia melalui penguburan kepala
kerbau. Digunakannya kerbau pada jaman dahulu karna jumlah kerbau
pada jaman dahulu sangat banyak. Konon, Punden Krendowahono
dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Betari Durga. Selain itu Punden
Krendowahono juga dipercaya sebagai salah satu dari 4 penjuru penting, di
antaranya adalah timur = Gunung Lawu , selatan = Pantai Selatan /
Kanjeng Ratu Kencono Sari atau Kencono Wungu, barat = Gunung Merapi /
Kanjeng Ratu Kedathon, utara = punden di Krendowahono /Betari Durga.

Dalam pelaksanaan ritual tradisi Mahesa Lawung memiliki berbagai


ketentuan dan syarat untuk sesajinya. Dibutuhkan ayam panggang, kelapa
muda, nasi putih, bunga tujuh rupa dan kepala kerbau yang masih
dibungkus kain putih. Untuk sesaji utama yaitu Kerbau yang digunakan
sebagai syarat sesaji dalam tradisi ritual sesaji Mahesa Lawung merupakan
kerbau umbaran, masih muda, perjaka, serta belum digunakan tenaganya
untuk keperluan manusia. Proses pengolahan sesaji sendiri wajib diolah
dan di persiapkan di dalem Gondorasan yang merupakan dapur Karaton
Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Selain itu dihadirkan pula sesajen
berupa Lele Sajodho Kendhil yang digunakan untuk menaruh sepasang
ikan lele tersebut harus diisi dengan air sungai tempukan atau tempuran
yaitu air yang diambil dari pertemuan dua arus sungai.

Dari kedua kebudayaan di atas, ada dua kesamaan yaitu ritual ini selalu
dilakukan sebagai rasa syukur, serta melestarikan budaya leluhur yaitu
sebagai persembahan kepada para Dewa Dewi. Upacara adat semacam ini
sudah minim perhatian dari generasi muda, oleh karena itu hal ini layak
untuk dijadikan bahan referensi sebagai pembuatan film dokumenter yang
bersifat edukatif dan bermanfaat untuk meneruskan kelestarian budaya di
Indonesia ini sebagai pembentuk karakter bangsa yang berbudaya.

Referensi

Restu.2015. Bentuk, Makna, Dan Fungsi, Sesaji Mahesa Lawung Dalam


Tradisi Ritual Di Keraton Surakarta Hadiningrat. Fakultas Budaya dan Seni.
Universitas Negeri Semarang. Semarang.

https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=2094

https://sipadu.isiska.ac.id/mhsw/laporan/laporan_5689190128094708.pdf

Anda mungkin juga menyukai