PENDAHULUAN
Mantra dan acara kenduri memiliki ikatan cukup kuat dalam kehidupan
masyarakat Jawa. Kenduri merupakan tradisi selamatan dengan berdoa bersama yang
dihadiri para tetangga dan dipimpin oleh tokoh agama atau pemuka adat yang dituakan
di satu lingkungan tertentu (Susanti, 2017: 490). Salah satu tradisi yang masih lestari
Mantra kenduri nyambung tuwuh tingkepan tersebut masih dilestarikan dalam tradisi
Jawa Timur.
Mantra merupakan salah satu bentuk dari sastra lisan yang sampai saat ini
secara tidak langsung mendukung tradisi lisan tetap hidup dan eksis di kalangan
masyarakat seperti upacara rakyat, cerita rakyat, kesenian dan permainan rakyat
(Sulistyorini dan Andalas, 2017: 4). Pembacaan sastra lisan atau mantra pada acara
kenduri dituturkan oleh seseorang yang dianggap sebagai sesepuh desa ataupun orang
yang dituakan. Artinya mantra yang berkembang di masyarakat merupakan bagian dari
Mantra atau sastra lisan dituturkan oleh sesepuh desa dan diwariskan kepada
generasi selanjutnya dengan cara lisan. Tradisi lisan merupakan bagian dari
1
2
(Endraswara, 2005: 2). Artinya mantra dilestarikan secara lisan oleh penuturnya
Dalam penuturan mantra atau sastra lisan pastinya memiliki tujuan-tujuan yang
tersemat didalamnya. Menurut Ahmadi (dalam Bahardur dan Ediyono, 2017: 26)
mantra merupakan bagian dari magis yang memiliki tujuan; produktif (bertujuan
magis.
berkembang sejak jaman dulu dan masih sering dilakukan sampai saat ini. Pertunjukan
atau penuturan sastra lisan tidak mungkin ada tanpa adanya konteks yang
selalu berdampingan dengan sebuah acara dalam hal ini adalah kenduri. Kemunculan
sastra lisan ini terpengaruh dengan budaya lama yang saat ini masih digunakan dalam
kepercayaan Islam-Kejawen.
karakteristik tradisi ataupun budaya yang tidak sama dengan daerah lainnya.
Keberagaman tersebut menjadi salah satu hal sastra lisan menarik untuk dikaji. Seperti
3
halnya kebudayaan dalam Desa Buntaran yang masih sangat kental dengan tradisi
masyarakat seperti gendoren (kenduri), metri, peringatan siklus hidup (dari hidup
dicampur dengan doa dalam Islam, salah satunya adalah nyambung tuwuh tingkepan.
tempat acara (biasanya ruang tamu). Dengan syarat orang yang membawa makanan
tersebut tidak boleh langsung berbalik kembali ke dapur, akan tetapi harus lurus keluar
rumah kemudian berbalik ke dapur lewat bagian samping rumah. Berbagai macam
menu masakan dan jajanan yang harus ada dalam acara nyambung tuwuh tingkepan,
diantaranya urapan dengan tujuh macam sayuran, ayam ingkung, nasi gurih, telur
ayam, sambal goreng, (kluweh) labu siam, kacang rebus, ubi rebus jenang merah,
Setelah makanan dan jajanan telah diletakkan di tempat prosesi kenduri, ada
sebuah ritual ketika sesepuh desa menuturkan mantra dan hampir selesai, orang yang
berada di samping pintu bertugas untuk melemparkan kendil yang terbuat dari tanah.
Kendil tersebut berisi beras beserta pisang yang diambil dari dalam dan kemuadian
membaca doa secara Islam yang dipimpin pula oleh sesepuh desa. Acara kenduri
dilanjutkan dengan membagi makanan yang ada dalam wadah-wadah besar ke dalam
rege sesuai wadah yang disediakan pemilik hajat dan dibagikan. Para undangan yang
4
datang ketika pulang tidak boleh atau dianjurkan tidak berjabat tangan dengan pemilik
Peneliti dalam hal ini mengkaji mantra nyambung tuwuh tingkepan dari aspek
memiliki banyak sekali makna tersembunyi di dalamnya, dari segi mantra maupun
prosesi ritual yang sampai saat ini masih rutin dilakukan. Makna dari mantra tersebut
menarik dikaji karena didalamnya mengandung pesan moral seperti nilai kebersamaan,
guyub rukun, menghargai jasa leluhur, dan berbagi kepada sesama. Manfaat dari
mengkaji mantra nyambung tuwuh tingkepan juga sangat menarik untuk dipelajari
karena masih terkait dengan kearifan lokal yang ada di Desa Buntaran.
pada mantra nyambung tuwuh tingkepan yang masih hidup di masyarakat desa
Buntaran. Kemudian mengetahui makna dari mantra yang dibalut dengan serangkaian
prosesi ritual yang dipimpin langsung oleh sesepuh desa. Selain itu, dengan melakukan
penelitian ini dapat menjaga dan melestarikan budaya lokal yang dikemudian hari akan
ditinggalkan. Dengan menuliskan semua data yang ada akan membuat mantra ini tidak
akan punah dan tetap abadi. Hal ini selaras dengan ungkapan (Purwaningsih, 2007:
mempertahankan tradisi upacara, ritual, dan budaya apapun yang berkaitan dengan
peristiwa alam. Pengkajian sastra lisan atau mantra menarik dan penting untuk diteliti
karena di dalamnya tersirat suatu nilai luhur dan keagungan budaya tertentu. Kemudian
pengkajian sastra lisan merupakan wujud rasa peduli dari seseorang untuk berperan
serta dalam melestarikan dan menjaga sastra lisan tetap eksis keberadaannya.
5
makanan dan jajanan yang ada pada acara selamatan tingkepan di Dukuh Pelem. Dari
hasil penelitian menunjukkan adanya beberapa macam makanan yang disajikan dalam
acara tingkepan seperti aneka jenang baro-baro, procot, aneka tumpeng bathok bolu,
playon, pitu, aneka sega gendhong, sega rogoh, dan sega guyeng. Kedua oleh Septiana
Purwaningrum dan Habib Ismail. Fokus penelitian untuk mengetahui implementasi dan
nilai yang terkandung dari budaya Telonan dan Tingkepan di Dusun Kunti Desa
Habib 2019: 34-39). Hasil penelitian menujukkan 1) telonan dilakukan pada usia tiga
bulan kehamilan dan tingkepan dilaksanakan pada saat usia kandungan mencapai tujuh
bulan. 2) disajikan banyak sekali jenis makanan adat Jawa diantaranya pisang
setangkep, dawet, buceng ketan, sega rogoh, keleman, sega golong, rujak, jenang putih
dan jenang merah. 3) Nilai-nilai yang tergambar dalam acara telonan maupun
tingkepan yakni nilai kerukunan antar umat manusia, tolong menolong, nilai
silaturahmi, nilai hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama manusia. Ketiga oleh
Sa'adah (2015, 125) yang berfokus pada muatan dakwah dalam tradisi tingkeban.
Hasilnya menunjukkan media dakwah yang tepat memuat kaya akan kebudayaan,
mengenai tradisi tingkepan masyarakat Jawa. Perbedaan penelitian ini dengan ketiga
penelitian di atas terteletak pada objek kajian dan fokus penelitian. Objek penelitian ini
adalah ritual kenduri nyambung tuwuh tingkepan yang ada di Desa Buntaran,
6
mengkaji bentuk dan makna mantra kenduri nyambung tuwuh tingkepan. Prosesi ritual
dan berbagai pernak-pernik makanan serta konteks penuturan mantra akan menjadi
kajian yang tidak bisa dilepaskan dari tuturan mantra tersebut. Tentunya dengan adanya
penelitian ini diharapkan dapat melestartikan budaya dan keeksisan mantra itu sendiri
dalam masyarakat. Dengan demikian, penelitian ini sangat menarik dan penting untuk
dilakukan. Maka penelitian ini berjudul Mantra Kenduri Nyambung Tuwuh Tingekepan
Roland Barthes. Semiotika adalah suatu ilmu atau metodeanalisis untuk mengkaji
memaknai suatu hal (John, dkk, 2017: 36). Tanda merupakan tujuan utama dari kajian
Dengan demikian penelitian ini akan berfokus pada kajian transkrip dan makna
Kabupaten Tulungagung Jawa Timur. Dengan fokus dan masalah penelitian yang telah
Selain itu, agar sastra lisan tetap eksis keberadaannya dan dikenal masyarakat luas
sebagai salah satu bentuk kekayaan budaya Indonesia yang patut dibanggakan.
7
1.2.1 Bagaimana transkrip tuturan mantra kenduri nyambung tuwuh tingkepan pada
1.2.2 Bagaimana makna mantra kenduri nyambung tuwuh tingkepan pada masyarakat
Dari rumusan masalah yang telah disusun sebelumnya, penelitian ini memiliki
sastra lisan baik secara teoritis maupun praktis, adapun manfaatnya sebagai berikut.
lisan, khususnya pada penelitian transkrip dan makna mantra yang ada di
tentang berbagai macam kajian sastra lisan. Selain itu, bisa memberikan referensi
tambahan yang dapat digunakan peneliti lain dalam membedah penelitian yang
b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru bagi
masyarakat atau pembaca secara langsung mengenai transkrip dan makna mantra
sastra lisan yang hidup dan berkembang di masyarakat. Kajian ini dapat digunakan
dalam mengembangkan penelitian sejenis agar kajian sastra lisan semakin banyak
a. Mantra merupakan salah satu bagian dari sastra lisan yang pewarisannya dilakukan
mempertahankan tradisi luhur seperti upacara, ritual, dan budaya apapun yang
suatu hal tertentu misalnya slametan, syukuran, memperingati siklus kelahiran dan
Jawa untuk memeringati tujuh bulan kehamilan calon ibu. Tujuannya adalah agar
calon ibu dan calon bayi diberikan kelancaran dan keselamatan (Rifa’i, 2017: 29).
e. Semiotika merupakan bidang ilmu yang mengkaji tanda pada suatu fenomena yang
f. Sastra lisan memiliki ciri-ciri yakni terikat konteks penuturan, adanya kontak antara