Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mantra dan acara kenduri memiliki ikatan cukup kuat dalam kehidupan

masyarakat Jawa. Kenduri merupakan tradisi selamatan dengan berdoa bersama yang

dihadiri para tetangga dan dipimpin oleh tokoh agama atau pemuka adat yang dituakan

di satu lingkungan tertentu (Susanti, 2017: 490). Salah satu tradisi yang masih lestari

di masyarakat adalah mantra kenduri nyambung tuwuh tingkepan. Acara kenduri

tersebut dilakukan dalam rangka memeringati tujuh bulan kehamilan seseorang.

Mantra kenduri nyambung tuwuh tingkepan tersebut masih dilestarikan dalam tradisi

Islam-Kejawen di Desa Buntaran, Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung

Jawa Timur.

Mantra merupakan salah satu bentuk dari sastra lisan yang sampai saat ini

digunakan dan dilestrarikan di masyarakat. Dengan keberadaan tradisi penuturan lisan,

secara tidak langsung mendukung tradisi lisan tetap hidup dan eksis di kalangan

masyarakat seperti upacara rakyat, cerita rakyat, kesenian dan permainan rakyat

(Sulistyorini dan Andalas, 2017: 4). Pembacaan sastra lisan atau mantra pada acara

kenduri dituturkan oleh seseorang yang dianggap sebagai sesepuh desa ataupun orang

yang dituakan. Artinya mantra yang berkembang di masyarakat merupakan bagian dari

tradisi leluhur dalam bentuk sastra lisan.

Mantra atau sastra lisan dituturkan oleh sesepuh desa dan diwariskan kepada

generasi selanjutnya dengan cara lisan. Tradisi lisan merupakan bagian dari

1
2

kebudayaan yang diwariskan turun-temurun secara lisan sebagai milik bersama

(Endraswara, 2005: 2). Artinya mantra dilestarikan secara lisan oleh penuturnya

kepada generasi selanjutnya dengan medium bahasa. Pewarisan tersebut dilakukan

dengan orang yang dipercaya oleh penutur sebagai bentuk regenerasi.

Dalam penuturan mantra atau sastra lisan pastinya memiliki tujuan-tujuan yang

tersemat didalamnya. Menurut Ahmadi (dalam Bahardur dan Ediyono, 2017: 26)

mantra merupakan bagian dari magis yang memiliki tujuan; produktif (bertujuan

menghasilkan, menambah kemakmuran seseorang), protektif (bertujuan melindungi

sesuatu dari hal-hal yang tidak diinginkan), destruktif (bertujuan menimbulkan

kerusakan bencana). Keberadaan mantra ini dapat dikatakan sebagai cerminan

animisme dan dinamisme masyarakat pemiliknya, serta keyakinan akan kekuatan

magis.

Pada tradisi masyarakat Buntaran, mantra dalam acara kenduri telah

berkembang sejak jaman dulu dan masih sering dilakukan sampai saat ini. Pertunjukan

atau penuturan sastra lisan tidak mungkin ada tanpa adanya konteks yang

melatarbelakangi kemunculannya (Pratiwi dkk, 2017: 114). Konteks penuturan mantra

selalu berdampingan dengan sebuah acara dalam hal ini adalah kenduri. Kemunculan

sastra lisan ini terpengaruh dengan budaya lama yang saat ini masih digunakan dalam

kepercayaan Islam-Kejawen.

Pada masyarakat tertentu memiliki kebiasaan yang berbeda-benda pula

tentunya. Menurut Sulistyorini (2017: 2) Masing-masing daerah pastinya mempunyai

karakteristik tradisi ataupun budaya yang tidak sama dengan daerah lainnya.

Keberagaman tersebut menjadi salah satu hal sastra lisan menarik untuk dikaji. Seperti
3

halnya kebudayaan dalam Desa Buntaran yang masih sangat kental dengan tradisi

Islam-Kejawennya. Hal tersebut terlihat dari kebiasaan yang masih dilakukan

masyarakat seperti gendoren (kenduri), metri, peringatan siklus hidup (dari hidup

sampai meninggal), dan nyambung tuwuh tingkepan (selamatan tujuh bulan

kehamilan). Kegiatan-kegiatan tersebut selalu menggunakan mantra Jawa yang

dicampur dengan doa dalam Islam, salah satunya adalah nyambung tuwuh tingkepan.

Pada peringatan tersebut diawali dengan membawa makanan dari dapur ke

tempat acara (biasanya ruang tamu). Dengan syarat orang yang membawa makanan

tersebut tidak boleh langsung berbalik kembali ke dapur, akan tetapi harus lurus keluar

rumah kemudian berbalik ke dapur lewat bagian samping rumah. Berbagai macam

menu masakan dan jajanan yang harus ada dalam acara nyambung tuwuh tingkepan,

diantaranya urapan dengan tujuh macam sayuran, ayam ingkung, nasi gurih, telur

ayam, sambal goreng, (kluweh) labu siam, kacang rebus, ubi rebus jenang merah,

jenang putih, rujak serut, nogo sari, pipis, dan pisang.

Setelah makanan dan jajanan telah diletakkan di tempat prosesi kenduri, ada

sebuah ritual ketika sesepuh desa menuturkan mantra dan hampir selesai, orang yang

berada di samping pintu bertugas untuk melemparkan kendil yang terbuat dari tanah.

Kendil tersebut berisi beras beserta pisang yang diambil dari dalam dan kemuadian

kendil tersebut dilempar ke tanah sampai pecah, kemudian dilanjutkan dengan

membaca doa secara Islam yang dipimpin pula oleh sesepuh desa. Acara kenduri

dilanjutkan dengan membagi makanan yang ada dalam wadah-wadah besar ke dalam

rege sesuai wadah yang disediakan pemilik hajat dan dibagikan. Para undangan yang
4

datang ketika pulang tidak boleh atau dianjurkan tidak berjabat tangan dengan pemilik

hajat langsung meninggalkan tempat kenduri.

Peneliti dalam hal ini mengkaji mantra nyambung tuwuh tingkepan dari aspek

makna semiotika. Acara kenduri nyambung tuwuh tingkepan di Desa Buntaran

memiliki banyak sekali makna tersembunyi di dalamnya, dari segi mantra maupun

prosesi ritual yang sampai saat ini masih rutin dilakukan. Makna dari mantra tersebut

menarik dikaji karena didalamnya mengandung pesan moral seperti nilai kebersamaan,

guyub rukun, menghargai jasa leluhur, dan berbagi kepada sesama. Manfaat dari

mengkaji mantra nyambung tuwuh tingkepan juga sangat menarik untuk dipelajari

karena masih terkait dengan kearifan lokal yang ada di Desa Buntaran.

Pentingnya penelitian dilakukan untuk mengetahui secara mendalam makna

pada mantra nyambung tuwuh tingkepan yang masih hidup di masyarakat desa

Buntaran. Kemudian mengetahui makna dari mantra yang dibalut dengan serangkaian

prosesi ritual yang dipimpin langsung oleh sesepuh desa. Selain itu, dengan melakukan

penelitian ini dapat menjaga dan melestarikan budaya lokal yang dikemudian hari akan

ditinggalkan. Dengan menuliskan semua data yang ada akan membuat mantra ini tidak

akan punah dan tetap abadi. Hal ini selaras dengan ungkapan (Purwaningsih, 2007:

145) masyarakat Jawa pada dasarnya merupakan masyarakat yang masih

mempertahankan tradisi upacara, ritual, dan budaya apapun yang berkaitan dengan

peristiwa alam. Pengkajian sastra lisan atau mantra menarik dan penting untuk diteliti

karena di dalamnya tersirat suatu nilai luhur dan keagungan budaya tertentu. Kemudian

pengkajian sastra lisan merupakan wujud rasa peduli dari seseorang untuk berperan

serta dalam melestarikan dan menjaga sastra lisan tetap eksis keberadaannya.
5

Penelitian serupa sebelumnya pernah dilakukan, yang pertama oleh Imam

Baihaqie (Baehaqie: 2017: 206-214) yang memfokuskan pada makna semiotis

makanan dan jajanan yang ada pada acara selamatan tingkepan di Dukuh Pelem. Dari

hasil penelitian menunjukkan adanya beberapa macam makanan yang disajikan dalam

acara tingkepan seperti aneka jenang baro-baro, procot, aneka tumpeng bathok bolu,

playon, pitu, aneka sega gendhong, sega rogoh, dan sega guyeng. Kedua oleh Septiana

Purwaningrum dan Habib Ismail. Fokus penelitian untuk mengetahui implementasi dan

nilai yang terkandung dari budaya Telonan dan Tingkepan di Dusun Kunti Desa

Mranggen Kecamatan Purwoasri Kabupaten Kediri Jawa Timur (Purwaningrum dan

Habib 2019: 34-39). Hasil penelitian menujukkan 1) telonan dilakukan pada usia tiga

bulan kehamilan dan tingkepan dilaksanakan pada saat usia kandungan mencapai tujuh

bulan. 2) disajikan banyak sekali jenis makanan adat Jawa diantaranya pisang

setangkep, dawet, buceng ketan, sega rogoh, keleman, sega golong, rujak, jenang putih

dan jenang merah. 3) Nilai-nilai yang tergambar dalam acara telonan maupun

tingkepan yakni nilai kerukunan antar umat manusia, tolong menolong, nilai

silaturahmi, nilai hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama manusia. Ketiga oleh

Sa'adah (2015, 125) yang berfokus pada muatan dakwah dalam tradisi tingkeban.

Hasilnya menunjukkan media dakwah yang tepat memuat kaya akan kebudayaan,

ungkapan rasa syukur, doa, mempererat ukhuwah Islamiyah, dan sedekah.

Persamaan dengan penelitian sebelumya adalah penelitian ini akan membahas

mengenai tradisi tingkepan masyarakat Jawa. Perbedaan penelitian ini dengan ketiga

penelitian di atas terteletak pada objek kajian dan fokus penelitian. Objek penelitian ini

adalah ritual kenduri nyambung tuwuh tingkepan yang ada di Desa Buntaran,
6

Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung. Kemudian fokus penelitian ini

mengkaji bentuk dan makna mantra kenduri nyambung tuwuh tingkepan. Prosesi ritual

dan berbagai pernak-pernik makanan serta konteks penuturan mantra akan menjadi

kajian yang tidak bisa dilepaskan dari tuturan mantra tersebut. Tentunya dengan adanya

penelitian ini diharapkan dapat melestartikan budaya dan keeksisan mantra itu sendiri

dalam masyarakat. Dengan demikian, penelitian ini sangat menarik dan penting untuk

dilakukan. Maka penelitian ini berjudul Mantra Kenduri Nyambung Tuwuh Tingekepan

pada Masyarakat Desa Buntaran Kabupaten Tulungagung Jawa Timur.

Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika dengan menggunakan teori

Roland Barthes. Semiotika adalah suatu ilmu atau metodeanalisis untuk mengkaji

sebuah tanda, yang pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan

memaknai suatu hal (John, dkk, 2017: 36). Tanda merupakan tujuan utama dari kajian

semiotika yang di dalamnya memberikan makna tersendiri. Roland Barthes juga

mengemukanan adanya makna denotasi dan konotasi yang digunakan dalam

menganalisis suatu tanda.

Dengan demikian penelitian ini akan berfokus pada kajian transkrip dan makna

mantra nyambung tuwuh tingkepan di Desa Buntaran Kecamatan Rejotangan

Kabupaten Tulungagung Jawa Timur. Dengan fokus dan masalah penelitian yang telah

dijabarkan di atas, sastra lisan merupakan warisan turun-temurun yang harus

dilestarikan. Sastra lisan harus dijaga dengan cara ditulis, didokumentasikan,

dipublikasikan, dan dilestarikan agar dapat dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya.

Selain itu, agar sastra lisan tetap eksis keberadaannya dan dikenal masyarakat luas

sebagai salah satu bentuk kekayaan budaya Indonesia yang patut dibanggakan.
7

1.2 Rumusan Masalah

Dari berbagai permasalahan yang telah diuraikan, penelitian ini akan

mengangkat rumuskan masalah sebagai berikut.

1.2.1 Bagaimana transkrip tuturan mantra kenduri nyambung tuwuh tingkepan pada

masyarakat Desa Buntaran Kabupaten Tulungagung?

1.2.2 Bagaimana makna mantra kenduri nyambung tuwuh tingkepan pada masyarakat

Desa Buntaran Kabupaten Tulungagung?

1.3 Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah yang telah disusun sebelumnya, penelitian ini memiliki

tujuan penelitian sebagai berikut.

1.3.1 Mendeskripsikan transkrip tuturan mantra kenduri nyambung tuwuh tingkepan

pada masyarakat Desa Buntaran Kabupaten Tulungagung.

1.3.2 Mendeskripsikan makna mantra kenduri nyambung tuwuh tingkepan pada

masyarakat Desa Buntaran Kabupaten Tulungagung.

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan manfaat tentang

sastra lisan baik secara teoritis maupun praktis, adapun manfaatnya sebagai berikut.

a. Secara teoretis, diharapkan penelitian ini dapat membantu dan memberikan

sumbangsih bagi pengembangan konsep atau teori-teori dalam penelitian sastra


8

lisan, khususnya pada penelitian transkrip dan makna mantra yang ada di

masyarakat. Penelitian ini dapat memberikan dan memperkaya ilmu pengetahuan

tentang berbagai macam kajian sastra lisan. Selain itu, bisa memberikan referensi

tambahan yang dapat digunakan peneliti lain dalam membedah penelitian yang

berfokus pada sastra lisan.

b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru bagi

masyarakat atau pembaca secara langsung mengenai transkrip dan makna mantra

kenduri nyambung tuwuh tingkepan di Desa Buntaran. Wawasan tersebut dapat

dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun penelitian mengenai kajian

sastra lisan yang hidup dan berkembang di masyarakat. Kajian ini dapat digunakan

dalam mengembangkan penelitian sejenis agar kajian sastra lisan semakin banyak

dan memberikan manfaat nyata kepada masyarakat.

1.5 Definisi Operasional

Definisi operasional dalam penelitian yang digunakan sebagai upaya

menyamakan persepsi dan memahami lebih mendalam tentang konsep-konsep

penelitian yang diamati.

a. Mantra merupakan salah satu bagian dari sastra lisan yang pewarisannya dilakukan

secara lisan melalui medium bahasa (Sulistyorini, 2017: 4).

b. Masyarakat Jawa pada dasarnya merupakan masyarakat yang masih

mempertahankan tradisi luhur seperti upacara, ritual, dan budaya apapun yang

berkaitan dengan peristiwa alam (Purwaningsih, 2007: 145).


9

c. Kenduri merupakan acara yang dilakukan masyarakat Jawa dalam memperingati

suatu hal tertentu misalnya slametan, syukuran, memperingati siklus kelahiran dan

kematian (Susanti, 2017: 490).

d. Kenduri nyambung tuwuh tingkepan merupakan ritual yang dilakukan masyarakat

Jawa untuk memeringati tujuh bulan kehamilan calon ibu. Tujuannya adalah agar

calon ibu dan calon bayi diberikan kelancaran dan keselamatan (Rifa’i, 2017: 29).

e. Semiotika merupakan bidang ilmu yang mengkaji tanda pada suatu fenomena yang

terjadi di sekitar (John, dkk, 2017: 36), (Sulistyorini, 2017: 41).

f. Sastra lisan memiliki ciri-ciri yakni terikat konteks penuturan, adanya kontak antara

penutur dan pendengar, dan bersifat anonim (Muslim, 2011: 127).

Anda mungkin juga menyukai