Anda di halaman 1dari 8

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Budaya Jawa memiliki nilai-nilai spiritual yang bermanfaat sebagai sumber-sumber

penyembuhan dan dapat dikolaborasikan dengan pendekatan pendampingan. Menurut

Clinebell, warisan budaya Indonesia mempunyai banyak sumber-sumber penyembuhan,

pertolongan dan penumbuhan yang dapat dikolaborasikan dengan metode pendampingan

pastoral.1 Nilai-nilai spiritual Jawa lebih tepat dan mengena bila dikembangkan sebagai

pendekatan pendampingan khas Jawa yang berwatak kolektif. Sementara itu, pastoral Barat

yang muncul dalam budaya Amerika dan Eropa, bila diterapkan di Indonesia akan

berkonfrontasi dengan masyarakat yang bersifat komunal dan determenistik. Hal ini

disebabkan pastoral Barat dilatarbelakangi oleh budaya yang individualis, egaliter dan

otonom.2 Oleh sebab itu, perlu dikembangkan pastoral yang berangkat dari nilai-nilai budaya

setempat. Menurut Saddhono, contoh nilai-nilai spiritual budaya Jawa meliputi etika dan

sopan santun ketika berada di rumah maupun di masyarakat.3

Masyarakat Jawa memiliki banyak ritual upacara yang dihidupi hingga sekarang.

Menurut Achmad, upacara adat merupakan ritual yang dilakukan secara kolektif oleh

masyarakat Jawa untuk mencapai tujuan nilai yang diajarkan oleh para leluhur. Upacara adat

Jawa yang masih dilestarikan hingga sekarang, yakni sebagai berikut:upacara adat yang

berhubungan dengan pra-kelahiran bayi, antara lain: ngebor-ebori, ngloroni, neloni, ngapati,

nglimani, ngenemi, mitoni (tingkeban), ngwoluni, dan nyangani. Lebih lanjut, upacara adat

yang berkaitan dengan kelahiran bayi, antara lain: mengubur ari-ari, brokohan, sepasaran,

1
Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral (Yogjakarta: Kanisius,
2002), 6.
2
J.D. Engel, Konseling Pastoral dan Isu-Isu Kontemporer (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016)., ix
3
Kundharu Saddhono dan Dewi Pramestuti, “Sekar Macapat Pocung: Study of Religous Values Based
On Javanese Local Wisdom,” el Harakah, 20.1 (2018), 15–32 <https://doi.org/:
http://dx.doi.org/10.18860/el.v20i1.4724>. Diakses pada 13 Februari 2019.
kekahan, puput puser (dhautan), selapanan, dan matangpuluhi.4 Menurut Sumbulah

tingkebanatau mitoni, merupakan ritual yang dilaksanakan untuk perempuan yang mencapai

usia hamil tujuh bulan ke atas. 5

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pastoral dari bangsa Barat tidak relevan lagi

penerapannya untuk masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Menurut Engel, pastoral bangsa

Barat, dilatarbelakangi oleh budaya Eropa dan Amerika, yang bersifat individualis, egaliter

dan otonom. Sementara itu, bangsa Indonesia memiliki karakteristik komunal dan

deterministik.6 Masyarakat Jawa mengedepankan nilai-nilai tradisi seperti gotong royong dan

kepedulian. Oleh sebab itu perlu dikembangkan pendampingan pastoral yang sesuai dengan

kondisi masyarakat Jawa.

Masyarakat membutuhkan sebuah pendampingan yang bersifat pastoral dengan basis

budaya agar di tengah kehidupan dalam keberagaman, dapat mengedepankan keharmonisan

sosial masyarakat. Pendampingan yang berbasis budaya akan lebih dapat diterima, bila

dibandingkan dengan menggunakan pastoral Barat. Menurut Engel, hal ini disebabkan

pastoral Barat menekankan pada isu kekristenan. 7 Oleh sebab itu, pendampingan pastoral

dengan menggunakan budaya Jawa, khususnya melalui ritual mitoni akan menolong

masyarakat supaya hidup dalam harmoni sosial.

Orang Jawa memiliki beberapa tradisi ritual seputar kelahiran seperti: upacara

selamatan brokohan atau upacara setelah bayi lahir, sepasaran (lima hari), selapanan (tiga

puluh lima hari), telunglapan (tiga bulan lima belas hari), mitoni (tujuh bulan), dan ngetahuni

(setahun).8 Teologi kejawen mitoni terlihat dalam bentuk ritual yang dilakukan orang Jawa

4
Sri Wintala Achmad, Filsafat Jawa:menguak filosofi, ajaran, dan laku hidup leluhur Jawa (Yogyakarta:
Araska, 2017), 27.
5
Ummi Sumbulah, “Islam Jawa dan Akulturasi Budaya: Karakteristik, Variasi dan Ketaatan Ekspresif,”
el Harakah, 14.1 (2012), 51–68 <https://doi.org/http://dx.doi.org/10.18860/el.v0i0.2191>. Diakses pada 15
Februari 2019.
6
Engel, Konseling Pastoral dan Isu-Isu Kontemporer, 2016, ix.
7
Engel, Konseling Pastoral dan Isu-Isu Kontemporer, 2016, ix.
8
Lutfi Fransiska Risdianawati dan Muhammad Hanif, “Sikap Masyarakat Terhadap Pelaksanaan Upacara
Kelahiran Adat Jawa Tahun 2009-2014 (studi di desa Bringin Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo,”
untuk tujuan meminta keselamatan kepada keturunannya. Menurut Saksono dan Dwiyanto,

orang Jawa ingin keturunannya selamat, sehingga ketika memiliki anak sejak dalam

kandungan usia tujuh bulan sudah diadakan upacara selamatan mitoni. Mitoni disebut juga

dengan istilah tingkeban. Mitoni dilakukan ketika mempunyai anak pertama, agar anak dan

ibunya diberi keselamatan. 9

Mitoni adalah upacara yang dilakukan pada bulan ketujuh masa kehamilan pada

masyarakat Jawa. Upacara tersebut bertujuan meminta keselamatan dan kesehatan bagi bayi

dan ibunya.10Tradisi mitoni berasal dari Jaman Raja Jayabaya memerintah menjadi Raja di

Kediri. Dikisahkan bahwa ada seorang perempuan yang mengalami persalinan, akan tetapi

anaknya selalu meninggal. Persalinan yang gagal ini terjadi selama sembilan kali. Perempuan

tersebut dapat melahirkan dengan selamat, setelah mengadakan mitoni. 11Tradisi ini masih

dilakukan oleh sebagian besar orang Jawa di Tuntang hingga saat ini secara turun-temurun.

Orang Jawa muslim dan orang Jawa yang beragama Kristen juga melakukan tradisi ini.

Mustaqim, menjelaskan bahwa mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh.

Perempuan yang sedang hamil dimandikan dengan air bunga setaman dan disertai dengan

doa agar diberikan rahmat dan berkah dari Tuhan, sehingga bayi yang akan dilahirkan

selamat dan sehat.12Menurut Endraswara proses selamatan mitoni meliputi tujuh tahap, yaitu:

tahap siraman, ritual memasukkan telur ayam ke dalam kain perempuan hamil, ritual berganti

pakaian, pemutusan benang putih atau janur, brojolan, jual dhawet dan rujak, kenduri.13

Jurnal Agastya, 5.1 (2015), 30–66 <https://doi.org/http://doi.org/10.25273/ajsp.v5i01.895>. Diakses pada 13


Februari 2019.
9
Gatut Saksono dan Djoko Dwiyanto, Faham Keselamatan dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Ampera
Utama, 2012), 7-8.
10
Save M Dagun, Kamus Besar Ilmu Sosial (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 2015),
664.
11
M Rifai, “Etnografi Komunikasi Ritual Tingkeban Neloni dan Mitoni,” Ettisal:Journal of Communication,
Vol. 2 (2017), 30. Diakses pada 13 Februari 2019.
12
Muhamad Mustaqim, “Pergeseran Tradisi Mitoni: Persinggungan Antara Budaya Dan Agama,”
Jurnal Penelitian, 11.1 (2017), 119 <https://doi.org/10.21043/jupe.v11i1.2016>, 125. Diakses pada 4 Maret
2018.
13
Suwardi Endraswara, Budi Pekerti dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Hanindita, 2003), 52-55.
Nilai-nilai kejawen dalam mitoni bermanfaat sebagai sumber-sumber penyembuhan

dan pendampingan pastoral.Nilai-nilai tersebut dapat digunakan sebagai pendekatan

pendampinganuntuk ibu hamil beserta keluarganya dan juga masyarakat. Pendampingan

pastoral mitoni bermanfaat untuk menepis perasaan gelisah atau ketakutan akan gagalnya

persalinanpada ibu hamil. Ibu hamil secara spikologis lebih siap dalam menjalani persalinan.

Pendekatan pendampingan dilakukan melalui tahapan mitoni yaitu siraman, busanan,

brojolan, dan kenduri. Pihak keluarga, terutama suami, juga merasakan dampak yang sama

dengan ibu hamil, yaitu lebih mantap secara psikologis dan mendapat dukungan sosial dari

tamu undangan yang hadir. Tamu undangan juga merasakan manfaat pendekatan

pendampingan mitoni. Secara sosial, masyarakat semakin selaras hubungannya dengan

tetangga dikarenakan nilai spiritual yang terkandung dalam setiap tahapan mitoni

menginspirasi dalam membangun hubungan dengan sesama. Misalnya, pada saat tahapan

kenduri mitoni terdapat nilai-nilai spiritual yang sejalan dengan fungsi pendampingan. Nilai-

nilai tersebut mandorong masyarakat mengedepankan semangat toleransi, penerimaan,

kebaikan dan kerukunan.

Van Beek menjelaskan bahwa kata pendampingan pastoral adalah gabungan dua kata

yaitu pendampingan dan pastoral. Dua kata tersebut mempunyai makna pelayanan. Kata

“pendampingan” berasal dari kata kerja “mendampingi.” Mendampingi merupakan suatu

kegiatan menolong orang lain yang karena suatu sebab perlu didampingi. Relasi yang terjalin

antara “pendamping” dengan orang yang didampingi bersifat kesetaraan. Orang yang

didampingi adalah pihak yang paling bertanggung jawab. Istilah pendampingan memiliki arti

kegiatan kemitraan, bahu-membahu, menemani, membagi atau berbagi dengan tujuan saling

menumbuhkan dan mengutuhkan. Dengan menggunakan istilah pendampingan, hubungan

antara pendamping dan orang yang didampingi berada dalam kedudukan seimbang dan

timbal-balik. Fokus pendampingan tidak hanya kepada gejala atau problem saja, tetapi lebih

dalam, yakni kepada manusia yang utuh, baik fisik, mental, sosial dan rohani. Istilah
pendampingan fokus pada pengutuhan kehidupan penderita yang semula hidupnya telah

tercabik karena berbagai krisis. 14Kata pastoral berasal dari bahasa latin pastore. Bahasa

Yunaninya poimen, yang berarti gembala. 15

Mengacu pada latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan untuk menemukan,

mengeksplorasi dan mengkritisi perilaku, pemahaman dan pengalaman hidup masyarakat

Jawa berkaitan dengan mitoni. Penelitian ini akan menggali nilai-nilai spiritual dalam mitoni,

selanjutnya mengembangkannya sebagai suatu bentuk pendekatan pendampingan bagi

masyarakat Jawa. Nilai-nilai spiritual dalam mitoni ditransmutasikan menjadi teknik

pendekatan pendampingan bagi masyarakat Jawa. Kata transmutasi menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia memiliki arti ‘memindahkan’. 16Penelitian ini menjadi sangat penting untuk

dilakukan, sebab bila penelitian ini tidak dilakukan, maka nilai budaya yang luhur dalam

mitoni menjadi terabaikan. Padahal nilai tersebut berguna sebagai desain pendampingan

sesuai dengan konteks masyarakat Jawa.

2. Rumusan masalah

1. Bagaimana pemahaman dan pelaksanaan mitoni masyarakat desa Tuntang?

2.Apa landasan filosofis dan nilai-nilai spiritual yang terkandung dalam pemahaman

dan pelaksanaan tradisi mitoni tersebut?

3. Bagaimana tradisi mitoni dikaji dari perspektif pendekatan pedampingan?

3. Tujuan Penelitian

1.Mendeskripsikan pemahaman dan pelaksanaan mitoni di desa Tuntang.

2.Menganalisis landasan filosofis dan nilai-nilai spiritual dalam mitoni.

3.Mengembangkanmitoni sebagai pendekatan pendampingan bagi masyarakat Jawa.

14
Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 9.
15
J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 2.
16
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 1209.
4. Manfaat Penelitian

Pendekatan budaya Jawa dalam studi ini sangat relevan digunakan untuk

mendampingi keluarga yang akan mengalami proses persalinan.

5. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian

lapangan. Menurut Sugiyono, metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang

berlandaskan pada filsafat postpositivisme atau enterpretif, dimana suatu realitas sosial dilihat

sebagai sesuatu yang holistik, kompleks, dinamis dan penuh makna. Metode ini digunakan

untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah. Peneliti berperan sebagai instrumen kunci.

Teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan observasi, wawancara,

dokumentasi), sedangkan data yang diperoleh cenderung data kualitatif, analisis data bersifat

kualitatif, dan hasil penelitian bersifat untuk memahami makna, memahami keunikan,

mengkontruksi fenomena dan menemukan hipotesis. 17Teknik analisis data dengan melakukan

analisis data kualitatif yang melibatkan proses pengumpulan data, interpretasi, dan pelaporan

hasil secara serentak dan bersama-sama.18

Peneliti menggunakan sumber dari buku-buku dan artikel ilmiah yang berhubungan

dengan ritual adat Jawa mitoni. Selanjutnya, teknik analisis data dalam tulisan ini

menggunakan analisis data kualitatif yang melibatkan proses pengumpulan data, interpretasi,

dan pelaporan hasil secara serentak dan bersama-sama. Pengumpulan data menggunakan

metode wawancara secara langsung dan mendalam dalam suasana yang tidak formal dan

melakukan observasi ketika terjadi mitoni. Wawancara dilakukan dengan memberikan

pertanyaan terbuka kepada informan yang merupakan tokoh masyarakat desa Tuntang dan

orang yang pernah melakukan mitoni.Hasil wawancara dengan informan tersebut sudah

dapat mewakili perilaku, pemahaman dan pengalaman hidup masyarakat Jawa tentang
17
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif untuk penelitian yang bersifat:eksploratif, enterpretif,
interaktif dan konstruktif (Bandung: Alfabeta, 2017), 8-10.
18
John W. Creswell. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010), 274.
mitoni.Tempat penelitian diadakan di desa Tuntang, kecamatan Tuntang, kabupaten

Semarang, Jawa Tengah. Penelitian dilakukan mulai dari bulan September 2017 sampai

dengan Oktober 2018. Pertimbangan memilih wilayah penelitian khususnya di desa Tuntang

karena masyarakat di desa ini masih melakukan ritus mitoni.

6. Sistematika Penulisan

Penulisan Tesis ini terdiri dari:

1. Bab satu, pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian, lokasi penelitian, dan

sistematika penulisan.

2. Bab dua kerangka teoritis pendampingan pastoral dan kerangka teoritis mitoni.

3. Bab tiga tentang temuan hasil penelitian yang meliputi deskripsi makna mitonibagi

masyarakat di desa Tuntang Kabupaten Semarang.

4. Bab empat tentang pembahasan dan analisa yang meliputi analisis makna

mitonibagimasyarakat di desa Tuntang, landasan filosofis dan nilai-nilai spiritual

mitoni.

5. Bab lima tentang mitoni sebagai pendekatan pendampingan bagi masyarakat Jawa.

6. Bab enam penutup yang terdiri dari kesimpulan berisi temuan-temuan terhadap hasil

penelitian, dan saran yang berupa kontribusi-kontribusi untuk penelitian lanjutan.

Anda mungkin juga menyukai